Anda di halaman 1dari 5

SYARAT KE 3 DARI PERCOBAAN

“Perbuatan tersebut tidak selesai karena ada hal lain diluar kehendaknya sendiri.”

Oleh: 1. Muhammad Zacharia (1101100903 )

2. Neneng Widasari (110110090342)

Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP
adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door
een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian,
maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan
yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu
kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan) (Lamintang, 1984:
511).

Sehingga di pasal 53 KUHP hanyaberisikan bahwa syarat Percobaan adanya:

1. Niat.

2. Permulaan perbuatan, dan

3. Perbuatan tersebut tidak selesai karena ada hal lain diluar kehendaknya sendiri.

Nah dalam hal ini akan dibahas mengenai syarat yang ke 3 mengenai tidak selesainya perbuatan
karena ada hal lain diluar kehendak pelaku yang menghalangi.

Menurut KUHP

Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP
adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.

Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan
untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan
permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut
yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang
hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang
memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.

Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya
perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat
dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak
selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam
diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari
dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya
sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.

Loebby Loqman (1996: 31) memberikan contoh sebagai berikut:


a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan
pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang
telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan
membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi
perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan
B lari meninggalkan ruangan tersebut.
Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair
melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak
selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya
karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”.
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat
perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula
dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A
melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga
A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula.
Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan
bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas
meskipun ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari
luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri
dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya
meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul
niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal
tersebut tidak dapat lagi dilakukan.
Sebagai contoh:
Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya.
Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat
dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian
palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik
kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu.
Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara
sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang
pengadilan.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap
sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena
dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar. Akan tetapi
melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik
selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya
setelah penundaan sidang.
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang
melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah
selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang
dikualifikasi).
Sebagai contoh :
Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah
rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi
sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping
dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah
melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik)
seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.

Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena
kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik. Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya
disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas.
Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal
pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.

b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan
adanya penghalang fisik. Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk
mencuri telah diketahui oleh orang lain.

c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada


objek yang menjadi sasaran. Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat
sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang
akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga
(Arief, 1984: 15).

Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan
bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela,
jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau
meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan
antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan
pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi
dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang
memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan
obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal (Arief, 1984: 16).

Adapun maksud dicantumkan syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan
(Memorie Van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah:
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak
dapat dihukum, apabila ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih
mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk menghentikan
pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung (Lamintang, 1984: 545).

Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu istilah yang disebut
dengan Ondeugelijke Poging.
Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan meskipun telah ada perbuatan yang dianggap
permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal, bagaimana perbuatan yang diniatkan itu
tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang merupakan percobaan, akan
tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan
terlaksana sesuai dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35).
Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah
dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang
menurut undang-undang tidak timbul (Arief, 1984:18).
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana)
yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing
ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna
secara nisbi (relatif).
Loebby Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai berikut:
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak
Contoh : A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah
A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata
yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir.
c. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi
Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum ke dalam
minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A tetap hidup.

2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)


a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak
Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar tidur B dan
menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini
A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi
Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B
selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika
terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B, karena menggunakan rompi
anti peluru B tidak mati.

Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :


Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk
melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan
tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus
ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan (Arief, 1984: 18).
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :
a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam
hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr.Karni memberi contoh : meracuni dengan air
kelapa.
b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal
yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu
dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari 2
segi:

a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.

b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).

Hal penting untuk diketahui adalah apakah dengan tidak sempurnanya alat ataupun objek, dapat
dianggap telah terjadi suatu percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu percobaan maka
pelaku telah memenuhi 3 syarat percobaan,yaitu ada niat untuk melakukan suatu kejahatan, dan sudah
mewujudkan niat tersebut ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi delik yang
dituju itu tidak selesai (tidak terjadi) karena adanya faktor eksternal dari diri orang itu, yaitu karena
alatnya atau objeknya itu tidak sempurna. Apakah dapat dikatakan telah terjadi suatu percobaan
melakukan pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke dada B, yang ternyata B telah mati terlebih
dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat dihukum C yang hendak membunuh D, dengan
cara memberikan racun ke dalam minuman D yang ternyata racun tersebut adalah gula?

Dalam hal seperti ini, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah kejadian tersebut
dapat dipidana. Bagi mereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan antara
ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula pelaku
sudah mempunyai niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan
adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan demikian peristiwa
tersebut sudah merupakan suatu perbuatan percobaan melakukan kejahatan. Namun tidak demikian
halnya denga teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat dipidana. Sebab
dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahan yang menjadi niat pelaku.
Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan kepentingan hukum. Bagi teori objektif,
ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai kepada penyelesaiaan kejahatan yang diniatkan
pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya
berkurang. Menurut teori objektif, hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga
pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik sasaran maupun sarana,
dianggap tidak merupakan hal yang membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku
dipidana. Apa yang dilakukan pelaku tidak sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu.
Karena nyata-nyata sarana ataupun sasarannya mutlak salah (Loqman, 1996: 37).

Dengan melihat putusan perkara “Uang Sen Logam” Hoge Raad ternyata mempergunakan teori
objektif. Putusan Hoge Raad tanggal 7 Mei 1906, No.W.8372 menyatakan membebaskan seorang
wanita yang berminggu-minggu merendam beberapa keping sen tembaga ke dalam air mendidih,
dimana air tersebut dipakai untuk membuat teh minuman suaminya, dengan harapan suaminya mati
karena keracunan air tembaga. Menurut saksi ahli tembaga hasil rendaman uang logam tidaklah
meracuni seseorang (Loqman, 1996: 37).

Jadi intinya didalam syarat ke 3 percobaan dibagi jadi 2


a. Gequalificeerde poging – percobaan yang terkualifikasi
b. Ondeugdelijke poging – percobaan yang saat dimulai sudah dapat diduga akan gagal.

Anda mungkin juga menyukai