Anda di halaman 1dari 17

PERCOBAAN( POGGING / ATTEMPT )

KEJAHATAN DALAM HUKUM PIDANA

DOSEN PENGAMPU:

1. Dr. Amancik, S.H.,M.Hum.


2. Arie Elcaputera, S.H.,M.H.

DISUSUN OLEH:

Joice Laurenshia (B1A019192)

PROGRAM STUDI S-1 HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
ABSTRAK

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah yang


menjadi dasar teori dari dapat dipidananya perbuatan percobaan dan bagaimana
syarat-syarat untuk dapat dipidananya percobaan menurut KUH Pidana, yang
dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa 1.
Ada dua dasar teori tentang dapat dipidananya perbuatan percobaan, yaitu teori
percobaan obyektif bahwa dasar dapat dipidananya percobaan adalah karena
perbuatan telah membahayakan suatu kepentingan hukum, dan teori percobaan
subyektif bahwa dasar dapat dipidananya percobaan adalah watak yang
berbahaya dari si pelaku. Teori-teori ini memiliki konsekuensi yang berbeda
dalam hal: (1) percobaan yang tidak mampu; dan (2) batas antara perbuatan
persiapan dengan permulaan pelaksanaan. 2. Syarat-syarat untuk dapat
dipidananya percobaan menurut Pasal 53 ayat (1) KUHPidana: 1) Adanya niat; 2)
Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan; 3) Pelaksanaan itu
tidak selesai. ; dan, 4) Tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri; Tetapi, syarat “tidak selesainya
pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” pada
hakekatnya bukan syarat dapat dipidananya percobaan melainkan merupakan
alasan penghapus pidana.
I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada umumnya kata percobaan atau poging, berarti suatu usaha mencapai
suatu tujuanyang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum
pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak
segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila
dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar
tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi
persoalan.

Ada beberapa tindak pidana tidak diselesaikan oleh pelakunya, dikarenakan


oleh berbagai faktor. Faktor penyebab tidak selesainya suatu tindak pidana biasa saja berasal
dalam diri si pelaku sendiri, maupun faktor lain dari luar diri sipelaku.Situasi seperti ini
disebut dengan percobaan tindak pidana (poging , attempate)

Seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan delik, meskipun tidak


memenuhi semua unsur delik tetap dapat dipidana apabila telah memenehi rumusan pasal
53 KUHP tentang “percobaan”. Singkatnya sifat percobaan digunakan untuk memperluas
dapat dipidananya orang, bukan untuk memperluas delik. Artinya menurut pandangan ini
percobaan hanya dipandang sebagai suatu delik yang tidak selesai.Pandangan lain
menyebutkan percobaan sebagai dasar atau alasan dapat dipidananya suatu perbuatan.

Percobaan melakukan tindak pidana merupakan serangkaian satu kesatuan yang


lengkap. Akan tetapi dalam makalah ini akan lebih difokuskan lagi tentang bagaimana suatu
percobaan delik itu dapat dipidanakan

II
IDENTIFIKASI MASALAH
Percobaan kejahatan di dalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging). Pasal 53 ayat
(1) KUHP tidaklah merumuskan perihal pengertian mengenai percobaan,
melainkan merumuskan syarat-syarat (3 syarat) untuk dapat dipidananya bagi
orang yang melakukan percobaan kejahatan (poging tot misdrijf). Pengertian
menurut tata bahasa tersebut di atas tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari
percobaan (melakukan kejahatan) sebagaimana dalam hukum pidana. Tentang
syarat untuk dipidananya pembuat percobaan kejahatan dirumuskan dalam pasal
53 ayat (1) dalam contoh proses pemidanaan dalam kasus percobaan pembakaran
rumah pada dasarnya, perbuatan sengaja membakar rumah orang lain dapat dijerat
dengan Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika tidak
dilakukan dengan sengaja (karena salahnya), maka orang itu dihukum menurut
Pasal 188 KUHP (delik culpa). Supaya dapat dihukum, maka perbuatan-perbuatan
itu harus dapat mendatangkan: bahaya umum bagi barang, bahaya maut atau
bahaya maut bagi orang lain dan ada orang mati

III

PEMBAHASAN

A.Perlunya percobaan kejahatan Dipidana

Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak membuat atau
melakukan sesuatu dalam keadaaan diuji (Poerwodarminto, 1976: 209)1. Dari apa
yang diterangkan diatas, kiranya ada 2 percobaan :

Pertama, tentang apa yang dimaksud hendak berbuat, ialah orang yang
telah mulai berbuat (untuk mencapai tujuan) yang mana perbuatan itu tidak
menjadi selesai. Pengertian pertama ini tampak pada apa yang dikatakan oleh
Wirjono Prodjodikoro bahwa ‘‘Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti
suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai”
(Wirjono, 1981: 89)2. Demikian juga Jonkers menyatakan bahwa “ Mencoba
berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai ’’ (Jonkers 1987 :
155)3.

1.Adam Chazawi, PelajaranHukumPidana, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta ,Tahun 2016. hlm. 1.


2 Adam Chazawi, PelajaranHukumPidana, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta ,Tahun 2016. hlm. 1-2.
3 Adam Chazawi, PelajaranHukumPidana, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta ,Tahun 2016. hlm. 2.
Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “ Melakukan sesuatu dalam
keadaan diuji “ adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan
perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tentang
di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu
jenis udang laut di air tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan
sebagainya.

Ukuran percobaan menurut arti tata bahasa hanyalah salah satu aspek saja
dari percobaan sebagaimana yang dikenal dalam hukum pidana. Satu aspek itu
ialah bahwa dalam percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana, si
pembuat telah memulai melakukan perbuatan yang sama dengan pengertian
pertama menurut tata bahasa tersebut diatas.

Tentang syarat untuk dipidananya pembuat percobaan kejahatan


dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) yakni : “ Poging tot misdrijf, wanneer het
voornemen des daders zich door een begin van uitvoering heft geopenbaar en de
uitvoering allen ten gevolge van omstandigheden van zijnen wil onafhankelijk,
niet is voltooid”. Oleh BPHN diterjemahkan : “ Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya pemulaan pelaksanaan, dan
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri”. Jadi ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Adanya Niat ( Voornemen )

Beberapa sarjana menganggap bahwa niat dalam kaitannhya dengan


percobaan tidak lain adalah sama dengan kesengajaan (baik kesengajaan sebagai
maksud atau tujuan; kesengajaan sebagai kepastian; dan kesengajaan sebagai
kemungkinan).

Pendapat demikian dianut oleh D. Hazewinkel Suringa, Van Hamel, Van


Hattum, Jonkers, dan Van Bemmelen. Pada hekikatnya niat termasuk juga seluruh
kegiatan dalam pikiran si pelaku. Termasuk rencana bagaimana kehendak itu akan
dilaksanakan, akibat-akibat yang mungkin akan timbul. Misal: niat untuk
melakukan pembunuhan dengan memberikan roti yangmengandung racun kepada
seseorang, dalam hal ini termasuk juga kesadarannya bahwa kemungkinan seluruh
penghuni akan menjadi korban. Kemungkinan orang lain menjadi korban
termasuk pula apa yang disebut niat pada syarat percobaan.

Jadi untuk memberikan pengertian niat sangatlah sulit, karena untuk


mengetahui niat seseorang sangat sulit diketahui, dan baru diketahui apabila orang
tersebut telah mewujudkan dalam perbuatan pelaksanaan ataupun sudah ada
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan tersebut.

2. Adanya permulaan pelaksanaan ( Begin van uitvoering )

Dalam percobaan kejahatan terdapat dua ajaran yang saling berhadapan,


yaitu ajaran subyektif dan ajaran obyektif, yang berbeda dalam memandang hal
permulaan pelaksanaan:

a. Ajaran subyektif: bertitik tolak dari niat (ukuran batin) si pembuat artinya
bahwa patutnya dipidana terhadap pencoba kejahatan adalah terletak pada niat
jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi
UU (membahayakan kepentingan hukum).

b. Ajaran obyektif: bertitik tolak dari wujud perbuatannya, artinya bahwa patut
dipidananya terhadap pencoba kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu
telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi UU
(membahayakan kepentingan hukum).

Berdasarkan kedua ajaran tersebut dapat dikatakan bahwa:

1) Menurut ajaran subyektif, ada permulaan pelaksanaan adalah apabila dari


wujud perbuatan yang dilakukan telah terlihat secara jelas niat atau kehendaknya
untuk melakukan suatu tindak pidana. Misalnya, orang yang tidak biasa
berhubungan dengan senjata tajam, suatu hari tiba-tiba mengasah pedang, dari
wujud mengasah pedang ini telah tampak adanya niat untuk melakukan kejahatan
dengan pedang yang diasah tersebut (membunuh orang).
2) Menurut ajaran obyektif, adanya permulaan pelaksanaan apabila dari wujud
perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan
ialah pada tindak pidana tertentu.

Misalnya, seseorang dihadapan orang yang dibencinya telah mengokang


pistolnya dengan mengarahkan moncong senjata itu ke arah orang yang
dibencinya. Perbuatan mengokang pistol dianggap merupakan permulaan
pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan menarik pistol merupakan perbuatan
pelaksanaan pembunuhan.

Teori objektif terbagi menjadi 3 yaitu:

1. Teori objektif formil, yang menitik beratkan sifat bahayanya perbuatan


itu terhadap tata hukum.Menurut teori ini,suatu delik merupakan suatu rangkaian
dari perbuatan-perbuatan yang terlarang.Dengan demikian apabila seseorang
melakukan perbuatan percobaan,berarti ia telah melakukan sebagian dari
rangkaian delik yang terlarang itu,berarti ia telah membahayakan tata Hukum.

2. Teori objektif materil, yang menitik beratkan pada sifat berbahayanya


perbuatan kepentingan hukum.

3. Teori campuran, teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan


dari dua segi yaitu, sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subjektif) dan juga
sifat berbahayanya perbuatan (segi objektif).

3. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Karena Kehendak Sendiri

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena


kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal sebagai berikut:

a. Adanya penghalang fisik

b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan
karena akan adanya penghalang fisik.

c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor khusus pada objek yang
menjadi sasaran.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka
dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri secara sukarela. Tidak selesainya
perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan :

1) Pengunduran diri secara sukarela (rucktriit) yaitu tidak menyelesaikan


perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik tersebut.

2) Tindakan penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan


sudah diselesaikan tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak
delik tersebut.

Maksud dicantumkannya unsur pengunduran diri dalam Pasal 53 KUHP :

a) Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara


sukarela mengurungkan kejahatan yang ia telah mulai tetapi belum terlaksana
tidak dipidana.

b) Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas) bahwa usaha yang paling tepat
untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidana orang yang
telah mulai melakukan kejahatan tetapi dengan sukarela mengurungkan
pelaksanannya.

Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur
ketiga ini merupakan :

 Alasan penghapusan pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe)


 Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji)
 Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno)

Mengenai konsekuensi adanya unsur ketiga dalam Pasal 53 KUHP, ada dua
pendapat, yaitu:

1. Mempunyai konsekuensi materiil, artinya unsur ketiga ini merupakan unsur


yang melakat pada percobaan, jadi bersifat accesoir (tidak berdiri sendiri). Dengan
kata lain untuk adanya percobaan unsur ketiga ini (tidak selesainya pelaksanaan
perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada
pengunduran diri secara sukarela maka tidak ada percobaan.
2. Mempunyai konsekuensi formil artinya karena unsur ketiga ini dicantumkan
dalam pasal 53 maka unsur tersebut harus disebutkan dalam surat tuduhan dan
dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ketiga tidak merupakan unsur yang
melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accesoir, ia merupaka unsur yang
berdiri sendiri. Dengan perkataan lain walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena
adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada.

Ada tiga wujud perbuatan: Terbentuknya Niat (kehendak), yaitu:

a. Perbuatan persiapan
b. Permulaan pelaksanaan
c. Perbuatan pelaksanaan — menghasilkan tindak pidana selesai/tidak

Jadi kunci untuk menentukan apakah terjadi percobaan kejahatan ataukah


belum, secara obyektif adalah pada perbuatan pelaksanaan (bukan pada permulaan
pelaksanaan) hal ini dapat dilihat dari bunyi “Tidak selesainya pelaksanaan itu
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” arti dan maksud
pelaksanaan dalam kalimat itu adalah perbuatan pelaksanaan.

Sebagaimana diketahui bahwa mengenai pembebanan pertanggungjawaban


pidana (bersifat pribadi) hanyalah terhadap si pembuat yang telah menyelesaikan
suatu tindak pidana secara sempurna sebagaimana dirumuskan undang-undang.
Prinsip ini mengandung konsekuensi bahwa terhadap si pembuat yang belum
menyelesaikan tindak pidana secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang, tidak dibebani tanggungjawab pidana dan karenanya tidak
boleh dipidana. Misalnya dengan maksud membunuh orang yang dibenci karena
berselingkuh dengan istrinya telah melakukan perbuatan menabrak dengan mobil
ketika musuhnya itu berjalan dijalan raya. Tetapi tingkah laku itu hanya
mengakibatkan luka-luka berat, tanpa akibat kematian. Kejahatan yang diinginkan
si pembuat tidak selesai secara sempurna, oleh sebab akibat yang dikehendaki dan
dirumuskan oleh undang-undang yakni kematian tidak timbul. Tentulah si
pembuat yang tidak selesai melakukan pembunuhan ini tidak dapat dipidana
menurut ketentuan semata-mata pasal 338 KUHP, tanpa mendasarkannya pula
(Juncto) pada pasal 53 ayat (1).
B. Syarat Dipidananya Pembuat Percobaan Kejahatan

Perihal percobaan kejahatan merupakan ketentuan umum hukum pidana, yang


dimuat dalam buku I Bab VI yaitu pasal 53 dan pasal 54, dalam hal ini berbeda
dengan pengulangan (residive) yang tidak mengenal ketentuan umum yang
dimuat dalam buku I.

Pasal 53 KUHP merumuskan :

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukam semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Contoh Kasus Terkait Tindak Pidana Percobaan

Saya mau bertanya untuk kasus percobaan pembakaran rumah. Itu dikenakan
pasal berapa dan hukuman berapa tahun? Sebab ini kejadian yang saya alami.
Rumah saya hendak beberapa kali mau dibakar tetangga tetapi tidak berhasil.
Awalnya karena mau ditegur masalah pembuangan sampah selokan yang dibuang
di depan rumah saya. Pihak kami mau melakukan mediasi baik-baik, tapi
disambut anarkis sampai perusakan rumah dengan pintu depan rumah kami
dipukul dengan besi-besi dilempar batu, botol kaca sampai atas atap rumah kami
penuh batu kecil dan batu bata. Tidak sampai di sana, kaca naco jendela kami juga
pecah dilempar. Untuk kasus seperti ini saya harus membuat laporan seperti apa
di pihak berwajib? Apakah kasus percobaan pembakaran saja? Atau harus
ditambahkan perusakan juga?

Ulasan Lengkap
Pertama-tama perlu kami tegaskan bahwa pembahasan kali ini akan
dibatasi perihal kasus yang menimpa Anda atau Anda sebagai korban, tidak
mencakup perihal masalah pembuangan sampah selokan di depan rumah Anda.

Perbuatan Pembakaran Rumah

Pada dasarnya, perbuatan sengaja membakar rumah orang lain dapat


dijerat dengan Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai
berikut:

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir,


diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan
tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;

2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan
tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;

3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa
orang lain dan mengakibatkan orang mati.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 154) menjelaskan
bahwa kejahatan ini adalah suatu “delik dolus”, artinya harus dilakukan “dengan
sengaja”. Jika tidak dilakukan dengan sengaja (karena salahnya), maka orang itu
dihukum menurut Pasal 188 KUHP (delik culpa). Supaya dapat dihukum, maka
perbuatan-perbuatan itu harus dapat mendatangkan: bahaya umum bagi barang,
bahaya maut atau bahaya maut bagi orang lain dan ada orang mati.

R. Soesilo juga mengatakan bahwa “bahaya umum bagi barang” artinya


bahaya bagi barang-barang kepunyaan dua orang atau lebih, atau sejumlah banyak
barang kepunyaan seseorang. Peristiwa yang banyak terjadi dalam peradilan di
Indonesia dan dapat dikenakan pasal ini ialah, bahwa untuk membalas dendam,
orang sengaja membakar rumah orang lain dan ada yang rumah itu berdiri sendiri.
Kebakaran semacam ini biasanya menimbulkan bahaya bagi rumah itu sendiri dan
bagi barang-barang banyak perabotan rumah yang ada di dalamnya. Banyak pula
terjadi pembakaran rumah-rumah di desa-desa oleh gerombolan-gerombolan
pengacau yang terlarang oleh negara.

Lebih lanjut R.Soesilo menambahkan yang dibakar itu tidak perlu


kepunyaan orang lain, mungkin kepunyaan tersangka sendiri: yang penting ialah,
bahwa kebakaran itu harus dapat menimbulkan bahaya umum bagi barang
tersebut.

Bahkan, dalam Pasal 187 ter. KUHP telah diatur bahwa permufakatan
jahat untuk melakukan kejahatan dalam Pasal 187 KUHP dapat dipidana,
selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam


pasal 187 dan 187 bis, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dalam buku yang sama (hal. 97), R. Soesilo mengatakan bahwa yang
masuk dalam pengertian: “permufakatan jahat” ialah permufakatan untuk berbuat
kejahatan. Segala pembicaraan atau rundingan untuk mengadakan permufakatan
itu belum masuk dalam pengertian: “permufakatan jahat”.

Percobaan Tindak Pidana

Berikutnya, mengenai percobaan tindak pidana, dalam hal ini adalah


pembakaran rumah, aturannya dapat dilihat dalam Pasal 53 KUHP:

1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi


sepertiga.

3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Berkaitan dengan hal ini, R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 69)
menjelaskan bahwa undang-undang tidak memberikan definisi apa yang dimaksud
dengan percobaan itu, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-
syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum.

Lebih lanjut R. Soesilo menerangkan bahwa menurut kata sehari-hari yang


diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal
yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak
selesai. Misalnya bermaksud membunuh orang, orang yang hendak dibunuh tidak
mati; hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.

Menurut Pasal 53 KUHP, supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran


tidak) dapat dihukum, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;


b. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
c. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang
oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan
penjahat itu sendiri.

Percobaan Pembakaran Rumah

Jadi untuk perbuatan percobaan pembakaran rumah dalam kasus Anda


pada dasarnya dapat dipidana berdasarkan Pasal 187 jo. Pasal 53 KUHP, namun
sayangnya Anda tidak menjelaskan secara rinci apakah sudah atau perbuatan
pelaksanaan atau belum, selain itu tidak dijelaskan juga alasan mengapa perbuatan
tersebut tidak berhasil/tidak selesai. Apakah karena kehendak dari tetangga Anda
sendiri atau karena sebab-sebab lainnya.

Perbuatan Perusakan Rumah

Untuk perbuatan merusak rumah sebagaimana Anda jabarkan dalam


pertanyaan bahwa “pintu depan rumah kami dipukul dengan besi-besi dilempar
batu, botol kaca sampai atas atap rumah kami penuh batu kecil dan batu bata,
tidak sampai disana kaca naco jendela kami juga pecah dilempar” sanksinya dapat
dilihat dalam Pasal 200 KUHP sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung atau bangunan
diancam:

 Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan
itu timbul bahaya umum bagi barang;
 Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan
itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
 Dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu timbul
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.

Menurut R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 161), supaya dapat
dihukum, maka perbuatan tersebut dalam Pasal 200 KUHP harus dilakukan
dengan “sengaja” dan harus mendatangkan akibat-akibat sebagaimana temaktub
pada sub 1 s/d 3 dalam pasal ini. Apabila dilakukan tidak dengan sengaja, ialah
“karena salahnya” (kurang hati-hati atau alpa), maka ini merupakan “delik culpa”
dan dikenakan Pasal 201 KUHP.

Sebagai informasi, hukum bukan hanya sekadar aturan, melainkan juga


argumentasi dan pembuktian di persidangan. Jadi perihal laporan yang akan Anda
buatkan, Anda bisa saja membuat laporan atas perbuatan percobaan pembakaran
rumah dan merusak rumah dengan dasar pasal-pasal yang telah dijabarkan di atas,
tetapi nanti di persidangan, Penuntut Umum yang memiliki wewenang akan
menggunakan pasal yang mana baik dalam surat dakwaan, maupun dalam
tuntutannya. Selain itu, perlu diketahui bahwa hukum pidana merupakan ultimum
remedium (upaya terakhir). Saran kami, terus upayakan cara-cara kekeluargaan
sebelum memutuskan melaporkan pada polisi.

Contoh Lainnya; Kasus Percobaan Pembakaran Rumah

Mengenai percobaan pembakaran rumah, dapat dilihat dalam Putusan


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1827/Pid/B/2009/PN.Jkt.Sel. Dalam
kasus tersebut, terdakwa ingin melakukan pembakaran rumah karena permintaan
terdakwa kepada Ibunya untuk membetulkan sepeda motornya tidak dituruti.
Kemudian terdakwa menghubungi salah seorang temannya untuk membantu nya
membakar rumah dengan di janjikan akan diberikan uang. Terdakwa mengambil
korek api kayu dan menyulut kasur busa yang berada di kamar tidur terdakwa
sehingga setengah dari kasur busa tersebut terbakar. Tidak lama kemudian ada
dua orang yang berteriak api-api yang berasal dari kamar terdakwa dan sebagian
kasur busa sudah terbakar. Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpedapat
perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 187 jo. Pasal 53
KUHP. Dalam amarnya, majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: percobaan pembakaran
dan menjatuhkan pidana selama 5 (lima) bulan.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1827/Pid/B/2009/PN.Jkt.Sel.


IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari apa yang diterangkan di atas, maka tidak dapat lain bahwa
percobaan kejahatan ini bukan suatu tindakan pidana (yang berdiri sendiri)
seperti istilah pada delik percobaan, akan tetapi ketentuan khusus dalam
hal memperluas pembebanan pertanggungjawaban pidana, bukan saja
terhadap si pembuat yang menyelesaikan tindak pidana dengan sempurna,
tetapi dipertanggungjawabkan pula dengan dipidana nya bagi si pembuat
yang karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak pidana
secara sempurna. Demikian juga, percobaan bukan unsur tindak pidana,
tetapi tindak pidana yang tidak sempurna, yang pada dasarnya tidak
dipidana. Tindak pidana yang tidak sempurna tidaklah disebut sebagai
tindak pidana, walaupun diancam pidana sebagaimana juga tindak pidana
sempurna. Dengan demikian, percobaan juga bukan perluasan arti dari
tindak pidana.

B. Saran

Menurut saya tindak pidana yang tidak sempurna itu bukan


percobaannya atau perbuatannya tetapi alatnya atau objeknya kejahatan.
Karena alatnya dan objeknya tidak sempurna atau tidak mampu yang
karena sifatnya yang sedemikian rupa sehingga menyebabkan tindak
pidana yang dituju tidak mungkin terwujud. Jadi untuk menyatakan
percobaan adalah suatu tindak pidana tidak sempurna ada pada suatu objek
atau alat dalam percobaan mampu atau tidak mampu, mutlak atau relatif,
tidak dapat dipidana atau dapat dipidana tergantung daripada bagaimana
para ahli menafsirkan peristiwa-peristiwa yang dapat dikatakan tindak
pidana.
V

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3, Rajawali Pers, Ed. 1, Cet. 6,


Jakarta, 2016.

Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di


Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 3, Bandung, 1997.

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,Cet. 3,


Jakarta, 2006.

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Ed.1, Cet. 2, Jakarta, 2011.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Ed. 2,


Cet. 6, Bandung, 1989.

Peraturan Perundang- undangan

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

Internet (Web Site)

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5caff404d4cee/jerat-pidana-
percobaan-pembakaran-rumah/

Anda mungkin juga menyukai