Anda di halaman 1dari 9

UJIAN TENGAH SEMESTER

Hukum Percobaan (Poging)

Oleh:

Putu Kawiana Putra Adinata

202274201120

Fakultas Hukum

Universitas Ngurah Rai

2022/2023
A. Pengertian Percobaan (Poging)

Didalam istilah bahasa Belanda, percobaan ini disebut dengan “ poging “,dapat
dikatakan menurut doktrin bahwa percobaan adalah “ permulaan kejahatan yang belum
selesai“ atau “een reeds begonnen doch nog niet voltooid mijsdrijf“. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam dengan pidana tertentu suatu percobaan untuk
melakukan suatu percobaan kejahatan. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang
memperluas pengertian “pelaku” suatu kejahatan, meskipun pelaku belum sempat
menyelesaikan apa yang hendak dilaksanakannya dan tidak melakukan semua bagian yang
yang diuraikan didalam rumusan suatu delik. Kadangkala suatu kejahatan telah mulai
dilakukan, akan tetapi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan keinginan / maksud si pelaku.1
Menurut ilmu bahasa “mencoba” berarti berusaha akan mencapai satu tujuan, kadangkala
tujuan itu jadi tercapai dan kadangkala usaha itu tidak berakibat seperti dimaksud. Lebih
lanjut dari segi tata bahasa, bahwa istilah percobaan adalah “usaha hendak berbuat atau
melakukan sesuatu dalam keadaan diuji.2 Namun ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran dari
percobaan (melakukan kejahatan) sebagaimana dalam hukum pidana, oleh karena dalam
hukum pidana memiliki ukuran yang khusus untuk dapat memidana percobaan melakukan
suatu kejahatan. Pengertian percobaan menurut Pompe merupakan “suatu usaha tanpa hasil”,
bila ditinjau dari sudut perbuatan, maka percobaan itu merupakan “pelaksanaan sebagian dari
rumusan delik”. Menurut van Zevenbergen, percobaan itu merupakan “realisasi dari sebagian
perbuatan”3, sedangkan pendapat Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa” pada umumnya
kata percobaan atau poeging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya
tidak atau belum tercapai. Jonkers mengatakan bahwa : “mencoba berarti berusaha untuk
mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai”.4 Satochid Kartanegara mengatakan bahwa
percobaan atau poging adalah permulaan kejahatan yang belum selesai. Didalam ilmu hukum
pidana istilah percobaan mengandung satu arti yang lebih sempit, yaitu satu usaha yang tidak
berakibat seperti dimaksud, jadi yang sia-sia. Percobaan ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu : (1). Percobaan tertunda, padahal tidak dapat diselesaikan perbuatan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan yang dimaksud dan (2). Percobaan gagal, disini perbuatan
diselesaikan, akan tetapi hasil yang dituju tidak tercapai.

1
Laden Merpaung, 2009, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Hal : 94
2
Adami Chazawi (1), 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 1
3
Mr.J.M. van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
Hal: 241
4
Adami Chazawi (1), Op.cit , Hal : 2
Menurut R. Soedarjo, sebagai berikut:

“Percobaan adalah berusaha tanpa hasil. Sebab dalam hukum pidana percobaan dianggap
sebagai lawan menyelesaikan. Dikatakan ada percobaan melakukan tindak pidana, apabila
seeseorang berusaha untuk mencapai keadaan, yang ditumbulkan oleh peristiwa yang selesai,
tetapi tidak berhasil mewujudkan keadaan, dengan menyelesaikan peristiwa itu. Tidak dengan
sendirinya percobaan boleh dipidana. Sebab peraturan pidana dalam perundangan hanya
menguraikan sebagai boleh dipidana peristiwa – peristiwa tertentu, dan pada percobaan
peristiwa yang diuraikan itu tidak ada. Maka oleh karena itu percobaan tidak selalu boleh
dipidana. Dan dalam hukum kita sifat boleh dipidana itu sebatas hingga pada percobaan
melakukan kejahatan.”5

Masalah percobaan ini KUHP memberikan ancaman yang maksimumnya diperingan,


yaitu dikurangi sepertiganya (1/3) dari maksimum pidana pokoknya, sedangkan terhadap
ancaman pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 (lima belas)
tahun. Pengurangan tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat ( 2, 3, 4) KUHP ).

Pasal 53 KUHP menyatakan :

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permualaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiganya

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.6

Permusan dalam redaksi Pasal 53 KUHP tersebut dianggap sebagai “kabur” dan
menimbulkan berbagai penafsiran. Penentuan perbuatan mana yang merupakan percobaan
bagi masing-masing kejahatan dalam pasal-pasal KUHP diserahkan kepada ilmu hukum
pidana dan jurisprudensi. Pasal 53 ayat (1) KUHP hanya menjawab pertanyaan, yaitu : pada
hal apa satu percobaan (yang sia-sia) untuk melakukan suatu delik dapat dihukum?. Dengan

5
R. Soedarjo, Uraian Tentang Pendapat, W.J.P , Pompe, Hukum Pidana II, Stensilan, 1974
6
Moeljatno (2), 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta. Hal :
24-25

1
demikian, “ percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si
pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak selesai
hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung kepada kemauan sendiri “. Oleh karena itu, 4 (
empat ) syarat yang harus dipenuhi supaya suatu percobaan untuk melakukan suatu delik
dapat dihukum, yaitu :

1) Delik yang dicoba mesti merupakan kejahatan

2) Maksud untuk melakukan kejahtan itu mesti nyata

3) Kejahtan itu mesti sudah mulai dilakukan

4) Kejahatan itu tidak diselesaikan, hanyalah karena sesuatu hal yang tidak dikehendaki
si pembuat.

B. Unsur – unsur Percobaan (Poging)

Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui adanya 3 (tiga) unsur-
unsur daripada percobaan, yaitu : a. Adanya niat/maksud/voornemen b. Adanya suatu
permulaan pelaksanaan / begin van uitvoering c. Tidak selesainya pelaksanaan itu semata-
mata bukan karena kehendak sendiri.

a. Adanya niat / maksud / voornemen, dalam teks bahasa Belanda tertulis “Voornemen”
yang menurut doktrin tidak lain adalah kehendak untuk melakukan kejahatan atau
lebih tepatnya adalah “opzet” atau “kesengajaan” dalam arti sempit. Moeljatno
menterjemhkan voornemen itu adalah “niat”, yang didalam Memory van Toelichting /
MvT dikatakan adalah “niat untuk melakuakan perbuatan yang oleh wet dipandang
sebagai kejahatan”. Simons mengartikan “niat” itu tiada lain adalah kesengajaan, yang
perlu disini adalah bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan untuk melakukan
kejahatan, termasuk dolus eventualis / kesengajaan sebagai kemungkinan, sehingga
niat itu sama dengan kesengajaan.7

b. Dalam adanya permulaan pelaksanaan / begin van uitvoering, kehendak atau niat saja
belum cukup bila belum adanya perwujudan dari kehendak, sebab kehendak yang
masih dalam pikiran itu adalah bebas. Permulaan pelaksanaan berarti terjadinya suatu
perbuatan tertentu, maka perbuatan itulah yang dapat dipidana. Jika diurut proses
melakukan tindak pidana (yang dolus), maka proses itu dimulai dari terbentuknya niat

7
A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Muhammad Malang, Malang.
2004 : 101

2
/ kehendak, kemudian perbuatan persiapan, lanjut dengan perbuatan pelaksanaan,
barulah dilihat : apakah dari perbuatan pelaksanaan itu menghasilkan tindak pidana
sempurna seperti yang dinginkan / dikehendaki atau tidak. Apabila pada ujung
perbuatan pelaksanaan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kehendak bathin,
maka terjadi tindak pidana selesai. Tetapi bila menghasilkan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kehendak bathin yang telah terbentuk semula, artinya kehendak tidak tercapai,
keadaan inilah yang disebut dengan “pelaksanaan tidak selesai”, maka disini telah
terjadi suatu percobaan yang pelaksanaannya tidak selesai atau kehendak bathin tidak
tercapai karena sebab bukan dari kehendak sendiri.8

c. Bahwa delik tidak dapat diselesaikan karena bukan semata-mata atas kehendak
sendiri. MvT menyatakan bahwa maksud syarat ketiga ini adalah merupakan jaminan
kepada seseorang yang dengan kehendak sendiri, dengan sukarela mengurungkan
pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai (vrijwillige terugtred). Unsur ketiga harus
dicantumkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh Penuntut Umum.
Pembuktian bagi sesuatu yang bersifat negatif sangatlah sukar, sebab jaksa harus
membuktikan bahwa pelaku telah memberhentikan perbuatannya tidak dengan
sukarela, agar Penuntut Umum dapat menuntutnya dan terdakwa dijatuhi pidana
karena percobaan. Tetapi hal itu kemudian diperingan oleh putusan HR tahun 1924
yang menjadi jurisprudensi, yaitu bahwa : “barangsiapa yang dengan sukarela
mengundurkan diri tidak dapat dipidana. Jadi apabila pengunduran diri itu tidak nyata,
maka adanya unsur ketiga tersebut dapat dibuktikan dari adanya suatu hal lain yang
cukup menerangkan apa sebabnya delik tersebut tidak selesai. Jadi tidak perlu
membuktikan bahwa pengunduran diri itu tidak dengan sukarela”. Berhubung dengan
putusan HR tersebut diatas, maka dalam hal ini Penuntut Umum, cukup menyebutkan
bahwa tuduhannya terhadap terdakwa dengan percobaan pembunuhan telah terbukti
dengan adanya permulaan pelaksanaan dan niat, serta tidak selesai karena
tembakkannya meleset. Langemeyer juga menyatakan tidak menyetujui pertimbangan
HR tersebut diatas, karena menurut teksnya apabila secara psikologis masih ada
kemungkinan sekali untuk mengadakan perubahan dalam niat terdakwa, disitu tidak
mungkin dikatakan bahwa penghalang dari luar itulah yang semata-mata menjadi
sebab kejahatan tidak selesai (dalam hal diatas adalah “melesetnya tembakkan“).
Pompe menentang pendapat Langemeyer dengan alasan bahwa kemungkinan

8
Adami Chazawi (1), 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 19-20

3
psikologis ini tidak ada dalam undang-undang, pendapat Pompe ini juga disetujui oleh
Moeljatno. Rumusan / ukuran yang sering diajukan adalah :“ ada pengurungan
sukarela jika menurut pandangan terdakwa dia masih bisa terus, tetapi tidak mau
meneruskan “.HR pada tahun 1889 menyatakan bahwa ia tidak dapat dituntut karena
percobaan sumpah palsu, hal ini disetujui oleh Vos, dengan alasan bahwa sebenarnya
ia masih dapat saja terus memberikan keterangan tidak benar, tetapi ia tidak benar,
tetapi ia tidak mau, maka hal inilah adalah pengunduran diri (pengurungan) secara
sukarela. Van Hattum tidak dapat menyetujui putusan tersebut, karena manurut
beliau, yang menyebabkan terdakwa menarik kembali keterangannya adalah karena
ketakutan dimasukkan penjara.

Adanya percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi unsur-unsur


(syarat-syarat) tersebut dalam Pasl 53 ayat (1) KUHP dan secara a contrario ada pula
percobaan kejahatan yang tidak dapat dipidana, yaitu jika salah satu unsur-unsur (syarat-
syarat) tidak terpenuhi, misalnya unsur (syarat) ketiga. Disamping itu ada pula percobaan
kejahatan yang secara tegas oleh UU ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada
percobaan penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat (5) KUHP), percobaan penganiayaan hewan
(Pasal 302 ayat (4) KUHP), percobaan perang tanding (Pasal 284 ayat (5) KUHP). Percobaan
melakukan pelanggaran tidak dipidana (dipertegas dengan adanya Pasal 54 KUHP).

C. Dasar Patut Dipidananya Percobaan

Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sebagai berikut:

1. Teori Subyektif

Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau
watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel

2. Teori Obyektif

Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat bebahayanya
perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu:

 Teori obyektif-formil : yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu


terhadap tata hukum.

 Teori obyektif-materil : yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan


itu terhadap kepantingan/ benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.

4
3. Teori Campuran

Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu: sikap batin
pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi
obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers.

Namun karena dalam kenyataannya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka
nampaknya lebih cenderung pada teori subyektif. Prof. Moelyatno dalam buku Nikmah
Rosidah dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan delik
percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu: yang obyektif (niat untuk
melakukan kejahatan tertentu) dan yang obektif (kejahatan telah mulai dilaksanakan tetapi
tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih
salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi
dua inti dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua kriteria tersebut (subyektif
dan obyektif). Di samping itu beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun teori
obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidakadilan.9

D. Percobaan yang tidak memadai (Ondeugdelijke Poging)

Percobaan yang tidak mampu (ondeugdelijke poging) itu terjadi, apabila seorang telah
melakukan perbuatan jahat yang dikehendaki untuk diselesaikan, akan tetapi walaupun ia
telah melakukan perbuatan-perbuatan yang diperlukan, kejahatan itu tidak dapat diselesaikan
bukan karena dihalang-halangi. Tidak mampu atau tidak dapat diselesaikannya kejahatan itu
dapat disebabkan karena objek atau sarananya, tetapi mungkin juga karena alat atau
sasarannya ( middel ), sehingga timbul masalah apakah perbuatan yang demikian ini dapat
dipidana atau tidak. Tidak mampunya itu dapat berbentuk :

a. Ketidak mampuan yang mutlak (absoluut ondeugdelijke)

Tidak mampu absolut berarti bahwa bagaimana pun juga kejahatan itu tidak mungkin
diselesaikan, hal ini baik mengenai objeknya (sasarannya) maupun mengenai alat /
sarananya (middel).

b. Ketidak mampuan relatif (relative ondeugdelijke).

Tidak mampu relatif berarti bahwa karena keadaan khusus, baik pada objek maupun
sasarannya, kejahatan itu menjadi tidak dapat diselesaikan.

9
Nikmah Rosidah, 2019, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan tindak Pidana, Bandar Lampung, Hal : 8

5
Apakah percobaan yang tidak memadai, terhadap pelakunya dapat dipidana. Untuk itu
haruslah dilihat perbuatannya sarana dan sasarannya yang menyebabkan tidak
diselesaikannya perbuatan itu. Kalau memang terjadi karena sasarannya atau sarananya
secara mutlak salah, yang menyebabkan tidak terselesaikannya kejahatan itu (ondeugdelijke
Middel) maupun ondeugdelijke obyek secara absolut) tentunya pelakunya tidak dapat
dipidana Relatieve ondeugdelijke obyek dan relatieve ondeugdelijke middel, dimana tidak
diselesainya pelaksanaan bukan karena kekeliruan sasaran atau sarana. Sasaran atau
sarananya sudah seperti yang dikehendaki pelaku. Akan tetapi tidak terjadi kejahatan itu
karena sasaran ataupun sarananya tidak memadai untuk sampai ke kejahatan yang
dikehendaki. Sebaiknya untuk kedua hal diatas dipergunakan istilah “sarana yang tidak
memadai” dan “sasaran yang tidak memadai”. Dalam hal demikian pelaku dapat dipidana
karena sasarannya atau pun sasarannya adalah benar, tidak keliru, akan tetapi tidak memadai,
sehingga tidak terselesaikan kajahatan itu. Itulah sebabnya terhadap kejadian tersebut pelaku
dapat dijatuhi pidana bahkan ada pendapat untuk tidak mengurangi ancaman pidananya
sepertiganya.10 Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa menurut sistem KUHP,
yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran
tidak dipidana.Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut Pasal 53 (2) KUHP
maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal)
yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Misal untuk percobaan pembunuhan (Pasal 53 jo
Pasal 338 KUHP), maksimumnya adalah 10 tahun penjara. Bagaimakah apabila kejahatan
yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, seperti halnya dalam
pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? Menrut pasal 53 (3) maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
menurut KUHP, maksimum untuk pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah
daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
tambahannya, menurut Pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai.11

10
Ibid, Hal 32
11
Ibid, Hal 33

6
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, Mr.J.M. van, 1987, Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil Bagian Umum,
Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami (1), 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Merpaung, Laden, 2009, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno (2), 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet. 27, Bumi
Aksara, Jakarta.

Rosidah, Nikmah, 2019, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan tindak Pidana, Bandar
Lampung.

Soedarjo, R., Uraian Tentang Pendapat, W.J.P , Pompe, Hukum Pidana II, Stensilan, 1974

Usfa, A. Fuad dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Muhammad
Malang, Malang. 2004.

Anda mungkin juga menyukai