Anda di halaman 1dari 26

Catatan Hukum Pidana

- Percobaan (poging) : tertangkap/dihakimi karena melakukan pencurian. Sedangkan


bagaimana pada kasus pembunuhan bisa dikatakan ebagai kasus percobaan tindak
pidana?
- Penyertaan : dalang utama dalam kasus korupsi blm bisa ditemukan tetapi
pihak yg membantu proses/kegiatan sudah ditangkap atas penangkapan pihak tsb hanya
sebagai perantas atas kejadian kasus tsb.
- Perbarengan tindak pidana : tindak pidana pemerkosaan di dalam ruang kelas
dikatakan sebagai pidana pemerkosaan & asusila.

Poging (Percobaan)
Mengenai percobaan melakukan tindak pidana dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal
53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
R. Soesilo menjelaskan bahwa menurut kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu
menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat
sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai. Misalnya bermaksud membunuh orang,
orang yang hendak dibunuh tidak mati; hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat
mengambil barang itu.

Menurut Pasal 53 KUHP, supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran tidak)


dapat dihukum, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;
2. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
3. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh
sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu
sendiri.

Apabila orang berniat akan berbuat kejahatan dan ia telah mulai melakukan kejahatannya itu,
akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati ia mengurungkan perbuatannya, sehingga
kejahatan tidak sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum atas percobaan pada kejahatan
itu, oleh karena tidak jadinya kejahatan itu atas kemauannya sendiri. Jika tidak jadinya selesai
kejahatan itu disebabkan karena misalnya kepergok oleh agen polisi yang sedang meronda,
maka ia dapat dihukum, karena hal yang mengurungkan itu terletak di luar kemauannya.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan syarat selanjutnya adalah bahwa kejahatan itu sudah
mulai dilakukan. Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan
pelaksanaan pada kejahatan itu.Kalau belum dimulai atau orang baru melakukan perbuatan
persiapan saja untuk mulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum.
Misalnya seseorang berniat akan mencuri sebuah sepeda yang ada di muka kantor pos. Ia
baru mendekati sepeda itu lalu ditangkap polisi. Andaikata ia mengaku saja terus terang
tentang niatnya itu, ia tidak dapat dihukum atas percobaan mencuri, karena di sini perbuatan
mencuri belum dimulai. Perbuatan mendekati sepeda di sini baru dianggap sebagai perbuatan
persiapan saja. Jika orang itu telah mengacungkan tangannya untuk memegang sepeda
tersebut, maka di sini perbuatan pelaksanaan pada pencurian dipandang telah dimulai, dan
bila waktu itu ditangkap oleh polisi dan mengaku terus terang, ia dapat dihukum atas
percobaan pada pencurian.

Selanjutnya apabila dalam peristiwa tersebut sepeda telah dipegang dan ditarik sehingga
berpindah tempat, meskipun hanya sedikit, maka orang tersebut tidak lagi hanya
dipersalahkan melakukan percobaan, karena delik pencurian dianggap sudah selesai jika
barangnya yang dicuri itu telah berpindah.

Yang kemudian perlu diketahui lagi adalah apa yang dimaksud dengan perbuatan
pelaksanaan dan perbuatan persiapan?

R. Soesilo menjelaskan (Ibid, hal. 69-70) pada umumnya dapat dikatakan bahwa perbuatan
itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang telah mulai
melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum memulai dengan
melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih harus dipandang
sebagai perbuatan persiapan. Suatu anasir dari delik pencurian ialah “mengambil”, jika
pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan diambil, itu berarti bahwa
ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut.

Dalam hal pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP), misalnya dengan membongkar,
memecah, memanjat, dan sebagainya, maka jika orang telah mulai dengan mengerjakan
pembongkaran, pemecahan, pemanjatan, dan sebagainya, perbuatannya sudah boleh
dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun ia belum mulai mengacungkan
tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi tiap-tiap peristiwa dan tiap-tiap macam
kejahatan harus ditinjau sendiri-sendiri. Di sinilah kewajiban hakim.

Mengenai perbuatan pelaksanaan dan perbuatan persiapan, Prof. Dr. Wirjono


Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 110-111),
mengutip Hazewinkel-Suringa, menyebutkan berbagai pendapat sebagai berikut:
1. Van Hamel, menganggap ada perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan
menggambarkan ketetapan dari kehendak (vastheid van voornemen) untuk melakukan
tindak pidana.
2. Simons, menganggap ada perbuatan pelaksanaan apabila dari perbuatan itu dapat
langsung menyusul akibat sebagai tujuan dari tindak pidana (constitutief gevolg),
tanpa perlu ada perbuatan lain lagi dari si pelaku.
3. Pompe, ada suatu perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan itu bernada membuka
kemungkinan terjadinya penyelesaian dari tindak pidana.
4. Zevenbergen, menganggap percobaan ada apabila kejadian hukum itu sebagian sudah
terjelma atau tampak.
5. Duynstee, dengan perbuatan pelaksanaan seorang pelaku sudah masuk dalam suasana
lingkungan kejahatan (misdadige sfeer).
6. Van Bemmelen, perbuatan pelaksanaan harus menimbulkan bahaya atau
kekhawatiran akan menyusulnya akibat yang dimaksudkan dalam perumusan tindak
pidana.
Oleh karena itu, pada akhirnya Hakim yang akan memutuskan apakah tindakan si pelaku baru
merupakan perbuatan persiapan atau perbuatan pelaksanaan.

Alasan hapusnya penuntutan:


- Korupsi yg dilakukan oleh seorang tekdakwa kemudian selama di penjara menimbulkan
kasus baru dimana perbuatan/pelanggarann yang lama baru terungkap selama proses
pemeriksaan & persidangan tiba-tiba terkdakwa meninggal akhirnya tindak lanjut dari
kasus tsb ditutup dan dihapusnya penuntut
- Perbuatan KDRT dimana pihak yang menerima perbuatan kekerasan tidak melakukan
pengaduan atas perbuatan suaminya berarti secara hukum pihak berwajib tidak bisa
menangkap suaminya tanpa adanya pengaduan dari pihak istrinya. Huum baru bertindak
jka ada pengaduuan dari pihak yg bersangkutan.
Penuntutan menurut pasal 1 ayat (7) KUHAP adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.

Hak penuntutan ditentukan undang-undang hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa yang
diberi wewenang oleh kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8
Tahun 1981 Pasal 13 dan 14 di lingkungan peradilan umum dan oditur militer berdasarkan
pasal 17 ayat 3 UU No. 1 Drt tahun 1958 di lingkungan peradilan militer. Dalam Pasal 14
KUHAP tindakan penuntutan itu adalah sebagai berikut:

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4 dengan memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan dasar penyidik
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah status tahanan stelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
4. Membuat surat dakwaan
5. Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yag disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan
7. Melakukan penuntutan
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini
10. Melaksanakan penetapan hakim.

Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dapat dijumpai dalam KUHP antara lain :

1. Buku I Bab V, yaitu dalam pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit
dan pencetak itu tidak dapat dituntut apabila pada benda-benda yang dicetak dan
diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama-nama serta alamat orang yang telah
menyuruh mencetak benda-benda tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah
ditegur kemudian telah memberi julukan nama dan alamat orang tersebut.
2. Buku I Bab VII yaitu dalam pasal 72 KUHP dan selanjutnya, yang menambah bahwa
tidak dapat dilakukan suatu penuntutan apabila tidak ada pengaduan.
3. Buku I Bab VIII yaitu dalam pasal 76, 77, 78 dan pasal 82 KUHP yang mengatur
tentang hapusnya hak untuk melakukan penuntutan.

Alasan-alasan hapusnya hak menuntut adalah:

1. Telah ada putusan hakim yang tetap mengenai tindakan yang sama (ne bis in idem)
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yaitu:

(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan
swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu
dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

- putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
- putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
2. Terdakwa meninggal dunia
Hal ini daitur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi “ Kewenangan menuntut pidana
hapus, jika tertuduh meninggal dunia” .
3. Perkara tersebut Daluwarsa (verjaring)
Dalam pasal 78 ayat 1 KUHP yaitu yang berbunyi:
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
- mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan
sesudah satu tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, sesudah delapan belas tahun.
4. Terjadinya penyelesaian diluar persidangan (Afdoening Buiten Process)
Suatu penyelesaian yang hanya dapat dilaksanakan atas perkara yang ancaman hukum
pokoknya hanya denda saja, karena selain perkara-perkara semacam ini, semuanya harus
diselesaikan melalui sidang. Alasan ini diperjelas dalam pasal 82 KUHP.
Hapusnya hak penuntutan yang diatur di luar KUHP berdasarkan “hak pregoratif
presiden”
a. Abolisi
Wewenang Kepala Negara dengan UU untuk menghentikan atau meniadakan segala
penuntutan tentang satu atau beberapa orang tertentu.
b. Amnesti
Wewenang Kepala Negara dengan UU atau atas kuasa UU yang dengan pemberian
amnesti ini, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang telah
melakukan sesuatu delik dihapuskan atau dihentikan.
c. Grasi
Wewenang Kepala Negara dengan UU menggugurkan untuk menjalani hukuman
atau sebagian hukuman.

Sanksi

Pengertian dan hakekat sanksi hukum

- Sanksi hukum adalah hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yg melanggar hukum.
- Merupakan bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam
pelaksanaan kewajibannya untuk memastikan ditaatinya hukum

Sanksi Pidana (Dijatuhkan kepada seseorang yg telah melanggar ketentuan hukum pidana.
Sanksi yg dijatuhkan dalam hukum pidana mengakibatkan perampasan kebebasan (hukuman
penjaran), harta benda (penyitaan), kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati). Oleh
karena itu dalam penerapan hukum pidana harus mendasarkan pada hukum acara pidana yg
jelas. Hal ini untuk memberikan hak kepada seseorang untuk membela diri, berkaitan pula
dengan penerapan asas legalitas.

Stelsel sanksi = makna sanksi bisa bersifat positif dan negatif, dimana kita ketahui bahwa :

- Sanksi positif bisa berupa reward


- Sanksi negatif (pidana, tindakan)

Sanksi pidana adalah ancaman hukuman yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Anselm Von Feuerbach dengan ajarannya yang terkenal dengan
“Tekanan Psikologis” (de psychologiesche dwang), yaitu bahwa ancaman hukuman akan
menghindarkan orang lain dari perbuatan jahat (Satochid Kartanegara:tanpa tahun:56).

Penerapan sanksi pidana yang tegas diharapkan dapat menekan meningkatnya pencurian
tenaga listrik secara kuantitas maupun kualitas. H. L. Packer didalam bukunya “The Limit Of
Criminal Sanction”, menimbulkan antara lain sebagai berikut:
1. Sanksi pidana sangatalah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang ataupun dimasa
yang akan datang, tanpa pidana.
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik atau prime
threatener dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara
hemat cermat atau prudently dan secara manusiawi atau humanly, ia merupakan suatu
pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (Muladi, Barda
Nawawi Arief, 1984:155-156)

Bentuk-bentuk sanksi pidana


Bentuk-bentuk sanksi tercantum pada pasal 10 KUHP dengan membedakan antara pidana
pokok dan pidana tambahan, yaitu:
 Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Denda
5. Pidana Tutupan (terjemahan BPHN)
 Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu (Ex. Setnov, dicabut hak politiknya selama 5 tahun)
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

Dalam hal ini hanya akan diuraikan satu-persatu tentang bentuk-bentuk pidana pokok.
 Pidana Mati
Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan dengan jalan menjerat tali yang
terikat di tiang gantungan leher pidana, kemudian algojo menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri. Kemudian Staatblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh
Belanda menyatakan bahwa pidana mati dijalankan dengan jalan tembak mati.
Staatblad ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaga
Negara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun
1969.
 Pidana Penjara
Pidana penjara adalah adalah pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan, yang
bukan saja tidak merdeka berpergian tetapi juga kehilangan hak-hak tertentu, seperti
hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak untuk memangku jabatan publik,
hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan, hak untuk mendapat perizinan-
perizinan tertentu, hak untuk mengadakan asuransi hidup, hak untuk tetap dalam
ikatan perkawinan, hak untuk kawin dan hak-hak sipil lainnya. Pidana penjara
bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai penjara seumur hidup, yang
hanya tercantum apabila ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup
atau pidana penjara dua puluh tahun). Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum
15 tahun.
 Pidana Kurungan
Pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana
penjara karena pidana kurungan diancam kepada delik-delik yang dipandang ringan
seperti delik culpa dan pelanggaran, dimana dimana jangka waktu pemidanaannya
lebih pendek dibandingkan dengan pidana penjara.
 Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua yang terdapat setiap masyarakat.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan. Oleh karena itu, pidana denda
merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
Walaupun denda dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana pribadi, tidak ada
larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. Denda
dalam perkara pidana dibayarkan kepada negara atau masyarakat, yang apabila tidak
dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan. Dan pidana denda tersebut tetap
dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada
korban.
 Pidana Tutupan
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10
dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok dibagian akhir, dibawah pidana
denda. Pencantuman ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946
tentang Pidana Tutupan. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan
kejahatan yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Jadi dalam hal ini, hakim boleh
menjatuhkan pidana tutupan terhadap mereka yang melakukan kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, pidana tutupan tidak pernah
diterapkan.

Pidana

Penderitaan yang diberikan oleh negara kepada terpidana melalui aparat penegak hukum
melalui proses penyelidikan berdasarkan pengaduan & diputuskan oleh hakim.
Contoh : Setiap tindakan medis yg dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus “inform
concern”, jadi jika dokter menangani pasien tidak ada inform concern itu bisa dikataka tindak
pidana dan dalam menangani tidak sesuai dengan SOP dokter/malapraktek itu dikatakan
pidana.
Tindak Pidana adalah perbuatan (tindak pidana dalam pengertian yuridis bukan tindak
pidana persepsi masyarakat)
- Jika perbuatannya secara tegas diatur sebagai tindak pidana oleh badan hukum
- Tindakan pidana tidak semata-mata dipandang melanggar larangan tetapi juga
melanggar perintah
Contoh: Ada kecelakan, kemudian orang tsb hanya melihat dan tidak menolong korban dan
kemudia korban meninggal maka orng tsb bisa dikatakan sebagai tindakan pidana.

Fungsi hukum pidana


a. Fungsi bersifat ultimum remidium
Adalah sarana/obat terakhir (hukum pidana dengan sanksi yg keras baru digunakan
manakala sanksi-sanksi yang lain tidak memadai) artinya digunakan ketika sanksi yg
lain tidak memadai untuk mengatasi masalah tsb/ menyelesaikan perkara.

Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium inidapat diartikan


bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai
sanksi terakhir. Artinya, dalam suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi
administratif atau sanksi perdata, kemudian baru diatur tentang sanksi pidana.
Jadi apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai
tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan
juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak
pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi
pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang. Namun memang dalam
perkembangannya penerapan ultimum remedium ini mengalami kendala – kendala
karena apabila suatu perbuatan sudah dianggap benar – benar merugikan kepentingan
negara maupun rakyat baik menurut UU yang berlaku maupun menurut perasaan
sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidanalah yang menjadi pilihan utama
(premium remedium).
Asas subsidearitas
Adalah hukum pidana digunakan ketka sarana lain tidak memadai. Penerapan
instrumen hukum pidana yg dilakukan sebagai tambahan (subsider) manakala
instrumen hukum lainnya tidak berfungsi, atau penerapan hukum pidana merupakan
ultimum remidium (upaya/obat terakhir).
Instrume HP hanya digunakan bila:
1. Sanksi bidang hukum lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan
alternatif penyelesaian sengketa tidak efektif
2. Tingkat kesalahan pelaku relatif berat/atau
3. Akibat perbuatannya relatif besar dan /
4. Perbuatannya menimbulkan keresahan masyarat

b. Premum Premidium (upaya yg utama)


- Sanksi hukum diutamakan sebagai tindak pidana tertentu. Ex. Terorisme, TPK
- Tindak pidana yg membahayakan negara. Ex. Makar (tipu daya) (pengamanan
terhahap pengkritk negara)
Makar menurut KUHP
Pasal 107 KUHP Kejahatan terhadap keamanan negara
(1) Makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun
(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun
Pasal 107 a (UU No. 27/99)
Barangsiapa yang secara melwan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana
dengan penjara paling lama 12 tahun
Pasal 107 b (UU No. 27/99)
Barangsiapa yang secara melwan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara yg berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda dipidana
dengan pidana penjara paling lama 20 tahun
Pasal 107 c (UU No. 27/99)
Barangsiapa yang secara melwan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme yg berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat atau
menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta bensa, dipidana degan pidana penjara
paling lama 15 tahun
Pasal 107 d (UU No. 27/99)
Barangsiapa yang secara melwan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
tahun
Pasal 107 e (UU No. 27/99)
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun:
b. Barangsapa yg mendirikan organisasi yg diketahui atau patut diduga menganut
ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau dalam segala bentuk dan
perwujudannya; atau
c. Barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan
kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yg diketahuinya
berasakan ajaran komunisme/marxisme leninisme atau dalam segala bentuk
dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan pemerintah yg sah

Pasal 107 f (UU No. 27/99)


Dipidana karena sobotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20
tahun:
a. Barangsiapa yg secara melwan hukum mersuk, membuat tida dapat dipakai,
menghancurkan, atau memusnahkan instlasi negara atau militer, atau
b. Barangsiapa yg secara melawan hukum menghalangi atau menggaalkan
pengadaan aau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang
banyak sesuai dengan kebijakan pemerintah
Pergeseran sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya
(ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama)

Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat
dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini
dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar
biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat. Sehingga dalam hal ini tidak lagi
mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila
langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana
tersebut. Dan kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum
remedium) lagi, banyak perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan aturan UU yang
berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana
sebagai pilihan utama (premium remedium). Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap
anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah
untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya
pejatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat
menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak
dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana
maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi
perbuatannya, hakim masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas
agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum
remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor
– faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap
tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum Pidana
tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.

Dengan demikian menurut saya penerapan asas subsidiartias hukum pidana atau asas
ultimum remidium hanya berlkau untuk delik tindak pidana sedangka untuk delik
tindak pidana lainnya secara acontrario penerapan instrumen hukum pidana dapat
menjadi upaya yg utama (premiuum remidium).
Tujuan Dikenakan Sanski
a. Preferensi spesial/khusus
adalah dengan memidana pelaku tindak pidana terpidana agar pelaku yg terlibat
menimbulkan rasa jera/tkt

b. Preferensi general/penegakan umum


Adalah dengan dikenakannya pidaha/hukuman/penderitaan kepada pelaku tindak pidana,
masyarakat sebagai pelaku potensia secara umum diharapkan tidak akan melakukan
tindakan/perbuatan yang dikategorikan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh terpidana.

Hal ini dilatarbelakangi teori paksaan psikologis.


Contoh : OTT ( Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan oleh KPK, diharapkan tindakan
tersebut menjadi perubahan pola pikir ke masyarakat di sekitarnya untuk menjadi tkt untuk
melakukan perbuatan tsb.

Sumber Hukum Pidana


a. Sumber hukum tertulis
Kodifikasi = KUHP
Adapun KUHP terdiri dari 3 buku yakni:
1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan sistem di luar
kodifikasi. Sistem yang terkodifikasi adalah apa yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP
tersusun berbagai jenis perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana
dapat dihukum. Namun di luar KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang
perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana. Dalam hal ini,Loebby
Loqman membedakan sumber-sumber hukum pidana tertulis di Indonesia adalah :
Sumber hukum pidana tertulis yaitu:
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;
3. Undang-undang Hukum Pidana Khusus;
4. Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.

Sistem hukum Indonesia juga mengenal adanya tindak pidana di luar KUHP. Inilah yang
disebut sebagai tindak pidana khusus dalam arti sebenarnya. Contoh undang-undang ini
adalah Undang-undang Anti Korupsi, Undang-undang Money Laundrey, UU Traficking dan
lain sebagainya.

Sumber Hukum :

1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana


2. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi.
3. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
4. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.

Tidak kodifikasi = Undang-undag atau peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah
b. Sumber hukum tidak tertulis
Hukum pidana adat

1. Hukum Adat Sunda


Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat Sunda masih dipelihara
dan dihormati. Dalam daur hidup manusia dikenal upacara-upacara yang bersifat
ritual adat seperti: upacara adat Masa Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa Anak-anak,
Perkawinan, Kematian dll. Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan keagamaan
dikenal upacara adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan sebagai ungkapan
rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin dunia dan akhirat.

2. Hukum Adat di Papua


Hukum adat di Papua lebih dihormati daripada hukum nasional, sehingga meskipun
suatu peristiwa telah diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
masyarakat akan tetap meminta untuk memberlakukan hukum adat.
Contoh hukum adat di Papua yang diberlakukan kepada seseorang yang
mengakibatkan seseorang meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas adalah
diminta untuk mengganti kerugian dengan uang dan ternak babi.
Jumlah yang diminta dalam penggantian kerugian tersebut relatif besar sehingga bisa
dipastikan akan memberatkan pelaku untuk membayar biaya ganti rugi dalam bentuk
kas dan ternak babi.

3. Hukum Adat di Bali


Hukum adat di Bali yang dapat diuraikan disini adalah yang berkaitan dengan waris.
Dalam sistem pewarisan di Bali, anak laki-laki merupakan ahli waris dalam keluarga
sedangkan anak perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta yang
ditinggalkan orang tua atau suami. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki dianggap
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga sedangkan anak perempuan
harus dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar di lingkungan keluarga suami.
Pada tahun 2010, telah ada perubahan terhadap ketentuan hukum adat ini. Dimana
perempuan juga dianggap berhak untuk menerima setengah dari hak waris purusa
setelah dipotong sepertiga bagian untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian.
Namun ketentuan tidak berlaku bagi perempuan
Bali yang pindah ke agama lain. Hal ini didasarkan pada Keputusan Majelis Utama
Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tertanggal
15 Oktober 2010,tentang 1Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali.

Asas Konkordasi (Asas Penyesuaian)


Dimana hukum yang dimasukkan ke negara lain.
Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau
hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa
yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang
Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata
yang berlaku di negeri Belanda.
Asas Konkordansi yang tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (“IS”) untuk orang
Eropa sudah berlaku semenjak permulaan kekuasaan Belanda menduduki Indonesia.
Contoh perundang-undangan yang diberlakukan atas asas konkordansi adalahBurgerlijke
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang).
Restorice Justice (Upaya perbaikan yang dilakukan oleh pelaku terhadap semua dampak yg
ditimbulkan)

Bagian Umum & Khusus HP


- Bagian umum terdapat dalam BK I KUHP (ps. 1 – 103)
- Bagian khusus terdapat dalam BK II KUHP (Kejahaan ) (ps 104 – 488 ) dan BK III
KUHP (Pelanggaran) (ps. 489 – 569)

Asas berlakunya HP
1. Menurut waktu (Kpn)  legalitas
Ps. 1 ayat 1 KUHP :
- Suatu tindak pidana harus dirumusan/ disebut dalam UU
- Peraturan per UU harus ada sebelum perbuatan dilakuan (berarti ketentuan hukum
berlaku ke depan)
- Tidak rectroaktif (asaa berlaku surut)
Kecuali Jika ada perubahan UU dan menguntungkan terdakwa Ps 1 (2) maka suatu
peratura pidana berlaku surut dengan syarat sifatnya kumulatif antara lain;
- Harus ada perubahan
- Menguntungkan
- Terdakwa
Tiga Persoalan Pokok HP (Materil) /Substantif
a. Perbuatan (tindak pidana)
b. Orang (Kesalahan/pertanggungjawabkan)
Mainsrea = sikap batin yang jahat
Ex. Niat pelaku. Ada 2 hal yang mendasari niat pelaku dalam berbuat yang satunya
niat perbuatannya ingin melakukan kejahatan tetapi ada juga niatnya menolong
c. Pidana (Sanksi)

Perbuatan yang dapat dipidana itu masih dapatdibagi menjadi :


- Objek (perbuatan yang dilarang oleh undang-undang)
- Subjektif (diri orang/pelaku – orang yg melanggar larangan itu)
Tindak pidana (Yuridis) merupaka perbuatan yang secara abstracto terwujud dalam
rumusan undang-undang. Bukan “perbuatan” atau “kejahatan” (crime; verbrechen, atau
perbuatan jahat) dalam persepsi masyarakat tetapi perbuatan jahat dalam arti hukum pidana.
Konsekuensinya, tidak semua perbuatan jahat dalam persepsi masyarakat merupakan tindak
pidana (harus melalui kriminalisasi, memenuhi asas legalitas Ps. 1 (1) KUHP.

Elemen perumusan delik (EPD) terdapat 2 elemen:


1. Bagian yang objektif (anasir perbuatan) dan akibat yang melawan hukum (anasir
melwan hukum/onrechtmatig)
2. Bagian subjektif (anasir kesalahan)

Unsur TP Aliran Monilistik


- TP : Keseluruhan syarat pemidanaan
- Mensyaratkan unsur objektif (patut dipidananya perbuatan) & unsur subjektif (patut
dipidanan orangnya)
- Pidana = TP
a. Perbuatan
b. Memenuhi UU
c. Ber-SMH (Sifat Melawan Hukum)
d. Kemampuan bertanggungjawab
e. Dolus/Culpa

Unsur TP Aliran Dualistik


- TP : sebagian syarat pembidanaan
- Memisahkan TP & Pertanggungjawaban (Kesalahan)
- TP : hanya unsur objektif/lahiriah
- Pidana = TP + Pertanggungjawaban (Kesalahan)
TP (Perbuatan, memenuhi UU, Sifat Melwn Hukum)
PJP (Kemampuan bertanggung jawab, dolus/culpa, tidak ada alasan pemaaf)

Putusan terbagi menjadi tiga:


a. Putusan pidana (didakwa terbukti tindak pidana)
b. Putusan lepas (didakwa terbukti tapi bkn tindak pidana)
c. Putusan bebas (apa yang didakwakan tidak terbukti )
Cara Merumuskan Norma
Dalam HP terdapat norma & saksi
a. Bagaimana cara kita membaca norma dalam aturan?
Misalnya dalam pasal 338
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan....”

Pengertian Hukum Pidana


Hukum pidana ialah hukum yang mengatur suatu pelanggaran terhadap undang-undang yang
telah ditetapkan,suatu pelanggaran dan suatu kejahatan terhadap suatu kepentingan umum
dan suatu kepentingan individu, dan barang siapa yang memperbuat yang dilarang dalam
suatu hukum pidana akan diancam dengan sanksi pidana yang telah ditentukan apa yang
diperbuat oleh sih pelanggar tersebut. Hukum pidana juga merupakan hukum yang menjaga
suatu stabilitas dan suatu lembaga moral yang memiliki peran merehabilitasi para pelaku
pidana.

Tujuan Hukum Pidana


 Untuk melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia)
untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan suatu
perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan di satu pihak dari
tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugiakan dilain pihak.
 Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak
baik akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
 Untuk mendidik seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar agar tidak
melakukan lagi, dan agar diterima kembali dilingkungan masyarakat.
Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau yang melakukan
perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk orang yang sudah terlanjur berbuat
tidak baik.

Aliran klasik : Hukum pidana bertujuan untuk menakut-nakuti setiap orang, agar tidak
melakukan perbuatan yang tidak baik (delik)
Menurut aliran ini, tujuan hukum pidana bermaksud untuk melindungi individu-individu
dari kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang.

Aliran Modern : Hukum pidana bertujuan untuk mendidik orang yg telah melakukan
perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kedalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut aliran ini, hukum pidana bertujuan untuk melindungi setiap orang dari tindaj
kejahatan dan pelaku kejahatan, oleh sebab itu, aliran ini dipengaruhi
oleh kriminologi.

Fungsi Hukum Pidana


1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama saja dengan fungsi
hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.

2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum
terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman
yang berupa pidana yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan
yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan
aturan-aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan
Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi

Di dalam KUHP, Korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal . hal ini
dikarenakan KUHP adalah warisan dari Pemerintah kolonial Belanda. Diterimanya
korporasi dalam pengertian badan hukum atau konsep pelaku fungsional (functional
daderschap) dalam hukum pidana merupakan perkembangan yang sangat maju
dengan menggeser doktrin yang mewarnai Wetboek van strafrecht (KUHP)
yakni “universitas delinguere non potest” atau“societas delinguere non potest” yaitu
badan hukum tidak dapat melakukan tindak PIDANA. alasan yang menyatakan
bahwa badan hukum perusahaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
didasari oleh pemikiran bahwa :
• Perusahaan tidak memiliki “mens rea” (keinginan untuk berbuat jahat)
• Perusahaan tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan yang aktual (abstrak),
no body to be kicked.
• Perusahaan bukan seorang /individu /pribadi ,walaupun badan hukum
dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang
pribadi /pengurusnya .
• DOKTRIN ULTRA VIRES yaitu
- Jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu perusahaan ‘hal mana dapat
dipastikan bahwa direksi telah melanggar anggaran dasar perusahaan.
- Oleh karena itu menurut doktrin ultra vires ,yang bertanggung jawab adalah
direksinya secara pribadi atau secara bersama sama dengan direksi lain,dan
perusahaan tidak ikut bertanggung jawab.

Saat ini dengan pengaruh perkembangan dunia usaha nasional yang semakin
berkembang pesat dimana orang-orang dapat bertindak sebagai atau mewakili
kepentingan korporasi dan menjadikan korporasi sebagai kendaraan untuk
melakukan kejahatan dan pencucian uang hasil kejahatan, maka dalam aturan
hukum dan peraturan perundang-undangan kita telah menempatkan korporasi
sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya.
Pemikiran menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta
pertanggungjawaban pidana adalah didasari oleh beberapa pertimbangan
diantaranya
- Walau korporasi sendiri dalam melaksanakan kegiatannya tidak melakukan sendiri
tetapi melalui orang atau orang-orang yang merupakan pengurus dan pegawainya
namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan manfaat ,
terutama berupa keuntungan finansial ataupun mengurangi kerugian finansial bagi
korporasi yang bersangkutan, maka tidak adil bagi masyarakat apabila korporasi
tidak harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan pengurus dan pegawainya
- Bahwa tidak cukup hanya membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
pengurus korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya, karena pengurus jarang
memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda yang
dijatuhkan kepadanya untuk biaya sosial yang harus dipikul sebagai akibat
perbuatannya itu.
- Mempertanggungjawabkan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan tindakan
korporasi akan mencegah korporasi lain untuk melakukan korupsi.

Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka permasalahan


yang muncul adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam hukum pidana, yaitu apakah badan hukum (korporasi)
mempunyai kesalahan baik berupa kesengajaan maupun kelalaian ?
Bahwa perlu diketahui, tidak setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan
sendirinya harus dipidana, karena untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana.
Moeljatno dalam bukunya asas-asas hukum pidana menulis “ untuk adanya
penjatuhan pidana terhadap pelaku diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya
perbuatan pidana, lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya “schuld –
kesalahan”. Schuld baru ada sesudah ada “unrecht-sifat melawan hukum"
Unsur-unsur kesalahan adalah :
- Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat artinya keadaan jiwa si
pembuat harus normal
- Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan/dolus atau kealpaan/culpa
- Tidak adanya kesalahan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan
alasan pembenar.
Kesimpulannya adalah kesalahan (schuld) adalah unsur dan merupakan syarat
mutlak bagi adanya pertanggungjawaban untuk dapat dipidananya si pembuat.
Dalam bahasa lain tapi memiliki esensi yang sama disampaikan oleh Chairul Huda
(dalam bukunya dari pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan) bahwa dasar adanya pidana adalah
asas legalitas. Sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan.
Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan masalah pertangungjawaban
pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban
orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Teori pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan pada


korporasi yaitu :
1. Teori Strict Liability (tanggung jawab mutlak) yaitu pertanggungjawaban
pidana yang harus dilakukan tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya.

Strict liability adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, dimana si


pembuat sudah dapat dipidana apabila dia telah melakukan perbuatan pidana
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana
sikap batinnya.
Dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanya
dugaan (foresight) atau pengetahuan (knowledge) dari pelaku, sehingga hal
itu sudah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban ini sering diartikan dengan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan.
Sebagai contoh limbah pabrik yang mencemari sungai merupakan tindak
pidana yang bersifat strict liability . asal telah terjadi pencemaran yang
berasal dari limbah pabrik, langsung dapat dituntut pertanggungjawaban
pidananya tanpa membuktikan adanya mens rea berupa kesengajaan atau
kelalaian dari pelaku.

2. Teori vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti) yaitu suatu


pertanggung jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas
perbuatan orang lain.

Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang


atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Kedua orang tersebut
harus mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan, atau
hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan, perbuatan yang
dilakukan pekerja tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Di dalam vicarious liability adanya pengalihan pertanggungjawaban pidana


kepada orang lain. Orang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Dalam
teori ini, korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh
pegawai atau pengurus, kuasanya atau mandatarisnya atau siapapun yang
mempunyai hubungan kerja dengan korporasi. Doktrin ini sejalan dengan
perintah berdasarkan garis komando. Misalnya bawahan yang bertindak dan
bersalah, komandan yang mengambil atau turut bertanggungjawab.

Agar perseroan tidak dijadikan kendaraan melakukan tindak pidana. Hukum


pidana harus mengadopsi doktrin vicarious liability (pertanggungjawaban
pengganti) dengan alasan dan kajian yaitu :
a. Pertanggungjawaban dan kesadaran orang mengontrol dan
menjalankan kegiatan korporasi menjelma dan menyatu menjadi
perbuatan dan kesadaran perseroan.
b. Dewan direksi, manajer, dan pejabat tinggi yang melaksanakan fungsi
manajemen, berbicara dan berbuat seperti korporasi itu sendiri.
c. Personalisasi perseroan adalah fiksi hukum, kesadaran dan
tindakannya identik dengan kesadaran dan perbuatan direksi atau
pejabat senior korporasi.

Contoh kasus untuk vicarious liability sebagai berikut :


X, seorang pemilik tempat menjual makanan dan minuman telah melarang Y (manajer rumah
makkan/minum tersebut) untuk mengizinkan atau menyediakan pelacuran di tempat itu,
tetapi Y telah melanggarnya. X tetap dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan. Dasar
pertimbangannya antara lain dikonstruksikan sebagai berikut: “X telah mendelegasikan
kewajibannya kepada Y sebagai manager. Ia telah melimpahkan pelaksanaan dari
kebijaksanaan tindakan di bidang perdagangan itu kepada manager, ini berarti hanya ada
suatu kesimpulan yaitu bahwa pengetahuan si manager adalah pengetahuan dari si pemilik
rumah makan/minum itu.”
Lain halnya jika misalnya x sebagai pemilik restoran telah menyatakan kepada pelayannya Y,
untuk tidak menjual minuman keras kepada orang-orang yang tidak membeli makanan.
Dalam hal Y, si pelayan, telah melangar, X tidak dapat dinyatakan bersalah atas pelanggaran
UU.
Di Indonesia, sampai sekarang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) belum
menganut asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Walaupun demikian, para
pembuat undang undang dan akademisi sudah mengisyaratkan akan memberlakukan doktrin
ini dalam hukum pidana yang akan datang. Sebagaimana dikatakan Mardjono Reskodiputro,
doktrin vicarious liability dari sistem hukum Anglo-Amerika perlu di adaptasikan (atau
dicangkokkan) pada sistem hukum Indonesia yang berasal dari sistem hukum eropa
kontinental[10]. Isyarat ini dapat dilihat dalam RKUHP tahun 2012, dalam pasal 38
dirumuskan :
(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat
dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan.
(2) Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Menurut saya, doktrin vicarious liability dari sistem hukum Anglo-Amerika perlu di adopsi
oleh sistem hukum pidana Indonesia. Pertama, ajaran ini diharapkan akan
memberikan deterrence atau pencegahan sekaligus pembinaan, agar pemberi kerja (atasan)
senantiasa melakukan pengawasan terhadap kinerja bawahannya, karena mereka harus
bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pekerjanya apabila ia melakukan
tindak pidana dalam lingkup tugasnya. Kedua, ajaran ini merupakan perluasan
pertanggungjawaban pidana, yang mana selama ini atasan atau perusahaan selalu berlindung
dari keharusan memikul pertanggungjawaban pidana dengan dalih telah mendelegasikan
kegiatan-kegiatan perusahaan yang berpotensi illegal kepada pegawainya.
Pemberlakuan doktrin vicarious liability di Indonesia dalam masa yang akan datang, harus
dilakukan dengan pembatasan-pembatasan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh para
pakar diatas. Diantaranya hanya perbuatan yang ditentukan oleh undang undanglah yang
dapat dimintai pertanggungjawaban secara vikarius (pasal 38 ayat 2 RKUHP Tahun 2012).
Hal ini bertujuan untuk tetap menghormati dan melindungi hak asasi manusia sebagai hak
dasar warga negara.

Jadi strict liability dan vicarious liability adalah sama-sama tidak


mensyaratkan mens rea atau unsur kesalahan. Lalu pertanyaannya
adalah kesalahan siapakah yang dapat dianggap kesalahan korporasi ?
Berdasarkan strict liability dan vicarious liability, Kesalahan yang dibebankan
kepada korporasi merupakan kesalahan yang dilakukan pengurus korporasi. Karena
korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara
pengurusnya baik berdasarkan teori pelaku fungsional maupun teori identifikasi,
(Teori tentang pertanggungjawaban korporasi diantaranya teori identifikasi yaitu
bahwa perbuatan/kesalahan pejabat senior diidentifikasi sebagai perbuatan /
kesalahan korporasi), maka penentuan kesalahan korporasi adalah dengan melihat
apakah pengurus, yang bertindak untuk dan atas nama korporasi memiliki
kesalahan. Jika jawabannya adalah iya, maka korporasi dinyatakan bersalah atas
tindak pidana yang dilakukannya, demikian juga sebaliknya. Kesalahan yang ada
pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi itu sendiri.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi ada
empat :
1. Pengurus korporasi yang melakukan tindak pidana, pengurus yang
bertanggungjawab
2. Korporasi yang melakukan tindak pidana , pengurus yang bertanggungjawab
3. Korporasi yang melakukan tindak pidana, korporasi yang bertanggungjawab.
4. Pengurus dan korporasi yang melakukan tindak pidana, maka keduanya yang
harus bertanggung jawab.

Penentuan kesalahan korporasi tersebut dapat dikaitkan dengan tahap kedua


pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yaitu korporasi melakukan
tindak pidana tapi tanggungjawab pidana dibebankan kepada pengurus.
Hal yang dapat dipakai sebagai alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan
sekaligus yang bertanggung jawab adalah karena dalam berbagai delik ekonomi dan
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat
dapat demikian besarnya. Korporasi juga kerap dijadikan tempat penampungan hasil
kejahatan yang belum tersentuh, padahal seharusnya bisa disentuh.
3. Teori doctrine of delegation yaitu teori yang menjadi dasar pembenar untuk
membebankan pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai korporasi,
dengan adanya pendelegasian wewenang kepada seseorang untuk mewakili
kepentingan perusahaan

4. Teori identifikasi yaitu teori yang digunakan untuk memberikan pembenaran


pertanggung jawaban pidana korporasi, meskipun pada kenyataannya
korporasi bukanlah sesuatu yang bisa berbuat sendiri dan tidak mungkin
memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu, artinya korporasi dapat
melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-orang yang memiliki
hubungan erat dengan korporasi.

5. Teori corporate organs, yaitu teori menunjuk pada orang-orang yang menjalankan
kewenangan dan pengendalian dalam badan hukum, dengan kata lain, orang yang
mengarahkan dan bertanggung jawab atas segala gerak gerik badan hukum, orang
yang menetapkan kebijakan korporasi, dan orang yang menjadi otak dan pusat
syaraf dari korporasi tersebut.dengan demikian otak dari korporasi merupakan
organ penting dari korporasi sehingga bisa dimintakan pertanggung jawaban pidana
korporasi.

Teori identifikasi dan Teori corporate organs


Salah satu teori mengatakan perbuatan dan kesadaran fungsionaris perseroan
identik dengan perbuatan dan kesadaran perseroan. Oleh karena itu semua
fungsionaris adalah otak dan tangan perseroan. Lalu timbul pertanyaan: pejabat
fungsionaris mana yang dianggap identik menjadi otak dan tangan korporasi ?
Menurut UU PT Nomor 40 tahun 2007, pasal 1 angka 2 anggaran dasar perseroan
adalah RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. Kemudian menurut pasal 2 angka 5 Jo.
Pasal 98 ayat (1) UU PT 2007 , organ yang berwenang mewakili perseroan kedalam
dan keluar adalah Direksi, sehingga Direksi berfungsi sebagai kuasa menurut
Undang-undang untuk mewakili perseroan.
Menurut teori organ, suatu perseroan terbatas diurus dan diwakili pengurusnya.
Lalu pengurus suatu PT bisa diidentikkan dengan PT nya sebagaimana teori
identifikasi. Direksi ditempatkan sebagai organ PT yang bisa diidentikkan sebagai PT
sendiri.
Jadi jika pengurus PT memiliki mens rea (kesalahan), mens reanya bisa dianggap
sebagai mens rea korporasinya. Dalam hal demikian, korporasinya bisa diminta
pertanggungjawaban pidana.
Ada 3 elemen untuk bisa meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu :
1. Pengurus atau wakil korporasi itu harus mempunyai kewenangan dalam
bertindak untuk kepentingan korporasinya dalam lingkup kewenangannya.
2. Tindakan pengurus atau wakil itu adalah untuk kepentingan korporasinya
3. Tindak pidana yang dilakukan tersebut ditoleransi korporasinya.

Teori Kausalitas
Contoh-contoh delik formal dan materiil sebagai berikut:

 Delik formal
1) Pasal 362 KUHP : Yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini adalah perbuatannya
mengambil barang milik orang lain.
2) Pasal 242 KUHP : Yang dilarang memberikan keterangan palsu dalam sumpah.
 Delik materiil
1) Pasal 338 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menyebabkan matinya orang lain.
2) Pasal 351 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menimbulkan sakit atau luka pada
orang lain.
3) Pasal 187 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah timbulnya kebakaran , peledakan
banjir, sedangkan perbuatannya menimbulkan akibat tersebut tidak menjadi soal.
Dalam Delik formal perbuatan itulah yang dilarang dan pada delik materiil yang ditekankan
adalah akibat dari perbuatan itu. Apabila ajaran kausalitas dihubungkan dengan delik formal
sebagaimana telah diketahui akibat suatu peristiwa tidak dinyatakan dengan tekad sebagai
unsur dari suatu delik. Oleh karena itu, ajaran kausalitas dalam hubungannya dengan delik
formal tidak memberikan pengaruh yang tegas. Akan tetapi jika ajaran kausalitas ini
dihubungkan dengan delik materiil, akan lain halnya karena yang ditekankan dalam delik ini
adalah akibat dari perbuatanya, jadi ajaran kausalitas ini penting bagi delik materiil.

a. Teori Conditio Sine Qua Non


`Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, seorang ahli hukum
Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman),
yang menulis dua buku mengenai hukum ialah (l) Uber Kausalitat und deren
Verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ibre strafrechtliche Beziebungen.
Menurut Von Buri, bahwa semua faktor, yaitu semua syarat yang turut serta
menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht ) dari
rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Tiap
faktor yang dapat dihilangkan (weggedacht ) dari rangkaian faktor-faktor yang adanya tidak
perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidakdiberi nilai. Sebaliknya, tiap faktor
yang tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht ) dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu
yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama.
Semua faktor itu adalah sama dan sederajat. Karena adanya faktor-faktor yang tidak dapat
dihilangkan itu perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, maka teori Von Buri disebut
dengan teori conditio sine quanon .
Teori conditio sine qua non juga dinamakan teori ekuivalensi dan bedingungtheorie .
Disebut teori ekuivalensi, karena menurut pendiriannya, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya.
Semua faktor sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut bedigungtheorie ,
karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat (bedingung ) dan musabab atau penyebab.
Secara teoretis teori conditio sine qua non yang dikemukakan oleh Von Buri merupakan
satu-satunya teori kausalitas yang sangat sistematis dan rasional. Logika yang dibangun Buri
dalam mencari penyebab dari timbulnya suatu akibat sangat rasional, sistematis, dan logis.
Sekalipun demikian, di dalam perspektif hukum pidana teori ini mengandung kelemahan
yang sangat mendasar, karena dengan dalil yang dibangunnya itu, hubungan kausalitas
terbentang tanpa akhir, mengingat tiap-tiap sebab hakikatnya merupakan akibat dari sebab
yang terjadi sebelumnya.
Kelemahan mendasar lain teori ini adalah memperluas pertanggungjawaban dalam
hukum pidana. Teori ini jika digunakan akan berimplikasi pada kemungkinan terjadinya
pemidanaan terhadap orang-orang yang seharusnya tidak boleh dipidana baik berdasarkan
rasa keadilan maupun berdasarkan konsep hukum pidana. Sebab, orang baru bisa dijatuhi
sanksi pidana jika memenuhi dua syarat pokok, yaitu orang tersebut melakukan tindak
pidana, dan pada saat melakukannya orang tersebut merupakan orang yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, dalam arti patut dicela atau memiliki kesalahan.
Untuk mengatasi kelemahan Von Buri ini, maka Van Hamel salah seorang penganutnya
melakukan penyempurnaan dengan menambahkan ajaran kesalahan ke dalam ajaran Von
Buri. Menurut van Hamel ajaran von Buri sudah baik, akan tetapi haruslah dilengkapi lagi
dengan ajaran tentang kesalahan ( schuldleer ). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya
menjadi salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang
melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas timbulnya akibat itu, melainkan
apabila pada diri si pembuatnya dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur
kesalahan baik kesengajaan maupun kealpaan.
b. Teori Yang Mengindividualisir
Teori ini dikemukakan oleh Schepper. Secara garis besar terdapat dua hal yang menjadi
inti dari teori mengindividualisir.
Pertama, membicarakan masalah kausalitas harus dipisahkan dengan membicarakan
masalah pertanggungjawaban pidana. Sebab, persoalan kausalitas adalah bagian dari masalah
perbuatan pidana Pentingnya pemisahan tersebut agar tidak terjadi kerancuan dalam
kesimpulan hukum. Apabila tidak dipisahkan, kerancuan tersebut dikhawatirkan
dapat berimplikasi pada terjadinya pemidanaan terhadap orang yang seharusnya tidak boleh
dipidana.
Kedua, menurut Schepper, sebab adalah kelakuan yang menurut logika objektif atau
berdasarkan ilmu pengetahuan pada saat kasus terjadi, dapat simpulkan bahwa kelakuan
itulah yang mengadakan faktor perubahan secara langsung menuju pada suatu keadaan
berupa terjadinya akibat yang dilarang hukuum.
Teori yang mengindividualisir ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab
dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah
perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar
terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di
antara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan
faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau
dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan
faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab. Pendukung
teori yang mengindividualisir ini antara lain Birkmeyer dan Kari Binding.
Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang
mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu:
1) dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai
pengaruh yang paling kuat, dan
2) dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan
sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul. Oleh karena terdapat
kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian
ahli hukum terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah
teori-teori yang menggeneralisir.
c. Teori Yang Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian
faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat
dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada
umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.
Jadi mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah
peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan
kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, tidak secara inconcreto.
1) Teori Adequat Subjektif Teori ini dipelopori oleh J. Von Kries, yang berpendapat
bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan
terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu yang sebelumnya telah
dapat diketahui oleh pembuat.
Faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat
(sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari
oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat tersebut.
Jadi dalam teori ini faktor subjektif atau sikap batin sebelum si pembuat berbuat adalah
amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal, sikap batin mana berupa
pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu adalah adequat untuk
menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman
manusia pada umumnya.
Oleh karena ajaran von Kries dalam mencari faktor penyebab itu adalah pada
dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan teori subjective
prognose (peramalan subjektif).
2). Teori Adequat Objektif
Berbeda dengan teori dari von Kries yang dalam hal mencari faktor penyebab itu pada
kesadaran si pembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya faktor itu layak atau
sebanding untuk menimbulkan suatu akibat. Pada ajaran adequat objektif ini, tidak
memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-
faktor yang ada setelah (post factum)
peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal
(objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap
batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan
objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat
dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
Teori ini dipelopori Rumelin yang ajarannya disebut dengan teori obyectif nachtragliche
prognose atau peramalan yang objektif, karena dalam mencari causa dari suatu akibat pada
faktor objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat. Teori Rumelin mengajarkan
bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor objektif yang diramalkan dari rangkaian
faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik terjadi.
Tolak ukur teori tersebut bukan ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu akibat.
Jadi akibat itu walau bagaimana pun harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-
keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya delik. Tolok ukur tersebut
merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan alam yang objektif.
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada
seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang
lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang
tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasuki racun, maka
racun itu menimbulkan akibat matinya pasien.
Menurut ajaran von Kries (adequat subjektif ), karena juru rawat tidak dapat
membayangkan atau tidak mengetahui perihal dimasukkannya racun pada obat yang dapat
menimbulkan kematian jika diminum, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien
bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian tidak
ada hubungan kausal atau hubungan sebab-akibat. Lain halnya apabila dipandang dari teori
Rumelin (adequat objektif). Karena perbuatan orang lain memasukkan racun ke dalam obat
tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya, walaupun tidak
diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat meminumkan obat yang mengandung racun
adalah adequat terhadap matinya, karena itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian
pasien

Anda mungkin juga menyukai