Anda di halaman 1dari 5

Urgensi PBB dan Mengenai Yurisdiksi Pemajakan PBB P3

Oleh: Ifti Khori Royhan

Secara konsep, Pajak Bumi dan Bangunan (Selanjutnya disebut PBB) termasuk ke
dalam Pajak Properti. Cakupan Pajak Properti yang memiliki nature sebagai pajak atas
kepemilikan/kekayaan sendiri cukup luas. Di Indonesia, pajak atas properti
diimplementasikan melalui beberapa jenis pajak seperti PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBNKB). Apabila ditarik ke dalam konsep umum ilmu perpajakan, pajak atas
properti (secara khusus PBB) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Merupakan Indirect Tax
Suatu jenis pajak dikatakan bersifat direct apabila dalam pengenaanya
mempertimbangkan kondisi atau keadaan wajib pajak, sehingga kemudian muncul
konsep ability to pay. Apabila kita menengok sistem pengenaan PBB, maka kita tidak
mendapati adanya konsep tersebut. PBB dikenakan terhadap siapapun yang memiliki,
mengusai, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan yang bersangkutan
tanpa memperhatikan berapa jumlah penghasilan wajib pajak serta kemampuan
ekonomisnya untuk membayar pajak.
2. Merupakan Pajak Objektif
Pengenaan pajak objektif dimulai dengan menentukan objeknya seperti keadaan,
peristiwa, perbuatan, dan lain-lain, baru kemudian dicari orang yang harus membayar
pajaknya, yang disebut subjek pajak (Rosdiana, 2012). Demikian halnya PBB, yang
dilihat adalah objeknya terlebih dahulu berupa bumi dan apa yang ada di dalamnya
serta bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat 2 UU No. 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Bersifat Semi (pseudo) Official Assessment
Dalam sistem PBB, setiap tahun wajib pajak akan mendapatkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT PBB) yang setingkat dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Dalam SPPT tersebut sudah tercantum detil luas bumi dan bangunan, batas-batasnya,
lokasinya, dan lain sebagainya. Wajib pajak tidak perlu lagi menghitung besaran
pajak terutang, pembayaran juga biasanya dilakukan melalui Ketua RT. Meskipun
demikian, wajib pajak tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(SPOP) terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada bumi dan bangunan
yang ia miliki/duduki.
4. Termasuk ke dalam Wealth Base Taxation
Pajak dikenakan atas kekayaan yang dimiliki oleh wajib pajak tanpa mempedulikan
kekayaan tersebut diperoleh sendiri atau merupakan pemberian/hibah/warisan dari
pihak lain.
Meskipun demikian, konsep Pajak Bumi dan Bangunan yang diterapkan di Indonesia
berbeda dengan konsep tax on land and building yang diterapkan di negara lain. Indonesia
menggunakan istilah bumi yang berarti tidak hanya mencakup tanah permukaan saja, tetapi
juga meliputi segala hal yang ada di dalamnya, termasuk juga bagian bumi yang tertutup oleh
air. PBB di Indonesia selanjutnya terbagi ke dalam beberapa sektor yakni sektor perdesaan,
perkotaan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Melalui UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, PBB sektor perdesaan dan perkotaan
atau biasa disebut PBB P2 dilimpahkan taxing power-nya kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Pelimpahan taxing power ini kemudian diistilahkan dengan devolusi PBB.
Devolusi sendiri diartikan sebagai pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintahan di
tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat seminimal mungkin dan terbatas
pada bidang-bidang tertentu saja (Rahmat, 2012). Devolusi PBB dilakukan sebagai
konsekuensi dari dianutnya sistem otonomi daerah yang membawa konsep desentralisasi
fiskal. Setiap daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan
dan pelayanan publik secara mandiri. Hal ini mengakibatkan pemerintah daerah memerlukan
anggaran dana yang lebih besar, dan oleh karena itu sudah seyogyanya apabila pemerintah
daerah diberi kesempatan yang lebih besar untuk ‘mencari uang’ sendiri. Salah satu caranya
adalah dengan memberikan power pada daerah untuk mengatur dan mengelola local tax dan
charges mereka masing-masing. Sedangkan PBB sektor yang lain yakni perkebunan,
kehutanan, dan pertambangan masih dikelola oleh pemerintah pusat dengan mekanisme bagi
hasil kepada daerah.
Terlepas dari hal tersebut, PBB (terutama sektor P2) sebagai bentuk local tax
memiliki peran besar dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah. Harry
Kitchen (2013) secara umum mengemukakan bahwa pajak properti merupakan tulang
punggung pembiayaan pemerintah daerah di sebagian besar negara-negara berkembang, dan
baru-baru ini telah memainkan peranan yang terus meningkat secara signifikan dalam
membiayai pelayanan pemerintah lokal di negara-negara berkembang. Pemerintah daerah
memiliki tanggung jawab untuk menyediakan barang-barang publik seperti jalanan umum,
penerangan jalan, pemadam kebakaran, dan lain sebagainya. Itu semua membutuhkan
pembiayaan yang dapat diperoleh pemerintah daerah melalui berbagai sumber penerimaan,
mulai dari pendapatan asli daerah (pajak dan retribusi daerah, laba BUMD, hasil penjualan
kekayaan daerah, dll.), dana perimbangan, serta lain-lain pendapatan yang sah. Namun,
penerimaan sektor pajak lagi-lagi memiliki porsi yang cukup signifikan sesuai dengan
pendapat Prof. Dr. Haula Rosdiana bahwa pajak merupakan sumber penerimaan yang paling
murah, aman, dan berkelanjutan bagi pemerintah.
Pajak properti sendiri dianggap memenuhi kriteria sebagai pajak lokal yang lebih baik
dibandingkan dengan alternatif pajak daerah yang lain karena objeknya yang bersifat
immobile dan stabil karena tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi kondisi perekonomian. Di
daerah, PBB yang termasuk dalam kategori pajak daerah mendominasi penerimaan dalam
APBD. Sebagai Contoh, berikut disajikan Cuplikan Pos Pendapatan dalam APBD Provinsi
DKI Jakarta tahun 2015.

PENDAPATAN DAERAH
PENDAPATAN ASLI DAERAH 40.355.853.087.978
4.1.1 Pajak Daerah 36.079.102.000.000
4.1.2 Retribusi Daerah 600.000.000.000
4.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan 600.000.000.000
4.1.4 Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah 3.076.751.087.978
DANA PERIMBANGAN 12.760.465.925.000
4.2.1 Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 12.760.465.925.000
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 7.326.419.771.000
4.3.1 Pendapatan Hibah 4.566.906.100.000
4.3.2 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 2.759.513.671.000
JUMLAH PEDAPATAN 60.442.738.783.978
Sumber: Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta

Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa penerimaan pajak adalah Rp40.355.853.087.978,00
dari total penerimaan keseluruhan sebesar Rp60.442.738.783.978,00 atau sebesar 66,8%.
Fenomena ini terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Meskipun terdapat pula
kecenderungan daerah-daerah tertentu dengan penerimaan pajak daerah lebih kecil dari jenis
penerimaan lain seperti Kabupaten Asmat, Papua. Jumlah penerimaan dari pajak dan retribusi
daerah masih cukup kecil jika dibandingkan dengan penerimaan total, dan yang mendominasi
adalah dana perimbangan yakni sebesar 88%.

PENDAPATAN DAERAH
PENDAPATAN ASLI DAERAH 29.845.054.802
1.1.1 Pajak Daerah 217.000.000
1.1.2 Retribusi Daerah 4.128.560.000
1.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan 7.259.303.175
1.1.4 Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah 18.240.191.627
DANA PERIMBANGAN 962.027.929.974
1.2.1 Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 49.004.261.974
1.2.2 Dana Alokasi Umum 822.115.038.000
1.2.3 Dana Alokasi Khusus 90.908.630.000
LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 98.328.432.885
1.3.1 Pendapatan Hibah 3.724.700.000
1.3.2 Dana Darurat 0
1.3.3 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda Lainnya 3.122.382.311
1.3.4 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 91.481.350.574
1.3.5 Bantuan dari Provinsi atau Pemda Lainnya 0
JUMLAH PEDAPATAN 1.090.201.417.661
Sumber: PERDA Kabupaten Asmat No. 5 tahun 2013

Namun, sebetulnya peran PBB dan pajak daerah tidak hanya terkait dengan fungsi
budgetair saja. PBB dapat dijadikan alat oleh pemerintah daerah dalam melakukan
pengaturan aktivitas masyarakatnya. Misalnya, sebagai upaya untuk meningkatkan aktivitas
ekonomi, pemerintah daerah menurunkan tarif pajak atas bumi dan bangunan yang digunakan
untuk kegiatan komersial. Hal ini akan menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi investor
dalam menentukan lokasi investasi. Contoh lain adalah pembebasan PBB atas sawah yang
menggunakan sistem subak di Bali, hal ini ditujukan untuk melindungi ekosistem sawah
subak yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO di tahun 2015.
Sebelumnya, petani subak banyak yang menjual sawahnya sehingga mengakibatkan lahan
persawahan semakin menyempit (www.antarabali.com).
Peran pajak daerah sebagai alat kontrol bagi masyarakat dalam mengevaluasi aktivitas
pemerintah juga dirasa lebih memungkinkan dibandingkan pajak yang dikelola oleh pusat.
Masyarakat daerah dapat menilai sejauh mana pajak yang telah dibayar dialokasikan kepada
pembangunan daerah. Kepala daerah telah diberikan modal oleh masyarakat daerah berupa
suara dalam pemilihan dan modal berupa sumber daya finansial untuk melaksanakan
program-programnya dari pajak daerah. Apabila terdapat ketidaksesuaian, masyarakat dapat
melakukan tindakan evaluatif atas aktivitas kepala daerah tersebut. Hal ini selaras dengan
pendapat Irianto (2013) bahwa pajak merupakan saham politik rakyat, sehingga sudah
seyogyanya pembayar pajak mendapatkan akses ke pemerintah, baik akses informasi,
aspirasi, dan lain sebagainya.
Dalam Reformasi Perpajakan tahun 2009, PBB sektor P3 (perkebunan, kehutanan,
dan pertambangan) masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. PBB P3 merupakan
pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan yang digunakan dalam kegiatan usaha di
bidang perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Alasan prinsipal yang mengakibatkan
pemerintah tidak serta merta mendevolusikan pengelolaan PBB P3 kepada pemerintah daerah
adalah karena ketiga sektor tersebut pada umumnya berada pada lintas wilayah dan daerah
yang berbeda. Sebagai contoh adalah pengeboran minyak blok Cepu yang wilayahnya
tercakup ke dalah daerah administratif Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), Kabupaten
Blora (Jawa Tengah), dan Kabupaten Tuban (Jawa Timur). Kondisi yang demikian akan
mempersulit penentuan yurisdiksi pemajakan terkait dengan pemerintah daerah mana yang
berhak memungut PBB Pertambangan atas pengeboran minyak tersebut.
Disamping meningkatkan penerimaan dalam APBD, Devolusi PBB juga
sesungguhnya membawa konsekuensi lain. Pemerintah daerah kabupaten/kota harus siap dan
mampu menyelenggarakan sistem pemungutan pajak yang setidaknya ditopang oleh tiga hal,
yakni kebijakan pajak, hukum pajak, dan administrasi pajak. Administrasi pajak secara
universal merupakan kunci keberhasilan dalam kebijakan perpajakan, karena terkait dengan
aspek operasional dan sebagai eksekutor dari perencanaan yang telah dibuat. Mansury (dalam
Rosdiana, 2013) menyitir pendapat Nowak bahwa administrasi pajak terkait dengan tiga
bagian utama yakni instansi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab memungut
pajak, pejabat dan pegawai yang melaksanakan pemungutan pajak, serta pentatalaksanaan
pemungutan pajak sedemikian rupa secara efektif dan efisien.
Menengok pengalaman pendaerahan PBB sektor P2 , masih banyak kabupaten/kota
yang nyatanya masih bermasalah dengan hal tersebut. Pelayanan PBB dianggap masih
amburadul di beberapa daerah karena kapasitas lembaga yang menangani pajak tersebut
sangat lemah (www.ortax.org). Lembaga tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan sosialisasi, menangani wajib pajak, hingga menguasai teknologi informasi. Hal ini
semakin diperparah dengan kurangnya kompetensi sumber daya manusia (baik dalam hal
pendataan, penilaian, dan pelayanan) serta minimnya infrastruktur untuk melakukan
pemetaan PBB.
Penerimaan pajak dari sektor P3 sesungguhnya dikembalikan lagi kepada daerah
melalui mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dengan prosentase alokasi untuk
Pemerintah Pusat 10%, Pemerintah Daerah Provinsi 30%, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota 60% (www.suarakutim.com). Di Tahun 2012, Alokasi Definitif Dana Bagi
Hasil PBB Sektor P3 menurut PMK No. 21/PMK.07/2012 adalah sebesar
Rp16.410.494.250.429,00. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan. Dalam Tahun
Anggaran 2015, jumlah Dana Bagi Hasil PBB adalah Rp24.277.127.259.000,00 sebagaimana
tercantum dalam PMK No. 249/PMK.07/2015. Dengan demikian, daerah tetap memperoleh
bagian yang cukup besar tanpa harus mengeluarkan cost of taxation berupa administrative
cost yang mencakup pula biaya penegakan hukum di dalamnya.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, saya berpendapat bahwa sistem yang ada saat
ini terkait dengan pemungutan PBB P3 yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan hasilnya
didistribusikan kepada pemerintah daerah melalui Dana Bagi Hasil sudah tepat. Apalagi jika
mengacu pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
kemakmuran rakyat. Negara dalam hal ini dimaknai sebagai pemerintah pusat, sehingga
selama pemerintah pusat mampu menjalankan sistem tersebut secara efektif dan efisien, PBB
P3 tidak perlu dilimpahkan pengelolaanya kepada pemerintah daerah. Dengan catatan,
pengelolaan tersebut tetap memperhatikan amanat UUD untuk digunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat bukan kemakmuran pribadi atau golongan.

Referensi
PERDA Kabupaten Asmat No. 5 tahun 2013 tentang APBD Kabupaten Asmat tahun 2014.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 231/PMK.07/2012 tentang Alokasi
Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan
Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi Bagian Daerah Tahun Anggaran 2012.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249 /PMK.07 /2015 tentang
Perubahan Rincian Dana Bagi Hasil Pajak Tahun Anggaran 2015.
Rahmat, Muhamad. 2012. Filosofi Devolusi PBB. http://www.fiscuswannabe.
web.id/2012/09/PBB-P2.html#sthash.w393U2Ru.dpuf diakses pada 22 Maret
2016.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2013. Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kitchen, Harry. 2013. Property Tax: A Situation Analysis and Overview, on A Primer on
Property Tax: Administration and Policy. West Sussex: Blackwell Publishing.
http://www.antarabali.com/berita/67752/bebas-pbb-di-kawasan-warisan-budaya-dunia
diakses pada 22 Maret 2016.
http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=13608&q=&hlm= diakses pada 22
Maret 2016.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/04/18/nmzhpp-sawah-subak-
dibebaskan-pembayaran-pbb. diakses pada 22 Maret 2016.
http://www.suarakutim.com/sektor-pajak-p3-belum-diserahkan-ke-daerah/ diakses pada 22
Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai