Anda di halaman 1dari 11

ORASI ILMIAH

Dalam Rangka
Wisuda XV Sarjana Strata I dan Dies Natalis XVIII
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mulia Pratama Tahun 2016

“KEBIJAKAN PAJAK PASKA AMNESTI”

Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.

BEKASI, 22 OKTOBER 2016


KEBIJAKAN PAJAK PASKA AMNESTI

Oleh: GUNADI1

PENDAHULUAN

Self assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak paling efektif
dan efisien2. Lebih 30 tahun Indonesia menerapkan dan menyerahkan inisiasi kegiatan pemajakan
pada warga. Kenyataanya masih banyak warga belum patuh sehingga penerimaan dan tax ratio masih
rendah. Anton Hendranata menyebut rerata tax ratio Indonesia 2010-2015 baru 11,8%, sedang
Malaysia (15,5%), Thailand (17%), Filipina (14,4%), dan India (17,7%)3. WP terdaftar 30.161.673
[orang pribadi 26.918.401 atau 23,60% dari pekerja 2013 menurut data BPS (114,02 juta); badan
2.473.471], dan kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh (SPT) 58,87%4 . Realisasi penerimaan
2014 sebesar 91,86% target, 2015 turun jadi 83% dan 2016 berpotensi mleset Rp 218T5, sehingga
pemerintah terpaksa memotong belanja. Pemotongan tiap tahun tanpa solusi efektif, dapat menggerus
kredibilitas APBN dan menggoyahkan kepercayaan investor pada obligasi pemerintah.

Solusi sementara bersifat ad hoc berupa pengampunan pajak (PP). PP amat signifikan dan krusial
untuk menyehatkan APBN sehingga perekonomian bergerak lincah dan dapat memberi stimulus pajak
pendorong pertumbuhan dan peningkat penghasilan serta kesejahteraan. Konsep dasar PP adalah
meringankan Wajib Pajak (WP) dari kewajiban masa lalu dalam rangka pindah kepada perilaku
perpajakan dan kepatuhan lebih baik. Keringanan dapat berupa penghapusan sebagian atau seluruh
kewajiban seperti pokok pajak dan/atau sanksi administrasi dan/atau pidana. PP Indonesia bersifat
tombstone (penguburan) kewajiban PPh dan PPN serta PPnBM sampai dengan tahun 2015 dan
menggantinya dengan uang tebusan (UT) atas harta neto. Pendekatan PP bersifat tax-rate-cut-cum-
base-broadening, yaitu penurunan tarif (menjadi 2-10%) dengan dasar pungutan berupa harta neto
yang dimiliki sejak 1 Januari 1985 s/d 31 Desember 2015 yang belum dilapor dalam SPT berdasar
nilai wajar akhir 2015. Pencapaian program PP triwulan pertama (Juli-Sept 2016) berhasil melampaui
prakiraan banyak pihak, dengan UT Rp 97,2T (58,91% target) dan repatriasi dana Rp 142T dari
deklarasi hartaRp 3.666T (luar negeri Rp 976 dan dalam negeri Rp 2.690)6.

Pendekatan penurunan tarif pajak PP, selaras dengan teori Kurva Laffer7 yang mendalilkan bahwa
makin rendah tarif makin tinggi kepatuhan pajak sehingga penerimaan dan tax ratio naik. Kurva
Laffer merupakan salah satu kerangka teoretis utama konsep pro-pertumbuhan dari supply-side
economics. Kurva menggambarkan hubungan tarif, penghasilan kena pajak dan penerimaan. Kenaikan
tarif (dalam wilayah normal) menaikkan penerimaan sampai puncak dan setelah itu (tarif berada pada
wilayah larangan) penerimaan menurun. Penurunan tarif (pada wilayah larangan) menghasilkan
perkembangan ekonomi dan penerimaan besar. Analisisnya, terdapat dua pengaruh perubahan tarif
atas penerimaan: (1) aritmatika (statis, penurunan tarif akan menurunkan penerimaan sebesar tarif),
dan (2) ekonomika (positif pada ekonomi, tarif turun menaikkan investasi dan kegiatan ekonomi
serta basisdan penerimaan pajak). Guna mengatasi defisit pengeluaran selaras dengan dinamika
pembangunan untuk meningkatkan interkoneksi wilayah, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan
serta meningkatkan kesejahteraan, salah satu tantangan PPh adalah peningkatan penerimaan. Selain
itu, menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), persaingan pajak (tax competition), adil
mendapat bagian penerimaan dari kegiatan lintas-batas (cross-border activities) terutama dari e-
commerce, memperkuat daya saing domestik, mempercepat pertumbuhan dan kegiatan ekonomi,
perlu penyesuaian regulasi perpajakan, sedang paska amnesti pajak agar mampu deteksi dini tidak
patuh sehingga WP makin patuh perlu reformasi administrasi perpajakan selaras era digital ekonomi.

1
Makalah disampaikan pada Upacara Wisuda Sarjana STIE Mulia Pratama Bekasi 22 Oktober 2016.
2
Alink, Matthijs and Victor van Kommer, 2015, Handbook on Tax Administration, IBFD.
3
Kompas 13 September 2016.
4
Laporan Tahunan 2014 Ditjen Pajak.
5
Kompas 19 September 2016.
6
Kompas 11Oktober 2016.
7
Laffer, Arthur B, 2004, The Laffer Curve: Past, Present and Future, Heritage Foundation, Backgrounder.

2
HAMBATAN PENINGKATAN PENERIMAAN

Regionalisasi dan globalisasi ekonomi serta perkembangan cepat teknologi, memaksa sesama
administrasi pajak sekawasan mencari peluang saling bekerja sama dan berbagi pengetahuan dan
pengalaman meningkatkan keadilan, efektivitas dan penurunan biaya administrasi dan kepatuhan
pajak. Berfungsi-penuhnya sistem pajak dan efektivitas serta efisiensi administrasi pajak merupakan
prasyarat berfungsi-baiknya sistem ekonomi pasar. Kebanyakan negara berkembang, termasuk
Indonesia belum mampu membiayai pengeluarannya dengan pajak. Biasanya tax ratio mereka jauh di
bawah negara maju, mungkin kurang dari 50% nya. Akibatnya, mereka tidak mampu secara
signifikan menurunkan angka kemiskinan, mencapai pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan
tanpa mobilisasi dana domestik. Karena itu, dalam theory of tax level determinants 8 ,Musgrave
mendalilkan perbaikan struktur ekonomi akan meningkatkan struktur pajak dan penerimaannya. Agar
bagian besar objek pajak merapat ke sektor formal atau easy-to-tax sector, sehingga dengan tax
handles yang tepat mudah dimobilisasi, maka stimulus pajak harus tersedia untuk mendorong
kemajuan ekonomi dan percepatan pertumbuhan menuju struktur lebih baik dan tertib. Dari paham
supply-side economy, great sale PPh dan PPN serta PPnBM dalam amnesti pajak dengan tarif 2%
menghasilkan UT Rp 97,2T. Jumlah itu jauh melampaui hasil ordinary enforcement tahunan, yaitu
Rp 24,4 dari pencairan pemeriksaan, dan Rp 12,3 T dari pencairan tunggakan)9. UT diharap dapat
menambal defisit dan menyehatkan APBN sehingga meningkatkan daya belanja pembangunan
pemerintah. Ditambah dengan dana repatriasi modal luar negeri sebanyak Rp 142T dapat merupakan
tambahan belanja pembangunan pemerintah agar mempercepat roda perekonomian dan memperluas
lapangan kerja dan menaikkan pendapatan sehingga mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Pada
gilirannya, kegiatan pembangunan infrastruktur dan proyek pembangunan fisik lainnya merupakan
objek PPN, sedang hasil usaha dari kegiatan ekonomi, laba usaha dan peningkatan pendapatan warga
merupakan objek PPh sehingga dapat menaikkan penerimaan pajak.

Berbagai masalah keuangan negara berkembang termasuk: (1) defisit anggaran, (2) penerimaan tidak
stabil, dan (3) pertumbuhan penerimaan dari waktu ke waktu lambat bahkan stagnan 10 . Beberapa
hambatan kenaikan penerimaan pajak di negara berkembang, termasuk11: (1) lemahnya kelembagaan
termasuk administrasi perpajakan, (2) korupsi dan rendahnya transparansi, (2) sistem pajak penuh
berbagai eksemsi dan pembebasan serta pengutamaan pada kepabeanan, (3) eksistensi sektor informal
dan underground economy yang meluas, (4) derasnya arus dana ke jurisdiksi pajak rendah, (5)
tingginya tekanan penanam modal asing besar dan perusahaan multinasional dalam rangka persaingan
pemajakan cenderung menurunkan pajak global.Selain itu, juga adanya (1) ketidak patuhan WP dalam
berbagai bentuk, dan (2) fenomena Base Erosion Profits Shifting (BEPS).

Deklarasi Doha merekomendasikan 4 unsur perbaikan sistem pajak negara berkembang 12 : (a)
peningkatan penerimaan pajak dengan modernisasi sistem pajak, (b) perbaikan efektivitas dan
efisiensi pemungutan, (c) perluasan basis, dan (4) efektif memberantas pengelakan pajak. Tujuan dari
kebijakan pajak dan administrasi pelaksananya terutama menghasilkan penerimaan untuk mencukupi
komitmen belanja pemerintah. Tambahan belanja tumbuh terus tiap tahun, walau tidak ada reformasi
kebijakan pajak, karena ingin berbuat lebih banyak dalam berbagai bidang kehidupan dan juga
pertumbuhan jumlah penduduk memerlukan jasa dan manfaat negara. Tekanan untuk dapat lebih
banyak berbelanja tiap tahun negara berkembang lebih besar dari negara manapun, karena selain
peningkatan jasa dan layanan umum, juga melakukan pembangunan ekonomi agar negara makin maju
dan pendapatan perkapita meningkat serta rakyat makin sejahtera 13 . Tujuan utama pembangunan
ekonomi negara berkembang, terutama kenaikan substansial pertumbuhan ekonomi dengan harapan
segera menaikan penghasilan per kapita sejajar negara maju.

8
Alex Radian, 1980, Resource Mobilization in Poor Countries, Transaction Inc, New Brunswick.
9
Laporan Tahunan DJP 2014.
10
Alex Radian, 1980.
11
Alink & van Kommer, 2015.
12
International Conference on Financing for Development, Doha, Qatar, 2008.
13
Alex Radian, 1980.

3
Misalnya dari beberapa tax ratio negara sekawasan, seperti Malaysia (15,5%), Thailand (17%), dan
Filipina (14,4%), Indonesia dapat meningkatkan tax ratio mendekati Filipina (14%). Hasilnya dengan
asumsi UT Rp 97,2 = 0,8% PDB14, maka akan terkumpul penerimaan pajak sekitar Rp 1.771T atau
sekitar Rp 400T lebih besar dari APBNP. Dengan penerimaan pajak lebih besar, akan tersedia
tambahan dana belanja ke pemerintahan dan pembangunan. Dengan multiplier effectnya, tambahan
belanja pembangunan dapat meningkatkan struktur ekonomi sehingga sesuai teori tax level
determinants struktur pemajakan akan terangkat dan objek pajak merapat dari sektor informal dan
underground economy (sektor hard-to-tax) pada easy-to-tax sector sehingga mempermudah
pemungutan pajak. Pertanyaanya adalah bagaimana cara mencapainya? Mobilisasi sumber dana
dalam negeri mensyaratkan kesiapan dan dukungan lingkungan, peningkatan produktivitas,
pengurangan pelarian modal (capital flight), dukungan pada sektor privat, menarik dan
mengefektifkan pemanfaatan modal dan bantuan asing. Merujuk pada sinyalemen Alink & van
Kommer tentang beberapa hambatan kenaikan penerimaan pajak negara berkembang, makaharus
dilakukan perbaikan pada beberapa bidang dimaksud, seperti: (1) penguatan administrasi perpajakan,
(2) pencegahan dan pemberantasan korupsi dan meningkatkan transparansi keuangan, data dan
informasi perpajakan, (3) perbaikan sistem pajak dengan tujuan perluasan basis, dan minimalisasi
eksemsi serta pembebasan, (4) penyederhanaan pemajakan sektor informal dan underground
economy, (4) reformasi PPh menghadapi arus dana ke jurisdiksi pajak rendah dengan pola tax-rate-
cut-cum-base-broadening, lebih adil, berkepastian hukum dan lebih dipatuhi, (5) mempertahankan
insentif penanaman modal dan usaha pemula, mikro, kecil dan menengah, dan (6) menggalang
kerjasama antar administrasi pajak sekawasan menghadapi fenomena BEPS dan penghindaran lainya.
Berikut ini akan membahas beberapa dari berbagai bidang dimaksud.

PENGUATAN ADMINISTRASI PAJAK

Administrasi pajak amat berperan dalam capaian penerimaan guna restorasi keseimbangan makro
ekonomi dan kebijakan pajak (tax policy) dan pengaruhnya pada ekonomi 15 . Administrasi pajak
berperan besar dalam mewujudkan kebijakan pajak riel (penerimaan) disandingkan dengan kebijakan
pajak statuter (UU Pajak)16. Terdapat keyakinan beberapa ahli kebijakan pajak di negara berkembang
bahwa tidak ada artinya perubahan kebijakan pajak tanpa perubahan administrasi pajak dan perubahan
kebijakan pajak harus kompatibel dengan kapasitas administrasi pajak, maka dalam bahasa terang di
negara berkembang administrasi pajak adalah kebijakan pajak. Administrasi pajak efektif bukanlah
yang mampu mencapai target saja, karena capaian penerimaan mungkin merupakan hasil dari: (a)
upaya pencapaian penerimaan secara adil, (b) keberuntungan politis pemerintah, (c) kemakmuran
ekonomi, dan (d) dukungan seluruh lapisan warga dan lembaga. Administrasi pajak berkualitas
rendah mungkin dapat saja memperoleh penerimaan besar dari easy-to-tax sector, seperti PPh Pasal
21 dan potongan serta pungutan PPh lainnya, namun kurang mampu memungut pajak dari usahawan
dan profesional. Level pemungutan pajak mungkin bukan menjadi ukuran kecanggihan efektivitas
administrasi pajak. Administrasi pajak dapat efisien (biaya pungut pajak rendah), tetapi tidak efektif
jika tidak mampu menegakkan kepatuhan (enforce compliance) 17 . Compliance gap (celah/beda
kepatuhan) merupakan beda antara potensi dengan realisasi penerimaan pajak, sebagai ukuran umum
efektivitas administrasi pajak.

Administrasi pajak efektif jika mampu mengatasi 4 kesenjangan: (1) WP tidak terdaftar (beda antara
potensi dan yang nyata terdaftar), (2) WP tidak menyampaikan SPT (WP seharusnya dengan yang
nyata menyampaikan SPT), (3) penghindar pajak (beda antara pajak yang dibayar dengan seharusnya
sesuai UU), dan (4) pengemplang pajak (ketetapan pajak dengan yang nyata dibayar). Selain unsur
ekonomi, politik, sosial dan budaya, 2 unsur penentu capaian target penerimaan adalah kebijakan
pajak dan administrasi pajak. Beberapa unsur administrasi pajak penentu capaian target, termasuk: (1)

14
Anton Hendranata, Kompas, 7 Oktober 2016.
15
Bird, Richard M & Milka Casanegra de Jantscher, 1992, Improving Tax Administration in Developing Countries, IMF.
16
Vito Tanzi, 1987, dari Richard M Bird & Milka Casanegra de Jantscher.
17
Silvany, Carlos, 1992, dalam Richard M Bird & Milka Casanegra de Jantscher.

4
informasi, (2) personel dan ahli, (3) sarana-prasarana, dan (4) implementasi (pemeriksaan, penagihan,
dan enforcement). Dengan jumlah pemeriksa pajak sekitar 4.628 atau 12,10% pegawai, maka jika
tanpa bantuan IT data based dan otomasi administrasi, kapasitas penegakan hukum amat terbatas.
Dengan audit coverage kurang dari 0,5%/th, maka atasWP tidak patuh formal 41% saja kalau
diperiksa makan waktu lama, padahal SPT berlanjut tiap tahun. Tanpa IT data base, otomasi
administrasi pajak dan pemeriksaan analisis data secara random sampling berdasar analisis risiko,
pemeriksaan atas semua WP dan menggunungya tunggakan pajak akan merupakan mission impossible
dan tidak selaras dengan sistem self assessment (audit and enforcement by exception).

Dari beberapa penelitian perilaku WP mengidentifikasi berbagai penyebab ketidakpatuhan saling


berkelindan mempengaruhi perilaku patuh tidak patuh pajak. Berdasar model murni kalkulasi risiko
ekonomis rasional, Allingham dan Sandmo menyebut ketidakpatuhan merupakan produk risiko
deteksi dan sanksi 18 . Namun jika dilakukan penegakan hukum secara meluas dan tegas, berbagai
penelitian lainnya, selain kurang efektif dan efisien, bahkan dapat bersifat kontraproduktif19. Tindakan
koersif seperti penagihan aktif bisa mengundang perlawanan fisik WP, seperti terjadi di Sumatera
Utara. Penelitian P Webley tahun 2002 menemukan beberapa unsur determinan ketidakpatuhan
termasuk: (1) kesempatan (sebagai unsur dominan), (2) persepsi keadilan dan kesamaan perlakuan,
(3) beda personalitas individu manusia, (4) norma sosial tentang kepatuhan dan disiplin, dan (5)
pemahaman system perpajakan esensi dan prosedur pemenuhannya. Sementara itu, penelitian persepsi
hambatan kepatuhan termasuk 20 : (1) kompleksitas ketentuan pajak, (2) kesulitan prosedur dan
komunikasi dengan petugas, (3) beban berat pelaporan, (4) beratnya sanksi dan beban bunga, (5)
kurang dorongan pelaporan dan pembayaran tepat waktu, (6) kurangya skala prioritas dan urgensi,
dan (7) berbagai unsur lain, seperti kurangnya kepercayaan pada pemerintah. Karena unsur dominan
ketidakpatuhan adalah terbukanya kesempatan tidak patuh dalam sistem perpajakan, maka secara
sistematis peluang tersebut harus dipersempit atau ditutup sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan
lain bagi WP selain patuh perpajakan.

UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak mengharapkan reformasi perpajakan yang lebih berkeadilan
dengan perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi. Konsep dasar
perubahan UU Perpajakan paska pengampunan harus lebih memberikan kepastian hukum,
kemanfaataan, dan mendahulukan kepentingan nasional lebih memberikan kepastian hukum,
kemanfaataan, dan mendahulukan kepentingan nasional di atas kepentingan individu, kelompok, dan
daerah dan diarahkan semaksimal mungkin mengurangi unsur determinan ketidakpatuhan dan
hambatan kepatuhan syukur bisa dieliminir. Keadilan perpajakan harus diarahkan dalam perumusan
kebijakan dan UUnya, pelaksanaan serta pemanfaatan perolehan dananya untuk kemanfaatan warga
(benefit principle) dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beban penerimaan harus terbagi pada
seluruh subjek dan objek (equality), sama rata (horizontal equity) dan sama rasa (vertical equity).
Komprehensivitas, keluasan sumber dan akses data, validitas dan integratasi data memungkinkan
deteksi dini ketidakpatuhan. Tindakan deteksi dini di beberapa negara maju, seperti Eropa dan
Australia dilakukan melalui program proforma SPT (pre-populated tax return 21 ). Program itu
memerlukan pembentukan data-base komprehensif dan otomasi administrasi pajak, pembatasan cash
economy dan transparansi perbankan yang memerlukan waktu dan kematangan situasi dan kondisi
politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengenalan deteksi dini ketidakpatuhan dan proforma SPT, di
Indonesia dapat dimulai dengan otomasi sistem PPN (interkoneksi IT antara PKP Penjual-PKP
Pembeli-KPP) agar mampu mengawasi flow of goods and servicesantar PKP, dan otomasi sistem
potongan dan pemungutan pajak (interkoneksi IT antara Pemotong Pajak-Pihak Terpotong-KPP) agar
mampu mengawasi flow of money income and expenditures kena pajak secara real time. Kemampuan
pengawasan flows of goods and service as well as money income and expenditures secara online
sistem, komprehensivitas dan keluasan data base serta akses data secara terintegrasi memungkinkan

18
Alink&van Kommer.
19
Kirchlerdan Tyler, serta Blumenthal dan Slemrod, dari Alink&van Kommer.
20
Whitlock, 2007, dariAlink& van Kommer.
21
Prasyaratmampumelaksanakanpre-populated tax return termasuk:laporankomprehensif data pihak ketiga, identitas WP berintegritas tinggi,
kerangka hukum kompatibel, derajat otomasi tinggi para pemasok data dan KPP, proses data dan informasi berskala besar, dan otomasi KPP
dengan online system transaksi WP dan minimalisasi interaksi.

5
deteksi dini ketidakpatuhan melalui pre-populated tax return sehingga mempersempit kesempatan
tidak patuh semoga dapat meningkatkan kepatuhan, penerimaan, tax ratio dan daya belanja negara
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN

UUKUP saat ini (UU No 6/1983 sttd UU 16/2009) nampak sudah selaras dengan konsep dasarself
assessment, seperti tidak dimilikinya kuasa eksekutorial atas SKPKB yang disengketakan (diajukan
keberatan dan banding) tetapi menunggu putusan pengadilan 22 . Pasal 2 UU 11/2016 menyatakan
bahwa tujuan dari amnesti pajak termasuk mendorong reformasi perpajakan kepada sistem yang lebih
berkeadilan. Penjelasan menyebut keadilan berarti menjunjung tinggi keseimbangan hak dan
kewajiban dari setiap pihak terlibat (WP dan administrasi pajak). Webley mendapatkan beberapa
unsur determinan tidak patuh, termasuk23: kesempatan, persepsi keadilan pajak, personalitas pribadi,
norma sosial pribadi (perilaku kebanyakan), dan pemahaman sistem pajak serta tata caranya.

Sementara itu, penelitian Whitlock 24 menyebut banyak unsur penghambat kepatuhan WP, seperti:
kompleksitas ketentuan pajak dan tata cara pelaksanaannya, beban pelaporan dan pematuhan, beban
sanksi berat tidak beralasan, kesulitan prosedur pelaporan dan pembayaran tepat waktu, kurangnya
program prioritas, kekurangpercayaan pada pemerintah, dan unsur lainnya. Kompleksitas dan labilitas
ketentuan pajak mempersulit pelaksanaan dan kepatuhan WP. Dua unsur penyebab keruwetan dan
labilitasketentuan pajak 25 : (1)kenaikan target lebih mudah dicapai dengan merubah regulasi
ketimbang perbaikan administrasi. Akibatnya, setiap potensi defisit ditutup melalui perubahan atau
kreasi regulasi, dan (2) unsur politik memperlambat penyesuaian kebijakan pajak. Berbagai
pertimbangan dalam reformasi UUPPh, antara lain termasuk: (1) lebih berkeadilan dan berkepastian
hukum, (2) tax-rate-cut-cum-base-broadening untuk meningkatkan penerimaan guna restrukturisasi
ekonomi dan peningkatan pertumbuhan, (3) kemanfaatan dan kepentingan nasional, (4) efektivitas
dan efisiensi pemungutan PPh, (5) efektif meningkatan kepatuhan dan dini mencegah pengelakan
pajak, terutama sector e-commerce, (6)tarif kompetitif sekawasan sehingga mampu menarik investor
asing, meminimalisir pelarian modal (capital flight) dan pelarian pajak (tax flight) serta BEPS, (7)
pengembangan sektor start up, UMKM, informal dan underground economy, dan (8) memberi ruang
kebijakan fiskal untuk stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Dengan sistem sama (consumption type-invoice system VAT) dan tarif sama (10%) dengan Vietnam,
tax ratio PPN Indonesia 2012 adalah 3,96% (Vietnam 6,28%) merupakan pekerjaan rumah para
pembuat kebijakan PPN untuk mendisain sistem yang efektif dan efisien sehingga mampu
menghasilkan penerimaan yang memadai. Jika mampu mencapai tax ratio 50% dari tarif atau 5%26
berarti dapat diperoleh penerimaan PPN 2016 sekitar Rp 600T, naik lebih dari Rp 100T dari APBNP
sehingga ruang belanja pemerintah semakin longgar. Dengan mengubah pengertian objek pajak dari
barang hasil pabrikasi menjadi semua barang kecuali ditentukan lain dalam UU, sejak perubahan
dengan UU No 11/1994 Indonesia telah memberlakukan Goods and Services Tax (GST), sehingga
tanpa perhatikan nilai tambah, termasuk yang diambil langsung dari alam, semua barang dan jasa,
selain yang dikecualikan (Pasal 4A UUPPN), dapat dikenai PPN. Selain itu, PMK-62/PMK.03/2002
mengubah DPP penyerahan hasil tembakau pabrikan, seperti rokok, dengan harga eceran. Walaupun
tetap melestarikan mekanisme PM-PK, PPN telah memasukkan unsur Retail Sales Tax.

22
Konon, dengan alasan menghambat capaian target, konsep dasar ini mau dikembalikan ke prinsip official asessment, yaitu bahwa ketidak
setujuan dalam pembahasan akhir, pengajuan keberatan dan banding tidak menunda penagihan.Sebagai negara hukum, kita harus
menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum. Sistem pajak yang berkeadilan merupakan sasaran dari UU Pengampunan Pajak. Apakah
pengembalian prinsip dasar penagihan jalan terus walau dalam sengketa sesuai dengan prinsip pemajakan yang lebih berkeadilan di negara
hukum? Selain harus melaksanakan kewajiban, keadilan juga menuntut perlindungan hak WP.
23
Dari Alink & van Kommer.
24
Idem.
25
Alex Radian, 1980.
26
OECD, 1998, Comparative Survey and Evaluation VAT in Central and Eastern European Countries, menyebut tiap 1% tarif VAT minimal
harus hasilkan 0,4% penerimaan dari PDB.

6
Dengan konsep dasar PPN untuk tujuan perolehan penerimaan, maka disain PPN harus: 27 (1)
meningkatkan penerimaan dengan perluasan objek pajak mencakup sebanyak mungkin barang dan
jasa, serta dengan titik pemungutan sedekat mungkin dengan konsumen agar mencakup nilai tambah
besar, (2) minimalisasi distorsi pilihan produsen atas bentuk dan metode bisnis dengan pengkreditan
PM komprehensif pada semua PKP atas bahan mentah, barang antara, barang jadi, dan barang modal
(termasuk tanah), restitusi cepat, dan sedapat mungkin rasio pajak pada pelanggan uniform; (3)
penguatan prinsip destinasi dengan pemantapan pemajakan PPN atas impor sebesar tarif domestik dan
pengembalian pajak domestik ats barang ekspor dengan penyederhaanaan prosedur namun kuat
pengawasannya; (4) UU harus sederhana mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan DPP berdasar
harga jual nyata atau sebanding, pembebasan terbatas pada barang pokok dengan alasan sosial atau
yang menimbulkkan kompleksitas, tarif pajak uniform, dan tarif 0% hanya berlaku untuk ekspor; (5)
biaya pungut dan penegakan hukum rendah dengan self assessment dan voluntary compliance, online
system berdasar IT based administrasi, pengecualian pengusaha kecil, informal dan undeground
economy, uniformity faktur pajak dan komersial dengan otomasi kreit pajak berdasar laporan dan
pembayaran PKP Penjual dan pemungut PPN; dan (6) mudah dipatuhi dan sekecil mungkin
intervensinya pada bisnis, produksi dan distribusi, sehingga disain prosedur pemajakan transparan
dengan proses bisnis dan metode pembukuan, penjual selalu memungut PPN pada lawan transaksi,
selain yang ditentukan lain, pengawasan pajak sedapat mungkin secara otomatis dengan IT dan
teknologi atau pembukuan.

Menghadapi MEA untuk menghindari harmful tax competition yang merugikan semua pihak perlu
harmonisasi pemajakan PPh dan PPN seperti di Uni Eropa. Harmonisasisasi PPh diperlukan untuk
menghindari kompetisi pajak yang kurang sehat. Fenomena race (rush) to bottom rate yang berujung
banting harga tarif pajak besar-besaran amat merugikan kita semua. Penurunan tarif pajak signifikan
pengorbanan penerimaan pajak negara para pihak. Karena batas negara amat dekat, terbuka lebar
kesempatan seseorang punya dual residence status. Misalnya, seseorang tinggal di Batam bekerja dan
hari-hari tinggal di Singapura. Orang Malaysia tiap hari bekerja di Singapura. Kondisi seperti ini
berpotensi resident ganda bagi ybs. Mungkin perlu duduk bersama dengan kepala dingin cari solusi
pemajakan atas seseorang dengan residen ganda tersebut. Berbeda dengan system PPN yang
umumnya mengikuti prinsip destinasisemuanya, dalam PPh prinsip pajak berbasis residen dan sumber
keduanya diikuti hampir semua negara ASEAN. Sedikit pembatasan terjadi di Malaysia dan
Singapura, karena atas penghasilan luarnegeri hanya kena pajak sepanjang direpatriasi ke negara
domisili.

Harmonisasi mungkin mengambil prinsip pemajakan, seperti penentuan residensi subjek, cakupan
geografis pemajakan (global atau teritorial, atau teritorial plus penghasilan luar negeri dikirim ke
negeri domisili). Penyederhanaan sistem pemungutan PPN atas transaksi lintas batas para anggota
Asean apakah berdasar prinsip destinasi tanpa restitusi dengan pemberian kredit fiktif pada importir,
clearing account system ala Israel-Jalur Gaza, atau sistem lain yang sederhana untuk mengurangi
beban administrasi pemungutan atas impor dan restitusi atas ekspor antar anggota. Transaksi lintas-
batas dengan selain anggota MEA berlaku mekanisme normal.

MEA, PERSAINGAN PAJAK DAN KEBIJAKAN PAJAK INTERNASIONAL

Walaupun dikodifikasi dalam UU domestik, namun kebijakan pajak bukanlah masalah domestik
belaka. Regionalisasi dan integrasi ekonomi serta kawasan ekonomi bersama membatasi kewenangan
politis dan disain kebijakan pajak domestik. Mobilitas investasi dan modal serta tenaga kerja dan
profesional menimbulkan kompetisi pajak antar negara, karena tiap negara berusaha menariknya,
termasuk basis pajaknya. Investor asing, heavy-wealthy individuals (HWI), dan profesional trampil
secara geografis lebih fleksibel dan sensitif pada beda beban pajak. Pembuat kebijakan pajak bekerja
dalam lingkungan regional dan global pendorong kompetisi pajak dengan risiko lari ke bawah (rush to
bottom). Akibatnya untuk menarik investor asing dan basis pajaknya, sementara reformasi pajak

27
OECD, 1998.

7
negara OECD pada dekade 90an menurunkan tarif statuter dari 50 ke 30% plus perluasan basis pajak,
di Asean saat ini turun dari 35% ke lebih rendah dari 25%.

Konsep kompetisi pajak berasal dari Tiebout, dengan asumsi mobilitas warga tinggi dan memilih
tinggal di kota yang memberi layanan publik sepadan dengan pembayaran pajak sehingga beberapa
kota bersaing menyelaraskan beban pajak dan layanan publiknya28. Kompetisi tidak seluruhnya salah,
karena dapat mendorong efisiensi belanja pemerintah dan mendisain sistem pajak yang efektif dan
efisien. Selain itu, walau menciderai kontrak sosial negara dan warga, kompetisi juga merangsang WP
mengambil putusan rasional dan ekonomis plus hemat pajak kemana akan tinggal, bekerja atau
berinvestasi. Namun, kompetisi pajak harus sehat dan tidak merusak (harmful) melalui kesempatan
penghindaran dan kecurangan lewat suaka pajak (tax haven) dan program preferensial.The Global
Economic Forum2013 merekomendasikan 12 unsur pendorong produktivitas dan daya saing,
seperti 29 : kelembagaan, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar,
tingkat diklat, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar modal,
kesiapan teknologi, besaran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.

Arnold dan McIntyremenyebutbeberapa kebijakan pajak internasional, termasuk30: (1) peroleh bagian
penerimaan darikegiatan transnasional WPDN dan WPLN melalui penguatan jurisdiksi pemajakan
dan penghindaran pembentukan P3B yang menggerus hak pemajakan, (2) mendorong keadilan
dengan pemajakan atas semua penghasilan dari sumber manapun, (3) meningkatkan daya saing
domestik melalui instrumen fiskal dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan (4) menjaga
keseimbangan antara netralitas ekspor modal (perlindungan pasar investasi domestik dengan
menerapkan regulasi domestik atas semua investasi manapun) dengan netralitas impor modal
(menjaga pasar investasi manca negara dengan menghilangkan beban pajak melebihi negara importir
modal). Penguatan jurisdiksi pemajakanagar terdapat inter-nation equity dari penghasilan kegiatan
lintas batas WPDN dan WPLN terutama dalam kegiatan bisnis e-commerce, seperti kasus Google.
Tax connecting factor pemajakan, seperti pengenalan deemed taxable presence dengan mengharuskan
tiap pengusaha atau profesi manca negara pemeroleh penghasilan dari Indonesia harus mempunyai
BUT, atau ketentuan sumber atas penghasilannya karena dibayar WPDN atau menjadi pengurang
penghasilan kena pajak negeri ini(pengenalan deductibility-taxability rule). Pegenalan deemed taxable
presence (BUT) harus diikuti dengan atribusi objek pajak dengan alasan apapun, seperti perluasan
ketentuan force of attraction Pasal 5(1)(b) UUPPh. Kriteria BUT merupakan all-or-nothing rule of
taxation atau zero-sum game criteria, artinya jika tidak memenuhi kriteria maka tidak dapat
memajaki, namunmemajaki semuanya jika memenuhi kriteria.

Alternatifnya, agar selalu berhak mengenakan pajak atas penghasilan e-commerce yang dibayarkan
WPDN/BUT atau dibebankan padakegiatan di Indonesia, dapat saja penghasilan tersebut ditentukan
bersumber di Indonesia dan kena potongan PPh.Karena WPLN pebisnis e-commerce, secara geografis
administratif, berada di luar jangkauan administrasi pajak Indonesia boleh jadi tidak mau menanggung
beban pajak dan akhirnya membebani warga kita. Berdasar net-loan method31, misalnya penghasilan
kegiatan e-commerce S$ 100 dengan potongan pajak 10%, maka S$ 100 dianggap telah dipotong PPh
10% ditanggung pemanfaat jasa e-commerce sehingga pajak S$ 11 harus dibayar. Untuk meringankan
beban pemanfaat WPDN misalnya pajak S$11 dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak
sehingga mendapat keringanan $ 2,75 (25% x $11). Pajak dapat dipungut melalui bank pembayaratau
penyelenggara kartu kredit.

Kepada administrasi pajak berbagai negara, secara legal OECD (2001) merekomendasikan, beberapa
praktik tindakan perpajakan internasional seperti: konsisten penerapan ketentuan P3B; mendorong
alokasi adil hak pemajakan dan pengembangan regulasi domestik; tidak memfasilitasi penghindaran
pajak;untuk tujuan pertukaran informasi perbaiki akses informasi finansial; aplikasi ketentuan
nondiskriminasi; perlindungan kerahasiaan informasi negara mitra; dan memberi kesempatan

28
Dari Alink& van Kommer.
29
Idem.
30
Arnold, Brian J & Michael J McIntyre, 2002, International Tax Primer, Kluwer Law International.
31
M Surrey, dari Gunadi, 1991, Taxation of Inbound Investment in Indonesia.

8
renegosiasi P3B seperlunya. Sementara itu, beberapa rekomendasi administratif, termasuk: fasilitasi
pertukaran informasi aktif dan berikan umpan balik; lakukan pertukaran data spontan informasi dari
pemeriksaan; hanya meminta informasi mitra perjanjian yang relevan, penting, tersedia dan
bermanfaat; informasikan WP tentang progres dan hasil MAP; dan dukung prinsip harga sebanding
(arms-length principle)dan Pedoman TP OECD.

Terkait BEPS, pada 5 Oktober 2015 OECD telah merelease Laporan Final pada BEPS Action Plan,
dengan 15 rekomendasi: (1) perlakuan pajak atas ekonomi digital; (2) netralisasi pengaruh missmatch
regulasi; (3) penguatan regulasi korporate mancanegara terkendali; (4) batasi erosi basis dengan
pengurangan bunga dan pembayaran finansial lain; (5) pencegahan praktik persaingan pajak tidak
sehat; (6) hindari pemberian benefit P3B dalam kondisi kurang tepat; (7) pencegahan penghindaran
status artifisial BUT; (8-10) aspek Transfer Pricing; (11) menghimpun dan analisis data BEPS; (12)
pengungkapan perencanaan pajak agresif; (13) pedoman dokumentasi TP; (14) menyusunmekanisme
solusi efektif sengketa; dan (15) pengembangan instrumen multilateral pemodifikasi P3B.

PENUTUP

Pemusatan inisiasi kegiatan pemajakan pada warga, bagi administrasi pajak, self assessment berdasar
voluntary compliance, merupakan sistem pemungutan pajak yang efektif dan efisien. Agar berfungsi
semestinya,Rizal Palil32 dan Benno Torgler33 menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi
WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) kesadaran pajak, (iii) kejujuran, (iv) hasrat membayar pajak, (v)
disiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) kemauan membayar pajak. Inisiasi awal
penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP, dengan asumsi: (i) WP pelaku
transaksi dan penerima penghasilan objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data,
informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan
ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya
membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak.

Sementaraitu, agar sistemself assessment efektif, DJP harus: (i) menjadikan WP memahami aturan
dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan
laksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan,
namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan
basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv)
memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan WP, (v)
mengelola data base secara komprehensif dan mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas
guna deteksi dini ketidakpatuhan melalui proforma SPT. Dengan penjagaan tingkat kepatuhan WP
maka beberapa tantangan masa depan PPh dan PPN dapat diatasi sehingga kebijakan baru tetap
mampu menghasilkan penerimaan cukup membiayai belanja pemerintah dan pembangunan dalam
rangka mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.

32
Palil, Rizal Mohad, 2010, Factors Influencing Individual Compliance in Self Assessment System.
33
Dari Alink & van Kommer.

9
CURRICULUM VITAE

NAMA : Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.


NIP : 194808151975101001
TEMPAT/TGL.LAHIR : Yogyakarta, 15 Agustus 1948
PANGKAT/GOLONGAN : Pembina Utama/ IV e
JABATAN : Guru Besar Universitas Indonesia
(mantan Wakil Kepala PPATK)
ALAMAT KANTOR : Universitas Indonesia - Depok
ALAMAT RUMAH : Jl. Bhakti I No. 1, Kemanggisan
Jakarta Barat 11480

I. RIWAYAT PENDIDIKAN
- Perguruan Tinggi S-1 : Tahun 1974, Fakultas Ekonomi (Akuntansi)
Universitas Gajah Mada
- Pasca Sarjana S-2 : Tahun 1985, Institut Of Public Finance
Den Haag Netherland
- S-3 : Tahun 1991, University Of Leiden
(International Taxation, Law)

II. RIWAYAT PEKERJAAN


 SAAT INI :
1. Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan
2. Ketua Tax Centre FISIP UI
3. Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP Universitas Indonesia
(SK Mendiknas No.41659/ A4.5/KP/2003, tanggal 25 Juli 2008 )
4. Senior Advisor pada Kantor Konsultan Triguna Budi Wiryawan
5. Senior Advisor pada Kantor Konsultan MUC
6. Senior Advisor pada Kantor Konsultan J & L.
7. Ketua Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia

 SEBELUMNYA :
1. 2006 - 2011, Wakil Kepala PPATK
2. 2006 - 2006, Direktur Peraturan Perpajakan
3. 2001 - 2006, Direktur Pemeriksaan, Penagihan dan Penyidikan Pajak
4. 2001 - 2001, Kepala Kanwil XV DJP (Maluku dan Irian Jaya)
5. 2000 - 2001, Direktur Pajak Penghasilan
6. 1999 - 2000, Kepala Kanwil VIII DJP (Jawa Tengah dan Yogyakarta)
7. 1996 - 1999, Direktur Perencanaan dan Potensi Perpajakan
8. 1995 - 1996, Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana
9. 1992 - 1995, Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan TransaksiInternasional
10.1992 - 1992, Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan PPh dan PBB

10
III. Pekerjaan Lain
1. Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP UI
2. Dosen Luar Biasa S2, Maksi Fakultas Ekonomi UI,
3. Dosen Luar Biasa S2 Universitas Trisakti, Universitas Tarumanegara
4. Dosen Luar Biasa STPI
5. Mantan Anggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI
6. Anggota International Fiscal Association
7. Anggota Asosiasi Fiskal Indonesia
8. Aktif memberikan Seminar baik di dalam maupun luar negeri
9. Ketua Tim Editor Majalah Jurnal Perpajakan Indonesia
10. Dosen Luar Biasa Universitas Prof. DR. Hamka
11. Dosen Luar Biasa Universitas Gajah Mada
12. Dosen Luar Biasa Universitas Riau
13. Ketua Umum Indonesian Fiscal & Tax Administration Association (IFTAA)

11

Anda mungkin juga menyukai