Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi Indonesia saat ini dilakukan dengan strategi orientasi


industrialisasi. Hal ini merupakan syarat mutlak menuju modernorisasi suatu bangsa,
dengan harapan tercapaianya produktivitas yang tinggi dari kegiatan sektor industri.
Tenaga kerja sebagai mesin penggerak utama pembangunan ekonomi, sektor industri
harus terus dipacu agar sektor ini memiliki daya saing yang kuat di pasar internasional,
mengingat kemampuannya untuk menghasilkan produk-produk dalam jumlah besar
dan sifat komoditasnya yang lebih elastik dan responsif terhadap pasar.

Mewujudkan pembangunan ekonomi tersebut, dibutuhkan suatu situasi kerja


yang tenang dan harmonis. Situasi kerja ini bersumber dari suatu hubungan saling
ketergantungan dari para pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda, yaitu
hubungan industrial yang melibatkan pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah.
Tercapaianya hubungan industrial yang harmonis harus terus menerus dibangun
mengingat dampaknya yang luas terhadap pembangunan ekonomi negara.2
Kenyataannya hingga saat ini hubungan industrial yang harmonis sebagai
prasyarat industrialisasi masih belum terwujud. Hal ini dibuktikan dengan maraknya
konflik yang terjadi antara pengusaha dan tenaga kerja yang dipicu oleh berbagai isu
berkaitan dengan ketenagakerjaan, seperti kontrak kerja antara pekerja dan
pengusaha, pengupahan, outsourcing dalam proses rekrutmen yang sering
menimbulkan aksi mogok kerja, serta ketentuan mengenai pesangon yang dirasakan
cukup memberatkan bagi pengusaha.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 D angka 2 UUD 1945 bahwa ”Semua orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”, sudah selayaknya jika tenaga kerja yang memiliki peran
besar dalam proses produksi juga mendapatkan imbalan sesuai dengan tenaga yang
sudah diberikannya,tetapi masih terjadi pembayaran hak pekerja yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan ketenagakerjaan, berupa diskriminasi upah antara pekerja
outsourcing dan pekerja tetap.

Banyaknya mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja telah mengganggu
aktivitas produksi berbagai perusahaan. Menurut Ismail Nawawi3 mogok kerja itu
merupakan suatu pengunduran diri dari situasi kerja yang merupakan suatu gambaran
dari sikap agresif, dan usaha yang penuh perhitungan untuk mengadakan perubahan
dalam situasi atau bentuk hubungan kerja. Seperti kasus mogok kerja yang terjadi di
perusahaan Maspion yang berlokasi di Sidoarjo, Surabaya, dan Gresik terkait
masalah upah minimum. Mogok kerja yang dilakukan para pekerja dengan
mengerahkan massa sekitar lima ribu pekerja/buruh di perusahaan untuk menuntut
kenaikan upah minimum sesuai keputusan Gubernur Jawa Timur.
Menurut Muhaimin Iskandar4 bahwa aksi mogok kerja yang terjadi di tingkat
perusahaan selama tahun 2011 setidaknya telah terjadi 127 aksi mogok di tingkat
perusahaan yang melibatkan 46.918 pekerja/buruh dengan kerugian jam kerja
327.355 jam. Aksi mogok kerja selama tahun 2012 mengalami penurunan hingga
sekitar 60 persen, yaitu sebanyak 11 aksi mogok di tingkat perusahaan di seluruh
Indonesia dengan jumlah pekerja/buruh yang terlibat sebanyak 4.755 orang dengan
kerugian jam kerja 38.040 jam, dari jumlah perusahaan nasional di Indonesia
sebanyak 226.617 perusahaan.
Magok kerja sering menimbulkan perselisihan hubungan industrial antara
pengusaha dengan pekerja. Salah satu cara untuk mengatasi perselisihan hubungan
industrial ini dengan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
bermartabat. Hubungan industrial ini dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
mengatasi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam bidang
ketenagakerjaan. Persoalan ketenagakerjaan dan implikasinya bagi kepastian berusaha
di Indonesia ini harus dapat dibangun hubungan industrial yang harmonis yang
mampu menyelaraskan antara kepentingan pekerja dan pengusaha sebagai bagian
agenda peningkatan kesejahteraan.
B. Perumusan Masalah
Hubungan industrial di Indonesia, terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja/buruh
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses produksi di perusahaan adalah pengusaha dan pekerja/buruh, sedangkan
pemerintah (negara) sebagai pihak yang berkepentingan dalam mewujudkan
hubungan kerja yang harmonis

sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga dapat menggerakan pertumbuhan


ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Hubungan Industrial Pancasila?
2. Bagaimanakah Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di
Indonesia?

B. Tujuan
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan seluruh mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami jawaban dari rumusan masalah yang dipaparkan dalam makalah ini.
BAB 2
PEMBAHASAN

I. Hubungan Industrial Pancasila


A. Dasar Hukum
Ada beberapa landasan dalam Hubungan Industrial Pancasila yang harus
diperhatikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya, yaitu :
 Pancasila sebagai landasan idiil.
HIP berlandaskan pada keseluruhan sila-sila daripada Pancasila secara bulat dan utuh,
artinya sila-sila dari Pancasila harus digunakan terkait satu sama lain dan tidak boleh
menonjolkan yang lebih dari yang lain
 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional.
HIP juga berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh maupun pada Penjelasannya.
 Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 sebagai landasan structural dan operasional.
HIP mempunyai landasan structural dan landasan operasional TAP. MPR No. II/1978
yaitu tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
 Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan operasional.

 Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan-kebijakan Pemerintah sesuai Trilogi


Pembangunan Nasional, yaitu:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis.

b. Pengertian Hubungan Industrial


Hubungan industrial berasal dari kata industrial relation, merupakan
perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labour relation atau labour
management relations). Menurut Payaman J. Simanjutak15 bahwa hubungan
industrial adalah hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan
atas proses produksi barang atau pelayanan jasa di suatu perusahaan.

Yunus Shamad16 merumuskan hubungan industrial dapat diartikan sebagai


suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang terbentuk diantara
para pelaku proses barang dan jasa, yaitu pekerja, pengusaha, pemerintah dan
masyarakat. Pendapat yang sama dikemukakan Muzni Tambusai17 bahwa
hubungan industrial pada intinya merupakan pola hubungan interaksi yang
terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa (pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah) dalam suatu hubungan kerja.
Menurut Sentanoe Kertonegoro,18 istilah hubungan perburuhan memberi
kesan yang sempit seakan-akan hanya menyangkut hubungan antara pengusaha
dan pekerja. Pada dasarnya masalah hubungan industrial mencakup aspek yang
sangat luas, yakni aspek sosial budaya, psikologi ekonomi, politik hukum dan
hankamnas sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan
pekerja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas.
Hubungan industrial ini sulit merumuskan secara universal untuk diterima
semua pihak, hal ini diakui pula oleh Michael Salamon19 dalam bukunya
Industrial Relation menyatakan “However, it is difficult to define the term
industrial relation in a precise and universally accepted way. Industrial relation
for many is perceived to involve male, full time, unionized, manual workers in
large, manufacturing units imposing restrictive practices, strikes, and collective
bergaining”. Pengertian hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal
1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah suatu sistem hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa
yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur dari
hubungan industrial, yakni: adanya suatu sistem hubungan industrial, adanya
pelaku yang meliputi pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, adanya proses
produksi barang dan/atau jasa.20
Hubungan antara para pelaku kegiatan proses produksi (pekerja dan
pengusaha), untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai hasil usaha, dan
pemerintah yang mengayomi dan berkepentingan untuk pembinaan ekonomi
nasional. Suatu sistem yang di dalamnya terdiri rangkaian cara terjadinya
hubungan industrial dan penjabaran perihal hak dan kewajiban para pihak, yang
kesemuanya itu merupakan materi utama dari hukum ketenagakerjaan. Secara
terinci pada dasarnya hubungan industrial meliputi: (1) Pembentukan perjanjian
kerja bersama yang merupakan titik tolak adanya hubungan industrial; (2)
Kewajiban pekerja melakukan pekerjaan pada atau di bawah pimpinan pengusaha,
yang sekaligus merupakan hak pengusaha atas pekerjaan dari pekerja; (3)
Kewajiban pengusaha membayar upah kepada pekerja yang sekaligus merupakan
hak pekerja atas upah; dan (4) Berakhirnya hubungan industrial dan;

(5) Caranya perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan


diselesaikan dengan sebaik-baiknya.21

Hubungan Industrial terbentuk dengan mengacu pada landasan falsafah bangsa


dan negara, yang karena setiap bangsa dan Negara mempunyai falsafah yang
berbeda, maka sistem hubungan industrial juga cenderung berbeda antara satu
negara dengan negrara lainnya. Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah
bangsa dan negara, maka hubungan industrialnya mengacu pada Pancasila,
karenanya hubungan industrial di Indonesia lebih dikenal dengan Hubungan
Industrial Pancasila.
Kondisi hubungan industrial di Indonesia yang sedang berada dalam masa
transisi, sehingga lebih mudah menyebabkan timbulnya masalah. Paling tidak
dalam periode lima tahun yang pertama sejak era reformasi dapat dikatakan
bahwa ketiga pihak dalam hubungan industrial yaitu: pengusaha, pekerja, dan
pemerintah sedang pada awal proses memasuki paradigma baru hubungan
industrial. Hubungan industrial yang sebelum era reformasi bersifat sentralistik
dalam bentuk single union dengan pembatasan kebebasan berserikat bagi pekerja,
kemudian pada era reformasi berubah total menjadi multi union.
Posisi pekerja dari segi bargaining power pada umumnya jauh lebih lemah
dibandingkan dengan posisi pengusaha. Rendahnya kualitas pekerja dan tingginya
tingkat pengangguran menjadikan pekerja di Indonesia tidak mempunyai banyak
pilihan untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga berdampak pada rendahnya
bargaining power mereka terhadap pengusaha.

c. Hubungan Industrial Pancasila


Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja,
pengusaha, dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan
manisfestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh dan
berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.22

HIP merupakan hubungan antara pelaku dalam proses produksi barang


ataupun jasa yang melibatkan 3 (tiga) unsur utama yang ada dalam suatu usaha,
yaitu: Pihak pemerintah, pihak pengusaha, dan pihak pekerja untuk menjalankan
hak dan kewajiban masing-masing yang didasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung di dalain Pancasila (Butir 16 UU No. 13 Tahun 2003).23
Tujuan HIP adalah mengemban cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam Pembangunan Nasional ikut
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.24
Konsep HIP adalah berusaha menumbuhkembangkan hubungan yang
harmonis atas dasar kemitraan sejajar dan terpadu di antara para pelaku dalam
proses produksi yang didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila dan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Arah pengembangan HIP untuk
memelihara dan mempertahankan kelangsungan usaha. Pada sisi lain pengusaha
(pemilik modal) diarahkan untuk memiliki dan mengembangkan sikap untuk
menganggap pekerja atas dasar kemitraan yang sejajar sesuai dengan kodrat,
harkat, martabat dan harga diri, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja.25
Perkembangan konsep ide HIP adalah harmonisasi. Harmonisasi adalah
keseimbangan yang bertolak dari ide keseimbangan. Pancasila sebagai ide dasar
dari tujuan pembangunan nasional khususnya pembangunan sistem hukum
nasional yang berbasis pada nilai keseimbangan. Tujuan ide keseimbangan
monodualistik, antara kepentingan pelaku, keseimbangan faktor objektif,
kepastian, kemanfaatan, keseimbangan antara nilai nasional dan global.

d. Ruang Lingkup HIP


Berdasarkan paparan di atas, hubungan industrial adalah sistem
hubungan yang terbentuk diantara para pihak dalam suatu proses produksi
dan/atau jasa (pekerja/buruh, pengusaha, pemerintah) yang berlandaskan asas-asas
atau nilai-nilai tertentu. Ruang lingkup hubungan industrial menurut
Heidjrahman, adalah “bahwa hubungan industrial secara garis besarnya dibedakan
menjadi dua, yaitu masalah man power marketing dan masalah man power
management”.13
Ruang lingkup hubungan industrial, baik yang menyangkut masalah man
power marketing dan masalah man power management, pada hakekatnya akan
selalu membahas syarat-syarat kerja dengan segala permasalahan dan
pemecahannya. Istilah syarat-syarat kerja, terdiri dari istilah- istilah “syarat” dan
istilah “kerja”, dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari “syarat”
adalah, “janji, tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi”, sedangkan istilah
“kerja” artinya adalah “sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah”.
Sebagaimana untuk memahami lebih jauh tentang istilah syarat kerja kita dapat
menganalisa pendapat dari Sri Haryani, mengenai ruang lingkup hubungan
industrial.
Berdasarkan paparan dari Sri Haryani di atas, ruang lingkup hubungan
industrial, yang menyangkut man power marketing (pemasaran tenaga kerja),
secara umum membahas penentuan syarat-syarat kerja yang akan diterapkan
dalam pelaksanaan ikatan kerja yang ada. Proses ini setelah pekerja/buruh
dinyatakan diterima oleh pihak perusahaan. Penentuan syarat- syarat kerja ini
dapat dilaksanakan oleh pekerja/buruh secara individu maupun oleh wakil-wakil
pekerja/buruh yang tergabung dalam organisasi pekerja/ organisasi buruh.
Penentuan syarat-syarat kerja secara individu, hanya individu tersebut
yang terikat dengan ketentuan syarat- syarat kerja, karena ketentuan hanya
menyangkut pekerja/buruh secara individu (perorangan), maka dalam
penetapannya juga hanya melibatkan pekerja/buruh yang bersangkutan dengan
pihak pengusaha atau perusahaan, yang selanjutnya disebut Individual bargaining.
Selain penentuan syarat-syarat kerja secara individu seperti di atas,
penentuan syarat-syarat kerja juga dapat dikenakan secara kelompok, dalam hal
ini, maka kelompok pekerja/buruh dalam penentuan syarat-syarat kerja bagi
dirinya kepada wakilnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh, penentuan syarat-
syarat kerja ini disebut collective bargaining. Sebagai konsekuensinya, para
pekerja/buruh tersebut harus menerima syarat-syarat kerja yang telah disepakati
oleh pihak pengusaha atau perusahaan dengan wakil pekerja.17 Jenis-jenis syarat
kerja yang dimaksud di atas, misalnya jam kerja, hari kerja, tempat kerja, upah,
jaminan sosial, dan lain-lain.18
Sebagaimana yang dimaksud dengan man power management adalah
membahas pelaksanaan syarat-syarat kerja dan berbagai permasalahan serta
pemecahannya. Proses ini terjadi setelah pekerja/buruh bergabung dengan
perusahaan. Pelaksanaan syarat-syarat kerja dengan berbagai permasalahannya
dan pemecahannya dapat diterapkan kepada pekerja/buruh secara individual
maupun kepada keseluruhan pekerja/ buruh melalui organisasi pekerja/ organisasi
buruh .
Praktiknya pelaksanaan dan pemecahannya diterapkan secara individu,
dalam kasus seperti ini berarti menyangkut personal management, karena hanya
menyangkut pekerja/buruh secara individu (perorangan), maka dalam
penanganannya juga hanya melibatkan pekerja/buruh yang bersangkutan dengan
pihak pengusaha atau perusahaan . Selain pelaksanaan syarat-syarat kerja,
penanganan permasalahan dan pemecahannya secara individu seperti di atas, hal
itu juga dapat dilakukan secara berkelompok, melalui organisasi
pekerja/organisasi buruh. Dalam hal seperti ini, maka kelompok pekerja tersebut
akan mewakilkan pelaksanaan syarat-syarat kerja, penanganan permasalahan dan
pemecahannya yang mewakilkan kepada organisasi pekerja/ organisasi buruh
(labor relation). Sebagai konsekuensinya, para pekerja/ buruh tersebut harus
menerima pelaksanaan syarat-syarat kerja, dan pemecahan permasalahannya
kepada serikat pekerja/ serikat buruh.
Secara terperinci pelaksanaan syarat-syarat kerja, permasalahan yang dihadapi
dan pemecahannya yang diwakilkan kepada serikat pekerja/ serikat buruh akan
meliputi: Penarikan tenaga kerja, pengembangan tenaga kerja, kompensasi,
Integrasi, dan pemeliharaan.
Indonesia menganut sistem hubungan industrial yang berdasarkan
Pancasila, Hubungan industrial Pancasila, adalah sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha,
pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari
keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh dan berkembang
di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
Pengertian di atas jelas bahwa hubungan industrial Pancasila
menghendaki para pihak yang terlibat di dalamnya melakukan suatu tindakan apa
pun harus sesuai dengan nilai Pancasila, atau jelasnya hubungan Industrial
Pancasila adalah hubungan industrial yang dijiwai oleh kelima Pancasila berbunyi:
 Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan atas asas Ketuhanan Yang
Maha Esa;
 Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan kemanusiaan yang adil dan
beradab;
 Suatu hubungan perburuhan yang di dalamnya mengandung asas yang
mendorong ke arah Persatuan Indonesia;
 Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan atas prinsip musyawarah
untuk mencapai mufakat;
 Suatu hubungan perburuhan yang mendorong ke arah terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.25
 Nilai-nilai Pancasila akan dapat menciptakan suasana dan lingkungan
kerja yang baik, menyenangkan, tentram dan tertib, nilai-nilai Pancasila dan
UUUD 1945 dapat mengendalikan perilaku setiap insan, yaitu menjadi insan-insan
berbudi baik, tertib, saling harga menghargai, saling membantu, saling isi mengisi,
serta menjauhkan diri dari sifat- sifat mementingkan diri sendiri, meremehkan
insan lain, dan menekan dan/atau hendak memeras sesama insan lainnya.
e. Fungsi dan Tujuan HIP
 Mensukseskan pembangunan dalam rangka mengemban cita-cita bangsa
Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.
 Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
 Menciptakan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta
ketenangan usaha.
 Meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
 Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan
martabatnya manusia.

f. Asas-asas
Hubungan Industrial Pancasila dalam mencapai tujuannya mendasarkan diri
pada asas-asas pembangunan yaitu:4
a) Asas Manfaat
Artinya segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan kesejahteraan
rakyat.
b) Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
Artinya usaha mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa harus merupakan
usaha bersama seluruh rakyat yang dilakukan secara gotong royong dan
kekeluargaan.
c) Asas Demokrasi
Artinya didalam menyelesaikan masalah-masalah Nasional ditempuh
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat.
d) Asas Adil dan Merata
Artinya bahwa hasil yang dicapai dalam pembangunan harus dapat
dinikmati secara adil dan merata sesuai darma baktinya.
e) Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan
Artinya harus diseimbangkan antara kepentingan-kepentingan dunia dan
akhirat, materil dan spiritual, jiwa dan raga, individu dan masyarakat, dan
lain-lain.
f) Asas Kesadaran Hukum
Setiap warga negara harus taat dan sadar pada hukum dan mewajibkan
negara menegakkan hukum.
g) Asas Kepercayaan Pada Diri Sendiri
Pembangunan berdasarkan pada kepercayaan akan kemampuan dan
kekuatan sendiri, serta bersendikan pada kepribadian bangsa.
Dalam pelaksanaanya Hubungan Industrial Pancasila berlandaskan kepada
dua asas kerja yang sangat penting, yaitu:
1. Asas Kekeluargaan dan Gotong Royong
2. Asas Musyawarah untuk mufakat

g. Adapun ciri-ciri Hubungan Industrial Pancasila yaitu :


 Mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah
saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya,
sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
 Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka
melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan
martabatnya.
 Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan
yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama
untuk kemajuan perusahaan.
 Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus
disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang
dilakukan secara kekeluargaan.
 Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah
pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.

h. Sarana Dalam Pelaksanaan HIP


Adapun sarana Hubungan Industrial Pancasila yaitu :
 Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
 Organisasi Pengusaha,
 Lembaga kerja sama Bipartit,
 Lembaga kerja sama Tripartit,
 Peraturan Perusahaan,
 Perjanjian Kerja Bersama,
 Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan dan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

i. Kebijakan Hubungan Industrial di Indonesia


Hubungan Industrial Pancasila berlandaskan keseluruhan dari sila-sila
Pancasila yang saling terkait satu sama lain dan tidak boleh menonjolkan yang
satu lebih dari yang lain yaitu :
 UUD 1945, sebagai landasan konstitusional.
 Hubungan Industrial Pancasila belandaskan pula pada UUD 1946 sebagai
landasan konstitusional mulia dari pembukaan, batang tubuh maupun pada
penjelasannnya.
 Ketetapan MPR No. II tahun 1978, sebagai landasan struktural dan
operasional.
 Hubungan Industrial Pancasila mempunyai landasan structural dan
landasan operasional pada TAP MPR No. II tahub 1978 yaitu Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)
 Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN ), sebagai landasan operasional.
GBHN yang ditetapkan setiap lima tahun sekali merupakan
landasan operasional Hubungan Industrial Pancasila. Karena itu
penyesuaian penyesuaian dalam kebijaksanaan operasional perlu diadakan
paling lama lima tahun sekali. Hubungan Industrial Pancasila juga
berlandaskan, kepada peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan-
kebijaksanaan Pemerintah sesuai dengan Trilogi Pembangunan Nasiona.
Hubungan Industrial Pancasila mengakui dan menyakini bahwa bekerja
bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah saja, akan tetapi
sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia,
kepada masyarakat, Bangsa dan Negara.

Hubungan Industrial Pancasila menganggap pekerja bukan


hanya sekedar factor produksi belaka, tetapi sebagai manusia pribadi
dengan segala harkat dan martabatnya. Karena itu perlakuan pengusaha
kepada pekerja bukan hanya dilihat dari segi kepentingan produksi belaka,
akan tetapi haruslah dilihat dalam rangka meningkatkan harkat dan
martabat manusia.
Hubungan Industrial Pancasila melihat antara pekerja dan
pengusaha bukanlah mempunyai kepentingan yang bertentangan, akan
tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemampuan perusahaan.
Karena dengan perusahaan yang maju dan semua pihak akan dapat
meningkatkan kesejahteraan. Dalam Hubungan Industrial Pancasila setiap
perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus diselesaikan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara
kekeluargaan. Karena itu penggunaan tindakan penekanan dan aksi-aksi
sepihak seperti mogok, penutupan perusahaan (lock out) dan lain-lain
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila.
Di dalam pandangan Hubungan Industrial Pancasila terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam
perusahaan. Keseimbangan itu dicapai bukan didasarkan atas perimbangan
kekuata (balance of power), akan tetapi atas dasar rasa keadilan dan
kepatutan. Disamping itu juga Hubungan Industrial Pancasila juga
mempunyai pandangan bahwa hasil-hasil perusahaan yang telah dicapai
berdasarkan kerjasama antara pekerja dan pengusaha, harus dapat
dinikmati secara adil dan merata sesuai dengan pengorbanan masing-
masing pihak.6 Sejarah Hubungan industrial di Indonesia memang tidak
dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.7Perjuangan
dari sebelum kemerdekaan, setelah merdeka dan melalui beberapa periode
sampai lahirlah Hubungan Industrial Pancasila. Terdapat tiga periode
dalam sejarah Hubungan Pancasila, yaitu: Sistem hubungan Industrial
masuk Indonesia dibawa oleh Belanda sebagai penjajahan pada akhir abad
ke 20 dengan pertama-tama memperkenalkannya di perusahaan-
perusahaan asing khususnya Belanda yang pekerja-pekerjanya juga adalah
orang Belanda.Jadi seolah pada waktu itu Hubungan Industrial Belanda
beroperasi di wilayah Indonesia karena yang diatur pada waktu itu adalah
hubungan antara pekerja Belanda dengan pengusaha Belanda.
Sejak kebangkitan nasional tahun 1908 mulailah terbentuk serikat
pekerja yang anggotanya adalah orang-orang Indonesia, artinya mulai
dipraktekan Hubungan Industrial yang pihaknya adalah para pekerja
Indonesia dan pengusaha Belanda. Pada tahun 1919 Semaun sebagai tokoh
komunis mulai mengenalkan Hubungan Industrial yang berdasarkan
perjuangan Kelas.Maka sejak itu di Indonesia sudah berkembang dua
system hubungan Industrial yaitu yang berdasarkan Liberalisme dan
Marxisme. Inilah yang mewarnai praktek-pratek Hubungan Industrial di
Indonesia.Dengan demikian sejak awal Hubungan Industrial di Indonesia
diwarnai oleh politik karena semua ditujukan untuk perjuangan
Kemerdekaan.Sehingga pembahasan Hubungan Industrial dalam social
ekonomi kurang mendapat perhatian. Pada permulaan kemerdekaan karena
seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan untuk mempertahankan
kemerdekaan maka polarisasi dalam Hubungan Industrial tidaklah
terasa.Hubungan Industrial masih tetap diwarnai oleh orientasi politik.
Pada tahun 1947 mulai lagi timbul polarisasi dalam Hubungan Industrial
dengan terbentuknya serikat buruh SOBSI yang secara nyata-nyata
berorientasi kepada komunisme, dimana pada tahun 1948 SOBSI bersama-
sama dengan PKI terlibat dalam pemberontakan Madiun.
Setelah penyerahan kedalutan dengan system serikat pekerja
yang pluralistis maka system Hubungan Industrial baik yang berdasarkan
liberalisme maupun Marxisme berkembang pesat dipelopori oleh serikat
pekerjanya masing-masing. Karena di dalam perusahaan dapat terbentuk
beberapa serikat pekerja, maka dalam perusahaan akan berkembang
bermacam system Hubungan Industrial sesuai dengan orientasi dari serikat
pekerja. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia kembali
melaksanakan UUD 1945. Sejak utu mulailah Era Demokrasi
Terpimpin.Dalam era demokrasi terpimpin ini partai komunis bertambah
memegang peran penting.Sejalan dengan itu Hubungan Industrial yang
berdasarkan Marxisme juga berkembang pesat.Praktek-praktek Hubungan
Industrial yang bersifat antagonis dan konforntatif makin menonjol. Dalam
era ini praktek-praktek konfrontatif tidak hanya dilakukan oleh serikat
pekerja yang komunis akan tetapi juga ditiru oleh serikat pekerja lain agar
mereka tidak kehilangan pamor dari pandangan anggotanya. Hal ini
berlanjut terus sampai menjadi tulang punggung pemberontakan tersebut,
mirip dengan apa yang terjadi tahun 1948.
Setelah pemberontakan G30 dapat ditumpas dan lahirlah
pemerintahan Orde Baru yang bertekad ingin melaksanakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.Artinya
Pancasila harus dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa
termasuk dalam Hubungan Industrial. Karena itu maka tokoh-tokoh
Hubungan Industrial baik dari kalangan pekerja, pengusaha, pemerintah
dan cendekiawan bersepakat dalam suatu Seminar Nasional pada tahun
1974 untuk mengembangkan suatu sistim Hubungan Industrial yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Maka sejak itu
lahirlah “Hubungan Industial Pancasila”.

j. Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia


Di Indonesia, sejarah Hubungan Industrial dimulai dengan system
perbudakan. Para budak adalah “buruh” pada zaman itu.Upah yang mereka terima
bukanlah dalam bentuk uang, melainkan makanan, pakaian, dan rumah. Selain
bentuk kerja perbudakan, di Indonesia juga dikenal adanya bentuk kerja paksa,
biasanya disebut rodi, dan bentuk kerja sanksi pidana ( poenale sanctie), yaitu
hukuman kerja di mana pihak buruh yang tidak memenuhi kewajibannya akan
diancam dengan hukuman pidana.9 Pada tahun 1956, pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949 (ILO Convention on the Right to
Organise and Bargain Collectively).Implikasinya dilihat pada periode 1960-an,
jumlah keanggotaan serikat buruh menjamur dan hampir tidak terhitung.Meski
demikian, peningkatan jumlah serikat buruh dan bersanya peran yang bisa
dimainkan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan para
buruh. Pada awal Orde Baru, pemerintah berhasil membentuk MPBI (Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia) yang diarahkan untuk membicarakan berbagai
hal guna mengonsolidasi kehidupan serikat buruh. Pada 1972, dua puluh satu
serikat buruh disatukan dan lahirlah Federasi Buruh Seluruh Indonesia ( FBSI).
Akan tetapi, dalam perjalanannya, federasi ini dinilai tidak demokratis. Oleh
karena itu, pada 1974, pemerintah bersama komponen masyarakat lainnya
mencoba merumuskan apa yang kemudian disebut dengan Hubungan Industrial
Pancasila.10
Akan tetapi pada perkembangannya konsep ini melahirkan hubungan
industrial yang kurang kondusif, masih banyak permasalahan di bidang industrial
yang terjadi dan menimbulkan perpecahan antara pekerja di satu pihak dan
pengusaha di pihak lain. Tanpa adanya perbaikan pola hubungan industrial antara
kedua pihak tersebut, tidak akan pernah terjadi kesamaan presepsi di dalam
menyikapi masalah yang terjadi di antara mereka. Oleh karena itu, para pihak di
dalam hubungan industrial harus melakukan upaya- upaya strategis untuk
memperbaiki nasib dan pola hubungan mereka. Upaya- upaya perbaikan tersebut
sebagian besar berkaitan dengan pengusulan kebijakan baru yang berkaitan
dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Tindakan
membangun aliansi baru untuk memperluas kekuatan dan kemampuan mereka
dalam melindungi kelompoknya; melakukan tindakan-tindakan kolektif seperti
melakukan pemogokan atau demonstrasi yang bertujuan untuk memperbaiki
syarat hubungan kerja di dalam tempat mereka bekerja; dan berbagai upaya lain
yang dilakukan kedua belah pihak. Namun demikian, tidak terjadi perbaikan yang
signifikan terhadap kondisi hubungan industrial di Indonesia.
Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia pada zaman sekarang
ini sudah mulai terlupakan. Konsep dalam Hubungan Industrial Pancasila yang
mengatur antara para pelaku dan proses produksi yang berdasarkan nilai-nilai
luhur dalam Pancasila memiliki pendekatan yang berbeda, karena adanya nilai-
nilai Pancasila seperti sifat kebersamaan dan gotong royong yang merupakan
sendi penting dalam Hubungan Industrial Pancasila. Dengan Hubungan Industrial
Pancasila pengusaha dan pekerja bukan lagi bersebrangan melainkan memiliki
tujuan yang sama untuk mencapai keuntungan.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa telah dikonkritkan ke dalam beberapa aturan,
seperti pelarangan melakukan diskriminasi berdasarkan alasan agama, pemberian
tunjangan hari raya pada saat buruh merayakan hari besar keagamaan dan hak
untuk mendapatkan cuti untuk menjalankan ibadah keagamaan merupakan
contoh-contoh yang diterapkan pada sila pertama dalam hubungan industrial di
Indonesia. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ini diturunkan ke dalam
beberapa asas, antara lain asas adil dan merata, yang pelaksanaannya dalam upah
minimum masih bisa terlihat. Asas peri kehidupan dalam keseimbangan
merupakan asas yang harus diterapkan misalnya dalam penciptaan hubungan
kemitraan antara buruh dan majikan. Sila Persatuan Indonesia terlihat dalam
pengelolaan pasar kerja di Indonesia, di mana lowongan kerja dan pencari
kerjanya dikelola secara nasional.Hal ini mengambarkan upaya untuk
mempertemukan tenaga kerja yang berasal dari daerah padat angkatan kerja tetapi
rendah kesempatan kerjanya dengan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan
keterampilan atau minat dari tenaga kerja tersebut, walau lowongan pekerjaan
tersebut terletak di daerah yang berbeda dengan tempat tenaga kerja tersebut
berasal. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Pemusyawaratan Perwakilan mengandung nilai yang paling banyak diterapkan di
dalam aktivitas berorganisasi para buruh. Bila terjadi perselisihan hubungan
industrial, prinsip penyelesaiannya adalah melalui proses musyawarah untuk
mencapai mufakat. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
merupakan sila yang paling erat berkaitan dengan masalah hubungan industrial.
Karena merupakan hal terpenting dalam perlindungan wajib bagi buruh sperti hak
untuk memperoleh jaminan social, hak untuk memperoleh upah yang layak, hak
untuk tidak dieksploitasi baik atas dasar jam kerja maksimal dan jam istirahat
minimal yang berdasarkan pada sila ini.
Jika diperhatikan, isi dari sila-sila pancasila seperti yang dicontohkan ternyata
tidak berbeda dengan Hukum Ketenagakerjaan yang ditemukan dalam hukum
positif berbagai negara atau yang ditemukan dalam konvensi Internasional.
Hubungan Industrial Pancasila bukan merupakan penciptaan kekuatan bagi buruh
untuk menghadapi kekuatan ekonomis dari pengusaha, melainkan harus
dipandang sebagai wujud kerjasama dari pekerja. Pekerja akan secara gotong
royong bersama pengusaha menciptakan aturan-aturan yang adil dalam perjanjian
kerja mereka. Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia haruslah
membawa suasana yang ideal dan tentram dalam hubungan industrial, namun
tidaklah demikian. Banyak masalah dalam hubungan industrial dewasa ini yang
menunjukan bahwa Hubungan Industrial Pancasila yang masih tertidur,
penyebabnya antara lain: Pekerja dan Pengusaha masih menempatkan diri pada
posisi yang bersebrangan dan tidak merasa memiliki kepentingan yang sama.
Pekerja merasa bahwa pengusaha mengeksploitasi mereka; sedangkan pengusaha
merasa bahwa pekerja banyak yang tidak melaksanakan tugsanya dengan
baik.Sementara itu, pemerintah yang seharusnya menjadi penegah dianggap
berpihak pada pengusaha. Aparat pemerintah, dalam hal ini Kementrian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Dinas Ketenagakerjaan dan aparat-aparat yang terkait
lainya masih banyak yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagai
bukti adalah gagalnya pegawai pengawas untuk melakukan control terhadap
penerapan perundang- undangan. Pelanggaran terhadap jam kerja maksimum (40
jam kerja per minggu), pelanggaran terhadap upah minimum regional, dan masih
banyak lagi yang tejadi karena tidak adanya pengawasan terhadap masalah-
masalah yang ada.
Peraturan yang saat ini paling banyak dianggap salah oleh pihak pekerja
adalah tentang outsourcing di dalam hukum Indonesia.Peraturan ini dianggap
buruk karena perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing masih sangat
tidak memadai. Sementara itu, peraturan tentang pemberian pesangon pada
pekerja yang akhirnya di PHK karena beberapa kali melakuka pelanggaran
terhadap peraturan perusahaan juga dianggap oleh pengusaha sebagai peraturan
yang tidak menguntungkan di posisi mereka.

Budaya Hukum Masyarakat Budaya hukum dalam masyarakat yang masih


cenderung menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan masalah juga merupakan
salah satu alasan kuat lainnya yang menunjukan Hubungan Industrial Pancasila
belum mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat.
Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia pada saat ini
dianggap belum berperan secara maksimal karena masih banyak masalah-
masalah mengenai hubungan industri yang timbul dan belum terselesaikan.
Hubungan Industrial Pancasila memiliki nilai-nilai luhur dari Pancasila yang jika
diterapkan dengan baik akan membawa dampak yang positif dalam hubungan
industrial. Hubungan Industrial Pancasila dianggap masih tidur dikarenakan
berbagai permasalahan yang timbul di bidang hubungan industrial belum
terselesaikan dengan baik.Perlu adanya upaya untuk membangun kembali
Hubungan Industrial yang berdasarkan dengan Pancasila agar kehidupan
hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan seimbang, adil, dan berdasarkan
pada musyawarah mufakat untuk persatuan Indonesia yang lebih baik dimata
masyarakat Indonesia terlebih di mata masyarakat dunia.

k. Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia


Perkembangan hubungan industrial secara historis di bawa masuk ke
Indonesia oleh Belanda sebagai penjajah pada akhir abad ke-20 dengan
memperkenalkan perusahaan-perusahaan asing, khususnya perusahaan Belanda
yang pekerjanya juga orang-orang Belanda.5 Sejak kebangkitan nasional pada tahun
1908 mulailah terbentuk serikat pekerja yang anggotanya orang-orang Indonesia
sedangkan pengusahanya orang Belanda.
Perjalanan sejarah hubungan industrial di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dengan perkembangan politik nasional. Pada tahun 1919 oleh Semaun
sebagai tokoh komunis mulai mengenalkan hubungan industrial berdasarkan kelas.
Sejak itu sudah berkembang dua sistem hubungan industrial, yaitu berdasarkan
liberalisme dan marxisme. Pada zaman itu hubungan industrial di Indonesia
diwarnai oleh politik, karena semua ditujukan untuk perjuangan kemerdekaan,
sehingga pembahasan hubungan industrial dalam sosial ekonomi kurang mendapat
perhatian.
Hubungan industrial pada masa pemerintahan kepemimpinan Presiden
Soeharto yang dikenal dengan era orde baru (1969-1974) ditandai dengan
kebebasan berserikat masih dibatasi, bahkan dipolitisir dengan mewujudkan satu
wadah tunggal, yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia(FBSI) yang kelak akan
menjadi bentuk unitaris dan berganti nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI).
Pada masa pemerintahan orde baru, juga mengusung prinsip pembangunan
(developmentalisme) yang dalam pelaksanaanya berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur sosial, serta peningkatan kesejahteraan
individual, sehingga menimbulkan kesan mendalam terhadap kelas menengah,7
tetapi tidak demikian terhadap kelompok pekerja/buruh. Kehidupan pekerja/buruh
sedapat mungkin dijauhkan dari bidang politik, bahkan dalam pembuatan
keputusan politik tidak ada partisipasi dari partai politik apalagi kelompok-
kelompok massa lainnya, yang ada hanyalah apropriasi negara oleh pejabat-
pejabatnya.
Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah orde baru
menempatkan stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial
peace. Menurut Gunter9 bahwa ciri hubungan industrial yang korporatisme sangat
kuat di era orde baru ini. Implementasi industrial peace ini dimaksudkan untuk
terpeliharanya ketenangan dalam perusahaan serta ketenangan dalam hubungan
buruh dengan majikan, menggunakan sarana hubungan perburuhan Pancasila.

Menurut Hans Thoolen. pada masa orde baru digunakannya sarana-sarana utama
untuk mendukung terlaksananya hubungan perburuhan Pancasila tersebut, yang
meliputi: lembaga kerjasama Tripartit dan Bipartit, keselamatan kerja bersama,
penyelesaian perselisihan industrial, peraturan perundangan ketenagakerjaan,
pendidikan dan penyuluhan, organisasi ketenagakerjaan dan kelembagaan lainnya.

Pada masa pemerintahan Bj. Habibie dikenal dengan masa reformasi


(1998-1999) terjadi perubahan dari kekuasaan otoriter (orde baru) yang telah
berlangsung puluhan tahun ke masyarakat yang lebih demokratis. Keinginan
politik untuk merespon tuntutan masyarakat sangat beragam dan kompleks,
banyak pelanggaran dan hambatan yang masih harus dihadapi. Kendati ada
kemajuan dalam merealisasikan dan memenuhi hak-hak fundamental tersebut,
tetapi hal itu tetap akan menjadi tantangan yang sulit dan berat.11
Kebijakan Presiden BJ. Habibie menetapkan Keputusan Presiden Nomor
83 Tahun 1998 yang mensahkan Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Cancerning
Freedom of Association and Protection of the Right to Organise) berlaku di
Indonesia.12

Gerakan pemerintahan BJ. Habibie dalam penegakkan Hak Asasi Manusia


(HAM) semakin gencar, hal ini dibuktikan dengan dicanangkannya Rencana Aksi
HAM Indonesia tahun 1998-2003 yang salah satunya diwujudkan dengan
pengundangan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Selain itu juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, ditandai dengan berbagai
peraturan perundangan ketenagakerjaan yang menghasilakan peraturan antara
lain: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengenai Serikat Pekerja/Serikat
Buruh yang dinilai lebih demokratis, jika dibandingkan dengan peraturan lain
menyangkut organisasi buruh dan kebebasan berserikat bagi buruh yang ada
sebelumnya.

Pemerintah Abdurrahman Wahid dimulai bulan Oktober 1999, dinilai


sangat melindungi kaum pekerja/buruh dan memperbaiki iklim demokrasi dengan
undang-undang serikat pekerja/serikat buruh yang dikeluarkannya, namun jika
dibandingkan dengan kondisi politik kenegaraan yang terjadi secara umum pada
masa itu, tidak ada perubahan yang menonjol terhadap perbaikan kondisi
perburuhan disebabkan pemerintahan pada masa itu dibangun di atas pemikiran
bagi-bagi kekuasaan.13
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri mulai pada tahun
2001-2004, telah menghasilkan sejumlah peraturan perundangan ketenagakerjaan
antara lain: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang menggantikan sebanyak 15 peraturan ketengakerjaan. Keberlakuannya
undang-undang ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan empat peraturan
pelaksanaannya, antara lain: (1) Keputusan Menakertrans Nomor
KEP-48/Men/IV/2004 yang mengatur tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan peraturan Perusahaan, Persyaratan serta Tata Cara Pembuatan
Perpanjangan, Perubahan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama; (2) Kerja
Lembur dan Upah Lembur; Keputusan Menakertrans Nomor KEP-
49/Men/IV/2004 yang mengatur tentang Struktur dan Skala Upah; (3) Keputusan
Menakertrans Nomor KEP-50/Men/IV/2004 yang mengatur tentang Kerja
Lembur dan Upah Lembur; dan (4) Keputusan Menakertrans Nomor
KEP-51/Men/IV/2004 yang mengatur tentang Hak Istirahat Panjang Bagi
Pekerja/Buruh yang bekerja pada Perusahaan Tertentu.14

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ditandai dengan adanya politik


hukum ketenagakerjaan yang dapat dilihat dalam PERPRES Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009
yang dapat dikatakan sebagai haluan politik pemerintah. Kebijakan pemerintah
melalui RPJMN menitik beratkan pada:

 menciptakan lapangan kerja guna menuntaskan pengangguran; dan

 menciptakan peraturan ketenagakerjaan yang mendukung fleksibilitas

ketenagakerjaan guna menuntaskan masalah pengangguran.


Kebijakan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan secara substansi
mengatur sistem kerja yang fleksibel, hal ini dapat dilihat dalam PERPRES
Nomor 7 Tahun 2005 disebutkan bahwa penyempurnaan peraturan dan kebijakan
ketenagakerjaan agar tercipta pasar kerja yang fleksibel. Penerpan sistem flexible
worker menjadi kebijakan yang diusung oleh pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dengan menggunakan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006
wacana untuk menerapkan fleksibilitas ketenagakerjaan diwujudkan melalui revisi
peraturan yang dinilai tidak sesuai dengan konsep fleksibilitas ketenagakerjaan,
yaitu peraturan yang terlalu melindungi pekerja/buruh, sehingga menjadi beban
pengusaha.
Konsep fleksibilitas ketenagakerjaan tersebut, sebaiknya harus sejalan
dengan tujuan pembangunan hukum ketenagakerjaan, yaitu: keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh maupun pengusaha.
Tujuan ini dapat terlaksana apabila menggunakan pendekatan sistem, dengan
demikian terjadi keseimbangan, baik politik hukum dalam dimensi basic policy
maupun dalam dimensi enactment policy. Pendekatan sistem ini harus
memperhatikan paradigma dasarnya keadilan dan kesejahteraan sosial dengan
mensinergikannya dengan potensi nasional dan situasi kondisi lingkungan, baik
nasional, regional, maupun global yang berkembang di masyarakat.

l. Masalah Rawan Dalam Hubungan Industrial

Telah dipaparkan di atas, sasaran pembangunan Indonesia berupaya mencapai


stabilitas nasional, termasuk stabilitas di bidang ekonomi. Pencapaian stabilitas di
bidang ekonomi nasional, ditentukan oleh stabilitas di sektor produksi barang dan
jasa, atau stabilitas di sektor produksi barang dan jasa merupakan faktor pendukung
yang dominan untuk suksesnya program pembangunan nasional khususnya
program pembangunan bidang ekonomi, dan salah satu syarat untuk mewujudkan
stabilitas di sektor produksi barang dan jasa diperlukan kondisi hubungan industrial
yang harmonis yang berdasarkan Pancasila.
Pada kenyataannya untuk menciptakan suatu hubungan industrial yang
harmonis yang berdasarkan Pancasila adalah tidak mudah, beberapa faktor
penyebabnya yaitu; penyebab dari pekerja/buruh, penyebab dari pengusaha dan
penyebab pihak aparat pemerintah37 dan penyebab dari peraturan perundang-
undangan (hukum acara) dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

1. Dari Buruh/Pekerja
a. Tingkat pendidikan yang relatif rendah sehingga mudah dipengaruhi tanpa
adanya alasan yang rasional;
b. Bagi pekerja yang berpendidikan relatif tinggi, misalnya SLTA merasa tidak
memiliki masa depan yang baik, terbukti setelah bekerja dalam waktu yang cukup lama
kondisinya tidak mengalami kemajuan yang berarti, bahkan jenis pekerjaan yang dilakukan
sering tidak memerlukan tingkat pendidikan tersebut;
c. Adanya semangat kebersamaan/ solidaritas pekerja/buruh yang tinggi karena
merasa mempunyai nasib yang sama;
d. Adanya perasaan kesenjangan sosial-ekonomi yang cukup tinggi antara tingkat
pimpinan dan pekerja/buruh pada umumnya di perusahaan;
e. Peningkatan kebutuhan pekerja/ buruh sebagai akibat kemajuan dan tuntutan
konsumsi masyarakat pada umumnya;
f. Semakin tingginya kesadaran pekerja/buruh dalam menuntut hak mereka,
bahkan tuntutan juga terjadi terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan yang
sebenarnya belum menjadi hak mereka;
g. Pengaruh internasional yang mengangkat masalah hak asasi manusia yang
menjadi bagian kebebasan berserikat serta semangat demokrasisasi.

2. Dari Pengusaha
a. Berbagai hak normatif pekerja/ buruh tidak diberikan oleh pengusaha, sehingga
memicu ketidakpuasan;
b. Masih banyak pengusaha yang tidak memahami secara peraturan perundang-
undangan, sehingga juga tidak diterapkan secara baik;
c. Program kesejahteraan pekerja/ buruh oleh sementara pengusaha dianggap
sebagai beban biaya;
d. Memperlakukan pekerja/buruh sebagai alat produksi semata, dan kurang
menghargai bahwa mereka sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya.

3. Dari Pemerintah
a. Sering tidak dapat melakukan tugas secara objektif, dan bahkan dalam
menyelesaikan masalah sering memihak;
b. Kurangnya pemahaman secara mendalam terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan, terutama pemahaman terhadap latar belakang filosofi
diterbitkan- nya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
c. Kurang kemampuan menjelaskan berbagai prinsip hubungan industrial pada
umumnya dan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan pada khususnya;
d. Lemahnya dan tidak konsistennya penegakan hukum.

4. Dari Peraturan Perundang- Undangan Tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial
Kenyataannya sistem penegakan hukum dan pelaksanaan hukum hubungan industrial
di Indonesia masih jauh dari harapan, salah satu kelemahan- nya adalah selain pada
aspek penerapan atau penegakannya juga pada peraturan perundang-undangan yang
mengatur sistem hubungan industrial, yaitu beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum sesuai
cita negara hukum Pancasila, yaitu hukum acara yang dipergunakan oleh Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
adalah Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het herzeine Indonesisch Reglement
(HIR) Staatsblad 1941-44, Reglemen Acara untuk luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitenngewesten (Rbg), Staatsblad 1927: 227, dan Reglement op
de bergerlijke Rechtsvordering (Rv) terdapat dalam Staatsblad. 1847-52 juncto
Staatsblad. 1849-63. Rv adalah Kitab Undang- Undang Hukum Acara Perdata yang
berlaku untuk orang Belanda, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata yang berlaku untuk orang Indonesia adalah HIR (untuk Jawa dan Madura) dan
Rbg (untuk luar Jawa dan Madura).

HIR, Rbg dan Rv adalah sistem hukum acara perdata warisan kolonial Belanda dengan
paradigma sistem hukum Eropa Kontinental yang menganut falsafah individualism
dengan pola demokrasi liberal, ciri-ciri falsafah individualisme dan demokrasi liberal
adalah: mengakui adanya perbedaan kepentingan, kebebasan individu menduduki
tempat yang tertinggi, penyelesaian setiap perbedaan dilakukan dengan cara adu
kekuatan termasuk dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Konsep
kebebasan liberalisme di bidang ekonomi menimbulkan kapitalisme, yaitu suatu
konsep yang memberikan kebebasan kepada anggota masyarakat untuk
berusaha dan bersaing dengan sedikit sekali campur tangan pemerintah, sehingga
dalam praktiknya seringkali terjadi yang kuat (pengusaha) menekan yang lemah
(pekerja/buruh). Tujuan hukum menurut konsep liberalisme adalah melindungi
kebebasan individu- individu dalam masyarakat, berdasarkan paparan di atas tujuan
hukum berdasarkan faham liberalisme tidak sesuai dengan teori pengayoman dari
tujuan hukum yang dianut oleh sistem hukum hubungan industrial Indonesia yang
berdasarkan Pancasila, teori pengayoman mengajarkan yang kuat (pihak pengusaha)
harus melindungi yang lemah (pihak pekerja/buruh).
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan jasa yang didasarkan atas nilai-nilai luhur dari
pancasila dan UUD 1945 yang merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia.
Konsep dalam Hubungan Industrial Pancasila yang mengatur antara para pelaku
dan proses produksi yang berdasarkan nilai-nilai luhur dalam Pancasila, dengan
adanya nilai-nilai Pancasila seperti sifat kebersamaan dan gotong royong yang
merupakan sendi penting dalam Hubungan Industrial Pancasila. Hubungan
Industrial Pancasila membuat pengusaha dan pekerja bukan lagi bersebrangan
melainkan memiliki tujuan yang sama untuk mencapai keuntungan.
Seiring berjalannya waktu kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di
Indonesia belum berjalan sesuai dengan harapan dan dianggap masih tidur, karena
masih banyak permasalahan dalam hubungan indutstrial yang belum
terselesaikan.Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia pada zaman
sekarang ini sudah mulai terlupakan, disebabkan karena beberapa hal, seperti:
1. Sikap Mental dari para pihak dalam hubungan industrial.
2. Buruknya Penegakan Hukum dalam Masalah Ketenagakerjaan
3. Peraturan yang substansinya kurang baik
4. Budaya Hukum Masyarakat
Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila harus di perhatikan oleh para
pelaku hubungan industri agar hubungan industri di Indonesia bisa berjalan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Djumadi. 2005. Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia. Jakarta: PT.Raja


Grafindo Persada.

Sirat, Justine T. 2006.Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam


Organisasi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Adisu, Edytus. 2008. Hak Karyawan Atas Gaji dan Pedoman Menghitung: Gaji Pokok,
Uang Lembur, Gaji Sundulan, Insentif-Bonus-THR, Pajak Atas Gaji, Iuran Pensiun-
Pesangon, Iuran Jamsostek-Dana Sehat.Jakarta : Forum Sahabat.

Republik Indonesia.2003. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Penataan Ruang.


Lembaran Negara RI Tahun 2003, No. 4279. Sekretariat Negara. Jakarta

Guntur, Agus. 2010. Hubungan Industrial (Industrial Relations), Jurnal School of


Bussines and Management, Jakarta: 5-6

Zen,A. Patra M. 2007. Panduan bantuan hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami
dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia.

Katuuk, Neltje F. 1996. Hubungan Industrial Pancasila.Jakarta : Gunadarma

Anda mungkin juga menyukai