PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja telah mengganggu
aktivitas produksi berbagai perusahaan. Menurut Ismail Nawawi3 mogok kerja itu
merupakan suatu pengunduran diri dari situasi kerja yang merupakan suatu gambaran
dari sikap agresif, dan usaha yang penuh perhitungan untuk mengadakan perubahan
dalam situasi atau bentuk hubungan kerja. Seperti kasus mogok kerja yang terjadi di
perusahaan Maspion yang berlokasi di Sidoarjo, Surabaya, dan Gresik terkait
masalah upah minimum. Mogok kerja yang dilakukan para pekerja dengan
mengerahkan massa sekitar lima ribu pekerja/buruh di perusahaan untuk menuntut
kenaikan upah minimum sesuai keputusan Gubernur Jawa Timur.
Menurut Muhaimin Iskandar4 bahwa aksi mogok kerja yang terjadi di tingkat
perusahaan selama tahun 2011 setidaknya telah terjadi 127 aksi mogok di tingkat
perusahaan yang melibatkan 46.918 pekerja/buruh dengan kerugian jam kerja
327.355 jam. Aksi mogok kerja selama tahun 2012 mengalami penurunan hingga
sekitar 60 persen, yaitu sebanyak 11 aksi mogok di tingkat perusahaan di seluruh
Indonesia dengan jumlah pekerja/buruh yang terlibat sebanyak 4.755 orang dengan
kerugian jam kerja 38.040 jam, dari jumlah perusahaan nasional di Indonesia
sebanyak 226.617 perusahaan.
Magok kerja sering menimbulkan perselisihan hubungan industrial antara
pengusaha dengan pekerja. Salah satu cara untuk mengatasi perselisihan hubungan
industrial ini dengan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
bermartabat. Hubungan industrial ini dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
mengatasi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam bidang
ketenagakerjaan. Persoalan ketenagakerjaan dan implikasinya bagi kepastian berusaha
di Indonesia ini harus dapat dibangun hubungan industrial yang harmonis yang
mampu menyelaraskan antara kepentingan pekerja dan pengusaha sebagai bagian
agenda peningkatan kesejahteraan.
B. Perumusan Masalah
Hubungan industrial di Indonesia, terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja/buruh
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses produksi di perusahaan adalah pengusaha dan pekerja/buruh, sedangkan
pemerintah (negara) sebagai pihak yang berkepentingan dalam mewujudkan
hubungan kerja yang harmonis
B. Tujuan
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan seluruh mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami jawaban dari rumusan masalah yang dipaparkan dalam makalah ini.
BAB 2
PEMBAHASAN
f. Asas-asas
Hubungan Industrial Pancasila dalam mencapai tujuannya mendasarkan diri
pada asas-asas pembangunan yaitu:4
a) Asas Manfaat
Artinya segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan kesejahteraan
rakyat.
b) Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
Artinya usaha mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa harus merupakan
usaha bersama seluruh rakyat yang dilakukan secara gotong royong dan
kekeluargaan.
c) Asas Demokrasi
Artinya didalam menyelesaikan masalah-masalah Nasional ditempuh
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat.
d) Asas Adil dan Merata
Artinya bahwa hasil yang dicapai dalam pembangunan harus dapat
dinikmati secara adil dan merata sesuai darma baktinya.
e) Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan
Artinya harus diseimbangkan antara kepentingan-kepentingan dunia dan
akhirat, materil dan spiritual, jiwa dan raga, individu dan masyarakat, dan
lain-lain.
f) Asas Kesadaran Hukum
Setiap warga negara harus taat dan sadar pada hukum dan mewajibkan
negara menegakkan hukum.
g) Asas Kepercayaan Pada Diri Sendiri
Pembangunan berdasarkan pada kepercayaan akan kemampuan dan
kekuatan sendiri, serta bersendikan pada kepribadian bangsa.
Dalam pelaksanaanya Hubungan Industrial Pancasila berlandaskan kepada
dua asas kerja yang sangat penting, yaitu:
1. Asas Kekeluargaan dan Gotong Royong
2. Asas Musyawarah untuk mufakat
Menurut Hans Thoolen. pada masa orde baru digunakannya sarana-sarana utama
untuk mendukung terlaksananya hubungan perburuhan Pancasila tersebut, yang
meliputi: lembaga kerjasama Tripartit dan Bipartit, keselamatan kerja bersama,
penyelesaian perselisihan industrial, peraturan perundangan ketenagakerjaan,
pendidikan dan penyuluhan, organisasi ketenagakerjaan dan kelembagaan lainnya.
1. Dari Buruh/Pekerja
a. Tingkat pendidikan yang relatif rendah sehingga mudah dipengaruhi tanpa
adanya alasan yang rasional;
b. Bagi pekerja yang berpendidikan relatif tinggi, misalnya SLTA merasa tidak
memiliki masa depan yang baik, terbukti setelah bekerja dalam waktu yang cukup lama
kondisinya tidak mengalami kemajuan yang berarti, bahkan jenis pekerjaan yang dilakukan
sering tidak memerlukan tingkat pendidikan tersebut;
c. Adanya semangat kebersamaan/ solidaritas pekerja/buruh yang tinggi karena
merasa mempunyai nasib yang sama;
d. Adanya perasaan kesenjangan sosial-ekonomi yang cukup tinggi antara tingkat
pimpinan dan pekerja/buruh pada umumnya di perusahaan;
e. Peningkatan kebutuhan pekerja/ buruh sebagai akibat kemajuan dan tuntutan
konsumsi masyarakat pada umumnya;
f. Semakin tingginya kesadaran pekerja/buruh dalam menuntut hak mereka,
bahkan tuntutan juga terjadi terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan yang
sebenarnya belum menjadi hak mereka;
g. Pengaruh internasional yang mengangkat masalah hak asasi manusia yang
menjadi bagian kebebasan berserikat serta semangat demokrasisasi.
2. Dari Pengusaha
a. Berbagai hak normatif pekerja/ buruh tidak diberikan oleh pengusaha, sehingga
memicu ketidakpuasan;
b. Masih banyak pengusaha yang tidak memahami secara peraturan perundang-
undangan, sehingga juga tidak diterapkan secara baik;
c. Program kesejahteraan pekerja/ buruh oleh sementara pengusaha dianggap
sebagai beban biaya;
d. Memperlakukan pekerja/buruh sebagai alat produksi semata, dan kurang
menghargai bahwa mereka sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya.
3. Dari Pemerintah
a. Sering tidak dapat melakukan tugas secara objektif, dan bahkan dalam
menyelesaikan masalah sering memihak;
b. Kurangnya pemahaman secara mendalam terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan, terutama pemahaman terhadap latar belakang filosofi
diterbitkan- nya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
c. Kurang kemampuan menjelaskan berbagai prinsip hubungan industrial pada
umumnya dan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan pada khususnya;
d. Lemahnya dan tidak konsistennya penegakan hukum.
HIR, Rbg dan Rv adalah sistem hukum acara perdata warisan kolonial Belanda dengan
paradigma sistem hukum Eropa Kontinental yang menganut falsafah individualism
dengan pola demokrasi liberal, ciri-ciri falsafah individualisme dan demokrasi liberal
adalah: mengakui adanya perbedaan kepentingan, kebebasan individu menduduki
tempat yang tertinggi, penyelesaian setiap perbedaan dilakukan dengan cara adu
kekuatan termasuk dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Konsep
kebebasan liberalisme di bidang ekonomi menimbulkan kapitalisme, yaitu suatu
konsep yang memberikan kebebasan kepada anggota masyarakat untuk
berusaha dan bersaing dengan sedikit sekali campur tangan pemerintah, sehingga
dalam praktiknya seringkali terjadi yang kuat (pengusaha) menekan yang lemah
(pekerja/buruh). Tujuan hukum menurut konsep liberalisme adalah melindungi
kebebasan individu- individu dalam masyarakat, berdasarkan paparan di atas tujuan
hukum berdasarkan faham liberalisme tidak sesuai dengan teori pengayoman dari
tujuan hukum yang dianut oleh sistem hukum hubungan industrial Indonesia yang
berdasarkan Pancasila, teori pengayoman mengajarkan yang kuat (pihak pengusaha)
harus melindungi yang lemah (pihak pekerja/buruh).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan jasa yang didasarkan atas nilai-nilai luhur dari
pancasila dan UUD 1945 yang merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia.
Konsep dalam Hubungan Industrial Pancasila yang mengatur antara para pelaku
dan proses produksi yang berdasarkan nilai-nilai luhur dalam Pancasila, dengan
adanya nilai-nilai Pancasila seperti sifat kebersamaan dan gotong royong yang
merupakan sendi penting dalam Hubungan Industrial Pancasila. Hubungan
Industrial Pancasila membuat pengusaha dan pekerja bukan lagi bersebrangan
melainkan memiliki tujuan yang sama untuk mencapai keuntungan.
Seiring berjalannya waktu kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di
Indonesia belum berjalan sesuai dengan harapan dan dianggap masih tidur, karena
masih banyak permasalahan dalam hubungan indutstrial yang belum
terselesaikan.Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia pada zaman
sekarang ini sudah mulai terlupakan, disebabkan karena beberapa hal, seperti:
1. Sikap Mental dari para pihak dalam hubungan industrial.
2. Buruknya Penegakan Hukum dalam Masalah Ketenagakerjaan
3. Peraturan yang substansinya kurang baik
4. Budaya Hukum Masyarakat
Kedudukan Hubungan Industrial Pancasila harus di perhatikan oleh para
pelaku hubungan industri agar hubungan industri di Indonesia bisa berjalan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adisu, Edytus. 2008. Hak Karyawan Atas Gaji dan Pedoman Menghitung: Gaji Pokok,
Uang Lembur, Gaji Sundulan, Insentif-Bonus-THR, Pajak Atas Gaji, Iuran Pensiun-
Pesangon, Iuran Jamsostek-Dana Sehat.Jakarta : Forum Sahabat.
Zen,A. Patra M. 2007. Panduan bantuan hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami
dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia.