Anda di halaman 1dari 22

KAJIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA

KONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM


OUTSOURCING DI INDONESIA

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna melanjutkan penyusunan skripsi
pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul
Anwar Banten

Diajuakan Oleh :
Nama : RUDIN SUHENDAR
NIM : C06180002
Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM DAN SOSIAL


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kerja sama merupakan interaksi yang paling penting karena pada

hakikatnya manusia tidaklah bisa hidup sendiri tanpa orang lain sehingga ia

senantiasa membutuhkan orang lain. Kerja sama dapat berlangsung manakala

individu-individu yang bersangkutan memiliki kepentingan yang sama dan

memiliki kesadaran untuk bekerja sama guna mencapai kepentingan mereka

tersebut. Dalam dunia usaha, kerja sama antara perusahaan dilakukan dengan

perjanjian kerja bersama yang memuat tentang bagaimana hubungan yang akan

dijalin oleh masing-masing pihak. Dari hubungan tersebut maka akan dibutuhkan

sumber daya manusia yang akan menjadi faktor penting pelaksanaan hubungan

pekerjaan, pelaksana ini biasa disebut sebagai tenaga kerja.

Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan

masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut

adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai

pelaksana pembangunan harus dijamin haknya, diatur kewajibannya dan

dikembangkan daya gunanya.

Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang wajib dilaksanakan

oleh setiap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan orang untuk bekerja
pada perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu mengenai pemeliharaan

dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk jaminan

sosial tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan atau bersifat dasar,

dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana

yang tercantum dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945.

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat

Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri

tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata,

baik materiil maupun spiritual, dimana pembangunan ketenagakerjaan juga

mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan

kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga

keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk

itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain

mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas, dan

daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan

penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial yang bertujuan

meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh pada khususnya dan kesejahteraan


masyarakat pada umumnya.1

Dalam definisi ini telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya

akibat hukum dalam pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari

pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan

industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan Untuk itu, pengakuan dan

penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam

TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia harus

diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan

tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakan

demokrasi di tempat kerja dalam kecakapan bertindak dan kemampuan untuk

perbuatan hukum diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari

seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara

Indonesia yang dicita-citakan.2

Hubungan yang terjalin antara pekerja dan pengusaha diikat melalui

perjanjian kerja, dilihat pengertian perjanjian kerja menurut KUH Perdata

menunjukan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan

bawahan dan atasan serta adanya wewenang perintah yang membedakan antara

perjanjian kerja dan perjanjian lainnya. Dalam undang- undang ketenagakerjaan

pengertiannya lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan

pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Serta

1
H. Salim HS. 2008. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding. Jakarta: Sinar
Grafika. Hal 9
2
Ibid. Hal 10
pada ketentuan undang-undang No. 13 tahun 2003 tidak menyebutkan bentuk

perjanjian kerja tersebut, demikian juga mengenai jangka waktu kerjanya.3

Tujuan dari pada perjanjian kerja adalah untuk mencapai stabilitas di

dalam syarat-syarat kerja. Syarat utama yang harus dipenuhi para pihak dalam

pembuatan Perjanjian Kerja adalah dasar dari pembuatan Perjanjian kerja itu

sendiri, yaitu:

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu fungsi Perjanjian Kerja adalah menegaskan hak dan kewajiban

para pihak secara individual. Perjanjian Kerja berisi pertukaran hak dan

kewajiban dari Pengusaha dan Pekerja. Kewajiban dari pihak Pekerja menjadi hak

dari pihak Pengusaha, dan sebaliknya kewajiban Pengusaha menjadi hak dari

Pekerja. Lamanya perjanjian ini berlaku terserah kepada para pihak, dengan

ketentuan bahwa perjanjian tersebut paling lama berlaku dua tahun dan dapat

diperpanjang dengan selama-lamanya satu tahun. Sebaiknya masa berlakunya

perjanjian kerja jangan terlalu pendek agar stabilitas terjamin dan sebaliknya

jangan terlalu panjang agar dapat menyesuaikan dengan keadaan yang selalu

berubah-ubah.
3
Husni Lalu. 2005. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 54
Setiap perusahaan yang membutuhkan pekerja memberikan syarat-syarat

yang cukup sulit untuk dipenuhi oleh calon pekerja yang mengajukan lamaran.

Perusahaan berusaha untuk mendapatkan hasil maksimal dalam memajukan

keefektivitasan perusahaan. Hal ini mereka lakukan salah satunya dengan

meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tingginya kualitas sumber

daya manusia dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dapat dihasilkan.

Dalam iklim persaingan usaha yang semakin ketat, perusahaan berusaha untuk

melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Untuk itu perusahaan

berupaya fokus menangani pekerjaan dan mendayagunakan tenaga pekerja

kontrak dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Salah satu solusinya adalah

dengan sistem outsourcing yang diharapkan untuk memberi kontribusi maksimal

sesuai dengan tuntutan perusahaan. Dengan sistem ini perusahaan dapat

menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang

bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing sendiri dapat diartikan

sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu

badan penyedia jasa. Badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi

dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para

pihak.

Pekerja kontrak tersebut terikat dengan perusahaan dengan adanya

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang terkadang terdapat pelanggaran

akan pemenuhan hak-hak pekerja yang biasa disebut pekerja kontrak. Hal ini

disebabkan karena pekerja kontrak berada pada pihak yang lemah. Hubungan
kerja PKWT dilaksanakan berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat secara

tertulis akan tetapi yang sering terjadi adalah perjanjian antara pekerja dengan

perusahaan dengan lisan yang dianggap remeh oleh pekerja. Dalam pembuatan

perjanjian kerja terdapat ketentuan bahwa dalam membuat surat perjanjian

haruslah ada itikad baik yang melandasi setiap perjanjian sehingga isi perjanjian

kerja tersebut mencerminkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban

masing-masing pihak. Dalam praktek pelaksanaan pendayagunaan pekerja

berdasarkan PKWT lebih merugikan pihak pekerja seperti misal pengajuan target-

target pekerjaan yang sulit untuk dicapai oleh pekerja, ketidak adanya pesangon,

upah yang kurang UMK, ketidak dapatannya pekerja untuk ikut serta dalam

serikat pekerja dikarenakan status pekerjaannya sebagai pekerja tidak tetap.

Perusahaan diposisikan untuk bisa fokus pada kompetensi utamanya dalam

bisnis, dimana hal-hal internal perusahaan yang bersifat penunjang (support)

dialihkan kepada pihak yang lebih profesional. Namun pengalihan dari hal-hal

ini juga dapat menimbulkan beberapa permasalahan yang cukup bervariasi

terutama masalah ketenagakerjaan dan khususnya mengenai outsourcing. Dalam

praktek pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan dari perusahaan, terutama

dalam pemenuhan perlindungan hukum bagi pekerja yang tidak tetap atau pekerja

kontrak yang seharusnya memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan dalam

perundang- undangan sebagai landasan hukum. Penyimpangan ini tidak

ditanggapi serius oleh pengusaha. Hal ini disebabkan penggunaan outsourcing

dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan
yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sedangkan pengaturan yang

sudah ada sebelumnya belum terlalu memadai untuk mengatur tentang

outsourcing. Hal ini menjadi bukti bahwa hukum dapat dikalahkan dengan

kepentingan perekonomian.

Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh, utamanya

pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing yang ditempatkan

pada perusahaan yang menggunakan jasa pekerja/buruh outsourcing, hal ini dapat

dilihat dari banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja

dan norma Keamanan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilakukan

oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau

pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core

business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) yang

merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing, sehingga dalam praktiknya

yang dialih dayakan adalah sifat dan jenis pekerjaan utama perusahaan.

Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang dialih daya

mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok

atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, bukan

kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang.

Sehingga pekerja/buruh tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan

pekerjaan yang dilakukannya.

2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian


pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima

pekerjaan (vendor) sebagai perusahaan outsourcing yang tidak berbadan

hukum.

3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing

sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja

langsung pada perusahaan principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Fakta dan peristiwa yang sering terjadi

berupa:

a. Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan principal tidak

dibuat dalam bentuk perjanjian kerja secara tertulis, sehingga status

pekerja/buruh menjadi tidak jelas, apakah berdasarkan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

(PKWTT), karena ketidakjelasan status ini sewaktu-waktu pekerja/buruh

dapat diberhentikan (di-PHK) tanpa uang pesangon.

“Akan tetapi dari sisi tenaga kerja, kondisi demikian sering


menimbulkan persoalan, khususnya masalah ketidakpastian
hubungan kerja. Perusahaan outsourcing biasanya membuat
perjanjian kontrak dengan pekerja apabila ada perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja. Kontrak tersebut biasanya hanya
berlaku selama pekerjaan masih tersedia, dan apabila kontrak
atas pekerjaan tersebut telah berakhir, maka hubungan kerja
antara pekerja dan perusahaan outsourcing juga berakhir.
Dalam kondisi demikian biasanya perusahaan outsourcing
memberlakukan prinsip no work no pay, yaitu pekerja tidak
akan digaji selama tidak bekerja, sekalipun hubungan kerja di
antara mereka telah berlangsung bertahun-tahun”.4

4
Libertus Jehani. 2006. Hak-Hak Pekerja Bila di PHK. Jakarta: Visimedia. Hal 6
b. Perusahaan outsourcing membayar upah murah yang tidak sesuai dengan

standar upah minimum dan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh.

c. Tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja/buruh

outsourcing, serta perhitungan upah kerja lembur yang tidak sesuai

dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

d. Pekerja/buruh outsourcing tidak diikutsertakan dalam program jamsostek

yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian

(JK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

(JPK). Pengusaha juga tidak memberikan pelayanan peningkatan

kesehatan bagi pekerja/buruh dan keluarganya.

e. Secara umum perusahaan outsourcing tidak menerapkan norma

Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi pekerja/buruhnya.

f. Sebagai pekerja kontrak, maka pekerja/buruh outsourcing tidak ada job

security dan jaminan pengembangan karir, tidak ada jaminan

kelangsungan kerja, serta tidak terpenuhi hak-hak dasar lainnya sebelum,

selama dan setelah pekerja/buruh berkerja.

Dalam perkembangannya, karena dianggap tidak memberikan jaminan

kepastian bekerja, tidak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan,

sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan atas legalisasi

sistem outsourcing dan PKWT ini. Caranya dengan mengajukan uji materi
(judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan

permohonan No 12/PUU-I/2003. Ada beberapa Pasal yang diuji, termasuk

Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal

outsourcing. Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga ketentuan tersebut.

Salah satu pertimbangan dalam putusan No 12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem

outsourcing tidak merupakan perbudakan modern (modern slavery) dalam proses

produksi. Upaya buruh melawan sistem outsourcing dan kerja kontrak seakan

tidak pernah berhenti. Buktinya, tuntutan untuk menghapus sistem outsourcing

dan buruh kontrak kembali memasuki gedung MK. tercantum pada Putusan

Mahkamah Konstitusi No. Perkara 27/PUU- IX/2011, permohonan ini diajukan

oleh Didik Suprijadi yang bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat

Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) pada 21 Maret

2011. Dalam register permohonan No 27/PUU-IX/2011 tercatat Didik Supriadi

mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66

UU Ketenagakerjaan. Lembaga pengawal konstitusi itu mengabulkan

permohonan Didik Supriadi untuk sebagian dan menolak permohonan atas Pasal

59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Secara eksplisit MK menyatakan kedua

ketentuan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.5

Untuk menciptakan pelaksanaan outsourcing yang diarahkan untuk

menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan,

5
Syarifa Mahila. 2012. “Perlindungan Hukum Hak Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi”. Jurnal Lex Specialis. No. 16 (2012) Desember 2012. Jambi: Fakultas Hukum Universitas
Batanghari Jambi. Hal 49
pemerintah menerbitkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-

Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

yang memuat aturan persyaratan, perjanjian dan pengawasan outsourcing.

Permen tersebut menjadi pengaturan mengenai outsourcing hingga saat Undang-

Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diresmikan yang mengubah isi

dari Undang-Undang Ketenagakerjaan terutama dalam hal ini Pasal-Pasal yang

mengatur tentang outsourcing. Pengaturan mengenai outsourcing tersebut

merupakan landasan dari Permenaker No. 19 Tahun 2012, dengan diubahnya

Pasal-Pasal tersebut maka akan ada peraturan lain yang menjadi landasan

pelaksanaan outsourcing, yang pada saat ini masih belum dibuat oleh

pemerintah.

Jika dalam konteks outsourcing maka bagaimana perusahaan

pemberi pekerjaan yang menggunakan jasa pekerja outosourcing saat mengikat

kerjasama dengan perusahaan outsourcing dimana karyawan outsourcing yang

bersangkutan tercatat sebagai karyawan. Pemberhentian kerja tersebut harus

sesuai dengan isi perjanjian yang termasuk di dalamnya masa kontrak kerja.

Hal-hal seperti ini tidak akan menjadi suatu masalah apabila perusahaan

pengguna jasa pekerja/buruh tetap memberikan hak mereka pada saat kontrak

diberhentikan melalui PHK, begitu juga berlaku di bidang industri apapun

yang melibatkan pelanggaran hak bagi pekerja terutama dalam penulisan ini

bagi pekerja outsourcing.

Kompleksitas outsourcing memerlukan perhatian yang seimbang antara


kebutuhan akan investor dan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh, karena

fungsi intervensi pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan bukan sebagai

instrument nilai yang otonom dan independen saja, melainkan harus tampil

dalam sosoknya sebagai bagian dari upaya rekayasa sosial (law is a tool of social

engineering). Oleh karena itu penting untuk dilakukannya kajian lebih mendalam

akan perlindungan pekerja kontrak yang berdasar pada sistem outsourcing

sehingga dapat dikaji dan dijelaskan bagaimana perlindungan hukum bagi

pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing.

Berdasarkan dengan uraian di atas penulis tertarik dalam membahas dan

menelaah kajian lebih mendalam akan perlindungan pekerja kontrak yang

berdasar pada sistem outsourcing dan melakukan penelitian hukum dengan

penulisan hukum yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja

Kontrak Dalam Perjanjian Kerja dengan Sistem Outsourcing di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan oleh penulis

sebelumnya, penulis mengangkat dan mengkaji rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam

perjanjian kerja dengan sistem outsourcing ?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja kontrak yang terikat dalam

perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di Indonesia?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya suatu penelitian adalah untuk menjadi ukuran

tercapai atau tidaknya sebuah penelitian. Terdapat 2 (dua) macam tujuan dalam

penelitian, yakni tujuan objektif, yaitu tujuan yang dimaksudkan untuk

memperoleh bahan hukum dalam rangka menjawab rumusan permasalahan dari

penelitian dan tujuan subjektif merupakan tujuan yang dimaksudkan untuk

memenuhi kepentingan dari penulis dan bermanfaat bagi penulis atau

perseorangan.6 Adapun tujuan yang hendak penulis capai adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui hubungan hukum yang dimiliki pekerja kontrak dengan

perusahaan pengguna jasa pekerja serta perusahaan penyedia jasa pekerja

yang terikat dengan perjanjian kerja dengan sistem outsourcing.

b. Untuk memahami bentuk perlindungan hukum bagi pekerja kontrak yang

terikat dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di Indonesia.

2. Tujuan Subjektif

a. Menambah, memperluas dan mengengembangkan pengetahuan serta

pemahaman penulis di bidang hukum terutama pada aspek hukum perdata

dalam segi teori maupun praktik khususnya dalam perlindungan hukum

terhadap pekerja kontrak yang terikat dalam perjanjian pemborongan

kerja atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

6
Mukti Fajar. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal 89
b. Merupakan ilmu dan teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat

memberikan manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi masyarakat

pada umumnya serta memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang hukum kedepannya.

c. Memperoleh pengetahuan yang lengkap dalam rangka penyusunan skripsi

yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum dalam bidang

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul

Anwar Banten.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap dengan adanya penelitian dapat memberikan manfaat bagi

penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan

hukum ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

Ilmu Hukum pada umumnya dan khususnya di bidang Hukum Perdata.

b. Melalui penelitian ini dapat dijadikan referensi dan literatur untuk

penelitian atau penulisan hukum sejenis berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan solusi atau pemecahan

masalah bagi permasalahan yang diteliti.


b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka

pengembangan penalaran, pendalaman pengetahuan dan pengalaman yang

baru kepada penulis terhadap kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu

hukum yang telah didapat selama menempuh perkuliahan di Fakultas

Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pihak

yang terkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu usaha untuk mendapatkan kebenaran. Suatu hal

yang merupakan pembeda ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial adalah ilmu hukum

bukanlah suatu ilmu perilaku.7 Penelitian hukum memerlukan metode penelitian

yang dapat menunjang hasil penelitian untuk mencapai tujuan dari penelitian

hukum itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif

atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, semua penelitian yang berkaitan dengan

(legal research) adalah selalu normatif. Dengan adanya pernyataan demikian


7
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group. Hal 47
maka sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif, hanya saja

bahan-bahan hukum yang dikemukakan harus dikemukakan.8

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

penelitian yang bersifat preskriptif. Sebagaimana telah diketahui bahwa ilmu

hukum bukan termasuk dalam ilmu deskriptif melainkan ilmu bersifat

preskriptif.9 Ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,

validitas aturan hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian hukum yang

bersifat preskriptif bertujuan memberikan preskripsi mengenai apa yang

seyogyanya dilakukan.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan menelaah sistematika

peraturan perundang-undangan yang mana pendekatan dilakukan dengan

menelaah peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang tertentu atau

beberapa bidang yang saling berkaitan dengan isu-isu hukum yang sedang

diteliti. Pendekatan ini tidak meninjau peraturan perundang-undangan dari

sudut penyusunan teknis, akan tetapi yang ditelaah adalah pengertian-

pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan.10

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

8
Ibid. Hal 55-56
9
Ibid. Hal 59
10
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitiian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal 225
Jenis data yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka

berupa keterangan-keterangan yang secara langsung diperoleh melalui studi

kepustakaan, peraturan perundang-undangan terkait dan bahan hukum

sekunder yang berasal dari berbagai macam literatur baik dari buku, hasil

penelitian, hasil pengkajian, maupun artikel dalam jurnal untuk mencari

berbagai macam teori yang berkaitan dengan substansi penelitian.

Sumber-sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan. Adapun bahan

hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks,

kamus-kamus hukum dan jurnal hukum.11

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja

6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


11
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group. Hal 181
7) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun

2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada

Perusahaan Lain

b. Bahan Hukum Sekunder

1) Buku-buku

2) Jurnal Hukum

3) Hasil karya ilmiah yang relevan

4) Artikel Hukum

5) Internet

c. Bahan Hukum Tersier

Peneliti menggunakan bahan-bahan non-hukum yang dipandang

perlu dan sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian, karena

bahan non-hukum merupakan pelengkap dan bukan yang utama. Bahan

non-hukum dapat berupa skripsi, tesis dan makalah hasil daripada

penelitian non-hukum, serta artikel-artikel yang relevan yang termuat

dalam internet.12

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian hukum ini melakukan penelusuran untuk mencari bahan-

bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi dengan teknik studi

kepustakaan atau studi dokumen (library research). Studi dokumen adalah

suatu teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan


12
Ibid. Hal 184
hukum tertulis dengan menggunakan analisis konten (content analysis).

Teknik pengumpulan bahan hukum ini dengan cara membaca, mengkaji dan

memberikan catatan dari buku, peraturan perundang-undangan, tulisan, dan

publikasi.13

6. Teknik Analisis Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya

berarti kegiatan untuk mengadakan sistemasisasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis untuk memudahkan pengerjaan analisa. Selain itu, berbagai

sumber hukum dimanfaatkan untuk memudahkan pengerjaan analisis. Teknik

analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah analisis bahan hukum yang

bersifat deduksi yang diterapkan ke dalam penelitian hukum. Philipus M.

Hadjon dalam pemaparannya mengemukakan bahwa di dalam logika

silogistik untuk metode deduksi yang merupakan premis mayor adalah aturan

hukum, sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dari kedua hal

tersebut kemudian ditarik suatu konklusi (conclusion) atau kesimpulan.14

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran

secara sistematis dan menyeluruh mengenai bahasan yang dikaji oleh penulis.

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab yaitu

13
Ibid. Hal 237
14
Ibid. Hal 89-90
pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup. Sistematika ini

bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan pembahasan, analisa, serta

penjabaran isi dari penelitian yang dimaksud. Adapun sistematika penulisan

hukum yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA

KONTRAK

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang penjelasan secara

teoritik yang bersumber pada bahan hukum kepustakaan yang penulis

gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal

mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang

penulis teliti.

BAB III SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang penjelasan pekerja

kontrak dan pekerja outsorcing di indonesia

BAB IV KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PEKERJA KONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN

SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menguraikan serta menyajikan hasil


penelitian dan pembahasan yang telah dirumuskan dalam rumusan

masalah. Adapun pembahasan pada penulisan yang dikaji dari hasil

penelitian hukum ini adalah mengenai bagaimana hubungan hukum

antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja dengan sistem

outsourcing dan perlindungan hukum bagi pekerja kontrak yang

terikat dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di Indonesia.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan hukum dimana penulis

akan menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan akhir dari

keseluruhan hasil pembahasan dan saran-saran sebagai evaluasi

terutama terhadap temuan-temuan selama penulisan hukum yang

menurut penulis memerlukan perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai