DI SUSUN OLEH :
PENDAHULUAN
1
adanya dua peraturan tersebut seharusnya semakin memperkuat posisi pemerintah
daerah dalam hal ini pemerintah tingkat Kabupaten/Kota. Namun, sangat
disayangkan pemerintah Kabupaten/Kota belum memaksimalkan kekuatan hukum
ini dalam penegakan upaya pengelolaan pertambangan yang ramah lingkungan.
Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri
tambang batubara merupakan hal pokok dalam menjaga dan meningkatkan kualitas
kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian
sumber daya alam dan bahan-bahan beracun, memperkecil timbulan limbah dan
pencemar selama daur hidup produk sehingga tidak mengorbankan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhannya
Menurut Arman Mazara Ahmad (2011) dampak pencemaran terhadap badan air yang
dihasilkan dari limbah industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
2
1. Zat organik terlarut
2. Zat Padat tersuspensi
3. Nitrogen dan phosphor
4. Minuman dan bahan-bahan terapung
5. Logam berat cyanida dan racun organic
6. Warna kekeruhan
7. Organic tracer
8. Bahan yang tidak mudah mengalami dekomposisi biologis (refactory subtances)
9. Bahan yang mudah menguap (volatile materialis).
Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang efektif menyediakan kerangka kerja dan
proses yang terorganisir yang mengintegrasikan perencanaan, pelaksanaan,
tindakan perbaikan dan tinjauan pengelolaan. Sistem Manajemen Lingkungan
menyediakan detail-detail spesifik dan instruksi-instruksi yang berhubungan dengan
struktur organisasi, personalia, prosedur, pelatihan dan penelitian yang kesemuanya
memainkan peran dalam mengontrol dan meminimalkan dampak negatif akibat
operasional pabrik pada lingkungan.
Dalam pada itu menurut Hadi (2005) sistem manajemen lingkungan (SML)
telah secara luas diimplementasikan di dunia industri. Meskipun sebagian
motivasinya untuk memperoleh sertifikat dan kemudian menjadi bagian dari promosi,
tetapi SML bisa menjadi pendorong penaatan lingkungan (environmental
compliance) di dunia usaha. Pemerintah Daerah dapat memulainya dengan
memahami bagaimana fungsi SML, tantangan yang mereka hadapi dan
mengembangkan komitmen untuk meningkatkan kinerja lingkungan serta mencoba
untuk mengimplementasikan SML dalam bagian kecil dari organisasi mereka.
1.2 Tujuan
3
2. Untuk mengetahui bagaimana rencana kebijakan pemerintah terhadap sector
pertambangan sumber daya alam
3. Untuk mengetahui dampak penambangan batubara, Untuk mengetahui
pentingnya reklamasi lahan bekas tambang batubara serta untuk mengetahui
solusi /alternatif reklamasi lahan bekas tambang batubara
1.3 Manfaat
4
BAB II.
PEMBAHASAN
Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam
pembangunan Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan nasional dengan memperhatikan
kelestariannya.
6
meminimalisir kerusakan tersebut adalah dengan melakukan reklamasi. Prinsip
kegiatan Reklamasi adalah : (1) kegiatan Reklamasi harus dianggap sebagai
kesatuan yang utuh dari kegiatan penambangan (2) kegiatan Reklamasi harus
dilakukan sedini mungkin dan tidak harus menunggu proses penambangan secara
keseluruhan selesai dilakukan.
7
sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi
semula (Rahmawaty, 2002).
a) Pengertian Reklamasi
8
menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, tanah dan
udara;
2. Perlindungan Keanekaragaman hayati;;
3. Penjaminan stabilitas dan keamanaan timbunan batuan penutup, kolam tailing,
lahan bekas tambang dan struktur buatan lainnya;;
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang;;
5. Memperhatikan nilai‐nilai sosial dan budaya setempat;
6. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah
9
b) Teknologi dan langkah-langkah reklamasi
10
2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk
pemanfaatannya selanjutnya.
11
a) Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh
gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
b) Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri,
dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian
hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi
batubara/coal preparation plant).
c) Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan
daerah (community development) dan penanganan lingkungan yang terkait
dengan pelaksanaan pertambangan.
d) Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi,
volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk
kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation / DMO) dan regulasi harga
batubara (Indonesia Coal Price Reference / ICPR).
e) Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan
perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
f) Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik.
Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas,
serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan hukum.
Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.
12
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP
diberikan oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang
dilakukan negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas
periode Kolonial Belanda dengan Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua
periode tersebut, secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita tentang
perbandingan kedua masa tersebut. Dalam perbandingan tersebut, terdapat
perbedaan dan kesamaan-kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran
paradigma pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan
tentang hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA yang
dipaparkan diatas akan menjadi relevan.
Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah penting. Hak
Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional yang memberikan
negara kekuatan untuk mengatur, mengelola dan mengusahakan sumberdaya
pertambangan. Perdebatan tentang Hak Menguasai Negara (HMN) mendapat
tempat yang lebar dalam membahas hubungan Negara dan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya
pertambangan. Banyak penulis yang konsernt terhadap hak-hak masyarakat dalam
PSDA, menggugat dan mempertanyakan kembali dasar filosofis, sosiologis dan
yuridis HMN. Gugatan ini timbul karena bias penguasaan yang dilakukan oleh
13
Negara (pemerintah) terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-konflik land tenure
dan land use antara pemerintah dengan masyarakat.
HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan konsep
ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap konsep Negara
hukum klasik yang dipengaruhi oleh paham liberalisme dan Negara hukum sosialis
yang dipengaruhi oleh paham marxisme .
Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak dipandang hanya
semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga mempunyai fungsi sebagai
alat pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri Negara kesejahteraan ini adalah;
14
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa atau
dalam kalaimat lain dapat disimpulkan, komponen yang terkandung dalam HMN
tersebut adalah kekuasaan untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan
mengawasi (toezicthouden).
Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU No. 37 Prp
Tahun 1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang menentukan bahwa
semua bahan galian yang diusahakan oleh rakyat secara kecil-kecilan dengan alat-
alat sederhana untuk pencaharian sendiri menurut adat kebiasaan daerah atau
diusahakan secara koperasi. Aturan selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima
Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang
Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan dan Bahan Galian lain Yang
Bersamaan Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No.
206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti
Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban Usaha-Usaha
Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan
Penguasaannya.
Ketiga ketentuan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki Sendiri
(berdikari). Secara tersirat diketahui bahwa keinginan pemerintah untuk menertibkan
pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan sejumlah uang iuran dari
penambang-penambang rakyat. Persandingan bahasa penertiban dan pembinaan
tidak memberikan kesejukan terhadap pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan
yang pasti terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu.
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang
kebijakan pemerintah yaitu :
16
1. Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan
perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2. Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak
Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus
menyingkir.
3. Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap dibuka
kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin pemegang
kontrak pertambangan.
4. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan
sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak jelas
dan diserahkan kepada pemda setempat.
17
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan
Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah
Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan Inpres ini mendapat reaksi
yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi keras
berdatangan salah satunya dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8
Juni 2000 .
Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah
sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya
pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam
rencana kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi salah satu prioritas yang harus
ditangani segera. Penetapan prioritas ini didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;
Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah
kasus-kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan
sosial dari kasus PETI ini membuat penanganannya harus hati-hati.
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan
kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang
berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan
sianida dalam usaha pertambangan emas rakat termasuk pertambangan tanpa ijin
(PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada industri kecil.
18
sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius
terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena sebagian besar
pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru).
Tidak ada pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang
sebagian besar adalah penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada
bagian-bagian awal makalah ini. Persoalan-persoalan yang timbul dan
menghadapkan negara dengan penambang rakyat / PETI versi lama (tradisonal)
yang seringkali tergusur ketika wilayah penambangannya ditimpa oleh kontrak-
kontrak penambangan besar, seperti dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti
ini, maka perlakukan terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.
Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN
dan pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih
menguntungkan pihak pertambangan. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh
para pembuat naskah akdemik ini menjadi sebuah hambatan bagi perkembangan
pertambangan khususnya pengaturan Hak Mengusai Negara yang tidak berarti
dimiliki (penjelasan umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan
kedudukan sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .
19
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam
naskah akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin
memperkuat kekuasaan negara atas sumberdaya pertambangan. Terdapat
keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan memiliki posisi yang lebih tinggi
dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat. Akan tetapi logika HMN yang
ditawarkan oleh naskah akademi RUU minerba menjadi inkonsisten dengan tawaran
yang dimunculkan pada pasal pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara.
Pembahasan ini akan relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa
melakukan kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private.
Tetapi wacana ini justru dijawab dengan mekanisme perinjinan .
Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat, terdapat
beberapa catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita yang akan
menerangi jalan bagi pencarian-pencarian upaya terbaik untuk mendudukkan
sumberdaya pertambangan khususnya mineral dan batubara.
20
1. Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Para
penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan dengan
kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm sejarah yang lebih tua
dari negara.
2. Sesungguhnya jika kita mau bercermin secara jujur, pengaturan sumberdaya
tambang yang berada ditengah-tengah rakyat, apakah itu memakai idiom
pembinaan, penertiban atau infentarisasi dari masa-kemasa merupakan bentuk
lain dari perebutan sumberdaya itu sendiri.
3. Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-pemilikan
masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan.
4. Catatan-catatan yang dapat diambil dari berbagai kebijakan yang pernah ada
sampai pada kebijkan yang akan ada, pengaturan tambang rakyat selalu dimulai
dengan pendekatan pajak.
5. Amat menarik membandingkan kenyataan di jaman penjajahan, terjadi kontrak
setara antara masyarakat adat dengan pengusaha Belanda yang akan
mengusahakan sumberdaya tambangnya yang merupakan satu bagian kecil dari
sebuah pengakuan terhadap pemilikan masyarakat dengan tidak adanya
pengalaman serupa dialam kemerdekaan dimana kontrak-kontrak seperti itu
tidak pernah lagi melibatkan masyarakat.
6. Jika sedikit dibuka cakrawala terhadap kebijakan yang ditawarkan oleh RUU
Minerba, jelas terlihat ternyata diskursus sektoralisme tidak pernah maju.
7. Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam tumbuh
tidak memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan.
Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang muncul,
dapat ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi atas dua yaitu
solusi transisional dan solusi utama. Solusi transisional adalah solusi untuk
menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya solusi utama bagaimana
mengatur pertambangan di Indonesia.
Konsumsi energi primer Indonesia tahun 2008 dan prediksi konsumsi energi primer
tahun 2025, sedangkan komposisi pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai
2007. Pada komposisi energi primer terlihat peningkatan rasio untuk batubara setiap
tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya sebesar 18.3% pada tahun
2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada tahun 2025. Rencana ini adalah
berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar 33% pada bauran energi
nasional di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai
kebijakan untuk mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk
mendukung konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun
rasio pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana realisasi
pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas alam pada
pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan peningkatan ekspor gas.
23
(49,56%), sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua.
Batubaranya pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik
kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang ada, diketahui bahwa jumlah
untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar kurang lebih 40%, sedangkan
sebagian besar sisanya adalah lignit. Antrasit juga diproduksi meskipun dalam
jumlah yang sangat sedikit. Di Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat
batubara kokas sehingga pembangunan tambang di sana berlangsung dengan
pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4
kelompok, yaitu BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), PKP2B atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi
menjadi 3 generasi, KP (Kuasa Penambangan), dan KUD. PKP2B adalah
kelompok yang lahir dari hasil kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong
pengusahaan batubara melalui upaya mengundang investasi asing secara agresif.
Tambang – tambang PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot
jumlah produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini.
PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera Selatan,
serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun tambang –
tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam negeri,
sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia pada tahun 2009, jumlah produksi
mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan oleh 10 perusahaan
tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang –
tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton),
KPC (36 juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton),
Arutmin (16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah
produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara
nasional.
Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah kebutuhan
domestik serta ekspor. Mulai berproduksinya tambang – tambang PKP2B yang
tersisa serta KP akan meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga
jumlah produksi pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume
kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi
dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220 juta ton. Hal ini
berarti peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun
2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya kebutuhan domestik mengakibatkan
pertumbuhan untuk ekspor diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian
menurun hingga angka 185 juta ton pada tahun 2025.
2.7.5 Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu
Diambil
25
Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang
penting bagi negara maupun daerah.
Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.
26
BAB IV.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabtanto Joko Suprapto, 2009, Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Dan
Aspek Konservasi Bahan Galian, Kelompok Program Penelitian Konservasi, Pusat
Sumber Daya Geologi;
2. Dyahwanti, Inarni Nur (2007) KAJIAN DAMPAK LINGKUNGAN KEGIATAN
PENAMBANGAN PASIR PADA DAERAH SABUK HIJAU GUNUNG SUMBING DI
KABUPATEN TEMANGGUNG. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
3. Arman Mazara Ahmad (2011), Pencemaran Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan, Universitas Khairun, Ternate
4. Hastirullah 2014 , lingkungan dan pembangunan, makalah
6. Sitorus, M. 2003. Pengaruh Pemberian Batu Fosfat Alam dan Mikoriza Vesikular
Arbuskular Terhadap Ketersediaan dan Konsentrasi P daun Jagung pada Ultisol.
Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi.
7. Lela Purnamasari, 2012, Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap
Industri Tambang Dan Batubara;
8. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
9. Undang-Undang No 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Di Indonesia
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup
11. Undang undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
12. Undang Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
13. Undang Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan
14. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan
16. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan
17. Instruksi Presiden Republik Indonesia. Nomor 3 Tahun 2000. Tentang. Koordinasi
Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin
28