Anda di halaman 1dari 29

JUDUL :

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP


TAMBANG BATU BARA

TUGAS MATA KULIAH :

HUKUM DAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN


YANG DI ASUH OLEH :

Prof Sarosa Hamongpranoto, S,H.,M.Hum

DI SUSUN OLEH :

TEUKU SURYA DHARMA, ST


NIM : 1712016008

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
TAHUN 2017
BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata


kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar
dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.

Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi


setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh
sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan
hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Sabtanto Joko
Suprapto, 2009).

Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan


(ekosistem). Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan
hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan
seperti di sektor pertanian dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut dan
dengan semakin hebatnya kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam, maka
manusialah yang merupakan faktor yang paling penting dan dominan dalam
merestorasi ekosistem rusak.

Masalah-masalah lingkungan hidup dapat menjadi bencana yang bisa


mempengaruhi kualitas hidup manusia. Di Indonesia, pemerintah pusat memberikan
kewenagan tentang pertambangan kepada pemerintah daerah, hal ini dilakukan
agar pemerintah daerah dapat mengalola hasil kekayaan alam demikemakmuran
rakyat tanpa mengesampingkan pengelolaan lingkungan.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah, memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam khususnya
pertambangan kepada masing-masing daerah. Kewenangan untuk pengelolaan
pertambangan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan

1
adanya dua peraturan tersebut seharusnya semakin memperkuat posisi pemerintah
daerah dalam hal ini pemerintah tingkat Kabupaten/Kota. Namun, sangat
disayangkan pemerintah Kabupaten/Kota belum memaksimalkan kekuatan hukum
ini dalam penegakan upaya pengelolaan pertambangan yang ramah lingkungan.

Secara ekonomi, kegiatan penambangan mampu mendatangkan keuntungan


yang sangat besar yaitu mendatangkan devisa dan menyerap tenaga kerja sangat
banyak dan bagi Kabupaten/Kota bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan kewajiban pengusaha membayar retribusi dan lain-lain. Namun, keuntungan
ekonomi yang didapat tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat
kegiatan penambangan yang syarat dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
alam.

Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara


merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar
industri tetap berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan
mencakup tiga aspek yaitu lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan
sosial/ kesempatan yang sama bagi semua orang (equity) yang dikenal sebagai 3E.
Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri namun sangat terkait dengan dua aspek
lainnya. Dalam kegiatan internal industri, peluang untuk memadukan aspek
lingkungan dan ekonomi sangat besar, tergantung cara mengelola lingkungan
dengan bijak dan menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut
masyarakat sekitar atau di luar industri juga sangat terkait dalam pengelolaan
lingkungan.

Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri
tambang batubara merupakan hal pokok dalam menjaga dan meningkatkan kualitas
kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian
sumber daya alam dan bahan-bahan beracun, memperkecil timbulan limbah dan
pencemar selama daur hidup produk sehingga tidak mengorbankan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhannya

Menurut Arman Mazara Ahmad (2011) dampak pencemaran terhadap badan air yang
dihasilkan dari limbah industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

2
1. Zat organik terlarut
2. Zat Padat tersuspensi
3. Nitrogen dan phosphor
4.  Minuman dan bahan-bahan terapung
5. Logam berat cyanida dan racun organic
6. Warna kekeruhan
7. Organic tracer
8. Bahan yang tidak mudah mengalami dekomposisi biologis (refactory subtances)
9. Bahan yang mudah menguap (volatile materialis).

Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang efektif menyediakan kerangka kerja dan
proses yang terorganisir yang mengintegrasikan perencanaan, pelaksanaan,
tindakan perbaikan dan tinjauan pengelolaan. Sistem Manajemen Lingkungan
menyediakan detail-detail spesifik dan instruksi-instruksi yang berhubungan dengan
struktur organisasi, personalia, prosedur, pelatihan dan penelitian yang kesemuanya
memainkan peran dalam mengontrol dan meminimalkan dampak negatif akibat
operasional pabrik pada lingkungan.

Dalam pada itu menurut Hadi (2005) sistem manajemen lingkungan (SML)
telah secara luas diimplementasikan di dunia industri. Meskipun sebagian
motivasinya untuk memperoleh sertifikat dan kemudian menjadi bagian dari promosi,
tetapi SML bisa menjadi pendorong penaatan lingkungan (environmental
compliance) di dunia usaha. Pemerintah Daerah dapat memulainya dengan
memahami bagaimana fungsi SML, tantangan yang mereka hadapi dan
mengembangkan komitmen untuk meningkatkan kinerja lingkungan serta mencoba
untuk mengimplementasikan SML dalam bagian kecil dari organisasi mereka.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara, dan


untuk mengetahui kebijakan pemerintah terhadap PETI

3
2. Untuk mengetahui bagaimana rencana kebijakan pemerintah terhadap sector
pertambangan sumber daya alam
3. Untuk mengetahui dampak penambangan batubara, Untuk mengetahui
pentingnya  reklamasi lahan bekas tambang batubara serta untuk mengetahui
solusi /alternatif reklamasi lahan bekas tambang batubara

1.3 Manfaat

Manfaat dari penulisan ini adalah :


1. Mendukung/menunjang pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
2. Sebagai alternatif mengatasi kerusakan lingkungan

1.4 Fokus Materi yang ditentukan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan pertanyaan:

1. Bagaimanakah Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara?


2. Bagaimanakah kebijakan pemerintah terhadap PETI?
3. Bagaimanakah rencana kekbijakan pemerintah terhadap sector pertambangan
sumber daya alam?

4
BAB II.

PEMBAHASAN

2.1. Klasifikasi Penambangan

Potensi sektor pertambangan telah terinventarisir berbagai jenis bahan galian,


yakni sebagai berikut:

1. Golongan A (bahan galian strategis)


Bahan Galian Strategis (Golongan A) adalah suatu bahan galian yang
merupakan strategi dalam hal kegiatan Pertahanan dan Keamanan serta
Perekonomian suatu Negara (daerah). Seperti : Minyak Bumi, Nikel dan
Batu Bara.
2. Golongan B ( bahan galian vital)
Bahan Galian Vital (Golongan B) adalah suatu bahan galian yang sifatnya
mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Seperti : Kromit dan Besi
Calkopirit (CuFeS2), Pirit dan Galena.
3. Golongan C (bahan galian non strategis dan vital) Seperti : Lempung, Batu
Giok (Jade), Talk dan Marmer.

Batu bara atau batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian


umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan
organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses
pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen danoksigen.
Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisis unsur memberikan
rumus formula empiris seperti C 137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk
antrasit.

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas


dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-
bituminus, lignit dan gambut.

1. Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan


(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%.
5
2. Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-
10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di
Australia.
3. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan
dengan bituminus.
4. Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya.
5. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah.

2.2. Dampak Pertambangan Batubara

Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam
pembangunan Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan nasional dengan memperhatikan
kelestariannya.

Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan


pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah satu
sektor penyumbang devisa negara yang terbesar.  Menurut Soemarno (2006)
bahwakeberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor yang sangat
strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan nasional. Namun demikian
kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan
dampak negatif  terhadap lingkungan terutama gangguan keseimbangan permukaan
tanah yang cukup besar.

Dampak lingkungan kegiatan pertambangan antara lain : penurunan


produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya
gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya
keamanan dan kesehatan penduduk, serta perubahan iklim mikro.

 Dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tersebut perlu


dikendalikan untuk mencegah kerusakan di luar batas kewajaran. Salah satu upaya

6
meminimalisir kerusakan tersebut adalah dengan melakukan reklamasi.  Prinsip
kegiatan Reklamasi adalah : (1) kegiatan Reklamasi harus dianggap sebagai
kesatuan yang utuh dari kegiatan penambangan (2) kegiatan Reklamasi harus
dilakukan sedini mungkin dan tidak harus menunggu proses penambangan secara
keseluruhan selesai dilakukan.

Kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan


maupun pasca pertambangan.  Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi
dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik
pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan
tambang, misalnya pada penambangan batubara yang dilakukan dengan sistem
tambang terbuka (open pit) yakni sistem dumping (cara penambangan batubara
dengan mengupas permukaan tanah).  Dampak dari pertambangan batubara  sistem
terbuka ini adalah penurunan sifat sifat-sifat fisik dan kimia, perubahan tofografi
lahan, hilangnya vegetasi alami, berkurangnya satwa liar, selain itu juga dampak dari
adanya pertambangan menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem yang besar,
padahal gangguan logam berat pada lahan-lahan dapat mengubah secara
mendasar masyarakat tumbuhan, sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Sisa-sisa
bekas galian tambang menjadi lahan yang  sangat tidak subur, bahkan mengandung
unsur logam (mercury) yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman.     

Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan,


sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem
yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu
sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan
pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang
terjadi.  Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah
menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk
density (pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran
oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi
mikroba tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya
pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut
dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan
rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak

7
sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi
semula (Rahmawaty, 2002).

2.3. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara

a) Pengertian Reklamasi 

Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan


hidup diikuti tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah payung
dibidang pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap
perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai
satu kesatuan yang bulat dan utuh didalam suatu sistem (Rensi, 2012).

Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,
dan pengendalian lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung


jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata


kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar
dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.  Reklamasi lahan bekas
tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca
tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan juga diupayakan

8
menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.

Prinsip lingkungan hidup yang wajib dipenuhi dalam melaksanakan reklamasi


dan pasca tambang adalah :

1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, tanah dan
udara;
2. Perlindungan Keanekaragaman hayati;;
3. Penjaminan stabilitas dan keamanaan timbunan batuan penutup, kolam tailing,
lahan bekas tambang dan struktur buatan lainnya;;
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang;;
5. Memperhatikan nilai‐nilai sosial dan budaya setempat;
6. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah

Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan pertambangan yang


diharapkan dapat mengembalikan lahan kepada keadaan semula, bahkan jika
memungkinkan dapat lebih baik dari kondisi sebelum penambangan. Kegiatan
reklamasi meliputi pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang
terganggu ekologinya dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah
diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi
adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan
tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri dari recontouring/


regrading/resloping lubang bekas tambang dan pembuatan saluran-saluran drainase
untuk memperoleh bentuk wilayah dengan kemiringan stabil, top soil spreading agar
memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan tanaman,  untuk memperbaiki tanah
sebagai media tanam, revegetasi dengan tanaman cepat tumbuh, tanaman asli lokal
dan tanaman kehutanan introduksi. Perlu juga direncanakan pengembangan
tanaman pangan, tanaman perkebunan dan atau tanaman hutan industri, jika
perencanaan penggunaan lahan memungkinkan untuk itu.

9
b) Teknologi dan langkah-langkah reklamasi

Reklamasi lahan perlu dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya


dukung dan daya guna bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan
antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta
kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan pengelolaan
lahan tambang tidak cukup hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha
penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan
penutupannya (planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan
penanggulangan masalah sosial-ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah satu
persyaratan dalam pemberian izin penambangan.  Reklamasi lahan bekas tambang
memerlukan pendekatan dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat
gangguan yang terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses
reklamasi). Namun secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai
berikut:

1. Konservasi Top Soil


2. Penataan Lahan
3. Pengelolaan Sedimen dan Pengendalian Erosi
4. Penanaman Cover Crop
5. Penanaman Tanaman Pionir
6. Penanggulangan Logam Berat

            Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia dan biologi seperti :


bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi
dan habitat fauna, dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini harus dikelola untuk
menghindari dampak lingkungan yang merugikan seperti erosi, sedimentasi,
drainase yang buruk, masuknya gulma/hama/penyakit tanaman, pencemaran air
permukaan/air tanah oleh bahan beracun dan lain-lain.

Sasaran Reklamasi Dalam kegiatan reklamasi terdiri dari dua Kegiatan yaitu :

1. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu


ekologinya.

10
2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk
pemanfaatannya selanjutnya.

2.4. Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

Lahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya mengalami


perubahan karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan baik akan
menjadi lahan kritis.

Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang batubara yang


termasuk kategori lahan kritis secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis, dapat
diuraikan sebagai berikut : secara fisik, lahan telah mengalami kerusakan, ciri yang
menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah kedalaman efektip tanah sangat
dangkal.  Terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman seperti
pasir, kerikil, lapisan sisa-sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula terlihat
lapisan cadas. Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat ekstrem,
yaitu antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah dan berkontur
dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya sangat menonjol, Dengan kata lain
terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok pada jarak pendek.
Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan positif terhadap
penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-orologis, lahan
pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur tata
air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan untuk menahan,
menyerap air dan menyimpan air, karena tidak ada vegetasi atau tanaman penutup
lahan. (Sitorus,2003).

2.5. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih diperlukan


untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang batubara masih
akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara yang baru ditujukan
untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini adalah poin – poin penting dalam UU
tersebut:

11
a) Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh
gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
b) Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri,
dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian
hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi
batubara/coal preparation plant).
c) Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan
daerah (community development) dan penanganan lingkungan yang terkait
dengan pelaksanaan pertambangan.
d) Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi,
volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk
kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation / DMO) dan regulasi harga
batubara (Indonesia Coal Price Reference / ICPR).
e) Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan
perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
f) Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik.
Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas,
serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan hukum.

Pasal 76 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:

1. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi


kelayakan;
2. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.

Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwasetiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin


untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha
berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki data hasil kajian studi kelayakan.

12
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP
diberikan oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.

2.6. Kebijakan Pemerintah Terhadap PETI

2.6.1    Bagaimana Negara Mengatur Pertambangan Rakyat

Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang
dilakukan negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas
periode Kolonial Belanda dengan Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua
periode tersebut, secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita tentang
perbandingan kedua masa tersebut. Dalam perbandingan tersebut, terdapat
perbedaan dan kesamaan-kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran
paradigma pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan
tentang hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA yang
dipaparkan diatas akan menjadi relevan.

Gambaran singkat tentang Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan


Republik Indonesia (NKRI) akan dimulai dengan pembahasan yang legendaris
tentang dasar justifikasi Negara (NKRI) dalam penguasaan dan pengelolaan
sumberdaya alam (pertambangan). Dasar justifikasi tersebut popular dengan
sebutan Hak Menguasai Negara (HMN).

Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah penting. Hak
Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional yang memberikan
negara kekuatan untuk mengatur, mengelola dan mengusahakan sumberdaya
pertambangan. Perdebatan tentang Hak Menguasai Negara (HMN) mendapat
tempat yang lebar dalam membahas hubungan Negara dan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya
pertambangan. Banyak penulis yang konsernt terhadap hak-hak masyarakat dalam
PSDA, menggugat dan mempertanyakan kembali dasar filosofis, sosiologis dan
yuridis HMN. Gugatan ini timbul karena bias penguasaan yang dilakukan oleh

13
Negara (pemerintah) terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-konflik land tenure
dan land use antara pemerintah dengan masyarakat.

HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan konsep
ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap konsep Negara
hukum klasik yang dipengaruhi oleh paham liberalisme dan Negara hukum sosialis
yang dipengaruhi oleh paham marxisme .

Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak dipandang hanya
semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga mempunyai fungsi sebagai
alat pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri Negara kesejahteraan ini adalah;

1. Mengutamakan hak social ekonomi masyarakat,


2. Peran eksekutif lebih besar dari legislative,
3. Hak milik tidak bersifat mutlak,
4. Negara tidak hanya sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) tapi juga terlibat
dalam usaha-usaha social maupun ekonomi,
5. Kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur social ekonomi dan
membebankan kewajiban tertentu kepada warga Negara,
6. Hukum public condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi dari peran
Negara yang luas dan
7. Negara bersifat Negara hukum materil yang mengutamakan keadilan social yang
materil. Dengan pemahaman inilah, Negara mempunyai hak untuk ikut campur
dalam pertambangan.

Pasal 33 UUD 1945 memberikan gambaran bagaimana Indonesia mengadopsi


kedua paham ini dan pasal 33 UUD 1945 memberikan landasan yuridis bagi Pasal 2
UU No. 5 tahun 1960 yang berbicara bertama kali tentang konseptualisasi HMN
dalam tingkatan yang lebih teknis dalam pengelolaan SDA. Pasal 33 UUD 1945
memberikan penekanan pada penguasaan Negara terhadap Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara pasal 2 UU No.
5 Tahun 1960 lebih memperjelas ruang lingkup HMN tersebut yaitu;

14
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa atau
dalam kalaimat lain dapat disimpulkan, komponen yang terkandung dalam HMN
tersebut adalah kekuasaan untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan
mengawasi (toezicthouden).

Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU No. 37 Prp
Tahun 1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang menentukan bahwa
semua bahan galian yang diusahakan oleh rakyat secara kecil-kecilan dengan alat-
alat sederhana untuk pencaharian sendiri menurut adat kebiasaan daerah atau
diusahakan secara koperasi. Aturan selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima
Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang
Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan dan Bahan Galian lain Yang
Bersamaan Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No.
206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti
Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban Usaha-Usaha
Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan
Penguasaannya.

Ketiga ketentuan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki Sendiri
(berdikari). Secara tersirat diketahui bahwa keinginan pemerintah untuk menertibkan
pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan sejumlah uang iuran dari
penambang-penambang rakyat. Persandingan bahasa penertiban dan pembinaan
tidak memberikan kesejukan terhadap pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan
yang pasti terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu.

Pada tahun 1967 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pertambangan diundangkan. HMN dinyatakan dengan tegas pada pasal 1 UU No.
11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 1 ini
menyatakan bahwa semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia
15
Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh
karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar
kemakmuran Rakyat.

UU No. 11 tahun 1967 mendevinisikan pertambangan rakyat sebagai Pertambangan


Rakyat; adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan
seperti yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara
gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.
Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat
dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang
pertambangan dengan bimbingan Pemerintah. Pertambangan Rakyat hanya
dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin)
Pertambangan Rakyat.

UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam


ketentuan ini ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan setelah
mendapat Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan oleh
menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa
Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk
melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah
yang sangat terbatas. Selanjutnya beberapa ketentuan dikeluarkan untuk mengatur
pertambangan rakyat ini diantaranya Kepmen Pertambangan No. 181/Kpts/M/
Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan galian
timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan No. 188/Kpts/M/Pertamb/1969
tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah
Propinsi Bengkulu, Kepmen Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang
Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah
Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara, Kepmen Pertambangan No.
763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat Untuk
bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik Malaya Propinsi Jabar, Permen
Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang Pedoman Pengelolaan
Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan Vital (Golongan A & B)

Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang
kebijakan pemerintah yaitu :
16
1. Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan
perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2. Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak
Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus
menyingkir.
3. Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap dibuka
kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin pemegang
kontrak pertambangan.
4. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan
sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak jelas
dan diserahkan kepada pemda setempat.

Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut, banyak


pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala dinas
Pertambangan Kalimantan selatan menyebutkan Sepanjang tahun 1997-2000,
tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang 334 penambang tanpa ijin yang
tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan memakai alat berat . Sedangkan di
Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto sampai dengan tahun 2000 terdapat 2500 orang
penambang liar . Sementara itu di Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai
tahun 2001 terdapat kurang lebih 500 orang penambang tanpa ijin . Di Kalimantan
Selatan sampai tahun 2001 terdapat 6000 orang penambang emas tanpa ijin.

Khalid Muhammad menulis bahwa Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa Ijin)


juga diberikan bagi para penambang emas yang rata-rata dilakukan dengan skala
kecil dan oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari daerah sekitar lokasi
bahan tambang, yang tergiur untuk mengadu nasip pada bahan tambang itu. Akhir-
akhir ini berbagai perhatian tertuju pada para penambang emas skala kecil, karena
jumlah mereka dari tahun ke tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh
Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi
penambangan kecil yang menghasilkan hampir semua mineral untuk kegiatan
industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta pertahun. Rendahnya jumlah penambang
skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih disebabkan oleh persoalan
birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam memperoleh ijin penambangan .

17
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan
Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah
Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan Inpres ini mendapat reaksi
yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi keras
berdatangan salah satunya dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8
Juni 2000 .

Menakar Nasib Tambang Rakyat Dengan RUU Mineral dan Batubara


di sepanjang 2003 sampai dengan 2004 pemberitaan kasus-kasus dan pengaturan
pertambangan di Indonesia menyita perhatian pulik. Kelahiran Perpu No. 1 Tahun
2004 yang kemudian disyahkan menjadi UU No. 19 Tahun 2004 memberikan warna
tersendiri di pentas sejarah pertambangan. Sementara itu, cakupan UU No. 11
Tahun 1967 mulai berkurang dengan lahirnya UU Migas dan dilanjutkan dengan
pembuatan RUU Mineral dan Batubara yang saat ini dibahas di DPR

Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah
sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya
pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam
rencana kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi salah satu prioritas yang harus
ditangani segera. Penetapan prioritas ini didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;

Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah
kasus-kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan
sosial dari kasus PETI ini membuat penanganannya harus hati-hati.

Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan
kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang
berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan
sianida dalam usaha pertambangan emas rakat termasuk pertambangan tanpa ijin
(PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada industri kecil.

Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan pada


tahun 1996 tersebut. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh
masyarakat menjadi sebuah masalah yang cukup besar yang menyebabkan
menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI sebagai salah satu

18
sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius
terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena sebagian besar
pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah.

Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak ketika


membaca naskah akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah akademik ini
mengkategorikan PETI yaitu PETI versi baru dan PETI versi lama (tradisional). PETI
versi baru dicirikan dengan adanya penyandang dana (cukong) dan kadang-kadang
oknum aparat sebagai backing, serta operasi dengan modus operandi memperalat
kalangan masyarakat bahwa menjadi “korban” pembangunan, ini, yang didalamnya
terlibat masyarakat pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata
menjadi kekuatan yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru. PETI ini
menimbulkan masyalah yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan
negara dari sektor perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan, 3) melecehkan
hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah lain yaitu, kecelakaan tambang,
iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan, premanisme dan prostitusi .

Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru).
Tidak ada pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang
sebagian besar adalah penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada
bagian-bagian awal makalah ini. Persoalan-persoalan yang timbul dan
menghadapkan negara dengan penambang rakyat / PETI versi lama (tradisonal)
yang seringkali tergusur ketika wilayah penambangannya ditimpa oleh kontrak-
kontrak penambangan besar, seperti dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti
ini, maka perlakukan terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.

Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN
dan pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih
menguntungkan pihak pertambangan. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh
para pembuat naskah akdemik ini menjadi sebuah hambatan bagi perkembangan
pertambangan khususnya pengaturan Hak Mengusai Negara yang tidak berarti
dimiliki (penjelasan umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan
kedudukan sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .

19
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam
naskah akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin
memperkuat kekuasaan negara atas sumberdaya pertambangan. Terdapat
keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan memiliki posisi yang lebih tinggi
dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat. Akan tetapi logika HMN yang
ditawarkan oleh naskah akademi RUU minerba menjadi inkonsisten dengan tawaran
yang dimunculkan pada pasal pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara.
Pembahasan ini akan relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa
melakukan kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private.
Tetapi wacana ini justru dijawab dengan mekanisme perinjinan .

Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang


rakyat, meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat
muncul menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi pembinaan terhadap
mereka. Jika keseriusan pembinaan terhadap pertambangan rakyat ada dan
orientasi pengembangan pertambangan membuka kesempatan yang luas dan
setara terhadap penambangan rakyat, maka kita dapat belajar dari pengalaman
negara-negara lain seperti Bolivia dalam memperlakukan tambang emas rakyat.
Untuk memperbaiki kualitas lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil,
pemerintah Bolivia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk
menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup Terpadu Pada Usaha
Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh Dirjen
Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan Pembangunan
Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan beberapa metode dalam
pengolahan emas dalam pengurangan emisi mercury dan telah berhasil
menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5 ton per tahun .

2.6.2    Catatan-Catatan Penting dan Tawaran Solusi Alternatif

Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat, terdapat
beberapa catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita yang akan
menerangi jalan bagi pencarian-pencarian upaya terbaik untuk mendudukkan
sumberdaya pertambangan khususnya mineral dan batubara.

20
1. Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Para
penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan dengan
kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm sejarah yang lebih tua
dari negara.
2. Sesungguhnya jika kita mau bercermin secara jujur, pengaturan sumberdaya
tambang yang berada ditengah-tengah rakyat, apakah itu memakai idiom
pembinaan, penertiban atau infentarisasi dari masa-kemasa merupakan bentuk
lain dari perebutan sumberdaya itu sendiri.
3. Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-pemilikan
masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan.
4. Catatan-catatan yang dapat diambil dari berbagai kebijakan yang pernah ada
sampai pada kebijkan yang akan ada, pengaturan tambang rakyat selalu dimulai
dengan pendekatan pajak.
5. Amat menarik membandingkan kenyataan di jaman penjajahan, terjadi kontrak
setara antara masyarakat adat dengan pengusaha Belanda yang akan
mengusahakan sumberdaya tambangnya yang merupakan satu bagian kecil dari
sebuah pengakuan terhadap pemilikan masyarakat dengan tidak adanya
pengalaman serupa dialam kemerdekaan dimana kontrak-kontrak seperti itu
tidak pernah lagi melibatkan masyarakat.
6. Jika sedikit dibuka cakrawala terhadap kebijakan yang ditawarkan oleh RUU
Minerba, jelas terlihat ternyata diskursus sektoralisme tidak pernah maju.
7. Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam tumbuh
tidak memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan.

Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang muncul,
dapat ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi atas dua yaitu
solusi transisional dan solusi utama. Solusi transisional adalah solusi untuk
menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya solusi utama bagaimana
mengatur pertambangan di Indonesia.

2.6.3    Solusi Transisional

1. Perlu ada sebuah kebijakan yang memerintahkan evaluasi pemanfaatan


sumberdaya alam terutama pertambangan yang merupakan kekayaan bangsa.
Evaluasi ini menyangkut kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat dan praktek
21
yang terjadi dilapangan. Dengan itu tentunya pembahasan RUU Minerba di DPR
harus dihentikan terlebih dahulu.
2. Perlu mendata konflik dan mencari solusi konflik-konflik pertambangan yang
berlangsung sejak lama dan tidak terselesaikan, apakah itu konflik yang berakar
dari klaim hak kepemilikan ataupun konflik yang timbul dari dampak-dampak
pertambangan.
3. Sesegera mungkin mendata dan mempersiapkan program pembinaan PETI yang
disusun secara partisipatif termasuk masalah pengendalian lingkungan hidup,
dimana solusi dan pendekatan terhadap penambang tradisional (versi lama)
harus berbeda dengan PETI versi baru .
4. Menangguhkan untuk sementara waktu pemberian kontrak-kontrak
pertambangan baru dan mengefektifkan kontrak-kontrak pertambangan yang
sudah ada dengan memperketat dan mempertinggi standar lingkungan hidup.

2.6.4    Solusi Utama

Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka waktu


tertentu, pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi masalah utama yang
akan menyentuh masalah sesungguhnya dalam pengelolaan SDA termasuk
tambang. Alternatif solusi tersebut diantaranya :

1. Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan) yang


semata berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana pengelolaan
sumberda alam yang komprehensif.
2. Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas sumberdaya alam
yang tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, khususnya yang
mengatur tentang hak ulayat segera diturunkan pada ketentuan yang lebih
operasional.
3. Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi prinsip-
prinsip pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
4. Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free, Prior,
Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan untuk
mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat unsur mendasar
yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku secara kumulatif. Secara
definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan sebagai berikut;
22
A. Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan
hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat,
B. Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah
terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat,
C. Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek
yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan
D. Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .

2.7        Rencana Kebijakan Pemerintah Terhadap Sektor Pertambangan SDA

2.7.1     Kondisi Energi di Indonesia

Konsumsi energi primer Indonesia tahun 2008 dan prediksi konsumsi energi primer
tahun 2025, sedangkan komposisi pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai
2007. Pada komposisi energi primer terlihat peningkatan rasio untuk batubara setiap
tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya sebesar 18.3% pada tahun
2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada tahun 2025. Rencana ini adalah
berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar 33% pada bauran energi
nasional di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai
kebijakan untuk mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk
mendukung konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun
rasio pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana realisasi
pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas alam pada
pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan peningkatan ekspor gas.

 2.7.2     Cadangan dan Kualitas Batubara

Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus dilakukan,


sehingga angkanya pun terus membesar seiring dengan ditemukannya lapisan –
lapisan baru batubara. Meskipun total sumber daya batubara Indonesia mencapai
104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa ditambang hanya sekitar 1/5nya saja, yaitu
sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring dengan
eksplorasi yang terus berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh
cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan

23
(49,56%), sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua.
Batubaranya pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik
kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang ada, diketahui bahwa jumlah
untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar kurang lebih 40%, sedangkan
sebagian besar sisanya adalah lignit. Antrasit juga diproduksi meskipun dalam
jumlah yang sangat sedikit. Di Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat
batubara kokas sehingga pembangunan tambang di sana berlangsung dengan
pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.

2.7.3     Sistem Operasi Produksi dan Jumlah Produksi Batubara

Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4
kelompok, yaitu BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), PKP2B atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi
menjadi 3 generasi, KP (Kuasa Penambangan), dan KUD. PKP2B adalah
kelompok yang lahir dari hasil kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong
pengusahaan batubara melalui upaya mengundang investasi asing secara agresif.
Tambang – tambang PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot
jumlah produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini.
PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera Selatan,
serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun tambang –
tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam negeri,
sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.

Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B yang


masih terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku lagi. UU Minerba
yang baru menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP), yang didalamnya
terbagi menjadi 3 jenis wilayah pengusahaan mineral & batubara, yaitu Wilayah
Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah
Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa
Ijin Usaha Pertambangan (IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD,
perusahaan swasta, KUD, maupun perorangan untuk melaksanakan usaha
pertambangan. Sebagai upaya mewujudkan transparansi perijinan, maka sistem
tender diberlakukan pada proses pemberian IUP ini. Ijin pengusahaan terbagi
berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Ijin
24
Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP
sendiri terbagi menjadi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Sebagai peraturan
pelaksana dari UU ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan peraturan –
peraturan tentang Usaha pertambangan mineral dan batubara, Wilayah
pertambangan (PP No 22 tahun 2010), Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
mineral & batubara (PP No 23 tahun 2010), serta Reklamasi lahan pasca tambang.

Statistik jumlah produksi batubara Indonesia pada tahun 2009, jumlah produksi
mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan oleh 10 perusahaan
tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang –
tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton),
KPC (36 juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton),
Arutmin (16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah
produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara
nasional.

2.7.4     Prediksi Jumlah Produksi, Kebutuhan Domestik, dan Ekspor

Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah kebutuhan
domestik serta ekspor. Mulai berproduksinya tambang – tambang PKP2B yang
tersisa serta KP akan meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga
jumlah produksi pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume
kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi
dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220 juta ton. Hal ini
berarti peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun
2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya kebutuhan domestik mengakibatkan
pertumbuhan untuk ekspor diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian
menurun hingga angka 185 juta ton pada tahun 2025.

2.7.5     Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu
Diambil

Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap pemasukan


negara. Berikut ini adalah dampak positif dari pengusahaan batubara:

25
 Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang
penting bagi negara maupun daerah.
 Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
 Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.

Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin pengusahaan


batubara ini ke depannya, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait
berpindahnya mekanisme pengawasan ke daerah, penanganan masalah
lingkungan, serta tindakan tegas terhadap penambangan tanpa ijin (PETI) yang
selalu saja menjadi masalah laten.

26
BAB IV. 

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan


pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini
menjadi perhatian bagi negara – negara pengimpor batubara Indonesia,
termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah Indonesia menyatakan bahwa
volume ekspor tidak akan mengalami kendala dalam beberapa waktu ke depan,
karena pertumbuhan konsumsi dalam negeri diperkirakan masih lebih rendah
bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi batubara nasional.
Selain itu, pemerintah juga mencanangkan pengurangan emisi CO 2 sebesar
26% sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan seperti pemakaian bio-fuel
dan konversi ke energi panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya masih
belum jelas. Dengan demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama
adalah jumlah kebutuhan energi dalam negeri  Indonesia dan sumber energi
yang memasoknya.

4.2 Saran

Setiap Perusahan Tambang yang mau membuka usaha pertambangannya


dengan IUP Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) harus
wajib terlebih dahulu menyerahkankan REKLAMASI dan rencana pasca
tambang pada saat mengajukan permohonan IUP ataupun IUPK (UUD No.4
Tahun 2009 pasal 99).

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabtanto Joko Suprapto, 2009, Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Dan
Aspek Konservasi Bahan Galian, Kelompok Program Penelitian Konservasi, Pusat
Sumber Daya Geologi;
2. Dyahwanti, Inarni Nur (2007) KAJIAN DAMPAK LINGKUNGAN KEGIATAN
PENAMBANGAN PASIR PADA DAERAH SABUK HIJAU GUNUNG SUMBING DI
KABUPATEN TEMANGGUNG. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
3. Arman Mazara Ahmad (2011), Pencemaran Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan, Universitas Khairun, Ternate
4. Hastirullah 2014 , lingkungan dan pembangunan, makalah

5. Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi,


Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

6. Sitorus, M. 2003. Pengaruh Pemberian Batu Fosfat Alam dan Mikoriza Vesikular
Arbuskular Terhadap Ketersediaan dan Konsentrasi P daun Jagung pada Ultisol.
Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi.
7. Lela Purnamasari, 2012, Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap
Industri Tambang Dan Batubara;
8. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
9. Undang-Undang No 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Di Indonesia
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup
11. Undang undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
12. Undang Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
13. Undang Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan
14. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan
16. Peraturan Pemerintah  No 23 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan
17. Instruksi Presiden Republik Indonesia. Nomor 3 Tahun 2000. Tentang. Koordinasi
Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin

28

Anda mungkin juga menyukai