Anda di halaman 1dari 11

i

Paper Kependudukan dan Ekologi Manusia (KPM1563)

KONSTRUKSI PENGRUSAKAN TAMBANG KAPUR DI


JAWA TIMUR

Gilang Tresna Putra Anugrah I3503221008

Dosen Pengajar
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, M.A.
Dr. Ir. Rr. Melani Abdulkadir, M.Sc.
Dr. rer. nat. Rina Mardiana, S.P., M.Si

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
2

PENDAHULUAN

Sejak dahulu Indonesia memang dikenal dengan kekayaan berbagai sumber


daya alamnya baik yang nampak di permukaan tanah ataupun yang terdapat di
dalam tanah. Potensi-potensi sumber daya alam yang terdapat di permukaan
ataupun di dalam tanah akan selalu berusaha dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan atau keinginan manusia dari yang tadinya manusia yang antroposentris
hingga manusia yang ekosentris. Kekayaan alam yang senantiasa dimanfaatkan di
antaranya yaitu bahan tambang baik yang logam ataupun non logam. Batu
gamping atau batu kapur termasuk bahan tambang yang sering dimanfaatkan dan
keberadaannya begitu melimpah di Indonesia dan hampir di setiap pulau ada.
Mayoritas batu gamping atau kapur itu terdapat di provinsi Kalimantan Timur,
Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dan Jawa Timur. Daerah yang menjadi
sentral di antaranya berada di Tuban, kabupaten di Jawa Timur (Majid & Sukojo,
2017a).
Menurut data Indonesia memiliki potensi batu kapur sebesar 28,7 milyar ton
(Batu Gamping, Andalan Untuk Pembangunan Infrastruktur Di Indonesia, n.d.).
Batu kapur digolongkan kedalam bahan galian golongan C (batu pasir, batu kapur,
dan tanah liat, dan sejenisnya) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
1984-1996 No. 126 (Arini, 2021). Batu kapur sering kali dimanfaatkan pada
banyak kegiatan di antaranya yaitu untuk keperluan bahan bangunan (semen dan
plester) dan bahan pengerasan atau menyetabilkan jalan (Apriliani & Aniriani,
2017). Ada juga manfaat lain dari batu kapur yang sering dimanfaatkan yaitu
untuk keperluan membasmi hama, pupuk dan inssektisida, membantu dalam
penjernihan air, penghias rumah ataupun kebutuhan dekorasi arsitek, penambah
gizi untuk ikan, dan mengobati impotensi (Manfaat Batu Kapur Dari Pertanian
Hingga Pengobatan, 2018). Dengan berbagai manfaat itu banyak perusahaan
yang telah memanfaatkan potensi itu di Jawa Timur antaranya CV. Mitra Usaha
Mandiri, CV. Sembilan Jaya Abadi, PT. Niraku Jaya Abadi, Hasta Karya
Rapindo, CV Subur Abadi, Panca Sakti Sinergi, CV. Batu Jaya Abadi, UD. Bumi
Kirana Jaya UD. Bumi Kirana Jaya, CV.Tramaya, PT. Indo Sinar, PT Semen
Indonesia (Daftar Perusahaan Batu Kapur di Jawa Barat November 2022 |
Indonetwork, n.d.).
Pemanfaatan batu kapur untuk berbagai kegiatan dan keperluan manusia
memang menguntungkan. Namun di balik itu ada kegiatan atau aktivitas
penambangan yang telah merusak dan mengganggu lingkungan yang kemudian
berakibat pada manusia. Rusaknya lingkungan dari aktivitas penambangan kapur
ini dapat dirasakan dan diamati dari degradasi lingkungan baik dari segi kualitas
atau kuantitasnya (Gofur & Wesnawa, 2018). Dampak yang diberikan dari
kegiatan tambang bukan hanya peningkatan ekonomi, tapi peningkatan kerusakan
akibat degradasi lingkungan. Ada pengorbanan pada aspek lain untuk dapat
meningkatkan ekonomi dari hasil tambang. Kerusakan yang terjadi akibat
kegiatan penambangan bukan hanya dari aspek fisik lingkungan tetapi dari aspek
sosial dan kesehatan manusia juga terdampak.
3

Kerusakan dan perubahan yang terjadi akibat adanya aktivitas penambangan


kapur harus dicegah dan ditanggulangi. Pemerintah pun telah berupaya
mengontrol kerusakan dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan di antaranya
dengan mengeluarkan aturan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 mengenai
Pertambangan. Di dalam aturan tersebut dijelaskan bagaimana perusahaan harus
dikelola dengan azas-azas seperti keadilan, keberpihakkan pada kepentingan
bangsa, berkelanjutan, transparan dan akuntabilitas, serta berwawasan lingkungan
(Pambudi, 2020). Upaya lain pemerintah pun dilakukan dengan pemberlakuan
AMDAL, namun yang menjadi masalah adalah apakah setiap kegiatan atau
perusahaan pertambangan sudah memenuhi dan mau menerapkan keseluruhan
AMDAL (Pambudi, 2020). Maka perlu adanya penelaahan terkait aktivitas
penambangan dan mengkonstruksi kerusakan dan dampak yang ditimbulkan baik
dari aspek lingkungan maupun aspek manusianya dan faktor apa yang memediasi
sehingga hal tersebut dapat terjadi.
4

METODOLOGI
Pada penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
pustaka menggunakan sumber-sumber berupa data dari jurnal, liputan di media,
buku, serta artikel terpercaya di internet. Pada penelitian tahapan yang dilakukan
yaitu mengumpulkan data, dibaca dan dipelajari, dipilah data yang diperlukan dan
diolah untuk menjabarkan permasalahan yang akan dibahas. Ada lima tahapan
dalam studi pustaka ini antara lain: (1) menemukan gagasan untuk penelitian, (2)
membuat lokus penelitian seta mengelompokkan bahan sesuai judul penelitian, (3)
menggali dan mengumpulkan data dan informasi terkait judul penelitian, (4)
membaca dan menganalisis ulang informasi yang telah didapat dan dikumpulkan,
(5) penyusunan laporan penelitian (Tahmidaten & Krismanto, 2020). Penelitian
ini mengkaji empat kabupaten yang ada di Jawa Timur yaitu Kabupaten Tuban,
Kabupaten Gresik, Kabupaten Jember, Dan Kabupaten Rembang. Penelitian ini
berusaha memahami bagaimana perusahaan dan aktivitas tambang kapur
mengkonstruksi berbagai kerusakan yang terjadi dengan menggunakan framework
Hunter (Hunter, 2000a). Dalam kerangka framework tersebut akan dijabarkan
bagaimana aktivitas penambangan kapur pada aspek Enviroment, Mediating
Factors, dan Population.
PEMBAHASAN

1.1 Dinamika kegiatan pertambangan pada aspek Environment and


Livelihood
Daerah pertama yang akan dibahas yaitu Kabupaten Jember di mana
terdapat Gunung Sadeng yang terdapat kandungan kapur di dalamnya. Akibat
adanya potensi kapur di Gunung Sadeng maka pemerintah mengeluarkan izin
untuk menyewa atau menggarap Gunung Sadeng untuk diambil hasil tambangnya.
Adanya potensi tambang pun membuat warga di Kecamatan Puger atau sekitar
Gunung Sadeng menjadikan penambang sebagai mata pencaharian dan mayoritas
alasannya karena pendidikan rendah dan tidak mendapatkan pekerjaan lain (Gofur
& Wesnawa, 2018). Di Gunung Sadeng penambang dibagi menjadi dua yaitu
penambang besar dan kecil. Penambang besar merupakan perusahaan atau
kelompok yang menggali tambang dengan skala yang besar, sedangkan
penambang kecil atau individu hanya menggali tambang dengan skala kecil akibat
keterbatasan peralatan dan modal yang dimiliki. Penambang skala besar ini
rasionya 78% dan 22% merupakan penambang skala kecil (Gofur & Wesnawa,
2018).
Pada proses penambangan ada beberapa tahapan yang harus dilakukan
antara lain menebas atau mebabat habis tanaman dan pepohonan yang ada di area
tambang, mengupas lapisan tanah (tanah di lapisan atas harus digali dan dibuang
untuk memisahkan lapisan tanah dengan lapisan yang terdapat bahan tambang dan
hal ini dapat mengakibatkan longsor dan erosi pada tanah), dan membakar atau
meledakkan batuan kapur. Mengurangi tanaman dan pohon akibat pembabatan
maka akan berpengaruh pada jumlah dan keanekaragaman flora dan fauna yang
ada di Gunung Sadeng karena tempat hidup dan sumber makanannya berkurang
atau musnah. Akibat pembakaran dan peledakkan batuan kapur itu pun
menimbulkan pencemaran udara akibat zat-zat dari batuan kapur ataupun aktivitas
penambangan sehingga menimbulkan berbagai penyakit seperti ISPA, gangguan
paru-paru, meningkatnya produksi lendir dalam tubuh, menyempitnya saluran
5

pada sistem pernapasan, dan tertimbunnya zat-zat berbahaya di dalam tubuh


(Akili et al., 2017). Hal ini dibuktikan dengan adanya pernyataan warga yaitu
sebanyak 45% mengaku kesehatannya terganggu dan terdampak akibat aktivitas
tambang (Arini, 2021). Aktivitas penambangan juga mengakibatkan terjadinya
peningkatan aktivitas lalu lintas dari lalu lalangnya kendaraan pertambangan.
Warga di Desa Grenden Kabupaten Jember secara pendidikan juga rendah
sehingga wawasan terkait pentingnya menjaga lingkungan demi kelestarian
ekologi juga rendah. Warga pun banyak yang mendukung adanya tambang dan
warga yang menjadi pekerja di pabrik pun juga mendukung karena mereka
mementingkan dampak ekonomi pada dirinya saja sebagai hasil menambang batu
kapur (Arini, 2021). Akibat adanya pro dan kontra sesama warga mengenai
keberadaan tambang menyebabkan konflik sosial sering terjadi. Tidak hanya
dengan sesama warga, warga yang kontra juga tidak jarang berkonflik dengan
pihak perusahaan.
Kemudian dampak yang telah ditimbulkan pada lingkungan yaitu debit air
hujan berkurang dan sekitar 45% warga mengakui hal itu. Ini adalah akibat dari
aktivitas perusahaan tambang yang menggunakan mesin berupa laser untuk
memecah mendung sehingga warga kekurangan air untuk kebutuhan hidup dan
pertanian. Sebesar 85% warga merasakan adanya polusi udara yang ditimbulkan
akibat kegiatan produksi pabrik di perusahaan tambang. Ada 80% warga yang
menyatakan bahwa pasokan air semakin minim jumlahnya apalagi untuk
memenuhi kebutuhan pengirigasian lahan pertanian mereka (Arini, 2021). Para
petani pun terus berusaha dengan segala keterbatasannya untuk terus mengairi
lahan pertaniannya seperti dengan mengadakan sumur-sumur di dekat sawahnya.
Namun masih terdapatpermasalahan untuk mengairi lahan pertanian meskipun
sudah ada sumur, yaitu mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk memompa
air dari sumur sebesar Rp500.000,00 per hektarnya (Arini, 2021).
Di daerah Tuban tepatnya di Desa Bukiharjo juga terdapat tambang kapur
yang skalanya besar. Pembukaan tambang kapur di Desa Bukiharjo membuat
peralihan mata pencaharian dari yang tadinya buruh, kuli, dan petani ada yang
beralis menjadi penambang kecil (Shahriyah & Fahrullah, 2021). Hal ini sama
seperti yang terjadi di daerah sekitar Gunung Sadeng.
Di daerah berikutnya yaitu di Kabupaten Rembang. Berbeda dengan
daerah sebelumnya, di daerah Rembang akan dibahas mengenai dimensi sosial
yang terjadi. Adanya PT Semen Indonesia di Rembang menimbulkan kondlik
berkepanjangan dengan warga. Efek dari konflik sosial dengan perusahaan
penambang tersebut mengakibatkan kerenggangan hubungan antar saudara
ataupun antar warga masyarakat karena terdapat warga yang bekerja di
perusahaan tersebut meskipun posisinya tidak tinggi sehingga warga yang bekerja
otomatis membela PT Semen Indonesia. Terdapat pula konflik di dalam rumah
tangga sehingga mengakibatkan cerainya suami istri akibat perbedaan pendapat
terhadap adanya perusahaan tambang itu. Perceraian itu terjadi karena pihak
perusahaan mendekati istri-istri atau orang yang pasangannya menolak adanya
perusahaan tersebut dan ditawari untuk menjadi guru dan digaji sehingga mereka
yang menerima tawaran itu berkonflik dengan suami atau istrinya hingga berujung
cerai, hal itu dialami di antaranya oleh Joko seorang warga yang keras menolak
adanya perusahaan tersebut (Narasi Newsroom, 2022).
6

Sejak beroperasi di tahun 2017, eksploitasi tambang oleh PT Semen


Indonesia hanya 2,8 hektar pada tahun itu, namun pada penghujung tahun 2021
sudah mencapai 38 hektar. Akibat penambangan kapur di daerah Rembang,
gunung yang di antara fungsinya untuk menampung air itu mulai hilang sehingga
tidak adanya sumber mata air di bawah gunung itu dan terjadilah kekeringan. Lalu
akibat aktivitas peledakkan di kawasan tambang, batu-batunya itu sering kali
merusak lahan pertanian warga tanpa ada ganti rugi dan tidak jarang hampir
mengenai tubuh petani (Narasi Newsroom, 2022). Tidak dipungkiri pula lambat
laun akibat aktivitas tambang yang harus mengalami peluasan area penambangan,
lahan-lahan pertanian warga yang ada di sekitar area tambang akan berusaha
dibeli perusahaan sehingga degradasi lingkungan akan terus meningkat.

1.2 Dinamika kegiatan pertambangan pada aspek Mediating Factors


Faktor-faktor perantara tidak hanya di Kabupaten Tuban, Kabupaten
Gresik, Kabupaten Jember, dan kabupaten Rembang tetapi juga di seluruh
Indonesia satu di antaranya oleh perubahan peraturan terkait Izin Usaha
Pertambangan (IUP) yang tadinya diurus oleh pemerintah kabupaten dan diganti
diurus oleh pemerintah provinsi (Qurbani, 2020). Kegiatan perizinan
pertambangan oleh pemerintah provinsi khususnya di Jawa Timur masih belum
terkelola dengan baik hal itu dapat dilihat dari tiga peraturan gubernur dan satu
keputusan gubernur yaitu mengenai pedoman pemberian izin, pengorganisasian
dan tata kerja teknis, tim verifikasi dan evaluasi dokumen izin pertambangan pada
energi dan sumber daya mineral. Semua hal itu terkait teknis administratif saja,
namun belum ada peraturan dari pemerintah provinsi mengenai pengelolaan usaha
tambang yang baik dengan memerhatikan dan mengatur azas-azas dalam
mengelola tambang, proses pengelolaannya, pengawasan dan pengontrolan, dan
masih banyak lagi (Qurbani, 2020).
Akibat dari peraturan itu khususnya pada warga di daerah Tuban yang
tingkat pendidikannya rendah menjadi enggan, tidak mengetahui, atau merasa
kesulitan untuk mengurus IUP tersebut sehingga kegiatan penambangan yang
mereka lakukan tidak mendapatkan izin hingga sekarang (Rahmawati, 2022).
Mereka pun dikategorikan penambang ilegal. Para penambang ilegal itu akhirnya
dalam melakukan kegiatan penambangan tidak memiliki kesadaran dan tidak
memerhatikan keselamatan. Tidak jarang aktivitas penambang ilegal itu
menggunakan cara-cara dan peralatan minim dan tradisional. Hal-hal tersebut
mengakibatkan para penambang banyak yang meninggal akibat terjatuh di
ketinggian saat menambang kapur (Rahmawati, 2022). Hal itu juga terjadi di
daerah Jember di mana warga yang tingkat pendidikannya rendah memilih
menjadi penambang kapur ilegal karena tidak tahu atau tidak mau ribet mengurus
perizinan (Gofur & Wesnawa, 2018).
Hal berbeda dialami oleh warga di Rembang di mana mereka berkonflik
dengan pihak perusahan PT Semen Indonesia adanya perusahaan tambang dan
menolak izin penambangan yang dikeluarkan Pemprov Jawa Tengah pada 18
November 2011. Hal itu mengakibatkan warga menggugat untuk mencabut izin
penambangan PT Semen Inonesia ke MA pada 2 Agustus 2016 dan pada tanggal
5 Oktober 2016 gugatan itu dimenangkan oleh warga dan putusan MA untuk
membatalkan izin penambangan PT Semen Indonesia dan ditindak lanjuti oleh
7

Pemprov Jawa Tengah dengan mencabut izin pada tanggal 16 Januari 2017.
Namun satu bulan setelah dikeluarkannya pencabutan izin tersebut, Pemprov Jawa
Tengah tepatnya pada 23 Februari 2017 mengeluarkan izin kembali untuk
penambangan PT Semen Indonesia. Selang waktu 38 hari kemudian tepatnya pada
23 Februari 2017 Pemprov Jawa Tengah mengeluarkan izin kembali untuk PT
Semen Indonesia (KOMPASTV, 2017). Warga tentu saja kecewa akan
pengeluaran izin tersebut setelah mereka memenangkan gugatan ke MA.
Walaupun hal itu sebenarnya sah-sah saja untuk diajukan kembali izinnya dan
dapat dikeluarkan izin tersebut dalam jangka waktu paling cepat 25 hari kerja
sejak permohonan izin tersebut diterima pihak pemerintah provinsi (Menpan,
n.d.).
Dalam mendirikan usaha pertambangan tidak hanya Izin Usaha
Pertambangan (IUP) yang diperlukan tetapi juga HO (Hinder ordonantie) atas
dasar aturan di dalam pasal 1 angka 1 hingga 3 dan pasal 3 pada Permendagri No.
27 tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di daerah (Arini,
2021). Di dalam aturan itu terkandung bahwa dalam menetapkan izin HO harus
menilik aspek lingkungan (yaitu peninjauan terhadap adanya gangguan pada
keadaan dan fungsi udara, air, tanah, suara bising, getaran yang ditimbulkan, dan
komponen lingkungan lainnya) , sosial dan masyarakat (yaitu peninjauan terhadap
adanya gangguan pada terganggunya ketertiban masyarakat, merosotnya nilai dan
moral) , dan aspek ekonomi (yaitu peninjauan terhadap turun atau tidaknya
kegiatan produksi dan usaha, penurunan nilai suatu benta tetap ataupun bergerak
yang dapat merugikan warga). Namun kenyataannya masih banyak yang belum
mematuhi ketentuan baik AMDAL atau HO yang harus dimiliki perusahaan
tambang.
Penegakkan kebijakan dan pengawasan terhadap penanganan selepas
penambangan masih banyak dilanggar. Ketentuan seharusnya ketika telah selesai
menambang ada beberapa kegiatan (Sania et al., n.d.). Pertama mengembalikan
lapisan tanah yang sebelumnya telah digali dan terdapat unsur haranya atau biasa
disebut top soil. Hal ini dilakukan agar tanaman dapat tumbuh di daerah bekas
tambang. Kedua menutup atau mereklamasi bekas galian tambang agar kerusakan
lingkungan dan potensi jiwa yang ditimbulkan dapat dicegah. Ketiga meratakan
lahan atau tanah seperti sedia kala. Keempat yaitu proses menggemburkan dan
mengobati lahan agar unsur-unsur hara pada tanah dapat kembali. Kelima adanya
saluran air agar logam ataupun zat-zat lainnya tidak mengendap dan
membahayakan. Keenam kegiatan menetralkan asam pada kegiatan tambang
dengan menggunakan dam untuk pengendapan sebelum membuangnya ke aliran
sungai. Terakhir ialah pengembalian vegetasi di bekas galian tambang dengan
ditanami tumbuh-tumbuhan ataupun pepohonan.

1.3 Dinamika kegiatan pertambangan pada aspek Population


Dinamika penduduk pada kegiatan pertambangan ini menimbulkan
dampak yang hampir sama pada setiap kabupaten di Jawa Timur. Pertama di
Kabupaten Jember banyak kejadian akibat para penambang ilegal yang nekat
memanjat tebing kapur dengan pengetahuan yang rendah dan peralatan yang tidak
memadai sesuai standar sehingga sering terjadi penambang ilegal yang meninggal
karena terjatuh dan meninggal (Gofur & Wesnawa, 2018). Tidak hanya kematian
akibat memanjat tebing, gangguan sistem pernapasan seperti Infeksi Saluran
8

Pernapasan (ISPA), asma, dan bronkitis bahkan yang lebih parah dapat
menyebabkan kematian. Penyakit itu timbul akibat para penambang baik yang
ilegal ataupun pekerja perusahaan tambang yang legal terkena dampak kesehatan
itu dari aktivitas pembakaran, peledakkan, dan aktivitas tambang batu kapur
lainnya. Penyakit itu menjangkit pra penambang yang terlalu sering menghirup
debu kapur dan debu pembakaran, berada di area tambang pada saat aktivitas
tambang. Semua paparan itu berujung pada potensi kematian yang semakin besar
sehingga dapat menurunkan jumlah populasi penduduk di sekitar area tambang
kapur di Jember.
Kasus lainnya di daerah Tuban, tepatnya di Desa Bektiharjo para
penambang ilegal tidak memiliki kelengkapan peralatan dan SOP keselamatan
dalam menambang. Akibatnya sering ada kecelakaan dan mengakibatkan
kematian sebagai konsekuensi dari tidak diterapkannya standar keamanan dan
keselamatan kerja. Misalnya saja pada tahun 2020 terdapat seorang pekerja yang
meninggal karena tergelincir dari tangga-tangga pada dinding tebing kapur ketika
hendak turun karena tidak adanya penghalang pada tangga-tangga itu (Shahriyah
& Fahrullah, 2021). Hal lainnya yaitu dampak dari aktivitas penambangan kapur
maka akan meninggalkan lubang-lubang yang lebar dan dalam serta terbuka
begitu saja sehingga tidak aman. Luabng-lubang tersebut dibiarkan tanpa ada
upaya untuk menutup atau mereklamasinya. Lubang-lubang tersebut
kedalamannya bervariasi dan ada yang kedalamannya hingga 45 meter.
Banyaknya lubang bekas galian tambang itu akan sangat membahayakan baik
untuk orang dewasa apalagi bagi anak-anak jika berada di sekitar lubang itu dan
terlebih lagi lubang bekas galian itu berada di dekat rumah-rumah warga.

KESIMPULAN

Berdasarkan kajian pustakan dan data-data sekunder yang telah ditemukan


serta dianalisis pada bahasan di atas di dapatkan simpulan bahwa aktivitas
tambang di Kabupaten Gresik, Tuban, Jember, dan Rembang telah
mengkonstruksi berbagai dampak di masyarakat dengan melihat melalui
framework Hunter dalam aspek environment, mediating factors, and population.
Dampak yang telah ditimbulkan dalam aspek environment yaitu menurunnya
sumber mata air untuk kegiatan pertanian atau kebutuhan penghidupan, penurunan
debit air hujan, kekeringan, penurunan kualitas tanah, degradasi lingkungan,
konflik sosial antar sesama warga, keluarga, dan dengan perusahaan. Pemicu
adanya dampak terhadap lingkungan dan manusia yang melampaui batas daya
toleransi di antaranya karena faktor kebijakan yang dikeluarkan, penegakkan dan
pengawasan kegiatan penambangan yang tidak ketat dan belum baik, serta tidak
adanya aturan yang lengkap dalam mengawal kegiatan penambangan.
Konstruksi kerusakan yang paling dirasakan ketika bersentuhan langsung
dengan manusia yaitu pada aspek population. Kelalaian, ketidakpatuhan, dan
pelanggaran para penambang baik skala kecil ataupun besar telah memakan
korban jiwa. Hal itu akibat aktivitas tambang atau bekas aktivitas tambang yang
meninggalkan lubang galian yang besar dan dekat dengan rumah-rumah warga.
9

Kelalaian dan pelanggaran para penambang itu berhubungan langsung dengan


mediating factors yaitu peran pemerintah berupa pembuatan dan penegakkan
kebijakan pada sektor pertambangan. Pemerintah memiliki peran yang besar
dalam mengendalikan dan mencegah dampak dan konstruksi kerusakan akibat
aktivitas tambang.
10

DAFTAR PUSTAKA
Akili, R. H., Kolibu, F., & Tucunan, A. C. (2017). Kejadian Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut pada Pekerja Tambang Kapur. Kes Mas: Jurnal
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Daulan, 11(1), 41–
45.
Apriliani, N. F., & Aniriani, G. W. (2017). FORMULASI SCRUB DARI KAPUR
SIRIH SEBAGAI INOVASI PRODUK PERAWATAN. 4.
Arini, D. P. (2021). Pelaksanaan Izin Pertambangan Batu Kapur di Gunung
Sadeng Jember Perspektif Hukum Lingkungan. Rechtenstudent Journal
UIN KHAS Jember, 2(2), Article 2. https://doi.org/10.35719/rch.v2i2.62
Batu Gamping, Andalan untuk Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. (n.d.).
Retrieved November 21, 2022, from
https://duniatambang.co.id/Berita/read/1514/Batu-Gamping-Andalan-
untuk-Pembangunan-Infrastruktur-di-Indonesia
Daftar Perusahaan Batu Kapur di Jawa Barat November 2022 | Indonetwork.
(n.d.). Retrieved November 20, 2022, from
https://www.indonetwork.co.id/s/jawa-barat/k/batu-kapur/perusahaan
Gofur, M. A., & Wesnawa, I. G. A. (2018). Dampak Ekologi Penambangan Batu
Kapur Sebagai Bahan Dasar Pebuatan Semen Di Gunung Sadeng
Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. Jurnal Pendidikan Geografi
Undiksha, 6(3).
Hunter, L. M. (2000). The environmental implications of population dynamics.
Rand.
KOMPASTV (Director). (2017, March 24). Polemik Pabrik Semen di Kendeng
Menurut Gubernur Jawa Tengah.
https://www.youtube.com/watch?v=sRF_9afNqc4
Majid, D. A., & Sukojo, B. M. (2017). Pemetaan Potensi Batuan Kapur
Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban
[Journal:eArticle, Institut Teknologi Sepuluh Nopember]. In Jurnal Teknik
ITS (Vol. 6, Issue 2, p. 494879).
https://doi.org/10.12962/j23373539.v6i2.25051
Manfaat Batu Kapur Dari Pertanian Hingga Pengobatan. (2018, September 2).
Manfaat.co.id. https://manfaat.co.id/manfaat-batu-kapur
Menpan. (n.d.). Izin Pertambangan Rakyat. SIPP. Retrieved November 28, 2022,
from https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/kalimantan-
tengah/dinas-penanaman-modal-dan-pelayanan-terpadu-satu-pintu-
provinsi-kalimantan-tengah/{current_url}
Narasi Newsroom (Director). (2022, January 25). Yang Dilupakan Orang tentang
Aksi Ganjar Pranowo di Rembang | Buka Mata.
https://www.youtube.com/watch?v=C1gG9Z5d9GQ
Pambudi, A. (2020). KERUSAKAN LINGKUNGAN SEBAGAI DAMPAK
PENAMBANGAN BATU KAPUR DI BENTANG ALAM KARST
KABUPATEN GUNUNGKIDUL. PRANATA HUKUM, 15(2), Article 2.
https://doi.org/10.36448/pranatahukum.v15i2.231
Qurbani, I. D. (2020). URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DI PROVINSI JAWA
11

TIMUR. Arena Hukum, 13(2), Article 2.


https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2020.01302.2
Rahmawati, F. S. R. (2022). PENERTIBAN PERTAMBANGAN BATU KAPUR
ILEGAL DALAM RANGKA PERLINDUNGAN MASYARAKAT YANG
TERDAMPAK DI KABUPATEN TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR
[Diploma, Institut Pemerintahan Dalam Negeri].
http://eprints.ipdn.ac.id/7627/
Sania, P. R., Maulana, A., Danyswara, A., Della, N., Arif, I., Soloha, B., Pattihua,
A., Afrianti, R., Anugrah, W., & Sari, A. S. (n.d.). PEMANFAATAN
LAHAN PASCA TAMBANG PT SEMEN INDONESIA SEBAGAI
DESTINASI WISATA TAMAN REKLAMASI “BUKIT DAUN” KAB.
TUBAN, PROV. JAWA TIMUR. 6.
Shahriyah, S., & Fahrullah, A. (2021). Praktik Tambang Batu Kapur Dalam
Perspektif Ekonomi Islam di Tuban Jawa Timur. Jurnal Ekonomika dan
Bisnis Islam, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.26740/jekobi.v4n1.p151-
163
Tahmidaten, L., & Krismanto, W. (2020). Permasalahan Budaya Membaca di
Indonesia (Studi Pustaka Tentang Problematika & Solusinya). Scholaria:
Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 10(1), Article 1.
https://doi.org/10.24246/j.js.2020.v10.i1.p22-33

Anda mungkin juga menyukai