Anda di halaman 1dari 76

Bidang Ilmu : Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR
RISET PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN (RPP)

MODEL KEBIJAKAN ALIH FUNGSI HUTAN


YANG BERKEARIFAN LOKAL DI INDONESIA

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun

Oleh :

I Gusti Ayu Gangga Santi Dewi, SH, M.Kn NIDN: 0026057406


Dr. Bambang Eko Turisno,SH,MH NIDN: 0009126204

Dibiayai dengan Sumber Dana :


Selain APBN DPA LPPM Universitas Diponegoro
Tahun Anggaran 2021

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Tahun 2021
Halaman Pengesahan

1. Judul Penelitian : Model Kebijakan Alih Fungsi Hutan Yang


Berkearifan Lokal di Indonesia

2. Bidang Penelitian : Sosial Humaniora

3. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : I Gusti Ayu Gangga Santi Dewi, SH., M.Kn
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP/NIDN : 19740526 2006042001 / 0026057406
d. Fakultas/Jurusan : Hukum / Ilmu Hukum
e. Pusat Penelitian : -
f. Telp/Faks (Kantor) : (024) 76918201
g. Telp/Faks (Rumah) : -
h. HP/Email : 08112754243 / ganggasanti@gmail.com
4. Waktu Penelitian : Tahun ke 1
5. Pembiayaan
a. Tahun Pertama : Rp 40.000.000,00
b. Tahun Kedua : Rp 40.000.000,00
c. Tahun Ketiga : -
d. Biaya dari instansi lain : -
/ in kind : -

Semarang, 28 Nopember 2021

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Ketua Peneliti,
Universitas Diponegoro

Prof. Dr. Retno Saraswati, SH, MHum I.G.A Gangga Santi Dewi, SH., M.Kn
NIP. 196711191993032002 NIP. 19740526 2006042001

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
ABSTRAK ..................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.3. Kegunaan …………………………………………………………………..… 5
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 6
2.1. Tinjauan tentang Kebijakan .............................................................................. 6
2.2. Tinjauan tentang Hutan.................................................................................... 11
2.3. Tinjauan tentang Pertanian ………………………………………………….. 14
2.4. Tinjauan tentang Lingkungan ………………………………………………. 17
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................................... 20
3.1. Jenis Penelitian Hukum ...................................................................................... 20
3.2. Subjek, Objek dan Lokasi Penelitian ……………………………………….…. 20
3.3. Metode Pendekatan ……………………………………………………………. 20
3.4. Metode Pengumpulan Data ………………………………………...………….. 22
3.5. Metodse Analisis Data ………………………………………………………… 23
3.6. Metode Penarikan Kesimpulan …………………………………...…………… 23
BAB IV. HASIL PENELITIAN ................................................................................... 24
BAB V. PENUTUP ....................................................................................................... 51
1. Keimpulan ............................................................................................................ 51
2. Saran ................................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT PENELITI
HASIL LUARAN YANG DICAPAI
LAMPIRAN
Lampiran 1. Dukungan Sarana dan Prasarana Penelitian
Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
Lampiran 3. 2 (dua) Artikel Jurnal internasional terindeks Scopus
Lampiran 4. Dokumentasi Foto Penelitian
Lampiran 5. Laporan Penggunaan Dana

ii
ABSTRAK

Alih fungsi hutan sering terjadi di Indonesia dengan latar belakang


pengembangan wilayah, pariwisata dan usaha perekonomian. Berbagai dampak
dari alih fungsi hutan ini dapat dikategorikan pada dampak lingkungan yaitu
hidrologi, erosi dan sedimentasi, kebakaran, kepunahan flora dan fauna, dan
dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sebagian besar lahan
hutan itu berubah menjadi perkebunan dan sebagian besar adalah untuk
kepentingan pertanian, pertambakan dan perikanan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas dan kebijakan alih
fungsi hutan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kajian sosio-legal. Kajian
sosio-legal bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana
hubungan hukum dengan masyarakat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan hukum dalam masyarakat.
Hasil penelitian pada 3 lokasi penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten
Lombok Timur areal kawasan hutan lindung di Desa Sekaroh yang digunakan
untuk perkebunan jagung ilegal, maka diadakan kebijakan oleh Dinas Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu pelaksanaan orientasi
dengan semua pihak dengan berdiskusi dan memberikan pendapat. Hasil penelitian
di Kabupaten Sukamara bahwa dalam rangka menjaga hutan tetap lestari dan
berkelanjutan maka oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup dibentuk suatu
kebijakan membentuk suatu kawasan pelestarian sumberdaya hutan. Salah satu
contoh kawasan pelestarian alam yang cocok dikembangkan di Kabupaten
Sukamara yaitu Taman Hutan Raya (Tahura) untuk tujuan koleksi tumbuhan dan
satwa alami yang berkearifan lokal dan dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi. Pemerintah pusat dalam rangka program foodestate mengembangkan
peternakan sapi pada hutan-hutan produksi di Kabupaten Sukamara. Sedangkan
hasil penelitian di Kabupaten Bangkalan, pertambahan penduduk telah memicu
penebangan mangrove untuk perumahan dan banyak dialih fungsikan menjadi
tambak udang dan ikan. Kebijakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten
Bangkalan adalah mengubah alih fungsi tambak menjadi ekosistem mangrove
dengan cara melakukan penanaman bibit mangrove pada lokasi yang direhabilitasi.
Metode rehabilitasi dengan pola penanaman menggunakan bibit jenis Rhizophora
dengan alasan bibit ini mudah didapatkan dan kuat menahan laju dari pasang surut
air laut.

Kata kunci : Kebijakan, Alih Fungsi Hutan, Berkearifan lokal.

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang
berisi antara pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta
menempati kawasan yang luas. Sumber daya hutan memiliki peranan yang sangat penting
dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini. Di dalam hutan terdapat segala mahluk
hidup baik besar, kecil, maupun yang tidak dapat dilihat dengan mata. Disamping itu, di
dalamnya juga hidup sejumlah tumbuhan yang menjadi hamparan, yang menjadi satu
kesatuan yang utuh. Hal ini menjadi sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik,
yang dipergunakan untuk membangun bangsa dan negara.1Oleh karena itu, aset yang
terdapat di dalam hutan sangat dibutuhkan untuk menambah pendapatan negara dan
pendapatan daerah, sehingga dengan adanya pengelolaan hutan tersebut dapat pula
menopang pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan.
Alih fungsi hutan telah sering terjadi di Indonesia dengan latar belakang
pengembangan wilayah, pariwisata dan usaha perekonomian. Berbagai dampak dari alih
fungsi hutan ini dapat dikategorikan pada dampak lingkungan yaitu hidrologi, erosi dan
sedimentasi, kebakaran, kepunahan flora dan fauna, dan dampak terhadap sosial ekonomi
masyarakat sekitar hutan.
Deforestasi merupakan salah satu faktor utama yang banyak dijumpai sebagai
penyebab terjadinya perubahan fungsi ekologis pada hutan tropis. Penyebab deforestasi
menjadi 3 kelompok yaitu penyebab langsung, penyebab dasar, dan penyebab biofisik.
Penyebab langsung merupakan aktifitas manusia yang secara langsung mempengaruhi
kondisi kerusakan seperti exploitasi kayu, perluasan areal pertanian, perkebunan,
pemukiman, industri, dan sebagainya. Penyebab dasar biasanya berupa faktor yang komplek
seperti faktor sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kependudukan.
Di Indonesia, alih fungsi kawasan hutan merupakan dampak langsung maupun
tidak langsung dari perkembangan industri perkayuan, pemberian ijin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam (HA) maupun hutan tanaman (HT), ijin

1
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia,Jakarta , Sinar Grafika, 2011,
hlm.1-2.

1
pemanfaatan kayu (IPK), pelepasan kawasan untuk perkebunan, pertambangan, dan
pemekaran wilayah, serta maraknya pembalakan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi
perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan
permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk
mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada areal hutan alam
yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang
menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan
perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang
merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di Indonesia.
Sebagian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan dan sebagian besar
adalah untuk kepentingan pertanian, pertambakan dan perikanan. Wilayah Sumatera dan
Kalimantan merupakan wilayah utama pengembangan kelapa sawit, sedangkan di Nusa
Tenggara Barat, hutan menjadi kawasan perkebunan jagung. Sedangkan di Madura hutan
Mangrove dialih fungsikan menjadi pertambakan dan perikanan.
Sumber daya hutan memiliki fungsi yang penting sebagai penopang kehidupan
manusia. Dalam rangka mendukung fungsi tersebut pemerintah telah menata kawasan hutan
dengan fungsi utamanya masing-masing, yaitu : (1) hutan konservasi untuk tujuan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, (2) hutan lindung untuk tujuan mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah institusi air laut dan memilihara
kesuburan tanah dan (3) hutan produksi untuk memproduksi hasil hutan.2
Alih fungsi hutan atau lazimnya sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi
sebagai atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula. Apabila tidak diatur dalam suatu
kebijakan yang baik dan komprehensif akan dampak negatif terhadap lingkungan dan
potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi hutan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk
penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi kondisi alih
fungsi hutan lindung di beberapa daerah pada saat ini semakin banyak dan mengkhawatirkan
bagi kondisi ekologi dan ekosistem sekitarnya. Khususnya pegunungan yang lahan hutan
lindungnya menjadi lahan pertanian, lahan perkebunan atau beralih fungsi menjadi

2
Alimuddin Rianse, Pengembangan Sistem Kompensasi Areal Hutan Yang Dialihfungsikan (Produk :
Model Pengembangan), Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, 2010,
hlm 1.

2
perumahan warga yang dilegalkan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat ataupun bentuk
penyerobotan karena faktor tingkat penduduk yang semakin bertambah.
Pada Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) menyatakan
bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan
didasarkan pada hasil penelitian terpadu.Namun, alih fungsi hutan tentu tidak boleh
dilakukan secara sembarangan. Jika alih fungsi hutan ini berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis, maka harus ditetapkan oleh pemerintah dan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pasal 19 ayat (1) UUK secara tegas menyebutkan bahwa untuk melakukan
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus didasarkan atas penelitian terpadu
yang secara operasional prosedurnya diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 70/Kpts-II/2000. Sedangkan pengkajiannya dilakukan oleh tim terpadu sesuai Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1615/Kpts-VII/2001. Dengan terbitnya Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999, kegiatan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
tidak dengan mudah dilaksanakan mengingat di samping perubahan tersebut didasarkan atas
kriteria-kriteria sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Kehutanan
Terkait dengan kasus alih fungsi hutan di Indonesia, penulis menemukan fakta yaitu
kasus yang terjadi tentang pengalihfungsian hutan di Indonesia yang terjadi di Kabupaten
Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sukamara Provinsi Kalimantan
Tengah dan Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur.
Pada negara bercorak agraris seperti Indonesia, maka pemilikan lahan atau tanah
merupakan kebutuhan untuk memenuhi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Dalam konsep penguasaan tanah oleh perseorangan maupun masyarakat ini berdasarkan
hak yang diberikan negara berdasarkan peraturan yang berlaku. Salah satu faktor penting
untuk menunjang pembangunan yang berpihak kepada rakyat adalah mengubah kebijakan
dengan segala birokrasi pembangunan yang dianggap penting sehingga menjadi organisasi
yang menghargai hak-hak masyarakat sebagai pelaksana pembangunan itu sendiri.
Masyarakat bukan hanya mempunyai sistem penguasaan lahan hutan sendiri guna
menunjang kehidupan mereka, komunitas masyarakat ini mempunyai aturan dalam
melakukan pengelolaan sumber daya alam, termasuk pembukaan lahan hutan untuk
pertanian mereka. Sebagaimana konsep semi autonomous social field yang diintroduksi
bahwa komunitas masyarakat yang hidup di dan sekitar hutan adalah merupakan arena

3
sosial yang memiliki kapasitas membentuk pengaturan-pengaturan sendiri (self-regulation)
sebagai sarana untuk melindungi kawasan hutan dan menjaga keteraturan sosial dii wilayah
komunitasnya3. Maria Rita Ruwiastuti menyatakan bahwa proses pembuatan hukum
sebenarnya dapat dikuasai oleh sekelompok manapun, asal saja mereka memiliki kekuatan
atau kekuasaan, artinya rakyatpun dapat mengendalikan proses pembuatan hukum untuk
menciptakan aturan-aturan yang mendukung dan melindungi kepentingan mereka sendiri4.
Hutan telah memberikan segalanya bagi masyarakat yang hidup di hutan. Mereka
memperoleh dari hutan yang mereka jadikan perkebunan berupa bahan-bahan pangan, bahan
obat-obatan, papan, sandang untuk menjaga kelangsungan kehidupan pokok.
Hubungan masyarakat dengan hutan sangat erat, oleh karena itu penggelolaan
sumber daya hutan seyogyanya dilakukan secara baik dan berkelanjutan. Hutan selain
berfungsi sebagai sumber daya alam yang dapat dieksploitasi demi kemajuan pembangunan
dan ekonomi. Hak-hak rakyat atas tanah di Indonesia diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA
yang menyatakan “Tiap-tiap warga negaraIndonesia, baik laki-laki maupunwanita
mempunyai kesempatanyang sama untuk memperolehsesuatu hak atas tanah serta
untukdapat manfaat dan hasilnya baikbagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Sedangkan pengelolaan sumber daya alamyang tercermin dalam Pasal 33 (3)
UUDN RI Tahun 1945 yang berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai olehNegara dan dipergunakan untuk sebesar - besar kemakmuran
rakyat”. Hal ini berarti sumber daya alam yang di kuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesarnya kemakmuran rakyat, pengaturan, penyelenggaraan, penggunaan, penyediaan dan
pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan-hubungan hukumnya diatur dan
ditentukan oleh suatu kebijakan Negara. Konsep hak menguasai negara ini menempatkan
negara sebagai sentral yang mengatur pemanfaatan segala kekayaan alam yang terkandung
di negera Indonesia ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bersifat populis, karena menempatkan
masyarakat sebagai kelompok utama dalam tujuan kesejahteraan atas hasil sumberdaya
alam. Hal ini tidakmenutup akses masyarakat ke sumber daya alamnya, sehingga setiap
penguasaan sumber-sumber daya alam termasuk dalam bidang kehutanan dan harus

3
Moore, Law as Process an Antrophopological, USA, Routhedge, 1978, hlm. 54.
4
Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria Membongkar Atas Penguasaan Negara Atas
Hak- Hak Adat, Jakarta,Insist Press, KPA DanPustaka Pelajar, hlm.vii.

4
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan status hak atas tanah sampai pada
skala menikmati hasil penggolahan sumber daya alam di hutan.
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan maka penulis melakukan
penelitian yang berjudul “Kebijakan Alih Fungsi Hutan Yang Berkearifan Lokal di
Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka ruang lingkup permasalahan
pokok dalam penelitian ini sebagai berikut :
(1) Bagaimana realitas alih fungsi hutan di Indonesia?
(2) Bagaimana model kebijakan alih fungsi hutan yang berkearifan lokal di Indonesia?

1.3. Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas dan kebijakan alih fungsi
hutan di Indonesia. Kegunaan penelitian secara praktis, bagi akademisi hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai penambahan wawasan kognitf, afektif dan psikomotor ilmiah
terkait kebijakan alih fungsi hutan dan secara teoritis sebagai bahan masukkan bagi para
pembuat peraturan perundang-undangan (DPR beserta Presiden) dalam rangka
pembangunan hukum nasional di bidang hukum agraria terkait kebijakan alih fungsi hutan
yang berkearifan lokal di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1. Tinjauan Tentang Kebijakan
1. Konsep Kebijakan
Pada ilmu hukum istilah kebijakan adalah dasar atau garis sikap atau pedoman
untuk pelaksanaan dan pengambilan keputusan5. Kebijakan dalam arti policy tidak
bersangkut paut dengan suatu kewenangan bebas-tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah, atau tidak diaturnya perbuatan-pejabat pemerintah dalam undang-
undang, melainkan bersangkut paut dengan sikap dan perbuatan pemerintah demi
kepentingan umum. Oleh karena itu berdasarkan Hukum Administrasi Negara kebijakan
dalam arti policy tidak boleh dirancukan dengan kebijakan sebagai asas pijakan Freies
Ermessen.6 Di sini harus dibedakan pula apa pengertian hukum peraturan perundang-
undangan, kebijakan dan kebijaksanaan7.
Harold D. Lasswel dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai “a
projected program of goals, values and practices”8 yang artinya suatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dan praktek- praktek yang terarah. Carl J. Friedrick mendefinisikan
kebijakan sebagai berikut :
“... a proposed course of a action of a person, group, or government within a given
environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize
and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a purpose.9
Artinya serangkaian tindakan pemerintah yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap usulan pelaksanaan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.
Dye10 menjelaskan, bahwa kebijakan adalah pilihan tindakan apapun yang
dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah. Dari definisi ini dapat
diinterpretasikan bahwa kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah meliputi keputusan pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak

5
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 82.
Istislam, Kebijakan dan Hukum Lingkungan Sebagai Instrumen Pembangunan Berwawasan
Lingkungan dan Berkelanjutan, Arena Hukum No. 10 Tahun 4, Maret 2002, hlm. 73.
7
Dwiyanto Indiahono, Kebijakan Publik, Gava Media, Yogyakarta, 2009, hlm.10.
8
Ibid, hlm. 15
9
Ibid, hlm. 17.
10
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan
Negara,Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 3.

6
melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah di mana campur tangan pemerintah
justru diperlukan.
Senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh Dye, Edwards- Sharkansky
dalam Sunggono mengemukakan bahwa kebijakan adalah apa yang dikatakan dan
dilakukan oleh pemerintah, atau yang tidak dilakukannya. Kebijakan adalah tujuan-tujuan
atau maksud-maksud dari program-program pemerintah, bahan-bahan penting dari
program program pelaksanaan dan peraturan-peraturan.11
Chief J.O. Udoji12 mendefinisikan kebijakan sebagai suatu tindakan bersanksi yang
mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok
masalah tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar masyarakat. Dari
definisi ini bermakna bahwa kebijakan merupakan tindakan untuk mengatasi masalah-
masalah yang timbul di dalam masyarakat.
James E. Anderson menyatakan, Public policies are those policies developed by
governmental bodies and officials,” artinya kebijakan negara adalah kebijakan-kebijakan
yang dikembangkan oleh badan-badan atau pejabat-pejabat.
Menurut Anderson dari pengertian tersebut, kebijakan negara mempunyai
implikasi sebagai berikut :
a. Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau
merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
b. Bahwa kebijakan negara itu berisikan tindakan-tindakan atau pola-pola
tindakan pejabat pemerintah.
c. Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan
sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
d. Bahwa kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai sesuatu masalah tertentu atau bersifat
negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu, dan

11
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik , Jakarta, 1994, hlm. 22
12
Ibid, hlm.4.

7
e. Bahwa kebijakan pemerintah, setidak-tidaknya dalam arti yang positif
didasarkan atau dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat
memaksa13.

Berdasarkan pengertian tersebut berarti kebijakan adalah serangkaian tindakan


yang ditetapkan untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah, mempunyai
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat.
Dalam konteks mengenai makna kebijakan, uraian di atas memberi gambaran
bahwa, tidak ada definisi kebijakan yang sama. Namun, beberapa definisi yang diajukan
tersebut menunjukkan adanya beberapa unsur yang harus ada yaitu nilai, tujuan dan sarana.
Secara ideal, suatu keadaan yang diinginkan akan tampak pada tujuan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Namun demikian, penjabaran lebih konkrit dan jelas sangat
diperlukan. "Sarana" dalam konteks ini diartikan sebagai sesuatu yang dapat dipakai untuk
mencapai sasaran/tujuan, termasuk juga sesuatu yang dapat dipakai untuk jangka pendek.14

2.Hukum dan Kebijakan Publik


Dalam konteks keterkaitan antara kebijakan dengan hukum, maka dapat diketahui
posisi hukum di dalam masyarakat. Berdasarkan pendekatan sosiologis, hukum bukan
semata sebagai suatu lembaga yang otonom atau sebagai variabel yang independen,
melainkan sebagai lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat. Pemahaman yang
demikian memberikan suatu penjelasan bahwa hukum di samping dapat memberikan
pengaruh juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang lain yang ada di dalam
masyarakat.15
Berbicara mengenai hukum sebagai suatu sistem yang bekerja dalam masyarakat,
Lawrence M. Friedman16 mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung
dalam hukum, yakni :
1) Komponen yang disebut dengan struktur. Hal ini menyangkut kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi yang
mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen

13
M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 19.
14
Esmi Warassih., Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Suryandaru Utama, Semarang, 2005,
hlm. 132.
15
Esmi Warassih, Ibid,hlm. 133.
16
Ibid, hlm. 81-82.

8
struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara
teratur.
2) Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan,
keputusan-keputusan dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak
hukum maupun oleh mereka yang diatur.
3) Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan
dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture,
yakni kultur hukumnya judged’s, dan external legal culture yakni kultur hukum
masyarakat pada umumnya.
Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga
saling berpengaruh satu sama lainnya. Analisis melalui pendekatan sistem mengkaji bahwa
meskipun komponen substansi hukum sudah baik outputnya, akan tetapi tidak akan berjalan
baik jika tidak didukung oleh komponen atau subsistem lainnya, dalam hal ini ialah
komponen struktural dan budaya atau kultur hukum. Oleh karena itu dalam membuat suatu
kebijakan harus sejalan dengan tujuan hukum yang dapat memberikan kepastian,
kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat.
Apabila kebijakan publik itu telah memasuki bidang kehidupan hukum, maka
perumusannya pun harus tunduk pada teknik pembuatan perundang-undangan. Demikian
pula, setiap kebijakan publik yang akan dituangkan atau dinyatakan dalam bentuk peraturan
harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu sebagaimana ditegaskan oleh Sigler: Public Policy
should be written into simple, precise legal language, using as few ambigious phrases as
possible.17
Suatu konsep juga dituntut untuk mengandung arti (meaningful), karena ia
bertujuan untuk memberikan informasi. Sebagai contoh misalnya konsep hak, kewajiban,
kesalahan dan seterusnya merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga menyebabkan orang
sulit memahaminya, dan bahkan dapat memberikan penafsiran yang berbeda pula. Harus
disadari bahwa perumusan hukum bukanlah fakta empiris. Itulah sebabnya, perumusan
secara umum tentang sesuatu hal dapat menimbulkan perbedaan dalam penerapannya, dan
oleh karena itu penjabaran secara lebih konkrit sangat perlu dilakukan. 18

17
Yay A. Sigler, Benyamin R Beede, The Legal Sources of Public Policy, D. Heath and Co, 1977,
hlm.145, dalam Esmi Warassih, 2005, hlm.134.
18
Ibid.

9
3. Implementasi Kebijakan
Proses implementasi kebijakan selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang
berbeda di setiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Dalam
hal ini, keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi selalu akan bekerja di dalam
konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal-balik yang dapat saling
mempengaruhi.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam
berbagai jenjang/tingkat, baik - propinsi maupun tingkat kabupaten. Setiap jenjang
pelaksanaan pun masih membutuhkan pembentukan kebijakan lebih lanjut dalam berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut. Oleh
karena itu, untuk dapat merespon suatu kebijakan secara lebih efektif, perlu adanya tahapan-
tahapan yang harus dilalui, baik mengenai tahapan perencanaan maupun pelaksanaannya.
Selain itu, dalam rangka mewujudkan rencana dari suatu program, maka peranan sumber
daya merupakan unsur utama yang sangat menentukan.19
Para pejabat pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai "kebebasan"
untuk menjabarkan kebijakan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatannya.
Hal ini berarti, diskresi merupakan fenomena yang sangat penting di dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan publik. Dengan adanya diskresi ini diharapkan agar
dengan kondisi yang ada dapat dicapai tujuan yang diharapkan.
Kebijakan dalam arti policy tidak bersangkut paut dengan suatu kewenangan
bebas-tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, atau tidak diaturnya
perbuatan-pejabat pemerintah dalam undang-undang, melainkan bersangkut paut dengan
sikap dan perbuatan pemerintah demi kepentingan umum. Oleh karena itu berdasarkan
Hukum Administrasi Negara kebijakan dalam arti policy tidak boleh dirancukan dengan
kebijakan sebagai asas pijakan Freies Ermessen.20
Hukum tidak cukup dipahami dalam bentuk rumusan pasal-pasal saja. Hukum itu
dibuat oleh manusia dan untuk mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Hukum tidak
pernah bergerak di ruang hampa, hukum selalu bergerak dipengaruhi oleh berbagai faktor
di lingkungan masyarakat, baik itu faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

19
Esmi Warassih, Ibid, hlm. 136.
20
Istislam, Kebijakan dan Hukum Lingkungan Sebagai Instrumen Pembangunan Berwawasan
Lingkungan dan Berkelanjutan, Arena Hukum No. 10 Tahun 4, Maret 2002, hlm. 73.

10
2.2. Tinjauan tentang Hutan
1.Pengertian Hutan
Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim
mikro dan kondisi ekologi tertentu21. Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang
tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan bahwa hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan
hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang
berisi antara pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta
menempati daerah yang cukup luas. Hutan adalah suatu areal yang luas dikuasai oleh pohon,
tetapi hutan bukan hanya sekedar pohon termasuk di dalamnya tumbuhan kecil seperti
lumut, semak belukar dan bunga-bunga hutan. Hutan juga terdapat beranekaragam burung,
serangga dan berbagai jenis binatang yang menjadikan hutan sebagai habitatnya.
Hutan sangat bermanfaat bagi kehidupan mahluk di muka bumi. Tidak hanya
manusia, hewan dan tumbuhan pun sangat memerlukan lahan untuk kelangsungan hidupnya.
Kawasan yang ditumbuhi pepohonan tersebut akan dikatakan hutan apabila kawasan ini
mampu menciptakan sebuah iklim dan kondisi yang khas di daerah itu.
2. Fungsi Hutan
Pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
menyatakan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu : (a) fungsi konversi, fungsi lindung,
dan fungsi produksi. Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan
kriteria dan pertimbangan tertentu, hal ini juga ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yaitu (a)
Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (Cagar Alam dan Suaka

21
Suparmoko, Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), Yogyakarta,
BPFE, 1997, hlm. 98.

11
Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam), dan Taman Baru. (b) Hutan Lindang, dan (c) Hutan Produksi.
Fungsi hutan juga sebagai sumber daya alam, fungsi hutan dalam pembangunan,
serta manfaat hutan dalam masyarakat. Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi
kedalam bentuk: (a). Lahan Pertanian, (b). Hutan dengan aneka ragam hasilnya, (c). Lahan
alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk peneltian ilmiah, (d). Perikanan darat dan laut,
(e). Sumber Mineral Bahan Bakar dan Non Bahan Bakar, (f). Sumber energi nonmineral
seperti: panas bumi, tenaga sury, angin, sumber tenaga air, gelombang pasang.22
Fungsi hutan dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat direalisasikan dalam
bentuk antara lain: (a) hutan kemasyarakatan, yang berdasar pada Keputusan Menteri
Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan
negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang
tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai
dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat, (b) hutan
rakyat, dimana hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas
minimal 0.25 hektar.

3. Jenis Hutan
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang luas di dunia. Luas
hutan tersebut dulu mencapai 113 juta hektar dan terus berkurang drastis akibat kebodohan
oknum pemerintah dan penjahat yang selalu haus uang dengan membabat dan menggunduli
hutan demi mendapat keuntungan yang besar tanpa melihat dampak bagi lingkungan global.
Jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai arti
definisi dan pengertian : (1) Hutan Bakau, adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai
berlumpur. Contoh : pantai pulau Madura, pantai selatan cilacap, dan lain-lain, (2) Hutan
sabana, adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit
dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara, (3) Hutan rawa, adalah hutan
yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh :
Papua selatan, Kalimantan, (4) Hutan hujan tropis, adalah hutan lebat / hutan rimba belantara
yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang
sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah
subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat

22
Zain AS, Hukum lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta. Jakarta, 1996, hlm 5.

12
disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan
merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan,hutan sumatera, (5) Hutan
musim, adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang
panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.23
Jenis hutan juga dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu : (1). Hutan wisata, adalah
hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta
hewan / binatang langka agar tidak musnah / punah di masa depan. Hutan suaka alam
dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai buka hutan. Biasanya hutan
wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian (2) Hutan cadangan, merupakan
hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian danpemukiman penduduk. Di pulau jawa
terdapat sekitar 20 juta hektar hutancadangan, (3) Hutan lindung, adalah hutan yang
difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah
agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai
penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida).
Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang
umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai, (4) Hutan produksi yaitu adalah hutan
yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi
dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan
rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja
dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang
diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih
pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak.24

4.Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 1
huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Riyanto menyatakan
bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperlukan
antara lain untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses

23
Rahmi Hudayanti, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyeludupan Kayu: Melalui Pelestarian
Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Tangerang, Wana Aksara, 2006, hlm 10
24
Ibid, hlm. 11.

13
penyuburan tanah, proses keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan
manfaat lainnya25.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) poin (b) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004
Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan lindung adalah kawasan
hutan yang memenuhi salah satu kriteria yaitu (1) Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas
lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang
mempunyai jumlah nilai (skor) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih, (2) Kawasan yang
mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau lebih, (3) Kawasan hutan
yang berada pada ketinggian 2 000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut, (4)
Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapang
lebih dari 15% (lima belas per seratus), (5) Kawasan hutan yang merupakan daerahresapan
air, (6) Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

2.3. Tinjauan tentang Pertanian


Pertanian dalam arti sempit atau pertanian rakyat yaitu usaha pertanian keluarga
dimana diproduksi bahan makanan utama seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan
dan ubi-ubian) dan tanaman- tanaman hortikultura yaitu sayur- sayuran dan buah-buahan.
Pertanian rakyat diusahakan di tanah- tanah sawah, ladang dan pekarangan. Sedangkan
Pertanian dalam arti luas mencakup:
1. Pertanian rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit
2. Perkebunan (termasuk perkebunan rakyat dan perkebunan besar)
3. Kehutanan
4. Peternakan
5. Perikanan darat dan perikanan laut.

2.4. Tinjauan tentang Alih Fungsi Lahan


1. Pengertian Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan
fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula, seperti yang
direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi
lahan itu sendiri.

25
Riyanto, Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam,
Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2005, hlm. 30.

14
Kondisi alih fungsi hutan di beberapa daerah pada saat ini semakin banyak dan
mengkhawatirkan bagi kondisi ekologi dan ekosistem sekitarnya, khususnya daerah
pegunungan yang lahan hutan lindungnya menjadi lahan pertanian, lahan perkebunan atau
beralih fungsi menjadi perumahan warga yang di legalkan oleh pemerintah daerah,
pemerintah pusat ataupun bentuk penyerobotan karena faktor tingkat penduduk yang
semakin bertambah.
Menurut Sumaryanto26, pelaku konversi lahan dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya,
motif tindakan ada 3:
(a) Pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal,
(b) Dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha
(c) Kombinasi dari (a) dan (b) misalnya untuk membangun
rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha.
Proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang merupakan suatu bentuk
konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial
ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin
dari :
(1) Pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya
permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan
jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita, serta
(2) Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer
khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktifitas
sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).27

2. Karakteristik Hutan yang Dialihfungsikan


Penetapan suatu kawasan hutan negara didasarkan atas terpenuhinyakarakteristik
dimensi fungsi hutan. Sedangkan fungsi kawasan hutan denganluasan lahan di bawahnya
diklasifikasikan berdasarkan bentangan daerah aliransungai (DAS), karena DAS mewakili
topografi yang mencerminkan klasifikasikarakteristik tingkat resiko ekternalitas negatif dari
pengelolaannya terhadapkepentingan umum kehidupan secara menyeluruh (sebesar
besarnya bagikemakmuran rakyat), yaitu semakin besar kemiringan lahan dan semakin

26
Sumaryoto, Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Dalam Usaha Tanai, Jurnal Agrobisnis 21 (1),
Jakarta, 2002, hlm. 72-96.
27
Loc.cit.

15
tinggilahan dari atas permukaan laut serta semakin dekat dekat dengan sumber-sumberair
semakin besar potensi ekternalitas negatif pengelolaannya. 28
Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan
kawasan hutan menurut Badan Planologi Departemen Kehutanan: 1) Penetapan fungsi
kawasan hutan adalah pemberian kepastian hukum mengenai fungsi suatu kawasan hutan
tetap dengan Keputusan Menteri serta 2) Pinjam pakai kawasan adalah penyerahan
penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi
kawasan hutan tersebut.29
Menurut Badan Planologi Departemen Kehutanan bahwa kriteria penetapan hutan
didasarkan pada faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan:
(1) kelerengam, (2) Kelas tanah didasarkan tingkat kepekaannya terhadap erosi, (3) Kelas
intensitas hujan didasarkan perhitungan rata-rata curah hujan dalam milimeter setahun
dibagi dengan rata-rata jumlah hari hujan setahun. 30
Pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
secara tegas menyebutkan bahwa untuk melakukan perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan harus didasarkan atas penelitian terpadu yang secara operasional
prosedurnya diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2000.
Sedangkan pengkajiannya dilakukan oleh tim terpadu sesuai Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 1615/Kpts-VII/2001. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999, kegiatan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tidak dengan mudah
dilaksanakan mengingat di samping perubahan tersebut didasarkan atas kriteria-kriteria
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997, Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1992, Keputusan-
keputusan Menteri, juga perlu mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan kabupaten,
serta harus didasarkan atas pengkajian secara terpadu oleh tim terpadu tersebut. Dan apabila
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis diperlukan persetujuan
legislatif.

28
Eko Nurmijayanto, Analisis Kawasan Hutan Dan Kawasan Lindung Dalam Rangka Arahan Penataan
Ruang Di Kabupaten Deli Serdang, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor,2008, hlm. 18.
29
Badan Planologi Kehutanan, Kajian penataan Ruang dalam Rangka Pemantapan Kawasan Hutan,
2005.
30
Loc.cit.

16
3. Dampak Alih Fungsi Hutan Lindung
Banyaknya alih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya hal ini semakin
meningkatkan resiko terjadinya bencana banjir dan longsor di Indonesia. Pulau Jawa
merupakan daerah yang memiliki banyak daerah rawan longsor karena tingkat kerusakan
hutan lindung di Pulau Jawa sendiri tiap tahunnya mencapai 19.000 Ha. Pemerintah
sebenarnya telah menetapkan kawasan-kawasan lindung termasuk kawasan rawan bencana
longsor dalam RTRW Nasional dan menjadi pedoman Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan penataan ruang diwilayahnya.
Selama ini pengelolaan hutan belum terorganisir dengan baik. Hal ini disebabkan
karena belum adanya peraturan daerah (perda) yang mengatur pengelolaan hutan lindung
sebagai bentuk tindak lanjut dari otonomi daerah. Tentu saja, kondisi ini bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dan PP Nomor 6 tahun 2007. Semoga dengan
berlakunya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang akan berlaku efektif kelak, akan
diatur secara komprehensif kebijakan kepemilikan dan pengelolaan hutan baik oleh instansi
pemerintah, swasta maupun masyarakat yang bertempat tinggal di hutan.

2.5. Tinjauan tentang Lingkungan

1. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan


Definisi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dalam konteks
kegiatan pertambangan, upaya pengelolaan lingkungan adalah mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang sangat spesifik, sebab
banyak kegiatan yang memerlukan aktivitas penggalian terutama pada lokasi
tambang yang menggunakan metode tambang permukaan, sehinga mengakibatkan
perubahan pada bentang alam. Perubahan tersebut dapat menurunkan fungsi
lingkungan yang akan berpotensi menimbulkan erosi dan sedimentasi, terbentuknya
air asam tambang, penurunan kualitas udara, dan penurunan produktivitas lahan.

17
Selain itu kegiatan ini juga akan menghasilkan lubang bekas tambang (void),
material sisa yang akan dibuang (waste), dan sisa hasil pengolahan (tailing).
Dalam pengelolaan lingkungan sesungguhnya yang paling menentukan
adalah kualitas sumberdaya manusia itu sendiri dengan segala perilakunya dan cara
bagaimana manusia sebagai mahluk sosial mencegah atau mengendalikan kualitas
lingkungan agar tetap berfungsi untuk mendukung seluruh kehidupan.

2. Manajemen lingkungan
Sistem manajemen adalah serangkaian unsur yang saling terkait yang
digunakan untuk menetapkan kebijakan dan tujuan serta untuk mencapai tujuan yang
mencakup struktur organisasi, kegiatan perencanaan, pertanggungjawaban, praktek,
prosedur, proses dan sumber daya. Sistem Manajemen Lingkungan (SML) adalah
bagian dari sistem manajemen organisasi yang digunakan untuk mengembangkan
dan menerapkan kebijakan lingkungan dan mengelola aspek lingkungan.
Peran pemerintah bukan hanya sebagai regulator dan motivator yang
mendorong masyarakat untuk melakukan pengelolaan lingkungan, namun juga
sebagai implementor yang terjun langsung dalam mengawasi dan mengatur hal-hal
pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

3. Kebijakan lingkungan
Kebijakan lingkungan dapat diartikan sebagai keseluruhan maksud dan
arahan organisasi terkait kinerja lingkungan sebagaimana dinyatakan secara resmi
oleh pengambil kebijakan (top management) yang memberikan kerangka untuk
tindakan dan penentuan tujuan dan sasaran lingkungan.
Purwanto dalam Wulan, berpendapat bahwa kebijakan yang hanya
berorientasi pada pemenuhan/ketaatan peraturan perundangan (regulation
compliance) adalah metode reaktif, ad-hoc dan pendekatan end of pipe yang
merupakan level terendah dari manajemen/pengelolaan lingkungan dan terbukti
tidak efektif pada era kompetisi seperti sekarang ini. Sudah sepatutnya para
pengambil keputusan dalam bidang pertambangan memprioritaskan
manajemen/pengelolaan lingkungan pada level tertinggi dan berusaha melebihi
standar peraturan (beyond compliance) mengingat dampak yang ditimbulkan oleh
sektor ini.

18
`

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Hukum

19
Jenis penelitian hukum adalah gambaran keseluruhan cara mengkaji masalah yang
akan digunakan dalam suatu penelitian hukum. Penelitian ini menggunakan kajian sosio-
legal. Kajian sosio-legal bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana
hubungan hukum dengan masyarakat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
hukum dalam masyarakat. Kajian ini secara umum dilakukan dengan mengadakan penelitian
langsung di lapangan dengan tujuan untuk mengumpulkan data yang objektif.
Penelitian sosio-legal adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi,
motivasi dan lain sebagainya. Sifat yang tidak kaku memberi peluang kepada peneliti
berinteraksi langsung dengan informan, sehingga peneliti dapat menangkap dan merefleksi
dengan cermat apa yang diucapkan dan dilakukan oleh informan.Dengan demikian, dalam
pendekatan ini hukum tidak hanya dilihat sebagai norma (das sollen) dari hukum tertulis
maupun tidak tertulis, hukum juga dilihat sebagai perilaku sosial, cultural, das sein.

3.2. Subjek, Objek dan Lokasi Penelitian


Subjek utama penelitian ini adalah alih fungsi hutan di lokasi penelitian. Sedangkan
objek dari penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang alih
fungsi hutandi Indonesia. Lokasi Penelitian di Kabupaten Lombok Timur – Nusa Tenggara
Barat, Kabupaten Sukamara – Kalimatan Tengah dan Kabupaten Bangkalan - Jawa Timur.

3.3. Metode Pendekatan


Berdasarkan standpoint tersebut di atas, maka penelitian ini secara garis besar dapat
dikelompokkan kedalam ranah pendekatan Socio Legal Research31.Hal ini terdapat dua
aspek penelitian, yaitu aspek legal research, yakni obyek penelitian tetap ada yang berupa
hukum dalam arti “norm” dan socio research, yaitu digunakannya metode dan teori ilmu
sosial tentang hukum untuk membantu peneliti melakukan analisis.32Pendekatan ini
dilakukan untuk memahami hukum dalam konteks masyarakatnya (realitas sosial).
Penelitian dengan menggunakan paradigma kontruktivisme dimaksudkan agar
peneliti dapat mengungkap makna (meanings) yang ada dibalik obyek dan subyek yang
diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis alih fungsi hutan
menjadi perkebunan di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini dilakukan rekonstruksi

31
Satjipto Rahardjo, Lapisan Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2009,
hlm. 125
32
Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Tiara Yoga, Yogyakarta, 1992, hlm. 80-81.

20
realitas sosial, dengan mengedepankan interaksi antara peneliti dengan apa yang dikaji
melalui sumber-sumber dan informan, serta memperhatikan konteks yang membentuk
masukan, proses dan hasil penelitian, maupun pemaknaan-pemaknaanya.
Konstruksi ditelusuri melalui interaksi antara dan sesama informan dan obyek
observasi dengan metode pendekatan hermeneutik.33 Hermeneutik secara etimologis
memiliki makna penafsiran atau interpretasi dan secara terminologis, hermeneutik adalah
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti dan pertukaran
dialektikal, dapat pula dimaknai sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna.
Hermeneutik merupakan cara pandang untuk memahami realitas, terutama realitas sosial,
seperti teks sejarah dan budaya.
Metode pendekatan hermeneutik dalam studi ini dipakai untuk mentafsirkan teks,
yaitu teks UUD NRI Tahun 1945, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup dan UUPA serta
peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan permasalahan juga teks hukum
yang hidup (the living law) dalam realitas masyarakat berupa sikap dan perilaku warga
dengan adanya alih fungsi lahan di wilayah tempat tinggal mereka.
Dalam kaitan dengan masalah penelitian ini, maka pendekatan filosofis dilakukan
pemahaman terhadap konsistensi antara hukum dengan nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat. Pendekatan normatif dilakukan dengan menginventarisasi berbagai
peraturan hukum, kaidah, norma, dan asas-asas hukum yang ada berkaitan dengan alih
fungsi hutan. Pendekatan sosiologis dengan melakukan penelitian terhadap realitas sosial,
yaitu realitas yang menjadi bagian dari kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat, yang
dilakukan dengan mengadakan interaksi antara peneliti dengan masalah yang dikaji melalui
nara sumber dan informan yang telah ditentukan. Penelusuran terhadap realitas sosial ini
ditujukan untuk melihat fakta sekaligus menangkap aspirasi yang muncul dalam masyarakat
berkaitan dengan masalah yang diteliti, dalam hal ini dilakukan penelitian terhadap alih
fungsi hutan di lokasi penelitian.

3.4. Metode Pengumpulan Data


Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, difokuskan pada pokok-
pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian ini tidak terjadi penyimpangan
dan kekaburan dalam pembahasannya. Untuk mendapatkan data yang akurat, maka

33
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, Metode don Dinamika Masalahnya, ELSAM dan
HUMA, Jakarta, 2002, hlm. 104.

21
diperlukan data primer dan data sekunder mengenai masalah-masalah yang berhubungan
dengan penelitian ini. Berikut uraian mengenai data primer dan data sekunder dalam
penelitian ini:
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data.34 Data
ini diperoleh dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan responden.
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan
dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan.
Teknik wawancara yang digunakan adalah semi terstruktur, dalam arti bahwa
pertanyaan dipersiapkan terlebih dahulu, sehingga arah wawancara tetap dapat
dikendalikan dan tidak menyimpang dari permasalahan pokok. Dalam teknik ini, unsur
kebebasan masih dipertahankan, sehingga memudahkan diperolehnya data secara
mendalam. Kebebasan disini dimaksudkan untuk menghindarkan kekakuan dalam proses
wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung
dari objeknya.35 Data sekunder ini berupa studi kepustakaan, yang berguna untuk
membangun kerangka teoritis dan kerangka konsepsionil. Data sekunder ini meliputi:
Bahan Hukum antara lain :
1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
atau otoritas.36
2. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan
hukum primer.37 Bahan hukum tersebut mencakup kebijakan, laporan
penelitian hukum, hasil kajian mengenai hukum baik dalam bentuk jurnal,
skripsi, tesis, maupun disertasi.
3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
mengenai hal-hal yang ada dalam bahan hukum primer dan sekunder.38 Bahan
hukum tersebut dapat berasal dari kamus atau ensiklopedia.

34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 12.
35
Ibid.
36
Ibid., hlm.52.
37
Ibid.
38
Ibid.

22
Bahan Non-Hukum
Data atau informasi yang diambil dari artikel maupun rekaman berita di
media masa. Selain itu, dapat pula dipakai data-data dari instansi terkait. Data
tersebut dapat berupa data yang belum diolah, maupun data yang sudah diolah.

3.5. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kulitatif.
Metode analisa kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-
analitis. Hal ini berarti bahwa data yang dihasilkan baik primer maupun sekunder secara
utuh diteliti dan dipelajari. Penelitian deskriptif-analitis ialah apa yang dinyatakan, tertulis
maupun lisan, oleh sumber informasi dan perilakunya yang nyata diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh.39

3.6. Metode Penarikan Kesimpulan


Data yang telah dianalisa ditarik kesimpulannya dengan menggunakan cara
berpikir deduktif interpretatif. Analisa deduktif adalah pola pikir yang berdasar pada suatu
fakta bersifat umum, selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.40 Deduktif
interpretatif berarti bahwa dalam menganalisa, dimungkinkan adanya pendapat, pandangan,
atau tafsiran terhadap data yang ditemukan. Hal tersebut bertujuan untuk mencari pola,
model, tema, maupun teori.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Realitas dan Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Indonesia


4.1.1. Realitas dan Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Kabupaten Lombok Timur
Nusa Tenggara Barat

39
Ibid., hlm. 250.
40
Ibid., hlm. 5.

23
1. Realitas Alih Fungsi Hutan di Desa Sekaroh Kabupaten Lombok Timur Nusa
Tenggara Barat
Kabupaten Lombok Timur memiliki luas lahan hutan sebesar 680 ribu hektare,
dimana 230-ribu hektare lahan kritisnya adalah hutan (DISLHK NTB,2021). Di
kabupaten tersebut, hutan adalah sumber penghasilan masyarakat di sekitarnya dengan
memanfaatkan potensi yang dimiliki hutan tersebut. Salah satunya yaitu dengan
mengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Kawasan hutan Sekaroh ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung dengan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 759/kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982
kemudian statusnya sebagai hutan lindung dengan hak pemanfaatannya dikelola oleh
pemerintah daerah sejak tahun 2002. Kawasan hutan Sekaroh ditetapkan menjadi
kawasan hutan lindung dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
759/kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 kemudian statusnya sebagai hutan
lindung dengan hak pemanfaatannya dikelola oleh pemerintah daerah sejak tahun 2002.
Ketetapan dari Menteri Kehutanan Indonesia Nomor P.88/Menhut-II/2014
perihal Hutan Kemasyarakatan, Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan hutan kemasyarakatan
(HKm) ialah hutan negara dengan pemanfaatannya guna meningkatkan kehidupan warga
sekitar. Hutan Kemasyarakatan (HKm) murni menjadi hak masyarakat untuk
memanfaatkan potensi hutan tersebut untuk sumber mata pencaharian. Tujuan dari Hutan
Kemasyarakatan (HKm) yaitu untuk mengembangkan kapasitas/kemampuan dan
memberikan akses masyarakat sekitar hutan mengelola hutan secara lestari agar terjamin
ketersediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar hutan sehingga bisa
mengurangi pengangguran atau mengurangi permasalahan sosial dan ekonomi yang ada
di daerah tersebut. Hal ini dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar
hutan.
Pada kenyataannya pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (HKm) masih
menghadapi beberapa masalah di antaranya masih kurang ketatnya kebijakan tentang
pemanfaatan hutan sehingga semakin banyak kerusakan sumber daya hutan yang
diakibatkan karena eksploitasi, serta pendapatan masyarakat yang menurun karena
semakin sulit dalam mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya hutan akibat
eksploitasi tersebut.
Sulitnya mengembangkan potensi sumber daya hutan juga dikarenakan
rendahnya kapasitas sumber daya manusianya (rendahnya tingkat pendidikan dan

24
informasi) sehingga akses masyarakat terhadap pemanfaatan ekonomi hutan juga rendah
yang mana ini berkaitan dengan angka kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur. Data
dari BPS Kabupaten Lombok Timur mencatat tahun 2017 tingkat warga miskin sejumlah
18,28%, selang satu tahun, tepatnya 2018, warga miskin sebesar 16,55%, dan pada tahun
2019 persentase penduduk miskin di Lombok Timur sebesar 16,15%.
Dalam rangka mencegah kerusakan hutan diperlukan adanya pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) yang baik dan secara konsisten agar hutan dapat terjaga dan
lestari serta menghasilkan input dan output yang seimbang. Masyarakat sekitar hutan
masih mengandalkan hasil hutan sebagai sumber pendapatan. Sehingga apabila terkelola
dengan baik, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan.
Hutan di Desa Sekaroh terletak pada 08° 31’ 22" – 08° 37" 05" LS dan 116° 27’
00"– 116° 36’ 33". Pada awalnya hutan di Desa Sekaroh merupakan tanah negara bebas
(GG/Ground Goverment) yang karena kondisinya berupa belukar, hutan rusak, bekas
ladang berpindah, maka daerah ini dipertahankan menjadi kawasan hutan lindung.
Penunjukan hutan sekaroh sebagai kawasan hutan lindung dilakukan
berdasarkan surat keputusan menteri pertanian nomor : 756/Kpts/Um/10/1982 tentang
penunjukan areal hutan di wilayah provinsi DATI I Nusa Tenggara Barat seluas
1.063.273, 2 Ha (satu juta enam puluh tiga ribu dua ratus tujuh puluh tiga dua persepuluh
hektar) sebagai kawasan hutan. Penetapan hutan sekaroh sebagai hutan lindung tetap
dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 8214/Kpts-II/2002
tentang penetapan kelompok hutan sekaroh (RTK 15) seluas 2.834, 20 ha yang terletak
di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai Kawasan Hutan
Lindung.
Ada kesepakatan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur yang telah disusun
dalam pola Tata Guna Hutan Kesepakatan dengan dikeluarkannya SK Menteri Pertanian
RI No. 756/Kpts/Um/10/ 1982 tanggal 12 oktober 1982 yang menetapkan bahwa Sekaroh
menjadi kawasan Lindung seluas 3.000 Ha. Tanggal 10 Juli sampai 17 Agustus 1983
dilakukan pengukuran dan pemasangan tanda batas definitif oleh Panitia Tata Batas.
Hasil tata batas ini disepakati oleh Panitia Tata Batas yang selanjutnya ditetapkan oleh
Menteri Kehutanan Nomor : 8214/Kpts- II/2002 tentang Penetapan Kelompok Hutan
Sekaroh seluas 2.834,20 hektar sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi Lindung.
Pada perkembangan selanjutnya, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No

25
337/Menhut-VII/2009 yang menyatakan bahwa Hutan Lindung Sekaroh akan dikelola di
bawah skema pengelolaan hutan yang disebut KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan).
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Nusa Tenggara
Barat mencatat luas hutan kritis di NTB mencapai 718 ribu hektar lebih, terdiri dari dalam
kawasan hutan 432.941 hektar, dan luar kawasan (kebun/tegalan masyarakat) seluas
437.270 hektar. Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB,
mengatakan kerusakan hutan tersebut karena pembalakan liar dan alih fungsi menjadi
hutan pertanian jagung. Ini akibat perambahan dan perladangan sejak mulai banyaknya
tanam jagung tahun 2014 lalu di era pengelolaan hutan oleh Kabupaten/Kota. Sejak
tahun 2017 kewenangan pengelolaan hutan oleh provinsi NTB dilakukan pengawasan
ketat dengan patroli rutin 24 jam oleh petugas. Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan juga mendorong kerjasama kemitraan antara Kelompok Tani Hutan (KTH)
dengan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Pada dokumen kemitraan tersebut
dituangkan hak dan kewajiban, diantaranya wajib menanam dan memelihara pohon,
wajib mengamankan areal dan sekitarnya dari kegiatan ilegal logging dan perambahan
hutan, dan mengelaurkan anggota kelompok yang melanggar ketentuan.41
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.
337/MENHUTVII/2009 tanggal 15 juni 2009 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)
Provinsi Nusa Tenggara Barat, telah dibentuk sebanyak 23 unit wilayah KPH pada
kawasan hutan lindung dan hutan produksi, terdiri dari 11 unit KPHL dan 12 KPHP.
Kebijakan mengenai Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) sebagai sebuah unit pengelolaan
hutan ditingkat tapak telah diamanatkan melalui Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Kebijakan selanjutnya adalah Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007
jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008, antara lain mengamanatkan pembentukan
Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk seluruh wilayah hutan di Indonesia. Pembentukan
KPH tersebut diwujudkan dalam bentuk pembagian wilayah pengelolaan hutan, yang
selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan membentuk kelembagaan pengelola KPH dan
menyusun rencana pengelolaan hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah
wilayah pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari.

41
Wawancara dengan Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB,
wawancara tanggal 23 Maret 2021.

26
Kelembagaan KPH disusun sesuai dengan karakteristik ekosistem wilayah pada
tingkat tapak/lapangan dengan basis kawasan hutan. Wilayah KPH yang didominasi oleh
kawasan hutan lindung, ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
(KPHL), sedangkan wilayah KPH yang didominasi hutan produksi, ditetapkan sebagai
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Implikasi dari penetapan tersebut adalah
rencana pengelolaan hutan pada wilayah KPH akan memperhatikan fungsi-fungsi
kawasan hutan serta fokus program dan kegiatan pengelolaan hutan akan menyesuaikan
status fungsi kawasan hutan.
Dari hasil survey sosial ekonomi bahwa hutan lindung Sekaroh menjadi lahan
utama sebagai sumber penghasilan masyarakat yang tinggal di sekitarnya untuk bercocok
tanam. Luas lahan garapan di areal Hutan Lindung Sekaroh bervariasi antara 1 – 5
Ha/KK. Masa pengolahan lahan oleh masyarakat ada yang sudah 30 tahun, 20 tahun dan
ada juga yang melakukan aktivitas sekitar 3 – 5 tahun.
Masyarakat bermata pencaharian perkebunan jagung yang mengandalkan air
hujan, sehingga di bulan-bulan kering (periode Maret-September) sangat sulit
mendapatkan air. Masyarakat Lombok Timur, khususnya bagi mereka yang tinggal di
sekitar Hutan Lindung Sekaroh, mereka hidup dengan mengandalkan lahan yang ada di
lokasi itu. Kondisi ini mempengaruhi jumlah pohon yang hidup di Hutan Lindung
Sekaroh. Deforestasi hutan menjadi permasalahan tersendiri bagi hutan.
Hutan Lindung Sekaroh bagi masyarakat menjadi lahan utama sumber
penghasilan. Luas lahan garapan responden di areal Hutan Lindung Sekaroh bervariasi
antara 1 – 5 ha. Desa Sekaroh masuk dalam kategori miskin dan semua penduduknya
mendapatkan bantuan beras miskin dari pemerintah. Hasil perkebunan masyarakat yang
mengolah lahan antara 1 – 5 ha/tahun sangat rendah produktivitas petani ini disebabkan
oleh faktor bibit yang kurang baik, pengolahan tanah yang kurang, pemeliharaan yang
asal-asalan dan pemasaran yang tergantung kepada pemberi pinjaman modal. Semua
aspek ini secara nyata telah menyebabkan masyarakat petani di Sekaroh terus menerus
dalam lingkaran kemiskinan.
Masyarakat sangat mudah mengakses ke dalam hutan, selain jarak yang sangat
dekat (100 – 200 meter) dari rumah, juga banyak yang mempunyai ketergantungan pada
Hutan Lindung Sekaroh. Hutan lindung Sekaroh bagi sebagian masyarakat juga
dijadikan sebagai akses menuju laut. Lokasi Hutan lindung Sekaroh yang berada di tepi
pantai memiliki arti penting bagi banyak pihak. Dari sisi lingkungan keberadaan Hutan

27
lindung Sekaroh sangat penting untuk menjaga iklim mikro dan kegiatan perkebunan
dari angin laut. Bagi sebagian masyarakat, perkebunan jagung dan tanaman pokok yang
ditanam di hutan lindung Sekaroh berfungsi sebagai sumber penghasilan keluarga.

2. Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Desa Sekaroh Kabupaten Lombok Timur


Hutan lindung adalah hutan yang berfungsi utama melidungi kelestarian
lingkungan hidup yang meliputi sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan pertimbangan kondisi fisik wilayah meliputi kelerengan,
ketinggian, curah hujan, jenis tanah hutan di Kabupaten Lombok Timur direncanakan :
1. Penambahan hutan lindung baru yang berfungsi sebagai hutan resapan air
(perlindungan bawahan). Hutan dengan fungsi perlindungan bawahan ini dapat juga
berfungsi sebagai budidaya khusus tanaman keras/tahunan sehingga tetap produktif
tetapi tidak mengganggu tanaman dan fungsinya sebagai hutan lindung khususnya
menjaga kestabilan tata air. Jenis tanaman disesuaikan dengan potensi wilayah
terutama yang membentuk ciri produk wilayah.
2. Hutan yang memiliki fungsi sebagai hutan lindung terbatas atau hutan yang berada
pada kelerengan 25 - 40 % juga merupakan hutan penyangga yang dapat
dibudidayakan khusus untuk perkebunan tanaman tahunan yang berarti juga
memiliki fungsi sebagai hutan lindung. Hal ini untuk melindungi fungsi
perlindungan bawahan sebagai hutan resapan air, sehingga meskipun dibudidayakan
tetapi tidak mengurangi fungsinya sebagai hutan lindung. Jenis tanaman yang
diarahkan adalah disesuaikan dengan karakter masing-masing wilayah.
3. Untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan mencegah berulangnya kerusakan
lingkungan khususnya tanah longsor dan banjir akibat berkurangnya tutupan tanah
yang memiliki kemampuan meresapkan air maka alih fungsi ini harus dilakukan
secara bertahap.
Berdasarkan kajian penetapan hutan lindung yang dilakukan, maka penambahan
hutan resapan air sekaligus dapat dibudidayakan perkebunan tanaman tahunan/tanaman
keras dapat dilakukan secara bertahap. Pada hutan ini dilarang melakukan perubahan
fungsi lindung mengingat perubahan ini rawan menimbulkan erosi, banjir dan bencana
alam lainnya. Hutan lindung ini vegetasi yang terbaik adalah berupa hutan bukan
perkebunan dan tanaman tahunan yang memiliki kemampuan sebagai hutan lindung.

28
Pengelolaan hutan lindung meliputi semua upaya perlindungan, pengawetan,
konservasi serta pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna
mendukung kehidupan secara serasi yang berkelanjutan. Maka tidak dapat
dialihfungsikan menjadi hutan budidaya, dan hutan lindung meliputi hutan suaka alam,
hutan pelestarian alam, serta hutan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan hasil penelitian kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan
untuk upaya melestarikan hutan lindung di Kabupaten Lombok Timur antara lain :
1. Pengawasan dan pemantauan untuk pelestarian hutan konservasi dan hutan lindung.
2. Penambahan luasan hutan lindung, yang merupakan hasil alih fungsi hutan produksi
menjadi hutan lindung.
3. Pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
4. Pengembangan kerjasama antar wilayah dalam pengelolaan hutan lindung.
5. Percepatan rehabilitasi lahan milik masyarakat yang termasuk kriteria hutan lindung
dengan melakukan penanaman pohon lindung yang dapat digunakan sebagai
perlindungan hutan bawahannya yang dapat diambil hasil hutan nonkayunya.
6. Membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa memiliki terhadap
alam.
7. Pemanfaatan hutan lindung untuk sarana pendidikan penelitian dan pengembangan
kecintaan terhadap alam.
8. Percepatan rehabilitasi hutan/reboisasi hutan lindung dengan tanaman yang sesuai
dengan fungsi lindung.
Pengelolaan hutan lindung Sekaroh Kabupaten Lombok Timur pada awalnya
merupakan upaya dalam melindungi dan melestarikan ruang terbuka hijau di sepanjang
atau sekitar hutan dengan sumber daya air yang dapat bermanfaat bagi kelestarian
lingkungan. Air merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan, maka sumber air, sungai,
danau/embung dan lain-lain harus dilestarikan dengan memberikan batas bagi hutan
budidaya terbangun atau lainnya yang memanfaatkan area sekitar sumber daya air
tersebut. Hutan ini tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Timur, dan secara
umum harus dilakukan perlindungan hutan. Dalam beberapa kondisi atau untuk
kepentingan tertentu maka sebagian hutan lindung ini dapat digunakan untuk hutan
budidaya alam.42

42
Wawancara dengan Kepala ATR/BPN Kabuapten Lombok Timur Provinsi NTB, wawancara
tanggal 20 Maret 2021.

29
Berdasarkan latarbelakang banyaknya areal kawasan hutan lindung di Desa
Sekaroh yang digunakan untuk perkebunan jagung, maka diadakan kebijakan oleh Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB yaitu pelaksanaan orientasi dengan
semua pihak dengan berdiskusi dan memberikan pendapat. Secara umum tujuan orientasi
dengan masyarakat Desa Sekaroh adalah untuk membuka komunikasi, mengetahui
keadaan umum suatu wilayah pedesaan dan mengetahui tokoh kunci di Desa Sekaroh.
Secara terperinci, orientasi Desa Sekaroh ini bertujuan untuk43 :
i. Membangun kepercayaan, keterbukaan, dan suasana akrab agar seluruh elemen
masyarakat dan para pihak terkait di di Hutan Lindung Sekaroh;
ii. Mengide ntifikasi hubungan dan besarnya pengaruh masing- masing pihak di
Desa Sekaroh dan memetakannya untuk persiapan kegiatan selanjutnya;
iii. Mengenali kondisi sumberdaya Hutan Lindung Sekaroh dan sistem pengelolaan
yang tepat ;
iv. Memahami karakteristik sosial budaya masyarakat dan para pihak terkait di Desa
Sekaroh dalam rangka membangun proses-proses bottom up;
v. Memperkecil resiko kegagalan, serta mempermudah pelaksanaan pendampingan,
penanaman dan monitoring kegiatan;
vi. Mengawali proses-proses membangun kerjasama antara masyarakat dengan para
pihak terkait di Desa Sekaroh.
Hasil yang diharapkan dari proses orientasi Desa Sekaroh adalah :
1. Rencana kegiatan bisa disampaikan pada masyarakat dan mendapat umpan balik
dari masyarakat;
2. Pihak-pihak yang berpengaruh bisa teridentifkasi lebih awal;
3. Tim dari Litbang Kehutanan mendapat gambaran umum tentang situasi
pedesaan, hubungan antar pihak di desa, interaksi masyarakat dengan
sumberdaya alam;
4. Masyarakat mulai terbuka dengan rencana kegiatan dan mengenali individu-
individu dari Litbang Kehutanan dan mitra lainnya seperti Dinas Kehutanan
Kabupaten Lombok Timur.

43
Boby Cipta Perdana, Saefuddin Baharsyah, M. Risky Syahputra dan Riski Adi Dian Danu, Analisis
Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan(HKM) Di Kabupaten Lombok Timur Terhadap Pendapatan,
Jurnal Ilmiah Indonesia, ISSN: 2541-0849, Vol. 6, No. 1, Januari 2021

30
Target kegiatan orientasi Desa Sekaroh adalah seluruh elemen masyarakat dan
para pihak terkait di Desa Sekaroh. Setiap para pihak yang terlibat atau berpengaruh perlu
diidentifikasi tanpa mengenal perbedaan agama, partai, ras, adat, pendidikan, tingkat
ekonomi dan lain-lain. Kegiatan diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Figure 01
Perkebunan Jagung di Desa Sekaroh

4.1.2. Realitas dan Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Kabupaten


Sukamara – Kalimantan Tengah

1. Realitas Alih Fungsi Hutan di Kabupaten Sukamara –Kalimantan Tengah


Kabupaten Sukamara, secara geografis terletak pada 2º 19' sampai 3º 07'
Lintang Selatan dan 110º 25' sampai dengan 111º 9'25" Bujur Timur. Kabupaten
Sukamara mempunyai luas wilayah seluas 3.827 km2 atau 382.700 ha (2,49 % dari
luas Kalimantan Tengah sebesar 153.564 km2), yang meliputi 5 wilayah kecamatan,
32 desa. Terdapat 2 buah sungai yang melintas di Kabupaten Sukamara yakni :
Sungai Jelai dan Sungai Mapam, dengan batas-batas wilayah, yaitu:

31
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lamandau dan Kecamatan Bulik
Kabupaten Lamandau ;
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kotawaringin Lama dan
Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat ;
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa ;
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan
Barat.
Kabupaten Sukamara terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan Jelai,
Kecamatan Pantai Lunci, Kecamatan Sukamara, Kecamatan Balai Riam, dan
Kecamatan Permata Kecubung dengan total luas 3.827 km2 atau 382.700 ha (2,49
% dari luas Kalimantan Tengah sebesar 153.564 km2), yang meliputi 5 (lima)
wilayah kecamatan yang terdiri dari 3 (tiga) Kelurahan dan 29 (dua puluh sembilan)
desa.
Kabupaten Sukamara, yaitu meliputi sebelah barat dan utara merupakan
daerah daratan dengan ketingian antara 7-100 meter dari atas permukaan laut,
sedangkan wilayah selatan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa merupakan
daratan rendah yang cukup potensial untuk sektor perikanan dan pertanian terutama
padi sawah.
Secara topografi, wilayah Kabupaten Sukamara memiliki topografi yang
relatif rata dengan ketinggian 0-100 m, dengan kemiringan 0-15 % dan dapat
digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu daratan, daerah datar berombak, daerah
berombak-ombak, dan daerah berbukit-bukit. Tepatnya dengan ketinggian 6,4 m
(dpl) Kabupaten Sukamara dapat dikatakan termasuk daerah kawasan rendah karena
sebagian besar wilayahnya berada di sekitar laut dan sungai.
Pada umumnya iklim di Kabupaten Sukamara termasuk daerah beriklim
tropis, dengan temperatur berkisar antara 27,40C s/d 31,70C dengan kelembaban
udara berkisar antara 83-89 % dan curah hujan sebesar 2.142 mm/tahun. Curah hujan
rata-rata pertahun adalah sebesar 3.133,1 mm dan banyaknya hari hujan tertinggi
terjadi pada bulan Desember.
Kabupaten Sukamara beriklim tropis dan mendapat penyinaran 60 % per
tahun dengan suhu rata-rata 330 C dan pada malam hari suhu rata-rata 230 C ,
sedangkan rata- rata curah hujan per tahun mencapai 2.957,1 Mm.

32
Berdasarkan kondisi eksisting tentang kondisi geografis meliputi
karakteristik topografi dan klimatologi Kabupaten Sukamara, berikut ini akan
diuraikan potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pembangunan ekonomi. Sumberdaya alam di Kabupaten Sukamara yang
diidentifikasikan sebagai kawasan pengembangan memiliki potensi hutan kurang
lebih 185.500 Ha yang tersebar di 5 (lima) kecamatan yaitu Sukamara, Balai Riam,
Jelai, Pantai Lunci, Permata Kecubung. Secara keseluruhan diperuntukkan untuk
cagar alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan transmigrasi.
Pusat Kegiatan Utama Kabupaten berpusat di Kota Sukamara. Kecamatam
Jelai dan Pantai Lunci termasuk kedalam daerah dataran rendah, sedangkan
Kecamatan lainya yang meliputi Kecamatan Sukamara, Balai Riam dan Permata
Kecubung termasuk ke dalam Daerah Dataran berombak dan Perbukitan.
Kabupaten Sukamara berada pada Daerah Aliran Sungai Jelai yang meliputi
lebih dari 40 anak sungai. Terdapat 2 (dua) Daerah Aliran Sungai (DAS) di
Kabupaten Sukamara, yaitu DAS Jelai dan DAS Mapam.
Sektor ekonomi Kabupaten Sukamara yang memiliki keunggulan secara
regional di Kabupaten Sukamara, yaitu sektor Pertanian Perkebunan, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan
Kabupaten Sukamara dialiri oleh sungai sebagai sarana transportasi air
adalah sungai Jelai dan beberapa sungai kecil lainnya yang bermuara di sungai Jelai.
Aliran sungai ini sampai sekarang masih digunakan untuk lalu lintas pengangkut
kayu/barang/hasil pertanian. Pengangkutan penumpang melalui sungai di Kabupaten
Sukamara terutama ke daerah yang belum dilalui oleh jalan darat.
Kabupaten Sukamara dengan panjang garis pantai 75 KM mempunyai lahan
mangrove sekitar 456 hektar. Panjang garis pantai ini terdiri 2 Kecamatan yaitu
Kecamatan Pantai Lunci sekitar 135 hektare dan Kecamatan Jelai sekitar 321
hektare. Sebagian besar ekosistem mangrove tersebut telah mengalami kerusakan.
Kerusakan ekosistem mangrove disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah alih
fungsi hutan mangrove menjadi penggunaan lain.
Perubahan alih fungsi hutan di hulu sungai sangat merugikan bagi
masyarakat yang tinggal di dataran lebih rendah. Dahulu saat hujan, tanah dapat
meresap air hujan dengan baik karena banyak pepohonan, tetapi sekarang air
langsung mengalir ke bawah karena lahan resapan sudah berkurang.

33
Hutan-hutan di Kabupaten Sukamara masih berstatus sebagai kawasan hutan
produksi (HP) membuat program pengembangan di lokasi transmigrasi menjadi
terkendala. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kebijakan dari pemerintah daerah
untuk mencegah kerusakan lingkungan pada hutan-hutan di Kabupaten Sukamara.

2. Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Kabupaten Sukamara Kalimantan Tengah


Kabupaten Sukamara memiliki kawasan hutan produksi tetap dan hutan
produksi terbatas yang cukup luas sekitar ± 48,59 % atau sekitar 159.414,70 ha
serta menyimpan potensi ekonomi dan fungsi ekologi yang sangat tinggi. Apabila
pemanfaatannya dilakukan secara tidak bertanggung jawab dan tanpa
memperhatikan kondisi lokal, maka cepat atau lambat degradasi dan deforestasi pasti
akan terjadi.44
Alih fungsi kawasan hutan terjadi karena beberapa faktor diantaranya kondisi
pasar, tekanan penduduk, sarana dan prasarana serta karena kebijakan pemerintah itu
sendiri. Alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Sukamara juga dilakukan oleh
pemerintah setempat karena beberapa faktor diantaranya adanya retribusi yang
meningkat serta menciptakan lapangan pekerjaan terhadap masyarakat.
Kepala Desa hingga Ketua RT dan RW untuk mengawasi dan melarang
masyarakat yang berencana membangun tempat tinggal di tebing, karena sangat
berbahaya. Apalagi ketika musim hujan tiba sangat berpotensi besar terjadinya
bencana hidrometeorologi.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sukamara, bahwa
status kawasan transmigrasi masuk dalam HP setelah ada perubahan peraturan dari
pusat. Padahal sebelumnya adalah area peruntukan lain (APL). Kondisi itu membuat
pengembangan sarana dan prasarana menjadi stagnan. Penyerahan kewenangan dari
pemerintah daerah kepada pemerintahpusat, akan tetapi program pusat tidak bisa
masuk karena status kawasan Hutan Produksi. Pemerintah daerah tidak bisa
menambah sarana dan prasarana, tetapi hanya menjaga dan peningkatan yang sudah
ada. Oleh karena itu diharapkan kawasan areal transmigrasi bisa kembali menjadi
APL, sehingga tanah yang dibagikan kepada transmigran bisa disertifikatkan dan
bisa dikembangkan lagi.45

44
Wawancara dengan Sekretaris Dinas Kehutanan Kabupaten Sukamara, 8 Juni 2021.
45
Wawancara dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sukamara, 10 Juni 2021.

34
Dalam rangka menjaga hutan tetap lestari dan berkelanjutan maka oleh
Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dibentuk suatu kebijakan, bahwa
kawasan pelestarian sumberdaya hutan. Salah satu contoh kawasan pelestarian alam
yang cocok dikembangkan di Kabupaten Sukamara yaitu Taman Hutan Raya
(Tahura). Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam
untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa alami atau bukan alami, jenis asli dan
atau bukan jenis asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Pengelolaan hutan ini dapat berperan besar di dalam menjaga agar hutan tetap
lestari dan berkelanjutan. Hal ini juga sejalan dengan rencana pemerintah pusat dan
provinsi agar dapat sesegera mungkin Kabupaten Sukamara menunjuk kawasan
untuk dijadikan kawasan konservasi, atau yang dikenal dengan Taman Hutan Raya
(Tahura) di tingkat kabupaten.
Kabupaten Sukamara memiliki luasan hutan kota sebesar 42 hektare. Dengan
adanya hutan kota tersebut, mampu meningkatkan kualitas lingkungan hidup
perkotaan yang ada di daerah itu. Berdasarkan SK Bupati Nomor 133 tahun 2008
tentang penetapan kawasan wisata alam seluas 42 hektare di Kecamatan Sukamara
yang berlokasi di Desa Natai Sedawak, Kelurahan Mendawai dan Kelurahan Padang
Kabupaten Sukamara sebagai hutan kota.Desa Natai Sedawak memiliki seluas 30
Hektare, Kelurahan Mendawai dengan luasan 5 hektare dan Kelurahan Padang 7
hektare.
Dengan adanya masing-masing luasan hutan kota mampu memberikan
pertumbuhan bagi masyarakat Sukamara. Di hutan kota yang ada sudah dilakukan
penghijauan dimana pada tahun 2009 sudah dilakukan penanaman pohon sebanyak
2.400 pohon dan pada tahun 2010 ditanami pohon sebanyak 10.000 pohon.
Mayoritas tanaman pada lokasi hutan kota adalah belangiran dan pulai ini
dikarenakan lokasi hutan kota memiliki struktur lahan basah dan sebagian lagi
berstruktur daerah pasir sehingga ditanami pohon ketapang dan penaga. Dua
kawasan yang dijadikan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura yaitu yang
berada di Desa Semantaun kecamatan Permata Kecubung, dan desa Pulau Nibung
Kecamatan Jelai dengan luasan 15.000 Ha. Tapi untuk di Desa Pulau nibung ada
usulan yaitu Sungai Bakung.

35
Pengelolaan Taman Hutan Raya sebagai salah satu kawasan pelestarian alam
merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 untuk
menjamin terwujudnya tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 telah mengamanatkan
adanya pengelolaan hutan di tingkat kabupaten.
Kawasan Taman Hutan Raya ini tidak ada kendala dengan Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan hidup, sebab kawasan Tahura ini berarti dinaikkan
tingkatannya (grade) dari Hutan Produksi menjadi kawasan Taman Raya, dan dengan
ditetapkan kawasan tersebut tentu kita akan lakukan pengkayaan hutan, dimana kita
akan mendirikan tempat pembibitan dalam kawasan tersebut.
Agar pengelolaan hutan di Kabupaten Sukamara dapat berjalan dengan baik
dan dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat, Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Tengah bersama dengan UPT KPHP Sukamara-Lamandau Unit
XXV, menggelar konsultasi publik tata hutan dan perencanaan pengelolaan hutan di
wilayah setempat dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Kegiatan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) ditujukan untuk pertumbuhan
ekonomi melalui kapitalisasi ekonomi sumber daya hutan dan jasa lingkungan.
Kabupaten Sukamara memiliki potensi yang belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Sehingga pelaksanaan penyusunan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
pada KPHP harus berazaskan keterbukaan dan pelibatan para pihak.46
Wakil Bupati Sukamara, Kalimantan Tengah Ahmadi mengatakan, forum
konsultasi publik merupakan sarana strategis antar pelaku pembangunan untuk
mengomunikasikan dan mengoordinasikan penyusunan rencanakerja pembangunan
daerah.
Tujuannya untuk menyempurnakan rancangan awal RKPD Sukamara 2022,
maka diharapkan nantinya mampu dirumuskan serta terjawab mengenai isu-isu
strategis dengan tetap berpedoman kepada RPJMD Sukamara 2018-2023. Ini yang
menjadi acuan kerja kita untuk mewujudkan visi pembangunan Sukamara,
yaitu terciptanya masyarakat yang sejahtera, maju dan bermartabat.

46
Wawancara dengan Wakil Bupati Sukamara, 10 Juni 2021

36
Sinkronisasi, sinergi dan harmonisasi antar sektor dalam proses
pembangunan sangat diperlukan, dalam rangka peningkatan pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat.Hal ini harus dimulai dari dokumen perencanaan
pembangunan daerah yang terdiri dari RPJP untuk jangka panjang 25 tahun,RPJM
untuk jangka menengah lima tahun dan RKPD sebagai landasan
perencanaan tahunan daerah.
Oleh karena itu, sebagaimana arah dan kebijakan pembangunan yang telah
dituangkan dalam RPJMD Sukamara 2018-2023, maka RKPD 2022
mengusung tema pemantapan keunggulan kompetitif produk lokal Sukamara di
tingkat regional maupun nasional.47
Hal ini dilakukan dalam upaya mendukung pencapaian misi keempat yaitu
mendorong kemandirian ekonomi berbasis sumber daya alam lokal yaitu pertanian,
perikanan, industri dan pariwisata, dengan memerhatikan kualitas lingkungan hidup.
Pembangunan kehutanan mengarah pada tahap peningkatan kualitas dan kompetensi
sumber daya manusia di berbagai bidang, serta peningkatan layanan sosial dasar
masyarakat secara berkelanjutan.
Pemerintah pusat dalam rangka program foodestate mengembangkan
peternakan sapi pada hutan-hutan produksi di Kabupaten Sukamara .Konsep
pengembangan pangan terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan bahkan
peternakan di suatu kawasan mendukung program food estate Kalimantan
Tengah.Program food estate di Provinsi Kalimantan Tengah, menjadi salah satu
Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang telah dicanangkan oleh Presiden.
Food estate merupakan program strategis nasional (PSN) untuk mendukung
ketahanan pangan nasional sehingga negara Indonesia tidak bergantung pada negara
lain untuk memenuhi kebutuhan pangan. Apalagi saat ini kondisi pandemi covid 19
sangat diperlukan kebutuhan pokok untuk kehidupan masyarakat. Food estate yang
dikenal sebagai lumbung pangan diharapkan dapat mengatasi kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan pokok bangsa Indonesia.
Pembangunan food estate mendorong pemulihan dan pengembangan
ekonomi yang berfokus kepada masyarakat, serta meningkatkan dan
mengembangkan sumber daya manusia. Oleh karena itu untuk mendukung food

47
Ibid

37
estate diperlukan lahan dari kawasan hutan yang luas sesuai dengan kebutuhan dan
program pemerintah.
Dalam rangka memperlancar terselenggaranya program food estate di
kawasan hutan, dikeluarkanlah kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) yakni Peraturan Menteri LHK Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan
untuk Pembangunan Food Estate (Permen LHK 24/2020). Pada kebijakan ini,
KLHK menjamin bahwa pembangunan food estate mempertimbangkan aspek
berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pada Permen LHK 24/2020 terdapat dua cara yang dapat ditempuh untuk
pembangunan food estate, yaitu (1) melalui perubahan peruntukan kawasan hutan,
atau (2) melalui penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
Permohonan untuk kedua cara tersebut diajukan kepada Menteri LHK dengan
tembusan ke Sekretaris Jenderal (Sekjen) LHK dan Direktorat Jenderal (Dirjen)
LHK.
Pengelolaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate menggunakan
mekanisme perubahan peruntukan Kawasan Hutan Ketahanan Pangan (KHKP)
dilaksanakan berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Permen LHK 24/2020, yang hanya dapat
diajukan oleh Pemerintah. Dalam hal ini Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur,
Bupati/Wali Kota atau Kepala Badan Otorita yang ditugaskan khusus oleh
Pemerintah.
Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan food
estate dilakukan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dapat
dikonversi (HPK), sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Permen LHK 24/2020
tersebut. Konversi harus dikaji Tim Terpadu Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) sebagai syarat untuk menggunakan kawasan hutan untuk pembangunan
food estate.
Kabupaten Sukamara merupakan salah satu wilayah yang dibangun food
estate di Indonesia, hal mana lahan yang digunakan untuk food estate adalah
kawasan hutan lindung. Alih fungsi hutan lindung menjadi pembangunan food estate
disana dilaksanakan mulai tahun 2020. Kawasan hutan lindung yang digunakan
untuk food estate adalah kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya
berfungsi lindung, yaitu kawasan terdegradasi atau sudah tidak ada tegalan hutan.

38
Pembangunan food estate di Kabupaten Sukamara merupakan pengembangan
produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi dan terdiri atas pertanian,
perkebunan dan peternakan.
Peternakan sapi Sukamara Ranch, Kecamatan Pantai Lunci, Kabupaten
Sukamara, Kalimantan Tengah memiliki potensi yang bagus dan luar biasa untuk
skala lokal dan nasional. Pengembangan kedepannya dalam mendukung ketahanan
pangan untuk mendukung program food estate. Potensi pengembangan peternakan
di Kabupaten Sukamara sangat prospektif dan dioptimalkan dengan lebih baik lagi.
Program pemerintah pusat yang mempercayakan food estate dan peternakan di
Kabupaten Sukamara.
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukamara Terhadap Alih Fungsi
Hutan diantaranya: Pertama kewenangan pemerintah daerah Kabupaten Sukamara
yang memberikan beberapa instruksi terkait dengan perubahan fungsi kawasan
hutan, namun dari beberapa kewenangan tersebut dalam alih fungsi hutan tidak
sesuai dengan peruntukan fungsi dan kriteria-kriteria dalam pengalihfungsian hutan
sesuai dengan Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.34 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap kondisi
hutan di Sukamara.

Figure 02
Peternakan sapi untuk food estate di Kabupaten Sukamara

39
4.1.3. Realitas dan Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Kabupaten Bangkalan
1.Realitas Alih Fungsi Hutan Mangrove di Kabupaten Bangkalan Madura
Secara geografis, Kabupaten Bangkalan terletak pada 1120 40’06” - 1130 08’04”
Bujur Timur serta 60 51’39” - 70 11’39” Lintang Selatan dan batas wilayah Kabupaten
Bangkalan adalah sebagai berikut :
1) Sebelah Utara : Laut Jawa;
2) Sebelah Timur : Kabupaten Sampang;
3) Sebelah Selatan : Selat Madura;
4) Sebelah Barat : Selat Madura.
Luas wilayah Kabupaten Bangkalan 1.260,14 km2 terbagi dalam 18 Kecamatan
terdiri dari 8 Kelurahan dan 273 Desa. Adapun 18 kecamatan yang ada di wilayah
Kabupaten Bangkalan tersebut meliputi Kecamatan Kamal, Kecamatan Labang, Kecamatan
Kwanyar, Kecamatan Modung, Kecamatan Blega, Kecamatan Konang, Kecamatan Galis,
Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Tragah, Keacatan Socah, Kecamatan Bangkalan,
Kecamatan Burneh, Kecamatan Arosbaya, Kecamatan Geger, Kecamatan Kokop,
Kecamatan Tanjung Bumi, Kecamatan Sepulu, dan Kecamatan Klampis.
Dari sisi kemiringan tanah wilayah Kabupaten Bangkalan bervariasi antara datar,
bergelombang, curam dan sangat curam dimana klasifikasi kemiringan tanah tersebut adalah
sebagai berikut ini48:
1) Kemiringan 0-2 % meliputi luas 56.738 Ha atau 45,43 % dari luas wilayah
keseluruhan, kecuali daerah genangan air pada wilayah ini sangat baik untuk pertanian
tanaman semusim.
2) Kemiringan2-15 % meliputi luas 63.002 Ha atau 50.45 % dari luas wilayah
keseluruhan, baik sekali untuk usaha pertanian dengan tetap mempertahankan usaha
pengawetan tanah dan air. Selain itu pada kemiringan ini cocok juga untuk konstruksi/
permukiman.
3) Kemiringan 15-40 % meliputi luas 4.427 Ha atau 3,54 % dari luas wilayah
keseluruhan. Daerah tersebut baik untuk pertanian tanaman keras/tahunan, karena

48
Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bangkalan, 7 Maret 2021.

40
daerah tersebut mudah terkena erosi dan kapasitas penahan air yang rendah.
Karenanya lahan ini pun tidak cocok untuk konstruksi.
4) Kemirngan > 40 % meliputi luas 721 Ha atau 0,53 % dari luas wilayah keseluruhan.
Daerah ini termasuk kedalam kategori kemiringan yang sangat terjal (curam) dengan
lahan pada kemiringan ini termasuk lahan konservasi karena sangat peka terhadap
erosi, biasanya berbatu diatas permukaannya, memiliki run off yang tinggi serta
kapasitas penahan air yang rendah. Karenanya lahan ini tidak cocok untuk konstruksi.
Daerah ini harus merupakan daerah yang dihutankan agar dapat berfungsi sebagai
perlindungan hidrologis serta menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
Hutan mangrove di Kabupaten Bangkalan merupakan salah satu ekosistem wilayah
pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Beberapa daerah wilayah pesisir di Kabupaten
Bangkalan sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove. Degradasi ini meliputi
adanya kegiatan pengalihan fungsi dari ekosistem mangrove menjadi lahan tambak untuk
peruntukan budidaya perikanan pada sejak tahun 1990an. Namun kegiatan budidaya ini
hanya bertahan selama beberapa tahun. Setelah kegiatan budidaya tersebut sudah tidak
berjalan lagi, lokasi tambak ini menjadi terlantar dan tidak produktif lagi untuk dilakukan
kegiatan budidaya.
Degradasi ekosistem mangrove tersebut perlu dikaji mengingat peranan dan
manfaat ekosistem mangrove di Kabupaten Bangkalan yang begitu kuat terhadap aspek
fisik, ekologi dan ekonomi, seperti pemanfaatan mangrove pada sektor perikanan tangkap,
budidaya laut, wisata dan pemukiman sehingga upaya rehabilitasi yang berkelanjutan dan
terpadu memang perlu dilakukan. Namun, tidak semua upaya tersebut dapat dilakukan
secara langsung, mengingat kondisi lahannya yang sudah di ubah menjadi tambak budidaya.
Hal ini dikarenakan adanya tekanan akibat pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek
kelestarian.
Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan
mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk
pengembangan kota pantai (pemukiman), perluasan tambak dan lahan pertanian serta
adanya penebangan yang tidak terkendali merupakan faktor penyebab berkurangnya luas
hutan mangrove. Telah terbukti bahwa penggunaan lahan tidak sesuai dengan
peruntukannya dan melampaui daya dukungnya, sehingga terjadi kerusakan ekosistem hutan
mangrove. Akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya.

41
Kondisi ini diperberat lagi dengan terjadinya pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi
sumberdaya laut yang tak ramah lingkungan.
Mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di daerah antara level pasang naik
tertinggi (maximum spring tide) sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata
(mean sea level). Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung
daerah tropis dan subtropis.
Luas lahan mangrove di Kabupaten Bangkalan 1.508,1 hektar dan seharusnya
mampu menyerap oksigen, dan karbon lebih banyak daripada tumbuhan lain di sekitarnya.
Pada kenyataannya di pantai Bangkalan banyak alami abrasi dan mangrove mengalami
degradasi karena banyak alih fungsi lahan mangrove terutama untuk tambak udang, tambak
garam, dan reklamasi pantai.
Pertambahan penduduk telah memicu penebangan mangrove untuk perumahan dan
usaha pertambakan di Kabupaten bangkalan. Pencemaran sampah plastik mengancam
kelangsungan hidup mangrove dan banyak dialih fungsikan menjadi tambak udang.
Kerusakan hutan mangrove menurunkan fungsi dalam menyimpan karbon, mencegah abrasi
di pesisir, dan menangkap sedimen kaya karbon organik yang datang bersama dengan
kenaikan permukaan laut.Tanpa hutan mangrove, warga pesisir semakin rentan terkena
dampak kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim. Kenaikan muka air laut akibat
perubahan iklim membuat mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
dapat kehilangan tempat tinggal.
Melihat kondisi hutan mangrove sebagaimana di atas, maka potensi untuk
memperbaiki kondisi hutan di Kabupaten Bangkalan sangat besar, antara lain melalui
kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove yang merupakan program pesisir yang
perlu mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Di samping itu bertambahnya jumlah
penduduk dan dinamika masyarakat global maka tekanan dan gangguan terhadap ekosistem
hutan meningkat. Oleh sebab itu perlu adanya pendekatan dan penanganan yang serius serta
dukungan semua pihak dan stakeholders sangat diharapkan, guna mengembalikan fungsi
dan kaidah-kaidah hutan yang telah menurun drastis bagi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.
Hutan mangrove di wilayah Kabupaten Bangkalan merupakan ekosistem utama
pendukung kehidupan di sekitar pesisir dan kelautan. Usaha pertambakan seharusnya tidak
perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrove, sehingga perlu mengikuti
penataanyang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan

42
lautan dengan menata semua pantai dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk
perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai.
Pengaruh terhadap alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak udang terhadap
kehidupan sosial ekonomi, karena dapat menghasilkan nilai tambah bagi sebagian penduduk
asli masyarakat yang bekerja ditambak tersebut. Proses pengalihfungsian lahan hutan
mangrove menjadi tambak bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat
setempat. Namun disisi lain kelestarian mangrove dapat terancam akibat kerusakan
lingkungan dan kerugian terhadap kondisi sosial ekonomi penduduk apabila terus menerus
terjadi alihfungsi lahan mangrove menjadi tambak udang.
Faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan hutan dari ekosistem mangrove
menjadi tambak yang secara berlebihan disebabkan oleh masih lemahnya pengawasan,
masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove,
faktor sosial ekonomi penduduk dan masyarakat yang mempertimbangkan ekonomi lebih
dominan dari pada pertimbangan lingkungan hidup.
Peralihan lahan hutan dari ekosistem mangrove menjadi tambak di Kabupaten
Bangkalan berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat khususnya petani tambak
yang bermukim di daerah pesisir. Peralihan tersebut membawa dampak terhadap
penghasilan petani yang mengalami peningkatan dari sebelum dialihkannya hutan
mangrove. Selain itu meningkatkan produktivitas perikanan, kepiting, dan silvofishery.
Manfaat lain yaitu ekowisata dan produk turunan seperti keripik dan lain-lain.Akan tetapi
hal ini pun berdampak buruk terutama terhadap keseimbangan alam/ lingkungan hidup.
Alih fungsi lahan mengrove di karenakan banyak masyarakat yang berada di sekitar
kawasan pesisir mengalih fungsikan mangrove menjadi tambak. Apabila tambak-tambak
tersebut sudah tidak produktif lagi maka akan terjadi alih fungsi dari lahan tambak yang
direklamasi menjadi bangunan pemukiman, pertokoan dan bangunan lainnya. Masyarakat
petambak membuka hutan mangrove yang ada untuk dijadikan tambak, terlepas apakah hal
tersebut dilakukan dengan keinginan sendiri ataukah mendapat dukungan dari pihak lain.49
Alih fungsi lahan mangrove di Kabupaten Bangkalan menjadi tambak
mengakibatkan penurunan kualitas ekologi karena hilangnya fungsi penahan material
endapan pantai, karena produktivitas lahan tambak masih rendah sehingga mengakibatkan
lahan tambak beralih fungsi menjadi bangunan pemukiman, dan pertokoan.

49
Wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bangkalan, 10 Maret 2021.

43
Ekosistem pesisir terdiri dari terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.
Keterlibatan warga setempat penting dalam mencegah dan mengatasi kerusakan hutan
mangrove di wilayah pesisir dengan kearifan lokalnya yang sudah ada. Upaya perlindungan
pesisir bisa dilakukan dengan membangun kearifan lokal dari masyarakat sekitar. Kebijakan
restorasi mangrove masuk dalam program desa, jadi warga bisa terlibat langsung melindungi
ekosistem mangrove.
Peranan Kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional yang
mengeluarkan sertifikat kepemilikan lahan atas tempat tersebut merupakan hal yang
mempercepat terjadinya penyimpangan pengurangan lahan secara sistematis sehingga
terjadilah alih fungsi lahan mangrove menjadi pemukiman.

Kebijakan Rehabilitasi Pohon Mangrove di Kabupaten Bangkalan Madura


Kebijakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Bangkalan yang telah
dilakukan untuk mengubah alih fungsi tambak menjadi ekosistem mangrove dengan cara
melakukan penanaman bibit mangrove pada lokasi yang ingin direhabilitasi. Metode
rehabilitasi dengan pola penanaman menggunakan bibit jenis Rhizophora dengan alasan
bibit ini mudah didapatkan dan kuat menahan laju dari pasang surut air laut.
Faktor penting dari proyek rehabilitasi mangrove adalah dengan cara mengukur
elevasi lokasi daerah rehabilitasi untuk menentukan hidrologi normal (kedalaman, durasi
dan frekwensi genangan air) dari tanaman mangrove alami (lokasi pembanding) di areal
yang akan direhabilitasi.
Kebijakan pemerintah terkait ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat
kekhususan dipandang dari kepentingan sumber daya alam, yakni letak hutan mangrove
terbatas pada tempat tertentu, peranan ekologis ekosistem hutan mangrove bersifat khas
berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya. Hutan mangrove memiliki potensi hasil
yang bernilai ekonomis tinggi, serta hutan mangrove sebagai sumber daya alam yang dapat
dipulihkan pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, sejauh mungkin dapat
mencegah pencemaran lingkungan hidup dan menjamin kelestariannya untuk keperluan
masa kini dan akan datang.
Pengelolaan hutan mangrove secara lestari yang dilakukan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Bangkalan dalam bahan kajiannya bahwa salah satu ekosistem pesisir, hutan
mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi
ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove sebagai pelindung garis pantai,

44
mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan, tempat asuhan
dan pembesaran, tempat pemijahan bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim
mikro. Sedangkan fungsi ekonominya yakni sebagai penghasil keperluan rumah tangga,
penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian masyarakat dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi
tambak, pemukiman, industri dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk
berbagai keperluan.
Dinas pertanian dan kehutanan, serta dinas kelautan dan perikanan, merupakan
lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi
yang terkait dengan pengelolaan mangrove sangat penting dalam menyelamatkan mangrove
dari kerusakan ekosistemnya.
Upaya perlindungan pesisir bisa dilakukan menanam pohon mangrove dengan
membangun kearifan lokal agar restorasi mangrove bisa masuk dalam program desa, jadi
warga bisa terlibat langsung melindungi ekosistem mangrove.
Menanam pohon adalah suatu kegiatan menumbuhkan bibit pohon sampai menjadi
pohon berkayu yang dapat dimanfaatkan. Setelah proses penanaman bibit pohon pada lahan,
dilakukannya pemantauan dan merawat bibit pohon hingga tumbuh dengan optimal50.
Pentingnya menanam pohon bagi makhluk hidup adalah untuk berlangsungnya hidup yang
banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari51.
Salah satu cara untuk memulihkan hutan mangrove yang rusak yakni dengan cara
menanam pohon yang optimal dengan kesuburan tanah sehingga akar, daun, dan batang
kayu dalam satu pohon dapat dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dan makanan
makhluk hidup. Pertumbuhan pohon yang optimal akan diperoleh bibit pohon yang bermutu
tinggi. Dengan kegiatan menanam pohon mangrove, akan mengembalikan kehidupan
mangrove yang baru di sekitar wilayah pesisir.
Pentingnya menanam pohon mangrove adalah sebagai salah satu penyumbang
udara yang menyegarkan di bumi, karena pohon dapat menyerap gas karbon dioksida (CO )

50
Subagyo, & Ahmad, T. A, Evaluasi Implementasi Program Penanaman di Kecamatan Gunungpati, Fakultas
Ilmu Sosial, Semarang, 2014, hlm. 64.
51
Endang, S., Oktaviyani, Indriyanto, & Surnayanti, Identifkasi JenisTanaman Hutan Rakyat dan
pemeliharaannya di Hutan Rakyat Desa Kelungu Kecamatan Kotaagung Kabupaten Tanggamus , 2017,
hlm. 158.

45
dan mengeluarkan gas oksigen (O ). Penanaman pohon di lingkungan pesisir laut yang dapat
dilakukan adalah kegiatan menanam bibit pohon mangrove.
Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yaitu mendorong kawasan hutan bakau
(mangrove) Labuhan di Bangkalan, Madura, menjadi Kampung Iklim atau wilayah
percontohan untuk menangkal dampak pemanasan global. Selain pengembangan aspek
ekonomi masyarakat, mangrove Labuhan diharapkan bisa berkontribusi bagi penurunan
emisi gas rumah kaca. Keberadaan Kampung Iklim bertujuan untuk menjaga ekosistem
pesisir pantai dari abrasi dan erosi.
Hutan mangrove atau hutan bakau mampu mereduksi emisi gas rumah kaca, lima
persen lebih besar dibandingkan hutan tropis.Selain itu, salah satu parameter Kampung
Iklim adalah pengelolaan sampah menjadi biogas. Hal lain yang diupayakan adalah
membentuk embung (waduk) guna meningkatkan cadangan air. Dari sisi kapasitas sumber
daya manusia (SDM), didorong untuk menjaga lingkungan dan kebersihan. Konsep
pengembangan mangrove yang akan dipakai harus disesuaikan dengan karakteristik lahan
dan lingkungan sekitarnya mengingat tanaman mangrove ada ratusan jenisnya.52
PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) yang mendukung
kawasan konservasi mangrove di Labuhan, ikut mendorong terwujudnya Kampung Iklim,
antara lain melalui pemberdayan masyarakat dan membangunTaman Pendidikan Mangrove
(TPM). Diharapkan program mangrove akan bermanfaat tidak hanya bagi warga sekitar tapi
masyarakat umum. Mangrove juga tidak hanya mencegah abrasi, tapi juga bernilai ekonomi
dan pariwisata.53
Upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove
ditempuh dengan adanya kebijakan mengenai pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan
tersebut. Dalam upaya melestarikan hutan mangrove pemerintah kabupaten telah melakukan
suatu kebijakan pembinaan dan intruksi terhadap masyarakat. Hal ini diarahkan kepada
ekosistem hutan mangrove dimana kehidupan masyarakat desa di sekitar hutan, tidak dapat
dipisahkan dengan ekosistemnya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan kekerabatan
antara warga dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya.
Hubungan tersebut pada akhirnya akan memberikan ciri khas bagi kehidupan
masyarakat desa tersebut. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian
ekosistem hutan mangrove merupakan hal sangat tepat dalam mengimplementasikan

52
Wawancara dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jatim, Diah Susilowati. 8 Juni 2021.
53
Wawancara tertulis dengan General Manager PT PHE WMO, Kuncoro Kukuh

46
kebijakan pemerintah terutama melihat ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat
kekhususan dipandang dari kepentingan sumberdaya alam, yakni letak hutan mangrove
terbatas pada tempat tertentu.
Pengelolaan hutan mangrove secara lestari berkearifan lokal yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan dalam kajiannya bahwa ekosistem hutan
mangrove merupakan ekosistem yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove yaitu pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat
(tempat tinggal), tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan
bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonomi
yaitu penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.

Figure 03
Hutan Mangrove yg mengalami kerusakan
Di Kabupaten Bangkalan

47
4.2. Model Alih Fungsi Hutan Yang Berkearifan Lokal Di Indonesia
Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelestarian kawasan hutan
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana untuk mengukur apakah suatu kebijakan
berhasil atau tidak. Keberhasilan kebijakan itu tercapai apabila tidak ada pelanggaran sedang
dikatakan tidak berhasil kalau tujuan kebijakan tidak tercapai. Kegagalan kebijakan
seringkali dikarenakan kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam
berbagai jenjang/tingkat, baik - propinsi maupun tingkat kabupaten. Setiap jenjang
pelaksanaan pun masih membutuhkan pembentukan kebijakan lebih lanjut dalam berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut. Oleh
karena itu, untuk dapat merespon suatu kebijakan secara lebih efektif, perlu adanya tahapan-
tahapan yang harus dilalui, baik mengenai tahapan perencanaan maupun pelaksanaannya.
Selain itu, dalam rangka mewujudkan rencana dari suatu program, maka peranan sumber
daya merupakan unsur utama yang sangat menentukan.54 Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan dalam upaya pelestarian hutan mangrove yaitu
pertama, komunikasi, bagaimana menginformasikan semudah mungkin dapat dipahami
oleh masyarakat sasaran maksud dan tujuan dari kebijakan yangdiambil. Kedua, struktur
birokrasi yaitu didukung institusi pelaksana yang tidak berbelit-belit dan sederhana. Ketiga,
sumber daya yaitu tersedianya sumber-sumber dana, daya dan fasilitas berupa sarana dan
prasarana yang cukup, dan keempat, faktor disposisi sebagai sikap para pelaksana untuk
mengimplementasikan kebijakan yang mempunyai peranan penting dalam implementasi
kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-
aturan suatu kebijakan, perlu didukung oleh suatu sikap dan petunjuk yang bertanggung
jawab.
Upaya percepatan implementasi sudah dilakukan pemerintah diantaranya melalui
pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). BRGM bersama dengan
KLHK, KKP, juga pemegang izin tambang berkewajiban untuk melakukan rehabilitasi
mangrove, serta CSR dunia usaha.
Upaya lainnya yaitu melalui riset dan kajian terapan, serta pembangunan
persemaian modern dan World Mangrove Center. Selanjutnya, perlu dilakukan review

54
Esmi Warassih, Ibid, hlm. 136.

48
semua kebijakan terkait mangrove atau dapat mengaitkan mangrove seperti kebijakan
pemukiman dan kebijakan industri termasuk dana desa.
Sistem kelembagaan dan perangkat hukum yaitu Dinas Kehutanan, Dinas
Lingkungan Hidup serta Dinas Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat
berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum
adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Kebijakan
terkait dalam pengelolaan mangrove, yang diperlukan adalah penegakan hukum atas
pelanggaran terhadap aturan.
Menurut Soerjono Soekanto terdapat 5 (lima) faktor efektifitas hukum, yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu dalam teori ini dibatasi dengan undang-
undang saja;
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni mengenai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Lawrance M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya


penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of
law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal cultere). Struktur
hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat
perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang
dianut dalam suatu masyarakat55.
Kebijakan merupakan sarana bagi pemerintah untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan perundang-undangan dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan dalam
bentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang dibuat oleh pemerintah

55
Lawrance M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Nusamedia, Jakarta, 1984, hlm. 2. Kaji

49
daerah. Kebijakan pada umumnya untuk melaksanakan ketentuan ketentuan hukum dalam
melaksanakan kepentingan publik. Dasar-dasar ketentuan tersebut ditetapkan suatu
kebijakan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tata Ruang diatur dalam Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2011 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah. Penataan ruang
mempunyai tujuan yang hendak dicapai, yaitu:
1) Terselenggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup serta kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah.
2) Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan
budidaya di kawasan perkotaan, kawasan pedesaan.
3) Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan di Kabupaten Lombok Timur bahwa
banyaknya areal kawasan hutan lindung di Desa Sekaroh yang digunakan untuk perkebunan
jagung, maka diadakan kebijakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi
NTB yaitu pelaksanaan orientasi dengan semua pihak dengan berdiskusi dan
memberikan pendapat. Target kegiatan orientasi Desa Sekaroh adalah seluruh elemen
masyarakat dan para pihak terkait di Desa Sekaroh. diharapkan dapat bermanfaat bagi
semua pihak sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hasil penelitian di Kabupaten
Sukamara bahwa dalam rangka menjaga hutan tetap lestari dan berkelanjutan maka oleh
Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dibentuk suatu kebijakan, bahwa kawasan
pelestarian sumberdaya hutan. Salah satu contoh kawasan pelestarian alam yang cocok

50
dikembangkan di Kabupaten Sukamara yaitu Taman Hutan Raya (Tahura) untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan satwa alami yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Pemerintah pusat dalam rangka program foodestate mengembangkan peternakan sapi pada
hutan-hutan produksi di Kabupaten Sukamara.Sedangkan hasil penelitian di Kabupaten
Bangkalan, pertambahan penduduk telah memicu penebangan mangrove untuk perumahan
dan banyak dialih fungsikan menjadi tambak udang. Kebijakan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan di Kabupaten Bangkalan yang telah dilakukan untuk mengubah alih fungsi
tambak menjadi ekosistem mangrove dengan cara melakukan penanaman bibit mangrove
pada lokasi yang ingin direhabilitasi. Metode rehabilitasi dengan pola penanaman
menggunakan bibit jenis Rhizophora dengan alasan bibit ini mudah didapatkan dan
kuat menahan laju dari pasang surut air laut.

5.2. Saran
Keterlibatan masyarakat lokal mutlak diperlukan dalam setiap pengambilan
kebijakan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam, tidak
saja sebagai penentu arah tujuan suatu kegiatan, tetapi juga sebagai sarana pengawas
kegiatan. Peran serta masyarakat sangat penting untuk menjaga keseimbangan hak
negara yang dimandatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

51
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sodiki dan Yanis Maladi, Politik Hukum Agraria, Yogyakarta: Mahkota Kata,
2009.

Arba, Hukum Tata Ruang dan Tata Guna Tanah, Prinsip-Prinsip Hukum Perencanaan
Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Cetakan II, Mataram: Pustaka Bangsa,
2015.

AS, Zain, Hukum lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta. Jakarta, 1996.

Ayudanti, Analisis Efektivitas Hutan Kemasyarakatan dalam Meningkatkan Pendapatan


dan Tingkat Konsumsi Masyarakat Menurut Perspektif Ekonomi Islam, Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung, Skripsi, 2017.

Badan Planologi Kehutanan, Kajian penataan Ruang dalam Rangka Pemantapan Kawasan
Hutan, 2005.

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, 1994

52
Chambliss, William J. and Seidman, Robert B., Law, Power and Order. Philipine: Addison-
Wesley., 1971.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia, 2004.

Dian Danu, Analisis Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan(HKM) Di Kabupaten Lombok


Timur Terhadap Pendapatan, Jurnal Ilmiah Indonesia, ISSN: 2541-0849, Vol. 6, No.
1, Januari 2021

Dwiyanto Indiahono, Kebijakan Publik, Gava Media, Yogyakarta, 2009.

Eko Nurmijayanto, Analisis Kawasan Hutan Dan Kawasan Lindung Dalam Rangka Arahan
Penataan Ruang Di Kabupaten Deli Serdang, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor,2008.

Endang, S., Oktaviyani, Indriyanto, & Surnayanti, (2017), Identifkasi Jenis Tanaman Hutan
Rakyat dan pemeliharaannya di Hutan Rakyat Desa Kelungu Kecamatan
Kotaagung Kabupaten Tanggamus.

Esmi Warassih., Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Suryandaru Utama, Semarang,


2005.

Faisal Sanafiah, Penelitian Kualitatif Dasar-dasar & Aplikasinya, Malang:Yayasan Asah


Asih Asuh, 1990.

Gunanegara, Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum. Surabaya: Univ.
Airlangga, 2008.

Hasrul Hadi, Analisis Dampak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa Sapit
Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur. Geodika: Jurnal Kajian Ilmu Dan
Pendidikan Geografi, 2018.

Hudayanti, Rahmi, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyeludupan Kayu: Melalui


Pelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Tangerang, Wana
Aksara, 2006.

Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo,2010.

Istislam, Kebijakan dan Hukum Lingkungan Sebagai Instrumen Pembangunan Berwawasan


Lingkungan dan Berkelanjutan, Arena Hukum No. 10 Tahun 4, Maret 2002.

Kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan Nomor 10 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangkalan Tahun 2009 – 2029.

Lawrance M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Jakarta: Nusamedia,


1984.

53
Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria Membongkar Atas Penguasaan
Negara Atas Hak- Hak Adat, Jakarta,Insist Press, KPA Dan Pustaka Pelajar.

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT Raja


Grapindo Persada, 2011.

Mas Roro Liliek Ekawati, Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau
Program (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis), Surakarta: Pustaka Cakra, 2005.

M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta,


2002.

Noeng. Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta, Rake Sarasin, 2002.

Rahmi Hudayanti, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyeludupan Kayu: Melalui


Pelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Tangerang, Wana
Aksara, 2006

Rianse, Alimuddin,Pengembangan Sistem Kompensasi Areal Hutan Yang Dialihfungsikan


(Produk : Model Pengembangan). Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Dalam Negeri, Jakarta, 2010.

Riyanto, Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Perlindungan Kawasan


Pelestarian Alam, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor,
2005.

Ruwiastuti, Maria Rita, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria Membongkar Atas Penguasaan
Negara Atas Hak- Hak Adat. Insist Press, KPA Dan Pustaka Pelajar, Jakarta, 2010.

Saafroedin, Bahar, Seri Hak Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi Dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jakarta, 2005.

Satjipto Rahardjo, Lapisan Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia Publishing, Malang,
2009.

Setiawan, Yudhi, Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2009.

Soehardjo Sastrosoehardjo, Analisis CSIS, Januari–Februari. Jakarta, 1993.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

_______________, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2011.

Soimin, Soedharyo. (2004). Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Edisi 2. Jakarta: Sinar
Grafika.

54
Soeratno dan Lincoln Arsyad, Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis.
Yogyakarta: Unit Penerbitan dan Percetakan APMP YKPN, 1993.

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan


Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2002.

Subagyo, & Ahmad, T. A, Evaluasi Implementasi Program Penanaman di Kecamatan


Gunungpati, Fakultas Ilmu Sosial, Semarang, 2014.

Suparmoko, Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis),


Yogyakarta, BPFE, 1997.

Sumaryoto, Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Dalam Usaha Tanai, Jurnal Agrobisnis (1),
Jakarta, 2002.

Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia,Jakarta , Sinar Grafika,


2011

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan). Bandung:
Alfabeta, 2008.

Zain AS, Hukum lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta. Jakarta, 1996

Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Tiara Yoga, Yogyakarta, 1992.

DAFTAR RIWAYAT PENELITI

KETUA PENELITI

A. Data Diri
1. Nama : I Gusti Ayu Gangga Santi Dewi, SH, M.Kn

2. Jenis Kelamin : Perempuan


3. Jabatan Fungsional : Lektor
4. NIP : 19740526 2006042001
5. NIDN : 0026057406
6. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 26 Mei 1974
7. E-mail : ganggasanti@gmail.com
8. Nomor Telepon / HP : 08112754243
9. Alamat Kantor : Prof. Soedarto Tembalang Kota Semarang
10. Nomor Telepon / Faks : 08112754243
11. Lulusan yang telah dihasilkan : D3 = 0 orang
S1 = 250 orang
12. Mata Kuliah yang diampu : 1.Hukum Agraria
2.Kapita Selekta Hukum Agraria
3.Hukum Tata Cara Perolehan Tanah

55
4. Hukum Teori Praktek Hak Tanggungan

B. Riwayat Pendidikan
RINCIAN S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Universitas Universitas Universitas
Diponegoro Diponegoro Sultan Agung
Bidang Ilmu Hukum Hukum Hukum
Tahun Masuk - Lulus 1992 -1996 2002-2004 2009-2016
Judul Perubahan Peran Rekonstruksi
Skripsi/Tesis/Desertasi Status Notaris/PPAT Kebijakan Ganti
Badan Dalam Pembuatan Rugi Non Fisik Pada
Usaha Milik Akta lain Dalam Pengadaan Tanah
Negara Perkreditan (Studi Untuk Kepentingan
Menjadi Bank Pemerintah Umum (Studi Jalan
Perseroan di Kota Tol Semarang –
Terbatas Semarang) Solo)

Pembimbing / Tulus Prof. Dr. Busro, Prof. Dr.Gunarto,


Promotor Sartono, SH., Mhum SH.,Mhum
SH., MHum

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

No Tahun Judul Penelitian Ketua/


Anggota

1 2021 Model Kebijakan Alih Fungsi Hutan Yang Ketua


Berkearifan Lokal di Indonesia
2 2021 Reklamasi Pasca Tambang di Lombok Timur Ketua
Nusa Tenggara Barat
3 2020 Model Kebijakan Penanggulangan Bencana Ketua
Banjir di Indonesia
4 2019 Model Kebijakan Reklamasi Pantai yang Ketua
Berkeadilan Sosial di Indonesia
5 2018 Rekonstruksi Kebijakan Tanah Eks Kerajaan Di Ketua
Indonesia Yang Berkeadilan Sosial
6 2017 Kajian Hukum terhadap Legalitas Kemasan Anggota
Pangan Hasil Produksi Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM)
7 2016 Konflik Tentang Ganti Rugi Non Fisik Pada Ketua
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Di
Kabupaten Semarang

56
D. Publikasi Jurnal Dalam 5 Tahun Terakhir

Penulis
Judul Publikasi Identitas
No Tahun Utama/ Status Jurnal
Jurnal Jurnal
Anggota
1 2021 Medico Legal Penulis International Jurnal
Updates of the Kedua Journal Medico Internasional
Adverse Threat Legal Update Terindeks
of Cigarette Vo. 21 No.1 Scopus
Advertisements
on Children
2. 2020 The Influence of Penulis TEST Jurnal
Cultural and Utama Engineering & Internasional
Legal Factors in Management Terindeks
Decisions ISSN : 0193- Scopus
Regarding the 4120 (online)
Exixtence of Volume 83
Royal
Customary
Lands: A Study
in Surakarta,
Indonesia.
4. 2020 Privatization Of Penulis Systematic Jurnal
Communal Land kedua Reviews in Internasional
Registration For Pharmacy Terindeks
The Tengger Scopus
Customary Law
Community In
Probolinggo
Regency
5. 2020 Policy Model for Penulis International Jurnal
Flood Disaster kedua Journal Internasional
Management Pharmaceutical Terindeks
Caused by Land Research Scopus
Reclamation in
the Waters of
Palembang
Indonesia

6. 2020 Sustainable Penulis Jurnal Jurnal Nasional


coastal Utama Perspektif Terakreditasi
reclamation for Pembiayaan dan
community Pembangunan
welfare in Daerah Vol. 8
Bangkalan No. 4,
Regency, September –
Madura Island, October 2020
East Java ISSN: 2338-

57
4603.
7. 2020 Perlindungan Penulis Jurnal Gema Jurnal Nasional
Hukum bagi Kedua Keadilan Vo. 7
Pemegang hak No. 3 (2020) FH
Atas Tanah yang Undip
Tanahnya
Berada di Atas
Hak Pengelolaan
8. 2020 Jawaban dan Penulis Law, Jurnal Nasional
Gugatan Kedua Development &
Rekonvensi Justice Review
Vo. 3, No.2
(2020)
9. 2020 The Legal Penulis International Prociding
Impact of Kedua Conference on Seminar
Communal Land Indonesian Internasional
Registration For Legal Studies,
The Indigenous Unnes, 1 Juli
People of 2020.
Lombok West
Nusa Tenggara
10 2020 Model Penulis Seminar Prociding
Kebijakan Utama Nasional Seminar
Penanggulangan Universitas Nasional
Bencana Banjir Pancasila 2020. Terakreditasi
Akibat
Reklamasi di
Kota Palembang
11. 2019 Legal Review of Penulis International Jurnal
Positive Impact Utama Journal of Internasional
of Beach Scientific & Terindeks
Reclamation in Technology Scopus
Pekalongan City Research, Vol.
8, Issue 11
November 2019

12 2019 Kebijakan Tanah Penulis BHUMI Jurnal Jurnal Nasional


Eks Kerajaan di Utama Agraria dan Terakreditasi
Indonesia Pertanahan Vol.
Berbasis Nilai 5,No. 9 (2019)
Keadilan Sosial p-ISSN 2442-
(Studi Kasus 6954, e-ISSN
Tanah Eks 2580-2151
Kerajaan di Bali

13 2019 Penolakan Penulis Diponegoro Jurnal Nasional


Masyarakat Utama Private Law Tidak
Terhadap Review Terakreditasi
Reklamasi Teluk

58
Benoa Provinsi
Bali

14 2019 Sengketa Tanah Penulis Jurnal Masalah- Jurnal Nasional


Eks Kerajaan Di Utama Masalah Hukum Terakreditasi
Kotawaringin
Barat Provinsi
Kalimantan
Tengah)

15 2018 Pemaknaan Penulis Journal of Jurnal Nasional


Tanah Eks Utama Indonesian Adat Terakreditasi
Swapraja Law (JIAL)
(Kerajaan) Volume 2,
Sebagai Tanah Nomor 1, April
Adat di Kota 2018,
Surakarta ISSN 2581-
0952
16 2017 Konstruksi Penulis Prosiding Prociding
Hukum Tentang Utama Seminar Seminar
Ganti Rugi Non Nasional Nasional
Fisik Pada Trisakti- Terakreditasi
Pengadaan Problematika
Tanah di Pertanahan dan
Indonesia Strategi
Penyelesaiannya
ISBN 602-
7894-35-0
17 2017 The Legality of Penulis IOP Conference Jurnal
Food Packaging kedua Series : Earth Internasional
to The and Environtal terindeks
Production of Science, Scopus
Small and Volume 175
Medium conference 1
Enterprises
(SME)
18 2017 Konflik tentang Penulis Masalah- Jurnal Nasional
Ganti Rugi Non Utama Masalah Hukum Terakreditasi
Fisik pada ISSN 2086-
Pengadaan 2695
Tanah untuk Vol. 46 No. 3
Kepentingan
Umum
19 2017 Pengaturan Penulis Diponegoro Jurnal Nasional
Tanah Bengkok Utama Private Law Tidak
di Desa Sojopuro ISSN 2598- Terakreditasi
Kabupaten 2354
Wonosobo Vol 1, No. 1
Berdasarkan

59
Undang-undang
No 6 Tahun 2014
tentang Desa
20 2016 Non Physical Penulis International Jurnal Nasional
Loss Policy on Utama Journal of Law Tidak
land Reconstruction Terakreditasi
Procurement for Vol 1, No. 1
General Interests
Based on Social
Justice Values

E. Penulisan Buku Dalam 5 Tahun Terakhir

No
JUDUL BUKU
.
1 Kebijakan Pertanahan di Indonesia, Cetakan I tahun 2019, LPPM, Undip Press
Penjaminan Hak Tanggungan di Indonesia, Cetakan 2 tahun 2018, LPPM,
2
Undip Press
3 Hukum Agraria, Cetakan I tahun 2016, LPPM, Undip Press

F. Pemakalah Forum Ilmiah Dalam 5 Tahun Terakhir

Pemakalah/
No Tahun Judul Makalah Penyelenggara
Anggota
1 2017 Konstruksi Hukum Ketua Universitas Trisakti -
Tentang Ganti Rugi Non Jakarta
Fisik Pada Pengadaan
Tanah Untuk
Kepentingan Umum

2 2018 Rekonstruksi Kebijakan Ketua Udayana Bali


Tanah Eks Kerajaan Di
Indonesia Yang
Berkeadilan Sosial
Status Hukum Tanah
Eks Kerajaan di Kota
Surakarta

3 2019 Potensi Reklamasi Pantai Ketua Universitas Padjajaran


Yang Berkelanjutan Bandung
Untuk Kesejahteraan
Masyarakat di
Kabupaten Bangkalan

60
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini
saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan
penelitian RPP Tahun 2021.

Semarang, 28 November 2021


Pengusul

I Gusti Ayu Gangga Santi Dewi, SH, M.KN


NIP. 197405262006042001

ANGGOTA PENELITI

A. Data Diri
1. Nama : Dr. Bambang Eko Turisno, S.H., M.H
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
4. NIP : 196212091987031001
5. NIDN : 0009126204
6. Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 09-12-1962
7. E-mail : b_e_turisno@yahoo.com
8. Nomor Telepon / HP : 085640116415
9. Alamat Kantor : Prof. Soedarto Tembalang, Kota Semarang,
Jawa Tengah 50275
10. Nomor Telepon / Faks : 085640116415
• D3 = 0 orang
• S1 = 150 orang
11. Lulusan yang telah dihasilkan : • S2 = 50 orang
• S3 = 0 orang

12. Mata Kuliah yang diampu :1. Hukum Perdata

2. Hukum Waris
61

3. Hukum Perlindungan Konsumen


B. Riwayat Pendidikan

RINCIAN S-1 S-2 S-3


Nama Universitas Universitas Universitas
Perguruan Diponegoro Indonesia Diponegoro
Tinggi
Bidang Ilmu Ilmu Hukum Hukum
Ilmu Hukum
Ekonomi
Tahun Masuk - 1981 -1986 1981 -1994 2004-2011
Lulus
Judul Tanggung jawab
Formulasi Hukum
Skripsi/Tesis/ Perdata Pengendara Etika Bisni
Etika Bisnis dalam
Desertasi Kendaraan Bermotor dalam Sistem
Kegiatan Bisnis
Terhadap Korban Hukum
Pemasaran
Kecelakaan Lalu Ekonomi
Khususnya dalam
Lintas Jalan Indonesia
Iklan
Pembimbing / Purwahid Patrik,SH Victor Purba, Prof.Dr.Sri Redjeki
Promotor Achmad Busro,SH SH,LLM Hartono,SH
Tidak ada Prof Dr.Nindyo
Pramono,SH,MS

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

Pendanaan
Ketua/
No Tahun Judul Penelitian Sumber Jumlah
Anggota
Dana (Rp)
1 2016 Disharmonisasi Hukum
Dalam Pengaturan
Lembaga Pengakuan dan
Pengesahan Anak Luar
Kawin (Studi Praktik Internal
Anggota 75.000.000
Penyelenggaraan Universitas
Pengakuan dan Pengesahan
Anak Luar Kawin Oleh
Golongan Indonesia
Kristen di Indonesia)
2 2016 Hak Anak setelah Bubarnya
Perkawinan dalam Hukum Internal
Ketua 5.000.000
Islam dan Menurut Hukum Fakultas
Adat
3 2015 Sanksi Dalam Kode Etik Internal
Ketua 11.000.000
Perusahaan Fakultas
4 2014 Hak Anak Setelah Putusnya
Internal
Perkawinan Kedua Orang Ketua 11.500.000
fakultas
Tuanya
Internal
5 2013 Pengaturan Hak Anak Ketua 10.000.000
Fakultas

62
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir

Pendanaan
Ketua/
No Tahun Judul Penelitian Sumber Jumlah
Anggota
Dana (Rp)
1 2017 Penyuluhan Hukum Terpadu
mengenai Hukum Perkawinan di
Internal
Desa Candirejo Desa Karangrejo Anggota 8.000.000
Fakultas
dan Desa Borobudur Kabupaten
Magelang

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini
saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan
penelitian RPP Tahun 2019.
Semarang, 28 November 2021
Pengusul

Dr. Bambang Eko Turisno, S.H., M.H


Nip. 196212091987031001

63
HASIL LUARAN YANG DICAPAI

1. Judul Penelitian : Model Kebijakan Alih Fungsi Hutan Yang Berkearifan Lokal di
Indonesia.
2. Objek Penelitian : Kebijakan Alih Fungsi Hutan di Kabupaten Lombok Timur – Nusa
Tenggara Timur, Kabupaten Sukamara – Kalimantan Tengah, Kabupaten Bangkalan -
Jawa Timur.
3. Masa Pelaksanaan
Mulai : bulan : Maret tahun : 2021
Berakhir : bulan : Desember tahun : 2021

4. Usulan Biaya RPP Ditjen Penguatan Risbang


• Tahun ke-1 : Rp 40.000.000,00

5. Lokasi Penelitian : Kabupaten Lombok Timur – Nusa Tenggara Timur, Kabupaten


Sukamara – Kalimantan Tengah, Kabupaten Bangkalan - Jawa Timur.

6. Instansi lain yang terlibat :


Instansi pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan alih fungsi hutan, seperti Lurah/
Kepala Desa. Dinas terkait yang telah mengatur, membuat kebijakan alih fungsi hutan
secara sektoral merupakan pemberi masukan bagi peneliti disamping sebagai pihak
yang akan melaksanakan kebijakan alih fungsi hutan yang berkearifan lokal.

7. Temuan: Alih fungsi hutan telah merusak lingkungan dan pemerintah daerah telah
dibuat kebijakan dalam rangka melindungi hutan dengan pengelolaan bersama
masyarakat secara berkearifan lokal.

8. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu : Hukum Agraria sebagai Hukum Tanah
Nasional yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mewajibkan tanah bermanfaat bagi kepentingan
warga, umum, bangsa dan negara dengan tidak membuat kerusakan tanah dan
lingkungan. Dengan penelitian ini akan diketahui bentuk pelaksanaan kewajiban
menjaga kelestarian tanah dan lingkungan hutan.

9. Hasil Luaran :
- 2 (dua) artikel pada Jurnal Internasional Terindeks Scopus Q2, Target Tahun ke 1.

64
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dukungan Sarana dan Prasarana Penelitian

Dukungan sarana dan prasarana penelitian ini adalah :


1. Akses publish jurnal internasional.
2. Ruang untuk mengadakan diskusi pembuatan laporan
3. Sambungan internet berupa Wifi
4. Perpustakaan di kampus
5. Bahan-bahan referensi pendukung, dan
6. Sarana prasarana pendukung yang lain

Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas

Bidang Alokasi Waktu


No Nama Jabatan Uraian Tugas
Keahlian (Jam/Minggu)
I1 Gusti Ayu Ketua Hukum 25 jam Penyusunan
1 Gangga Santi Agraria/ Proposal,
Dewi, SH, M.Kn Pertanahan penelitian
lapangan, laporan
penelitian,
publikasi.
2Dr. Bambang Anggota Hukum/ 25 jam Pra survey,
2 Eko Turisno, SH, Etika penelitian
MH Bisnis lapangan,
penyusunan
laporan.

65
Lampiran 3 : 2 (dua) Artikel Jurnal Internasional Terindeks Scopus Q2.

Artikel 1
Recovery Policy and Proper Management of Mangrove Forests to Preserve Environmental
Sustainability and Ecotourism in Bangkalan Indonesia (JET journal)

66
Artikel 1
Protect Forest Function Change Policy for Food Estate Land in Subang Indonesia (Journal
of Environmental Management and Tourism)

67
Lampiran 4 : Dokumentasi Foto Penelitian

Bersama Kepala Dinas Kehutanan dan


Lingkungan Hidup Bangkalan beserta
jajarannya

Bersama Kepala BPN Kabupaten Bangkalan

68
Bersama Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kabupaten Lombok Timur

Diskusi bersama Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan


Kabupaten Lombok Timur

69
Bersama Kepala BPN Kab. Lombok Timur beserta jajarannya

70
Bersama Wakil Bupati Sukamara

Halaman pengesahan belum

Bersama Kepala Dinas


Lingkungan Hidup Kabupaten
Sukamara

71
Lampiran 5 : Laporan Penggunaan Dana

72

Anda mungkin juga menyukai