Anda di halaman 1dari 10

Nama: Jaya Lesmana Adriansa

NIM: 11000119140187

Kelas: H

A. Pengertian Hukum Pidana (Ius Poenale)


Berikut definisi hukum pidana menurut beberapa ahli antara lain:
1. Mezger
Menurut Mezger, hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikat
pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat
yang berupa pidana. Hukum pidana pada dasarnya berpokok pada 2(dua) hal,
yakni:
1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
“Perbuatan” yang dimaksud disini ialah perbuatan yang dilakukan oleh
orang, dimana berpotensi akan pemberian pidana. Sehingga, perbuatan
ini disebut juga dengan “perbuatan jahat” (verbrechen atau crime).
2) Pidana
Pidana merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Simons
Definisi hukum pidana menurut Simons berupa:
a) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;
b) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syrat-syarat untuk penjatuhan
pidana; dan
c) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.
3. Van Hamel
Menurutnya, hukum pidana ialah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut
oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan
suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar tersebut.’

Selain hukum pidana, terdapat juga istilah hukum acara pidana (Ius Puniendi).
Hukum acara pidana sendiri dapat diartikan dengan dua artian, yakni:
- Secara luas
Ius Puniendi dalam arti luas ialah hak dari negara atau alat-alat perlengkapan
negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan
tertentu.
- Secara sempit
Dalam arti sempit, hukum acara pidana dapat diartikan sebagai hak untuk
menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini diberikan
kepada badan-badan peradilan yang ada.

Jenis-jenis hukum pidana antara lain:


a. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal
Hukum Pidana Materiil: memuat aturan yang menetapkan dan merumuskan
perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan yang memuat syarat-syarat
untuk dapat menjatuhkan pidana, dan ketentuan mengenai pidana. KUHP
merupakan kitab UU yang memuat aturan-aturan Hukum Pidana Materiil.
Hukum Pidana Formal: mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana yang
biasa disebut sebagai Hukum Acara Pidana
b. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum Pidana Umum: memuat aturan hukum pidana yang berlaku bagi
setiap orang seperti UU Lalu Lintas sebagai contohnya.
Hukum Pidana Khusus: memuat aturan hukum pidana yang menyimpang
dari Hukum Pidana Umum, yaitu mengenai golongan tertentu ataupun jenis-
jenis perbuatan tertentu. Contoh: Hukum Pidana Tentara, Hukum Pidana
Fiskal, Hukum Pidana Ekonomi, dll.
c. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan (KUHP dan KUHPT) dan Hukum
Pidana Yang Tidak Dikodifikasikan (di luar KUHP, contohnya Ordonansi
Obat Bius)
d. Hukum Pidana Umum dan hukum Pidana Lokal (berdasarkan tempat
berlakunya)
Hukum Pidana Umum: dibentuk oleh pembentuk UU pusat dan berlaku
untuk seluruh negara
Hukum Pidana Lokal: dibentuk oleh pembentuk UU daerah (provinsi atau
kabupaten/kota) dan berlaku di daerah yang bersangkutan.
e. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis (Hukum Pidana
Adat)
f. Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional

B. Fungsi Hukum Pidana


Fungsi hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yakni:
1) Fungsi umum, yakni mengatur hidup kemasyarakatan atau
menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
2) Fungsi khusus, yakni melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan
yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa
pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang
terdapat pada cabang hukum lainnya.

Sejatinya fungsi hukum pidana sebagai alat social control adalah subsidier,
yakni baru diadakan apabila usaha lain kurang memadai. Hukum pidana juga
disebut sebagai “obat terakhir”. Hal ini dikarenakan sanksi yang tajam dari
hukum pidana berupa kesengajaan mengenakan penderitaan dalam
mempertahankan norma yang diakui oleh hukum. Selain sebutan tersebut,
hukum pidana juga dikatakan “sebagai mengiris dagingnya sendiri” ataupun
“pedang bermata dua”. Hal ini disebabkan oleh hukum pidana yang melindungi
benda hukum (nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan) dalam praktiknya
juga mengadakan perlukaan benda hukum pelanggar aturan.

C. Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi


Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana atau Ilmu Hukum Pidana memberi keterangan
tentang hukum pidana yang berlaku, sehingga objek dari ilmu ini adalah hukum
pidana. Pidana dianggap sebagai penderitaan (nestapa), sehingga tidak boleh
menjatuhkan pidana secara sembarangan dan perlu adanya pembatasan
(guarantees). Oleh karena itu, Ilmu Hukum Pidana harus:
a. Menganalisa dan menyusun secara sistematis aturan-aturan tersebut;
b. Mencari azas-azas yang menjadi dasar dari peraturan UU Pidana;
c. Memberi penilaian terhadap azas-azas itu sendiri apakah sudah sesuai
dengan nilai dari negara atau bangsa;
d. Menilai apakah peraturan pidana yang berlaku sejalan dengan azas-azas tadi.

Disamping itu, ada ilmu pengetahuan yang mempunyai keterkaitan erat dengan
Ilmu Hukum Pidana, yaitu Kriminologi. Objek dari Kriminologi ialah kejahatan
sebagai gejala masyarakat (sociaal phaenomeen). Ia mempelajari sebab-sebab
dari kejahatan dan bagaimana pemberantasannya. Jadi, dalam menerapkan
aturan hukum pidana secara tepat, petugas hukum tidak cukup hanya
mempelajari Ilmu Hukum Pidana yang hanya melihat segi aturan dari suatu
kejahatan, melainkan juga harus mempelajari Kriminologi yang memahami
gejala dari kehidupan manusia yang terletak di belakang abstraksi-abstraksi
yuridis tersebut.

D. Sumber Hukum Pidana Indonesia


1. Sumber utama hukum pidana Indonesia
Sumber utamanya berupa hukum yang tertulis dan terkhusus orang-orang
tertentu, hukum pidana tidak tertulis dapat menjadi sumber hukum pidana.
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP atau nama aslinya
“Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie” (W.v.S.v.N.L.). Berdasar
pada pasal 1 UU No.1 Tahun 1946, hukum pidana yang mulai berlaku saat
itu adalah hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Mareet 1942. Regulasi ini
merupakan bukti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP Indonesia adalah
bahasa Belanda.
2. Sumber hukum pidana lainnya
Hukum Pidana Adat merupakan sumber hukum pidana lainnya. Untuk
beberapa daerah tertentu, Hukum Pidana Adat masih mempunyai kekuatan
sebagai sumber hukum positif dan diterapkan oleh Pengadilan Adat. Dalam
pada itu, hukum tidak tertulis dapat menjadi sumber hukum yang negatif,
artinya aturan-aturannya dapat menghapuskan sifat melawan-hukum-nya,
meskipun perbuatan tersebut secara nyata memenuhi rumusan delik dalam
UU, sehingga pembuat tidak dipidana karena tidak melalukan suatu delik.
3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)
M.v.T. merupakan penjelasan atas UU Pidana yang diserahkan oleh Menteri
Kehakiman (Belanda) bersama dengan RUU itu kepada Tweede Kamer
(Parlemen) Belanda. RUU yang diselesaikan pada tahun 1881 ini kemudian
disahkan menjadi UU dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886.
M.v.T. masih disebut-sebut dalam hukum pidana dikarenakan ia merupakan
penjelasan atas W.v.S. untuk Hindia Belanda yang kita kenal sekarang
sebagai KUHP.

E. Bagian Umum dan Bagian Khusus Dalam Hukum Pidana


Berdasarkan jenisnya, ketentuan-ketentuan hukum pidana dibagi menjadi dua,
yakni:
a) Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana Umum
Ketentuan ini berlaku untuk seluruh lapangan hukum pidana, baik yang
terdapat di dalam maupun luar KUHP (kecuali apabila ditentukan lain).
Ketentuan ini dimuat dalam Buku I KUHP.
b) Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana Khusus
Ketentuan ini menyebut perbuatan mana yang dapat dipidana serta ancaman
pidananya. Ketentuan ini dimuat dalam Buku II dan III KUHP dan juga
diluar KUHP yang disebut delik khusus (Besonderer Teil atau Partie
Speciale).

F. Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu


“Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali” atau yang lebih
dikenal dengan azas nullum delictum/azas legalitas merupakan azas yang
terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
Terdapat 2 (dua) hal yang terkandung dari pasal 1 diatas, yakni:
1) Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan
Hal ini melahirkan 2 (dua) konsekuensi, yaitu yang pertama berupa
perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai
suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan yang kedua adalah muncul
pendapat bahwa adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu
perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Sebagai catatan, analogi artinya memperluas berlakunya
suatu peraturan dengan mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang
menjadi dasar dari peraturan tersebut (ratio legis) dan kemudian menerapkan
aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur
dalam UU. Penerapan peraturan secara analogi digunakan apabila ada
kekosongan (leemte atau lucke) dalam UU untuk perbuatan (peristiwa yang
mirip dengan apa yang diatur oleh UU. Akan tetapi, alasan dari pelarangan
penerapan analogi ialah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari
pengadilan atau dari penguasa.
2) Peraturan undang-undang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana
Dasar pikiran dari hal ini berupa:
a. Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenangan penguasa
(peradilan)
b. Pidana sebagai paksaan psychic (psychologische dwang). Dengan
demikian, motif calon pembuat suatu kejahatan dapat ditekan akibat
jiwanya yang terpengaruh dengan ancaman pidana, sehingga dapat
tercegah adanya tindak pidana. Teori ini berasal dari Anselm von
Feuerbach yang disebut sebagai Teori Paksaan Psychisch (Theori des
Pyschischen Zwanges).
c. Aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana dapat
diterobos oleh pembentuk UU, sebab aturan itu hanya tercantum dalam
UU biasa. Jadi, apabila pembentuk UU mempunyai hak untuk
menyatakan UU berlaku surut. Disini berlaku azas “lex posterior derogat
legi priori” (peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan
yang terdahulu).
d. Pengecualian terhadap ketentuan larangan berlaku retroaktif yang
terdapat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Menurut pasal ini dimungkinkan
suatu pidana berlaku surut. Dalam hal ini suatu perkara pidana belum
mendapatkan keputusan hakim undang-undang yang bersangkutan
dengan perkara tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Maka timbul
persoalan hukum transitoir (hukum harus ditetapkan apabila ada
perubahan dalam perundang-undangan).
Aturan dalam KUHP Indonesia sejatinya berdasar pada azas “lex
temporis delicti”, namun kalau peraturan tersebut lebih meringankan
terdakwa barulah peraturan itu yang berlaku. Jadi azas ini tidak berlaku
atau dengan perkataan lain ada retroaktivitas:
a) Apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan
dalam perundang-undangan
b) Apabila peraturan yang baru itu menguntungkan/meringankan
terdakwa
Pengertian paling ringan atau menguntunkan disini harus diartikan
seluas-luasnya tidak semerta-merta mengenai pidananya saja,
melainkan mengenai segala sesuatunya dari peraturan tersebut yang
mempunyai pengaruh terhadap penilaian suatu tindak pidana.
Penentuannya sendiri harus dilakukan in concreto bukan in
abstracto.

G. Ruang Berlakunya Peraturan-Peraturan Pidan Menurut Tempat


Berkaitan dengan ruang berlakunya peraturan pidana menurut tempat, terdapat
beberapa azas yang ada, yakni:
a) Azas territorial
Azas ini terdapat dalam pasal 2 KUHP dimana aturan pidana Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia.
Kemudian azas ini diperluas oleh pasal 3 KUHP yang menyatakan bahwa
peraturan pidana Indonesia dapat diterapkan kepada setiap orang yang
berada di luar negeri yang melakukan tindak pidana dalam perahu (vaartuig)
Indonesia. Interpretasi perahu disini dijelaskan pada pasal 95 KUHP dimana
perahu Indonesia disini sesuai dengan UU umum tentang surat-surat laut dan
pas-pas kapal di Indonesia.
b) Azas personal (nasional aktif)
Azas ini menyatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi
setiap WNI yang melakukan tindak pidana, baik di dalam maupun di luar
negeri. Azas ini disebut sebagai azas nasional aktif sebab peraturan pidana
seolah-olah mengikuti orangnya kemanapun. Apabila tindak pidana
dilakukan di luar negeri, maka ketentuannya ada dalam pasal 5 KUHP.

c) Azas perlindungan (nasional pasif)


Nama lain azas ini ialah azas nasional pasif, sebab ia melindungi
kepentingan nasional. Azas ini pada dasarnya menganut prinsip bahwa
peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang
menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh WNI
atau bukan, yang dilakukan di luar Indonesia. Kejahatan ini dibagi menjadi
5 (lima) kategori, yaitu:
1) Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden (pasal 4 sub
1)
2) Kejahatan tentang materai atau merk yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia (pasal 4 sub 2)
3) Pemalsuan surat hutang dan sertifikat hutang atas beban Indonesia
(daerah ataupun sebagian daerah), talon deviden atau surat bunga
(termasuk surat yang dikeluarkan untuk mengganti surat tersebut); atau
dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-
olah tulen dan tidak dipalsukan (pasal 4 sub 3)
4) Kejahatan jabatan yang tercantum dalam Titel XXVIII Buku ke-II yang
dilakukan oleh pegawai negeri Indonesia di luar negeri (pasal 7).
Pegawai negeri disini termasuk di dalamnya orang asing yang menjadi
perwakilan negara.
5) Kejahatan pelayaran yang tercantum dalam Titel XXIX Buku ke-II yang
dilakuakn oleh nahkoda dan penumpang alat pelayar Indonesia yang ada
di luar Indonesia, baik mereka berada di atas ataupun luar kapal (pasal
8).
d) Azas universal
Azas ini juga dinamakan dengan azas “tier Weltrechtspflege” atau azas
penyelenggaraan hukum dunia atau ketertiban hukum dunia
(wereldrechtsorde). Azas ini menyatakan peraturan hukum pidana Indonesia
berlaku terhadap tindak pidana (sesuai pasal 4 sub 2 dan 4 KUHP), baik
dilakukan di dalam ataupun luar negeri, dan baik oleh WNI atau WNA.
Extraditie (penyerahan) merupakan bantuan hukum yang bersifat internasional,
dimana negara asing yang merasa berhak untuk menuntut seseorang yang berada
di negara kita dapat melakukan haknya tersebut juga sebaliknya. Namun, untuk
dapat menyerahkan seorang penjahat ke negara lain harus ada persetujuan antara
negara-negara yang bersangkutan.

Selain menentukan UU yang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana


melalui ketentuan waktu, perlu adanya ketentuan tempat guna menetapkan
apakah UU Pidana Indonesia dapat diterapkan dan pengadilan mana yang
berkompeten dalam mengadili pelaku tindak pidana tersebut. Untuk itu, terdapat
3 (tiga) teori dalam menetapkan locus delicti ini, antara lain:
1) Teori Perbuatan Materiil (Perbuatan Jasmaniah)
Teori ini menyatakan bahwa tempat tindak pidana ditentukan berdasarkan
pada perbuatan jasmaniah yang dilakukan si pembuat dalam mewujudkan
tindak pidana tersebut.
2) Teori Instrumen (Alat)
Berdasarkan teori ini, tempat terjadinya delik menurut tempat bekerjanya
alat yang dipakai si pembuat dimana alat ini bisa berupa orang (orang disini
tidak dapat dipertanggungjawabkan) ataupun benda.
3) Teori Akibat
Yang menjadi ukuran locus delicti dari teori ini adalah tempat terjadinya
akibat di dalam delik tersebut. Sebagai contoh, delik penipuan dimana delik
ini dapat selesai apabila korban telah menyerahkan barangnya, namun si
pembuat bisa saja berada di daerah kekuasaan pengadilan lain.

Anda mungkin juga menyukai