Anda di halaman 1dari 94

MODEL BUFFER ZONE ANTARA HUTAN LINDUNG DAN

TANAH MILIK GUNA PENATAAN RUANG YANG LESTARI


(Studi Kasus Di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau)

Laporan Hasil Penelitian Strategis

Disusun oleh:
Dr. Eko Suharto,ST., M.Si.
Dr. Valentina Arminah, M.Si.
Dr. Ir. Rochmat Martanto, M.Si.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional


Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Yogyakarta
2016
1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Penelitian

MODEL BUFFER ZONE ANTARA HUTAN LINDUNG DAN TANAH MILIK


GUNA PENATAAN RUANG YANG LESTARI
(Studi Kasus Di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau)

Disusun oleh:
Dr. Eko Suharto,ST., M.Si.
Dr. Valentina Arminah, M.Si.
Dr. Ir. Rochmat Martanto, M.Si.

Laporan Hasil Penelitian ini telah diseminarkan di hadapan Tim Evaluasi


Penelitian Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
pada tanggal 23 November 2016

Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,

ttd

Dr. Sutaryono, M.Si.


NIP. 19710121 199703 1 004

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
.................................................................................................... i
HALAMAN
PENGESAHAN....................................................................................... ii
DAFTAR
ISI................................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah........................................................................................
9
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................
10
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................
10
E. Novelty (Kebaharuan Penelitian .................................................................
10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................


13
2.1. Model ...................................................................................................
13
2.2. ”Buffer Zone” ..........................................................................................
15
2.3. Kawasan Hutan ....................................................................................
16

3
2.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perambahan tanah kehutanan .......
20
2.5. Penataan Ruang Hutan lestari ................................................................
21
2.6. Kerangka Teori .....................................................................................
24
2.7. Pertanyaan Penelitian ..............................................................................
25

BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................................


26
3.1. Lokasi Penelitian ...................................................................................
26
3.2. Variabel Penelitian, dan Data Penelitian ...............................................
28
3.3. Bahan dan Alat ......................................................................................
28
3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ..........................................................
30
3.5. Populasi, Sampel, Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................
32
3.6. Analsis Hasil ......................................................................................
34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................


36
4.1. Gambaran Umum, Potensi, dan Sejarah Pulau Bintan ....................
36

4
4.2. Kondisi Hutan di Pulau Bintan .........................................................
59
4.3. Fakto-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perambahan Hutan
di Pulau Bintan ..................................................................................
71
4.4. Model ”Buffer Zone” antara Tanah Milik dan Hutan Lindung .........
73

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………...


87
5.1. Kesimpulan ...........................................................................................
87
5.2. Saran .................................................................................................
87

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….


88

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

5
Kepastian batas wilayah kawasan hutan merupakan salah satu unsur penting

dalam memperlancar efektivitas tata kelola hutan di Indonesia. Akibat ketidakpastian

batas wilayah kawasan hutan dapat menghambat efektifitas tata kelola hutan di

Indonesia. Berdasarkan data Direktur Jendral Planologi Kehutanan (2011), dari seluruh

kawasan hutan seluas 130 juta hektar, baru sekitar 14,2 juta hektar atau 12 persen area

yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”). Ketidakpastian ini memicu

munculnya konflik tenurial (kepemilikan tanah) dengan berbagai pihak yang

berkepentingan dengan kawasan hutan, karena setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang

yang bermukim di sekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan

dengan kawasan hutan. Persoalan ketidakpastian tanda batas hutan ini tidak hanya

menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan

lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin

usaha kehutanan dan pemerintah (Kementerian Kehutanan, 2011)

Tanda batas wilayah kawasan hutan sudah semestinya menjadi prioritas agar

kepastian hukum atas kawasan hutan menjadi jelas. Proses pengukuhan kawasan hutan,

dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas,

pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini dalam rangka untuk menuju suatu

kawasan hutan yang “legal dan legitimate”. Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan

telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya

Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut nomor

P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang

Pengukuhan Kawasan Hutan.

6
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional tentang Tenurial

dan Tata Kelola Hutan dan Kewirausahaan di Lombok pada tahun 2011, meliputi hal-

hal sebagai berikut:

1. memperkuat legalitas kawasan hutan.

2. memperkuat kepastian hak semua pihak atas kawasan hutan.

3. menciptakan sistem yang efektif untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.

4. mendorong pembentukan kebijakan terpadu dalam penguasaan tanah dan kawasan

hutan dan koordinasi kewenangan antara sektor yang terkait dengan urusan

penguasaan tanah dan kawasan hutan.

Adanya paradigma bahwa hutan adalah unit produksi bukan bagian dari proses

pengaturan tata ruang akan menambah kerumitan dalam penataan kawasan hutan,

padahal dalam sistem pengelolaan hutan dengan prinsip ilmiah modern (scientific

forestry, kehutanan ilmiah), hutan dilihat sebagai sebuah unit kesatuan, keteraturan

produksi dalam rangka untuk menghasilkan efisiensi pengelolaan untuk memperoleh

keuntungan bagi negara dan pelaku bisnis atau untuk mengakumulasi modal

(Peluso,1992).

Berdasarkan pada tujuan penataan kawasan hutan, maka membatasi akses

masyarakat terhadap kayu dan hasil hutan termasuk membuat aturan yang membatasi

kegiatan di hutan yang telah dikuasai, melakukan penentuan jenis-jenis kayu bernilai

ekonomi tinggi melalui inventarisasi tegakan, membagi hutan menjadi blok-blok

(petak) hutan yang memungkinkan eksploitasi hutan sistematik, serta merekrut pekerja

upahan untuk melakukan penjagaan dan eksploitasi hutan merupakan suatu hal yang

mutlak dilakukan.

7
Kenyataan di lapangan bahwa keberadaan hutan tidak lepas dari unsur adanya

manusia seperti keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang telah

bermukim bergenerasi di wilayah tersebut, bahkan sebelum adanya aturan negara, maka

konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar

unsur. Secara teknis penataan batas hutan menjadi elemen penting pengelolaan hutan

yang optimal. Penatabatasan kawasan hutan harus melibatkan seluruh unsur pemerintah

pusat dan daerah, serta masyarakat lokal dengan pengesahan dan berita acara yang jelas

agar tidak lagi terjadi konflik. Perkembangan paradigma pengelolaan hutan harus

ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya melulu praktik pengelolaan teknis

kehutanan.

Sudah sejak lama permasalahan kawasan hutan bukan terletak kepada

sumberdaya yang ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat

dimana hutan itu tumbuh dan berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan

hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumberdaya yang ada

didalamnya.Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik

diantara para pemangku kepentingan, diantaranya antar departemen dan instansi

pemerintah, antar pemerintah pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan

pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/ lisensi

yang diberikan oleh pemerintah.

Tipologi konflik tenurial kehutanan (Safitri et al., 2011) dapat dijabarkan sebagai

berikut.

8
1. Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk

dan/atau ditetapkannya sebuah wilayah adat sebagai kawasan hutan negara,

2. Konflik antara masyarakat dengan Kemenhut dan BPN. Misalnya konflik

penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan

hutan

3. Konflik antara masyarakat transmigran dengan masyarakat (adat/lokal) dengan

Kemenhut dengan pemerintah daerah dan BPN. Misalnya konflik karena program

transmigrasi yang dilakukan di kawasan hutan.

4. Konflik antara masyarakat desa dengan Kemenhut. Misalnya konflik karena

kawasan hutan memasuki wilayah desa.

5. Konflik antara calo tanah dengan elit politik dengan masyarakat petani dengan

Kemenhut dan BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo tanah yang

umumnya didukung oleh ormas/parpol yang memperjualbelikan tanah kawasan

hutan dan membantu penerbitan sertifikat pada tanah tersebut.

6. Konflik antara masyarakat lokal (adat) dengan pemegang izin. Meskipun ini terjadi

akibat Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan

memberikan hak memanfaatkannya kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini

juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang

izin.

Dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia memberikan sumbangan terhadap

konflik dalam kawasan hutan, legalitas pemanfaatan tanah adalah melalui izin dari

Kementerian Kehutanan, sedangkan diluar kawasan kehutanan, atau yang disebut

dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan

9
kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kenyataan ini berimplikasi pada

munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanian di dalam dan luar kawasan

hutan, termasuk munculnya permasalahan kepastian hukum pengakuan penguasaan

tanah oleh masyarakat (misalnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah

tersebut). Di luar kawasan hutan dimungkinkan pemberian sertifikat tanah (penguasan

privat/ individual) sedangkan di dalam kawasan tidak dimungkinkan karena asumsi

bahwa tanah kawasan hutan dikuasai oleh negara (dalam hal ini Kemenhut).

Perijinan yang dikeluarkan dalam kawasan hutan seringkali disebut bukan

sebagai izin untuk memanfaatkan tanah, melainkan izin untuk memanfaatkan sumber

daya hutan di atasnya, meskipun dalam beberapa hal ini tidak dapat disangkal adalah

sebagai salah satu bentuk izin pemanfaatan tanah. Sebagai contoh, Izin pemanfaatan

hutan tanaman dimana pemegang izin dapat menanami kawasan hutan adalah pula izin

untuk memanfaatkan tanah tersebut.

Di dalam Undang-Undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 5 ayat

3 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh

pemerintah. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah pemerintah pusat (Pasal 1 angka

14 UU No. 41 tahun 1999). Dalam Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang

Perencanan Kehutanan pada Pasal 15 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan

diselenggarakan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Kehutanan). Dengan ketentuan ini

maka kewenangan penetapan kawasan hutan hanya berada di tangan Menteri

Kehutanan, bukan di tangan pemerintah (pusat). Jika dibandingkan dengan Undang-

Undang nomor 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) maka akan bertentangan dengan

Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah dimana Penyelenggaraan pendaftaran

10
tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selesainya pengukuhan

kawasan hutan tidak berarti persoalan hukum tuntas. Dasar hukum bagi Kemenhut

untuk menguasai tanah di dalam kawasan hutan negara perlu diberikan. Dalam hal ini

Pasal 2 ayat 4 UUPA memberikan dasar hukum pemberian hak pengelolaan kepada

instansi pemerintah untuk menguasai tanah.

Dualisme administrasi pertanahan selama ini telah menambah beban Kemenhut

dan memperumit administrasi pertanahan di Indonesia. Kemenhut harus mengurusi

tanah di kawasan hutan, sebaliknya kondisi ini membatasi kewenangan Kemenhut untuk

mengurus pengelolaan hutan yang berada di atas tanah-tanah di luar kawasan hutan.

Pengelolaan hutan di atas Areal Penggunaan Lain (APL) tidak ada pada Kemenhut

tetapi pada Pemerintah Daerah.

Berdasarkan Keputusan Makamah Konstitusi nomor 45/2011 dan nomor

35/2012 memberikan harapan agar konflik di wilayah kawasan hutan dapat

diminimalisir, karena penunjukan kawasan hutan belum sah apabila penetapan kawasan

hutan oleh pemerintah belum keluar. Dan dimungkinkan hutan yang dikuasai

masyarakat adat dikeluarkan dari kawasan hutan negara sebagai hutan masyarakat adat.

Salah satu cara agar kawasan hutan lindung tidak rusak dan dirambah

masyarakat sekitar hutan adalah perlu adanya kawasan penyangga hutan lindung yang

sering dikenal sebagai “buffer zone”. Di dalam UU No 5 Tahun 1990 pada Penjelasan

Pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa perlindungan sistem penyangga (buffer zone)

kehidupan dilaksanakan dengan cara menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai

wilayah perlindungan. Adapun pengaturannya pemerintah menetapkan pola dasar

pembinaan pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi perlindungan dan

11
pelestariannya tetap terjamin. Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini

meliputi antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai, wilayah tepi sungai, daerah

pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi eksklusif Indonesia, daerah pasang surut,

jurang, dan wilayah berpolusi berat. Pemanfaatan wilayah tersebut tetap pada subyek

yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan

pemerintah. Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah sistem penyangga

kehidupan, perlu diadakan penelitian dan inventarisasi, baik terhadap wilayah yang

sudah ditetapkan maupun yang akan ditetapkan.

Menurut Beckman (2004) kawasan penyangga berfungsi untuk melindungi

kawasan konservasi terhadap gangguan dari luar dan melindungi kawasan konservasi

terhadap gangguan kawasan permukiman. Taman Nasional yang terancam perubahan

oleh tata guna lahan atau gangguan lainnya, maka dibentuk zona penyangga (buffer

zone) merupakan zona untuk melindungi Taman Nasional dari gangguan yang berasal

dari luar maupun dari dalam Taman Nasional (Wiratno,1994).

Wiratno (1994) menyatakan bahwa penetapan zona penyangga dilakukan hanya

apabila suatu Taman Nasional banyak mendapatkan tekanan. Bahkan pada tingkat yang

lebih parah, dapat pula dibentuk suatu zona transisi (transition zone), sehingga di suatu

kawasan Taman Nasional akan terdapat zona taman (core zone), zona penyangga (buffer

zone) dan zona transisi (transition zone). Selanjutnya Wiratno (1994) menyatakan

bahwa pada kawasan penyangga dan kawasan transisi berlangsung pembangunan secara

intens, yang bila tidak dikelola secara baik akan berpengaruh serta menimbulkan

tekanan dan ancaman terhadap eksistensi core zone. Disinilah perlunya koordinasi dan

12
kerjasama berbagai instansi dan institusi agar keberadaan kedua zona dapat mendukung

kelestarian taman.

Menurut Salim (1998) pembangunan zona penyangga untuk menampung

kebutuhan hidup penduduk sekaligus mencegah kerusakan hutan adalah salah satu hal

mendesak dalam pengembangan sebuah Taman Nasional. Adanya kawasan penyangga,

diharapkan penduduk tidak akan memasuki wilayah taman. Segala kebutuhannya akan

di suplay oleh kawasan penyanggga, sehingga keutuhan Taman Nasional dapat terjaga.

Wiratno (1994) menyatakan bahwa zona penyangga dapat berperan sebagai

suatu kantong yang menyediakan berbagai bentuk lapangan kerja bagi penduduk desa-

desa sekitar. Kesejahteraan penduduk meningkat, kesempatan mereka masuk ke dalam

Taman Nasional bisa terkurangi seminimal mungkin. Kondisi ini diperkuat dengan

peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Suaka Alam dan kawasan

Pelestarian Alam, kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik

di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan

pengawet keanekaragaman tumbuhan dan satwa seta ekosistemnya juga sebagai

wilayah penyangga hidup.

Salah satu wilayah yang sedang mengalami masalah dengan perambahan hutan

adalah di Pulau Bintan Provinsi Riau Kepulauan. Pada Tahun 2015 berdasarkan

pendataan program Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan

Pemanfaatan Tanah (IP4T) didapatkan hasil bahwa terdapat 9000 bidang tanah

masyarakat berada di dalam kawasan hutan, dan sampai saat ini proses pelepasan dari

kawasan hutan agar dapat dimiliki oleh masyarakat sedang berlangsung dan belum ada

kepastian (BPN Kabupaten Bintan, 2015) Kenyataan ini akan dapat ditekan seminimal

13
mungkin apabila kawasan penyangga hutan ditentukan dengan tegas dan pengawasan

yang ketat terhadap peraturan yang telah dibuat. Berdasarkan uraian di atas kiranya

perlu dilakukan pembuatan model “buffer zone” yang ideal di antara tanah kawasan

hutan lindung dan tanah milik agar keberadaan hutan tetap lestari dan terdapat

keserasian penataan ruang di suatu kawasan tertentu. Keberadaan “buffer zone” sudah

menjadi kemestian agar perambahan ke hutan lindung dapat dicegah namun masyarakat

tetap dapat memanfaat areal “buffer zone” dengan pengaturan yang ketat.

I.2. RUMUSAN MASALAH

Timbulnya permasalahan di sekitar kawasan hutan seringkali disebabkan karena

ketidakjelasan tanda batas antara tanah milik masyarakat dengan tanah kehutanan,

perambahan masyarakat pada tanah kehutanan karena kebutuhan hidup yang semakin

meningkat, sementara masyarakat tidak memiliki tanah yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan kehidupannya. Untuk mengantisipasi kejadian ini pemerintah dalam

menentukan kawasan hutan perlu untuk menetapkan kawasan penyangga hutan lindung

dan kawasan ini dapat dimanfaatkan sumber daya alamnya oleh masyarakat tanpa

masyarakat harus menguasai tanah dengan kepemilikan haknya.

Kawasan penyangga (“buffer zone”) merupakan kawasan yang dapat dimanfaatan

oleh penduduk sekitar hutan lindung tentu harus memenuhi kriteria peraturan yang telah

ditetapkan. Namun seberapa lebar sabuk dari “buffer zone” menjadi persoalan yang

menarik untuk dikaji, karena tekanan penduduk dengan berbagai kebutuhan, apabila

lebar sabuk “buffer zone” tidak ideal akan menyebabkan kesia-siaan dengan adanya

kawasan penyangga ini. Untuk itu perlu dikaji Faktor-faktor yang mempengaruhi

14
penentuan “buffer zone” dan Lebar ideal sabuk dari “buffer zone” agar kawasan hutan

dapat dilindungi.

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan “buffer zone”

2. Membuat model lebar sabuk yang ideal dari “buffer zone” agar kawasan hutan

lindung aman terhadap perambahan.

I.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Pertimbangan praktis pembuatan lebar sabuk “buffer zone” dalam kawasan hutan

yang lestari.

2. Bahan kajian keilmuan dalam pembuatan model “buffer zone” yang sesuai fakta di

lapangan

I.5. NOVELTY (KEBAHARUAN PENELITIAN)

Kebaharuan penelitian dapat dilihat dengan membandingkan penelitian yang

sudah dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan.Adapun penelitian terdahulu

yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Deni Susilawati (2008)

15
Penelitian Deni Susilawati dengan judul “Analisis Dampak dan Faktor yang

Mempengaruhi Perambahan Hutan (Studi Kasus di Desa Bulu Hadik, Kecaatan

Teluk Dalam, Kabupaten Simeulue, NAD). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dampat perambahan hutan dan mengetahui faktor penyebab terjadinya

perambahan hutan di Desa Bulu Hadik Kecamatan Teluk DalamKabupaten

Simeulue, NAD yang dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan Juni 2008. Metode

yang digunakan adalah metode analisis regresi binary logistic, analisis deskriptif

dan uji t dua sampel berpasangan dengan jumlah sampael 102 responden. Hasil

penelitian menunjukkan bahawa serangan hama merusak tanaman padi masyarakat

dan sering terjadinya kekeringan dari 102 responden terdapat 40,19% masyarakat

Desa Bulu Hadik mengalami penurunan hasil pertanian, 17,64% tetap, 21,56 %

meningkat dan 20,58% tidak bertani. Faktor ekonomi dan lingkungan merupakan

faktor yang mempengaruhi perambahan hutan.

2. Listyarini, Nindya Sari, Fauzul Rizal Sutikno (2011)

Penelitian ini berjudul” Optimalisasi Fungsi Daerah Penyangga Kawasan Taman

Hutan Raya Raden Soerjo (Studi Kasus: Desa Sumber Brantas Kota Batu”. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik Desa Sumber Brantas serta

menentukan strategi untuk mengoptimalkan fungsi desa sebagai daerah penyangga.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, evaluative dan analisis

pengembangan.Dari penelitian ini diketahui karakteristik pemanfaatan lahan di

Desa Sumber Brantas kurang sesuai dengan fungsinya sebagai daerah penyangga

karena dimanfaatkan untuk lahan pertanian hortikultura. Hal ini disebabkan karena

masyarakat desa belum memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengelola

16
lahan di daerah penyangga. Oleh karena itu diperlukan pengaturan pemanfaatan

lahan di Desa Sumber Brantas dengan menetapkan ketentuan dalam memanfaatkan

lahan dan memberdayakan masyarakat desa sebagai pelaku utama dalam kegiatan

pemanfaatan lahan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya

dapat disimpulkan bahwa penelitian yang berkaitan dengan kawasan penyangga lebih

banyak membahas tentang pengelolaan kawasan penyangga. Penelitian tentang lebar

sabuk kawasan penyangga masih jarang dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan

dengan judul “Model Buffer Zone Antara Hutan Lindung Dan Tanah Milik Guna

Penataan Ruang Yang Lestari

(Studi Kasus Di Pulau Bintan Provinsi Riau Kepulauan)” akan lebih banyak membahas

lebar sabuk dikaitkan dengan faktor yang menyebabkan perambahan hutan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

17
II.1. Model

Pendit (2011) menyatakan bahwa model adalah merupakan bagian dari tahap

pengembangan teori, atau disebut juga proto-theory. Di dalam sebuah penelitian, model

membantu peneliti mengungkapkan jalan pikirannya tentang suatu subjek tertentu.

Kadang kala, berbagai model dibuat oleh para ilmuwan di bidang tertentu dan menjadi

semacam panduan teoritis yang menuntun semua jenis penelitian di bidang tersebut.

Setelah sekian lama teruji dalam beberapa penelitian, akhirnya model-model tersebut

dapat saja diterima sebagai sebuah teori yang utuh. Model juga dapat digunakan sebagai

stand in dari kata ”teori”, sebagai mini-teori, dan sebagai cara sederhana

merepresentasikan sesuatu yang sangat komplek dari teori.

Sebuah model adalah reprentasi sebuah kerangka teori. Teori dapat menyiratkan

lebih dari satu model tetapi sebuah model tidak dapat mempunyai banyak teori yang

diwakili, atau dapat dikatakan bahwa model adalah level lebih rendah dari teori. Tidak

terdapat perbedaan antara suatu teori dan suatu model. Teori adalah abstrak dan model

adalah konkrit.

Silverman (dalam Rana, 2013) menyatakan bahwa sebuah model sebenarnya

merupakan “kerangka kerja” yang dapat dipakai untuk menguraikan sebuah persoalan

yang sedang diteliti. Dimungkinkan dalam sebuah model terdapat beberapa konsep

pemikiran yang menjadi bagian utama dari sebuah teori tertentu. Dengan kata lain,

sebuah model seringkali disebut sebagai bentuk praktis dari sebuah teori; sebagai

semacam “terjemahan” teori yang langsung dapat dipakai pada sebuah penelitian

tertentu (Pendit, 2011). Selain sebagai kerangka berpikir, model sering digunakan

sebagai bagian dari upaya menemukan pola (pattern) atau pemetaan (maaping).
18
Rana (2013) menyatakan bahwa sebuah model adalah susunan sederhana dari

realitas, yang menyajikan sebuah dugaan kenampakan penting yang berkaitan dengan

bentuk umum. Model adalah perkiraan yang mempunyai subjektivitas tinggi, yang tidak

mencakup semua pengamatan atau pengukuran yang terkait, tetapi cukup bernilai dalam

memenuhi keperluan saat tertentu dengan menampakkan beberapa aspek mendasar dari

dunia nyata. Selektivitas terhadap beberapa aspek tertentu mengakibatkan model

memiliki berbagai tingkat probabilitas dan keterbatasan kondisi pada saat model

diterapkan. Nilai model sering berhubungan dengan tingkat abstraksi, maka semua

model membutuhkan perbaikan sebagai informasi baru atau pandangan realitas yang

muncul. Model yang berhasil adalah model yang dibentuk dengan memperhatikan

perbaikan dan melibatkan bentuk model lain yang berbeda (Chorley & Hagget, 1967).

Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau

dihasilkan (Departemen P dan K, 1984 dalam Chairullah, 2005). Simamarta (1983)

dalam Chairullah (2005) mendefinisikan model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya,

dalam bentuk yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat

menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan

perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya.

Berdasarkan penjelasan tentang model, maka dapat disimpulkan bahwa:

1) model merupakan kerangkan kerja yang dapat dipakai untuk menguraikan persoalan

yang sedang diteliti;

2) suatu model dapat dianggap sebagai ekspresi formal dari teori;

19
3) suatu model adalah sebuah bentuk yang sederhana dari realitas yang

merepresentasikan kenampakan penting yang duga atau hubungan dalam bentuk

umum;

4) model adalah pendugaan yang memiliki subjektivitias tinggi dan tidak mencakup

semua aspek pengamatan atau pengukuran, tetapi dapat digunakan untuk mewakili

beberapa aspek mendasar dari realitas;

5) model memiliki berbagai tingkat probabilitas dan keterbatasan kondisi pada saat

model diterapkan;

6) model yang berhasil memiliki probabilitas tinggi dalam penerapannya dan sesuai

dalam berbagai kondisi.

Model berbeda dengan realitas atau perkiraan dari realitas. Model yang baik

adalah sejalan dengan realitas. “Benar” atau “salah” dalam penjelasan model tidak

digunakan, tetapi digunakan istilah “sesuai” atau “signifikan”. Dalam penelitian ini

model yang digunakan adalah pendugaan yang memiliki subjektivitas tinggi dan tidak

mencakup aspek pengamatan atau pengukuran, tetapi dapat digunakan untuk mewakili

beberapa aspek yang mendasar dari realitas. Model yang dimaksud adalah model pola

yang terbentuk dari hasil ovelay peta akibat perambahan hutan.

II.2. “Buffer Zone”

Di dalam UU No 5 Tahun 1990 pada Penjelasan Pasal 8 ayat 1 menyatakan

bahwa: Perlindungan sistem penyangga (“buffer zone”) kehidupan dilaksanakan dengan

cara menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan. Guna

pengaturannya pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan pemanfaatan wilayah


20
tersebut sehingga fungsi perlindungan dan pelestariannya tetap terjamin. Wilayah

perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi antara lain hutan lindung, daerah

aliran sungai, areal tepi sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi

eksklusif Indonesia, daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi berat. Pemanfaatan

areal atau wilayah tersebut tetap pada subyek yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu

harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan Pemerintah. Dalam menetapkan wilayah

tertentu sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, perlu diadakan penelitian dan

inventarisasi, baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan maupun yang akan

ditetapkan.

Menurut Beckman (2004) kawasan penyangga berfungsi untuk melindungi

kawasan konservasi terhadap gangguan dari luar dan melindungi kawasan konservasi

terhadap gangguan kawasan pemukiman. Taman Nasional yang terancam perubahan

oleh tata guna lahan atau gangguan lainnya, maka dibentuk zona penyangga (buffer

zone) merupakan zona untuk melindungi Taman Nasional dari gangguan yang berasal

dari luar maupun dari dalam Taman Nasional (Wiratno,1994).

Wiratno (1994) menyatakan bahwa penetapan zona penyangga dilakukan hanya

apabila suatu Taman Nasional banyak mendapatkan tekanan. Bahkan pada tingkat yang

lebih parah, dapat pula dibentuk suatu zona transisi (transition zone). Sehingga di suatu

kawasan Taman Nasional akan terdapat zona taman (core zone), zona penyangga (buffer

zone) dan zona transisi (transition zone). Selanjutnya Wiratno (1994) menyatakan

bahwa pada kawasan penyangga dan kawasan transisi berlangsung pembangunan secara

intens, yang bila tidak dikelola secara baik akan berpengaruh serta menimbulkan

tekanan dan ancaman terhadap eksistensi core zone. Disinilah perlunya koordinasi dan

21
kerjasama berbagai instansi dan institusi agar keberadaan kedua zona dapat mendukung

kelestarian Taman.

Menurut Salim (1998) pembangunan zona penyangga untuk menampung

kebutuhan hidup penduduk sekaligus mencegah kerusakan hutan adalah salah satu hal

mendesak dalam pengembangan sebuah Taman Nasional. Selanjutnya Salim (1998)

menyatakan bahwa dengan adanya kawasan penyangga, diharapkan penduduk tidak

akan memasuki wilayah taman. Segala kebutuhannya akan di suplay oleh kawasan

penyanggga, sehingga keutuhan Taman Nasional dapat terjaga.

Wiratno (1994) menyatakan bahwa zona penyangga dapat berperan sebagai

suatu kantong yang menyediakan berbagai bentuk lapangan kerja bagi penduduk desa-

desa sekitar. Selanjutnya Wiratno (1994) menyatakan bila kesejahteraan penduduk

meningkat, kesempatan mereka masuk ke dalam Taman Nasional bisa terkurangi

seminimal mungkin. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang

Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam, kawasan suaka alam adalah kawasan

dengan ciri khas tertentu baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi

pokok sebagai kawasan pengawet keanekaragaman tumbuhan dan satwa seta

ekosistemnya juga sebagai wilayah penyangga hidup. Apabila kawasan penyangga ini

dikaitkan dengan kehutanan, maka kawasan hutan yang menjadi wilayah peralihan

antara hutan lindung dan hutan produksi.

Zona penyangga yang digunakan dalam penelitian ini adalah zona yang

membatasi kawasan hutan lindung dan tanah milik masyarakat disekitar hutan. Zona ini

dipilih agar kawasan lindung nantinya dapat terlindungi dari perambahan hutan oleh

22
masyarakat sekitar hutan. Kawasan konservasi tidak digunakan karena kawasan ini

seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga perlu lebih jauh ke kawasan lindung.

II.3. Kawasan Hutan

Kawasan hutan di Indonesia mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi

konservasi; fungsi lindung; dan fungsi produksi. Pada umumnya semua hutan

mempunyai fungsi konservasi, lindung dan produksi. Setiap wilayah hutan mempunyai

kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna serta

keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Di Indonesia telah ditetapkan ketiga fungsi

Kawasan Hutan tersebut menjadi fungsi pokok dari hutan. Yang dimaksudkan dengan

fungsi pokok adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan. Fungsi pokok dari

hutan Indonesia adalah: 1) fungsi pokok sebagai hutan konservasi; 2) fungsi pokok

sebagai hutan lindung: 3) fungsi pokok sebagai hutan produksi

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 8 mendefinisikan hutan lindung

sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem

penyangga kehidupan, yaitu untuk: mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah.

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Pasal 26 menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan

lindung dapat dilakukan dengan tidak merusak lingkungan ataupun mengurangi fungsi

utama kawasan, melalui pemberian izin usaha, yaitu untuk: Pemanfaatan kawasan,

misalnya: budidaya jamur, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman

hias; Pemanfaatan jasa lingkungan, misalnya: pemanfaatan untuk wisata alam,

23
pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan; Pemungutan hasil hutan

bukan kayu, misalnya: mengambil rotan, mengambil madu, mengambil buah.

Tujuan utama pemanfaatan hutan lindung adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk

menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung bagi generasi sekarang dan yang akan

datang.

Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari: 1) Hutan produksi tetap (HP)

adalah : hutan yang dapat di eksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih maupun

dengan cara tebang habis; 2) Hutan produksi terbatas (HPT) adalah : merupakan hutan

yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. Hutan Produksi Terbatas

merupakan hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah.

Hutan produksi terbatas ini umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng -

lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan; 3) Hutan Produksi Yang Dapat

Dikonversi (HPK).

Berdasarkan pembagian tentang fungsi kawasan hutan maka dipilihnya kawasan

lindung sudah sangat cocok dengan tujuan dari beradaan hutan lindung adalah

menlindungi kelestarian kawasan hutan dari aspek pengendali erosi, menjaga

keberadaan sumber air yang abadi dan meningkatkan fungsi hutan untuk generasi yang

akan dating.

24
II.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perambahan tanah kehutanan

Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah perambahan hutan di sekitar hutan

maupun dikawasan hutan. Menurut Tanjung (2006), terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan masyarakat melakukan perambahan hutan, yaitu: faktor eknomi, faktor

pendidikan, faktor kesuburan tanah, adanya sponsor, keterbatasan pengawas kehutanan,

dan pelaksanaan sanksi hukum.

1) Faktor Ekonomi

Masyarakat desa pada umumnya hanya mengandalkan sumber mata

pencahariannya dari sektor pertanian. Keterbatasan tanah yang dimiliki oleh setiap

keluarga serta peningkatan kebutuhan hidup, menyebabkan sebagian masyarakat yang

kurang mampu melakukan perambahan hutan untuk perluasan area pertaniannya.

2) Faktor Pendidikan dan pengetahuan

Para perambah hutan pada umumnya berpendidikan rendah, sehingga

menyebabkan rendahnya penyerapan anggota masyarakat terhadap informasi yang

didengar atau dilihatnya.

3) Faktor Kesuburan Tanah

Tingkat kesuburan tanah kawasan hutan umumnya tinggi, ditambah lagi

keterbatasan penguasaan tanah masyarakat disekitar hutan yang terbatas, maka

menyebabkan masyarakat merambah tanah milik kehutanan,

4) Adanya Sponsor

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa masyarakat melakukan perambahan hutan,

seperti pencurian kayu, dan hasil hutan yang lain, karena terdapat sponsor yang

menampung hasil perambahan tersebut.

25
5) Keterbatasan Pengawas Kehutanan

Maraknya perambahan hutan salah satunya karena petugas pengawas kehutanan

yang terbatas, sehingga dengan luasan hutan yang ada tidak dapat terawasi dengan baik,

ditambah lagi keterbatasan alat telekomunikasi yang dimiliki petugas.

6) Pelaksanaan Sanksi Hukum

Pelaksanaan sanksi hukum yang yang tidak tegas merupakan alasan masyarakat

seringkali melakukan perambahan hutan yang berulang. Kasus perambahan hutan sudah

berlangsung bertahun-tahun namun tidak segera diambil tindakan yang tegas, bahkan

sampai turun-temurun merupakan hal yang terjadi di masyarakat.

Penelitian tentang lebar sabuk penyangga di sekitar hutan belum banyak

dilakukan, dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian dengan mengambil faktor-

faktor yang dikemukan oleh Tanjung (2006). Dipilihnya pendapat Tanjung ini karena

faktor-faktor yang menyebabkan perambahan menurut analisis peneliti memang karena

faktor-faktor tersebut.

II.5. Penataan Ruang Hutan lestari

Tata kelola hutan lestari tidak dapat dilepaskan dari unsur pengelola. Hutan

yang hanya diorentasikan kepada pemanfaatan hutan melalui pemberian izin semata

dengan cara membagi-bagi seluruh kawasan hutan produksi. Tata kelola harus dilihat

dari proses keserasian antara pengukuhan dan penetapan kawasan hutan dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), sehingga pengelolaan hutan dilihat

sebagai sebuah “landscape” ekonomi, politik, sosial dan tata ruang yang utuh.

26
Analisis BAPPENAS di tahun 2010 terkait permasalahan mendasar pada sektor

kehutanan Indonesia menunjukan bahwa tata kelola yang buruk, ketidakjelasan hak

tenurial, serta lemahnya kapasitas dalam manajemen hutan (termasuk penegakan

hukum) menjadi permasalahan mendasar pengelolaan hutan di Indonesia. Sesuai

dengan Rencana Strategi Kemenhut 2010-2014, maka terdapat prioritas untuk

menyelamatkan hutan yaitu: (1) Pemantapan kawasan hutan yang berbasis pengelolaan

hutan lestari, (2) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS, (3)

Perlindungan dan pengamanan hutan, (4) Konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya, (5) Revitalisasi hutan dan produk kehutanan, (6) Pemberdayaan

masyarakat di sekitar hutan, (7) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor

kehutanan, dan (8) Penguatan kelembagaan kehutanan.

Sistem pengelolaan yang dirasa tidak efektif mendorong terjadinya tingkat

deforestasi yang tinggi mendorong lahirnya sistem pengelolaan unit terkecil di tingkat

tapak yang diamanatkan oleh UU nomor 41/1999 pasal 10, 12, dan 17 ayat (1) yang

sekarang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep dasar dari KPH adalah

menggeser peran birokrat kehutanan dari peran administratur (Forest Administrator)

menjadi peran manajerial (Forest Manager) sehingga diharapkan meningkatkan

transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014).

Konsep KPH, diharapkan menjadi dasar agar terlaksananya sistem pengelolaan hutan

yang lestari dan berkeadilan.

Pembentukan KPH juga diharapkan mampu dijadikan sebagai peluang bagi

resolusi konflik yang selama ini cenderung mengedepankan kepentingan pemodal besar

dan mengabaikan akses masyarakat (Srijono dan Djajono 2010; Syukur 2012). Dalam
27
konteks ini KPH diharapkan berperan dalam konteks perbaikan tata kelola hutan yang

menjamin kepastian usaha dan juga keadilan bagi masyarakat adat/lokal.

Berdasarkan Permenhut P.6/2010 tentang Norma, Standard, Prosedur dan

Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL (lindung) dan KPHP (produksi), maka fungsi

kerja KPH dalam kaitannya dengan tatakelola hutan di tingkat tapak adalah: (1)

Melaksanakan penataan hutan dan tatabatas di wilayah KPH, (2) Menyusun rencana

pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi

KPH, (3) Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kerja pengelolaan hutan

yang dilaksanakan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan

hutan, (4) Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan, (5) Melaksanakan

perlindungan hutan dan konservasi alam, (6) Melaksanakan pengelolaan hutan bagi

KPH yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), (7)

Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan, (8)

Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan kawasan, (9)

Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan

lestari.

Hutan lestari merupakan hutan yang dapat memberikan banyak kepada manusia

yang hidup saat sekerang dan yang akan datang, dengan pengelolaan hutan lestari di

kawasan hutan secara tidak langsung ikut melakukan penataan ruang, sehingga fungsi

hutan dapat maksimal.

28
II.6. Kerangka Teori

Kawasan penyangga hutan merupakan kawasan yang dibutuhkan agar

perambahan masyarakat terhadap hutan lindung dapat diminimalisir. Kawasan

penyangga ini sudah semestinya dikelola sebaiknya mungkin, sehingga masyarakat

dapat memanfaatkan sumber daya yang yang terdapat dikawasan ini seoptimal mungkin

agar kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perambahan hutan adalah kepadatan

penduduk, pendapatan keluarga, tingkat pendidikan keluarga, tingkat kesuburan tanah,

jumlah sponsor perambahan hutan (pemodal), jumlah sanksi hukum, jumlah petugas

pengawas kehutanan. Faktor penentuan lebar sabuk” buffer zone” dapat didekati

dengan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan perambahan hutan.

Regresi Linear Berganda dapat digunakan untuk menentukan model matematis faktor-

faktor yang mempengaruhi penentuan “buffer zone”. Perangkat lunak ArcGIS

digunakan untuk simulasi lebar sabuk “buffer zone” yang ideal untuk penataan ruang

yang lestari. Adapun Kerangka berpikir terdapat pada Gambar 2.1.

29
Masyarakat Sekitar Hutan Tanah

Petani/Memanfaatkan Tanah
Tanah Negara

Jumlah Sosial ekonomi


Penduduk budaya Tanah Tanah Tanah Non
Milik Kehutanan Kehutanan

Kebutuhan Terbatas Tanah


Hidup Petani untuk Bertani Kebijakan

Tidak Terjadi Perambahan Perambahan


tan
Penyangga

Lebar Zona penyangga/


Ukuran Buffer Zone

Gambar 2.1. Kerangka berpikir

II.7. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan, tinjauan pustaka, maka dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian:

1. Apakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penentuan perambahan hutan

lindung di Pulau Bintan?

2. Bagaimana model “Buffer Zone” yang sesuai kondisi fisik di lapangan?

30
BAB III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Penelitian survei

adalah penelitian yang digunakan untuk tujuan penjelasan (explanatory atau

confirmatory), yaitu menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis

berdasarkan data di lapangan (Singarimbun & Effendi, 1989). Pada penelitian ini

digunakan pendekatan Sosio-ekonomi dan pendekatan spasial. Uraian pada metode

penelitian ini mencakup lokasi penelitian, variabel penelitian, data, bahan dan alat,

prosedur pelaksanaan penelitian, cara pengumpulan data dan pengolahan data, dan

analisis hasil.

3.1. Lokasi Penelitian

Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang terletak di Provinsi Riau

Kepulauan. Pulau Bintan terdiri dari dua wilayah administratif yaitu Kota Tanjung

Pinang dan Kabupaten Bintan.

Kabupaten Bintan dengan batas wilayahnya : Sebelah Barat berbatasan dengan

Kota Tanjungpinang dan Kota Batam, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi

Kalimantan Barat, Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Natuna, Sebelah

Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lingga. Kabupaten Bintan dengan ibukota di

Bintan Buyu memiliki luas 1.739,44 Km2 yang terbagi dalam 51 Desa/ Kelurahan dan

10 Kecamatan, yaitu: Kecamatan Teluk Bintan, Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan

Teluk Sebong, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kecamatan Bintan Timur, Kecamatan

Gunung Kijang, Kecamatan Mantang, Kecamatan Bintan Pesisir, Kecamatan Toapaya,

dan Kecamatan Tambelan.

31
Kota dengan luas wilayah 239,50 km2. Batas-batas wilayah Kota

Tanjungpinang adalah sebagai berikut: Sebelah Utara: Kecamatan Bintan Utara,

Kabupaten Kepulauan Riau dan Kota Batam, Sebelah Selatan: Kecamatan Bintan

Timur, Kabupaten Kepulauan Riau, Sebelah Barat: Kecamatan Galang, Kota Batam,

Sebelah Timur: Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Kepulauan Riau. Peta Pulau

Bintan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Wilayah Pulau Bintan Provinsi Riau Kepulauan

32
3.2. Variabel Penelitian, dan Data Penelitian

3.2.1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari variabel independen dan dependen. Variabel

dependen adalah jarak perambahan ke hutan lindung (Y) dan variabel independen

penelitian ini yaitu: kepadatan penduduk (X1), pendapatan keluarga (X2), tingkat

pendidikan keluarga (3), jenis tanah/batuan (X4), jumlah jiwa dalam keluarga (X5),

lereng (X6).

3.2.2. Data Penelitian

3.2.2.1. Data Primer

Data ini didapatkan dengan pengamatan langsung di lapangan, pengukuran di

atas peta, dan wawancara responden dan informan. Data primer dalam penelitian ini

yaitu: data pendidikan responden, data pendapatan responden, jumlah petugas pengawas

kehutanan di lokasi penelitian, data sponsor di lapangan, jumlah kasus perambahan

hutan yang dijatuhi hukuman, jarak perambahan hutan lindung di tiap sampel penelitian.

3.2.2.2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi: peta kehutanan daerah penelitian,

jumlah dan kepadatan penduduk dalam rentang 5 tahun terakhir, jumlah pengawas

kehutanan di seluruh lokasi penelitian, data perambahan hutan yang masuk pengadilan,

peraturan-paraturan yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.3. Bahan dan Alat

Penelitian akan berhasil dengan baik, jika didukung dengan pengumpulan data

yang lengkap. Untuk itu dibutuhkan bahan dan peralatan yang memadai untuk

pengambilan data.

33
3.3.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: peta administrasi lokasi

penelitian, peta kawasan hutan di pulau Bintan, peta penggunaan tanah pulau Bintan,

Peta Kemampuan Tanah di lokasi penelitian, Peta Pendaftaran tanah di sekitar kawasan

hutan.

3.3.2. Alat

1) Peralatan survai, seperti Global Positioning System (GPS) digunakan penentuan

posisi sampel dan lebar perambahan hutan yang terjadi, kamera digital digunakan

dokumentasi lokasi pengambilan sampel, kompas geologi digunakan orientasi arah,

klinometer digunakan pengukuran kemiringan lahan;

2) Panduan wawancara terstruktur digunakan untuk mendapatkan tingkat pendidikan,

pendapatan keluarga. Pedoman wawancara telah disusun oleh peneliti terlebih

dahulu sebelum mengambil data penelitian setelah dilakukan professional

judgement oleh pihak yang berkompeten dalam penelitian bidang survei.

3) Hardware (PC komputer) digunakan pembuatan laporan akhir, perangkat lunak

Autocad untuk pengukuran jarak di atas peta, dan AcrGIS 10.1 digunakan

pembuatan model “buffer zone ”dan analisis spasial model “buffer zone”, SPSS

digunakan pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi perambahan hutan lindung

di Pulau Bintan.

34
3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahap sebagai

berikut:

1) Tahap pertama, studi literatur untuk penyusunan model teoritis faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap perambahan Hutan Lindung;

2) Tahap kedua, pengumpulan data dengan pengamatan di lapangan seperti wawancara

dengan responden serta informan di lapangan untuk mendapatkan data tingkat

pendidikan responden, data pendapatan responden, jumlah petugas pengawas

kehutanan di lokasi penelitian, data sponsor di lapangan, jumlah kasus perambahan

hutan yang dijatuhi hukuman dan mendapatkan data sekunder seperti peta

kehutanan daerah penelitian, kepadatan penduduk dalam rentang 5 tahun terakhir,

jumlah pengawas kehutanan di seluruh lokasi penelitian, data perambahan hutan

yang masuk pengadilan, peraturan-paraturan yang berkaitan dengan masalah

penelitian;

3) Tahap ketiga, pengujian statistik dengan regresi linear berganda untuk menjawab

tujuan pertama penelitian

4) Tahap keempat, pembuatan model “buffer zone” dengan perangkat lunak ArcGIS

dengan overlay-kan peta administrasi, peta kawasan hutan lindung sesuai

SK.76/MenLHK-II/2016;

5) Analisis Model “buffer zone” dengan ArcGIS untuk mengetahui luasan dan

penggunaaan lahan saat penelitian dilakukan dengan verifikasi data yang didapatkan

lapangan.

35
Prosedur tahapan penelitian secara singkat disajikan pada diagram alir tahapan

penelitian seperti pada Gambar 3.1.

Studi literatur faktor-faktor yang


mempengaruhi perambahan hutan
lindung
Data :
1. Peta Penggunaan lahan 1. Jarak
2015 Penentuan faktor-faktor perambahan
2. Peta Kawasan Hutan mempengaruhi perambahan HL masuk ke HL
Lindung 2. Kepadatan
(SK.76/MenLHK- penduduk
II/2015
3. Peta Administrasi Kab. 3. Data
Bintan dan Kota pendapatan
Tanjungpinang 4. Jenis tanah
Pengujian 5. Data
dengan Regresi pendidikan
Linier 6. Data jumlah
jiwa dalam
Berganda
keluarga
Overlay peta 1,2, dan 3

Faktor-Faktor penentu
perambahan hutan lindung
Model “buffer zone”

Gambar 3.2. Diagram Alir Tahapan Penelitian


Keterangan:

= input data atau hasil = pengujian model dengan regresi berganda


= proses

= arah
.5. Populasi dankerja
Sampel

36
3.5. Populasi, Sampel, Pengumpulan dan Pengolahan Data.

3.5.1. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu 1) jarak perambahan

masuk ke hutan lindung; 2) masyarakat di sekitar hutan yang melakukan perambahan.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik wawancara pada masyarakat yang

merambah hutan dengan kriteria penduduk yang padat, sedang dan tidak padat. Sampel

diambil secara acak terhadap masyarakat di sekitar kawasan hutan. Jumlah sampel yang

diambil adalah 50 responden tersebar di tiga hutan lindung, yaitu Hutan Lindung Batu

Kucing, Hutan Lindung Gunung Kijang dan Hutan Lindung Sungai Pulai.

3.5.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1) Professional judgement bertujuan untuk menilai validitas atau kesahihan tiap isi

atau konten pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara. Penilaian

professional judgement dilakukan oleh seorang ahli penelitian survei. Hasil

penilaian menunjukkan bahwa panduan wawancara yang disusun oleh peneliti

dinyatakan telah sesuai dinilai dari kelengkapan dan kejelasan materi.

2) Data jarak masuk perambahan ke hutan lindung didapatkan data lapangan dan dari

digitasi jarak perambahan ke kawasan hutan dengan perangkat lunak Autodesk Map

2004;

3) Data tingkat pendidikan diperoleh dengan wawancara dengan responden kepala

keluarga yang disekitar hutan.. Data tingkat pendidikan diklasifikasikan seperti

Tabel 3.1.

37
Tabel 3.1. Klasifikasi Tingkat Pendidikan
No Tahun sukses (tahun) Keterangan
1 ≤6 Sangat Rendah
2 6–≤9 Rendah
3 9 – ≤ 12 Sedang
4 >12 Tinggi
Sumber: Modifikasi UU SISDIKNAS RI No. 20 Th. 2003

4) Data jumlah jiwa dalam keluarga adalah jumlah anggota keluarga pada saat

penelitian dilakukan yang didapatkan dari wawancara dengan kepala keluarga yang

menguasai dan menempati lahan di sekitar hutan dan yang menempati tanah

kehutanan;

5) Data kepadatan penduduk didapatkan dari data BPS Kabupaten Bintan lima tahun

terakhir.

6) Data kemiringan lahan didapatkan dengan mengeplotan posisi titik-titik sampel

pada Peta Kemiringan lahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya di atas

peta akan terlihat sampel termasuk kemiringan lahan berapa. Kategorisasi seperti

tampak pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Kategorisasi Kemiringan Lahan


No Kemiringan Lahan Nilai Kategori
1. Datar (0-8 %) 1
2. Sedang (8-15%) 2
3. Miring (15-45%) 3
4. Sangat Miring (> 45%) 4

7) Data kemampuan tanah sampel penelitian didapatkan dengan mengeplotkan posisi

titik-titik sampel dari GPS pada Peta Kemampuan Tanah yang telah disiapkan

sebelumnya. Setelah sampel diplotkan akan tampak sampel terletak pada jenis

38
tanah apa di atas peta jenis tanah. Selanjutnya jenis tanah sampel dikategorisasikan

seperti tampak pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Kategorisasi Jenis Tanah Sampel Penelitian


No Jenis Tanah/Batuan Nilai Kategori
1. Aluvium 1
2. Batu Pasir Tufan 2
3. Andesit 3
4. Granit 4

7). Data penghasilan/pendapatan keluarga didapatkan dari wawancara di lapangan.

3.5.3. Pengolahan Data

1) Seluruh data, baik data primer dan sekunder disusun dalam satu format data

dalam bentuk microsoft excel worksheet dan diolah dengan Program SPSS

2) Berdasarkan hasil pengolahan SPSS kemudian didapatkan faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap perambahan hutan.

3) Pada proses yang lain untuk mendapatkan model “buffer zone” dilakukan

overlay Peta Penggunaan Tanah, Peta Administrasi dan Peta Kawasan Hutan

berdasarkan SK.76/MenLHK-II/2015 dengan bantuan ArcGIS untuk

mendapatkan modelnya “buffer zone”.

3.6. Analisis Hasil


3.6.1. Pengujian dengan Regresi Linier Berganda dengan SPSS

Hasil perhitungan data dengan software SPSS regresi linear berganda digunakan

untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada perambahan hutan lindung untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang pertama.

39
3.6.2. Overlay peta

Overlay peta digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua

tentang model spasial “buffer zone” berdasarkan kondisi penggunaan tanah di lapangan

pada saat penelitian berlangsung, sekaligus untuk analisis luasan “buffer zone” dan

penggunaan riil di lapangan.

40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. GAMBARAN UMUM, POTENSI DAN SEJARAH PULAU BINTAN

Pulau Bintan adalah pulau di provinsi Kepulauan Riau, di mana terdapat Kota

Tanjungpinang, Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Di Pulau ini memiliki tiga

Pemerintahan, Pemerintah Kota Tanjungpinang yang terletak di Senggarang,

Pemerintah Kabupaten Bintan terletak di Bandar Seri Bintan, serta Pemerintahan

Provinsi Kepulauan Riau di Pulau Dompak (Tanjungpinang). Pulau ini berdekatan

dengan negara Singapura.

Bintan adalah pulau terbesar di Kepulauan Riau, yang terdiri dari hampir 3.000

pulau besar dan kecil, terbentang di sebrang Singapura dan Johor Baru, Malaysia. Pulau

ini melebar dari Malaka ke Laut Cina Selatan. Tanjungpinang merupakan ibu kota

provinsi ini, terletak di pantai barat selatan Bintan. Secara strategis terletak di

semenanjung selatan Malaysia di mulut Selat Malaka, kepulauan Riau, dahulu pada

abad pertama masehi, merupakan tempat favorit bagi kapal dagang India dan Cina.

Tujuan wisata teratas di sini adalah Bintan Resor, destinasi wisata berupa pantai

yang spektakuler di utara pulau, dengan luas 23,000 hektare diatas pasir putih yang

menghadap ke Laut Cina Selatan. Pulau ini juga memiliki riwayat yang menarik di

Tanjungpinang dan Penyengat, yang menawarkan kesempatan untuk surfing, bertualang

dan ekowisata untuk pelajar dan keluarga, tetapi juga ideal untuk bersantai dan

kesehatan.

41
Pantai di salah satu resor di Pulau Bintan. Sementara, bagi mereka yang suka

menyelam kepulauan Anambas di Laut Cina Selatan menawarkan lokasi menyelam

yang masih alami, dapat dijangkau dari bandara Tanjungpinang. Sedangkan, kepulauan

Natuna dapat dijangkau dari Batam. Tidak heran lagi, pada abad ke-18, pedagang dari

Eropa, Portugis, Belanda dan Inggris saling bertarung memperebutkan pulau ini. Pada

waktu itu, pulau ini bagian dari Semenanjung Melayu dikuasai oleh Kesultanan Johor-

Riau, yang diduduki secara berganti antara Johor – berada di Malaysia saat ini - dan

pulau Bintan, berada di Indonesia saat ini.

Pada 1884 Inggris dan Belanda menutup pertentangan mereka di pulau ini

dengan menandatangani Treaty of London, yang kemudian semua wilayah teritoris utara

Singapura diberikan pada Inggris, sementara wilayah teritoris selatan Singapura

diserahkan pada Belanda. Sejak saat itu takdir dan sejarah wilayah utara dan selatan

Singapura dipisahkan. Singapura menjadi pusat perkembangan dagang Inggris,

sedangkan Belanda berkonsentrasi di Jakarta dan Jawa, meninggalkan kepulauan

Bintan.

Dalam beberapa dekade, dengan hubungan bersahabat antara Indonesia dan

Singapura, sebuah persetujuan ditanda tangani antara kedua belah pihak untuk

membangun kepulauan Bintan secara bersama-sama yang akan menguntungkan kedua

negara dalam Zona Perdagangan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Bentuk pertama

dari perjanjian ini adalah pembangunan Bintan Resor, destinasi wisata pantai, seluas

23,000 hektare di atas pasir putih Bintan nan indah yang menghadap Laut Cina Selatan.

Disamping itu, Salah satu destinasi wisata dipulau ini adalah pantai Trikora dan Pantai

Lagoi yang telah terkenal di dunia, tercatat lebih dari ratusan ribu turis manca negara

42
mengunjungi Lagoi setiap tahunnya. Kawasan pariwisata Lagoi terletak di Bagian Utara

Pulau Bintan, dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bintan.

Selain wisata, potensi pertanian di Pulau Bintan juga sangat menjanjikan,

terutama pertanian sayuran dataran rendah dan Hortikultura. Potensi pertanian pulau

Bintan, tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Bintan, diantaranya adalah di

Kecamatan Toapaya, Kecamatan Bintan Timur, kecamatan Teluk Sebong dan

Kecamatan Teluk Bintan. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 Tahun 2012

tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Kecamatan Toapaya ditetapkan

sebagai kawasan Agropolitan.

IV.1.1 KABUPATEN BINTAN

Gambar 4.1a. Peta Administrasi Kabupaten Bintan

Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan

Riau, Indonesia. Kabupaten Bintan sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan


43
Riau. Perubahan nama ini dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara Provinsi

Kepulauan Riau dan Kabupaten Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan

korespondensi sehingga nama Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi

Kabupaten Bintan. Perubahan nama Kabupaten Kepulauan Riau menjadi Kabupaten

Bintan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006, tertanggal 23

Februari 2006.

Kabupaten Kepulauan Riau (Bintan) telah dikenal beberapa abad silam tidak hanya di

belahan nusantara ini, tetapi juga di mancanegara. Wilayahnya mempunyai ciri khas

terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar di Laut Cina Selatan. Karena

itulah, julukan “Bumi Segantang Lada” sangat tepat untuk menggambarkan betapa

banyaknya pulau yang ada di daerah ini. Pada kurun waktu 1722-1911, di Kepulauan

Riau terdapat dua kerajaan Melayu yang berkuasa dan berdaulat, yaitu Kerajaan Riau

Lingga yang pusat kerajaannya berada di Daik dan Kerajaan Melayu Riau dengan pusat

pemerintahannya berada di Pulau Bintan.

Jauh sebelum ditandatanganinya Treaty of London, kedua Kerajaan Melayu

tersebut dilebur menjadi satu sehingga menjadi semakin kuat. Wilayah kekuasaannya

pun tidak hanya terbatas di Kepulauan Riau saja, tetapi telah meliputi wilayah Johor dan

Malaka (Malaysia), Singapura dan sebagian kecil wilayah Indragiri Hilir. Pusat

kerajaannya berada di Pulau Penyengat dan menjadi terkenal di Nusantara dan kawasan

Semenanjung.

Setelah Sultan Riau meninggal pada tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda

menempatkan amir-amirnya sebagai Districh Thoarden untuk daerah yang besar

44
dan Onder Districh Thoarden untuk daerah yang agak kecil. Pemerintah Hindia

Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau Lingga dengan Indragiri untuk dijadikan

sebuah Keresidenan yang dibagi menjadi dua Afdelling, yaitu Afdelling Tanjungpinang

yang meliputi Kepulauan Riau – Lingga, Indragiri Hilir dan Kateman yang

berkedudukan di Tanjungpinang dan sebagai penguasa tunggal dan penanggung jawab

dalam Afdelling ini ditunjuk seorang Residen.

Afdelling Indragiri yang berkedudukan di Rengat dan diperintah oleh seorang

Asisten Residen (dibawah) perintah Residen. Dalam tahun 1940 Keresidenan ini

dijadikan Residente Riau dengan dicantumkan Afdelling Bengkalis (Sumatera Timur)

dan sebelum tahun 1945 – 1949 berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda

tanggal 17 Juli 1947 No. 9 dibentuk daerah Zelf Bestur (daerah Riau).

Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera

Tengah tanggal 18 Mei 1950 No. 9/Deprt/1950 menggabungkan diri ke dalam Republik

Indonesia, dan Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai

oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai

berikut, masing-masing, Kewedanan Tanjungpinang meliputi wilayah Kecamatan

Bintan Selatan (termasuk Kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan

Tanjungpinang Timur sekarang), Bintan Utara dan Batam.

Kewedanan Karimun meliputi wilayah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro,

Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang, serta

Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan,

Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.

45
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan No. 26/K/1965 dengan mempedomani

Instruksi Gubernur Daerah Tingkat I Riau tanggal 10 Februari 1964 No. 524/A/194 dan

Instruksi No.16/V/1964 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau

tanggal 9 Agustus 1964 No.UP/247/5/1965, tanggal 15 Nopember 1965

No.UP/256/5/1965 menetapkan bahwa, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1966 semua

daerah Administratif Kewedanan dalam Kabupaten Kepulauan Riau dihapuskan.

Pada tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1983, telah

dibentuk Kota Administratif (Kotif) Tanjungpinang yang membawahi dua kecamatan,

yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur, dan pada

tahun yang sama sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1983 telah pula

dibentuk Kotamadya Batam.

Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut, maka Batam tidak lagi menjadi

bagian Kabupaten Kepulauan Riau. Berdasarkan Undang-Undang No. 53 tahun 1999

dan diperbaharui dengan UU No. 13 tahun 2000, Kabupaten Kepulauan Riau

dimekarkan lagi menjadi 3 kabupaten yakni, Kabupaten Kepulauan Riau (Bintan),

Kabupaten Karimun dan Kabupaten Natuna.

Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 2001, terhitung 17

Oktober 2001, Kota Administratif Tanjungpinang ditingkatkan statusnya menjadi Kota

Otonom yang terpisah dari Kabupaten Kepulauan Riau dengan memiliki empat

kecamatan, yakni Kecamatan Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang Timur,

Tanjungpinang Kota dan Bukit Bestari.

46
Secara Geografis Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang

Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Timur.

Kabupaten ini memiliki sejumlah potensi di bidang pariwisata, industri, perikanan,

pertambangan dan Peternakan. Dibidang pariwisata, iklim dan kondisi alam yang

eksotis menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan mancanegara.

Misalnya Lagoi yang memiliki pemandangan laut dan pantai yang telah menarik minat

lebih dari 40.000 wisatawan mancanegara. Dilahan seluas 23.000 ha terdapat 7 hotel

bertaraf internasional, 2 Resort dan 2 lapangan golf bertaraf internasional dengan 36

hole.

Untuk menarik minat investor, pemerintah setempat telah mengalokasikan lahan

seluas 500 ha di Kijang dan 100 ha di Bintan Barat sebagai areal hutan industri dan

pengembangan pantai. Pengembangan pariwisata dilakukan dengan bekerja sama

dengan Singapura untuk membangun Bintan Utara.

Pada sektor industri, Kabupaten ini mempunyai kawasan industri di Lobam sebagai

salah satu hasil dari kerjasama ekonomi antara Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Terdapat 4000 ha lahan yang dipakai oleh 18 perusahaan elektronik, 14 perusahaan

garmen dan lain-lain.

Industri perikanan juga berperan penting di kabupaten ini dengan didukung oleh

luas wilayah perairan seluas 95%. Para investor disarankan untuk mengembangkan

sektor ini di wilayah timur, yaitu di wilayah Tambelan dengan 54 pulau. Wilayah ini

cocok untuk perikanan dan budidaya terumbu karang seluas 117,480 ha. Pariwisata laut

cocok untuk wilayah ini dengan didukung oleh pasir pantai yang bersih dan putih.

47
Pada sektor peternakan, Kabupaten Bintan merupakan daerah yang sangat

potensial dalam pengembangan ternak sapi (jenis sapi Bali), kambing, babi, itik dan

ayam (buras dan ras pedaging/petelur) sebagai penyuplai pasokan bahan pangan asal

hewan di Kepulauan Riau, khususnya untuk daerah perkotaan seperti Kota Kijang, Kota

Tanjung Uban dan Kota Tanjungpinang. Tercatat populasi ternak Sapi di Bintan hampir

mendekati 1000 ekor pada tahun 2010, angka ini akan diupayakan untuk terus

meningkat seiring dengan tingginya permintaan daging dan permintaan sapi, khususnya

sapi potong pada saat hari raya Idul Adha (Hari Raya Kurban). Ayam Buras: 199.383

ekor, Kambing: 900 ekor, Itik: 3.663 ekor, Babi: 3.500 ekor, Ayam Ras Petelur: 265.700

ekor dan Ayam Ras Pedaging: 2.499.700 ekor. Untuk menjaga kesehatan ternak, di

Kabupaten Bintan terdapat 5 orang Dokter Hewan dan dibantu oleh beberapa

paramedis veteriner dengan ditunjang oleh 2 buah sarana Pos Kesehatan Hewan

(Poskeswan) yang berlokasi di Desa Sri Bintan dan Desa Ekang Anculai Kecamatan

Teluk Sebong, selain Poskeswan, di Kabupaten Bintan juga terdapat Rumah Potong

Hewan Unggas (RPHU) yang berlokasi di Kecamatan Bintan Utara.

Berbicara tentang sejarah berdirinya Kecamatan Bintan Utara maka sama tuanya

dengan kita membicarakan pendirian Provinsi Sumatera Bagian Tengah, Sumatera

Bagian Utara dan Sumatera Bagian Selatan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1948 yang ditandatangani Presiden RI pertama Ir Soekarno tentang pembagian Pulau

Sumatera menjadi 3 (tiga) Provinsi. Kemudian melalui Surat Ketetapan Delegasi

Republik Indonesia Provinsi Sumatera Tengah Nomor 9/Dper/ket/50 tanggal 8 Mei

1950, tentang penggabungan diri Kepulauan Riau kedalam pemerintahan Republik

Indonesia. Kemudian Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang
48
dikepalai oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan

sebagai berikut:

1. Kewedanan Tanjungpinang meliputi Kecamatan Bintan Selatan, Bintan Timur,

Bintan Utara, Galang dan Batam.

2. Kewedanan Karimun meliputi Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.

3. Kewedanan Lingga meliputi Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.

4. Kewedanan Pulau Tujuh meliputi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai,

Serasan,Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.

Tiga puluh tiga tahun kemudian, Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 31 Tahun 1983 tentang Pembentukan Kota Administratif

Tanjungpinang, Kabupaten/Daerah Tingkat II Kepulauan Riau yang membawahi 2

(dua) kecamatan

1. Kecamatan Tanjungpinang Barat

2. Kecamatan Tanjungpinang Timur

Dengan keluarkan PP ini maka Kecamatan Bintan Selatan dihapuskan dan

berubah menjadi Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang

Timur. Dan pada tahun yang sama sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34

Tahun 1983 telah pula dibentuk Kotamadya Administratif Batam. Dengan adanya

pengembangan wilayah tersebut maka Batam tidak lagi menjadi bagian dari wilayah

Kabupaten Kepulauan Riau.

Disaat bupati Kepulauan Riau dijabat oleh Kolonel (Caj) H Abdul Manan

Saiman pada tahun 1990, dibuat kebijakan pembagian daerah administratif Kabupaten

49
Daerah Tingkat II kepulauan Riau menjadi 4 Pembantu Bupati. Di mana Pembantu

Bupati Wilayah I Pulau Tujuh berkedudukan di Ranai terdiri dari Kecamatan Bunguran

Timur, Bunguran Barat, Jemaja, Siantan, Tambelan, Midai dan Serasan.

Pembantu Bupati Wilayah II Karimun terdiri dari Kecamatan Karimun, Kundur

dan Moro. Sedangkan Pembantu Bupati Wilayah III Dabo terdiri dari Kecamatan

Singkep, Lingga dan Senayang. Sementara Pembantu Bupati Wilayah IV Tanjunguban

terdiri dari Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Bintan Timur dan Galang.

Pasca lengsernya Rezim Orde Baru pada Tahun 1998, Indonesia memasuki Orde

Reformasi. Telah terjadi perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang

paling dirasakan oleh masyarakat adalah dalam kehidupan berdemokrasi. Kebijakan

tentang pemerintahan daerah dievaluasi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 yang ditandatangani Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 7

Mei 1999.

Pasal 5 Ayat 2 pada undang-undang tersebut menjadi pemicu lahirnya ratusan

daerah otonomi baru, baik kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia. Data

menunjukkan bahwa hingga Juni 2009, sudah terbentuk 7 provinsi baru di Indonesia,

399 kabupaten dan 98 kota yang tersebar dari Sabang hingga Marauke, termasuk di

Kepri.

Hanya berselang 5 bulan kemudian atau tepatnya tanggal 4 Oktober 1999,

Presiden BJ Habibie mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 53 Tahun 1999 yang

menyetujui pemekaran 3 kabupaten baru dari Kabupaten Kepulauan Riau. Pertama,

50
Kabupaten Karimun yang terdiri dari Kecamatan Karimun, Kecamatan Moro dan

Kecamatan Kundur.

Kedua, Kabupaten Natuna yang terdiri dari Kecamatan Kecamatan Jemaja,

Kecamatan Siantan, Kecamatan Bunguran Barat, Kecamatan Bunguran Timur,

Kecamatan Serasan dan Kecamatan Midai atau dulu dikenal dengan nama Kecamatan

Pulau Tujuh.

Terakhir, Kotamadya Batam (definitif) yang terdiri dari Kecamatan Belakang

Padang, Kecamatan Batam Barat, Kecamatan Batam Timur dan sebagian wilayah

Kabupaten Kepulauan Riau yang terdiri atas sebagian wilayah Kecamatan Galang, yang

meliputi Desa Rempang Cate, Desa Sembulang, Desa Sijantung, Desa Karas dan Desa

Pulau Abang.

Selain itu wilayah pemerintah Kotamadya Batam juga mengambil sebagian wilayah

Kecamatan Bintan Utara, yang meliputi sebagian wilayah Desa Galang Baru, yaitu

Pulau Air Raja dan Pulau Mencaras dan Desa Subang Mas.

Dengan terbentuknya ketiga kabupaten/kota baru tersebut maka wilayah

Kabupaten Kepulauan Riau menjadi 9 kecamatan, terdiri dari Kecamatan Singkep,

Kecamatan Lingga, Kecamatan Senayang, Kecamatan Teluk Bintan (hasil pemekaran

dari Kecamatan Galang), Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Bintan Timur,

Kecamatan Tambelan, Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang

Timur.

Presiden RI Abdurrahman Wahid melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2001 yang ditandatanganinya pada tanggal 21 Juni 2011 menetapkan Kota

51
Administratif Tanjungpinang menjadi Kota Tanjungpinang yang terpisah dari

Kabupaten Bintan.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2003 tertanggal 18 Maret 2003

yang ditandatangani Bupati Kepulauan Riau H Huzrin Hood dibentuk Kecamatan Teluk

Sebong dengan batas wilayah hingga ke Desa Berakit dan Desa Pengudang di utara

yang dimekarkan dari Kecamatan Bintan Utara.

Keputusan DPRD Kabupaten Kepri Nomor 75/kpts/dprd/2003 menetapkan ibu

kota Kabupaten Kepulauan Riau di Desa Bintan Buyu yang diberi nama Bandar Seri

Bentan dan diperkuat dengan peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2004 tentang

penetapan lokasi Ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau.

Dengan terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau, maka melalui hak inisiatif

DPRD Kabupaten Kepri telah diusulkan nama Kabupaten Kepulauan Riau menjadi

Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor

5 Tahun 2006 tertanggal 23 Februari 2006 oleh Presiden RI DR H Susilo Bambang

Yudhoyono.

Presiden Megawati Soekarno Putri melalui Undang-Undang Nomor 31 tahun

2003 tanggal 18 Desember 2003 mengesahkan pembentukan Kabupaten Lingga yang

berdiri sendiri dan terpisah dari Kabupaten Kepulauan Riau.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2007, Bupati Bintan Ansar

Ahmad atas persetujuan DPRD Bintan membentuk 4 kecamatan baru yang terdiri dari :

1. Kecamatan Toapaya pemekaran dari Kecamatan Gunung Kijang

52
2. Kecamatan Bintan Pesisir pemekaran dari Kecamatan Bintan Timur

3. Kecamatan Mantang pemekaran dari Kecamatan Bintan Timur

4. Kecamatan Seri Kuala Lobam pemekaran dari Kecamatan Bintan Utara

Sebagai kecamatan yang sama tuanya dengan kecamatan-kecamatan yang sudah

duluan dimekarkan sebagai kabupaten/kota, jadi wajar kiranya kalau kemudian

sejumlah masyarakat di Kecamatan Bintan Utara berteriak untuk meminta agar daerah

mereka bisa dijadikan daerah otonom baru di Provinsi Kepri. Upaya pemekaran wilayah

dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui

peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.

Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan

kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintahan

sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan

pembangunan Menangkap aspirasi itu, kemudian sejumlah warga berkumpul dan

sepakat untuk mendirikan Badan Perjuangan Pembentukan Kota Bintan Bagian Utara

(BP2KB2U) yang bertujuan untuk mempersiapkan langkah-langkah yang harus

dikerjakan guna mewujudkan keinginan tersebut.

Berbagai pertimbangan ditelusuri dan dikaji, cerita sejarah (story of history) yang

cukup panjang menjadi salah satu pertimbangan. Selain itu berbagai potensi yang ada

juga menjadi alasan lain. Bintan Utara pada umumnya memiliki banyak keunggulan

yang tidak bisa dinafikan oleh siapapun.

Letak geografisnya (geographical) yang sangat menguntungkan menjadi lirikan

sejumlah instansi yang ada di Indonesia. Sebut saja PT Pertamina (Persero) yang sudah

53
duluan mendirikan UPMS I di Tanjunguban, TNI-AL yang mendirikan 3 kesatuan di

Tanjunguban terdiri dari Fasilitas Pemeliharan dan Perbaikan Kapal (Fasharkan)

Mentigi, Satuan Kapal Ranjau (Satran) Komando Armada RI Kawasan Barat

(Koarmabar) dan Satuan Kapal Cepat (Satkat) Koarmabar.

Kemudian TNI-AU yang membangun Pangkalan Satuan Radar (Satrad) 213 di Desa Sri

Bintan, Teluk Sebong, Polri membangun markas komando Brigade Mobil (Brimob)

Kompi II Pelopor Polda Kepri dan markas komando Polres Bintan di Jago,

Tanjunguban.

Selanjutnya PDAM Tanjung Uban yang berdiri pada tahun 1966, PT PLN, PT

Telkom, kantor imigrasi, kantor pelayanan pelabuhan, Balai Karantina tumbuh-

tumbuhan, pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP), pelabuhan roll on roll off (roro)

PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan beberapa lagi fasilitas milik pemerintah, baik

pusat maupun daerah.

Sementara berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan,

kecamatan-kecamatan di Bintan Utara memiliki jumlah sekolah, baik negeri maupun

swasta yang jauh lebih banyak dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya di

Kabupaten Bintan. Selain itu jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak (TK)

hingga perguruan tinggi juga ada di Bintan Utara.

Hingga Januari 2011, Kecamatan Bintan Utara, Seri Kuala Lobam, Teluk Sebong dan

Teluk Bintan memiliki 1 TK Negeri, 12 TK swasta, 4 TK Islam atau Raudhatul Anfal

(RA), 38 SD Negeri, 2 SD swasta, 10 SMP Negeri, 3 SMA Negeri, 1 SMA swasta, 1

SMK Negeri, 2 SMK swasta, 2 Akademi Pariwisata di KPIB Lagoi.

54
Di sektor perbankan, hampir mayoritas bank yang ada di Indonesia ikut

meramaikan geliat ekonomi di Bintan Utara. Pemimpin Bank Indonesia Kepri, Elang

Tri Praptomo saat pembukaan kantor cabang pembantu Bank Danamon Simpan Pinjam

(DSP) Tanjunguban pernah mengatakan, dengan banyaknya bank yang buka kantor di

Tanjunguban, menandakan wilayah ini memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.

Sementara di sektor swasta, Penandatanganan kerjasama strategis Singapura-

Indonesia dalam kerangka Framework Agreement on Regional Economc Cooperation

pada tanggal 28 Agustus 1990 menambah lagi keunggulan Bintan Utara dengan

pembangunan Kawasan Industri Bintan (KIB) oleh PT Bintan Inti Industrial Estate

(BIIE) di Lobam, Bintan Utara dan wisata terpadu Bintan Beach International Resort

(BBIR) oleh PT Bintan Resort Corporation (BRC) di Lagoi, Teluk Sebong.

Kehadiran kedua kawasan tersebut ikut mendongkrak pertumbuhan penduduk,

menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bintan per-Maret

2011, jumlah penduduk di Kecamatan Bintan Utara adalah sebesar 23,324 jiwa. Apabila

ditambah dengan sejumlah kecamatan eks-wilayah pemerintahan Kecamatan Bintan

Utara yang kini sudah menjadi Kecamatan sendiri seperti Kecamatan Teluk Sebong

(16.089 jiwa) dan Kecamatan Seri Kuala Lobam (17.657 jiwa) dan ditambah Kecamatan

Teluk Bintan (10.191 jiwa) yang dulu pernah masuk dalam Daerah Administratif

Pembantu Bupati Wilayah IV Tanjunguban maka jumlah penduduk Kabupaten Bintan

Utara adalah sebesar 67.261 jiwa.

Sebagai salah satu kecamatan tertua di Provinsi Kepulauan Riau, Kecamatan

Bintan Utara yang dulu memiliki batas wilayah hingga ke Desa Pengudang dan Desa

55
Berakit di wilayah Kecamatan Teluk Sebong dan Desa Galang Baru yang terdiri dari

Pulau Air Raja dan Pulau Mencaras serta Desa Subang Emas di Kota Batam boleh iri

dan cemburu disaat sejumlah rekan-rekannya memproklamirkan diri sebagai sebuah

kabupaten/kota baru di daerah ini.

Melihat dari riwayat sejarah, keunggulan yang dimiliki, jumlah penduduk,

rentang kendali dan potensi yang ada, batas minimal usia penyelenggaraan

pemerintahan maka sangat tepat kalau sejumlah masyarakat di Bintan Utara

mendapatkan porsi untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah

melalui pembentukan Kota Bintan Utara.

Tinggal bagaimana BP2KB2U bersama masyarakat berjuang bersama-sama

untuk memenuhi syarat administratif sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 32

Tahun 2004 yang terdiri dari adanya persetujuan DPRD dan Bupati Bintan, persetujuan

DPRD dan Gubernur Kepri, rekomendasi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi,

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), Presiden RI dan DPR RI. Sedangkan

syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup

faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,

kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan

terselenggaranya otonomi daerah sudah tidak perlu diragukan lagi.

Begitu juga syarat fisik yang meliputi paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk

pembentukan Kota Bintan Utara, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana

pemerintahan juga sudah tersedia dengan adanya dukungan aspirasi dari Badan

56
Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dari 4

kecamatan tersebut.

Apabila nanti daerah otonom baru di Bintan bagian utara ini terwujud maka

setiap kecamatan yang bergabung didalamnya akan memiliki potensi dan keunggulan

yang berbeda-beda. Kecamatan Teluk Sebong yang sudah terkenal dengan kehadiran

Kawasan Pariwisata Internasional Bintan (KPIB) Lagoi sebagai penyumbang

Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kabupaten induk akan dipertahankan dan terus

dikembangkan sebagai ikon pariwisata di Bintan bagian utara, disamping potensi

pertanian, perkebunan dan kelautannya.

Kecamatan Seri Kuala Lobam yang terkena l dengan Kawasan Industri Bintan

(KIB) Lobam akan terus dipertahankan sebagai landmark industri di Bintan bagian

utara. Pemerintahan daerah yang baru harus mampu membentuk tim promosi dan

marketing yang handal untuk menjual daerah tersebut sebagai daerah tujuan investasi

menarik dan punya nilai jual tinggi seperti Batam.

Sedangkan Kecamatan Teluk Bintan yang sudah duluan ditetapkan sebagai lokasi

ibukota baru di Bintan Buyu oleh Pemkab Bintan akan dipertahankan sebagai kawasan

pusat pemerintahan. Diyakini hanya dalam 5 tahun, Bandar Seri Bentan akan

berkembang pesat menjadi sebuah ikon baru di Provinsi Kepri sebagai pusat

pemerintahan dengan panorama alami Gunung Bintan yang memiliki tinggi 340 meter

dari permukaan laut ini.

Terakhir, untuk memberikan penghargaan dan apresiasi terhadap perjuangan

sejumlah masyarakat Kecamatan Bintan Utara yang memunculkan ide pemekaran

57
dengan membentuk BP2KB2U maka daerah itu lebih layak apabila dikembangkan

sebagai kota pelabuhan dan perdagangan.

Masyarakat daerah otonom baru di Bintan bagian utara secara legowo dalam

tahun pertama dan kedua pemerintahan daerah tersebut untuk mengalokasikan APBD

mereka guna membangun Tanjunguban menjadi sebuah kota pelabuhan baru di

Indonesia. Memang perlu kerja ekstra keras dan seni berkomunikasi (art of

communications) ekstra santun untuk bisa merelokasi kawasan pinggir pantai

Tanjunguban untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut.

Diyakini hanya dalam 10 tahun terbentuknya, daerah otonom baru di Bintan

bagian utara akan menjadi sebuah daerah otonomi baru yang baldatun thoyibbun

warrabun ghafur, jauh lebih maju, berkembang dan sejahtera dibandingkan

kabupaten/kota yang ada di Kepri pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dan

bukan tidak mungkin setelah itu masyarakat Tanjunguban akan berpikir untuk mulai

memisahkan diri menjadi Kota otonom baru, Kota Tanjunguban berdampingan dengan

Kota Batam dan Kota Tanjungpinang.

58
IV.1.2 KOTA TANJUNGPINANG

Gambar 4.1b. Peta Administrasi Kota Tanjungpinang

Tanjungpinang atau sebelumnya disebut Tanjung Pinang (disingkat Tg.

Pinang) adalah ibu kota Kepulauan Riau, Indonesia. Yang terletak di koordinat 0º5'

lintang utara dan 104º27' bujur timur, tepatnya di Pulau Bintan. Kota ini memiliki cukup

banyak daerah pariwisata seperti Pulau Penyengat yang hanya berjarak kurang lebih 2

mil dari pelabuhan laut Tanjungpinang - Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pantai

Trikora dengan pasir putihnya terletak kurang lebih 65 km dari kota, dan pantai

buatan yaitu Tepi Laut yang terletak di garis pantai pusat kota sebagai pemanis atau

wajah kota (waterfront city).

Pelabuhan Laut Tanjungpinang - Pelabuhan Sri Bintan Pura memiliki kapal-

kapal jenis feri dan feri cepat (speedboat) untuk akses domestik ke pulau Batam dan

59
pulau-pulau lain seperti; kepulauan Karimun dan Kundur, serta kota-kota lain di Riau

daratan, juga merupakan akses internasional ke negara Malaysia dan Singapura.

Berdasarkan sejarah masa lalu, kawasan kota ini merupakan bagian

dari Kerajaan Melayu, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugal, Sultan Mahmud

Syah menjadikan kawasan ini sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Malaka.

Kemudian menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Johor, sebelum diambil alih

oleh Belanda terutama setelah Belanda menundukan perlawanan Raja Haji

Fisabilillah tahun 1784 di Pulau Penyengat.

Pada masa kolonial Belanda, Tanjungpinang ditingkatkan statusnya menjadi

pusat pemerintahan dari Residentie Riouw pemerintah Hindia Belanda. Kemudian di

awal kemerdekaan Indonesia, menjadi ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau. Setelah

menjadi Kota Administratif - Kabupaten Kepulauan Riau hingga tahun 2000,

berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2001, pada tanggal 21 Juni 2001, statusnya menjadi

Kota Tanjungpinang. Pusat pemerintahan yang semula berada di pusat Kota

Tanjungpinang di pemukiman padat penduduk kemudian dipindahkan

ke Senggarang (bagian utara kota) sebagai pusat pemerintahan. Hal ini ditujukan untuk

mengimbangi kesenjangan pembangunan dan kepadatan penduduk yang selama ini

berpusat di Kota Lama (bagian barat kota).

Pada tahun 2002 Dra. Hj. Suryatati A. Manan terpilih sebagai walikota pertama

melalui pemilihan oleh DPRD Kota Tanjungpinang. Pada tahun 2007, ia terpilih

kembali untuk menjadi Wali Kota Tanjungpinang. Kemudian pada tahun 2013, ia

digantikan oleh H. Lis Darmansyah. Wilayah administrasi pemerintahan Kota

60
Tanjungpinang terbagi menjadi 4 kecamatan dan 18 kelurahan. Kecamatan-kecamatan

di Kota Tanjungpinang adalah: 1) Tanjungpinang Barat; 2) Tanjungpinang Kota;

3) Bukit Bestari; 4) Tanjungpinang Timur

Sebagian wilayah Tanjungpinang merupakan dataran rendah,

kawasan rawa bakau, dan sebagian lain merupakan perbukitan sehingga lahan kota

sangat bervariasi dan berkontur. Kota Tanjungpinang maupun Pulau

Bintan keseluruhan beriklim tropis dengan temperatur 23 °C – 34 °C. Tekanan

udaranya berkisar antara 1.010,2 mbs dan 1.013,7 mbs. Secara resmi memiliki musim

kemarau dan musim penghujan. Tidak ada perbedaan musim yang mencolok di daerah

ini. Hujan dapat turun sepanjang tahun. Namun setiap akhir sampai dengan awal tahun

terjadi "Angin Utara" yang sangat berbahaya dengan gelombang yang sangat kuat.

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kota Tanjungpinang

Komposisi Penduduk Kota Tanjungpinang


Etnis Jumlah (%)
Melayu 30,7
Jawa 27,9
Tionghoa 13,5
Minangkabau 9,5
Batak 6,6
Sunda 2,8
Bugis 1,9
Lain-lain 7,1
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2010

61
Suku Melayu merupakan penduduk asli dan kelompok suku bangsa yang

dominan di Tanjungpinang, selain itu terdapat juga Suku Bugis dan Tionghoa yang

sudah ratusan tahun berbaur dengan Suku Melayu dan menjadi penduduk tetap

semenjak zaman Kesultanan Johor-Riau dan Residentie Riouw. Suku Bugis awalnya

menetap di Kampung Bugis dan Suku Tionghoa banyak menempati Jalan Merdeka dan

Pagar Batu. Suku Jawa mulai ramai mendatangi Tanjung Pinang pada tahun 1960,

pemukiman awal Suku Jawa terletak di Kampung Jawa.

Bahasa yang digunakan di Tanjung Pinang adalah Bahasa Melayu klasik.

Bahasa Melayu di kota ini hampir sama dengan bahasa Melayu yang digunakan di

Singapura, karena memang sejak zaman pemerintahan Kesultanan Riau

Lingga Tanjungpinang sudah menjadi pusat budaya Melayu bersama Singapura. Selain

itu Bahasa Tiochiu dan Hokkien juga banyak digunakan oleh Suku Tionghoa di Kota

Tanjungpinang.

Gambar 4.1c. Perkampungan nelayan di Senggarang

Kota Tanjungpinang terdapat pelabuhan domestik dan internasional

yaitu Pelabuhan Sri Bintan Pura, terminal yaitu Terminal Sei Carangserta bandara

internasional, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah. Pada tahun 2001,
62
sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi yang cukup signifikan

dalam membangun perekonomian kota Tanjungpinang yaitu sebesar 35,54% kemudian

diikuti oleh sektor industri pengolahan 15,37%, sektor bangunan 13,29%, sektor jasa-

jasa 12,51%, dan sektor pengangkutan dan komunikasi 10,82%. Sedangkan sektor

lainnya meliputi sektor listrik, gas, dan air bersih, keuangan, pertanian, dan sektor

pertambangan dan penggalian sebesar 12,47%

Gambar 4.1d. Pulau Penyengat dilihat dari Tanjungpinang

Gambar 4.1e. Hutan bakau di Tanjungpinang

Pulau Penyengat merupakan salah satu kawasan wisata di Kota Tanjungpinang.

Pulau seluas 3,5 km² ini berada di sebelah barat kota Tanjungpinang dan dapat ditempuh

15 menit dengan transportasi laut. Pada pulau ini terdapat banyak peninggalan lama

dengan wujud bangunan dan makam yang telah dijadikan situs cagar budaya. Selain itu

juga dijumpai kelenteng atau vihara di kawasan Kampung Bugis dan Senggarang yang
63
sekaligus menjadi kawasan wisata religi. Wisata lainnya juga dapat ditemukan di Pantai

Impian, Tugu Pensil, Tepi Laut, Mall Ramayana Tanjung Pinang, Bestari Mall, Bintan

Indah Mall, Tanjungpinang City Center dan sebagainya.

Pariwisata di kota Tanjungpinang ditunjang oleh adanya 13 hotel bintang, 43

hotel non bintang, 34 rumah makan dan pusat-pusat belanja yang terdiri dari 13

supermarket serta pertokoan yang tersebar di wilayah kota. Sementara jumlah

kunjungan wisatawan didominasi dari negara Singapura, Malaysia dan Belanda. Kota

ini juga menawarkan sajian kuliner aneka hidangan laut, dan masakan Cina.

IV.2. KONDISI HUTAN DI PULAU BINTAN

Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang terletak di Provinsi Kepulauan

Riau. Pulau Bintan terdiri dari dua wilayah administratif yaitu Kota Tanjungpinang dan

Kabupaten Bintan. Kawasan hutan yang terdapat di Pulau Bintan pada awalnya terdiri

dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan mangrove dan hutan konversi dengan

luas total 109.701 ha. Hutan Lindung seluas 4.355 ha, hutan produksi terbatas seluas

34.200 ha, hutan bakau seluas 9.146 ha, dan hutan konversi dan penggunaan lain seluas

62.000 ha. Adapun proporsi hutan di Pulau Bintan jika dibuat persentase seperti pada

gambar 4.2.

64
Gambar 4.2. Proporsi luasan tiap tipe hutan di Pulau Bintan

Gambar 4.3 Distribusi tiap tipe hutan di Pulau Bintan

65
Seiring dengan perkembangan daerah telah terjadi perubahan tipe kawasan

hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992 yang merubah

fungsi hutan produksi seluas 12.950 ha hutan dan konversi seluas 21.750 ha yang

terletak di kelompok hutan Sungai Jago, S. Ekang, S. Anculai, S. Bintan, S. Kangboi

dan S. Kawal Pulau Bintan menjadi kawasan hutan lindung yang selanjutnya dikenal

dengan nama kawasan Catchment Area. Dengan demikian tipe kawasan hutan yang ada

di Pulau Bintan dapat dikelompokkan menjadi Hutan Lindung (4.355 ha), Catchment

Area (37.000 ha), Hutan Produksi Terbatas (21.250 ha), Hutan konversi (40.250 ha),

Hutan Mangrove (9.146 ha), dengan total jumlah 112.001 ha. Gambar 4.2. menunjukkan

proporsi dan jumlah luasan masing-masing tipe hutan.Total luasan hutan sebesar

112.001 ha ini di Pulau Bintan tersebar di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang.

Gambar 4.3. menunjukkan distribusi tiap tipe hutan di Pulau Bintan.

Kondisi land cover terkini hutan di Pulau Bintan berdasarkan analisis citra satelit

(2006) meliputi hutan primer dataran rendah 3.949 ha, hutan dataran rendah 13.203 ha,

hutan mangrove 8.244 ha, tegalan 17.794 ha, semak belukar 57.256 ha, pemukiman

5.812 ha, lahan terbuka 1.795 ha, dan pertambangan 7.845 ha, sehingga total luas Pulau

Bintan 115.898 ha (Gambar 4.2). Kondisi penggunaan lahan Pulau Bintan disajikan

Tabel 4.1. Hasil analisis citra menunjukkan bahwa luasan hutan di Pulau Bintan adalah

sebesar 25.396 ha, sedangkan luas non hutan adalah sebesar 90.502 ha. Kawasan non

hutan di Pulau Bintan telah mencapai 78% dari total luasan di Pulau Bintan.

66
Tabel 4.2
Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Bintan
No Landuse Luas (Ha)
1 Hutan primer dataran rendah 3.949
2 Hutan primer dataran rendah 13.203
3 Hutan mangrove 8.244
4 Tegalan 17.794
5 Semak-belukar 57.256
6 Permukiman 5.812
7 Lahan terbuka 1.795
8 Pertambangan 7.845
Luas Pulau Bintan 115.898

IV.2.1. Hutan Lindung

Kawasan Hutan lindung merupakan salah satu tipe hutan yang memegang

peranan penting untuk menyangga kehidupan masyarakat di kota Tanjungpinang dan

Kabupaten Bintan. Meskipun luasnya hanya 4.355 ha tetapi kebedaannya sangat penting

untuk kepentingan air minum di kedua kota tersebut sehingga keberadaannya harus

tetap dipertahankan. Letak hutan lindung tersebar di beberapa tempat yang dengan

posisi yang demikian memiliki nilai positif sebagai kawasan untuk penyulai air secara

merata di wilayah Pulau Bintan. Hutan lindung di Pulau Bintan terdiri dari:

a. Hutan Lindung Sungai Pulai

Menurut SK penunjukan Mentan No.71/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember

1979 dan SK penetapan Menhut No. 424/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987, HL

Sungai Pulai memiliki luas 751.80 ha. Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan

dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7

Agustus 2006, HL Sungai Pulai memiliki luas 636 ha. Kondisi terkini hutan tersebut

67
hampir 50 % kawasan telah menjadi semak belukar, bahkan terdapat pula pertambangan

dan tegalan.

Hutan Lindung Sungai Pulai merupakan sumber air Kota Tanjungpinang

(Bendungan S. Pulai) yang dikelola oleh PDAM. Fungsi utama hutan lindung Sungai

Pulai adalah sebagai penyangga kelangsungan sumber air waduk Sungai Pulai. Sumber

air ini merupakan pemasuk utama untuk kebutuhan akan air minum bagi kota Tanjung

Pinang, yang dikelola oleh PDAM Tirta Janggi. Kelestarian akan sumber air di waduk

Sungai Pulai tergantung oleh keutuhan hutan lindung Sungai Pulai, oleh karena itu

diperlukan sinergi dari berbagai lembaga (instansi), khususnya perpaduan antara Dinas

Kehutanan dengan Dinas Pengelola air minum atau PDAM setempat. Berdasarkan

keterangan pengelola PDAM, debit air dewasa ini rata rata antara 150 lt per detik sampai

dengan 200 lt per detik. Mengingat semakin meningkatnya perkembangan kota Tanjung

Pinang, tentu akan diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, keadaan ini

akan diikuti oleh kebutuhan akan sumber air minum yang meningkat.

Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk usaha meningkatkan debit air minum

sesuai dengan kebutuhan masyarakat, paling tidak dapat ditingkatkan mencapai antara

300 lt per detik hingga 400 lt per detik, bahkan bila perlu dapat ditingkatkan mencapai

500 lt per detik. Untuk mencapai itu, usaha yang paling strategis adalah dengan

memperbaiki kawasan hutan lindung Sungai Pulai. Keterlibatan berbagai instansi perlu

dilakukan, khususnya Dinas Kehutanan dengan Dinas Pengelola Air Minum atau

PDAM, tentu saja untuk keberhasilannya perlu di dukung oleh fihak-fihak lain. Seperti

oleh berbagai lembaga di jajaran Pemda, masyarakat luas, dan juga Lembaga Swadaya

masyarakat (LSM), dan perlu didukung oleh lembaga Legislatif (DPRD).

68
b. Hutan Lindung Bukit Kucing

SK Mentan No./Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan SK Menhut No.424/Kpts-

II/1987, 28-12-1987 menyebutkan luas Hutan Lindung Bukit Kucing adalah 54.40 ha.

Pada Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi

Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006, HL Bukit

Kucing memiliki luasan sebesar 66 ha. Secara umum kondisi hutan masih tertutup oleh

hutan primer walaupun telah sedikit berubah. HL Bukit Kucing berperan untuk

melindungi sumber air kebutuhan PLN, dan

Taman Wisata Kota Tanjung Pinang, karena lokasinya berada di tengah-tengah Kota

Tanjung Pinang.

c. Hutan Lindung Bukit Lengkuas dan Hutan Lindung Gunung Kijang

HL Bukit Lengkuas ditunjuk berdasarkan SK Mentan No.670/Kpts/UM/1978,

1-12-1979 dan ditetapkan dengan SK. Menhut No 424/Kpts-II/1987, 28-12-1987, seluas

1.071,80 ha. Namun berdasarkan SK terbaru (Dinas Pertanian, Kehutanan, dan

Peternakan Provinsi Kepulauan Riau) tertuang luasan 646 ha. Sementara itu HL Gunung

Kijang ditunjuk dengan SK Mentan No.70/Kpts/UM/1978 1-12-1979 dan ditetapkan

berdasarkan SK Menhut No.424/Kpts-II/1987, 28-12-1987 seluas 760 ha. Berdasar data

terbaru (SK No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006) tertuang luasan

643 ha. Secara umum sebagian besar kawasan masih berupa hutan primer dan hutan

dataran rendah. HL Bukit Lengkuas dan HL Gunung Kijang merupakan penyedia

sumber air untuk Kota Kijang dan Indomoty Produksi air mineral oleh PT. Sanqua dan

PT. Bentari.

69
d. Hutan lindung Gunung Bintan Kecil dan Bintan Besar

Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil ditunjuk dengan SK Mentan

No.060/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan ditetapkan dengan SK Menhut

No.426/Kpts-II/1987 Tanggal 28 Desember 1987 seluas 308 ha. Sedangkan Hutan

Lindung Gunung Bintan Besar ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan SK Mentan

No.701/Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan SK Menhut No.426/Kpts-II/1987, 28-12-1987

Status terakhir kawasan ini adalah sebagai catchment area berdasarkan SK Menteri

Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992.

Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Provinsi

Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006 diketahui

luas Hutan Gunung Bintan Kecil adalah 168 ha dan hutan Gunung Bintan Besar 395 ha.

Berdasarkan data analisis citra satelit kondisi penutupan lahan masih berupa hutan

primer dengan vegetasi yang rapat. Fungsi utama kawasan Hutan Lindung Gunung

Bintan Kecil dan Gunung Bintan Besar adalah sebagai Hutan penyangga Catchmet Area

Pulau Bintan.

e. Hutan Lindung Sungai Jago

Penunjukan Hutan Lindung Sungai Jago tertuang dalam SK Mentan

No.71/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan ditetapkan berdasarkan SK

Menhut No.426/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987. Luas kawasan berdasarkan

SK tersebut adalah 1.629,6 ha. Sedangkan menurut SK Kepala Dinas Pertanian,

Kehutanan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352

Tanggal 7 Agustus 2006 kawasan Hutan Lindung Sungai Jago memiliki luas 1.395 ha.

Kondisi umum penutupan lahan masih sangat baik berupa hutan orimer yang dominan.

70
Hutan dataran rendah Pulau Bintan merupakan hutan hujan tropis dengan

komposisi tumbuhan berupa hutan sekunder, sebagian kecil hutan primer dan

semakbelukar. Hutan primer yang masih alami terdapat di kawasan Hutan Lindung

ataupun dijumpai di lahan milik masyarakat. Di beberapa titik seperti misalnya Gunung

Bintan Kecil masih terdapat lahan masyarakat yang ditumbuhi formasi hutan hujan

tropis yang masih alami. Hutan hujan tropis di Pulau ini mempunyai karakter khas

berupa dominasi pohon tiup-tiup. Belum didapat ada data resmi tentang keragaman jenis

pohon yang menyusun hutan hujan tropis di wilayah ini.

Hutan sekunder di Pulau Bintan sebagian besar merupakan hutan yang tumbuh

dari bekas pembukaan hutan oleh aktivitas penambangan, pemukiman, dan penebangan

liar. Permudaan alami dari beberapa jenis pioner berlangsung selama beberapa tahun

menciptakan formasi hutan baru berupa hutan sekunder. Upaya penghijauan oleh

pemerintah dan masyarakat telah dilakukan dengan jenis-jenis seperti mahoni, meranti,

karet, dan akasia (Gambar 4.4). Karet dan akasia merupakan jenis paling diminati

karena nilai ekonomis yang tinggi. Tipe vegetasi semak belukar banyak terdapat di

daerah dataran rendah (low land) yang merupakan areal bekas penambangan dan

penebangan liar. Kawasan ini memiliki aksesibilitas yang tinggi karena merupakan

daerah yang dekat dengan pemukiman dan dilintasi jalan raya. Formasi vegetasi yang

ada terdiri atas akasia, paku-pakuan, rumput gajah, resam, dan alang-alang (Gambar

4.4). Kondisi tanah berupa bauksit dengan kelerengan relatif datar berkisar antara 0–

10%. Pada beberapa lokasi terlihat pula semak belukar di daerah up land dengan

kelerengan mencapai 40%.

71
Gambar 4.4 Formasi vegetasi hutan sekunder di Pulau Bintan

Keberadaan hutan lindung di Pulau Bintan mendapat tekanan yang besar baik

untuk kepentingan pertanian, pembangunan sarana dan prasarana, perambahan atau

tekanan lahan untuk permukiman, pengembangan kawasan industri, perkebunan

maupun tekanan akan sumber daya di dalam kawasan hutan lindung. Permasalahan pada

masing-masing kelompok hutan disajikan di bawah ini.

a. Hutan Lindung (HL). Sungai Pulai memiliki permasalahan berupa pemanfaatan lahan

untuk perkebunan sawit, kebun karet rakyat, permukiman dalam kawasan yaitu

Kampung Suka Damai, Tirto Mulyo, Pondok Pesantren, dan akses jalan yang tinggi.

b. Hutan Lindung Gunung Lengkuas memiliki permasalahan berupa illegal logging,

terdapat perkebunan masyarakat, permukiman Batu 20, tambang batu granit.

Pemanfaatan sumber daya air hutan lindung ini untuk kebutuhan industri air mineral

PT. Sanqua dan PT. Bestari. Hutan dataran rendah merupakan kawasan yang secara

geologis mempunyai potensi berbagai macam bahan tambang.

72
Kegiatan eksploitasi berbagai macam bahan tambang seperti, pasir, bauksit dan juga

batu granit mudah dijumpai. Sejak masa peralihan kekuasaan pemerintahan orde baru

hutan lindung mengalami permasalahan yang sangat berat berupa perambahan lahan

yang diikuti dengan berpindahnya atau hilangnya patok-patok tapal batas. Hal ini

dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: kurang optimalnya pelaksanaan tugas dan wewenang

penjagaan dan pengamanan kawasan Hutan Lindung oleh instansi terkait dan semakin

meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan.

Gambar 4.5 Semak belukar di Pulau Bintan

Gambar 4.6 Foto kondisi waduk sungai Pulai dan hutan lindung Sungai Pulai

73
Gambar 4.7 Foto permukiman penduduk di hutan lindung Sungai Pulai

c. Hutan lindung Gunung Kijang memiliki permasalahan berupa adanya perkampungan,

industri granit, akses jalan yang tinggi, illegal logging. Hutan Lindung Gunung Kijang

dan Hutan Lindung Sungai Lengkuas dapat diperkirakan separo luas arealnya telah

terambah.

d. Hutan Lindung Gunung Bintan Besar dan Gunung Bintan Kecil, serta Gunung Jago

relatif masih terjaga.

IV.2.2 Catchment Area

Kelompok hutan ini pada dasarnya masuk dalam tipe hutan lindung seperti yang

tertera dalam SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992, namun istilah

cacthment area lebih populer di masyarakat. Kawasan cacthment area memiliki luas

37.000 yang kawasannya berupa lahan milik Negara dan sebagian berupa lahan milik

masyarakat. Wilayah cacthment area meliputi 5 DAS yaitu DAS Jago, Ekang-Anculai,

Bintan, Kangboi dan Kawal. Fungsi dari kawasan ini sama seperti fungsi hutan lindung

untuk kepentingan tata air bagi masyarakat kota Tanjung Pinang dan Bintan. Sebagai

74
wilayah tangkapan air hujan semestinya kawasan ini memiliki penutupan kawasan yang

baik agar fungsinya untuk menampung dan menahan aliran air dapat berfungsi dengan

baik.

Kepulauan Riau memiliki wilayah daratan hanya 5% dari luas wilayah dan

wilayahnya, berupa pulau-pulau kecil sehingga pemenuhan kebutuhan air menjadi

prioritas untuk diperhatikan dalam rangka penataan wilayah. Perubahan yang kecil

dapat menyebabkan timbulnya dampak yang besar. Namun kenyataannya cacthment

area mendapat tekanan yang besar dalam beberapa bentuk, antara lain:

a. Areal yang dijadikan cacthment area berupa hutan sekunder yang didominasi oleh

kebun karet rakyat, kebun rakyat. Kebun karet dan kebun rakyat dalam peta hasil

olahan citra satelit termasuk dalam tipe penutupan hutan dataran rendah.

b. Dalam kawasan akan dibangun ibukota Kabupaten Bintan sehingga konversi lahan

akan semakin tinggi seiiring pertumbuhan ibukota kabupaten ke depan.

c. Terdapat permukiman penduduk yang sudah lama menetap sebelum kawasan

ditetapkan menjadi cacthment area. Sebagian telah mendapatkan ganti rugi oleh alih

kepemilikan lahan, namun sebagian masyarakat belum mendapat ganti rugi.

d. Akses yang tinggi dalam kawasan berupa jalan aspal sehingga mendorong tinggi

gangguan berupa illegal logging, dan pemukiman liar.

e. Pemanfaatan lahan untuk menara telkomsel yang tidak melalui proses perijinan

pinjam pakai kawasan hutan.

75
IV.3. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUHI TERHADAP PERAMBAHAN
HUTAN DI PULAU BINTAN

Berdasarkan hasil penghitungan regresi linear bergada didapatkan hasil seperti

pada Tabel 4.3. Hasil pemghitungan regresi menunjukkan bahwa koefisien determinasi

variabel bebas terhadap variabel tergantung sebesar 55,3 %, yang berarti 55,3 % faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap perambahan hutan di Pulau Bintan dapat dijelaskan

oleh variabel bebas tersebut. Variabel tersebut meliputi: kepadatan penduduk (X1),

pendapatan keluarga (X2), tingkat pendidikan keluarga (X3), jenis tanah/batuan (X4),

jumlah jiwa dalam keluarga (X5), lereng (X6). Sedangkan 44,7 % merupakan faktor

yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Dari 6 variebel bebas terdapat satu variabel

yang dikeluarkan dari perhitungan, karena dapat kepadatan penduduk (X1) yang tidak

bervariasi atau homogeny karena wilayah yang diambil luasannya dalam kecamatan

yang sama.t

Tabel 4.3 Koefisien Deteminasi (R2)


Model Summary

Model R R Square Adjusted R Std. Error of the


Square Estimate

1 .743a .553 .502 157.92510

a. Predictors: (Constant), LERENG, PENDAPATAN, JUML_kLG, JENIS_TANAH,


PENDIDIKAN

Berdasarkan hasil hitungan statistik, secara bersama-sama variabel bebas yang

terdiri dari: pendapatan keluarga (X2), tingkat pendidikan keluarga (X3), jenis

tanah/batuan (X4), jumlah jiwa dalam keluarga (X5), lereng (X6) berpengaruh

signifikan terhadap variabel tergantung (perambahan hutan) di Pulau Bintan. Hal ini

76
ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0,00 dibawah nilai standar yang ditetapkan

yaitu: 0,05. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Signifikasi Sumbangan Total


ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Regression 1355945.701 5 271189.140 10.874 .000b

1 Residual 1097374.799 44 24940.336

Total 2453320.500 49

a. Dependent Variable: JARAKPERAMBAHAN


b. Predictors: (Constant), LERENG, PENDAPATAN, JUML_kLG, JENIS_TANAH, PENDIDIKAN

Berdasarkan hasil hitungan statistik, sumbangan masing-masing variabel

tergantung terhadap variabel bebas dapat dilihat pada Tabel 4.5. Variabel yang

berpengaruh signifikan terhadap perambahan hutan lindung di Pulau Bintan, yaitu:

pendapatan keluarga dengan nilai signifikansi 0,037, jenis tanah dengan nilai signifikasi

0,00, lereng dengan nilai signifikasi 0,00. Sedangkan faktor pendidikan dan jumlah jiwa

dalam keluarga tidak berpengaruh signifikan karena berada pada nilai di atas 0,05.

Pendapatan berpengaruh secara siginifikan terhadap perambahan hutan lindung

di Pulau Bintan, berarti semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga kemungkinan untuk

merambah ke hutan lindung semakin rendah, hal ini ditunjukkan dari nilai t pada Tabel

4.5 yang bernilai negatif (-2,155). Sedangkan jenis tanah berpengaruh signifikan dengan

nilai positif (4,107), yang bermakna bahwa perambahan hutan lindung meningkat pada

saat jenis mempunyai nilai ekonomis yang tinggi (mulai dari jenis tanah alluvium (nilai

1), batu pasir tufan ( nilai 2), andesit (nilai 3) dan granit (nilai 4). Dan faktor kemiringan

lereng berpengaruh signifikan positif terhadap perambahan hutan lindung (5,928). Hal

ini berarti semakin kemiringan lereng meningkat, maka perambahan hutan lindung

77
makin tinggi karena lokasi hutan lindung di Pulau Bintan berada pada kemiringan lereng

15-45% atau lebih dari 45%. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2008), bahwa faktor ekonomi dan

lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi perambahan hutan.

Tabel 4.5 Hasil Pengujian Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perambahan Hutan

Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig. Collinearity Statistics


Coefficients

B Std. Error Beta Tolerance VIF

(Constant) -540.646 193.019 -2.801 .008

-4.911E-
PENDAPATAN .000 -.285 -2.155 .037 .580 1.725
005

1PENDIDIKAN 12.414 8.924 .193 1.391 .171 .526 1.901

JENIS_TANAH 135.736 33.049 .485 4.107 .000 .730 1.370

JUML_kLG -12.708 18.592 -.072 -.684 .498 .907 1.102

LERENG 197.253 33.276 .695 5.928 .000 .739 1.354

a. Dependent Variable: JARAKPERAMBAHAN

IV. 4 MODEL “ BUFFER ZONE” ANTARA TANAH MILIK DAN HUTAN

LINDUNG

Kawasan hutan lindung yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Hutan

Lindung Bukit Kucing (Gambar 4.8) Hutan Lindung Sungai Pulai (Gambar 4.9), dan

Hutan Lindung Gunung Kijang (Gambar 4.10). Pembuatan model diawali dengan

mengeplotkan Peta Kawasan Hutan sesuai SK.76/Men LHK-II/2015, seperti terdapat

pada Gambar 4.8 – 4.10. Selanjutnya diplotkan Peta Penggunaan Tanah yang dibuat

dari citra tahun 2015 dengan cek data lapangan untuk memverifikasi data dan data dari

kantor pertanahan Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan, seperti pada Gambar

78
4.11 – 4.13. Sedangkan Peta Administrasi (Gambar 4.14) digunakan untuk

menverifikasi jalan yang ada di Peta Penggunaan Tanah yang dibuat telah sesuai

skalanya dan mempunyai sistem koordinat yang sama dengan Peta Kawasan Hutan

berdasarkan SK.76/MenLHK-II/2015 sebelum dilakukan tumpeng-susun (overlay).

79
Gambar 4.8 Peta Hutan Lindung Bukit Kucing (Bukit Bestari) sesuai SK.76/MenLHK-II/2015

75
Gambar 4.9 Peta Hutan Lindung Sungai Pulai sesuai SK.76/MenLHK-II/2015

76
Gambar 4.10 Peta Hutan Lindung Bukit Kijang sesuai SK.76/MenLHK-II/2015

77
Gambar 4.11 Peta Penggunaan Tanah Bukit Kucing (Bukit Bestari) Hasil Pengolahan Citra dan Verifikasi Lapangan

78
Gambar 4.12 Peta Penggunaan Tanah di Sekitar Sungai Pulai Hasil Pengolahan Citra dan Verifikasi Lapangan

79
Gambar 4.13 Peta Penggunaan Tanah di Sekitar Bukit Kijang Hasil Pengolahan Citra dan Verifikasi Lapangan

80
Gambar 4.14 Peta Administrasi Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan

81
Hasil overlay Peta Kawasan Hutan Lindung (SK.76/MenLHK-II/2015) dengan Peta

Adminitrasi dan Peta Penggunaan Tanah diberi nama Peta Buffer Zone, hasilnya dapat dilihat

pada Gambar 4.15; 4.16; dan 4.17. Data hitungan hasil overlay ditunjukan pada Tabel 4.6

berikut.

Tabel 4.6 Data Penggunaan Tanah di Batu Kucing, Gunung Kijang, dan Sungai Pulai
LUAS HUTAN LINDUNG (M2)
DATA
PENGGUNAAN TANAH BATU GUNUNG SUNGAI BUFFER ZONE
KEHUTANAN
KUCING KIJANG PULAI
HL Badan Air 175,343 Hutan Lindung
Belukar 33,036 58,819 Hutan Lindung
Fasilitas Ibadah 882 Buffer Zone
Fasilitas Pendidikan 989 Buffer Zone
Hutan Lindung 657,129 Hutan Lindung
Kebun 309 Buffer Zone
Kebun Campuran 1,276,574 3,541,651 Buffer Zone
Kolam 26 Hutan Lindung
Komplek Militer 876 Buffer Zone
Perkantoran 9,677 Buffer Zone
Perkebunan 2,445,758 2,543,069 Buffer Zone
Permukiman 63,585 40,606 690,742 Buffer Zone
Semak 5,299,926 838,932 Hutan Lindung
Sungai/Danau/situ/telaga 169,485 Hutan Lindung
Tanah Kosong 3,203 Hutan Lindung
Tanah Terbuka
Sementara 6,295 Hutan Lindung
Tegalan/Ladang 6,982 13,489 Buffer Zone
LUAS TOTAL 733,138 9,102,882 8,041,363

Berdasarkan data pada Tabel 4.6 didapatkan data bahwa tanah yang menurut

SK.76/MenLHK-II/2015 merupakan tanah Hutan Lindung tetapi fakta di lapangan sudah

menjadi tanah yang digunakan sebagai fasiltas ibadah, fasilitas pendidikan, kebun campuran,

komplek militer, perkantoran, perkebunan, permukinan penduduk, dan tanah tegalan/ladang.

Luasan hasil buffer zone yang memasuki tanah hutan lindung ditunjukkan pada Tabel 4.7.

82
Tabel 4.7 Luasan Hasil Buffer Zone antara Tanah Kehutanan dan Tanah Milik
HUTAN LINDUNG BATU KUCING 733,138
Buffer Zone 76,009
Hutan Lindung (Sisa) 657,129
HUTAN LINDUNG GUNUNG KIJANG 9,102,882
Buffer Zone 3,769,920
Hutan Lindung (Sisa) 5,332,962
HUTAN LINDUNG SUNGAI PULAI 8,041,363
Buffer Zone 6,798,784
Hutan Lindung (Sisa) 1,242,579

Berdasarkan Tabel 4.7, luasan hasil buffer zone di hutan lindung Batu Kucing seluas

76,009 Ha, di hutan lindung Gunung Kijang seluas 3,769,92 Ha, dan di hutan lindung Sungai

Pulai seluas 6,798,784 Ha. Hasil terluas berada di hutan lindung Sungai Pulai disebabkan di

hutan lindung tersebut telah digunakan oleh masyarakat sebagai perkampungan/permukinan,

perkebunan, dan ladang oleh masyarakat yang tinggal dikawasan hutan lindung. Demikian

halnya di hutan lindung Gunung Kijang digunakan sebagai kebun dan perkebunan oleh

masyarakat sekitar hutan lindung. Sedang di Bukit Kucing yang berada di Kota

Tanjungpinang, pemanfaatan digunakan sebagai besar untuk sarana ibadah, pendidikan,

perkantoran, komplek militer, dan permukiman.

83
Gambar 4.15 Peta Hasil Ovelay antara Hutan Lindung Bukit Kucing dengan Peta Penggunaan Tanah

84
Gambar 4.16 Peta Hasil Ovelay antara Hutan Lindung Sungai Pulai dengan Peta Penggunaan Tanah

85
Peta Hasil Ovelay antara Hutan Lindung Bukit Kijang dengan Peta Penggunaan Tanah

86
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 KESIMPULAN

Baerdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan dalam penelitian, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Perambahan Hutan Lindung di Pulau Bintan sudah pada tingkatan yang merusak

konservasi hutan, karena hampir semua hutan lindung yang ditetapkan oleh

SK.76/MenLHK-II/2015 sudah tidak sesuai lagi kondisi dilapangan;

2. Faktor-faktor yang berpengaruhi terhadap perambahan hutan lindung di Pulau Bintan

adalah Pendapatan keluarga, jenis tanah, dan kemiringan tanah (lereng);

3. Model spasial “buffer zone” di sekitar hutan lindung di Pulau Bintan harus

dipertahankan agar hutan lindung yang semakin menyempit dapat dipertahankan

untuk menjaga kelestarian hutan tersebut;

V.2 SARAN

Adapun beberapa saran yang dikemukan adalah:

1. Diperlukan kejelasan batas antara tanah kehutanan dan tanah milik di lapangan, agar

perambahan yang semakin parah dapat dicegah;

2. Diperlukan koordinasi yang intensif dari semua pihak yang berkepentingan dalam

menjaga kelestarian hutan lindung di Pulau Bintan, agar Hutan Lindung tidak hanya

sekedar ada di peta tetapi faktanya di lapangan sudah tidak ada.

87
DAFTAR PUSTAKA

Beckman, Sam. 2004. Mencari Keseimbangan Pengelolaan Interaksi Antara Masyarakat


dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. FISIP Universitas Muhammadiyah
Malang. Program Acicis.
Chairullah, W., A. (2005). Pengembangan Model Penilaian Kinerja Pengawai Negeri Sipil
pada Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas di Lingkup
Pertanian Kabupaten Sampang. Diakses dari:
http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=323 pada tanggal 7 April 2015.
Chorley, R.J., & Haggett, P. (1967). Integrated Model in Geography. Part VI. London:
Mathuen & Co.Ltd.
Kartodihardjo, Hariadi dan Suwarno, 2014. Hutan Negara di Dalam Wilayah Masyarakat
Hukum Adat: Doktrin, Fakta dan Implikasinya bagi Kelestarian Hutan. Dokumen
Forest Watch Indonesia.
Peluso. 1992. Permasalahan Tenurial dan Konflik Hutan dan Lahan. Diakses dari:
www.mongabay.co.id./permasalahan-tenurial dan konflik hutan dan lahan pada
tanggal 10 Februari 2015.
Pendit, P.L. (2011) Penggunaan Teori dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan & Informasi.
Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of
View, di PDII-LIPI. Jakarta: 20-21 Juli 2011.
Rana, L. (2013). Models, Theory & Systems Analysis in Geography. Associate Professor,
Shivaji College. University of Delhi.
Safitri, M.A., Muhshi, M.A., Muhajir,M., Shohibuddin, M., Y. Arizona, M. Sirait, G. Nagara,
Andiko, S. Moniaga, H. Berliani, E. Widawati, S.R. Mary, G. Galudra, Suwito, A.
Santosa, H. Santoso. 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial (edisi revisi 7
November 2011). Kelompok Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tenurial.
Salim, Emil. 1988. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Singarimbun, M., & Effendi, S. (1989). Metode Penelitian Survai. Penerbit: LP3ES. Jakarta.
Sriyono & Djajono, Ali. 2010. Permasalahan Land Tenure dalam Persiapan Implementasi
REDD. Warta Tenure no.8- Juli 2010

88
Syukur, M. 2012. Resolusi Konflik di KPH (Pembelajaran Dari KPH Register 47 & Rinjani
Barat. Bogor (ID): [WG Tenure] Working Group on Forest Land Tenure.
Tanjung, K. 2006, Hutan adalah Jantung Ekosistem.
Http://www.Kaherulhtanjung.Blogter.com (9 April 201Wiratno. 1994. Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango Menuju Pengelolaan sebagai Biosphere
Reserve. Majalah Kehutanan Indonesia. No 12 Tahun 1993/1994. Hal 3 – 7.
Wiratno, 1994. Pemanfaatan Kawasan Penyangga (Buffer Zone) Taman Nasional Gunung
Leuser Berbasis Masyarakat Partisipatif di Kabupaten Gayo Lues. Diakses dari
https://melindasruriani.wordpress.com/2012/06/14 pada tanggal 5 Februari
2016.

89

Anda mungkin juga menyukai