Disusun oleh:
Dr. Eko Suharto,ST., M.Si.
Dr. Valentina Arminah, M.Si.
Dr. Ir. Rochmat Martanto, M.Si.
Laporan Penelitian
Disusun oleh:
Dr. Eko Suharto,ST., M.Si.
Dr. Valentina Arminah, M.Si.
Dr. Ir. Rochmat Martanto, M.Si.
ttd
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.................................................................................................... i
HALAMAN
PENGESAHAN....................................................................................... ii
DAFTAR
ISI................................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah........................................................................................
9
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................
10
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................
10
E. Novelty (Kebaharuan Penelitian .................................................................
10
3
2.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perambahan tanah kehutanan .......
20
2.5. Penataan Ruang Hutan lestari ................................................................
21
2.6. Kerangka Teori .....................................................................................
24
2.7. Pertanyaan Penelitian ..............................................................................
25
4
4.2. Kondisi Hutan di Pulau Bintan .........................................................
59
4.3. Fakto-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perambahan Hutan
di Pulau Bintan ..................................................................................
71
4.4. Model ”Buffer Zone” antara Tanah Milik dan Hutan Lindung .........
73
BAB I. PENDAHULUAN
5
Kepastian batas wilayah kawasan hutan merupakan salah satu unsur penting
batas wilayah kawasan hutan dapat menghambat efektifitas tata kelola hutan di
Indonesia. Berdasarkan data Direktur Jendral Planologi Kehutanan (2011), dari seluruh
kawasan hutan seluas 130 juta hektar, baru sekitar 14,2 juta hektar atau 12 persen area
yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”). Ketidakpastian ini memicu
yang bermukim di sekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan
dengan kawasan hutan. Persoalan ketidakpastian tanda batas hutan ini tidak hanya
menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan
lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin
Tanda batas wilayah kawasan hutan sudah semestinya menjadi prioritas agar
kepastian hukum atas kawasan hutan menjadi jelas. Proses pengukuhan kawasan hutan,
dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas,
pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini dalam rangka untuk menuju suatu
kawasan hutan yang “legal dan legitimate”. Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan
telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya
6
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional tentang Tenurial
dan Tata Kelola Hutan dan Kewirausahaan di Lombok pada tahun 2011, meliputi hal-
hutan dan koordinasi kewenangan antara sektor yang terkait dengan urusan
Adanya paradigma bahwa hutan adalah unit produksi bukan bagian dari proses
pengaturan tata ruang akan menambah kerumitan dalam penataan kawasan hutan,
padahal dalam sistem pengelolaan hutan dengan prinsip ilmiah modern (scientific
forestry, kehutanan ilmiah), hutan dilihat sebagai sebuah unit kesatuan, keteraturan
keuntungan bagi negara dan pelaku bisnis atau untuk mengakumulasi modal
(Peluso,1992).
masyarakat terhadap kayu dan hasil hutan termasuk membuat aturan yang membatasi
kegiatan di hutan yang telah dikuasai, melakukan penentuan jenis-jenis kayu bernilai
(petak) hutan yang memungkinkan eksploitasi hutan sistematik, serta merekrut pekerja
upahan untuk melakukan penjagaan dan eksploitasi hutan merupakan suatu hal yang
mutlak dilakukan.
7
Kenyataan di lapangan bahwa keberadaan hutan tidak lepas dari unsur adanya
manusia seperti keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang telah
bermukim bergenerasi di wilayah tersebut, bahkan sebelum adanya aturan negara, maka
konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar
unsur. Secara teknis penataan batas hutan menjadi elemen penting pengelolaan hutan
yang optimal. Penatabatasan kawasan hutan harus melibatkan seluruh unsur pemerintah
pusat dan daerah, serta masyarakat lokal dengan pengesahan dan berita acara yang jelas
agar tidak lagi terjadi konflik. Perkembangan paradigma pengelolaan hutan harus
ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya melulu praktik pengelolaan teknis
kehutanan.
sumberdaya yang ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat
dimana hutan itu tumbuh dan berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan
hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumberdaya yang ada
didalamnya.Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik
pemerintah, antar pemerintah pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan
pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/ lisensi
Tipologi konflik tenurial kehutanan (Safitri et al., 2011) dapat dijabarkan sebagai
berikut.
8
1. Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk
penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan
hutan
Kemenhut dengan pemerintah daerah dan BPN. Misalnya konflik karena program
5. Konflik antara calo tanah dengan elit politik dengan masyarakat petani dengan
Kemenhut dan BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo tanah yang
6. Konflik antara masyarakat lokal (adat) dengan pemegang izin. Meskipun ini terjadi
akibat Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan
juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang
izin.
konflik dalam kawasan hutan, legalitas pemanfaatan tanah adalah melalui izin dari
dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan
9
kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kenyataan ini berimplikasi pada
munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanian di dalam dan luar kawasan
tanah oleh masyarakat (misalnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah
bahwa tanah kawasan hutan dikuasai oleh negara (dalam hal ini Kemenhut).
sebagai izin untuk memanfaatkan tanah, melainkan izin untuk memanfaatkan sumber
daya hutan di atasnya, meskipun dalam beberapa hal ini tidak dapat disangkal adalah
sebagai salah satu bentuk izin pemanfaatan tanah. Sebagai contoh, Izin pemanfaatan
hutan tanaman dimana pemegang izin dapat menanami kawasan hutan adalah pula izin
3 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh
pemerintah. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah pemerintah pusat (Pasal 1 angka
diselenggarakan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Kehutanan). Dengan ketentuan ini
Undang nomor 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) maka akan bertentangan dengan
10
tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selesainya pengukuhan
kawasan hutan tidak berarti persoalan hukum tuntas. Dasar hukum bagi Kemenhut
untuk menguasai tanah di dalam kawasan hutan negara perlu diberikan. Dalam hal ini
Pasal 2 ayat 4 UUPA memberikan dasar hukum pemberian hak pengelolaan kepada
tanah di kawasan hutan, sebaliknya kondisi ini membatasi kewenangan Kemenhut untuk
mengurus pengelolaan hutan yang berada di atas tanah-tanah di luar kawasan hutan.
Pengelolaan hutan di atas Areal Penggunaan Lain (APL) tidak ada pada Kemenhut
diminimalisir, karena penunjukan kawasan hutan belum sah apabila penetapan kawasan
hutan oleh pemerintah belum keluar. Dan dimungkinkan hutan yang dikuasai
masyarakat adat dikeluarkan dari kawasan hutan negara sebagai hutan masyarakat adat.
Salah satu cara agar kawasan hutan lindung tidak rusak dan dirambah
masyarakat sekitar hutan adalah perlu adanya kawasan penyangga hutan lindung yang
sering dikenal sebagai “buffer zone”. Di dalam UU No 5 Tahun 1990 pada Penjelasan
11
pelestariannya tetap terjamin. Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini
meliputi antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai, wilayah tepi sungai, daerah
pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi eksklusif Indonesia, daerah pasang surut,
jurang, dan wilayah berpolusi berat. Pemanfaatan wilayah tersebut tetap pada subyek
yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan
kehidupan, perlu diadakan penelitian dan inventarisasi, baik terhadap wilayah yang
kawasan konservasi terhadap gangguan dari luar dan melindungi kawasan konservasi
oleh tata guna lahan atau gangguan lainnya, maka dibentuk zona penyangga (buffer
zone) merupakan zona untuk melindungi Taman Nasional dari gangguan yang berasal
apabila suatu Taman Nasional banyak mendapatkan tekanan. Bahkan pada tingkat yang
lebih parah, dapat pula dibentuk suatu zona transisi (transition zone), sehingga di suatu
kawasan Taman Nasional akan terdapat zona taman (core zone), zona penyangga (buffer
zone) dan zona transisi (transition zone). Selanjutnya Wiratno (1994) menyatakan
bahwa pada kawasan penyangga dan kawasan transisi berlangsung pembangunan secara
intens, yang bila tidak dikelola secara baik akan berpengaruh serta menimbulkan
tekanan dan ancaman terhadap eksistensi core zone. Disinilah perlunya koordinasi dan
12
kerjasama berbagai instansi dan institusi agar keberadaan kedua zona dapat mendukung
kelestarian taman.
kebutuhan hidup penduduk sekaligus mencegah kerusakan hutan adalah salah satu hal
diharapkan penduduk tidak akan memasuki wilayah taman. Segala kebutuhannya akan
di suplay oleh kawasan penyanggga, sehingga keutuhan Taman Nasional dapat terjaga.
suatu kantong yang menyediakan berbagai bentuk lapangan kerja bagi penduduk desa-
Taman Nasional bisa terkurangi seminimal mungkin. Kondisi ini diperkuat dengan
peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Suaka Alam dan kawasan
Pelestarian Alam, kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik
Salah satu wilayah yang sedang mengalami masalah dengan perambahan hutan
adalah di Pulau Bintan Provinsi Riau Kepulauan. Pada Tahun 2015 berdasarkan
Pemanfaatan Tanah (IP4T) didapatkan hasil bahwa terdapat 9000 bidang tanah
masyarakat berada di dalam kawasan hutan, dan sampai saat ini proses pelepasan dari
kawasan hutan agar dapat dimiliki oleh masyarakat sedang berlangsung dan belum ada
kepastian (BPN Kabupaten Bintan, 2015) Kenyataan ini akan dapat ditekan seminimal
13
mungkin apabila kawasan penyangga hutan ditentukan dengan tegas dan pengawasan
yang ketat terhadap peraturan yang telah dibuat. Berdasarkan uraian di atas kiranya
perlu dilakukan pembuatan model “buffer zone” yang ideal di antara tanah kawasan
hutan lindung dan tanah milik agar keberadaan hutan tetap lestari dan terdapat
keserasian penataan ruang di suatu kawasan tertentu. Keberadaan “buffer zone” sudah
menjadi kemestian agar perambahan ke hutan lindung dapat dicegah namun masyarakat
tetap dapat memanfaat areal “buffer zone” dengan pengaturan yang ketat.
ketidakjelasan tanda batas antara tanah milik masyarakat dengan tanah kehutanan,
perambahan masyarakat pada tanah kehutanan karena kebutuhan hidup yang semakin
meningkat, sementara masyarakat tidak memiliki tanah yang cukup untuk memenuhi
menentukan kawasan hutan perlu untuk menetapkan kawasan penyangga hutan lindung
dan kawasan ini dapat dimanfaatkan sumber daya alamnya oleh masyarakat tanpa
oleh penduduk sekitar hutan lindung tentu harus memenuhi kriteria peraturan yang telah
ditetapkan. Namun seberapa lebar sabuk dari “buffer zone” menjadi persoalan yang
menarik untuk dikaji, karena tekanan penduduk dengan berbagai kebutuhan, apabila
lebar sabuk “buffer zone” tidak ideal akan menyebabkan kesia-siaan dengan adanya
kawasan penyangga ini. Untuk itu perlu dikaji Faktor-faktor yang mempengaruhi
14
penentuan “buffer zone” dan Lebar ideal sabuk dari “buffer zone” agar kawasan hutan
dapat dilindungi.
2. Membuat model lebar sabuk yang ideal dari “buffer zone” agar kawasan hutan
1. Pertimbangan praktis pembuatan lebar sabuk “buffer zone” dalam kawasan hutan
yang lestari.
2. Bahan kajian keilmuan dalam pembuatan model “buffer zone” yang sesuai fakta di
lapangan
15
Penelitian Deni Susilawati dengan judul “Analisis Dampak dan Faktor yang
Simeulue, NAD yang dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan Juni 2008. Metode
yang digunakan adalah metode analisis regresi binary logistic, analisis deskriptif
dan uji t dua sampel berpasangan dengan jumlah sampael 102 responden. Hasil
dan sering terjadinya kekeringan dari 102 responden terdapat 40,19% masyarakat
Desa Bulu Hadik mengalami penurunan hasil pertanian, 17,64% tetap, 21,56 %
meningkat dan 20,58% tidak bertani. Faktor ekonomi dan lingkungan merupakan
Hutan Raya Raden Soerjo (Studi Kasus: Desa Sumber Brantas Kota Batu”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik Desa Sumber Brantas serta
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, evaluative dan analisis
Desa Sumber Brantas kurang sesuai dengan fungsinya sebagai daerah penyangga
karena dimanfaatkan untuk lahan pertanian hortikultura. Hal ini disebabkan karena
16
lahan di daerah penyangga. Oleh karena itu diperlukan pengaturan pemanfaatan
lahan dan memberdayakan masyarakat desa sebagai pelaku utama dalam kegiatan
pemanfaatan lahan.
dapat disimpulkan bahwa penelitian yang berkaitan dengan kawasan penyangga lebih
sabuk kawasan penyangga masih jarang dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan
dengan judul “Model Buffer Zone Antara Hutan Lindung Dan Tanah Milik Guna
(Studi Kasus Di Pulau Bintan Provinsi Riau Kepulauan)” akan lebih banyak membahas
17
II.1. Model
Pendit (2011) menyatakan bahwa model adalah merupakan bagian dari tahap
pengembangan teori, atau disebut juga proto-theory. Di dalam sebuah penelitian, model
Kadang kala, berbagai model dibuat oleh para ilmuwan di bidang tertentu dan menjadi
semacam panduan teoritis yang menuntun semua jenis penelitian di bidang tersebut.
Setelah sekian lama teruji dalam beberapa penelitian, akhirnya model-model tersebut
dapat saja diterima sebagai sebuah teori yang utuh. Model juga dapat digunakan sebagai
stand in dari kata ”teori”, sebagai mini-teori, dan sebagai cara sederhana
Sebuah model adalah reprentasi sebuah kerangka teori. Teori dapat menyiratkan
lebih dari satu model tetapi sebuah model tidak dapat mempunyai banyak teori yang
diwakili, atau dapat dikatakan bahwa model adalah level lebih rendah dari teori. Tidak
terdapat perbedaan antara suatu teori dan suatu model. Teori adalah abstrak dan model
adalah konkrit.
merupakan “kerangka kerja” yang dapat dipakai untuk menguraikan sebuah persoalan
yang sedang diteliti. Dimungkinkan dalam sebuah model terdapat beberapa konsep
pemikiran yang menjadi bagian utama dari sebuah teori tertentu. Dengan kata lain,
sebuah model seringkali disebut sebagai bentuk praktis dari sebuah teori; sebagai
semacam “terjemahan” teori yang langsung dapat dipakai pada sebuah penelitian
tertentu (Pendit, 2011). Selain sebagai kerangka berpikir, model sering digunakan
sebagai bagian dari upaya menemukan pola (pattern) atau pemetaan (maaping).
18
Rana (2013) menyatakan bahwa sebuah model adalah susunan sederhana dari
realitas, yang menyajikan sebuah dugaan kenampakan penting yang berkaitan dengan
bentuk umum. Model adalah perkiraan yang mempunyai subjektivitas tinggi, yang tidak
mencakup semua pengamatan atau pengukuran yang terkait, tetapi cukup bernilai dalam
memenuhi keperluan saat tertentu dengan menampakkan beberapa aspek mendasar dari
memiliki berbagai tingkat probabilitas dan keterbatasan kondisi pada saat model
diterapkan. Nilai model sering berhubungan dengan tingkat abstraksi, maka semua
model membutuhkan perbaikan sebagai informasi baru atau pandangan realitas yang
muncul. Model yang berhasil adalah model yang dibentuk dengan memperhatikan
perbaikan dan melibatkan bentuk model lain yang berbeda (Chorley & Hagget, 1967).
Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau
dalam Chairullah (2005) mendefinisikan model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya,
dalam bentuk yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat
menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan
1) model merupakan kerangkan kerja yang dapat dipakai untuk menguraikan persoalan
19
3) suatu model adalah sebuah bentuk yang sederhana dari realitas yang
umum;
4) model adalah pendugaan yang memiliki subjektivitias tinggi dan tidak mencakup
semua aspek pengamatan atau pengukuran, tetapi dapat digunakan untuk mewakili
5) model memiliki berbagai tingkat probabilitas dan keterbatasan kondisi pada saat
model diterapkan;
6) model yang berhasil memiliki probabilitas tinggi dalam penerapannya dan sesuai
Model berbeda dengan realitas atau perkiraan dari realitas. Model yang baik
adalah sejalan dengan realitas. “Benar” atau “salah” dalam penjelasan model tidak
digunakan, tetapi digunakan istilah “sesuai” atau “signifikan”. Dalam penelitian ini
model yang digunakan adalah pendugaan yang memiliki subjektivitas tinggi dan tidak
mencakup aspek pengamatan atau pengukuran, tetapi dapat digunakan untuk mewakili
beberapa aspek yang mendasar dari realitas. Model yang dimaksud adalah model pola
perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi antara lain hutan lindung, daerah
aliran sungai, areal tepi sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi
eksklusif Indonesia, daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi berat. Pemanfaatan
areal atau wilayah tersebut tetap pada subyek yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu
tertentu sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, perlu diadakan penelitian dan
inventarisasi, baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan maupun yang akan
ditetapkan.
kawasan konservasi terhadap gangguan dari luar dan melindungi kawasan konservasi
oleh tata guna lahan atau gangguan lainnya, maka dibentuk zona penyangga (buffer
zone) merupakan zona untuk melindungi Taman Nasional dari gangguan yang berasal
apabila suatu Taman Nasional banyak mendapatkan tekanan. Bahkan pada tingkat yang
lebih parah, dapat pula dibentuk suatu zona transisi (transition zone). Sehingga di suatu
kawasan Taman Nasional akan terdapat zona taman (core zone), zona penyangga (buffer
zone) dan zona transisi (transition zone). Selanjutnya Wiratno (1994) menyatakan
bahwa pada kawasan penyangga dan kawasan transisi berlangsung pembangunan secara
intens, yang bila tidak dikelola secara baik akan berpengaruh serta menimbulkan
tekanan dan ancaman terhadap eksistensi core zone. Disinilah perlunya koordinasi dan
21
kerjasama berbagai instansi dan institusi agar keberadaan kedua zona dapat mendukung
kelestarian Taman.
kebutuhan hidup penduduk sekaligus mencegah kerusakan hutan adalah salah satu hal
akan memasuki wilayah taman. Segala kebutuhannya akan di suplay oleh kawasan
suatu kantong yang menyediakan berbagai bentuk lapangan kerja bagi penduduk desa-
Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam, kawasan suaka alam adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi
ekosistemnya juga sebagai wilayah penyangga hidup. Apabila kawasan penyangga ini
dikaitkan dengan kehutanan, maka kawasan hutan yang menjadi wilayah peralihan
Zona penyangga yang digunakan dalam penelitian ini adalah zona yang
membatasi kawasan hutan lindung dan tanah milik masyarakat disekitar hutan. Zona ini
dipilih agar kawasan lindung nantinya dapat terlindungi dari perambahan hutan oleh
22
masyarakat sekitar hutan. Kawasan konservasi tidak digunakan karena kawasan ini
seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga perlu lebih jauh ke kawasan lindung.
konservasi; fungsi lindung; dan fungsi produksi. Pada umumnya semua hutan
mempunyai fungsi konservasi, lindung dan produksi. Setiap wilayah hutan mempunyai
kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna serta
Kawasan Hutan tersebut menjadi fungsi pokok dari hutan. Yang dimaksudkan dengan
fungsi pokok adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan. Fungsi pokok dari
hutan Indonesia adalah: 1) fungsi pokok sebagai hutan konservasi; 2) fungsi pokok
sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
lindung dapat dilakukan dengan tidak merusak lingkungan ataupun mengurangi fungsi
utama kawasan, melalui pemberian izin usaha, yaitu untuk: Pemanfaatan kawasan,
misalnya: budidaya jamur, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman
23
pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan; Pemungutan hasil hutan
menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung bagi generasi sekarang dan yang akan
datang.
memproduksi hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari: 1) Hutan produksi tetap (HP)
adalah : hutan yang dapat di eksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih maupun
dengan cara tebang habis; 2) Hutan produksi terbatas (HPT) adalah : merupakan hutan
yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. Hutan Produksi Terbatas
merupakan hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah.
Hutan produksi terbatas ini umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng -
lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan; 3) Hutan Produksi Yang Dapat
Dikonversi (HPK).
lindung sudah sangat cocok dengan tujuan dari beradaan hutan lindung adalah
keberadaan sumber air yang abadi dan meningkatkan fungsi hutan untuk generasi yang
akan dating.
24
II.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perambahan tanah kehutanan
Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah perambahan hutan di sekitar hutan
maupun dikawasan hutan. Menurut Tanjung (2006), terdapat beberapa faktor yang
1) Faktor Ekonomi
pencahariannya dari sektor pertanian. Keterbatasan tanah yang dimiliki oleh setiap
4) Adanya Sponsor
seperti pencurian kayu, dan hasil hutan yang lain, karena terdapat sponsor yang
25
5) Keterbatasan Pengawas Kehutanan
yang terbatas, sehingga dengan luasan hutan yang ada tidak dapat terawasi dengan baik,
Pelaksanaan sanksi hukum yang yang tidak tegas merupakan alasan masyarakat
seringkali melakukan perambahan hutan yang berulang. Kasus perambahan hutan sudah
berlangsung bertahun-tahun namun tidak segera diambil tindakan yang tegas, bahkan
dilakukan, dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian dengan mengambil faktor-
faktor yang dikemukan oleh Tanjung (2006). Dipilihnya pendapat Tanjung ini karena
faktor-faktor tersebut.
Tata kelola hutan lestari tidak dapat dilepaskan dari unsur pengelola. Hutan
yang hanya diorentasikan kepada pemanfaatan hutan melalui pemberian izin semata
dengan cara membagi-bagi seluruh kawasan hutan produksi. Tata kelola harus dilihat
dari proses keserasian antara pengukuhan dan penetapan kawasan hutan dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), sehingga pengelolaan hutan dilihat
sebagai sebuah “landscape” ekonomi, politik, sosial dan tata ruang yang utuh.
26
Analisis BAPPENAS di tahun 2010 terkait permasalahan mendasar pada sektor
kehutanan Indonesia menunjukan bahwa tata kelola yang buruk, ketidakjelasan hak
menyelamatkan hutan yaitu: (1) Pemantapan kawasan hutan yang berbasis pengelolaan
hutan lestari, (2) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS, (3)
Perlindungan dan pengamanan hutan, (4) Konservasi sumberdaya alam hayati dan
masyarakat di sekitar hutan, (7) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor
deforestasi yang tinggi mendorong lahirnya sistem pengelolaan unit terkecil di tingkat
tapak yang diamanatkan oleh UU nomor 41/1999 pasal 10, 12, dan 17 ayat (1) yang
sekarang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep dasar dari KPH adalah
transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014).
Konsep KPH, diharapkan menjadi dasar agar terlaksananya sistem pengelolaan hutan
resolusi konflik yang selama ini cenderung mengedepankan kepentingan pemodal besar
dan mengabaikan akses masyarakat (Srijono dan Djajono 2010; Syukur 2012). Dalam
27
konteks ini KPH diharapkan berperan dalam konteks perbaikan tata kelola hutan yang
Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL (lindung) dan KPHP (produksi), maka fungsi
kerja KPH dalam kaitannya dengan tatakelola hutan di tingkat tapak adalah: (1)
Melaksanakan penataan hutan dan tatabatas di wilayah KPH, (2) Menyusun rencana
KPH, (3) Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kerja pengelolaan hutan
yang dilaksanakan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
perlindungan hutan dan konservasi alam, (6) Melaksanakan pengelolaan hutan bagi
KPH yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), (7)
Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan, (8)
lestari.
Hutan lestari merupakan hutan yang dapat memberikan banyak kepada manusia
yang hidup saat sekerang dan yang akan datang, dengan pengelolaan hutan lestari di
kawasan hutan secara tidak langsung ikut melakukan penataan ruang, sehingga fungsi
28
II.6. Kerangka Teori
dapat memanfaatkan sumber daya yang yang terdapat dikawasan ini seoptimal mungkin
jumlah sponsor perambahan hutan (pemodal), jumlah sanksi hukum, jumlah petugas
pengawas kehutanan. Faktor penentuan lebar sabuk” buffer zone” dapat didekati
Regresi Linear Berganda dapat digunakan untuk menentukan model matematis faktor-
digunakan untuk simulasi lebar sabuk “buffer zone” yang ideal untuk penataan ruang
29
Masyarakat Sekitar Hutan Tanah
Petani/Memanfaatkan Tanah
Tanah Negara
30
BAB III. METODE PENELITIAN
berdasarkan data di lapangan (Singarimbun & Effendi, 1989). Pada penelitian ini
penelitian ini mencakup lokasi penelitian, variabel penelitian, data, bahan dan alat,
prosedur pelaksanaan penelitian, cara pengumpulan data dan pengolahan data, dan
analisis hasil.
Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang terletak di Provinsi Riau
Kepulauan. Pulau Bintan terdiri dari dua wilayah administratif yaitu Kota Tanjung
Kota Tanjungpinang dan Kota Batam, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi
Bintan Buyu memiliki luas 1.739,44 Km2 yang terbagi dalam 51 Desa/ Kelurahan dan
Teluk Sebong, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kecamatan Bintan Timur, Kecamatan
31
Kota dengan luas wilayah 239,50 km2. Batas-batas wilayah Kota
Kabupaten Kepulauan Riau dan Kota Batam, Sebelah Selatan: Kecamatan Bintan
Timur, Kabupaten Kepulauan Riau, Sebelah Barat: Kecamatan Galang, Kota Batam,
Sebelah Timur: Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Kepulauan Riau. Peta Pulau
32
3.2. Variabel Penelitian, dan Data Penelitian
dependen adalah jarak perambahan ke hutan lindung (Y) dan variabel independen
penelitian ini yaitu: kepadatan penduduk (X1), pendapatan keluarga (X2), tingkat
pendidikan keluarga (3), jenis tanah/batuan (X4), jumlah jiwa dalam keluarga (X5),
lereng (X6).
atas peta, dan wawancara responden dan informan. Data primer dalam penelitian ini
yaitu: data pendidikan responden, data pendapatan responden, jumlah petugas pengawas
hutan yang dijatuhi hukuman, jarak perambahan hutan lindung di tiap sampel penelitian.
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi: peta kehutanan daerah penelitian,
jumlah dan kepadatan penduduk dalam rentang 5 tahun terakhir, jumlah pengawas
kehutanan di seluruh lokasi penelitian, data perambahan hutan yang masuk pengadilan,
Penelitian akan berhasil dengan baik, jika didukung dengan pengumpulan data
yang lengkap. Untuk itu dibutuhkan bahan dan peralatan yang memadai untuk
pengambilan data.
33
3.3.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: peta administrasi lokasi
penelitian, peta kawasan hutan di pulau Bintan, peta penggunaan tanah pulau Bintan,
Peta Kemampuan Tanah di lokasi penelitian, Peta Pendaftaran tanah di sekitar kawasan
hutan.
3.3.2. Alat
posisi sampel dan lebar perambahan hutan yang terjadi, kamera digital digunakan
Autocad untuk pengukuran jarak di atas peta, dan AcrGIS 10.1 digunakan
pembuatan model “buffer zone ”dan analisis spasial model “buffer zone”, SPSS
di Pulau Bintan.
34
3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
berikut:
1) Tahap pertama, studi literatur untuk penyusunan model teoritis faktor-faktor yang
hutan yang dijatuhi hukuman dan mendapatkan data sekunder seperti peta
penelitian;
3) Tahap ketiga, pengujian statistik dengan regresi linear berganda untuk menjawab
4) Tahap keempat, pembuatan model “buffer zone” dengan perangkat lunak ArcGIS
SK.76/MenLHK-II/2016;
5) Analisis Model “buffer zone” dengan ArcGIS untuk mengetahui luasan dan
penggunaaan lahan saat penelitian dilakukan dengan verifikasi data yang didapatkan
lapangan.
35
Prosedur tahapan penelitian secara singkat disajikan pada diagram alir tahapan
Faktor-Faktor penentu
perambahan hutan lindung
Model “buffer zone”
= arah
.5. Populasi dankerja
Sampel
36
3.5. Populasi, Sampel, Pengumpulan dan Pengolahan Data.
Populasi dalam penelitian terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu 1) jarak perambahan
merambah hutan dengan kriteria penduduk yang padat, sedang dan tidak padat. Sampel
diambil secara acak terhadap masyarakat di sekitar kawasan hutan. Jumlah sampel yang
diambil adalah 50 responden tersebar di tiga hutan lindung, yaitu Hutan Lindung Batu
Kucing, Hutan Lindung Gunung Kijang dan Hutan Lindung Sungai Pulai.
1) Professional judgement bertujuan untuk menilai validitas atau kesahihan tiap isi
2) Data jarak masuk perambahan ke hutan lindung didapatkan data lapangan dan dari
digitasi jarak perambahan ke kawasan hutan dengan perangkat lunak Autodesk Map
2004;
Tabel 3.1.
37
Tabel 3.1. Klasifikasi Tingkat Pendidikan
No Tahun sukses (tahun) Keterangan
1 ≤6 Sangat Rendah
2 6–≤9 Rendah
3 9 – ≤ 12 Sedang
4 >12 Tinggi
Sumber: Modifikasi UU SISDIKNAS RI No. 20 Th. 2003
4) Data jumlah jiwa dalam keluarga adalah jumlah anggota keluarga pada saat
penelitian dilakukan yang didapatkan dari wawancara dengan kepala keluarga yang
menguasai dan menempati lahan di sekitar hutan dan yang menempati tanah
kehutanan;
5) Data kepadatan penduduk didapatkan dari data BPS Kabupaten Bintan lima tahun
terakhir.
pada Peta Kemiringan lahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya di atas
peta akan terlihat sampel termasuk kemiringan lahan berapa. Kategorisasi seperti
titik-titik sampel dari GPS pada Peta Kemampuan Tanah yang telah disiapkan
sebelumnya. Setelah sampel diplotkan akan tampak sampel terletak pada jenis
38
tanah apa di atas peta jenis tanah. Selanjutnya jenis tanah sampel dikategorisasikan
1) Seluruh data, baik data primer dan sekunder disusun dalam satu format data
dalam bentuk microsoft excel worksheet dan diolah dengan Program SPSS
3) Pada proses yang lain untuk mendapatkan model “buffer zone” dilakukan
overlay Peta Penggunaan Tanah, Peta Administrasi dan Peta Kawasan Hutan
Hasil perhitungan data dengan software SPSS regresi linear berganda digunakan
untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada perambahan hutan lindung untuk
39
3.6.2. Overlay peta
tentang model spasial “buffer zone” berdasarkan kondisi penggunaan tanah di lapangan
pada saat penelitian berlangsung, sekaligus untuk analisis luasan “buffer zone” dan
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pulau Bintan adalah pulau di provinsi Kepulauan Riau, di mana terdapat Kota
Tanjungpinang, Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Di Pulau ini memiliki tiga
Bintan adalah pulau terbesar di Kepulauan Riau, yang terdiri dari hampir 3.000
pulau besar dan kecil, terbentang di sebrang Singapura dan Johor Baru, Malaysia. Pulau
ini melebar dari Malaka ke Laut Cina Selatan. Tanjungpinang merupakan ibu kota
provinsi ini, terletak di pantai barat selatan Bintan. Secara strategis terletak di
semenanjung selatan Malaysia di mulut Selat Malaka, kepulauan Riau, dahulu pada
abad pertama masehi, merupakan tempat favorit bagi kapal dagang India dan Cina.
Tujuan wisata teratas di sini adalah Bintan Resor, destinasi wisata berupa pantai
yang spektakuler di utara pulau, dengan luas 23,000 hektare diatas pasir putih yang
menghadap ke Laut Cina Selatan. Pulau ini juga memiliki riwayat yang menarik di
dan ekowisata untuk pelajar dan keluarga, tetapi juga ideal untuk bersantai dan
kesehatan.
41
Pantai di salah satu resor di Pulau Bintan. Sementara, bagi mereka yang suka
yang masih alami, dapat dijangkau dari bandara Tanjungpinang. Sedangkan, kepulauan
Natuna dapat dijangkau dari Batam. Tidak heran lagi, pada abad ke-18, pedagang dari
Eropa, Portugis, Belanda dan Inggris saling bertarung memperebutkan pulau ini. Pada
waktu itu, pulau ini bagian dari Semenanjung Melayu dikuasai oleh Kesultanan Johor-
Riau, yang diduduki secara berganti antara Johor – berada di Malaysia saat ini - dan
Pada 1884 Inggris dan Belanda menutup pertentangan mereka di pulau ini
dengan menandatangani Treaty of London, yang kemudian semua wilayah teritoris utara
diserahkan pada Belanda. Sejak saat itu takdir dan sejarah wilayah utara dan selatan
Bintan.
Singapura, sebuah persetujuan ditanda tangani antara kedua belah pihak untuk
negara dalam Zona Perdagangan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Bentuk pertama
dari perjanjian ini adalah pembangunan Bintan Resor, destinasi wisata pantai, seluas
23,000 hektare di atas pasir putih Bintan nan indah yang menghadap Laut Cina Selatan.
Disamping itu, Salah satu destinasi wisata dipulau ini adalah pantai Trikora dan Pantai
Lagoi yang telah terkenal di dunia, tercatat lebih dari ratusan ribu turis manca negara
42
mengunjungi Lagoi setiap tahunnya. Kawasan pariwisata Lagoi terletak di Bagian Utara
terutama pertanian sayuran dataran rendah dan Hortikultura. Potensi pertanian pulau
Kecamatan Teluk Bintan. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Kecamatan Toapaya ditetapkan
Kepulauan Riau dan Kabupaten Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan
Februari 2006.
Kabupaten Kepulauan Riau (Bintan) telah dikenal beberapa abad silam tidak hanya di
belahan nusantara ini, tetapi juga di mancanegara. Wilayahnya mempunyai ciri khas
terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar di Laut Cina Selatan. Karena
itulah, julukan “Bumi Segantang Lada” sangat tepat untuk menggambarkan betapa
banyaknya pulau yang ada di daerah ini. Pada kurun waktu 1722-1911, di Kepulauan
Riau terdapat dua kerajaan Melayu yang berkuasa dan berdaulat, yaitu Kerajaan Riau
Lingga yang pusat kerajaannya berada di Daik dan Kerajaan Melayu Riau dengan pusat
tersebut dilebur menjadi satu sehingga menjadi semakin kuat. Wilayah kekuasaannya
pun tidak hanya terbatas di Kepulauan Riau saja, tetapi telah meliputi wilayah Johor dan
Malaka (Malaysia), Singapura dan sebagian kecil wilayah Indragiri Hilir. Pusat
kerajaannya berada di Pulau Penyengat dan menjadi terkenal di Nusantara dan kawasan
Semenanjung.
Setelah Sultan Riau meninggal pada tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda
44
dan Onder Districh Thoarden untuk daerah yang agak kecil. Pemerintah Hindia
Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau Lingga dengan Indragiri untuk dijadikan
sebuah Keresidenan yang dibagi menjadi dua Afdelling, yaitu Afdelling Tanjungpinang
yang meliputi Kepulauan Riau – Lingga, Indragiri Hilir dan Kateman yang
Asisten Residen (dibawah) perintah Residen. Dalam tahun 1940 Keresidenan ini
dan sebelum tahun 1945 – 1949 berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda
tanggal 17 Juli 1947 No. 9 dibentuk daerah Zelf Bestur (daerah Riau).
Tengah tanggal 18 Mei 1950 No. 9/Deprt/1950 menggabungkan diri ke dalam Republik
Indonesia, dan Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai
oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai
Bintan Selatan (termasuk Kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan
Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang, serta
Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan,
45
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan No. 26/K/1965 dengan mempedomani
Instruksi Gubernur Daerah Tingkat I Riau tanggal 10 Februari 1964 No. 524/A/194 dan
Instruksi No.16/V/1964 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau
Pada tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1983, telah
yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur, dan pada
tahun yang sama sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1983 telah pula
Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut, maka Batam tidak lagi menjadi
Otonom yang terpisah dari Kabupaten Kepulauan Riau dengan memiliki empat
46
Secara Geografis Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang
Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Timur.
pertambangan dan Peternakan. Dibidang pariwisata, iklim dan kondisi alam yang
Misalnya Lagoi yang memiliki pemandangan laut dan pantai yang telah menarik minat
lebih dari 40.000 wisatawan mancanegara. Dilahan seluas 23.000 ha terdapat 7 hotel
hole.
seluas 500 ha di Kijang dan 100 ha di Bintan Barat sebagai areal hutan industri dan
Pada sektor industri, Kabupaten ini mempunyai kawasan industri di Lobam sebagai
salah satu hasil dari kerjasama ekonomi antara Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Industri perikanan juga berperan penting di kabupaten ini dengan didukung oleh
luas wilayah perairan seluas 95%. Para investor disarankan untuk mengembangkan
sektor ini di wilayah timur, yaitu di wilayah Tambelan dengan 54 pulau. Wilayah ini
cocok untuk perikanan dan budidaya terumbu karang seluas 117,480 ha. Pariwisata laut
cocok untuk wilayah ini dengan didukung oleh pasir pantai yang bersih dan putih.
47
Pada sektor peternakan, Kabupaten Bintan merupakan daerah yang sangat
potensial dalam pengembangan ternak sapi (jenis sapi Bali), kambing, babi, itik dan
ayam (buras dan ras pedaging/petelur) sebagai penyuplai pasokan bahan pangan asal
hewan di Kepulauan Riau, khususnya untuk daerah perkotaan seperti Kota Kijang, Kota
Tanjung Uban dan Kota Tanjungpinang. Tercatat populasi ternak Sapi di Bintan hampir
mendekati 1000 ekor pada tahun 2010, angka ini akan diupayakan untuk terus
meningkat seiring dengan tingginya permintaan daging dan permintaan sapi, khususnya
sapi potong pada saat hari raya Idul Adha (Hari Raya Kurban). Ayam Buras: 199.383
ekor, Kambing: 900 ekor, Itik: 3.663 ekor, Babi: 3.500 ekor, Ayam Ras Petelur: 265.700
ekor dan Ayam Ras Pedaging: 2.499.700 ekor. Untuk menjaga kesehatan ternak, di
Kabupaten Bintan terdapat 5 orang Dokter Hewan dan dibantu oleh beberapa
paramedis veteriner dengan ditunjang oleh 2 buah sarana Pos Kesehatan Hewan
(Poskeswan) yang berlokasi di Desa Sri Bintan dan Desa Ekang Anculai Kecamatan
Teluk Sebong, selain Poskeswan, di Kabupaten Bintan juga terdapat Rumah Potong
Berbicara tentang sejarah berdirinya Kecamatan Bintan Utara maka sama tuanya
Bagian Utara dan Sumatera Bagian Selatan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Indonesia. Kemudian Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang
48
dikepalai oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan
sebagai berikut:
(dua) kecamatan
Timur. Dan pada tahun yang sama sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1983 telah pula dibentuk Kotamadya Administratif Batam. Dengan adanya
pengembangan wilayah tersebut maka Batam tidak lagi menjadi bagian dari wilayah
Disaat bupati Kepulauan Riau dijabat oleh Kolonel (Caj) H Abdul Manan
Saiman pada tahun 1990, dibuat kebijakan pembagian daerah administratif Kabupaten
49
Daerah Tingkat II kepulauan Riau menjadi 4 Pembantu Bupati. Di mana Pembantu
Bupati Wilayah I Pulau Tujuh berkedudukan di Ranai terdiri dari Kecamatan Bunguran
dan Moro. Sedangkan Pembantu Bupati Wilayah III Dabo terdiri dari Kecamatan
terdiri dari Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Bintan Timur dan Galang.
Pasca lengsernya Rezim Orde Baru pada Tahun 1998, Indonesia memasuki Orde
Reformasi. Telah terjadi perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang
Tahun 1999 yang ditandatangani Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 7
Mei 1999.
menunjukkan bahwa hingga Juni 2009, sudah terbentuk 7 provinsi baru di Indonesia,
399 kabupaten dan 98 kota yang tersebar dari Sabang hingga Marauke, termasuk di
Kepri.
50
Kabupaten Karimun yang terdiri dari Kecamatan Karimun, Kecamatan Moro dan
Kecamatan Kundur.
Kecamatan Serasan dan Kecamatan Midai atau dulu dikenal dengan nama Kecamatan
Pulau Tujuh.
Padang, Kecamatan Batam Barat, Kecamatan Batam Timur dan sebagian wilayah
Kabupaten Kepulauan Riau yang terdiri atas sebagian wilayah Kecamatan Galang, yang
meliputi Desa Rempang Cate, Desa Sembulang, Desa Sijantung, Desa Karas dan Desa
Pulau Abang.
Selain itu wilayah pemerintah Kotamadya Batam juga mengambil sebagian wilayah
Kecamatan Bintan Utara, yang meliputi sebagian wilayah Desa Galang Baru, yaitu
Pulau Air Raja dan Pulau Mencaras dan Desa Subang Mas.
Timur.
51
Administratif Tanjungpinang menjadi Kota Tanjungpinang yang terpisah dari
Kabupaten Bintan.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2003 tertanggal 18 Maret 2003
yang ditandatangani Bupati Kepulauan Riau H Huzrin Hood dibentuk Kecamatan Teluk
Sebong dengan batas wilayah hingga ke Desa Berakit dan Desa Pengudang di utara
kota Kabupaten Kepulauan Riau di Desa Bintan Buyu yang diberi nama Bandar Seri
Bentan dan diperkuat dengan peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2004 tentang
DPRD Kabupaten Kepri telah diusulkan nama Kabupaten Kepulauan Riau menjadi
Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor
Yudhoyono.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2007, Bupati Bintan Ansar
Ahmad atas persetujuan DPRD Bintan membentuk 4 kecamatan baru yang terdiri dari :
52
2. Kecamatan Bintan Pesisir pemekaran dari Kecamatan Bintan Timur
sejumlah masyarakat di Kecamatan Bintan Utara berteriak untuk meminta agar daerah
mereka bisa dijadikan daerah otonom baru di Provinsi Kepri. Upaya pemekaran wilayah
sepakat untuk mendirikan Badan Perjuangan Pembentukan Kota Bintan Bagian Utara
Berbagai pertimbangan ditelusuri dan dikaji, cerita sejarah (story of history) yang
cukup panjang menjadi salah satu pertimbangan. Selain itu berbagai potensi yang ada
juga menjadi alasan lain. Bintan Utara pada umumnya memiliki banyak keunggulan
sejumlah instansi yang ada di Indonesia. Sebut saja PT Pertamina (Persero) yang sudah
53
duluan mendirikan UPMS I di Tanjunguban, TNI-AL yang mendirikan 3 kesatuan di
Kemudian TNI-AU yang membangun Pangkalan Satuan Radar (Satrad) 213 di Desa Sri
Bintan, Teluk Sebong, Polri membangun markas komando Brigade Mobil (Brimob)
Kompi II Pelopor Polda Kepri dan markas komando Polres Bintan di Jago,
Tanjunguban.
Selanjutnya PDAM Tanjung Uban yang berdiri pada tahun 1966, PT PLN, PT
tumbuhan, pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP), pelabuhan roll on roll off (roro)
PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan beberapa lagi fasilitas milik pemerintah, baik
Kabupaten Bintan. Selain itu jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak (TK)
Hingga Januari 2011, Kecamatan Bintan Utara, Seri Kuala Lobam, Teluk Sebong dan
54
Di sektor perbankan, hampir mayoritas bank yang ada di Indonesia ikut
meramaikan geliat ekonomi di Bintan Utara. Pemimpin Bank Indonesia Kepri, Elang
Tri Praptomo saat pembukaan kantor cabang pembantu Bank Danamon Simpan Pinjam
(DSP) Tanjunguban pernah mengatakan, dengan banyaknya bank yang buka kantor di
Tanjunguban, menandakan wilayah ini memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
pada tanggal 28 Agustus 1990 menambah lagi keunggulan Bintan Utara dengan
pembangunan Kawasan Industri Bintan (KIB) oleh PT Bintan Inti Industrial Estate
(BIIE) di Lobam, Bintan Utara dan wisata terpadu Bintan Beach International Resort
menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bintan per-Maret
2011, jumlah penduduk di Kecamatan Bintan Utara adalah sebesar 23,324 jiwa. Apabila
Utara yang kini sudah menjadi Kecamatan sendiri seperti Kecamatan Teluk Sebong
(16.089 jiwa) dan Kecamatan Seri Kuala Lobam (17.657 jiwa) dan ditambah Kecamatan
Teluk Bintan (10.191 jiwa) yang dulu pernah masuk dalam Daerah Administratif
Bintan Utara yang dulu memiliki batas wilayah hingga ke Desa Pengudang dan Desa
55
Berakit di wilayah Kecamatan Teluk Sebong dan Desa Galang Baru yang terdiri dari
Pulau Air Raja dan Pulau Mencaras serta Desa Subang Emas di Kota Batam boleh iri
rentang kendali dan potensi yang ada, batas minimal usia penyelenggaraan
Tahun 2004 yang terdiri dari adanya persetujuan DPRD dan Bupati Bintan, persetujuan
DPRD dan Gubernur Kepri, rekomendasi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi,
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), Presiden RI dan DPR RI. Sedangkan
syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan
Begitu juga syarat fisik yang meliputi paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk
pembentukan Kota Bintan Utara, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana
pemerintahan juga sudah tersedia dengan adanya dukungan aspirasi dari Badan
56
Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dari 4
kecamatan tersebut.
Apabila nanti daerah otonom baru di Bintan bagian utara ini terwujud maka
setiap kecamatan yang bergabung didalamnya akan memiliki potensi dan keunggulan
yang berbeda-beda. Kecamatan Teluk Sebong yang sudah terkenal dengan kehadiran
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kabupaten induk akan dipertahankan dan terus
Kecamatan Seri Kuala Lobam yang terkena l dengan Kawasan Industri Bintan
(KIB) Lobam akan terus dipertahankan sebagai landmark industri di Bintan bagian
utara. Pemerintahan daerah yang baru harus mampu membentuk tim promosi dan
marketing yang handal untuk menjual daerah tersebut sebagai daerah tujuan investasi
Sedangkan Kecamatan Teluk Bintan yang sudah duluan ditetapkan sebagai lokasi
ibukota baru di Bintan Buyu oleh Pemkab Bintan akan dipertahankan sebagai kawasan
pusat pemerintahan. Diyakini hanya dalam 5 tahun, Bandar Seri Bentan akan
berkembang pesat menjadi sebuah ikon baru di Provinsi Kepri sebagai pusat
pemerintahan dengan panorama alami Gunung Bintan yang memiliki tinggi 340 meter
57
dengan membentuk BP2KB2U maka daerah itu lebih layak apabila dikembangkan
Masyarakat daerah otonom baru di Bintan bagian utara secara legowo dalam
tahun pertama dan kedua pemerintahan daerah tersebut untuk mengalokasikan APBD
Indonesia. Memang perlu kerja ekstra keras dan seni berkomunikasi (art of
bagian utara akan menjadi sebuah daerah otonomi baru yang baldatun thoyibbun
kabupaten/kota yang ada di Kepri pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dan
bukan tidak mungkin setelah itu masyarakat Tanjunguban akan berpikir untuk mulai
memisahkan diri menjadi Kota otonom baru, Kota Tanjunguban berdampingan dengan
58
IV.1.2 KOTA TANJUNGPINANG
Pinang) adalah ibu kota Kepulauan Riau, Indonesia. Yang terletak di koordinat 0º5'
lintang utara dan 104º27' bujur timur, tepatnya di Pulau Bintan. Kota ini memiliki cukup
banyak daerah pariwisata seperti Pulau Penyengat yang hanya berjarak kurang lebih 2
mil dari pelabuhan laut Tanjungpinang - Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pantai
Trikora dengan pasir putihnya terletak kurang lebih 65 km dari kota, dan pantai
buatan yaitu Tepi Laut yang terletak di garis pantai pusat kota sebagai pemanis atau
kapal jenis feri dan feri cepat (speedboat) untuk akses domestik ke pulau Batam dan
59
pulau-pulau lain seperti; kepulauan Karimun dan Kundur, serta kota-kota lain di Riau
dari Kerajaan Melayu, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugal, Sultan Mahmud
awal kemerdekaan Indonesia, menjadi ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau. Setelah
berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2001, pada tanggal 21 Juni 2001, statusnya menjadi
ke Senggarang (bagian utara kota) sebagai pusat pemerintahan. Hal ini ditujukan untuk
Pada tahun 2002 Dra. Hj. Suryatati A. Manan terpilih sebagai walikota pertama
melalui pemilihan oleh DPRD Kota Tanjungpinang. Pada tahun 2007, ia terpilih
kembali untuk menjadi Wali Kota Tanjungpinang. Kemudian pada tahun 2013, ia
60
Tanjungpinang terbagi menjadi 4 kecamatan dan 18 kelurahan. Kecamatan-kecamatan
kawasan rawa bakau, dan sebagian lain merupakan perbukitan sehingga lahan kota
udaranya berkisar antara 1.010,2 mbs dan 1.013,7 mbs. Secara resmi memiliki musim
kemarau dan musim penghujan. Tidak ada perbedaan musim yang mencolok di daerah
ini. Hujan dapat turun sepanjang tahun. Namun setiap akhir sampai dengan awal tahun
terjadi "Angin Utara" yang sangat berbahaya dengan gelombang yang sangat kuat.
61
Suku Melayu merupakan penduduk asli dan kelompok suku bangsa yang
dominan di Tanjungpinang, selain itu terdapat juga Suku Bugis dan Tionghoa yang
sudah ratusan tahun berbaur dengan Suku Melayu dan menjadi penduduk tetap
semenjak zaman Kesultanan Johor-Riau dan Residentie Riouw. Suku Bugis awalnya
menetap di Kampung Bugis dan Suku Tionghoa banyak menempati Jalan Merdeka dan
Pagar Batu. Suku Jawa mulai ramai mendatangi Tanjung Pinang pada tahun 1960,
Bahasa Melayu di kota ini hampir sama dengan bahasa Melayu yang digunakan di
Lingga Tanjungpinang sudah menjadi pusat budaya Melayu bersama Singapura. Selain
itu Bahasa Tiochiu dan Hokkien juga banyak digunakan oleh Suku Tionghoa di Kota
Tanjungpinang.
yaitu Pelabuhan Sri Bintan Pura, terminal yaitu Terminal Sei Carangserta bandara
internasional, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah. Pada tahun 2001,
62
sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi yang cukup signifikan
diikuti oleh sektor industri pengolahan 15,37%, sektor bangunan 13,29%, sektor jasa-
jasa 12,51%, dan sektor pengangkutan dan komunikasi 10,82%. Sedangkan sektor
lainnya meliputi sektor listrik, gas, dan air bersih, keuangan, pertanian, dan sektor
Pulau seluas 3,5 km² ini berada di sebelah barat kota Tanjungpinang dan dapat ditempuh
15 menit dengan transportasi laut. Pada pulau ini terdapat banyak peninggalan lama
dengan wujud bangunan dan makam yang telah dijadikan situs cagar budaya. Selain itu
juga dijumpai kelenteng atau vihara di kawasan Kampung Bugis dan Senggarang yang
63
sekaligus menjadi kawasan wisata religi. Wisata lainnya juga dapat ditemukan di Pantai
Impian, Tugu Pensil, Tepi Laut, Mall Ramayana Tanjung Pinang, Bestari Mall, Bintan
hotel non bintang, 34 rumah makan dan pusat-pusat belanja yang terdiri dari 13
kunjungan wisatawan didominasi dari negara Singapura, Malaysia dan Belanda. Kota
ini juga menawarkan sajian kuliner aneka hidangan laut, dan masakan Cina.
Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang terletak di Provinsi Kepulauan
Riau. Pulau Bintan terdiri dari dua wilayah administratif yaitu Kota Tanjungpinang dan
Kabupaten Bintan. Kawasan hutan yang terdapat di Pulau Bintan pada awalnya terdiri
dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan mangrove dan hutan konversi dengan
luas total 109.701 ha. Hutan Lindung seluas 4.355 ha, hutan produksi terbatas seluas
34.200 ha, hutan bakau seluas 9.146 ha, dan hutan konversi dan penggunaan lain seluas
62.000 ha. Adapun proporsi hutan di Pulau Bintan jika dibuat persentase seperti pada
gambar 4.2.
64
Gambar 4.2. Proporsi luasan tiap tipe hutan di Pulau Bintan
65
Seiring dengan perkembangan daerah telah terjadi perubahan tipe kawasan
fungsi hutan produksi seluas 12.950 ha hutan dan konversi seluas 21.750 ha yang
dan S. Kawal Pulau Bintan menjadi kawasan hutan lindung yang selanjutnya dikenal
dengan nama kawasan Catchment Area. Dengan demikian tipe kawasan hutan yang ada
di Pulau Bintan dapat dikelompokkan menjadi Hutan Lindung (4.355 ha), Catchment
Area (37.000 ha), Hutan Produksi Terbatas (21.250 ha), Hutan konversi (40.250 ha),
Hutan Mangrove (9.146 ha), dengan total jumlah 112.001 ha. Gambar 4.2. menunjukkan
proporsi dan jumlah luasan masing-masing tipe hutan.Total luasan hutan sebesar
112.001 ha ini di Pulau Bintan tersebar di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang.
Kondisi land cover terkini hutan di Pulau Bintan berdasarkan analisis citra satelit
(2006) meliputi hutan primer dataran rendah 3.949 ha, hutan dataran rendah 13.203 ha,
hutan mangrove 8.244 ha, tegalan 17.794 ha, semak belukar 57.256 ha, pemukiman
5.812 ha, lahan terbuka 1.795 ha, dan pertambangan 7.845 ha, sehingga total luas Pulau
Bintan 115.898 ha (Gambar 4.2). Kondisi penggunaan lahan Pulau Bintan disajikan
Tabel 4.1. Hasil analisis citra menunjukkan bahwa luasan hutan di Pulau Bintan adalah
sebesar 25.396 ha, sedangkan luas non hutan adalah sebesar 90.502 ha. Kawasan non
hutan di Pulau Bintan telah mencapai 78% dari total luasan di Pulau Bintan.
66
Tabel 4.2
Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Bintan
No Landuse Luas (Ha)
1 Hutan primer dataran rendah 3.949
2 Hutan primer dataran rendah 13.203
3 Hutan mangrove 8.244
4 Tegalan 17.794
5 Semak-belukar 57.256
6 Permukiman 5.812
7 Lahan terbuka 1.795
8 Pertambangan 7.845
Luas Pulau Bintan 115.898
Kawasan Hutan lindung merupakan salah satu tipe hutan yang memegang
Kabupaten Bintan. Meskipun luasnya hanya 4.355 ha tetapi kebedaannya sangat penting
untuk kepentingan air minum di kedua kota tersebut sehingga keberadaannya harus
tetap dipertahankan. Letak hutan lindung tersebar di beberapa tempat yang dengan
posisi yang demikian memiliki nilai positif sebagai kawasan untuk penyulai air secara
merata di wilayah Pulau Bintan. Hutan lindung di Pulau Bintan terdiri dari:
1979 dan SK penetapan Menhut No. 424/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987, HL
Sungai Pulai memiliki luas 751.80 ha. Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan
Agustus 2006, HL Sungai Pulai memiliki luas 636 ha. Kondisi terkini hutan tersebut
67
hampir 50 % kawasan telah menjadi semak belukar, bahkan terdapat pula pertambangan
dan tegalan.
(Bendungan S. Pulai) yang dikelola oleh PDAM. Fungsi utama hutan lindung Sungai
Pulai adalah sebagai penyangga kelangsungan sumber air waduk Sungai Pulai. Sumber
air ini merupakan pemasuk utama untuk kebutuhan akan air minum bagi kota Tanjung
Pinang, yang dikelola oleh PDAM Tirta Janggi. Kelestarian akan sumber air di waduk
Sungai Pulai tergantung oleh keutuhan hutan lindung Sungai Pulai, oleh karena itu
diperlukan sinergi dari berbagai lembaga (instansi), khususnya perpaduan antara Dinas
Kehutanan dengan Dinas Pengelola air minum atau PDAM setempat. Berdasarkan
keterangan pengelola PDAM, debit air dewasa ini rata rata antara 150 lt per detik sampai
dengan 200 lt per detik. Mengingat semakin meningkatnya perkembangan kota Tanjung
Pinang, tentu akan diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, keadaan ini
akan diikuti oleh kebutuhan akan sumber air minum yang meningkat.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk usaha meningkatkan debit air minum
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, paling tidak dapat ditingkatkan mencapai antara
300 lt per detik hingga 400 lt per detik, bahkan bila perlu dapat ditingkatkan mencapai
500 lt per detik. Untuk mencapai itu, usaha yang paling strategis adalah dengan
memperbaiki kawasan hutan lindung Sungai Pulai. Keterlibatan berbagai instansi perlu
dilakukan, khususnya Dinas Kehutanan dengan Dinas Pengelola Air Minum atau
PDAM, tentu saja untuk keberhasilannya perlu di dukung oleh fihak-fihak lain. Seperti
oleh berbagai lembaga di jajaran Pemda, masyarakat luas, dan juga Lembaga Swadaya
68
b. Hutan Lindung Bukit Kucing
II/1987, 28-12-1987 menyebutkan luas Hutan Lindung Bukit Kucing adalah 54.40 ha.
Kucing memiliki luasan sebesar 66 ha. Secara umum kondisi hutan masih tertutup oleh
hutan primer walaupun telah sedikit berubah. HL Bukit Kucing berperan untuk
Taman Wisata Kota Tanjung Pinang, karena lokasinya berada di tengah-tengah Kota
Tanjung Pinang.
Peternakan Provinsi Kepulauan Riau) tertuang luasan 646 ha. Sementara itu HL Gunung
643 ha. Secara umum sebagian besar kawasan masih berupa hutan primer dan hutan
sumber air untuk Kota Kijang dan Indomoty Produksi air mineral oleh PT. Sanqua dan
PT. Bentari.
69
d. Hutan lindung Gunung Bintan Kecil dan Bintan Besar
Status terakhir kawasan ini adalah sebagai catchment area berdasarkan SK Menteri
luas Hutan Gunung Bintan Kecil adalah 168 ha dan hutan Gunung Bintan Besar 395 ha.
Berdasarkan data analisis citra satelit kondisi penutupan lahan masih berupa hutan
primer dengan vegetasi yang rapat. Fungsi utama kawasan Hutan Lindung Gunung
Bintan Kecil dan Gunung Bintan Besar adalah sebagai Hutan penyangga Catchmet Area
Pulau Bintan.
Tanggal 7 Agustus 2006 kawasan Hutan Lindung Sungai Jago memiliki luas 1.395 ha.
Kondisi umum penutupan lahan masih sangat baik berupa hutan orimer yang dominan.
70
Hutan dataran rendah Pulau Bintan merupakan hutan hujan tropis dengan
komposisi tumbuhan berupa hutan sekunder, sebagian kecil hutan primer dan
semakbelukar. Hutan primer yang masih alami terdapat di kawasan Hutan Lindung
ataupun dijumpai di lahan milik masyarakat. Di beberapa titik seperti misalnya Gunung
Bintan Kecil masih terdapat lahan masyarakat yang ditumbuhi formasi hutan hujan
tropis yang masih alami. Hutan hujan tropis di Pulau ini mempunyai karakter khas
berupa dominasi pohon tiup-tiup. Belum didapat ada data resmi tentang keragaman jenis
Hutan sekunder di Pulau Bintan sebagian besar merupakan hutan yang tumbuh
dari bekas pembukaan hutan oleh aktivitas penambangan, pemukiman, dan penebangan
liar. Permudaan alami dari beberapa jenis pioner berlangsung selama beberapa tahun
menciptakan formasi hutan baru berupa hutan sekunder. Upaya penghijauan oleh
pemerintah dan masyarakat telah dilakukan dengan jenis-jenis seperti mahoni, meranti,
karet, dan akasia (Gambar 4.4). Karet dan akasia merupakan jenis paling diminati
karena nilai ekonomis yang tinggi. Tipe vegetasi semak belukar banyak terdapat di
daerah dataran rendah (low land) yang merupakan areal bekas penambangan dan
penebangan liar. Kawasan ini memiliki aksesibilitas yang tinggi karena merupakan
daerah yang dekat dengan pemukiman dan dilintasi jalan raya. Formasi vegetasi yang
ada terdiri atas akasia, paku-pakuan, rumput gajah, resam, dan alang-alang (Gambar
4.4). Kondisi tanah berupa bauksit dengan kelerengan relatif datar berkisar antara 0–
10%. Pada beberapa lokasi terlihat pula semak belukar di daerah up land dengan
71
Gambar 4.4 Formasi vegetasi hutan sekunder di Pulau Bintan
Keberadaan hutan lindung di Pulau Bintan mendapat tekanan yang besar baik
maupun tekanan akan sumber daya di dalam kawasan hutan lindung. Permasalahan pada
a. Hutan Lindung (HL). Sungai Pulai memiliki permasalahan berupa pemanfaatan lahan
untuk perkebunan sawit, kebun karet rakyat, permukiman dalam kawasan yaitu
Kampung Suka Damai, Tirto Mulyo, Pondok Pesantren, dan akses jalan yang tinggi.
Pemanfaatan sumber daya air hutan lindung ini untuk kebutuhan industri air mineral
PT. Sanqua dan PT. Bestari. Hutan dataran rendah merupakan kawasan yang secara
72
Kegiatan eksploitasi berbagai macam bahan tambang seperti, pasir, bauksit dan juga
batu granit mudah dijumpai. Sejak masa peralihan kekuasaan pemerintahan orde baru
hutan lindung mengalami permasalahan yang sangat berat berupa perambahan lahan
yang diikuti dengan berpindahnya atau hilangnya patok-patok tapal batas. Hal ini
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: kurang optimalnya pelaksanaan tugas dan wewenang
penjagaan dan pengamanan kawasan Hutan Lindung oleh instansi terkait dan semakin
Gambar 4.6 Foto kondisi waduk sungai Pulai dan hutan lindung Sungai Pulai
73
Gambar 4.7 Foto permukiman penduduk di hutan lindung Sungai Pulai
industri granit, akses jalan yang tinggi, illegal logging. Hutan Lindung Gunung Kijang
dan Hutan Lindung Sungai Lengkuas dapat diperkirakan separo luas arealnya telah
terambah.
d. Hutan Lindung Gunung Bintan Besar dan Gunung Bintan Kecil, serta Gunung Jago
Kelompok hutan ini pada dasarnya masuk dalam tipe hutan lindung seperti yang
cacthment area lebih populer di masyarakat. Kawasan cacthment area memiliki luas
37.000 yang kawasannya berupa lahan milik Negara dan sebagian berupa lahan milik
masyarakat. Wilayah cacthment area meliputi 5 DAS yaitu DAS Jago, Ekang-Anculai,
Bintan, Kangboi dan Kawal. Fungsi dari kawasan ini sama seperti fungsi hutan lindung
untuk kepentingan tata air bagi masyarakat kota Tanjung Pinang dan Bintan. Sebagai
74
wilayah tangkapan air hujan semestinya kawasan ini memiliki penutupan kawasan yang
baik agar fungsinya untuk menampung dan menahan aliran air dapat berfungsi dengan
baik.
Kepulauan Riau memiliki wilayah daratan hanya 5% dari luas wilayah dan
prioritas untuk diperhatikan dalam rangka penataan wilayah. Perubahan yang kecil
area mendapat tekanan yang besar dalam beberapa bentuk, antara lain:
a. Areal yang dijadikan cacthment area berupa hutan sekunder yang didominasi oleh
kebun karet rakyat, kebun rakyat. Kebun karet dan kebun rakyat dalam peta hasil
olahan citra satelit termasuk dalam tipe penutupan hutan dataran rendah.
b. Dalam kawasan akan dibangun ibukota Kabupaten Bintan sehingga konversi lahan
ditetapkan menjadi cacthment area. Sebagian telah mendapatkan ganti rugi oleh alih
d. Akses yang tinggi dalam kawasan berupa jalan aspal sehingga mendorong tinggi
e. Pemanfaatan lahan untuk menara telkomsel yang tidak melalui proses perijinan
75
IV.3. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUHI TERHADAP PERAMBAHAN
HUTAN DI PULAU BINTAN
pada Tabel 4.3. Hasil pemghitungan regresi menunjukkan bahwa koefisien determinasi
variabel bebas terhadap variabel tergantung sebesar 55,3 %, yang berarti 55,3 % faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap perambahan hutan di Pulau Bintan dapat dijelaskan
oleh variabel bebas tersebut. Variabel tersebut meliputi: kepadatan penduduk (X1),
pendapatan keluarga (X2), tingkat pendidikan keluarga (X3), jenis tanah/batuan (X4),
jumlah jiwa dalam keluarga (X5), lereng (X6). Sedangkan 44,7 % merupakan faktor
yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Dari 6 variebel bebas terdapat satu variabel
yang dikeluarkan dari perhitungan, karena dapat kepadatan penduduk (X1) yang tidak
bervariasi atau homogeny karena wilayah yang diambil luasannya dalam kecamatan
yang sama.t
terdiri dari: pendapatan keluarga (X2), tingkat pendidikan keluarga (X3), jenis
tanah/batuan (X4), jumlah jiwa dalam keluarga (X5), lereng (X6) berpengaruh
signifikan terhadap variabel tergantung (perambahan hutan) di Pulau Bintan. Hal ini
76
ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0,00 dibawah nilai standar yang ditetapkan
Total 2453320.500 49
tergantung terhadap variabel bebas dapat dilihat pada Tabel 4.5. Variabel yang
pendapatan keluarga dengan nilai signifikansi 0,037, jenis tanah dengan nilai signifikasi
0,00, lereng dengan nilai signifikasi 0,00. Sedangkan faktor pendidikan dan jumlah jiwa
dalam keluarga tidak berpengaruh signifikan karena berada pada nilai di atas 0,05.
di Pulau Bintan, berarti semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga kemungkinan untuk
merambah ke hutan lindung semakin rendah, hal ini ditunjukkan dari nilai t pada Tabel
4.5 yang bernilai negatif (-2,155). Sedangkan jenis tanah berpengaruh signifikan dengan
nilai positif (4,107), yang bermakna bahwa perambahan hutan lindung meningkat pada
saat jenis mempunyai nilai ekonomis yang tinggi (mulai dari jenis tanah alluvium (nilai
1), batu pasir tufan ( nilai 2), andesit (nilai 3) dan granit (nilai 4). Dan faktor kemiringan
lereng berpengaruh signifikan positif terhadap perambahan hutan lindung (5,928). Hal
ini berarti semakin kemiringan lereng meningkat, maka perambahan hutan lindung
77
makin tinggi karena lokasi hutan lindung di Pulau Bintan berada pada kemiringan lereng
15-45% atau lebih dari 45%. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2008), bahwa faktor ekonomi dan
Tabel 4.5 Hasil Pengujian Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perambahan Hutan
-4.911E-
PENDAPATAN .000 -.285 -2.155 .037 .580 1.725
005
LINDUNG
Kawasan hutan lindung yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Hutan
Lindung Bukit Kucing (Gambar 4.8) Hutan Lindung Sungai Pulai (Gambar 4.9), dan
Hutan Lindung Gunung Kijang (Gambar 4.10). Pembuatan model diawali dengan
pada Gambar 4.8 – 4.10. Selanjutnya diplotkan Peta Penggunaan Tanah yang dibuat
dari citra tahun 2015 dengan cek data lapangan untuk memverifikasi data dan data dari
kantor pertanahan Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan, seperti pada Gambar
78
4.11 – 4.13. Sedangkan Peta Administrasi (Gambar 4.14) digunakan untuk
menverifikasi jalan yang ada di Peta Penggunaan Tanah yang dibuat telah sesuai
skalanya dan mempunyai sistem koordinat yang sama dengan Peta Kawasan Hutan
79
Gambar 4.8 Peta Hutan Lindung Bukit Kucing (Bukit Bestari) sesuai SK.76/MenLHK-II/2015
75
Gambar 4.9 Peta Hutan Lindung Sungai Pulai sesuai SK.76/MenLHK-II/2015
76
Gambar 4.10 Peta Hutan Lindung Bukit Kijang sesuai SK.76/MenLHK-II/2015
77
Gambar 4.11 Peta Penggunaan Tanah Bukit Kucing (Bukit Bestari) Hasil Pengolahan Citra dan Verifikasi Lapangan
78
Gambar 4.12 Peta Penggunaan Tanah di Sekitar Sungai Pulai Hasil Pengolahan Citra dan Verifikasi Lapangan
79
Gambar 4.13 Peta Penggunaan Tanah di Sekitar Bukit Kijang Hasil Pengolahan Citra dan Verifikasi Lapangan
80
Gambar 4.14 Peta Administrasi Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan
81
Hasil overlay Peta Kawasan Hutan Lindung (SK.76/MenLHK-II/2015) dengan Peta
Adminitrasi dan Peta Penggunaan Tanah diberi nama Peta Buffer Zone, hasilnya dapat dilihat
pada Gambar 4.15; 4.16; dan 4.17. Data hitungan hasil overlay ditunjukan pada Tabel 4.6
berikut.
Tabel 4.6 Data Penggunaan Tanah di Batu Kucing, Gunung Kijang, dan Sungai Pulai
LUAS HUTAN LINDUNG (M2)
DATA
PENGGUNAAN TANAH BATU GUNUNG SUNGAI BUFFER ZONE
KEHUTANAN
KUCING KIJANG PULAI
HL Badan Air 175,343 Hutan Lindung
Belukar 33,036 58,819 Hutan Lindung
Fasilitas Ibadah 882 Buffer Zone
Fasilitas Pendidikan 989 Buffer Zone
Hutan Lindung 657,129 Hutan Lindung
Kebun 309 Buffer Zone
Kebun Campuran 1,276,574 3,541,651 Buffer Zone
Kolam 26 Hutan Lindung
Komplek Militer 876 Buffer Zone
Perkantoran 9,677 Buffer Zone
Perkebunan 2,445,758 2,543,069 Buffer Zone
Permukiman 63,585 40,606 690,742 Buffer Zone
Semak 5,299,926 838,932 Hutan Lindung
Sungai/Danau/situ/telaga 169,485 Hutan Lindung
Tanah Kosong 3,203 Hutan Lindung
Tanah Terbuka
Sementara 6,295 Hutan Lindung
Tegalan/Ladang 6,982 13,489 Buffer Zone
LUAS TOTAL 733,138 9,102,882 8,041,363
Berdasarkan data pada Tabel 4.6 didapatkan data bahwa tanah yang menurut
menjadi tanah yang digunakan sebagai fasiltas ibadah, fasilitas pendidikan, kebun campuran,
Luasan hasil buffer zone yang memasuki tanah hutan lindung ditunjukkan pada Tabel 4.7.
82
Tabel 4.7 Luasan Hasil Buffer Zone antara Tanah Kehutanan dan Tanah Milik
HUTAN LINDUNG BATU KUCING 733,138
Buffer Zone 76,009
Hutan Lindung (Sisa) 657,129
HUTAN LINDUNG GUNUNG KIJANG 9,102,882
Buffer Zone 3,769,920
Hutan Lindung (Sisa) 5,332,962
HUTAN LINDUNG SUNGAI PULAI 8,041,363
Buffer Zone 6,798,784
Hutan Lindung (Sisa) 1,242,579
Berdasarkan Tabel 4.7, luasan hasil buffer zone di hutan lindung Batu Kucing seluas
76,009 Ha, di hutan lindung Gunung Kijang seluas 3,769,92 Ha, dan di hutan lindung Sungai
Pulai seluas 6,798,784 Ha. Hasil terluas berada di hutan lindung Sungai Pulai disebabkan di
perkebunan, dan ladang oleh masyarakat yang tinggal dikawasan hutan lindung. Demikian
halnya di hutan lindung Gunung Kijang digunakan sebagai kebun dan perkebunan oleh
masyarakat sekitar hutan lindung. Sedang di Bukit Kucing yang berada di Kota
83
Gambar 4.15 Peta Hasil Ovelay antara Hutan Lindung Bukit Kucing dengan Peta Penggunaan Tanah
84
Gambar 4.16 Peta Hasil Ovelay antara Hutan Lindung Sungai Pulai dengan Peta Penggunaan Tanah
85
Peta Hasil Ovelay antara Hutan Lindung Bukit Kijang dengan Peta Penggunaan Tanah
86
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 KESIMPULAN
Baerdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan dalam penelitian, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Perambahan Hutan Lindung di Pulau Bintan sudah pada tingkatan yang merusak
konservasi hutan, karena hampir semua hutan lindung yang ditetapkan oleh
3. Model spasial “buffer zone” di sekitar hutan lindung di Pulau Bintan harus
V.2 SARAN
1. Diperlukan kejelasan batas antara tanah kehutanan dan tanah milik di lapangan, agar
2. Diperlukan koordinasi yang intensif dari semua pihak yang berkepentingan dalam
menjaga kelestarian hutan lindung di Pulau Bintan, agar Hutan Lindung tidak hanya
87
DAFTAR PUSTAKA
88
Syukur, M. 2012. Resolusi Konflik di KPH (Pembelajaran Dari KPH Register 47 & Rinjani
Barat. Bogor (ID): [WG Tenure] Working Group on Forest Land Tenure.
Tanjung, K. 2006, Hutan adalah Jantung Ekosistem.
Http://www.Kaherulhtanjung.Blogter.com (9 April 201Wiratno. 1994. Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango Menuju Pengelolaan sebagai Biosphere
Reserve. Majalah Kehutanan Indonesia. No 12 Tahun 1993/1994. Hal 3 – 7.
Wiratno, 1994. Pemanfaatan Kawasan Penyangga (Buffer Zone) Taman Nasional Gunung
Leuser Berbasis Masyarakat Partisipatif di Kabupaten Gayo Lues. Diakses dari
https://melindasruriani.wordpress.com/2012/06/14 pada tanggal 5 Februari
2016.
89