Anda di halaman 1dari 30

1

BIODIVERSITAS HERPETOFAUNA DI AREA KATINGAN


MENTAYA PROJECT PT. RIMBA MAKMUR UTAMA
KALIMANTAN TENGAH

PROPOSAL

YEN YESIKA SIRAIT


193010404023

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022
2
3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal penelitian
dengan judul “Biodiversitas Herpetofauna di Area Katingan Mentaya Project
PT.Rimba Makmur Utama Kalimantan Tengah” sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.
Penyusunan proposal ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada
kesempatanan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ketua Jurusan Ibu Dr. Ir. Johanna Maria Rotinsulu, MP.
2. Dosen pembimbing utama Bapak Dr. Penyang, S.Hut.,M.P. dan dosen pembimbing
pendamping Ibu Dr.Sosilawaty., M.P. yang telah memberikan arahan, bimbingan,
dan petunjuk dalam menyelesaikan proposal.
3. Dosen pembahas utama Bapak Ir. Cakra Birawa, M.P. dan dosen pembahas
pendamping Ibu Dr. Chartina Pijath, S.Hut.,M.Si. yang telah memberikan
masukan dan saran dalam menyelesaikan proposal ini.
4. Orang tua serta saudara penulis yang senantiasa mendoakan dan memberikan
motivasi.
5. PT. Rimba Makmur Utama yang telah memberi izin dan data untuk melengkapi
penelitian saya.
6. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
selama penelitian dan proses penyusunan skripsi ini.
Disadari bahwa isi proposal ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu,
diharapkan kritik serta saran yang membangun. Harapan semoga proposal ini dapat
bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca.

Palangka Raya, Mei 2023

Penulis

i
4

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL.................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR............................................................................. iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiversitas ............................................................................... 3
2.2 Herpetofauna .............................................................................. 5
2.2.1 Amfibi .............................................................................. 7
2.2.2 Reptil ............................................................................... 10
2.3 PT.Rimba Makmur Utama......................................................... 12
2.4 Kawasan Katingan Mentaya Project.......................................... 12
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu penelitian ..................................................... 15
3.2 Bahan dan Objek Penelitian ....................................................... 15
3.3 MetodePengumpulan Data ......................................................... 16
3.4 Analisis Data............................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA

ii
5

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Rencana Jadwal Penelitian ................................................... 14

iii
6

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Peta areal katingan mentaya project ................................ 14
Gambar 3.1 Desain transek tipe habitat terestrial ................................ 17
Gambar 3.2 Desain transek tipe habitat akuatik .................................. 18

iv
1

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Herpetofauna merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang
memiliki peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis
(Kusrini dkk. 2003). Selain itu, herpetofauna juga memiliki peranan penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem, karena sebagian besar herpetofauna berperan
sebagai predator pada tingkatan rantai makanan di suatu ekosistem (Iskandar, 1998)
terutama dalam pengendalian populasi serangga. (Kusrini dkk, 2003) , serta dapat
digunakan sebagai bio-indikator kondisi lingkungan karena memiliki keterkaitan dan
respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins dan Cohen, 1997).
Kerusakan terhadap habitat alaminya baik di hutan produksi dan hutan lindung
terus saja terjadi tidak hanya dari aktivitas penebangan saja, tetapi juga alih fungsi
hutan baik untuk perkebunan maupun pertambangan. Untuk itu, upaya dan usaha
untuk melindungi komponen biologi (dalam hal ini amfibi dan reptil) sangat
diperlukan (Iskandar dan Erdellen, 2006).Banyak diantara jenis ditemukan di
Indonesia. Dalam 70 tahun terakhir, 762 jenis taksa dari luar Indonesia dan hanya 262
dari Indonesia. (Iskandar dan Erdellen, 2006) dan 160 Jenis diantaranya terdapat di
Kalimantan (Borneo).
Namun sayangnya, tingginya keanekaragaman herpetofauna di Indonesia tidak
sebanding dengan minat peneliti dalam mengkaji dan meneliti herpetofauna secara
maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan merosotnya jumlah reptil dan amfibi dalam
kurun waktu 70 tahun, turun dari 60% menjadi 50% Sedangkan perbandingan antara
penemuan spesies amfibi dan reptil di Indonesia hanya 262 spesies Jumlah ini jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan penemuan reptil amfibi di luar Indonesia yakni
sebanyak 762 spesies (Iskandar dan Erdelen, 2006).
Tantangan lain dari kajian herpetofauna adalah kurang dikenalnya kelompok
hewan ini oleh masyarakat umum. Ditambah dengan banyaknya persepsi yang tidak
baik mengenai herpetofauna bahwa kelompok ini beracun, menakutkan, menjijikkan,
dan lain sebagainya. Khususnya pada kajian amfibi, salah satu faktor banyaknya
2

amfibi yang terancam punah seperti ditengarai oleh Kustini (2003) Amfibi
merupakan satwa yang tidak terdaftar sebagai satwa yang dilindungi UU Akibatnya,
banyak habitar-habitat dan lokasi penting bagi amfibi yang langka rusak, karena tidak
adanya pengetahuan terkait satwa yang hidup di dalam habitat tersebut
Melihat kondisi keanekaragaman hayati dan lingkungan yang semakin
memburuk dari tahun ke tahun, maka perlu dilakukan peningkatan kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati di masa
sekarang maupun masa yang akan datang, khususnya keberadaan herpetofauna yang
jarang diketahui.
Karena sedikitnya informasi tentang herpetofauna ini maka pentingnya
melakukan penelitian keanekaragaman jenis herpetofauna di kawasan hutan Katingan
Mentaya PT. Rimba Makmur Utama guna mendapatkan data akurat dan terkini yang
dapat dijadikan salah satu upaya pelestarian Herpetofauna. Melalui penelitian ini
diharapkan mendapat informasi mengenai keanekaragaman jenis herpetofauna di
kawasan hutan Katingan Mentaya PT. Rimba Makmur Utama Provinsi Kalimantan
Tengah.
PT Rimba Makmur Utama bermitra dengan 34 desa yang berbatasan langsung
dengan kawasan restorasi ekosistem. Program kemitraan mendorong peningkatan
kapasitas masyarakat dan kemandirian untuk mengambil keputusan dari mulai proses
inisiasi, perencanaan program dan implementasi. Menteri Kehutanan Republik
Indonesia menandatangani Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
Ekosistem PT Rimba Makmur Utama seluas 108.225 ha di Kabupaten Katingan
Provinsi Kalimantan Tengah.
Pada 149.800 hektar, Proyek Katingan Mentaya melindungi satu kawasan hutan
rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara. Ini adalah kawasan kunci
keanekaragaman hayati karena keberadaan populasi satwa yang beragam salah satu di
antaranya jenis herpetofauna. Oleh karena hutan alami terus menerus terdegradasi di
kawasan lain, pentingnya upaya menjaga hutan utuh seperti yang dilakukan proyek
Katingan Mentaya bukan hal yang berlebihan.
3

I.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengidentifikasi jenis keanekaragaman herpetofauna yang ditemukan di
kawasan hutan Katingan Mentaya Project.
2. Menghitung jumlah jenis (indeks keanekaragaman jenis, indeks kekayaan jenis
dan indeks kemerataan jenis) herpetofauna di kawasan hutan Katingan Mentaya
Project.
I.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai hasil identifikasi keanekaragaman jenis herpetofauna kepada
berbagai pihak dan instansi yang berkaitan dalam menentukan tindakan-tindakan
pengelolaan dan pelestarian herpetofauna.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herpetofauna
Herpetofauna berasal dari kata “herpeton” berasal dari bahasa Yunani, yaitu
herpeton yang berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna
adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna ini diklasifikasikan menjadi 2
kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia namun memiliki keseragaman yaitu berdarah
dingin/poikilotermik.
Herpetofauna dimasukkan menjadi satu kelompok hewan karena dianggap
sama-sama melata. Dengan berkembangnya ilmu, herpotofauna kini menjadi dua
kelompok terpisah. Kedua kelompok ini masuk ke dalam satu bidang yaitu ilmu
herpetology karena mereka mempunyai cara hidup dan habitatnya yang hampir
serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal (membutuhkan sumber panas
eksternal), serta metode untuk pengamatan dan koleksi yang serupa. Kedua kelas
herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa ordo yang kemudian akan
berlanjut lagi ke famili.
Herpetofauna merupakan suatu komponen ekosistem dan merupakan bagian
dari keanekaragaman hayati yang menghuni 5 tipe habitat yaitu Terestrial (hidup di
daratan), arboreal (hidup di pepohonan), akuatik (hidup di perairan, semi akuatik
(hidup di antara daratan dan perairana) dan fossorial (hidup di dalam lubang-lubang
tanah) (Yanuarefa, 2010).
Data dan informasi mengenai reptil dan amfibi atau lebih dikenal dengan
herpetofauna masih sangat sedikit, hal ini dikarenakan keberadaannya masih belum
dianggap penting jika dibandingkan dengan satwa lain seperti pada kelas mamalia
dan aves. Menurut AmphibiaWeb (2012) jumlah amfibi di dunia sekarang ini
mencapai 7.024 jenis yang terdiri dari 6.198 anura, 635 caudata dan 191
gymnophiona sedangkan menurut Reptil Database (2012) terdapat 9.547 jenis reptil
di dunia. Jumlah tersebut diperkirakan masih terus bertambah seiring dengan mulai
5

adanya penelitian-penelitian tentang herpetofauna dan ditemukannya jenis-jenis baru


yang selama ini belum diketahui keberadaannya.
Herpetofauna tidak kalah penting dengan satwa lain dalam menjaga
keseimbangan ekosistem. Herpetofauna meduduki tingkat kedua dan ketiga dalam
rantai makanan, sehingga keberadaannya dapat mengendalikan populasi satwa dan
menjaga kestabilan rantai makanan. Beberapa jenis herpetofauna yang memiliki sifat
sensitif terhadap suhu, kelembaban, dan perubahan lingkungan juga dapat dijadikan
sebagai bio-indikator kerusakan lingkungan. Hal tersebut membuktikan bahwa
keberadaan herpetofauna sebagai salah satu komponen di ekosistem sangat penting,
sehingga perlu dilakukan pengumpulan data dan informasi agar keberadaan, manfaat
dan fungsinya di alam dapat diperhatikan. Selain itu data dan informasi mengenai
herpetofauna dapat menjadi salah satu upaya bagi pengelolaan dan pengembangan
suatu kawasan konservasi.
Herpetofauna merupakan salah satu potensi keanekaragaman hayati hewani
yang masyarakat luas masih belum begitu menyadari keberadaannya. Selain itu
pengetahuan tentang jenis-jenis fauna yang terdapat pada area tertentu merupakan
kunci untuk memahami keanekaragaman hayati yang ada.
Herpetofauna tersebar di dunia sangat luas dan dapat ditemukan kecuali di
benua Antartika. Herpetofauna menempati habitat mulai dari tepi pantai, laut, sungai,
hutan dataran rendah sampai pegunungan (Mistar, 2012).
Sebaran herpetofauna di Indonesia juga cukup luas mulai dari Sumatera hingga
Papua. dari jumlah total herpetofauna yang ada di dunia, sebanyak 1.100 jenis atau
16% diantaranya ada di Indonesia. Herpetofauna di Indonesia tidak banyak dikenal,
baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi maupun ciri-ciri ekologinya. Daerah
penyebaran suatu jenis juga sangat sedikit. ( Iskandar, 2015).
2.1.1 Amfibi
Amfibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang tinggi, tidak
tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air maupun di darat. Amphibia
berasal dari bahasa Yunani yaitu Amphi yang berarti dua dan Bios yang berarti
6

hidup. Karena itu amphibi diartikan sebagai hewan yang mempunyai dua
bentuk kehidupan yaitu di darat dan di air. Amfibi sebagai bagian dari
ekosistem, memegang peranan penting dalam rantai makanan. Kebanyakan
amfibi adalah predator yang memakan berbagai jenis serangga atau larva
serangga (Mokany dan Shine, 2003).
Indonesia merupakan negara yang kaya akan jenis amfibi, terdapat 74
jenis ditemukan pada penelitian terdahulu dan masih terbatas (Sarwenda dkk,
2016). Hasil penelitian tentang katak yang ada di Nusa Tenggara ditemukan 45
jenis katak, sebagian besar merupakan genus Rana, Litoria dan 76 Rachoporus
(Sarwenda dkk, 2016). Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau yang
memiliki 77 keanekaragaman hayati terbesar di Indonesia dengan endemisitas
luar biasa tetapi dengan 78 tingkat kepunahan keanekaragaman hayati yang
tinggi. 79 jenis amfibi ditemukan di Aceh antara tahun 1999–2015 menemukan
166 jenis amfibi 80 reptilian, terbagi dalam 57 jenis, 31 marga, dan 7 famili
(Kamsi, 2017).
Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti
amfibi tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk
dijadikan sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari
lingkungan untuk mendapatkan energi, oleh karena itu amfibi mempunyai
ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar, 2003). Satwa
poikiloterm mempunyai metabolisme yang rendah, oleh karena itu mereka
mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama. Namun demikian, beberapa
jenis katak makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat
dorman dimana mereka bisa tidak makan sampai beberapa bulan (Kusrini,
2009). Keadaan dorman dilakukan pada saat kondisi lingkungan tidak
mendukung kehidupan amfibi (Cogger, 1999).
Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
lingkungan. Suhu dan kelembaban yang sesuai sangat diperlukan bagi
kehidupan amfibi. Menurut Duellman dan Trueb (1994) bangsa salamander di
7

Amerika Utara dan Selatan mempunyai kisaran suhu 2-30 °C untuk dapat
hidup, sedangkan bangsa anura mempunyai kisaran suhu antara 3-35,7 °C yang
dapat ditolerir untuk menunjang kehidupannya. Beberapa jenis amfibi di iklim
dingin berjemur untuk menaikkan suhu tubuh agar tetap stabil (Cogger, 1999).
Kebanyakan amfibi nokturnal dan hanya aktif ketika kondisi lingkungannya
cukup lembab untuk mengurangi dehidrasi pada tubuhnya (Cogger dan Zweifel
2003). Kelembaban dibutuhkan untuk membuat kulit amfibi tidak kering karena
kulit berfungsi sebagai alat pernafasan. Selain itu kulit katak bersifat permeabel
dimana berfungsi sebagai tempat keluar masuk air dan udara (Cogger, 1999),
Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air (Iskandar, 1998). Air dapat
menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada
dekat dengan air. Jumlah air dalam tubuh kira-kira 70-80 % dari berat tubuh
amfibi (Hofrichter, 2000). Ada beberapa jenis amfibi tinggal di daerah yang
jauh dari air, sehingga mereka mengembangkan berbagai strategi untuk
mempertahankan kandungan air dalam tubuhnya. Katak penodok (Cyclorana
platycephalus) mempunyai kandung kencing sangat besar dan dapat
menyimpan air sampai separuh berat badannya, hal ini dilakukan untuk
menyimpan cadangan air pada musim kemarau (van Hoeve, 1992). Amfibi
dewasa bernafas menggunakan paru-paru, sedangkan pada amfibi muda (saat
baru menetas disebut sebagai berudu) umumnya bernafas dengan insang. Pada
saat metamorfosis, terjadi perubahan dan segi morfologis dimana bentuk serupa
ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi vertebrata
bertungkai yang bernafas dengan paru-paru.
Dalam mempertahankan diri dari pemangsa dan penyakit, amfibi
mempunyai berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Kusrini
(2009) mekanisme pertahanan diri tersebut antara lain pewarnaan pada warna
kulit amfibi. Pewarnaan berfungsi sebagai kamuflase atau memperingatkan
predator bahwa amfibi tersebut beracun/berbahaya. Beberapa jenis amfibi yang
tidak berbahaya kadang-kadang mempunyal warna yang serupa dengan amfibi
8

berbahaya, hal tersebut digunakan untuk mengelabui predator mereka. Bentuk


dan warna amfibi yang menyerupai lingkungan sekitar juga digunakan amfibi
untuk menyulitkan predator memangsa mereka, seperti yang dilakukan oleh
katak terestrial yang hidup di lantai hutan biasanya mempunyai bentuk yang
mirip dengan serasah (Duellman dan Trueb 1994). Amfibi mempunyai kulit
yang tetap lembab yang berfungsi untuk mencegah masuknya bakteri atau
patogen lainnya. Beberapa jenis katak mempunyai kelenjar beracun, racun
tersebut berwarna susu atau bening akan dikeluarkan oleh katak jika mengalami
gangguan/ancaman (van Hoeve, 1992). Amfibi juga mempunyai mekanisme
pertahanan diri dengan cara menggigit, terdapat beberapa jenis katak yang
menggigit jika dipegang seperti Asterophrys turpicola dari Niugini,
Cerotobatrachus guantheri dari Solomon serta marga Hemipharactus dan
Ceretophrys dari Amerika (Iskandar, 1998).
Amfibi hidup pada daerah yang dekat dengan air. Tetapi ada beberapa
jenis yang hidup pada daerah yang jauh dari air seperti pada amfibi terestrial
dan katak pohon (Iskandar, 1998). Amfibi mempunyai habitat yang bervariasi
mulai dari habitat sawah, rawa dan kolam (Fitri, 2002), sedangkan menurut
Iskandar (1998) habitat amfibi bervariasi mulai di sawah, rawa, sekitar sungai
di dataran rendah sampai tinggi, bahkan di pundak pohon di hutan hutan
pegunungan. Hampir 5.000 jenis amfibi di dunia tergantung pada hutan sebagai
tempat hidupnya. Habitat terestrial lain tidak begitu disukai oleh amfibi
khususnya tergat yang kering, seperti padang rumput dan gurun (IUCN 2008)
2.1.2 Reptil
Reptil merupakan kelompok hewan ectothermic, yaitu hewan yang suhu
tubuhnya sangat tergantung pada suhu lingkungan di sekitarnya.
Keanekaragaman jenis reptil yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas
memiliki kompleksitas yang tinggi, karena dalam komunitas terjadi interaksi
yang tinggi pula. (Ario, 2013).
9

Satwa reptil terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6.547 spesies
(Halliday dan Adler, 2000). Jumlah ini terus berubah seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan jenis-jenis baru. Indonesia
memiliki tiga dari keempat ordo, yaitu Ordo Testudinata, Squamata,
Rhynchocephalia dan Crocodylia. Tuatara (Ordo Rhynchocephalia) merupakan
reptil primitif yang terdiri dari 1 jenis dan hanya terdapat di Selandia Baru
(O’Shea dan Halliday, 2001).
Reptil merupakan hewan berdarah dingin yaitu suhu tubuhnya bergantung
pada suhu lingkungan atau poikiloterm. Untuk mengatur suhu tubuhnya, reptil
melakukan mekanisme basking yaitu berjemur di bawah sinar matahari. Saluran
ekskresi Kelas reptil berakhir pada kloaka. Ada dua tipe kloaka yang spesifik
untuk ordo-ordo reptil. Kloaka dengan celah melintang terdapat pada Ordo
Squamata. Kloaka dengan celah membujur yaitu terdapat pada Ordo Chelonia
dan Crocodilia (Irfan, 2010).
Reptil mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran dan strategi yang
mengesankan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti kura-
kura dengan tubuhnya yang diselimuti cangkang, ular dengan tubuhnya yang
panjang dan berkelok-kelok, gerakan lincah dari kadal dan tubuh yang besar
dari buaya (Cogger dan Zweifel 2003). Reptil adalah satwa ektotermal, yaitu
mereka memerlukan sumber panas eksternal untuk melakukan kegiatan
metabolismenya (Cogger dan Zweifel 2003). Pada saat kondisi lingkungan
panas, reptil khususnya kadal memperoleh panas dengan cara berjemur dibawah
sinar matahari atau berpindah ke tempat yang panas dengan cara mengekspose
sebagian besar tubuhnya sehingga memperoleh panas dengan optimal.
Sedangkan pada saat kondisi lingkungan dingin, kadal hanya mengekspose
sebagian kecil tubuhnya untuk menyimpan panas (Cogger, 1999). Sebagian
besar kadal mengatur suhu tubuhnya dengan cara mengubah warna tubuhnya.
Pada waktu pagi hari dan sore hari, kulit dari kadal berwarna lebih gelap
sehingga dapat menyerap panas dari sinar matahari secara optimal dan pada
10

waktu tubuhnya telah panas, maka warna kulitnya berubah menjadi lebih
terang. Beberapa jenis kadal dan ular di daerah tropis aktif pada malam hari
karena suhu pada waktu malam hari lebih stabil (Cogger, 1999). Berbeda
dengan semua reptil lain, yang baru aktif benar pada suhu antara 20°C dan
40°C, Tuatara terasa nyaman pada suhu 12°C (van Hoeve, 1992).
Menggigit merupakan perilaku paling umum dijumpai dari reptil untuk
mempertahankan diri dari gangguan. Tetapi terdapat berbagai strategi yang
digunakan reptil seperti ular dari famili elapidae dan viperidae memproduksi
racun untuk mempertahankan diri. Beberapa jenis kadal mengembangkan dan
meninggikan tubuhnya unuk membuat meraka kelihatan menjadi lebih besar
Beberapa jenis ular can bunglon menyamarkan diri menyerupai dengan
lingkungan sekitamya (Cogger dan Zweifel 2003)
2.2 Biodiversitas
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversitas) adalah seluruh
keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini beserta interaksinya (BAPPENAS,
2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis
yang merupakan jumlah jenis dari suatu areal dan kemerataan jenis yang merupakan
kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies (Feldhamer dkk, 1999). Kedua
komponen tersebut memiliki nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan
jenis dan indeks kemerataan jenis. Ludwig & Reynold (1988) menyatakan bahwa
indeks tersebut digabungkan menjadi satu nilai yang sama dengan indeks
keanekaragaman. BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang terkait
dengan keanekaragaman hayati, yaitu :
1. Keanekaragam ekosistem, keanekaan bentuk dan susunan bentang alam daratan
maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup berinteraksi dan
membentuk keterkaitan dalam lingkungan fisiknya.
2. Keanekaragaman jenis, keanekaan jenis organisme yang menempati suatu
ekosistem, didarat maupun diperairan.
11

3. Keanekaragaman genetik, keanekaan individu didalam suatu jenis yang di


sebabkan oleh perbedaan genetik antara individu.
Keanekaragaman menurut hal yang paling penting dalam mempelajari suatu
komunitas keanekaragaman jenis merupakan pertanyan yang paling mendasar dalam
ekologi, baik teori maupun terapan sehingga ahli ekologi harus mengetahui cara
mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya (Odum, 1971).
Keanekaragaman jenis yaitu perbedaan yang terjadi antar jenis pada satu marga.
Perbedaan tersebut lebih mudah diamati dibandingkan dengan keragaman gen.
Contohnya yaitu singa, harimau, dan macan yang masih satu genus yaitu Panthera
namun memiliki bentuk fisik berbeda. Keanekaragaman jenis cenderung bertambah
dengan ukuran areal. Keanekaragaman cenderung berkurang dalam komunitas biotik
tertekan tetapi dapat juga dikurangi oleh persaingan dalam komunitas tua dalam
kemampuan dalam kemantapan lingkungan (Riayanto, 1995 dalam Wahida dkk,
2015).
Keaneragaman jenis mempunyai dua kelompok yaitu kekayaan yang disebut
kepadatan spesies dan kelimpahan spesies, dari jenis dan tingkat dominan atau
kekurangannya. Satu komponen utama keanekaragaman dapat disebut sebagai
kekayaan jenis dan komponen utama kedua dari keanekaragaman adalah kemerataan.
Aspek-aspek yang dapat diamati dalam rangka pengukuran keanekargaman jenis
meliputi: kerapatan, frekuensi, dan dominansi (Istomo, 1995). Selanjutnya digunakan
pula bahwa untuk menentukan tingkat keanekargaman yang dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori, yaitu:
1. Indeks Keanekaragaman (Diversity Indices)
2. Indeks Kekayaan (Richness Indices)
3. Indeks Kemerataan (Evenness Indices)

Analisis keanekaragaman hayati komunitas tumbuhan merupakan suatu cara


mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi.
Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas
12

tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang
menempati suatu habitat (Indriyanto, 2012).
Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2012), untuk
kepentingan deskripsi analisis keanekaragaman hayati suatu komunitas tumbuhan
diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif, yaitu densitas, frekuensi, dan
dominansi. Parameter dominansi ini dapat diketahui dari penarikan parameter
kekayaan, keragaman, dan kemerataan.
Analisis keanekaragaman hayati pada akhirnya akan mencoba membuat
ekosistem yang ideal dan stabil. Kestabilan ekosistem ditandai dengan adanya
kekayaan spesies, keragaman spesies, dan kemerataan spesies dalam ekosistem.
Kestabilan ekosistem akan memberikan manfaat jasa lingkungan yang sangat
berharga bagi manusia.
Indeks keanekaragaman spesies merupakan indeks yang menyatakan struktur
komunitas dan kestabilan ekosistem. Semakin baik indeks keragaman spesies maka
suatu ekosistem semakin stabil. Indeks keragaman ini biasa menggunakan indeks
Shannnon, indeks Margalef, dan indeks Simpson (Indriyanto, 2012). Indeks Shannon-
Wiener merupakan indeks yang sesuai untuk menghitung tingkat keragaman spesies
(Suratissa dan Rathnayake, 2016).
Indeks kekayaan komunitas tumbuhan ditentukan oleh indeks Margalef, indeks
ini menunjukan perbandingan banyaknya satu spesies terhadap jumlah seluruh
spesies. Adapula indeks kemerataan yang disebut juga indeks Pielou. Indeks
kemerataan ini merupakan tingkat kesamaan jumlah spesies satu dengan spesies yang
lainnya (Naidu dan Kumar, 2016).

2.3 PT. Rimba Makmur Utama


PT Rimba Makmur Utama memandang hutan sebagai penghasil beragam
manfaat dengan memadu-serasikan antara usaha kehutanan dan konservasi melalui
pengelolaan bentang alam berbasis ekosistem. Inisiatif ini dijalankan dalam bentuk
usaha jasa lingkungan dengan memanfaatkan mekanisme perdagangan kredit karbon
13

di pasar sukarela. Berdasarkan metode perhitungan karbon standar Verified Carbon


Standard (VCS) dan standar Climate, Community, and Biodiversity (CCB). kawasan
ini menghasilkan rata-rata 7,5 juta per tahun dengan predikat Triple Gold. Sebagai
perbandingan, penghindaran emisi ini setara dengan penghindaran emisi dari 2 juta
mobil setiap tahun.
Dengan adanya pemasukan dari kredit karbon ini maka PT Rimba Makmur
Utama mampu membangun kemitraan dengan masyarakat, melakukan perlindungan
terhadap ekosistem kawasan dan memenuhi biaya operasional perusahaan. Hal ini
menjadi bukti bahwa keseimbangan antara tiga dimensi pengelolaan yaitu: Ekologi,
Sosial dan Ekonomi mampu diimplementasikan dengan tetap sejalan dengan prinsip-
prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals -
SDGs). Usaha yang dijalankan oleh PT Rimba Makmur Utama mampu melindungi
ekosistem gambut yang penting, melindungi 5 spesies "Critically Endangered", 8
spesies "Endangered" dan 31 spesies "Vulnerable".
Wilayah restorasi ekosistem PT Rimba Makmur Utama memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk di dalamnya beberapa spesies kunci
yang terancam punah. PT Rimba Makmur Utama berkomitmen untuk menjaga habitat
dan spesies kunci tersebut melalui program perlindungan dan pengamanan kawasan
serta program pengembangan masyarakat.
2.4 Kawasan Katingan Mentaya Project
Katingan Mentaya Project adalah sebuah proyek restorasi dan konservasi lahan
gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, berlokasi di antara Sungai
Katingan dan Sungai Mentaya, dengan luas 157.875 hektar yang mencakup hutan
rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara. Didirikan pada tahun 2007 oleh
Dharsono Hartono dan Rezal Kusumaatmadja, Katingan Mentaya Project merupakan
proyek yang telah diverifikasi di bawah Verified Carbon Standard (VCS) dan standar
Climate, Community, and Biodiversity (CCB) sejak tahun 2016. Katingan Mentaya
14

Project dikelola oleh PT Rimba Makmur Utama dengan kerja sama Wetlands


International, Yayasan Puter, dan Permian Global.
Katingan Mentaya Project dibentuk pada tahun 2007 oleh Dharsono Hartono
dan Rezal Kusumaatmadja di bawah PT Rimba Makmur Utama. Pada bulan Oktober
2013, konsesi wilayah Katingan Mentaya Project disahkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan luas sebesar 108.225 hektar yang diikuti
oleh konsesi kedua pada tahun 2016 dengan luas lahan sebesar 50.000 hektar
di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Dengan model usaha kredit karbon,
Katingan Mentaya Project bertujuan untuk mengurangi emisi karbon, melindungi
keanekaragaman hayati, dan menciptakan pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi
masyarakat di dalam dan sekitar wilayah konsesi.

Gambar 2.1. Peta Areal Katingan Mentaya Project


15

Dengan luas lahan sebesar 157.875 hektar, Katingan Mentaya Project


melindungi salah satu kawasan hutan rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara. Di
dalam wilayah konsesi Katingan Mentaya Project, tercatat 67 spesies mamalia (6
diantaranya terancam punah), 185 spesies burung (4 diantaranya terancam punah), 49
spesies reptil (6 diantaranya terancam punah), beserta 312 spesies tumbuhan yang
terdiri dari 219 spesies pohon dan 93 spesies non-pohon. Adapun spesies-spesies
satwa yang berada dalam program perlindungan Katingan Mentaya Project, antara
lain Tenggiling Sunda, Orangutan Borneo, dan Bangau Badai, telah
dikategorikan terancam punah oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam
(IUCN).
16

III. METODE PENELITIAN

3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan di kawasan hutan Katingan Mentaya Project
Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah.
Waktu penelitian ini dilaksanakan selama ±5 bulan (April-Agustus 2023) yang
meliputi pengumpulan bahan pustaka, penyusunan proposal penelitian, seminar
proposal, pengambilan data di lapangan dan analisis serta penyusunan hasil
penelitian. Rencana jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian
No. Rincian Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4
1 Pengumpulan
bahan pustaka
2 penyusunan
Proposal penelitian
3 Seminar proposal
dan persiapan
administrasi
4 Pengambilan data
di lapangan
5 Analisis Data
6 Penyajian hasil
penelitian

3. 2. Bahan dan Objek Penelitian


Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah jenis herpetofauna yang
ditemukan pada lokasi penelitian yang dibagi atas 2 kelas yaitu kelas amfibi dan reptil
17

terutama yang terdapat di jalur atau titik pengamatan. Peralatan yang digunakan pada
kegiatan penelitian ini adalah:
 GPS (Global Position System) Garmin untuk mengambil titik koordinat.
 Kamera ntuk mengambil foto pada saat kegiatan penelitian.
 Thermometer untuk mengukur suhu udara dan air.
 Laptop untuk mengimput dan mengolah data.
 Teropong untuk membantu mengamati satwa dari jarak jauh.
 Parang untuk merintis jalur penelitian.
 Buku panduan lapangan identifikasi jenis herpetofauna.
 Tally sheet dan alat tulis menulis sebagai alat bantu catatan atau daftar
perhitungan jumlah data.
 Peta lokasi sebagai acuan penelitian.
 Ces/klotok untuk alat trasportasi jalur air pada saat penelitian.
 Senter untuk penerangan malam hari
 Alat penangkap ular
 Plastik sampel wadah spesies yang dibutuhkan saat melakukan sampling.
 Peralatan pendukung lainnya.

3. 3. Metode pengumpulan data


Keberadaan amfibi sangat tergantung dengan keberadaan air. Amfibi dan reptil
dikonsentrasikan pada areal yang dekat dengan sumber air tawar, yaitu maksimal 100
meter dari sumber air. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah
metode Visual Encounter Survey (VES) di kombinasikan dengan Metode transek atau
jalur (Crump dan Scott, 1994)
Metode Visual Encounter Survey adalah pengumpulan jenis yang didasarkan
dari perjumpaan langsung pada jalur yang merupakan habitat satwa baik terestrial
maupun akuatik (Heyer dkk, 1994). Pencarian aktif dengan metode Visual Encounter
Survey (VES) dikombinasikan dengan menggunakan 5 transek paralel sepanjang 100
18

meter yang dipisahkan oleh intersep 10 meter seperti yg ditunjukkan pada gambar
3.1 dibawah ini. Kegiatan pengamatan aktif di malam hari dilakukan pada pukul
19.00-22.00 WIB dan pada pagi hari dilakukan pada jam 08.00-12.00 WIB.
Pengamatan adalah dengan berjalan perlahan disepanjang transek, Jika ditemukan
akar banir diamati celah-celahnya,kemudian kayu lapuk baik yang berdiri maupun
telah roboh dibongkar untuk mencari hewan yang tersembunyi. Kegiatan pengamatan
di malam hari ditujukan untuk herpetofauna nokturnal sedangkan pengamatan pada
pagi hari lebih difokuskan pada jenis-jenis reptil. Jumlah pengamatan yang berbeda-

beda di setiap lokasi membuat usaha pengamatan berbeda antar lokasi.


Gambar 3.1. Desain transek pengamatan tipe habitat terestrial.
Keterangan: To : Titik awal pengamatan
T : Titik akhir pengamatan
R : Satwa yang ditemukan
Untuk tipe habitat akuatik dibuat 1 jalur, lebar jalur fleksibel mengikuti lebar
sungai dan untuk alur menyesuaikan alur sungai di lapangan. Pengamatan jalur sungai
dilakukan 1 jalur 1 hari dengan panjang jalur yang tidak ditentukan atau semampunya
menyusuri sungai pada satu hari itu. Pengamatan dilakukan dengan menyusuri sungai
19

menggunakan perahu ces (kelotok) mengikuti alur sungai di lapangan dan mengamati
satwa apa saja yang ada dijalur kiri dan jalur kanan sungai sejauh mata memandang.

Gambar 3.2. Desain transek pengamatan tipe habitat akuatik.


Keterangan: To : Titik awal pengamatan
T : Titik akhir pengamatan
R : Satwa yang ditemukan
3. 4. Analisis data
Data hasil satwa liar yang didapatkan dari pengukuran langsung di lapangan,
akan digunakan untuk menghitung:
a. Indeks kekayaan
b. Indeks keanekaragaman
c. Indeks kemerataan
Ketiga parameter di atas akan dihitung menggunakan rumus berikut (Ludwig
dan Reynolds, 1988):
Indeks kekayaan akan dihitung dengan menggunakan rumus Margalef
R= S – 1
Log n
20

Keterangan:
R : Indeks kekayaan
S : Jumlah spesies
n : Jumlah individu
Besarnya nilai indeks kekayaan mimiliki kisaran besarnya <3,5 menunjukkan
kekayaan jenis tergolong rendah, ≥3,5-<5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong
sedang, dan >0,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi.
Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan rumus Shannon
Wiener.

Keterangan:
H’ : Indeks keanekaragaman jenis Shannon atau Indeks Shannon-Wiener
Pi : Jumlah individu suatu spesies/jumlah total seluruh spesies
ni : Jumlah individu ke i
N : Jumlah total individu
Besarnya indeks keanekaragam jenis memiliki kisaran besarnya <2
menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, ≥2-<3 menunjukkan
keanekaragaman jenis tergolong sedang, dan ≥3 menunjukkan keanekaragaman jenis
tergolong tinggi.
Indeks kemerataan dihitung dengan menggunakan rumus Pielou

Keterangan:
E : Indeks kemerataan
H’ : Indeks Shannon
21

S : Jumlah spesies
Ln : Logaritma natural
Besarnya derajat kemerataan memiliki kisaran besarnya E<0,3 menunjukkan
kemerataan jenis tergolong rendah, E= ≥0,3-0,6 kemerataan jenis tergolong sedang,
dan E>0,6 maka kemerataan jenis tergolong tinggi.
22

DAFTAR PUSTAKA

Awal Riyanto.,2008.Komunitas Herpetofauna di Taman Nasional Gunung


Ciremai,Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia 4(5):349-358 (2008). Bogor

BAPPENAS. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragman Hayati Indonesia


2003-2020. BAPENAS. Jakarta.
Cogger HG. 1999. The Little Guide Reptiles and Amphinians. Fog City Press. San
Francisco. USA.
Cogger HG and Zwiefel RG: 2003. Encyclopediea of Reptiles and Amphibians. Fog
City Press, San Francisco, USA.
Crump, M. L. and Scott, N. J. (1994) Chapter 6.2: Visual Encounter Surveys in
Heyer, W. R. et al. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard
Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington and
London
Dueliman WE and Trueb L 1994. Biology of Amphibians. London: Johns Hopkin
Univ. Pr
Feldhamer, GA., LC. Drickamer, SH. Vessey & JF. Merritt. 1999. Mammalogy:
Adaptation, Diversity and Ecology. McGraw-Hill. Boston.
Fitri A 2002. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor
[skripsi] Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisara. Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring
and Monitoring Biodiversity: Standard Methods for Amphibians. Washington:
Smithsonian Institution Press.

Hofrichter R2000, The Fcycloped ea of Amphibians, Weltbuild Augsburg.

Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Jakarta(ID): Bumi Aksara.

Iskandar D.T and Walter R. Erdellen, 2006. Conservation of amphibians and reptiles
in Indonesia: issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation
4(1):60-87. DOI: 10.1514/journal.arc.0040016 (2329KB PDF).

Iskandar D.T., 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor:
Puslitbang LIPI.
23

[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources,


Conservation International, and NatureServe. 2001 Categories & Criteria.
http://www.iucnredlist.org/static/categories_criteria_3_1

[IUCN) International Union for Conservation of Nature and Natural


Resources,Conservation International, and NatureServe. 2008. Major
Threats.http://www.iucnredlist.org/amphibians/major_threats.htm.

Kusrini MD. 2003. Predicting the impact of the frog leg trade in Indonesia: An
ecological view of the indonesian frog leg trade, emphasizing Javanese edible
frog species. Dalam: MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey 2003
Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Hal. 27-44.

Ludwig, J.A dan J.F. Reynolds, 1988. Statistical Ecology. 2nd ed. London: Edward
Arnold (Publisher ) Co. Ltd.

Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The
Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement.

Naidu M T, Kumar O A. 2016. Tree diversity, stand structure and community


composition of tropical forests in eastern Ghats of Andhra Peadesh,
India. Journal of Asia-Pacific Biodiversity. (2016): Accepted manuscript.

O’Shea M, Kathriner A, Mecke S, Sanchez C, Kaiser H. 2013. Fantastic voyage: a


live blind snake (Rhamphotyophlops braminus) journeys trough the
gastrointestinal system of a toad (Duttaphrynus melanostictus). Herpetology
Notes 6: 467-470.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of ecology. W.B. Sounders Company Ltd.,


Philadelphia. 474p.

PT. Rimba Makmur Utama: Reducing Deforestation and Growing Economic


Opportunities in Borneo. Bogor: PT Rimba Makmur Utama. hlm. 15.

ReptileDatabase. 2012. Species Numbers.


http://www.reptile-database.org/db-info/SpeciesStat.html SIOUX. 2009.
Makalah Pengantar. Identifikasi dan Penanganan Ular Indonesia
http://www.siouxindonesia.org
24

Septian IGN. 2016. Keanekaragaman amphibia (ordo anura) dan preferensi makanan
dua spesies Limnonectes (L. kardasani dan L. dammermani) di taman nasional
gunung rinjani lombok [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Stebbins RC, Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey:
Princeton Univ. Pr.

Suratissa D M, Rathnayake U S. 2016. Diversity and distribution of fauna of the


Nasese Shore, Suva, Fiji, Islands with reference to existing threats to the biota.
Journal of Asia-Pacific Biodiversity. 9 (2016): 11-16.

Syarif M.A dan Maulana F.,2018. Keanekaragaman Jenis Dan Kemelimpahan A-


mfibi Di Desa Muning Dalam Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Jurnal Pendidikan Hayati ISSN : 2443-3608 Vol.4 No.4
(2018) : 195 – 200, Prodi Pendidikan Biologi STKIPPGRI Banjarmasin.
Banjarmasin

van Hoeve BVUW. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Reptilia dan Amfibia.
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

Yanuarefa MF. 2010, Pengaruh Daerah Peralihan Terhadap Distribusi Herpetofauna


Di Kawasan lambing Wilcl fe Nature Conservation, Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan, Provinsi Lampung, (skripsi) Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Yudha,D.S, Eprilurahman,R, Trijoko1, Alawi,M.A dan Tarekat. A., 2014.Keane-


karagaman Jenis Katak Dan Kodok (Ordo Anura) Di Sepanjang Sungai Opak
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Biologi Volume 18 No.2.
Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi Universitas GadjahMada
Kelompok Studi Herpetologi, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai