FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022
i
RINGKASAN
i
ii
ABSTRACT
This research was conducted in the Sebangau Hulu area of the Sebangau National
Park because it has many primates outside and inside the forest area but has not been
identified. often inhabited by these primates. Penelitian ini bertujuan untuk
menghitung keanekaragaman jenis primata di Sebangau Hulu Taman Nasional
Sebangau Kalimantan Tengah. This study aims to calculate the diversity of primate
species in Sebangau Hulu Sebangau National Park, Central Kalimantan. The method
used in this study used the line transect method and observations were carried out in 2
lines, namely the land route and the river route. There are 3 land routes in a day
carried out for 5 days of observation and the total number of land routes is 15 lines.
There are 2 river routes where 1 route is carried out in 1 day, so the river route is
carried out for 2 days. The results of this study indicate that the species diversity
index 0.65467 is low, the species richness index 0.691953 is low, and the species
evenness index 0.218223 is low.
Keywords: Identification, Primates, Diversity, Sebangau Hulu , Sebangau National
Park
ii
iii
ABSTRAK
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya susun, sebaai syarat memperoleh gelar
sarjana merupakan hasil karya tulis sendiri. Adapun bagian-baian tertentu dalam
penulisan skripsi ini yang saya kutip dari orang lain telah dituliskan sumbernya secara
jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Saya bersedia
menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya peroleh dan sanksi-sanksi
lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, apabila dikemudianhari di temukan
adanya plagiat dalam skripsi ini.
iv
v
RIYAWAT HIDUP
v
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal
dengan judul “Keanekaragaman Jenis Primata Di Sebangau Hulu Taman
Nasional Sebangau Kalimantan Tengah” disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.
Dalam penulisan skripsi ini kemungkinan masih banyak terdapat
kekurangannya, hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, wawasan dan
pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu demi kesempurnaan skripsi ini
penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang bersifat membangun.
Pada Kesempatan ini tidak lupa Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Teristimewa kepada Orangtua penulis Ayah (†) Saimin Sibarani yang telah
mendidik, yang selalu berjuang untuk memberikan yang terbaik dalam bentuk
material dan kasih sayang yang luar biasa. Ibu Rugun Simanjuntak yang telah
melahirkan penulis, memberikan kasih sayang yang sangat luar biasa yang tidak
dapat ditemukan pada orang lain, yang selalu mendoakan penulis, memberikan
semangat dan motivasi tanpa henti.
2. Bapak Ir. Mohammad Rizal, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Utama
(Pembimbing I) yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama
proses penelitian dan penulisan skripsi.
3. Ibu Dr. Milad Madiyawati, S.Hut., M.P Selaku Dosen Pembimbing Pendamping
(Pembimbing II) yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama
proses penelitian dan penulisan skripsi.
4. Ibu Dr. Ir. Sosilawaty, M.P Selaku Dosen Pembahas Utama (Pembahas I) yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian dan
penulisan skripsi.
vi
vii
5. Bapak Dr. Ir. Herianto, M.P Selaku Dosen Pembahas Kedua (Pembahas II) yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian dan
penulisan skripsi.
6. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.
7. Ketua Jurusan Kehutanan dan Sekretaris Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Palangka Raya.
8. Ibu Ir. Nuwa, M.P Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan
masukan selama penulis menempuh perkuliahan.
9. Kepala Balai Taman Nasional Sebangau Palangka Raya yang telah memberikan
ijin penelitian.
10. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Tata Usaha di Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Palangka Raya.
11. Kakak Penulis Lisda Sibarani, A.Md dan Lia Kartika Sibarani, S.pd yang telah
memberikan masukan, semangat dan memberikan bantuan materi sehingga
penulis dapat melaksanakan penelitian.
12. Keluarga Besar Mapala Sylva Raya yang telah mendidik penulis dengan banyak
ilmu dan mau menerima penulis sebagai keluarganya.
13. Tim Lapangan :Bapak Ilan, Swandi Simamora dan Albert Sihite yang telah
membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan dan Rahmat yang besar
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
viii
DAFTAR ISI
RINGKASAN......................................................................................................i
ABSTRACT.......................................................................................................ii
ABSTRAK........................................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................iv
RIWAYAT HIDUP...........................................................................................v
KATA PENGANTAR......................................................................................vi
DAFTAR ISI...................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................x
DAFTAR TABEL.............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................xii
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang.........................................................................................1
I.2 Tujuan Penelitian.....................................................................................2
I.3 Manfaat Penelitian...................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keanekaragaman Jenis............................................................................3
2.2 Pengertian Primata...................................................................................4
2.3 Klasifikasi dan Morfologi Umum Primata..............................................5
2.4 Klasifikasi dan Morfologi Primata di Sebangau Hulu............................5
2.5 Penyebaran Satwa....................................................................................9
2.6 Habitat Satwa.........................................................................................10
2.7 Konservasi Satwa..................................................................................11
2.8 Taman Nasional.....................................................................................14
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian..............................................................17
3.2 Objek, Bahan dan Peralatan Penelitian................................................18
3.3 Prosedur Penelitian...............................................................................18
3.3.1 Pengumpulan Data........................................................................18
3.3.2 Jalur Pengamatan Darat................................................................19
3.3.3 Jalur Pengamatan Sungai..............................................................21
3.3.4 Bagan Penelitian dalam Bentuk Diagram.....................................22
3.3.5 Bagan Penelitian dalam Bentuk Narasi........................................23
viii
ix
ix
x
DAFTAR GAMBAR
x
xi
DAFTAR TABEL
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1
I. PENDAHULUAN
dalamnya terdapat keanekaragaman jenis flora dan fauna. Namun, saat ini
banyak terjadi kerusakan yang akan berdampak buruk terhadap
keberlangsungan hidup primata khususnya primata penting yang terdapat di
dalam Taman Nasional Sebangau Seperti : orangutan, bekantan, beruang
madu, owa-owa, kelasi, monyet ekor panjang. Informasi mengenai konservasi
dan keanekaragaman kekayaan jenis primata tersebut masih belum banyak
tersedia, baik di buku atau jurnal yang ada.
Informasi yang sangat sedikit tersebut mengakibatkan pentingnya
melakukan penelitian inventarisasi dan keanekaragaman primata di
Punggualas Taman Nasional Sebangau guna mendapatkan data akurat dan
terkini yang dapat dijadikan salah satu upaya pelestarian primata. Melalui
penelitian ini diharapkan mendapat informasi mengenai keanekaragaman
primata di Resort Sebangau Hulu Provinsi Kalimantan Tengah.
Genus : Hylobates
Spesies : Hylobates agilis
Subspesies : Hylobates agilis albibarbis
Nama lokal : Kalawet
Genus Hylobates merupakan kera kecil tak berekor, mempunyai kepala
kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil, rongga dada pendek
tetapi lebar, serta memiliki rambut tebal dan halus (Chivers, 1977).
Menurut Groves (2001) pada genus Hylobates baik jantan maupun betina
mempunyai ukuran tubuh relatif sama. Gambaran sifat-sifat pada tubuh
ditunjukkan dengan seluruh tubuh ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu,
kecoklatan hingga hitam. Rambut yang tumbuh pada tangan berwarna hitam dan
umumnya lebih gelap dari bagian tubuh lainnya, sehingga sering disebut
black/dark-handed gibbon. Pada umumnya memliki garis lengkungan putih pada
alis (white brow) sampai pipi (cheek patches). Garis lengkungan putih
di sekeliling wajah pada jantan lebih jelas daripada betina.
Monyet ekor panjang tergolong monyet kecil yang berwarna coklat dengan
bagian perut berwarna lebih muda dan disertai rambut keputih-putihan yang jelas
pada bagian muka.Dalam perkembangannya, rambut yang tumbuh pada muka
tersebut berbeda-beda antara satu individu dengan individu yang lainny a.Perbedaan
warna ini dapat menjadi indikator yang dapat membantu mengenali individu
berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya (Aldrich-Black, 1980).
Bayi monyet yang baru lahir memiliki rambut yang berwarna hitam
denganmuka dan telinga berwarna merah muda. Dalam waktu satu minggu, warna
rambut pada kulit muka akan memudar dan berubah menjadi abu-abu kemerah-
merahan. Setelah kira-kira berumur enam minggu, warna rambut yang hitam pada
saat lahir berubah menjadi coklat. Setelah dewasa, rambut kulit berwarna coklat
kekuningan, abu-abu dan coklat hitam, tetapi bagian bawah perut dan kaki sebelah
dalam selalu lebih cerah. Rambut di atas kepalanya tumbuh kejur (semacam kuncir)
ke belakang, kadang-kadang membentuk jambul. Rambut di pipi menjurai ke
muka, di bawah mata selalu terdapat kulit yang tidak berambut dan berbentuk
segitiga, kulit pada pantat juga tidak berambut (Carter, 1978).
Pergerakan satwa besar dari daratan utama Asia ke subwilayah Sunda 18.000
tahun yang lalu, berlangung pada saat terjadinya pengumpulan es sehingga
permukaan air laut turun 85 m dari keadaanya yang sekarang. Pada saat itu, muncul
paparan Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa, Sumatera, Kaalimantan dan
Semenanjung Malaysia. Berbagai jenis mamalia terutama herbivora mengadakan
penyesuaian dengan cara bergerak secara perlahan-lahan dari Utara ke Salatan
(Alikodra, 1990). Setelah terjadinya pemisahan pulau akibat mencairnya es, jenis-
jenis beradaptasi dan berevolusi pada kondisi yang baru atau bahkan jenis baru.
Semakin lama isolasi yang terjadi, semakin banyak fauna-fauna yang berbeda, seperti
yang ditunjukkan oleh jumlah satwa yang endemik di Sulawesi dengan lebih dari
70% jenis satwa darat yang endemik (Zon, 1979).
Penyebaran satwa mempunyai kecenderungan untuk dibatasi oleh penghalang-
penghalang fisik seperti sungai, samudera dan gunung, serta oleh penghalang
ekologis seperti batas tipe hutan dan adanya jenis saingan yang telah menyesuaikan
secara optimal dengan habitatnya sekarang, sehingga penghalang-penghalang fisik itu
dapat digunakan untuk menarik batas geografis fauna sepanjang batas fisik atau
ekologis (Alikodra, 1990).
Fauna Sumatera sangat erat hubungannya dengan fauna yang berada di
Semenanjung Malaysia dengan relatif sedikit mamalia endemik, misalnya : Kelinci,
Sumatera (Nesolagus netsheri). Sesuai dengan kondisi biogeografisnya. Pulau
Kalimantan (mamalia endemik sebanyak 18 jenis) memiliki jenis-jenis satwa liar
endemik yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Sumatera (satwa endemik sebanyak
10 jenis) (Alikodra 2002).
dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya
untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan
makanan, air dan pelindung.
Keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secara terpisah dan
bersama-sama menyediakan berbagai relung (niche) yang potensial dalam sebaran
satwa (Bismark, 1994). Struktur fisik hutan sebagai habitat yang terbentuk oleh
adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur maupun sifat tumbuhnya
membentuk statifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentu seperti adanya
perbedaan ketinggian, serta makanan primata pada pohon (Oates, 1977).
Lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim, aktivitas biologi relatif kurang
berkembang. Sedangkan pada lingkungan yang kondisi fisiknya sesuai, interaksi
dalam ekosistem dan habitat secara efektif akan membatasi pertumbuhan populasi
satwa liar. Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis satwa belum tentu sesuai
untuk kehidupan jenis satwa yang lain karena pada dasarnya setiap jenis satwa
memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda. Berkurangnya habitat disebabkan
karena beberapa faktor. Ada tiga faktor utama yang dinilai sangat mempengaruhi
tehadap perubahan habitat, yaitu : Aktivitas manusia, satwa liar dan bencana alam
seperti gunung meletus (Irwanto, 2006).
Penggunaan habitat oleh primata tergantung kepada banyaknya pakan yang
tersedia, penyebaran sumber pakan, dan inteval musim, jumlah pakan yang tersedia
berpengaruh secara langsung terhadap besarnnya kelompok (Fitriani, 2006). Pada
habitat alaminya, Lutung mempunyai jalur-jalur tertentu dalam menempuh perjalanan
harian, mencari makanan dan tempat tidurnya, pemilihan habitat dan distribusi suatu
individu cenderung dipengaruhi oleh perilaku individu tersebut (Krebs, 1985).
Lutung mulai tersebar dari rendah hingga daratan tinggi, baik hutan primer maupun
sekunder, daerah perkebunan, pesisir maupun hutan mangrove (Supriatna &
Wahyono, 2000).
kehidupan generasi mendatang pewaris alam ini. Sisi lain, batasan konservasi
dapat dilihat berdasarkan pendekatan tahapan wilayah, yang dicirikan oleh:
(1) pergerakan konservasi, ide ide yang berkembang pada akhir abad ke 19,
yaitu yang hanya menekankan keaslian bahan dan nilai dokumentasi, (2) teori
konservasi modern, didasarkan pada penilaian kritis pada bangunan bersejarah
yang berhubungan dengan keaslian, keindahan, sejarah, dan penggunaan nilai-
nilai lainnya, (Rachman, 2012).
Berdasarkan konsep, cakupan, dan arah konservasi dapat dinyatakan
bahwa konservasi merupakan sebuah upaya untuk menjaga, melestarikan, dan
menerima perubahan dan/atau pembangunan Perubahan yang dimaksud
bukanlah perubahan yang terjadi secara drastis dan 14 serta merta, melainkan
perubahan secara alami yang terseleksi. Hal tersebut bertujuan untuk tatap
memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan
beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan arus modernitas dan kualitas
hidup yang lebih baik. Dengan demikian, konservasi merupakan upaya
mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih
baik dan berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep
konservasi terdapat alur memperbaharui kembali (renew), memanfaatkan
kembali (reuse), reduce (mengurangi), mendaur ulang kembali (recycle)
(Marquis-Kyle & Walker, 1996).
Kategori status konservasi dari IUCN Red List pertama kali diterbirkan
pada tahun 1984 dan hingga saat ini masih dijadikan panduan yang paling
berpengaruh mengenai status konservasi keanekaragaman hayati. Daftar
tersebut ditinjau dan dievaluasi secara berkelanjutan 5-10 tahun sekali. IUCN
Red List of Threatened Species membagi status konservasi ke dalam sembilan
kategori, yaitu :
1. Extinct (EX: Punah) adalah status konservasi yang diberikan untuk spesias yang
telah terbukti (tidak ada keraguan) bahwa individu terakhir dari suatu spesies
14
telah mati. Contohnya adalah harimau jawa dan harimau bali. IUCN mencatat
bahwa terdapat 723 hewan dan 86 tumbuhan yang telah berstatus punah.
2. Extinct In The Wild (EW: Punah Alam Liar) adalah staus konservasi yang
ditukan untuk spesies yang keberadaannya diketahui hanya di penagkaran atau di
luar habitat alaminya. Data IUCN menujukkan terdapat 38 hewan dan 28
tumbuhan yang berstatus telah punah di alam liar.
3. Critically Endangered (CR: Kritis) merupakan status konservasi yang diberikan
untuk spesies yang berisiko punah dalam waktu dekat. Contohnya adalah
harimau sumatera, badak jawa, dan jalak bali. Berdasarkan darai IUCN Red List,
terdapat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang kini berstatus kritis.
4. Endangered (EN: Terancam) adalah status konservasi untuk spesies yang
sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada wak tu dekat. Data IUCN
menyebetukan terdapat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang kini terancam,
antara lain tapir, banteng, dan anoa.
5. Vulnerable (VU: Rentan) merupakan status konservasi untuk kategori spesies
yang menghadapi risiko kepunahan di alam liar di waktu yang akan datang.
Misalnya burung kasuari dan merak hijau. Selain itu, tercatat 4.467 hewan dan
4.607 tumbuhan yang berstatus rentan.
6. Near Threatened (NT: Hampir Terancam) yaitu kategori status konservasi
yang ditujukan untuk spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam
punah atau mendekati terancam punah. IUCN Red List memberikan data terdapat
2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan dalam status hampir terancam punah, antara
lain burung alap-alap dan punai sumba.
7. Least Concern (LC: Risiko Rendah) adalah kategori dari IUCN untuk spesies
yang telah dievaluasi namun tidak masuk dalam kategori manapun. 17.535
hewan dan 1.488 tumbuhan masuk dalam kategori konservasi ini, seperti landak,
ayam hutan merah dan hijau.
8. Data Deficient (DD: Informasi Kurang) yaitu kategori status konservasi yang
diberikan apabila data atau informasi mengenai kepunahannya belum jelas dan
15
risiko kepunahannya berdasarkan distribusi atau status populasi. IUCN Red List
menyampaikan terdapat 5.813 hewan dan 735 tumbuhan yang hingga saat ini
informasinya masih kurang, antara lain adalah punggok papua.
9. Not Evaluated (NE: Belum Evaluasi) adalah kategori status konservasi yang
tidak di evaluasi berdasarkan kriteria-kriteria IUCN.
1. Estetika, Taman Nasional bisa dijadikan suatu yang bisa menjaga keseimbangan
baik biotik ataupun abiotik pada daratan ataupun perairan.
2. Jaminan Masa Depan, keanekaragaman sumber daya alam pada kawasan
konservasi baik di darat ataupun di perairan yang mempunyai jaminan untuk
digunakan secara batasan bagi suatu kehidupan yang lebih untuk generasi
sekarang dan juga generasi yang akan datang, jaminan masa depan terbagi
menjadi 3 yakni :
1. Ekonomi, Taman Nasional bisa dipergunakan sehingga mempunyai nilai
ekonomis yang bisa menolong dalam peningkatan pendapatan penduduk
ataupun devisa negara.
17
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang dihasilkan dari dokumen-dokumen yang ada di
Balai Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah yang berguna untuk
mendukung penelitian. Data Sekunder ini meliputi kondisi umum lokasi penelitian,
letak, luas areal, dan sejarah lokasi penelitian.
1 Km
100 m 100 m
sungai dilakukan 1 jalur 1 hari dengan panjang jalur yang tidak ditentukan
semampunya menyusuri sungai pada satu hari itu.
Desain metode pengamatan jalur sungai dapat dilihat seperti disajikan
pada Gambar 4 berikut.
S
S S
S
S
S
S T
Pra Penelitian :
Mengajukan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi ke Balai Taman
Nasional Sebangau serta mencari data- data Satwa Yang Ada Di Sebangau
Hulu Taman Nasional Sebangau KalimantanTengah.
Penelitian
Analisis data :
Indeks Shannon-Wiener untuk menghitung
indeks keanekaragaman jenis primata.
Ludwig Reynold (1988) untuk indeks
kemerataan dan indeks kekayaan jenis.
Keanekaragaman
III.3.5 Bagan Penelitian Jenis
dalam Bentuk Primata di Sebangau
Narasi
Hulu Taman Nasional Sebangau Kalimantan
BaganTengah.
penelitian Keanekaragaman Jenis Primata di Sebangau Hulu
Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah dalam bentuk narasi adalah
sebagai berikut. Gambar 5. Diagram Alur Penelitian
24
Keterangan :
3. Hidrologi
Kawasan hutan Resort Sebangau Hulu merupakan sumber air dari sungai
Sebangau bagian hulu, terdapat tiga anak sungai yaitu Sungai Koran, Sungai
Simpang Kiri, dan Sungai Simpang KananYA. Ketiga anak sungai pada baian
hulunya merupakan hutan sekunder yang berada dalam kawasan Taman Nasional
Sebangau. Selain sungai alam banyak terdapat kanal/ parit buatan yang dibuat oleh
masyarakat, lebih dari 20 kanal besar/ kecil yang mempengaruhi kondisi
kelembaban tanah/ gambut kawasan hutan. Kondisi sungai alam pada saat
kemarau masih tetap berair meskipun kedalamannya sangat turun drastis dan
masih bisa dilalui kelotok kecil/ cas. Pada musim kemarau juga terdapat kolam-
kolam kecil atau cekungan yang berair yang terjadi akibat bekas terjadi kebakaran
sehingga gambutnya amblas dan membentuk cekungan tersebut.
29
4. Aksesibilitas Kawasan
Kawasan Resort Sebangau Hulu dapat diakses menggunakan jalur sungai,
yaitu melalui Sungai Sebangau dengan menggunakan perahu mesin/ speed boat
dan kelotok kecil/ ces.
belum musim buah di lokasi yang menjadi bahan makan orangutan, biasanya
musim buah di lokasi ini antara Desember-Januari. Sehingga Orangutan
keluar dari jalur untuk menjadi bahan makanannya ketempat lain karena
orangutan mempunyai jiwa jelajah yang kuat dengan berpindah dari suatu
tempat ketempat lain untuk mencari dimana tempat yang banyak tersedia
bahan makanannya. Menurut (Meijaard et al, 2001), orangutan baik yang
berasal dari Sumatera maupun Kalimantan berdasarkan pola hidupnya
dibedakan menjadi orangutan penetap, penjelajah dan pengembara. Orangutan
penjelajah adalah orangutan yang melakukan perpindahan ke lokasi lain untuk
mencari bahan makanannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan akan
kembali kelokasi semula.
Kelasi (Lutung Merah) pada jalur darat ditemukan 9 individu dengan
mendengar suara dari primata ini dan tidak dapat menemukan secara
langsung. Sedangkan pada jalur sungai ditemukan 1 individu dengan
perjumpaan secara langsung. Owa Kalimantan pada jalur darat ditemukan 9
individu dengan mendengar suaranya, sedangkan pada jalur sungai hanya
menemukan 1 individu dengan mendengar suaranya juga. Monyet Ekor
panjang merupakan primata yang lebih banyak ditemukan di lokasi penelitian
dengan 10 individu yang ditemukan di jalur darat dan pada jalur sungai
ditemukan 11 individu. Hal yang menyebabkan sangat sedikitnya primata
yang ada di lokasi penelitian karena kurangnya bahan makanan di lokasi
penelitian tersebut menyebabkan primata mencari bahan makanan ketempat
lain.
Smith et al. (1989) berpendapat Pola pergerakan dan jarak tempuh
satwa dipengaruhi oleh sifat satwanya dan tergantung pada jumlahnya serta
distribusi sumber makanannya. Pada saat sumber makanan melimpah dan
dekat dengan daerah inti satwa, maka pergerakan satwa tersebut tidak terlalu
jauh. Pergerakan satwa ini sangat didukung dengan waktu aktifnya.
32
0.6 0.65467
0.5
Series2
0.4
Series1
0.3
0.2
0.1
0
1
Gambar 6. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)
33
dan sumber air. Primata akan bergerak mencari makan dan berkembang biak
untuk bertahan hidup secara bebas.
tersebut dapat menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Sedangkan jenis-jenis
yang bersifat lebih spesialis dalam persyaratan ekologis mempunyai pola
adaptasi yang kecil. Selain itu pergerakan satwa erat kaitanya dengan sifat
individu dan kondisi lingkungan seperti persediaan makanan, fasilitas untuk
berkembang, kondisi iklim/cuaca, pemangsaan dan sumber air, mereka
bergerak untuk mencari makan, untuk hidup dan untuk berkembangbiak
dengan bebas (Boughey, 1973). Selain itu, nilai kekayaan jenis juga
dipengaruhi oleh bahan makanan yang tersedia di habitat tempat tinggal
mereka. Tingginya jumlah jenis mamalia yang ditemukan pada habitat
berkaitan dengan ketersediaan pakan yang cukup melimpah dan tersedianya
faktor kesejahteraan yang lain yang terdapat pada habitat tersebut. Di lokasi
penelitian masih sangat minim bahan makanan bagi primata hal ini disebab
kan dilokasi tersebut memang belum musim buah. Primata pada umumnya
menyukai buah-buahan yang manis dan agak asam seperti matoa, buah
manggis hutan, yang ada di lokasi penelitian tetapi belum berbuah sehingga
primata mencari lokasi yang masih ada buahnya. Sedangkan Owa dan
orangutan yang menyukai buah , kelasi menyukai dedaunan tua sedangkan
monyet ekor panjang mengkonsumsi buah dan daun. Hal ini sependapat
dengan Partasasmita & Malik (2016) yang mengatakan Owa yang merupakan
satwa furgivora cenderung memilih buah sebagai pakan utamanya, sedangkan
lutung merah cenderung memakan daun yang lebih tua. Sementara monyet
ekor panjang lebih bersifat generalis yang mengkonsumsi buah maupun daun
(Azevedo Ramos et al. 2005).
Jenis (E) dapat dilihat pada Lampiran 3 secara lengkap dan rekapitulasi
disajikan pada Gambar 8 berikut.
0.2
Series2
0.15
Series1
0.1
0.05
0
INDEKS KEMERATAAN JENIS
Gambar 8. Indeks Kemerataan Jenis (E) Pada Jalur penelitian
piais, buah jelutung, jambu-jambuan, buah nyatoh, cempedak air, dan buah
lewang yang belum musim buah di lokasi penelitian sehingga mereka keluar
jalur pengamatan untuk mencari bahan makanan lain yang mereka sukai. Hal
ini sesuai dengan pendapat Ardian et al., 2018 yang mengatakan Banyaknya
primata yang ditemukan pada lokasi penelitian bergantung kepada kondisi
vegetasi yang tumbuh pada lokasi penelitian, semakin bervariasi vegetasi
yang tumbuh maka pakan primata akan melimpah sehingga primata yang
ditemukan akan semakin banyak. Primata merupakan satwa pemakan buah
yang selalu memastikan bahwa kebutuhan makan mereka terpenuhi sehingga
tidak terjadi tumpang tindih antara primata dan satwa liar lainnya
(Suwanvecho et al., 2017). Insafitri (2010) mengemukakan indeks kemerataan
digunakan untuk mengetahui keseimbangan komunitas yaitu kesamaan ukuran
jumlah individu antar spesises dalam suatu komunitas. Semakin besar derajat
keseimbangannya itu berarti jumlah individu antar spesiesnya semakin mirip.
Odum (1971), menyatakan nilai indeks kemerataan (E) berkisar antara 0-1.
Apabila nilai E mendekati nol berarti kemerataan antar spesies rendah,
sedangkan apabila nilai E mendekati satu maka distribusi antar spesies relatif
seragam. Odum (1996) mengatakan bahwa indeks kemerataan tertinggi
berbanding tegak lurus dengan indeks keanekaragaman jenis, dimana semakin
tinggi nilai indeks kemerataan maka indeks keanekaragaman jenis semakin
tinggi.
VI. PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
42
Lekagul, B & McNeely. 1977. Mammals of Thailand. The Association for the
Conservation of Wildlife. Bangkok.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey.
Princeton University Press.
Oates, J.F. 1977. The Guereza And Its Food. In: Ekologi Makan Dan Perilaku
Bekatan (Nesalis Larvatus Wurmb) Di Hutan Bakau Taman Nasional
Kutai. Kalimantan Timur, M. Bismark, Disertasi, Institut Pertanian
Bogor.
Rachman, Maman. 2012. Konservasi Nilai dan warisan Budaya. Indonesiaan Journal
of Conservation (JC), Vol. 1 . 30-39.
45
RI, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya.
Santosa Y. 1993. Laporan akhir strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa
parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwa liar
berdasarkan pendekatan ekologi perilaku : Studi kasus terhadap populasi
kera ekor panjang (Macaca fascicularis diulau Tinjil). Bogor: Fakultas
Kehutanan IPB.
Smit van Dort, M. 1989. Skin, skull and skeleton characters of mouse deer
(Mammalia, tragulidae), with keys to the species. Bulletin Zoologisch
Museum 12:89-95.
LAMPIRAN
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
1 1 1 07.32 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
2 08.25 WIB Kelasi Lutung 4 Dari suara
Merah saling
bersautan
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
1 1 1 06.38 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
2. Owa Kalimantan 3
3. Monyet Ekor 14
Panjang
Total 18