Anda di halaman 1dari 69

SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN JENIS PRIMATA DI SEBANGAU HULU


TAMAN NASIONAL SEBANGAU
KALIMANTAN TENGAH

ERIKSON SWANDANI SIBARANI


CCA 118 044

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022
i

RINGKASAN

Erikson Swandani Sibarani, CCA 118 044. “Keanekaragaman Jenis Primata Di


Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah”. Di bawah
bimbingan Bapak Mohammad Rizal dan Ibu Milad Madiyawati.
Informasi terkait keanekaragaman jenis primata masih belum banyak tersedia. baik
dibuku atau dijurnal yang ada. Sangat sedikitnya informasi tersebut mengakibatkan
pentingnya melakukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis primata guna
mendapatkan data yang akurat dan terkini yang dapat dijadikan sebagai upaya
pelestarian primata. Agar dapat dilakukan tindakan dan upaya pengelolaan,
pengembangan, dan pelestarian pada kawasan-kawasan yang di tetapkan sebagai
kawasan-kawasan pengembangan atau pelestarian keanekaragamannya.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menghitung keanekaragaman jenis
primata di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Data yang
dianalisis adalah data sekunder dan data primer pada Kawasan Sebangau Hulu Taman
Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Metode pengumpulan datanya adalah dengan
melakukan observasi dilapangan, melakukan pebnelitian dan meminta dokumen-
dokumen yang ada di Balai Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah yang
berguna untuk mendukung penelitian.
Pengamatan dilakukan selama 1 minggu, dengan metode line transec dengan 5 hari
jalur didarat (15 jalur) sepanjang dan 2 hari jalur sungai (2 jalur) dengan jarak antara
titik 100 m. Pengamatan dilakukan mulai pukul 07.00 Wib - 16.00 Wib untuk jalur
darat dan 06.00 Wib - 16.00 Wib untuk jalur sungai. Hasil pengamatan pada indeks
keanekaragaman jenis (H’) adalah 0,65, indeks kekayaan jenis (R) adalah 0,69,
sedangkan indeks kemerataan jenis (E) adalah 0,97 dan jalur sungai adalah 0,22.

i
ii

ABSTRACT

Primate Diversity in Sebangau Hulu


Sebangau National Park
Central Kalimantan

Erikson Swandani Sibarani

This research was conducted in the Sebangau Hulu area of the Sebangau National
Park because it has many primates outside and inside the forest area but has not been
identified. often inhabited by these primates. Penelitian ini bertujuan untuk
menghitung keanekaragaman jenis primata di Sebangau Hulu Taman Nasional
Sebangau Kalimantan Tengah. This study aims to calculate the diversity of primate
species in Sebangau Hulu Sebangau National Park, Central Kalimantan. The method
used in this study used the line transect method and observations were carried out in 2
lines, namely the land route and the river route. There are 3 land routes in a day
carried out for 5 days of observation and the total number of land routes is 15 lines.
There are 2 river routes where 1 route is carried out in 1 day, so the river route is
carried out for 2 days. The results of this study indicate that the species diversity
index 0.65467 is low, the species richness index 0.691953 is low, and the species
evenness index 0.218223 is low.
Keywords: Identification, Primates, Diversity, Sebangau Hulu , Sebangau National
Park

ii
iii

ABSTRAK

Keanekaragaman Jenis Primata Di Sebangau Hulu


Taman Nasional Sebangau
Kalimantan Tengah

Erikson Swandani Sibarani

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau


karena mempunyai banyak primata di luar dan di dalam kawasan hutan namun belum
diidentifikasi, dengan dilakukannya identifikasi primata ini dapat diketahui
keanekaragaman jenis primata yang ada di kawasan Sebangau Hulu Taman Nasional
Sebangau untuk habitat atau tempat tinggal yang sering dihuni primata tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung keanekaragaman jenis primata di Sebangau
Hulu Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan metode line transek dan pengamatan dilakukan dengan 2
jalur, yaitu jalur darat dan jalur sungai. Jalur darat ada 3 jalur dalam sehari dilakukan
selama 5 hari pengamatan dan jumlah total jalur darat adalah 15 jalur. Jalur sungai
ada 2 jalur dimana 1 jalur dilakukan dalam 1 hari, jadi jalur sungai dilakukan selama
2 hari. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman jenis
0.65467 tergolong rendah, indeks kekayaan jenis 0.691953 tergolong rendah, dan
indeks kemerataan jenis 0.218223 tergolong rendah.
Kata kunci: Identifikasi, Primata, keanekaragaman, Sebangau Hulu, Taman Nasional
Sebangau

iii
iv

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya susun, sebaai syarat memperoleh gelar
sarjana merupakan hasil karya tulis sendiri. Adapun bagian-baian tertentu dalam
penulisan skripsi ini yang saya kutip dari orang lain telah dituliskan sumbernya secara
jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Saya bersedia
menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya peroleh dan sanksi-sanksi
lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, apabila dikemudianhari di temukan
adanya plagiat dalam skripsi ini.

Palangka Raya, Juli 2022


Yang Membuat Pernyataan,

Erikson Swandani Sibarani


CCA 118 044

iv
v

RIYAWAT HIDUP

Erikson Swandani Sibarani dilahirkan pada tanggal 9 Maret 1999 di Kota


Pematang Siantar, Provinsi Suamtera Utara. Penulis adalah anak kelima dari lima
bersaudara, yang merupakan putra dari pasangan suami istri Bapak Saimin Sibarani
dan Ibu Rugun Simanjuntak.
Pada Tahun 2005 penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri
124390 Pematang Siantar. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 6 Pematang Siantar pada tahun 2011 hingga tahun 2014, Pada
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Swasta Teladan Pematang Siantar, dan selesai pada tahun 2017. Pada tahun 2018
penulis melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Perguruan Tinggi Negeri. Penulis
diterima sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Palangka Raya, Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah melalui test
seleksi jalur SBMPTN. Selama menempuh pendidikan S1, penulis aktif di Organisasi
PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Jurusan Kehutanan tahun 2018. Organisasi
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kehutanan tahun 2019 dan berpartisipasi
dalam Kegiatan Pengakraban dan Pengukuhan Mahasiswa Sylva (KP2MS) tahun
2018. Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Sylva Raya Jurusan
Kehutanan tahun 2019 dan masih aktif sampai sekarang. Penulis telah mengikuti
Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (K2NM) Reguler Universitas Palangka Raya pada
tahun 2021 di Desa Lungkuh Layang, Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas dan
telah melakukan Kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL), dan Magang pada tahun
2021. Penulis melaksanakan penelitian dengan judul Keanekaragaman Jenis
Primata Di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah, di
bawah bimbingan Bapak Bapak Ir. Mohammad Rizal, M.Si. dan Ibu Dr. Milad
Madiyawati, S.Hut., M.P.

v
vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal
dengan judul “Keanekaragaman Jenis Primata Di Sebangau Hulu Taman
Nasional Sebangau Kalimantan Tengah” disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.
Dalam penulisan skripsi ini kemungkinan masih banyak terdapat
kekurangannya, hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, wawasan dan
pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu demi kesempurnaan skripsi ini
penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang bersifat membangun.
Pada Kesempatan ini tidak lupa Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Teristimewa kepada Orangtua penulis Ayah (†) Saimin Sibarani yang telah
mendidik, yang selalu berjuang untuk memberikan yang terbaik dalam bentuk
material dan kasih sayang yang luar biasa. Ibu Rugun Simanjuntak yang telah
melahirkan penulis, memberikan kasih sayang yang sangat luar biasa yang tidak
dapat ditemukan pada orang lain, yang selalu mendoakan penulis, memberikan
semangat dan motivasi tanpa henti.
2. Bapak Ir. Mohammad Rizal, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Utama
(Pembimbing I) yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama
proses penelitian dan penulisan skripsi.
3. Ibu Dr. Milad Madiyawati, S.Hut., M.P Selaku Dosen Pembimbing Pendamping
(Pembimbing II) yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama
proses penelitian dan penulisan skripsi.
4. Ibu Dr. Ir. Sosilawaty, M.P Selaku Dosen Pembahas Utama (Pembahas I) yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian dan
penulisan skripsi.

vi
vii

5. Bapak Dr. Ir. Herianto, M.P Selaku Dosen Pembahas Kedua (Pembahas II) yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian dan
penulisan skripsi.
6. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.
7. Ketua Jurusan Kehutanan dan Sekretaris Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Palangka Raya.
8. Ibu Ir. Nuwa, M.P Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan
masukan selama penulis menempuh perkuliahan.
9. Kepala Balai Taman Nasional Sebangau Palangka Raya yang telah memberikan
ijin penelitian.
10. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Tata Usaha di Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Palangka Raya.
11. Kakak Penulis Lisda Sibarani, A.Md dan Lia Kartika Sibarani, S.pd yang telah
memberikan masukan, semangat dan memberikan bantuan materi sehingga
penulis dapat melaksanakan penelitian.
12. Keluarga Besar Mapala Sylva Raya yang telah mendidik penulis dengan banyak
ilmu dan mau menerima penulis sebagai keluarganya.
13. Tim Lapangan :Bapak Ilan, Swandi Simamora dan Albert Sihite yang telah
membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan dan Rahmat yang besar
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Palangka Raya, Juli 2022


Penulis,

ERIKSON SWANDANI SIBARANI


CCA 118 044

vii
viii

DAFTAR ISI

RINGKASAN......................................................................................................i
ABSTRACT.......................................................................................................ii
ABSTRAK........................................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................iv
RIWAYAT HIDUP...........................................................................................v
KATA PENGANTAR......................................................................................vi
DAFTAR ISI...................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................x
DAFTAR TABEL.............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................xii
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang.........................................................................................1
I.2 Tujuan Penelitian.....................................................................................2
I.3 Manfaat Penelitian...................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keanekaragaman Jenis............................................................................3
2.2 Pengertian Primata...................................................................................4
2.3 Klasifikasi dan Morfologi Umum Primata..............................................5
2.4 Klasifikasi dan Morfologi Primata di Sebangau Hulu............................5
2.5 Penyebaran Satwa....................................................................................9
2.6 Habitat Satwa.........................................................................................10
2.7 Konservasi Satwa..................................................................................11
2.8 Taman Nasional.....................................................................................14
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian..............................................................17
3.2 Objek, Bahan dan Peralatan Penelitian................................................18
3.3 Prosedur Penelitian...............................................................................18
3.3.1 Pengumpulan Data........................................................................18
3.3.2 Jalur Pengamatan Darat................................................................19
3.3.3 Jalur Pengamatan Sungai..............................................................21
3.3.4 Bagan Penelitian dalam Bentuk Diagram.....................................22
3.3.5 Bagan Penelitian dalam Bentuk Narasi........................................23
viii
ix

3.3.6 Analisis Data.................................................................................24


IV. KONDISI UMUM KAWASAN
4.1 Kondisi Lingkungan Fisik....................................................................27
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya
Masyarakat Sekitar Kawasan...............................................................28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Jumlah Jenis ........................................................................................30
5.2 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) .....................................................32
5.3 Indeks Kekayaan Jenis (R)...................................................................34
5.4 Indeks Kemerataan Jenis (E)................................................................36
5.5 Status Konservasi.................................................................................37
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan...........................................................................................40
6.2 Saran.....................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA

ix
x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Contoh Primata.......................................................................................4


Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian..........................................................................17
Gambar 3. Desain metode pengamatan transek jalur Darat...................................20
Gambar 4. Desain Metode Jalur Sungai.................................................................21
Gambar 5. Diagram Alur Penelitian.......................................................................22
Gambar 6. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)......................................................32
Gambar 7. Indeks Kekayaan Jenis (R)...................................................................34
Gambar 8. Indeks Kemerataan Jenis (E)................................................................36

x
xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama Jenis dan Jumlah Individu Primata................................................30


Tabel 2. Status Konservasi Primata Menurut IUCN..............................................38
Tabel 3. Status Perdagangan Primata Berdasarkan CITES....................................39

xi
xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tally Sheet Pengamatan.....................................................................................44


2. Buku Panduan Lapangan Pengenalan Primata...................................................49
3. Peta Lokasi Penelitian........................................................................................50
4. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis, Kekayaan Jenis............................50
dan Kemerataan Jenis Masing-masing Primata
5. Alat dan Bahan...................................................................................................51
6. Pengamatan Objek (Primata).............................................................................52
7. Primata yang di Temui.......................................................................................53
8. Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus)................................................................54
9. Vegetasi Makanan Primata................................................................................55

xii
1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai beragam spesies
primata, sebanyak 20% dari spesies primata di dunia dapat ditemukan di
beberapa kepulauan Indonesia (Supriatna & Wahyono, 2000). Primata
merupakan salah satu satwa liar yang mengalami gangguan akibat aktivitas
manusia seperti perburuan, perusakan habitat, dan pencemaran lingkungan
yang dapat mengancam habitat dan aktivitas dari primata yang ada di suatu
kawasan (Alikodra, 2010).
Primata merupakan kelas dari mamalia yang memiliki tingkatan lebih
tinggi karena primata memiliki volume otak yang lebih besar dari satwa
lainnya. Selain kecerdasannya karakteristik yang unik menjadi daya pikat
tersendiri sehingga primata berpotensi untuk dijadikan objek ekowisata.
Primata tidak hanya sebagai penghias hutan tetapi primata juga memiliki
peran penting bagi tatanan ekosistem hutan (Atmoko & Agency, 2019).
Namun, semakin hari populasi primata di Indonesia semakin berkurang,
sebanyak 37 jenis primata yang ada di Indonesia telah tercatat dalam Red
Data Book / IUCN (IUCN, 2021). Faktor yang menyebabkan terancamnya
suatu spesies dikarenakan faktor alam dan juga faktor manusia. Penebangan
hutan, alih fungsi lahan, bahkan pemburuan liar masih menjadi faktor utama
atas terancamnya suatu spesies karena hilangnya habitat primata dan apabila
hal tersebut terus menurus terjadi akan berdampak buruk bagi ekosistem hutan
dan dampak lainnya adalah generasi selanjutnya dikhawatirkan tidak akan
bisa melihat dan mengetahui jelas mengenai primata.
Taman Nasional Sebangau (TNS) memiliki luas kawasan 568.700
hektar, terletak di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, Kabupaten
Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Taman
Nasional Sebangau memiliki ekosistem gambut terluas di Indonesia yang di
2

dalamnya terdapat keanekaragaman jenis flora dan fauna. Namun, saat ini
banyak terjadi kerusakan yang akan berdampak buruk terhadap
keberlangsungan hidup primata khususnya primata penting yang terdapat di
dalam Taman Nasional Sebangau Seperti : orangutan, bekantan, beruang
madu, owa-owa, kelasi, monyet ekor panjang. Informasi mengenai konservasi
dan keanekaragaman kekayaan jenis primata tersebut masih belum banyak
tersedia, baik di buku atau jurnal yang ada.
Informasi yang sangat sedikit tersebut mengakibatkan pentingnya
melakukan penelitian inventarisasi dan keanekaragaman primata di
Punggualas Taman Nasional Sebangau guna mendapatkan data akurat dan
terkini yang dapat dijadikan salah satu upaya pelestarian primata. Melalui
penelitian ini diharapkan mendapat informasi mengenai keanekaragaman
primata di Resort Sebangau Hulu Provinsi Kalimantan Tengah.

I.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menghitung jumlah jenis primata di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau.
2. Menghitung keanekaragaman jenis (indeks keanekaragaman jenis, indeks
kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis ) primata di Sebangau Hulu Taman
Nasional Sebangau.
3. Menganalisa status konservasi primata di Sebangau Hulu Taman Nasional
Sebangau.
I.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan
data dan informasi mengenai jumlah jenis primata, keanekaragaman Jenis
(indeks keanekaragaman jenis, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan
jenis) primata dan status konservasi primata kepada berbagai pihak dan
instansi yang berkaitan dalam menentukan tindakan-tindakan pengelolaan dan
3

pelestarian primata khususnya di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau


Kalimantan Tengah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Keanekaragaman Jenis


Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah
seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini beserta interaksinya
(BAPPENAS, 2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama,
yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu areal dan
kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada
setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki
nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks
kemerataan jenis. Ledwig & Reynold (1988) menyatakan bahwa indeks
tersebut digabungkan menjadi satu nilai yang sama dengan indeks
keanekaragaman BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang
terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu :
1. Keanekaragam ekosistem, keanekaan bentuk dan susunan bentang alam daratan
maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup berinteraksi dan
membentuk keterkaitan dalam lingkungan fisiknya.
2. Keanekaragaman jenis, keanekaan jenis organisme yang menempati suatu
ekosistem, didarat maupun diperairan.
3. Keanekaragaman genetik, keanekaan individu didalam suatu jenis yang di
sebabkan oleh perbedaan genetik antara individu.
Keanekaragaman menurut hal yang paling penting dalam mempelajari
suatu komunitas keanekaragaman jenis merupakan pertanyan yang paling
mendasar dalam ekologi, baik teori maupun terapan sehingga ahli ekologi
4

harus mengetahui cara mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil


pengukurannya (Odum, 1971)
Permasalahannya banyak sekali metode yang berkembang namun
sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli ekologi untuk metode
tersebut. Namun, banyak pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas
dari konsep keragaman jenis yanag mempunyai dua komponen yaitu (1)
Jumlah jenis (species richeness) yang disebut kepadatan jenis (species
density), berdasarkan pada jumlah total yang ada dan (2)
kesamaan/kemerataaan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada
kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Odum 1971, Krebs,
1985).

II.2 Pengertian Primata


Supriatna & Wahyono (2000) mengemukakan pengertian primata adalah
anggota dari ordo biologi primata. Ordo atau bangsa adalah suatu tingkat atau
takson antara kelas dan familia. Primata berasal dari kata latin yaitu primates,
yang berarti “yang pertama”. Primata dibagi menjadi dua kelompok yaitu
prosimian dan antropoid. Prosimian adalah kelompok primata sebelum kera
sedangkan anthropoid adalah kelompok primata termasuk monyet dan kera.
Kelompok prosimian, yang dianggap sebagai kelompok yang lebih primitif,
terdiri dari lemur dan tarsius. Sementara antropoid dibagi lagi menjadi tiga
kelompok, yakni monyet, kera, dan hominid (manusia dan kerabat dekat
manusia yang lebih dekat daripada simpanse).
Contoh primata dapat dilihat seperti yang di sajikan pada Gambar 1
berikut.
5

Orangutan Kalimantan Bekantan Owa


Gambar 1. Contoh Primata
(Sumber : https://images.app.goo.gl/z5vioxe5K5fPDvV38,
https://images.app.goo.gl/VgLQDkQd8iBNmiFM6,
https://images.app.goo.gl/iifE3wLxrJ4Qu6236.)
Primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki
penting dalam kehidupan alam. Keberadaan primata tidak hanya penghias
alam saja, namun penting dalam regenerasi hutan tropis. Sebagian besar
hewan primata ini memakan buah-buahan dan biji-bijian sehingga mereka
dikatakan penting dalam penyebaran biji-bijian. Menurut Supriatna &
Wahyono (2000) dari sekitar 195 jenis primata yang ada, 40 jenis yang
ditemukan di Indonesia, dan 24 jenis diantaranya merupakan satwa endemik
yang hidup di Indonesia.

II.3 Klasifikasi dan Morfologi Umum Primata


Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di
pohon. Menurut Napier & Napier (1967), klasifikasi ilmiah primata adalah :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Primata
Primata umumnya dibagi kedalam 3 sub ordo yaitu, Prosimii, Tarsii,
dan Simii. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada didunia, 40 jenis ditemukan
6

di Indonesia. Di Indonesia terdapat 2 jenis (Nycticebus) dari sub ordo Prosimii


(famili Lorisidae), 5 jenis (Tarsius) dari sub ordo Tarsii (famili Tarsidae) dan
jenis-jenis dari sub ordo Simii termasuk dalam famili Cercopithecidae
Hylobatidae dan Pongidae. Pada famili Cercopithecidae. Di Indonesia
terdapat famili Hylobatidae terdapat 6 jenis (Hylobates) dan Pongidae 2 jenis
(Pongo) (Supriatna & Wahyono, 2000).

II.4 Klasifikasi dan Morfologi Primata di Sebangau Hulu


2.4.1 Orangutan (Pongo pygmaeus)
Klasifikasi orangutan menurut Colin Groves (2001) disajikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Primata
Sub Ordo : Anthropoidea
Super Suku : Homoinoidea
Family : Pongidae Sumber:https://
images.app.goo.gl/
Genus : Pongo nJ1JiWFhYHskk5An6
Spesies : Pongo abelli, Pongo Pygmaeus wurmbii
Orangutan mempunyai ciri morfologi tubuh yang gemuk, perutnya besar
dengan lengan yang panjang dan kaki yang pendek, serta tidak mempunyai ekor
(Groves, 2005). Menurut Meijaard dkk (2001) orangutan kalimantan mempunyai
rambut coklat kegelapan, sedangkan orangutan sumatera lebih terang dan hewan
dewasanya mempunyai rambut yang putih agak kekuningan disekitar mulut dan
genitalnya. Melalui pengamatan mikroskopis, jenis kalimantan mempunyai
rambut pipih dengan pigmen berwarna hitam yang tebal di tengah, sedangkan jenis
sumatera berambut lebih tipis, membulat, dan mempunyai pigmen gelap yang
halus, serta sering patah pada bagian tengahnya.

2.4.2 Lutung merah (Presbytis rubicunda)


7

Klasifikasi Lutung Jawa menurut Fleagle, 1999 adalah sebagai berikut:


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Family : Cercopithecidae
Genus : Presbytis Sumber:https://
images.app.goo.gl/
Spesies : Presbytis rubicunda
bXdUQmNmtBsrjc9f8
Lutung merah memiliki bulu berwarna merah sampai jingga kemerah-
merahan dengan warna pada daerah perut lebih terang daripada warna pada
daerah tangan dan ujung ekor. Bobot badan jantan dewasa lutung merah berkisar
antara 6,29 kg dan untuk betina dewasa berkisar antara 6,17 kg (Fleagle, 1999).
Lutung merah memiliki kelenjar ludah yang besar dibandingkan dengan jenis
lutung lainnya dan rahang yang dalam dengan formulasi gigi 2:1:2:3 pada kedua
rahang, rahang atas dan rahang bawah. Gigi seri lutung merah kecil, akan tetapi gigi
gerahamnya tajam. Spesies ini memiliki perut kelenjar yang berfungsi dalam
pencernaan selulosa. Selain itu, pada perut lutung merah juga mengandung mikroba
yang membantu dalam pencernaan selulosa menjadi asam lemak melalui proses
fermentasi secara anaerob (Davies et al., 1988).

2.4.3 Owa Kalimantan (Hylobates albibarbis)


Klasifikasi Owa Kalimantan menurut Supriatna & Wahyono (2000) adalah
sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Famili : Hylobatidae
Sumber:https://
images.app.goo.gl/
ZreiXwfpLM9nFNBL8
8

Genus : Hylobates
Spesies : Hylobates agilis
Subspesies : Hylobates agilis albibarbis
Nama lokal : Kalawet
Genus Hylobates merupakan kera kecil tak berekor, mempunyai kepala
kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil, rongga dada pendek
tetapi lebar, serta memiliki rambut tebal dan halus (Chivers, 1977).
Menurut Groves (2001) pada genus Hylobates baik jantan maupun betina
mempunyai ukuran tubuh relatif sama. Gambaran sifat-sifat pada tubuh
ditunjukkan dengan seluruh tubuh ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu,
kecoklatan hingga hitam. Rambut yang tumbuh pada tangan berwarna hitam dan
umumnya lebih gelap dari bagian tubuh lainnya, sehingga sering disebut
black/dark-handed gibbon. Pada umumnya memliki garis lengkungan putih pada
alis (white brow) sampai pipi (cheek patches). Garis lengkungan putih
di sekeliling wajah pada jantan lebih jelas daripada betina.

2.4.4 Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)


Klasifikasi Monyet Ekor Panjang menurut Anisa & kiki, (2018) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrae
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Family : Cercopithecidae
Sumber:https://
Subfamily : Cercopithecinae images.app.goo.gl/
Genus : Macaca qv17uZmJ4reSsqxU7

Spesies : Macaca fascicularis


9

Monyet ekor panjang tergolong monyet kecil yang berwarna coklat dengan
bagian perut berwarna lebih muda dan disertai rambut keputih-putihan yang jelas
pada bagian muka.Dalam perkembangannya, rambut yang tumbuh pada muka
tersebut berbeda-beda antara satu individu dengan individu yang lainny a.Perbedaan
warna ini dapat menjadi indikator yang dapat membantu mengenali individu
berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya (Aldrich-Black, 1980).
Bayi monyet yang baru lahir memiliki rambut yang berwarna hitam
denganmuka dan telinga berwarna merah muda. Dalam waktu satu minggu, warna
rambut pada kulit muka akan memudar dan berubah menjadi abu-abu kemerah-
merahan. Setelah kira-kira berumur enam minggu, warna rambut yang hitam pada
saat lahir berubah menjadi coklat. Setelah dewasa, rambut kulit berwarna coklat
kekuningan, abu-abu dan coklat hitam, tetapi bagian bawah perut dan kaki sebelah
dalam selalu lebih cerah. Rambut di atas kepalanya tumbuh kejur (semacam kuncir)
ke belakang, kadang-kadang membentuk jambul. Rambut di pipi menjurai ke
muka, di bawah mata selalu terdapat kulit yang tidak berambut dan berbentuk
segitiga, kulit pada pantat juga tidak berambut (Carter, 1978).

II.5 Penyebaran Satwa


Membedakan penyebaran fauna di Indonesia, Lekagul & McNeely (1977)
menyatakan bahwa sistem yang mendapat tanggapan luas adalah yang membagi
dunia kedalam 6 wilayah geografis fauna yaitu : Paleartik, Oriental, Australia,
Neartik, Neotropik, dan Ethopia.
Penyebaran fauna dapat diikuti dari pola sejarah geologi, sehingga dapat
dikenal adanya pola penyebaran fauna khas. Akan tetapi, untuk beberapa hal ada jenis
tertentu yang mempunyai penyebaran luas, terutama bagi jenis-jenis burung tertentu
ataupun bagi jenis organisme yang pola penyebarannya melalui pola air. Bahkan
manusia mempunyai peranan penting dalam penyebaran satwa liar sejak 10.000 tahun
yang lalu (Alikodra, 1990).
10

Pergerakan satwa besar dari daratan utama Asia ke subwilayah Sunda 18.000
tahun yang lalu, berlangung pada saat terjadinya pengumpulan es sehingga
permukaan air laut turun 85 m dari keadaanya yang sekarang. Pada saat itu, muncul
paparan Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa, Sumatera, Kaalimantan dan
Semenanjung Malaysia. Berbagai jenis mamalia terutama herbivora mengadakan
penyesuaian dengan cara bergerak secara perlahan-lahan dari Utara ke Salatan
(Alikodra, 1990). Setelah terjadinya pemisahan pulau akibat mencairnya es, jenis-
jenis beradaptasi dan berevolusi pada kondisi yang baru atau bahkan jenis baru.
Semakin lama isolasi yang terjadi, semakin banyak fauna-fauna yang berbeda, seperti
yang ditunjukkan oleh jumlah satwa yang endemik di Sulawesi dengan lebih dari
70% jenis satwa darat yang endemik (Zon, 1979).
Penyebaran satwa mempunyai kecenderungan untuk dibatasi oleh penghalang-
penghalang fisik seperti sungai, samudera dan gunung, serta oleh penghalang
ekologis seperti batas tipe hutan dan adanya jenis saingan yang telah menyesuaikan
secara optimal dengan habitatnya sekarang, sehingga penghalang-penghalang fisik itu
dapat digunakan untuk menarik batas geografis fauna sepanjang batas fisik atau
ekologis (Alikodra, 1990).
Fauna Sumatera sangat erat hubungannya dengan fauna yang berada di
Semenanjung Malaysia dengan relatif sedikit mamalia endemik, misalnya : Kelinci,
Sumatera (Nesolagus netsheri). Sesuai dengan kondisi biogeografisnya. Pulau
Kalimantan (mamalia endemik sebanyak 18 jenis) memiliki jenis-jenis satwa liar
endemik yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Sumatera (satwa endemik sebanyak
10 jenis) (Alikodra 2002).

II.6 Habitat Satwa


Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan
yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan
dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar, habitat suatu
jenis satwa liar merupakan sistem yang tebentuk dari interaksi antar komponen fisik
11

dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya
untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan
makanan, air dan pelindung.
Keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secara terpisah dan
bersama-sama menyediakan berbagai relung (niche) yang potensial dalam sebaran
satwa (Bismark, 1994). Struktur fisik hutan sebagai habitat yang terbentuk oleh
adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur maupun sifat tumbuhnya
membentuk statifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentu seperti adanya
perbedaan ketinggian, serta makanan primata pada pohon (Oates, 1977).
Lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim, aktivitas biologi relatif kurang
berkembang. Sedangkan pada lingkungan yang kondisi fisiknya sesuai, interaksi
dalam ekosistem dan habitat secara efektif akan membatasi pertumbuhan populasi
satwa liar. Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis satwa belum tentu sesuai
untuk kehidupan jenis satwa yang lain karena pada dasarnya setiap jenis satwa
memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda. Berkurangnya habitat disebabkan
karena beberapa faktor. Ada tiga faktor utama yang dinilai sangat mempengaruhi
tehadap perubahan habitat, yaitu : Aktivitas manusia, satwa liar dan bencana alam
seperti gunung meletus (Irwanto, 2006).
Penggunaan habitat oleh primata tergantung kepada banyaknya pakan yang
tersedia, penyebaran sumber pakan, dan inteval musim, jumlah pakan yang tersedia
berpengaruh secara langsung terhadap besarnnya kelompok (Fitriani, 2006). Pada
habitat alaminya, Lutung mempunyai jalur-jalur tertentu dalam menempuh perjalanan
harian, mencari makanan dan tempat tidurnya, pemilihan habitat dan distribusi suatu
individu cenderung dipengaruhi oleh perilaku individu tersebut (Krebs, 1985).
Lutung mulai tersebar dari rendah hingga daratan tinggi, baik hutan primer maupun
sekunder, daerah perkebunan, pesisir maupun hutan mangrove (Supriatna &
Wahyono, 2000).

II.7 Konservasi Satwa


12

Undang-Undang no 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam


hayati dan ekosistemnya pasal 1 menjelaskan bahwa konservasi sumber daya
alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Konservasi atau conservation dapat diartikan
sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat menghasilkan keuntungan
sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta
tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan dan
aspirasi generasi yang akan datang.
Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek
positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjut,
restorasi, dan penguatan lingkungan alam. Pengertian tersebut juga
menekankan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pemanfaatan
anekaragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan manusia secara
maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Akan
tetapi dalam praktek di lapangan, kerap kali masih ditemukan pengertian dan
persepsi tentang konservasi yang keliru, yaitu seolah-olah konservasi
melarang total pemanfataan sumberdaya alam. Berlandaskan pada pengertian
tersebut masyarakat, khususnya penduduk setempat yang bermukim di sekitar
kawasan konservasi, dilarang keras untuk dapat menikmati berbagai manfaat
yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Penduduk dipisahkan dengan
lingkungannya secara paksa, padahal mereka secara turun-temurun telah lama
tinggal di wilayahnya (IUCN, 1980).
Konservasi lahir akibat adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan
sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi mutu secara tajam.
Dampak degradasi tersebut, menimbulkan kekhawatiran dan jika tidak
diantisipasi akan membahayakan umat manusia, terutama berimbas pada
13

kehidupan generasi mendatang pewaris alam ini. Sisi lain, batasan konservasi
dapat dilihat berdasarkan pendekatan tahapan wilayah, yang dicirikan oleh:
(1) pergerakan konservasi, ide ide yang berkembang pada akhir abad ke 19,
yaitu yang hanya menekankan keaslian bahan dan nilai dokumentasi, (2) teori
konservasi modern, didasarkan pada penilaian kritis pada bangunan bersejarah
yang berhubungan dengan keaslian, keindahan, sejarah, dan penggunaan nilai-
nilai lainnya, (Rachman, 2012).
Berdasarkan konsep, cakupan, dan arah konservasi dapat dinyatakan
bahwa konservasi merupakan sebuah upaya untuk menjaga, melestarikan, dan
menerima perubahan dan/atau pembangunan Perubahan yang dimaksud
bukanlah perubahan yang terjadi secara drastis dan 14 serta merta, melainkan
perubahan secara alami yang terseleksi. Hal tersebut bertujuan untuk tatap
memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan
beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan arus modernitas dan kualitas
hidup yang lebih baik. Dengan demikian, konservasi merupakan upaya
mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih
baik dan berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep
konservasi terdapat alur memperbaharui kembali (renew), memanfaatkan
kembali (reuse), reduce (mengurangi), mendaur ulang kembali (recycle)
(Marquis-Kyle & Walker, 1996).
Kategori status konservasi dari IUCN Red List pertama kali diterbirkan
pada tahun 1984 dan hingga saat ini masih dijadikan panduan yang paling
berpengaruh mengenai status konservasi keanekaragaman hayati. Daftar
tersebut ditinjau dan dievaluasi secara berkelanjutan 5-10 tahun sekali. IUCN
Red List of Threatened Species membagi status konservasi ke dalam sembilan
kategori, yaitu :
1. Extinct (EX: Punah) adalah status konservasi yang diberikan untuk spesias yang
telah terbukti (tidak ada keraguan) bahwa individu terakhir dari suatu spesies
14

telah mati. Contohnya adalah harimau jawa dan harimau bali. IUCN mencatat
bahwa terdapat 723 hewan dan 86 tumbuhan yang telah berstatus punah.
2. Extinct In The Wild (EW: Punah Alam Liar) adalah staus konservasi yang
ditukan untuk spesies yang keberadaannya diketahui hanya di penagkaran atau di
luar habitat alaminya. Data IUCN menujukkan terdapat 38 hewan dan 28
tumbuhan yang berstatus telah punah di alam liar.
3. Critically Endangered (CR: Kritis) merupakan status konservasi yang diberikan
untuk spesies yang berisiko punah dalam waktu dekat. Contohnya adalah
harimau sumatera, badak jawa, dan jalak bali. Berdasarkan darai IUCN Red List,
terdapat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang kini berstatus kritis.
4. Endangered (EN: Terancam) adalah status konservasi untuk spesies yang
sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada wak tu dekat. Data IUCN
menyebetukan terdapat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang kini terancam,
antara lain tapir, banteng, dan anoa.
5. Vulnerable (VU: Rentan) merupakan status konservasi untuk kategori spesies
yang menghadapi risiko kepunahan di alam liar di waktu yang akan datang.
Misalnya burung kasuari dan merak hijau. Selain itu, tercatat 4.467 hewan dan
4.607 tumbuhan yang berstatus rentan.
6. Near Threatened (NT: Hampir Terancam) yaitu kategori status konservasi
yang ditujukan untuk spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam
punah atau mendekati terancam punah. IUCN Red List memberikan data terdapat
2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan dalam status hampir terancam punah, antara
lain burung alap-alap dan punai sumba.
7. Least Concern (LC: Risiko Rendah) adalah kategori dari IUCN untuk spesies
yang telah dievaluasi namun tidak masuk dalam kategori manapun. 17.535
hewan dan 1.488 tumbuhan masuk dalam kategori konservasi ini, seperti landak,
ayam hutan merah dan hijau.
8. Data Deficient (DD: Informasi Kurang) yaitu kategori status konservasi yang
diberikan apabila data atau informasi mengenai kepunahannya belum jelas dan
15

risiko kepunahannya berdasarkan distribusi atau status populasi. IUCN Red List
menyampaikan terdapat 5.813 hewan dan 735 tumbuhan yang hingga saat ini
informasinya masih kurang, antara lain adalah punggok papua.
9. Not Evaluated (NE: Belum Evaluasi) adalah kategori status konservasi yang
tidak di evaluasi berdasarkan kriteria-kriteria IUCN.

II.8 Taman Nasional


Taman Nasional Sebangau (TNS) merupakan perwakilan ekosistem
rawa gambut yang berada di provinsi Kalimantan Tengah dengan luas
568.700 ha. Berdasarkan letak geografis, kawasan Taman Nasional Sebangau
terletak di antara 02 derajat 19' - 02 derajat 25' LS dan 113 derajat 50' - 113
derajat 54 ' BT (Balai TN Sebangau, 2014).
Kawasan Taman Nasional Sebangau ditunjuk menjadi Taman Nasional
pada tahun 2004 oleh Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Menhut-II/2004
tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas kurang lebih 568.700 ha. Kawasan
Taman Nasional Sebangau (TNS) dibagi menjadi tiga seksi pengelolaan
Taman Nasional Wilayah (SPTN. Wilayah) adalah:
1. Kota Palangka Raya Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN. Wilayah I)
terbagi menjadi dua wilayah yaitu Resort Kereng Bangkirai dan Resort Habaring
Hurung dengan luas 48.270 ha.
2. Kabupaten Pulang Pisau Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN. Wilayah II)
terbagi menjadi tiga resort yaitu Resort Mangkok, Resort Bangah, Resort
Paduran dengan luas 172.260 ha.
3. Kabupaten Katingan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN. Wilayah III)
terbagi menjadi tiga resort yaitu Resort Muara Bulan, Resort Buan Bango, dan
Resort Mendawai dengan luas 348.170 ha.
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman Nasional memiliki fungsi dan
tujuan yakni :
16

1. Melakukan pemeliharaan contoh yang mewakili unit biotik utama untuk


melestarikan fungsinya dalam ekosistem.
2. Melakukan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan lingkungan.
3. Memelihara obyek, struktur dan tapak peninggal atau warisan kebudayaan.
4. Melakukan perlindungan terhadap panorama alam tetapi terbatas pada sebagian
areal taman nasional.
5. Menyiapkan fasilitas rekreasi dan turisme, tetapi terbatas pada beberapa areal
taman nasional.
6. Menyiapkan fasilitas pendidikan, penelitian, dan pemantauan lingkungan di
dalam areal alamiah.
7. Memberikan dukungan pembangunan dan pengembangan daerah pedesaan dan
pemanfaatan lahan marginal secara rasional.
8. Melakukan pemeliharaan produksi daerah aliran sungai dan dicapai dalam
hubungannnya dengan tujuan lain yang sesuai.
9. Melakukan pengendalian erosi dan pengendapan atau sedimentasi dan juga
melindungi investasi daerah hilir.
Menurut UU No. 5 Tahun 1990, manfaat dari Taman Nasional yakni :

1. Estetika, Taman Nasional bisa dijadikan suatu yang bisa menjaga keseimbangan
baik biotik ataupun abiotik pada daratan ataupun perairan.
2. Jaminan Masa Depan, keanekaragaman sumber daya alam pada kawasan
konservasi baik di darat ataupun di perairan yang mempunyai jaminan untuk
digunakan secara batasan bagi suatu kehidupan yang lebih untuk generasi
sekarang dan juga generasi yang akan datang, jaminan masa depan terbagi
menjadi 3 yakni :
1. Ekonomi, Taman Nasional bisa dipergunakan sehingga mempunyai nilai
ekonomis yang bisa menolong dalam peningkatan pendapatan penduduk
ataupun devisa negara.
17

2. Pendidikan dan Penelitian, Taman Nasional bisa dipergunakan sebagai


tempat untuk melakukan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan serta
penelitian.
3. Ekologi, Taman Nasional bisa menjaga keseimbangan kehidupan baik pada
komponen biotik ataupun abiotik di daratan ataupun di perairan.

III. METODE PENELITIAN

III.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Sebangau Hulu Taman Nasional
Sebangau Kalimantan Tengah. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 5
bulan (Maret-Juli 2022) yang meliputi pengumpulan bahan pustaka,
penyusunan proposal penelitian, seminar proposal, pengambilan data di
lapangan dan analisis serta penyusunan hasil penelitian.
18

Peta lokasi penelitian dapat dilihat seperti disajikan pada Gambar 2


berikut.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

III.2 Objek, Bahan dan Peralatan Penelitian


Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah jenis primata yang
ditemukan pada lokasi penelitian yang dibagi atas 3 kelas umur yaitu kelas
umur dewasa (jantan dan betina), remaja dan anak. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini peta pengamatan lokasi penelitian dengan skala 1 :
200.000.
Peralatan yang digunakan pada kegiatan penelitian ini adalah:
19

1. Tali Tambang : Digunakan untuk pembuatan jalur.


2. GPS (Global Position System) Garmin : Digunakan untuk mengambil titik
koordinat.
3. Kamera : Untuk mengambil foto pada saat kegiatan penelitian.
4. Laptop : Digunakan untuk mengimput dan mengolah data.
5. Teropong : Digunakan untuk melihat satwa dengan lebih mudah
6. Parang : Digunakan untuk merintis jalur penelitian
7. Buku panduan lapangan pengenalan jenis primata
8. Tally sheet dan alat tulis menulis sebagai alat bantu catatan atau daftar
perhitungan jumlah data.
9. Peralatan pendukung lainnya.

III.3 Prosedur Penelitian


Prosedur dan pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa
tahap kegiatan yakni:
III.3.1 Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dan
data sekunder, lebih lanjut untuk uraian pengumpulan data adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari lapangan berupa
jumlah jenis , jumlah individu tiap jenis, dan jumlah total individu setiap jenis
dilokasi penelitian.

b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang dihasilkan dari dokumen-dokumen yang ada di
Balai Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah yang berguna untuk
mendukung penelitian. Data Sekunder ini meliputi kondisi umum lokasi penelitian,
letak, luas areal, dan sejarah lokasi penelitian.

III.3.2 Jalur Pengamatan Darat


20

Perhitungan dan pengamatan terhadap Keanekaragaman Jenis Primata pada unit


contoh terpilih berupa jalur, yaitu jalur yang tersedia yang biasanya digunakan
satwa liar. Metode penelitian menggunakan metode line transect adalah metode
dengan jalur dan berjalan di sepanjang garis transek yang dilakukan secara sengaja
(purposive) (Bismark, 2011). Pengamatan dilakukan dengan jalur darat dan jalur
sungai, dimana pada jalur darat dilakukan 3 jalur sehari dan dilakukan selama 5 hari
pengamatan dan jumlah total jalur darat adalah 15 jalur dengan panjang setiap jalur
1 km. Lama penelitian adalah 1 minggu dan pelaksanaan pengamatan mulai pukul
07.00-16.00 WIB. Variabel yang diamati adalah keanekaragaman jenis primata
yang ada di Punggualas seperti orangutan, monyet ekor panjang, kelasi, bekantan,
owa-owa, beruk dan tarsius baik perjumpaan secara langsung maupun lewat suara,
jejak kaki, bekas makanan, sarang dan kotoran.

Desain metode pengamatan jalur darat dapat dilihat seperti disajikan


pada Gambar 3 berikut.
21

1 Km

100 m 100 m

Gambar 3. Desain Metode Transek Jalur

III.3.3 Jalur Pengamatan Sungai


Jalur sungai dengan 2 jalur dengan jalur menyesuaikan alur sungai di
lapangan, dengan menyusuri sungai dengan menggunakan perahu dayung
mengikuti alur sungai di lapangan dan mengamati primata apa saja yang ada
dijalur kiri dan jalur kanan sungai sejauh mata memandang. Pengamatan jalur
22

sungai dilakukan 1 jalur 1 hari dengan panjang jalur yang tidak ditentukan
semampunya menyusuri sungai pada satu hari itu.
Desain metode pengamatan jalur sungai dapat dilihat seperti disajikan
pada Gambar 4 berikut.

S
S S

S
S
S

S T

Gambar 4. Desain Metode Jalur Sungai


Keterangan :
T0 : Titik Awal
T : Titik Akhir
S : Primata

III.3.4 Bagan Alur Penelitian


Bagan penelitian Keanekaragaman jenis Primata di Punggualas Taman
Nasional Sebangau Kalimantan Tengah dalam bentuk diagram dapat dilihat
seperti disajikan pada Gambar 5 berikut.
Keanekaragaman Jenis Primata di Sebangau Hulu
Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah
23

Pra Penelitian :
Mengajukan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi ke Balai Taman
Nasional Sebangau serta mencari data- data Satwa Yang Ada Di Sebangau
Hulu Taman Nasional Sebangau KalimantanTengah.

Penelitian

Penentuan Titik Lokasi Penentuan Anggota Tim Penyiapan Alat dan


Penelitian Penelitian. Bahan Penelitian

Pengumpulan Data Primer : Pengumpulan Data Sekunder :


1. Jalur Darat Data Sekunder merupakan data yang
Metode yang digunakan adalah metode ada mengenai tempat penelitian,
yang digunakan adalah metode transek tofografi, iklim, dan vegetasi yang ada
jalur dengan berjalan di sepanjang pada literatur-literatur terkait.
transek jalur (Bismark, 2011).
2. Jalur Sungai
Mengikuti alur sungai di lapangan.

Analisis data :
 Indeks Shannon-Wiener untuk menghitung
indeks keanekaragaman jenis primata.
 Ludwig Reynold (1988) untuk indeks
kemerataan dan indeks kekayaan jenis.

Keanekaragaman
III.3.5 Bagan Penelitian Jenis
dalam Bentuk Primata di Sebangau
Narasi
Hulu Taman Nasional Sebangau Kalimantan
BaganTengah.
penelitian Keanekaragaman Jenis Primata di Sebangau Hulu
Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah dalam bentuk narasi adalah
sebagai berikut. Gambar 5. Diagram Alur Penelitian
24

1. Untuk menghitung Keanekaragaman Jenis Primata di Sebangau Hulu Taman


Nasional Sebangau Kalimantan Tengah tahap awal yang dilakukan adalah Pra
Penelitian yang terdiri dari : Pengajuan Surat Izin masuk Kawasan Konservasi
yang di urus ke Taman Nasional Sebangau serta mencari data-data satwa yang
ada di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau. Data-data yang di cari
meliputi jenis primata yang terdapat dalam lokasi penelitian , kelas umur primata
yang dibagi atas 3 kelas umur yaitu kelas umur dewasa (jantan dan dewasa)
remaja dan anak, karakteristik habitat primata, jumlah individu tiap jenis, jenis
sisa temuan aktivitas primata, makanan, sumber air dan informasi tempat
berlindung primata yang terdapat pada lokasi penelitian.
2. Tahap selanjutnya melakukan penelitian meliputi, penentuan titik lokasi
penelitian yang biasanya dilakukan dijalur yang tersedia yang biasa dilalui satwa
liar. Penentuaan anggota tim bertujuan untuk membantu penelitian saat
dilapangan. Menyiapkan alat dan bahan penelitian : bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah peta lokasi penelitian dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tali tambang, GPS, kamera, laptop, teropong, parang, buku
panduan lapangan pengenalan jenis satwa, tally sheet dan alat tulis menulis.
3. Pengumpulan Data Primer : data primer merupakan data yang diperoleh langsung
dari lapangan. Meliputi jenis-jenis primata yang ada di lokasi penelitian, ,
karakteristik habitat primata, jumlah individu tiap jenis, jenis sisa temuan
aktivitas primata, makanan, sumber air dan informasi tempat berlindungnya
primata yang terdapat pada lokasi penelitian. Data tersebut nantinya untuk
menghitung keanekaragaman jenis primata yang ada di Sebangau Hulu Taman
Nasional Sebangau Kalimantan Tengah.
4. Pengumpulan Data Sekunder meliputi : data yang dihasilkan dari dokumen-
dokumen yang ada di Balai Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah yang
berguna untuk mendukung penelitian. Data sekunder ini meliputi kondisi umum
lokasi penelitian, letak, luas areal, dan sejarah lokasi penelitian.
25

III.3.6 Analisis Data


Hasil dan pengumpulan analisa data sebagai berikut :
1. Indeks Keanekaragaman jenis (H’), menggunakan indeks Shannon dalam
Santosa, (1995).
H’ = -∑ (pi ln.pi)
Keterangan :
Pi = (ni/N)
H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
ln = logaritma Natural

Kriteria indeks keanekaragaman menurut Shannon-Wiener adalah sebagai


berikut :

a) H’ < 1 = Tingkat keanekaragaman jenis rendah


b) 1< H’ < 3 = Tingkat keanekaragaman jenis sedang
c) H’ > 3 = Tingkat keanekaragaman jenis tinggi

2. Indeks Kekayaan Jenis (Spesies Richness), menggunakan indeks Margalef.


Rumus indeks kekayaan jenis (Ludwig & Reynold, 1988) :
S−1
R=
ln N
Dalam hal ini :
R = Indeks kekayaan jenis
S = jumlah Jenis satwa yang teramati
N = jumlah total individu yang teramati
Kriteris untuk nilai kekayaan jenis (R) menurut Magurran (1998) :
a) R < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis yang rendah.
b) 3,5 < R > 5,0 menunjukkan kekayaan jenis yang sedang.
c) R ≥ 5,0 menunjukkan kekayaan jenis yang tinggi.
26

3. Indeks Kemerataan jenis (E), menggunakan rumus indeks kemerataan spesies


dari Pielou (Ludwig & Reynold, 1988) :
H'
E=
ln S

Keterangan :

E = indeks kemerataan Evenness


H’ = indeks keanekaragaman Shannon
S = jumlah jenis
ln = logaritma natural

Kriteria indeks kemerataan menurut Barbour et al., 1987) adalah sebagai


berikut :

a) E < 0,4 : indeks kemerataan spesies rendah


b) 0,4 < E < 0,6 : indeks kemerataan spesies sedang
c) E > 0,6 : indeks kemerataan spesies tinggi
27

IV. KEADAAN UMUM KAWASAN

IV.1 Kondisi Lingkungan Fisik


1. Kondisi Umum
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Sebangau Wilayah I Palangka Raya
memiliki luas ± 47.302,6 ha yang secara administrasi berada di wilayah Kota
Palangka Raya yang sekaligus Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. SPTN
Wilayah I Palangka Raya terbagi menjadi 2 (dua) resort yakni Resort Sebangau
Hulu (± 21.480,90 ha) dan Habaring Hurung (± 25.281,70 ha). Resort Sebangau
Hulu secara administratif ke dalam wilayah kelurahan Sabaru dan Kelurahan
Kereng Bangkirai di Kecamatan Sebangau. Dalam Pengelolaannya Resort
Sebangau Hulu terdapat beberapa tekanan seperti Pengambilan HHBK, illegal
logging, dan kebakaran hutan.
Beberapa faktor yang patut di waspadai dapat menjadi tekanan di kawasan
Taman Nasional Sebangau, khususnya di wilayah kerja Resort Sebangau Hulu,
SPTN Wilayah I Palangka Raya antara lain adalah letaknya yang berada di
Palangka Raya, aksebilitas yang mudah dapat dilalui dengan menggunakan alat
transportasi sungai, tata batas definitif yang masih dalam proses, masih terdapat
masyarakat yang memanfaatkan HHBK sehingga mengakibatkan tekanan bagi
kawasan Taman Nasional Sebangau. Kawasan Resort Sebangau Hulu, SPTN
Wilayah I Palangka Raya sebagian besar terdiri dari tanah gambut.
Keanekaragaman fauna tergolong masih tinggi. Spesies fauna pada hutan rawa
gambut bersifat endemik dan unik, seperti burung, orangutan, beruang madu,
bekantan, kelasi, owa, monyet ekor panjang, maupun macan dahan. Resort
Sebangau Hulu memiliki tipe hutan tegakan tinggi dengan jenis-jenis tumbuhan
yang umum dijumpai adalah Calophyllum hosei, C. Lowii, Cretoxylum glaucum,
Dactylocladus stenostachys, Dipterocarpus coriaceus, Dyera costulata, Eugenia
havelandii, Gonystylus bancanus, Gymnostoma sumatrana, Koompassia
malaccensis, Mezzetia leptopoda, Palaquium coclearifolium, P. leiocarpum,
28

Shorea teysmanniana, S. platycarpa, Tristania grandifolia, Vatica mangachopai,


Xanthophyllum spp., dan Xylopia spp.

2. Topografi dan Iklim


Keadaan topografi kawasan hutan rawa gambut umumnya, topografi kawasan
Resort Sebangau Hulu sebagian besar tergolong datar dengan kelerengan < 2 %
dengan ketinggian antara 0-35 meter diatas permukaan laut (dpl). Distribusi dan
jumlah curah hujan yang diukur pada lokasi maupun di luar kawasan Taman
Nasional sebangau secara umum memperlihatkan pola yang hampir sama. Curah
hujan Bulan tertinggi terjadi pada bulan November (333 mm) dan terendah terjadi
pada Bulan Agustus (79 mm). Hal ini berpengaruh terhadap waktu-waktu rentan
terjadinya bahaya kebakaran hutan dan laha. Suhu udara rata-rata berfluktuasi
antara 23,8oC - 24,8oC dengan suhu rata-rata tertinggi pada Bulan Mei dan
terendah pada bulan Desember.

3. Hidrologi
Kawasan hutan Resort Sebangau Hulu merupakan sumber air dari sungai
Sebangau bagian hulu, terdapat tiga anak sungai yaitu Sungai Koran, Sungai
Simpang Kiri, dan Sungai Simpang KananYA. Ketiga anak sungai pada baian
hulunya merupakan hutan sekunder yang berada dalam kawasan Taman Nasional
Sebangau. Selain sungai alam banyak terdapat kanal/ parit buatan yang dibuat oleh
masyarakat, lebih dari 20 kanal besar/ kecil yang mempengaruhi kondisi
kelembaban tanah/ gambut kawasan hutan. Kondisi sungai alam pada saat
kemarau masih tetap berair meskipun kedalamannya sangat turun drastis dan
masih bisa dilalui kelotok kecil/ cas. Pada musim kemarau juga terdapat kolam-
kolam kecil atau cekungan yang berair yang terjadi akibat bekas terjadi kebakaran
sehingga gambutnya amblas dan membentuk cekungan tersebut.
29

4. Aksesibilitas Kawasan
Kawasan Resort Sebangau Hulu dapat diakses menggunakan jalur sungai,
yaitu melalui Sungai Sebangau dengan menggunakan perahu mesin/ speed boat
dan kelotok kecil/ ces.

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan


1. Letak dan Aksesibilitas
Resort Sebangau Hulu secara administrasif termasuk kedalam 2 (dua)
kelurahan yaitu Kelurahan Kereng Bangkirai dan Kelurahan Sabaru. Kelurahan
Kereng Bangkirai dan Kelurahan Sabaru termasuk dalam Kecamatan Sabangau,
Kota Palangka Raya. Jarak kantor Kelurahan Sabaru dari pusat kota Palangka
Raya ± 8 km dan kantor kelurahan Kereng Bangkirai ± 10 km.
2. Luas Kelurahan dan Keadaan Penduduk di Sekitar Kawasan
Luas Kelurahan Kereng Bangkirai 323,45 km2 dengan jumlah penduduk 3.060
KK, Kelurahan Sabaru memiliki luas wilayah 151,15 km 2 dengan jumlah
penduduk 1085 KK.

2. Mata Pencaharian Masyarakat


Sebagian besar masyarakat di Kelurahan Kereng Bangkirai memenuhi
kebutuhan hidupnya sebagai nelayan, pedagang, pertanian, wiraswasta sedangkan
sebagian kecil merupakan ASN, montir, dan karyawan swasta. Sedangkan di
Kelurahan Sabaru sebagian besar merupakan wiraswasta, ASN, pedagang, dan
sebagian kecil nelayan, petani, dan buruh lepas.
30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Jumlah Jenis


Berdasarkan pengamatan di kawasan Sebangau Hulu Taman Nasional
Sebangau dengan 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur sungai. Jalur darat dimulai
dari pagi-sore mulai pukul 07.00 WIB-16.00 WIB dengan 15 transek dimana
1 hari 3 transek. Jalur sungai pengamatan dari pagi-sore mulai pukul 06.00
WIB-16.00 WIB dengan 2 jalur selama 2 hari pengamatan. Primata yang
dijumpai ada 4 spesies yaitu : Orangutan (Pongo pygmaeus), Lutung Merah
(Presbytis rubicunda), Owa Kalimantan (Hylobates albibarbis), dan Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Namun untuk Orangutan (Pongo
pygmaeus) hanya menjumpai sarang nya saja dan suara.
Berikut nama jenis dan jumlah individu yang dijumpai di Sebangau
Hulu dapat dilihat seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Nama Jenis Dan Jumlah Individu Primata
No Nama Spesies Nama Latin Perjumpaan Jumlah
Individu
Langsung Suara Sarang
1 Orangutan Pongo pygmaeus 24 24
2 Lutung Merah Presbytis rubicunda 1 9 10
3 Owa Kalimantan Hylobates albibarbis 3 5 8
4 Monyet Ekor Macaca fascicularis 14 7 21
Panjang
Total 63

Pada tabel 1 diatas menunjukkan bahwa orangutan tidak berhasil


ditemukan secara langsung melainkan hanya menemukan sarangnya saja
tempat primata ini beristirahat. Pada jalur darat di temukan 15 sarang dan
pada jalur sungai ditemukan 9 sarang. Di Sebangau Hulu pada saat ini
memang sangat kurang bahan makanan orangutan tersebut karena masih
31

belum musim buah di lokasi yang menjadi bahan makan orangutan, biasanya
musim buah di lokasi ini antara Desember-Januari. Sehingga Orangutan
keluar dari jalur untuk menjadi bahan makanannya ketempat lain karena
orangutan mempunyai jiwa jelajah yang kuat dengan berpindah dari suatu
tempat ketempat lain untuk mencari dimana tempat yang banyak tersedia
bahan makanannya. Menurut (Meijaard et al, 2001), orangutan baik yang
berasal dari Sumatera maupun Kalimantan berdasarkan pola hidupnya
dibedakan menjadi orangutan penetap, penjelajah dan pengembara. Orangutan
penjelajah adalah orangutan yang melakukan perpindahan ke lokasi lain untuk
mencari bahan makanannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan akan
kembali kelokasi semula.
Kelasi (Lutung Merah) pada jalur darat ditemukan 9 individu dengan
mendengar suara dari primata ini dan tidak dapat menemukan secara
langsung. Sedangkan pada jalur sungai ditemukan 1 individu dengan
perjumpaan secara langsung. Owa Kalimantan pada jalur darat ditemukan 9
individu dengan mendengar suaranya, sedangkan pada jalur sungai hanya
menemukan 1 individu dengan mendengar suaranya juga. Monyet Ekor
panjang merupakan primata yang lebih banyak ditemukan di lokasi penelitian
dengan 10 individu yang ditemukan di jalur darat dan pada jalur sungai
ditemukan 11 individu. Hal yang menyebabkan sangat sedikitnya primata
yang ada di lokasi penelitian karena kurangnya bahan makanan di lokasi
penelitian tersebut menyebabkan primata mencari bahan makanan ketempat
lain.
Smith et al. (1989) berpendapat Pola pergerakan dan jarak tempuh
satwa dipengaruhi oleh sifat satwanya dan tergantung pada jumlahnya serta
distribusi sumber makanannya. Pada saat sumber makanan melimpah dan
dekat dengan daerah inti satwa, maka pergerakan satwa tersebut tidak terlalu
jauh. Pergerakan satwa ini sangat didukung dengan waktu aktifnya.
32

Berdasarkan waktu aktifnya, satwa digolongkan menjadi tiga jenis yaitu:


diurnal, nokturnal dan diurnal-nokturnal.
(Boeghey, 1973) mengemukakan daerah jelajah yaitu wilayah yang
dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minuman
serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, bersembunyi, tempat tidur
dan tempat kawin. Daerah jelajah satwa dapat berubah-ubah, tergantung
kepada pola pergerakan satwa dan jarak tempuhnya, biasanya daerah jelajah
tersebut tidak dipertahankan, selain itu daerah jelajah satwa merupakan bagian
penting dari populasi satwa, karena selain mencerminkan sifat satwa juga
mencerminkan kondisi habitat dimana satwa itu berada. Luas wilayah daerah
jelajah sangat tergantung dengan ukuran tubuh satwaliar baik dari golongan
herbivora maupun karnivora (Mace et al. 1983).

5.2 Indeks Keanekaragman Jenis (H’)


Berdasarkan hasil penelitian dapat dihitung indeks keanekaragaman
jenis (H’) menggunakan rumus Shannon dapat dilihat pada Lampiran 3,
sedangkan rekapitulasi hasil perhitungan H’dapat dilihat seperti disajikan
pada Gambar 6 berikut.

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS


0.7

0.6 0.65467

0.5
Series2
0.4
Series1
0.3

0.2

0.1

0
1
Gambar 6. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)
33

Hasil rekapitulasi Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada Gambar 6


di atas dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) yaitu 0,65
yang termasuk dalam kriteria yang menunjukkan kekayaan jenis rendah
karena H’<1. Shannon dalam Santosa, (2006), memberikan batasan bahwa
kriteria indeks keanekaragaman adalah jika H’<1 maka keanekaragaman
rendah, jika 1<H’<3 maka keanekaragaman sedang, dan jika H’<3 maka
keanekaragaman tinggi. Hal ini sesuai dengan kriteria yang dikemukakan oleh
Soegianto (1994), apabila derajat keanekragaman H’<1 berarti
keanekaragaman jenis termasuk klasifikasi rendah, bila berkisar 1 dan 3 (1 ≤
H’ < 3) disebut sedang; dan H’ >3 dikatakan mempunyai kenekaragaman
jenis yang tinggi atau melimpah. Pada lokasi penelitian keanekaragaman jenis
masih tergolong rendah hal ini disebabkan karena kecocokan keadaan
lingkungan hutan sebagai habitat primata atau kemampuan beradaptasi dari
primata, karena gangguan dari aktivitas manusia karena masih banyaknya
masyarakat sekitar desa yang mengambil ikan disekitar sungai habitat primata
tersebut sehingga mereka merasa terancam dan pergi ke habitat lainnya.
Menurut Bismark & Wiriosoeparhto (1980) mengatakan Habitat merupakan
salah satu komponen dalam kehidupan sehari-hari yang penting bagi primata
karena habitat merupakan tempat primata dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari seperti makan, minum, berkembangbiak, bermain, melindungi diri
dari serangan predator, manusia bahkan kelompok primata lainnya. Indeks
keanekaragaman membuktikan bahwa kekayaan hayati dalam suatu kawasan
didukung oleh kondisi ekologis sekitarnya. Mulai dari sumber pakan, aktivitas
makhluk hidup lain, keberadaan predator, hingga ketersediaan tempat tinggal
yang aman dan nyaman untuk primata dalam berkembang biak (Sajithiran,
Jamdhan, & Santiapillani, 2004). Menurut Comanesi et al., 2017 Pergerakan
primata berkaitan erat dengan sifat individu dan kondisi lingkungan seperti
ketersediaan pakan, fasilitas untuk berkembang biak, kondisi iklim, predator,
34

dan sumber air. Primata akan bergerak mencari makan dan berkembang biak
untuk bertahan hidup secara bebas.

5.3 Indeks Kekayaan Jenis (R)


Indeks Kekayaan Jenis (R) merupakan nilai atau rasio antara jumlah
jenis secara keseluruhan terhadap logaritma natural jumlah individu jenis
yang dijumpai (Odum, 1993). Hasil rekapitulasi Indeks Kekayaan Jenis (R)
dapat dilihat seperti disajikan pada Gambar 7 berikut.

INDEKS Chart Title JENIS


KEKAYAAN
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4 Series1
0.3
0.2
0.1
0
INDEKS KEMERATAAN JENIS

Gambar 7. Indeks Kekayan Jenis (R)

Hasil rekapitulasi Indeks Kekayaan Jenis (R) pada Gambar 7 diatas


dapat dilihat bahwa nilai indeks kekayaan jenis (R) yaitu 0,69 yang termasuk
dalam kriteria yang menunjukkan kekayaan jenis yang rendah karena R<3,5
35

(Magurran,1998). Rendahnya kekayaan jenis pada lokasi penelitian terjadi


karena minimnya jumlah jenis primata yang ada pada lokasi penelitian. Hal
lain yang menyebabkan rendahnya kekayaan jenis pada lokasi penelitian
adalah karena habitat yang tidak cocok bagi primata tersebut karena dilokasi
penelitian tersebut sebagian sudah rusak akibat ulah manusia yang merusak
lingkungan seperti penebangan pohon yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
untuk kepentingan pribadi mereka, kebakaran hutan dan alih fungsi hutan.
Perubahan kualitas habitat biasanya dapat menyebabkan perubahan perilaku
primata tersebut. Primata dipaksa beradaptasi pada habitat yang sempit dan
kurang mencukupi kebutuhannya. Pada proses adaptasi biasanya primata lebih
memilih tipe habitat yang ideal yang lebih menguntungkannya yang jauh dari
gangguan manusia dan masih tersedia banyak bahan makanannya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Departemen Kehutanan (2007), yang mengatakan
informasi habitat terpilih terutama pada habitat yang masih utuh yang masih
alami dan dapat menyediakan kebutuhan dasar primata merupakan bagian
penting yang harus diketahui sebagai bahan panduan dalam mengembangkan
program konservasi primata. Monyet Ekor Panjang merupakan jenis primata
yang paling banyak ditemui di lokasi penelitian yang menggambarkan spesies
tersebut memiliki pola adaptasi yang baik sehingga banyak ditemukan pada
jalur pengamatan. Hal ini menunjukan bahwa terjadinya persaingan antara
masing-masing individu untuk memperoleh makanan karena monyet ekor
panjang merupakan kelompok yang dapat menerima perubahan lingkungan
dan bahkan menuntut lingkungannya sedikit berubah. Orangutan merupakan
primata yang selalu berpindah-pindah tempat dan selalu membuat sarangnya
ketika beristirahat ditempat tersebut. Karena orangutan yang selalu bersifat
berpindah-pindah tempat sehingga hanya menemukan sarangnya di lokasi
penelitian sedangkan owa dan lutung merah menyusuri suatu tempat ketempat
lain untuk mencari bahan makanan serta bermain diatas pohon. Menurut
Alikodra (1988) jenis yang banyak melakukan pergerakan berarti jenis
36

tersebut dapat menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Sedangkan jenis-jenis
yang bersifat lebih spesialis dalam persyaratan ekologis mempunyai pola
adaptasi yang kecil. Selain itu pergerakan satwa erat kaitanya dengan sifat
individu dan kondisi lingkungan seperti persediaan makanan, fasilitas untuk
berkembang, kondisi iklim/cuaca, pemangsaan dan sumber air, mereka
bergerak untuk mencari makan, untuk hidup dan untuk berkembangbiak
dengan bebas (Boughey, 1973). Selain itu, nilai kekayaan jenis juga
dipengaruhi oleh bahan makanan yang tersedia di habitat tempat tinggal
mereka. Tingginya jumlah jenis mamalia yang ditemukan pada habitat
berkaitan dengan ketersediaan pakan yang cukup melimpah dan tersedianya
faktor kesejahteraan yang lain yang terdapat pada habitat tersebut. Di lokasi
penelitian masih sangat minim bahan makanan bagi primata hal ini disebab
kan dilokasi tersebut memang belum musim buah. Primata pada umumnya
menyukai buah-buahan yang manis dan agak asam seperti matoa, buah
manggis hutan, yang ada di lokasi penelitian tetapi belum berbuah sehingga
primata mencari lokasi yang masih ada buahnya. Sedangkan Owa dan
orangutan yang menyukai buah , kelasi menyukai dedaunan tua sedangkan
monyet ekor panjang mengkonsumsi buah dan daun. Hal ini sependapat
dengan Partasasmita & Malik (2016) yang mengatakan Owa yang merupakan
satwa furgivora cenderung memilih buah sebagai pakan utamanya, sedangkan
lutung merah cenderung memakan daun yang lebih tua. Sementara monyet
ekor panjang lebih bersifat generalis yang mengkonsumsi buah maupun daun
(Azevedo Ramos et al. 2005).

5.4 Indeks Kemerataan Jenis (E)


Perhitungan Indeks Kemerataan Jenis (E) pada jalur penelitian di
kawasan Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau dengan menggunakan
rumus Ludwig dan Reynolds (1988), Hasil perhitungan Indeks Kemerataan
37

Jenis (E) dapat dilihat pada Lampiran 3 secara lengkap dan rekapitulasi
disajikan pada Gambar 8 berikut.

INDEKS KEMERATAAN JENIS


0.25

0.2

Series2
0.15
Series1

0.1

0.05

0
INDEKS KEMERATAAN JENIS
Gambar 8. Indeks Kemerataan Jenis (E) Pada Jalur penelitian

Hasil rekapitulasi indeks Kemerataan Jenis (E) pada Gambar 8 di atas


dapat dilihat bahwa nilai indeks Kemerataan Jenis (E) pada jalur penelitian
yaitu 0,22 tergolong rendah. Hal ini berarti kemerataan spesies di kawasan
sebangau hulu masih belum seragam. Nilai indeks kemerataan jenis tergolong
rendah itu disebabkan karena minimnya primata ditemukan di lokasi
penelitian hal ini disebabkan oleh kurangnya bahan makanan yang tersedia
dilokasi penelitian karena memang belum musim buah sehingga primata
mencari bahan makanan ketempat lain keluar dari lokasi pengamatan. Di
lokasi penelitian musim berbuah biasanya pada bulan Desember akhir tahun.
Primata monyet ekor panjang merupakan primata yang paling banyak
ditemukan itu karena ketersediaan makanan dari monyet ejor panjang masih
banyak, monyet ekor panjang lebih suka memakan dedaunan seperti daun
tutup kabali, daun jelutung dan daun ketiau. Sementara lutung merah lebih
suka memakan dedaunan yang tua sedangkan orangutan dan owa lebih suka
memkan buah-buahan seperti buah manggis hutan, punak , rambutan hutan,
38

piais, buah jelutung, jambu-jambuan, buah nyatoh, cempedak air, dan buah
lewang yang belum musim buah di lokasi penelitian sehingga mereka keluar
jalur pengamatan untuk mencari bahan makanan lain yang mereka sukai. Hal
ini sesuai dengan pendapat Ardian et al., 2018 yang mengatakan Banyaknya
primata yang ditemukan pada lokasi penelitian bergantung kepada kondisi
vegetasi yang tumbuh pada lokasi penelitian, semakin bervariasi vegetasi
yang tumbuh maka pakan primata akan melimpah sehingga primata yang
ditemukan akan semakin banyak. Primata merupakan satwa pemakan buah
yang selalu memastikan bahwa kebutuhan makan mereka terpenuhi sehingga
tidak terjadi tumpang tindih antara primata dan satwa liar lainnya
(Suwanvecho et al., 2017). Insafitri (2010) mengemukakan indeks kemerataan
digunakan untuk mengetahui keseimbangan komunitas yaitu kesamaan ukuran
jumlah individu antar spesises dalam suatu komunitas. Semakin besar derajat
keseimbangannya itu berarti jumlah individu antar spesiesnya semakin mirip.
Odum (1971), menyatakan nilai indeks kemerataan (E) berkisar antara 0-1.
Apabila nilai E mendekati nol berarti kemerataan antar spesies rendah,
sedangkan apabila nilai E mendekati satu maka distribusi antar spesies relatif
seragam. Odum (1996) mengatakan bahwa indeks kemerataan tertinggi
berbanding tegak lurus dengan indeks keanekaragaman jenis, dimana semakin
tinggi nilai indeks kemerataan maka indeks keanekaragaman jenis semakin
tinggi.

5.5 Status Konservasi


5.1.1 Status Lindung Menurut PERMEN LHK
Setelah 28 tahun penetapan jenis tumbuhan dan satwa yang di lindungi
baru terjadi perubahan, sungguh luar biasa di tahun 2018 terjadi tiga kali
perubahan daftar jenis tumbuhan dan satwa lindung dalam satu tahun,
sehubungan dengan diundangkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
39

P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua atas


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/62018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa
yang Dilindungi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.
Identifikasi Keanekaragaman Jenis Primata di Kawasan Sebangau Hulu
Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah melalui metode pengambilan
data lapangan dan meminta data-data atau dokumen dari Taman Nasional
Sebangau bahwa ada 3 jenis primata yang dilindungi yaitu Orangutan (Pongo
pygmaeus), Lutung Merah (Presbytis rubicunda), dan Owa Kalimantan
(Hylobates albibarbis).

5.1.2 Status Keterancaman Menurut IUCN


IUCN dalam Red List merupakan suatu daftar spesies tumbuhan dan
satwa liar yang memiliki status terancam punah di dunia dan bertujuan untuk
memfokuskan perhatian kepada spesies terancam punah tersebut melalui
upaya konservasi langsung. Penetapan status konservasi bukan hanya
berdasarkan jumlah populasi yang tersisa, melainkan peningkatan atau
penurunan jumlah populasi dalam periode tertentu, laju sukses penangkaran,
ancaman yang diketahui.
Status Konservasi jenis primate dalam IUCN Red List yang
diidentifikasi di kawasan Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau tergolong
kategori berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) yaitu Spesies Orangutan
(Pongo pygmaeus), bersatus genting (Endangered/EN) yaitu Owa Kalimantan
(Hylobates albibarbis), kategori Least Concern/ LC (resiko rendah) yaitu
Lutung Merah (Presbytis rubicunda) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis). Pengelompokan status konservasi ini diberikan dikarenakan
40

jenis primata di kawasan Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau beragam


yaitu kritis, genting dan berisiko rendah terancam punah.
Status konservasi primata menurut IUCN dapat dilihat seperti disajikan
pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Status Konservasi Primata Menurut IUCN
No. Nama Jenis Nama Ilmiah Status Konservasi
1. Orangutan Pongo pygmaeus Kritis/ Terancam Punah
2. Lutung Merah Presbytis rubicunda Berisiko rendah terancam punah
3. Owa Kalimantan Hylobates albibarbis Genting/ Terancam Punah
4. Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berisiko rendah terancam punah

5.1.3 Status Perdagangan Berdasarkan CITES


CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora) adalah perjanjian internasional yang beranggotakan
pemerintahan negara-negara di dunia untuk memastikan perdagangan spesies
hewan dan tumbuhan tidak menyebabkan ancaman bagi kelangsungan hidup
suatu spesies.
Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah
yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme penggolongan perlindungan
berdasarkan appendiks. Satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi
dan diatur dimasukkan ke dalam tiga jenis appendiks I,II dan III.

Status perdagangan primata berdasarkan CITES dapat dilihat seperti


disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Status Perdagangan Primata Berdasarkan CITES
No. Nama Jenis Nama Ilmiah PERMEN IUCN CITES
LHK
1. Orangutan Pongo pygmaeus P CR 1
41

2. Lutung Merah Presbytis rubicunda P LC 2


3. Owa Kalimantan Hylobates albibarbis P EN 2
4. Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis LC 2
Keterangan: P= dilindungi berdasarkan PERMEN LHK, CR= Critically Endangered (kritis), EN= Endangered
(genting), LC= Least Concern (resiko rendah), 1= CITES Appendix 1, 2= CITES Appendix 2.

VI. PENUTUP

VI.1 Kesimpulan
42

Berdasarkan hasil penelitian Keanekaragaman Jenis Primata di Kawasan


Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Jumlah jenis primata di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau adalah 4 jenis
yaitu orangutan (Pongo pygmaeus), owa Kalimantan (Hylobates albibarbis),
lutung merah (Presbytis rubicunda) dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis).
2. Keanekaragaman jenis di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau, yaitu nilai
indeks keanekaragaman jenis (H’) yaitu 0,65 yang termasuk dalam kriteria yang
sedang, nilai indeks kekayaan jensi (R) yaitu 0,69 yang termasuk dalam kriteria
yang rendah dan nilai indeks kemerataan jenis (E) yaitu 0,22 yang termasuk
dalam kriteria yang rendah.
3. Status konservasi primata di Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau mengacu
pada IUCN ada 1 jenis primata berstatus kritis (Critically Endangered) yaitu
orangutan (Pongo pygmaeus), 1 jenis primata berstatus genting (Endangered)
yaitu owa kalimantan (Hylobates albibarbis), dan 2 jenis primata berstatus risiko
rendah (Least Concern) yaitu lutung merah (Presbytis rubicunda) dan monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis).
VI.2 Saran
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di Kawasan
Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau maka penulis memberikan saran,
sebagai berikut:
1. Perlunya tindakan yang dapat dilakukan pihak pengelola adalah menjaga
kawasan lebih intensif untuk tetap terjaga kekayaan dan keanekaragaman jenis
primata yang ada di Kawasan Taman Nasional Sebangau.
2. Perlu diadakannya penelitian lanjutan untuk Keanekaragaman Jenis Primata di
Sebangau Hulu Taman Nasional Sebangau untuk mengetahui perubahan
keanekaragaman primata tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
43

Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
UniversitasIlmu Hayat IPB. Bogor.
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Alikodra,H. S. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa liar Dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: IPB Press.
Atmoko, T., & Agency, D. 2019. Daya Tarik Dan Jenis-Jenis Satwa Primata Di
Khdtk Samboja. Kalimantan Timur: Balai Penelitian Dan Pengembangan
Teknologi Sumber Daya Alam.
Azevedo-Ramos C, De Carvalho O, Nasi R. 2005. Report: Animal Indicators, a Tool
to Assess Biotic Integrity After Logging Tropical Forests?. Núcleo de
Altos Estudos Amazônicos (NAEA). Universidade Federal do Pará.
Brazil.
Balai Taman Nasional Sebangau. 2014. Statistik Balai TN Sebangau 2014. Palangka
Raya.
Bappenas. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragman Hayati Indonesia 2003-
2020. BAPENAS. Jakarta.
Barbour, G.M., J.K. Burk & W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York:
The Benyamin/ Cummings Publishing Company, lnc.
Bismark. 1994. Ekologi Makan dan Perilaku Bekatan (Nesalis Larvatus Wurmb) Di
Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Disertasi.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (Sop) Untuk Survei Keragaman Jenis
Pada Kawasan Konservasi. Bogor: Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Perubahan Iklim Dan Kebijakan Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kehutanan.
Feldhamer, GA., LC. Drickamer, SH. Vessey & JF. Merritt. 1999. Mammalogy:
Adaptation, Diversity and Ecology. McGraw-Hill. Boston.
Fitriani, Y. 2006. Populasi, Distribusi Dan Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus
auratus sondaicus Robinson & Kloss 1919) Di Kawah Putih Dan Hutan
Gunung Patuha Ciwidey, Jawa Barat. Skripsi. Universitas Padjadjaran.
44

Irwanto. 2006. Perencanaan Perbaikan Habitat Satwaliar Burung Pasca Bencana


Alam Gunung Meletus. Available URL : (Http/www.google.com) (diakses
Maret 2017).
IUCN. 1980. World conservation strategy: Living resource conservation for
sustainable development. Gland: IUCN.
IUCN. 2021. The Iucn Red List Of Threatened Species. Retrieved From
(Https://Www.Iucnredlist.Org/)
Krebs, C. J, 1985. Ecology, The Expremintal Analysis Of Distribution And
Abudance. Third Edition. Harper Colling Pusblisher: New York.
Ludwig, J.A & J.F. Reynolds, 1988. Statistical Ecology. 2nd ed. London: Edward
Arnold (Publisher ) Co. Ltd.

Lekagul, B & McNeely. 1977. Mammals of Thailand. The Association for the
Conservation of Wildlife. Bangkok.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey.
Princeton University Press.

Marquis-Kyle, P. & Walker, M. 1996. The Illustrated BURRA CHARTER. Making


good decisions about the care of important places. Australia: ICOMOS.

Napier, J. R. & P. H. Napier. 1967. A Handbook of Living Primates. London :


Academic Press.

Oates, J.F. 1977. The Guereza And Its Food. In: Ekologi Makan Dan Perilaku
Bekatan (Nesalis Larvatus Wurmb) Di Hutan Bakau Taman Nasional
Kutai. Kalimantan Timur, M. Bismark, Disertasi, Institut Pertanian
Bogor.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of ecology. W.B. Sounders Company Ltd.,


Philadelphia. 474p.

Partasasmita R, Malik AD. 2016. Studi Kebutuhan Pakan Lutung Jawa


(Trachypithecus auratus E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) Betina pada
Fase Akhir Rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa. Prosiding
Seminar Nasional MIPA 2016: 226 – 231.

Rachman, Maman. 2012. Konservasi Nilai dan warisan Budaya. Indonesiaan Journal
of Conservation (JC), Vol. 1 . 30-39.
45

RI, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya.
Santosa Y. 1993. Laporan akhir strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa
parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwa liar
berdasarkan pendekatan ekologi perilaku : Studi kasus terhadap populasi
kera ekor panjang (Macaca fascicularis diulau Tinjil). Bogor: Fakultas
Kehutanan IPB.

Santosa, Y., 1995. Konservasi Keanekaragaman Satwa Liar. Jurusan Konservasi


Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Smit van Dort, M. 1989. Skin, skull and skeleton characters of mouse deer
(Mammalia, tragulidae), with keys to the species. Bulletin Zoologisch
Museum 12:89-95.

Supriatna, J dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Zon APM Vander. 1979. Mammals of Indonesia. Food and Agriculture Organization
of the United Nations. Bogor. pp 15-130.
46

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tally Sheet Pengamatan


Tally sheet pengamatan dapat dilihat seperti disajikan pada lampiran 1
berikut.
a. Pengamatan Jalur Darat
Pengamatan jalur darat dimulai pukul 07.00 WIB-16.00 WIB

No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
1 1 1 07.32 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
2 08.25 WIB Kelasi Lutung 4 Dari suara
Merah saling
bersautan

3 09.00 WIB Owa Owa 1 Lompat


diatas pohon,
berayun-ayun
di pohon, dan
bersuara.
2 1 10.57 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
4 13.58 WIB Monyet Monyet 1 Duduk di
Ekor Ekor pohon
Panjang panjang

3 1 14.23 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang


4 15.04 WIB Monyet Monyet 2 Suara, saling
Ekor Ekor saut
Panjang Panjang
3 15.40 WIB Owa Owa 1 Suara
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
4 2 1 08.11 WIB Orangutan Orangutan 2 Sarang
3 09.37 WIB Owa Owa 1 Suara
5 3 10.55 WIB Owa Owa 1 Suara
6 2 14.09 WIB Kelasi Kelasi 4 Suara, saling
bersautan
3 14.57 WIB Owa Owa 2 Kejar-kejaran
(Remaja)
1 15.52 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
47

7 3 1 09.16 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang


8 1 13.00 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
9 4 14.22 WIB Monyet Monyet 1 Suara
Ekor Ekor
Panjang Panjang
1 15.31 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
10 4 4 07.17 WIB Monyet Monyet 2 Istirahat
Ekor Ekor diatas Pohon
Panjang Panjang
4 08.20 WIB Monyet Monyet 1 Suara
Ekor Ekor
Panjang Panjang
1 09.04 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
1 10.39 WIB Orangutan Orangutan 1 Suara
11 1 11.00 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
12 1 15.58 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
13 5 1 08.13 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
3 10.54 WIB Owa Owa 1 Suara
14 4 12.47 WIB Monyet Monyet 2 Istirahat
Ekor Ekor
Panjang Panjang
15 1 14.10 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
2 15.20 WIB Kelasi Kelasi 1 Suara
4 15.51 WIB Monyet Monyet 1 Istirahat
Ekor Ekor
Panjang Panjang
48

b. Pengamatan Jalur Sungai

No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
1 1 1 06.38 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang

1 07.25 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang


4 08.55 WIB Monyet Monyet 2 Suara, Saling
Ekor Ekor bersautan
Panjang Panjang
2 11.05 WIB Kelasi Kelasi 1 Diatas Pohon,
Berdiam
1 12.37 WIB Orangutan Orangutan 2 Sarang

4 13.10 WIB Monyet Monyet 1 Duduk,isrirahat


Ekor Ekor
Panjang Panjang
4 14.58 WIB Monyet Monyet 2 Istirahat
Ekor Ekor
Panjang Panjang
4 15.33 WIB Monyet Monyet 1 Suara
Ekor Ekor
Panjang Panjang
1 15.57 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
No. Hari No. Waktu Nama Lokal Nama Jenis Jumlah Keterangan
Jalur ke- Spesies Perjumpaan Jenis
2 2 1 06.58 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
1 08.20 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang

3 09.00 WIB Owa Owa 1 Suara


4 11.09 WIB Monyet Monyet 4 Duduk diatas
Ekor Ekor pohon
Panjang Panjang
4 14.11 WIB Monyet Monyet 1 Istirahat
Ekor Ekor
Panjang Panjang
1 14.49 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
1 15.44 WIB Orangutan Orangutan 1 Sarang
49

Lampiran 2. Buku Panduan Lapangan Pengenalan Primata


Buku panduan lapangan pengenalan primata dapat dilihat seperti
disajikan pada lampiran 2 berikut.
50

Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian


Peta lokasi penelitian dapat dilihat seperti disajikan pada lampiran 1
berikut.

Lampiran 4. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis, Kekayaan Jenis dan


Kemerataan Jenis masing-masing Primata.
Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis, Kekayaan Jenis dan
Kemerataan Jenis masing-masing Primata dapat dilihat seperti disajikan pada
lampiran 4 berikut.
a. Keanekaragaman Jenis (H’)

N Primata Jumlah Pi=ni/N ln.ni/N ni/N x ln.ni/N H’


o Individu
1. Lutung Merah 1 0.055556 -2.89037 -0.160576209 0.65467

2. Owa Kalimantan 3 0.166667 -1.79176 -0.298626578


3. Monyet Ekor 14 0.777778 -0.25131 -0.195466778
Panjang
Total 18
51

b. Kekayaan Jenis (R)

No Primata Jumlah S S-1 lnN R


Individu
1. Lutung Merah 1 3 2 2.890371758 0.691953

2. Owa Kalimantan 3
3. Monyet Ekor 14
Panjang
Total 18

c. Kemerataan Jenis (E)

N Primata Jumlah S H’ lnS E


o Individu
1. Lutung Merah 1 3 0.65467 1.098612289 0.218223
2. Owa Kalimantan 3
3. Monyet Ekor 14
Panjang
Total 18

Lampiran 5. Alat dan Bahan


Alat dan Bahan dapat dilihat seperti disajikan pada Lampiran 5 berikut.

Gambar 1. Teropong Gambar 2. Kamera Gambar 3. GPS (Global


Positioning System)
52

Gambar 4. Kelotok Gambar 5. Tally Sheet


Lampiran 6. Pengamatan Objek (Primata)
Pengamatan objek (primata) dapat dilihat seperti disajikan pada
Lampiran 6 berikut.

Gambar 6. Pengamatan Gambar 7. Pengamatan Gambar 8. Diskusi


pada Jalur Darat Pada Jalur Sungai Dengan Pendamping
Lapangan

Gambar 9. Pengamatan Gambar 10. Pengamatan Gambar 11. Pengambilan


Jalur Darat Pakai Jalur Sungai Pakai Tititk Koordinat pada GPS
Teropong Teropong
53

Gambar 12. Foto


Dengan Pembimbing
Lapangan

Lampiran 7. Primata yang di Temui


Primata yang ditemui dapat dilihat seperti disajikan pada lampiran 7
berikut.

Gambar 13. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)


54

Owa Kalimantan (Hylobates albibarbis) Lutung Merah (Presbytis rubicunda)

Owa Kalimantan (Hylobates albibarbis)


Lampiran 8. Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus)
Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus) dapat dilihat seperti disajikan
pada lampiran 8 berikut.
55

Lampiran 9. Vegetasi Makanan Primata


Vegetasi Makanan Primata dapat dilihat seperti disajikan pada lampiran
9 berikut.

Tutup Kabali (Diospyros areolata King & Gamble)


56

Anda mungkin juga menyukai