MAKALAH
OLEH :
KELOMPOK IV
Nama NIM
Murni Tiovani Silalahi 203010404009
Reky 203010404015
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala
bimbingan dan rahmat-nyalah sehingga makalah berjudul “Kajian Analisis
Penerapan Sistem Silvikultur Intensif/TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif)
Pada Kegiatan Pemanenan Kayu di Hutan Alam Indonesia” sebagai salah satu
tugas dari mata kuliah Pemanenan Hutan ini dapat penulis selesaikan dengan baik
dan beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah
ini sehingga dapat tersusun dengan semestinya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan lanjutan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Hutan .................................................................................... 3
2.2 Hutan Hujan Tropis............................................................................. 4
2.3 Pemanenan Hutan.............................................................................. 5
2.4 Sistem Silvikultur ................................................................................ 8
2.4.1 Dasar Pertimbangan Pemilihan Sistem Silvikultur................... 9
2.4.2 Macam-macam Sistem Silvikultur ............................................ 10
2.5 Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) .................................. 14
2.5.1 Pengertian Sistem Dasar TPTII ............................................... 14
2.5.2 Tahapan Kegiatan Sistem TPTII .............................................. 15
2.5.3 Evaluasi Sistem TPTII .............................................................. 17
III. PEMBAHASAN
3.1 Keunggulan Sistem Silvikultur TPTII .................................................. 21
3.2 Konsep Sistem Silvikultur TPTII ......................................................... 21
3.3 Implementasi Sistem Silvikultur TPTII ............................................... 22
3.4 Dampak Perlakuan Sistem Silvikultur Terhadap Vegetasi Di Hutan
Alam Tropika ...................................................................................... 27
3.5 Komposisi dan Struktur Tegakan Areal IUPHHK-HA PT. Erna
Djuliawati Kalimantan Tengah ............................................................ 29
3.5.1 Komposisi Jenis ........................................................................ 29
3.5.2 Struktur Tegakan ....................................................................... 31
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan ........................................................................................ 34
4.2 Saran ................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII ....................................................... 16
Tabel 2. Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan
LOA TPTII dua tahun berdasarkan tingkat pohon dan
permudaan ........................................................................................ 30
iv
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Hutan Hujan Tropis ....................................................................... 4
Gambar 2. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Primer ................................ 32
v
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Dokumentasi Pembagian Tugas Via daring.................................................... 38
vi
I. PENDAHULUAN
guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Sutisna, 2001).
Sedangkan teknik silvikultur adalah penggunaan teknik-teknik atau perlakuan
terhadap hutan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan
(Elias, 2009). Teknik silvikultur menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.11/Menhut-II/2009 antara lain berupa pemilihan jenis unggul, pemuliaan pohon,
penyediaan bibit, manipulasi lingkungan, penanaman, dan pemeliharaan.
Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah Tebang
Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). TPTII merupakan teknik silvikultur yang
merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan
Penanaman Pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Penebangan
dilakukan dengan limit diameter 40 cm. Pada Logged Over Area (LOA) hasil dari
tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor
yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m.
Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis
unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m2
(Indrawan, 2008).
1.2. Tujuan
Mengkaji dan menganalisis Penerapan Sistem Silvikultur Intensif/TPTII
(Tebang Pilih Tanaman Indonesia Intensif) Pada Kegiatan Pemanenan Kayu Di
Hutan Alam Indonesia
3
Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang
telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU dan 10o LS (Vickery,
1984). Menurut Ewusie (1980), ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi
klimaks pada daerah dengan curah hujan berlimpah, sekitar 2000-4000 mm per
tahun. Temperatur rata-rata berkisar atas 25-26 oC dengan kelembaban udara rata-
rata sekitar 80%.
Mulyana et al. (2005) mendefinisikan hutan hujan tropis sebagai hutan yang
selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m (biasanya jauh lebih
tinggi), bersifat higrofil, serta banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit
berkayu maupun bersifat herba. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang
5
dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman jenis yang tinggi, (2)
lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim, dan (3) siklus hara
tertutup.
Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B
(menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson) dan dapat dikatakan bahwa tipe
ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Pada daerah tersebut
biasanya memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol, dengan
drainase yang baik dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996 dalam Indriyanto
2006).
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis
dibedakan menjadi 3 (tiga) zone, yaitu hutan hujan bawah (2-1000 m dpl), hutan
hujan tengah (1000-3000 m dpl), dan hutan hujan atas (3000-4000 m dpl). Pada
hutan hujan bawah, jenis kayu penting yang biasanya mendominasi di hutan ini
berasal dari suku Dipterocarpaceae dengan genus seperti Shorea, Hopea,
Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Selain itu, terdapat juga genus-genus
lainnya seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Koompasia, Octomeles,
dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998). Sedangkan pada hutan hujan
tengah, jenis kayu umum yang sering dijumpai terdiri dari suku Lauraceae,
Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hamamelidaceae,
dan lain-lain. Sementara pada hutan hujan atas, jenis kayu utamanya terdiri dari
Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia,
Quercus, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998).
Komponen penyusun hutan hujan tropis terdiri dari 2 (dua) macam
komponen, yaitu abiotik dan biotik. Menurut Ewusie (1980), komponen penyusun
abiotik terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban atmosfer, angin, cahaya, dan
karbondioksida. Sedangkan komponen biotik yang menyusun hutan hujan tropis
antara lain adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat,
epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.
Pengenalan tujuan tersebut diharapkan mampu menjadi tolak ukur pola perilaku
masyarakat dalam memanfaatkan hutan terutama yang berada di sekitar kawasan
hutan. Tujuan pemanenan hutan secara jelas terdiri dari enam bagian seperti yang
terlihat pada uraian berikut ini :
penerapan Teknik silvikultur akan dicapai produksi kayu dengan kualitas dan
kuantitas yang tinggi, sehingga akan diperoleh keuntungan finansial yang tinggi
dengan tetap memelihara kesuburan tanah sesuai dengan kapasitas produksinya.
Jika sistem silvikultur memerlukan pengetahuan mengenai ekositem hutan, maka
Teknik silvikultur memerlukan pengetahuan mengenai pengaruh faktor-faktor
lingkungan terhadap pertumbuhan pohon.
merupakan hutan yang sejenis dengan kelas diameter yang seragam. Di Aceh juga
terdapat hutan murni Pinus merkusii dengan kelas diameter relatif seragam.
Dari segi kondisi fisik hutan atau tingkat kerusakan hutan di Indonesia saat
ini, hutan dapat dikelompokkan menjadi hutan primer yang relatif belum terganggu
dan hutan sekunder yang telah terganggu dengan tingkat kerusakan sedang dan
kerusakan berat. Hutan sekunder dengan tingkat kerusakan sedang misalnya
hutan-hutan yang ditinggalkan setelah dilakukan penebangan dengan sistem tebang
pilih. Di hutan-hutan ini masih banyak ditemui jenis-jenis pohon komersial dengan
diameter kurang dari 50 cm dan juga pohon-pohon bukan komersial yang
berdiameter besar. Semai, pancang dan tiang dari jenis-jenis pohon komersial
masih banyak tersebar di hutan tersebut. Untuk hutan sekunder dengan tingkat
kerusakan berat dapat digambarkan kawasan hutan yang tinggal ditumbuhi semak
belukar bahkan telah menjadi padang alang-alang.
Tiga hal di atas, yaitu fungsi hutan, ekosistem hutan (kondisi ekologis hutan),
dan kondisi fisik hutan harus menjadi bagian dalam pemilihan sistem silvikultur yang
tepat untuk kawasan hutan tersebut. Sebagai contoh hutan hujan tropis yang
memiliki kharakteristik multijenis dan multi kelas diameter tidak mungkin diterapkan
tebang habis, karena justru akan merugikan baik secara ekonomis (produksi),
ekologis (perlindungan), maupun sosial. Tidak semua jenis dan kelas diameter
bernilai komersial, sementara menebangnya tetap dikeluarkan blaya. Secara
ekologis banyak anakan pohon komersial yang pada umumnya membutuhkan
naungan diwaktu kecil akan mati karena kondisi lahan yang tiba-tiba terbuka.
Dengan curah hujan yang membuka hutan sekaligus juga akan menyebabkan erosi
dan terkikisnya tanah pucuk yang tipis. Hal ini akan menyebabkan menurunnya
kesuburan tanah untuk rotasi berikutnya. Secara sosial dengan hilangnya hutan,
masyarakat tidak dapat menjalankan aktivitasnya di hutan seperti biasanya. Oleh
karena itu, sistem silvikultur tebang pilih akan menjadi pilihan yang tepat untuk
ekosistem hutan seperti ini.
(the group selection system), sistem pelengkap (the accessory systems), sistem
trubusan (the coppice system), sistem tebang pilih dengan terubusan (the coppice
selection system), sistem coppice dengan standar (coppice with standard), konversi
(conversion), dan sistem agro-forestry (Agro- forestry systems).
Dalam sistem silvikultur tebang habis, kawasan hutan dibagi kedalam petak-
petak yang secara berurutan akan ditebang habis, dimana seluruh pohon yang ada
di dalamnya ditebang. Setelah penebangan kemudian dilanjutkan dengan
penanaman baik secara alami atau secara buatan. Yang dimaksud dengan sistem
peneduh/penaung (the shelterwood systems) adalah suatu sistem silvikultur dimana
permudaan dilakukan di bawah naungan tegakan yang tua atau di samping tegakan
yang tua. Termasuk dalam sistem silvikultur ini adalah sistem merata (the uniform
system), dimana naungan pada satu petak ditebang habis sehingga diperoleh
tegakan seumur; sistem kelompok (the group system) dimaksudkan untuk sistem
silvikultur dimana fasilitasi pertumbuhan kelompok-kelompok yang potensial untuk
dikembangkan dilakukan dengan cara memperluas areal bukaan; sistem
peneduh/penaung tidak merata (the irregular shelterwood system), jika tebang
pembebasan dilakukan secara terus menerus sepanjang waktu untuk memfasilitasi
permudaan sehingga terbentuk tegakan tidak seumur; sistem jalur (the strip
systems) jika jalur yang sempit dibuat untuk tujuan perlindungan dan permudaan;
serta sistem peneduh/penaung tropis (the tropical shelterwood system), yaitu sistem
silvikultur diterapkan dengan cara menebang atau mematikan tanaman-tanaman
pengganggu, seperti liana dan pencekik, serta pohon-pohon dengan tajuk pada
lapisan tengah untuk memberikan lingkungan yang lebih baik untuk permudaan
alami.
Sistem tebang pilih (the selection system) berbeda dengan sistem sistem
yang lain yang telah disebutkan di atas. Dalam sistem ini penebangan dilakukan
pada pohon-pohon secara individu yang berada tersebar di seluruh areal hutan.
Penebangan ini akan memberikan kondisi yang mendukung permudaan alam untuk
tumbuh dengan baik. Hasil dari sistem tebang pilih ini adalah tegakan yang tidak
seumur, karena permudaan yang ditinggalkan adalah berbagai ukuran.
Sistem tebang pilih kelompok (the group selection system) diterapkan untuk
memfasilitasi permudaan jenis-jenis yang memerlukan cahaya. Dalam sistem
tebang pilih, karena yang ditebang hanya satu pohon maka bukaan (gap) yang
dihasilkan tidak luas sehingga hanya cocok untuk permudaan-permudaan yang
membutuhkan naungan. Untuk sistem silvikultur tebang pilih kelompok, penebangan
dilakukan pada kelompok pohon sehingga bukaan yang ditimbulkan cukup luas
12
Konversi juga berarti restorasi dari hutan yang rusak menjadi lebih produktif dan
lestari menggunakan satu sistem silvikultur tertentu.
Sistem agro-forestry Agro-forestry systems) juga termasuk dalam sistem
silvikultur menurut Matthews (1992), yaitu sebagai varian dari tebang habis dengan
permudaan buatan yang dibantu oleh tanaman pertanian/pakan ternak yang
sengaja di tanam. Di Indonesia sistem ini telah dilaksanakan sejak jaman
penjajahan Belanda, dimana tanaman pertanian ditanam pada saat penanaman jati
untuk menekan pertumbuhan gulma sekaligus memberikan penghasilan bagi para
penggarap. Pada waktu penulis mendapat kesempatan untuk mengambil program
Master di Selandia Baru, sistem ini juga diterapkan untuk membangun hutan Pinus
radiata. Setelah tebang habis, kemudian tanah diolah dengan traktor. Selanjutnya
pada tanah yang sudah diolah tadi disebar benih campuran rumput dan legum untuk
menekan pertumbuhan gulma. Hasil penelitian Mansur (1994), sistem ini
memberikan pertumbuhan kepada bibit yang ditanam lebih baik dibandingkan
membiarkan tanah terbuka atau ditumbuhi dengan gulma.
Lamprecht (1986) menambahkan adanya system silvikultur di hutan-hutan
tropis yaitu perubahan hutan secara bertahap (gradual transformation system), dan
sistem konversi. Perubahan hutan secara bertahap berarti dalam tahap permudaan,
penanaman atau anakan alam jenis tertentu saja yang biasanya dari jenis-jenis
komersial yang difasilitasi pertumbuhannya. Jika sistem ini diterapkan di hutan alam
tropis, maka hutan yang semula kaya akan jenis akan secara bertahap didominasi
oleh jenis-jenis komersial tertentu. Sedangkan yang dimaksud sistem konversi
menurut Lamprect (1986) adalah mengganti secara total suatu areal hutan dengan
hutan buatan dalam areal yang cukup luas. Sistem konversi di Indonesia barangkali
dapat diidentikkan dengan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang
menggantikan hutan alam.
Nyland (2002) menambahkan adanya sistem tebang pohon induk (seed-tree
system), yaitu sistem silvikultur yang menghasilkan tegakan seumur dimana untuk
memfasilitasi permudaan dilakukan penebangan sebagian besar dari pohon-pohon
yang telah dewasa dan hanya meninggalkan beberapa pohon penghasil biji yang
tumbuh tersebar di areal tersebut. Sistem silvikultur ini dapat diterapkan untuk
pohon-pohon penghasil biji yang melimpah dan penyebarannya dengan angin.
Pinus merkusil di Takengon-Aceh Tengah menunjukkan potensi untuk dikelola
menggunakan sistem silvikultur ini karena permudaan yang demikian intensif di
tanah-tanah terbuka di sekitar hutan pinus ini.
14
BPK No. P.9/VI/BPHA/2009. Namun dasar dan landasan pemikiran sistem ini masih
perlu diabadikan untuk pembelajaran generasi mendatang.
Pengelolaan hutan pada hutan perawan (virgin forest) maupun hutan bekas
tebangan (log over area) secara Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)
dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal 1.000 hektar per tahun
selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal
pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50
cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock
sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat
diman Mengingat keseragaman individu penyusun tegakan pada akhir rotasi tebang
diperkirakan memiliki keseragaman yang tinggi, maka model ini akan berfungsi
sebagai transisi perubahan sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan
menjadi sistem silvikultur intensif.
Dengan meningkatnya potensi hutan, maka luas areal hutan alami fungsi
produksi yang digunakan untuk menghasilkan kayu pertukangan akan semakin kecil
sehingga alokasi areal untuk konservasi genetik akan bertambah luas. Dengan
demikian komponen keanekaragaman yang ada sebagai sumber plasma nutfah dan
keanekaragaman jenis akan dapat dipertahankan. Areal konservasi yang terjaga
dapat dipergunakan untuk penelitian hasil hutan lainnya, misalnya penghasil lemak,
minyak, senyawa kimia dan bioaktif.
Dengan meningkatnya produktifitas, maka lokasi tanaman dapat lelbih
leluasa diterapkan terutama dengan mempertimbangkan aspek asesibilitas, jarak
angkut dan sarad serta topografi yang mendukung. Akibatnya akan semakin banyak
areal hutan yang dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu sebagai kawasan
perlindungan dan pengatur tata air, sumber plasma nutfah, suaka alam, hutan
lindung, taman wisata, pendidikan dan lain-lain.
Tujuan umum sistem TPTII adalah membangun hutan tropis lestari dinamis,
yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya.
Sedangkan tujuan khusus silin TPTII adalah membangun hutan sebagai transisi
menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal.
maka tata urutan pelaksanaan kegiatan sistem silvikultur TPTII adalah sebagai
berikut :
Tabel 1.Tahap Kegiatan Sistem TPTII
Menurut Sutisna (2005) sistem silvikutur TPTII memiliki beberapa ciri yang
mendasar, diantaranya yaitu :
1. Diterapkan sistem Reduce Impact Logging (RIL)
2. Ruang tumbuh tegakan dibuka mendekati tingkat optimal dengan fleksibilitas
dalam menetapkan batas limit diameter pohon yang ditebang sedemikian rupa
sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan dapat cukup
terakomodasi secara seimbang.
3. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan masukan teknologi
yang memadai, dengan jarak antar jalur tanam 20 m.
4. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam
yang terletak diantara jalur-jalur tanaman.
Pemanenan kayu sistem TPTII meliputi penebangan pohon, pembagian
batang, penyaradan, operasi TPn dan pengangkutan kayu. Pada tahap awal
kegiatan penyiapan lahan sistem TPTII, dapat dimanfaatkan sejumlah kayu yang
berasal dari tebang penyiapan lahan (40 cm up) dan tebang pembuatan jalur tanam
(20 cm up).
Pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur intensif Tebang Pilih
Tanam Indonesia Intensif (TPTII) bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis,
yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya.
Secara khusus, silin TPTI bertujuan untuk membangun hutan sebagai transisi
menuju hutan tanaman meranti dan menjamin fungsi hutan yang optimal.
17
III. PEMBAHASAN
3.2 Konsep Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)
Konsep sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)
merupakan penyempurnaan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
yang menekankan aplikasi manipulasi silvikultur yang intensif dalam membangun
hutan dengan alasan utama peningkatan produksi tegakan pada rotasi berikutnya
khususnya pada areal bekas tebangan (Log Over Area) Diperlukan sistem silvikultur
yang memiliki kesederhanaan kegiatan dalam arti hanya berisi tahapan kegiatan
yang sesuai dengan realistis lapangan yang sifatnya site spesifik (kondisi setempat).
Sistem silvikultur TPTII menjanjikan keuntungan ekologis, ekonomis dan
sosial secara seimbang. Keuntungan ekologis yang dijanjikan sistem ini adalah
komposisi hutan yang dibangun tetap seperti hutan asli (dominasi jenis-jenis dari
famili Dipterocarpaceae). Keuntungan ekonomis adalah adanya jaminan produksi
pada rotasi berikutnya tanpa harus mengalokasikan dana khusus untuk
pembangunannya karena bisa ditutupi dari tebang penyiapan lahan. Keuntungan
sosial yang didapatkan dari sistim TPTII adalah bisa menyerap jumlah tenaga kerja
22
yang lebih besar jumlahnya tanpa harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
Smith (1986) dalam Maman, S. (2003) mengemukakan bahwa perumusan sistem
silvikultur yang baik diawali dengan analisa faktor-faktor alami (biogeofisik) dan
sosial ekonomi. Sistem yang dibuat harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Memiliki kesesuaian dengan tujuan pengelolaan dan karakteristik kepemilikan
hutan.
b. Memiliki kesesuaian dengan peremajaan hutan.
c. Memiliki sistem yang efisiensi dalam penggunaan lahan hutan.
d. Memiliki sistem yang mampu menjamin kelestarian hasil.
e. Memiliki sistem yang mampu menggunakan modal dan potensi tegakan
seoptimal mungkin.
f. Memiliki kemampuan mengatur lokasi kegiatan sedemikian sehingga terpusat
dan efisien.
Maman, S. (2006) sistem silvikultur TPTII yang diterapkan harus memenuhi
beberapa prinsip yang utuh yaitu adanya kesesuaian sistem silvikultur dengan
karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya, pertimbangan yang
menyeluruh tentang nilai-nilai sumber daya hutan, pertimbangan biaya/manfaat
ekonomi dan kesesuaian sistem silvikultur dengan tujuan pengelolaan.
Menilai konsep sistem silvikultur hendaknya memperhatikan secara
konprehensif aspek rasionalitas di lapangan. Sistem silvikultur yang baik haruslah
berdasarkan data perspektif hutan. Sistem silvikultur yang baik harus
memperhatikan dampak aplikasi terhadap sasaran dasar silvikultur itu sendiri yaitu
struktur hutan yang terjadi, komposisi jenis paska aplikasi, kerapatan dan
lingkungan edafik ekosistem hutannya.
lapangan yang dilakukan oleh perusahaan contoh. Kondisi data yang diidealkan
akan menyebabkan penafsiran dan pengambilan keputusan yang keliru. Ini sering
dilakukan oleh HPH (paska TPTI, contoh pada pengukuran riap petak ukur
permanent) dan bahkan HPH tidak mau mengirimkan laporan hasil pengukurannya
kepada Departemen Kehutanan.
Menejemen hutan tidak dapat diterapkan dengan benar jika tidak
mengetahui dan mengerti aspek ekologi hutan yang akan dikelola. Data dasar
seperti identifikasi jenis, struktur hutan, komposisi hutan, kerapatan, permudaan dan
riap pertumbuhan harus dengan benar diketahui agar tidak mengalami kesalahan
pengelolaan hutan (Efendi, R. 1997). Data yang benar adalah data yang berasal
dari pengukuran lapangan. Aspek apa saja yang akan dikaji hendaknya diukur
secara benar dan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sampai
saat ini, laporan dari HPH pencoba masih sekitar data dalam tahap pengukuran
awal.
Namun dapat dikatakan bahwa bila formulasi sistem silvikultur yang
berdasarkan data perspektif hutan dilaksanakan maka sistem silvikultur yang
diterapakan akan berbeda pada setiap kondisi dan tempat. TPTII yang sedang
digalakkan inipun kalau bukan berdasarkan data perspektif hutan tidak akan dapat
memenuhi harapan kelestarian hutan yang diidam-idamkan. Sistem silvikultur apa
saja yang diterapkan akan gagal (menambah kehancuran ekosistem hutan) bila
tidak dilaksanakan atas dasar data yang benar. Hal ini mendukung pegetahuan
yang benar dengan karakter produktivitas hutan yang sedang dikelola sehingga kita
mampu memprediksi hasil yang didapatkan dari setiap kegiatan silvikultur yang
dilakukan.
Melihat kondisi hutan bekas tebangan dewasa ini yang cukup banyak variasi
kehancurannya, mulai dari hutan bekas tebangan, belukar tua, belukar dan alang-
alang maka tidak semua lagi areal hutan bekas tebangan bisa menerima aplikasi
sistem silvikultur TPTII ini. Untuk hutan bekas tebangan yang memiliki potensi
diatas 20 m³/ ha maka sistem ini mungkin masih memungkinkan diterapkan. Namun
menurut pengalaman lapangan jika pengusaha tak perduli dengan aturan dan pihak
yang berwenang mengurus hutan dengan tidak benar maka pelaksanaan lapangan
akan bisa hanya sebatas asal ada bukti.
Sistem silvikultur TPTII ini tidak mengcover seluruh tipe-tipe hutan bekas
tebangan termasuk hutan yang sudah menjadi belukar. Sementara masih banyak
yang dilakukan untuk hutan bekas tebangan yang sudah ditumbuhi oleh alang-
alang. Peluang untuk kembali ke keadaan semula (pemulihan) bahkan sampai ke
24
Hasil Hutan Alam) dibedakan mana yang bertipe A, B dan seterusnya yang
menggambarkan potensi pertumbuhan hutan yang dipengaruhi oleh tipe tanahnya.
Adanya reward sistem atas penghargaan kepada pengusaha yang
melaksanakan aturan dengan baik akan memberikan rangsangan khusus bagi
pemegang IUPHHA agar lebih berprestasi lagi dengan baik.
c. Kelayakan Sosial/ Kemasyarakatan
Alasan akan adanya status hukum yang jelas dengan adanya kegiatan
penanaman dalam hutan bekas tebangan oleh pemegang IUPHHK mungkin dapat
merubah pandangan sosial/ masyarakat tentang besarnya nilai investasi yang
dilakukan oleh perusahaan sehingga tidak begitu mudah lagi untuk tidak perduli
dengan hutan. Sedikit tidaknya masyarakat sudah mengerti bahwa akan ada sanksi
yang jelas bila masyarakat mengganggu hutan yang sedang diusahakan.
Ada beban psikologis sosial yang diperbesar oleh pengetahuan masyarakat
yang minim tentang manfaat dari hutan secara menyeluruh baik sebagai penyangga
kehidupan, sumber air, jaminan keragaman binatang dan tumbuhan. Semuanya ini
mempengaruhi bahkan menentukan lingkungan hidup masyarakat di sekitar hutan
dan dalam hutan. Masyarakat tidak boleh dianggap terpisah dari pengelolaan hutan.
Masyarakat harus dilibatkan sedemikian agar penghargaan terhadap keberadaan
status hutan dan pengusahaan hutan bisa mendapat pengakuan.
Pengelolaan hutan hendaknya memberikan kontribusi yang nyata bagi
anggota masyarakat sehingga menimbulkan rasa penghargaan atas keberadaan
perusahaan pengelola hutan dengan cara menghargai aset berupa tanaman hutan
yang dikelola. Sehingga tidak ada illegal occupation oleh anggota masayarakat dan
terjalin keharmonisan sesama tanpa adanya konflik lahan maupun hasil hutan.
pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan
kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum
pemanenan kayu dikurangi jumlah pohon yang dipanen.
Tingkat kerusakan tegakan tunggal di hutan alam tropika dapat dipengaruhi
oleh Teknik pemanenan kayu yang digunakan. Kegiatan pemanenan kayu dengan
system Conversional Logging mengakibatkan kerusakan yang besar pada tegakan
tinggal dan tanah. (Pinard et al. 1995; Hendrison 1990; Elias 1995). Sistem
pemanenan dengan Teknik Reduced Impact Logging dapat menekankan tingkat
kerusakan tegakan tinggal sampai 48% dan kerusakan yang besar pada tegakan
tinggal sampai 50%, areal yang terbuka akibat perbuatan jalan hutan dapat ditekan
sebesar 68% (Sukanda 2002).
Kerusakan tegakan tinggal dihutan alam tropika akibat kegiatan pemanenan
dengan system Convensional Loggig (CL) disebabkan oleh kegiatan penyaradan,
yaitu pohin rebah 88,32%, condong 4,47%, luka batang/kulit 4,47%, rusak tajuk,
banir dan batang 2,74% (Elias1993). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan
bahwa dampak pemanenan hutan alam di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan
penebangan dan penyaradan yang menyebabkan kerusakan tegakan tinggal
sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35% (Bertault dan Sist 1997;
Elias 1998).
Menurut hasil penelitian FAO (1998) di hutan hujan tropika Afrika dan
Amerika Selatan menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan hutan dengan
menggunakan Teknik pemanenan konvensional ( Convensional Logging) dapat
merusak tegakan tinggal dan kerusakan tanah yang cukup besar berkisar yaitu
antara 5-50%.
Di hutan hujan tropis amazon di Brazil menurut hasil penelitian Johns et al.
(1996) menunjukkan bahwa system pemanenan kayu dengan teknik Reduced
lmpact Logging dapat menekan tingkat kerusakan tegakan tinggal dan secara
ekonomi volumr kayu per Ha yang dihasilkan sangat menguntungkan dibandingkan
dengan menggunakan Teknik Conversional Logging.
Hasil penelitian CIFOR (1998) dibeberapa negara di dunia seperti Malaysia,
Brazil, Indonesia, Cameroon, Bolivia, Tanzania, dan Zambia menunjukkan bahwa
kerusakan tegakan tinggal dan tanah akibat kegiatan pemanenan hutan di hutan
hujan tropika dapat ditekan sampai 25% dengan menggunakan teknik Reduced
lmpact Logging.
29
3.5 Komposisi dan Struktur Tegakan areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati,
Kalimantan Tengah
Menurut Muller-Dombois dan Ellenberg (1974), istilah komposisi
dinyatakan sebagai kekayaan floristik hutan. Kekayaan floristik hutan tropika erat
kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana
faktor-faktor tersebut membentuk suatu tegakan klimak. Sedangkan struktur
vegetasi menyangkut susunan bentuk dari suatu vegetasi yang merupakan
karakteristik vegetasi komplek yang dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi
vertical dan horizontal (Richard 1966, diacu dalam Kongse 1995).
Tabel 2.Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII dua
tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan
karena proses suksesi masih terus berlangsung sehingga. Hal tersebut dapat dilihat
dari nilai jumlah jenis yang masih fluktuatif pada tiap tingkatan permudaannya.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan baik di hutan primer
maupun LOA TPTII setelah 2 (dua) tahun, menunjukkan bahwa komposisi jenis
yang ditemukan di areal penelitian sangat bervariasi pada semua tingkat
pertumbuhan. Komposisi jenis yang ditemukan di hutan primer cenderung lebih
banyak karena dianggap pada hutan primer tersebut telah terjadi kestabilan
sehingga jenis-jenis yang ada merupakan jenis-jenis yang telah beradaptasi dan
merupakan jenis puncak dalam proses suksesi.
Terjadinya perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan LOA
TPTII disebabkan karena terjadinya pemungutan hasil hutan melalui kegiatan
pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menyebabkan kerusakan pada tegakan
tinggal, sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi
jenis pada LOA TPTII tersebut. Perubahan komposisi jenis yang sedang terjadi di
LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan karena proses suksesi yang sedang
berlangsung. Kecenderungan jumlah jenis yang menurun pada LOA TPTII 2 (dua)
tahun dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang cocok untuk
mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu.
Gambar 3. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Bekas Tebang (LOA) Dengan
Teknik Silvikultur TPTII
4.1 KESIMPULAN
Adapun yang menjadi kesimpulan dari makalah ini yaitu:
1. Pada sistem silvikultur TPTII memiliki keunggulan yaitu:
- Kontrol pengelolaan lebih efisien, murah, dan mudah.
- Sedari awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis
terpilih sehingga pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari
hasil pemuliaan. Hal ini dapat diprediksi meningkatkan nilai produktivitas
sehingga kualitas produk dapat lebih baik.
- Target produksi bisa flexibel tergantung pada inestasi pada tanaman
(kayu sebagai produk metabolisme sekunder).
- Keanekaragaman hayati atau kondisi lingkungan menjadi lebih baik.
- Kemampuan produksi perusahaan semakin meningkat.
2. Perumusan sistem silvikultur yang baik diawali dengan analisa faktor-faktor
alami (biogeofisik) dan sosial ekonomi.
3. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropika salah satunya
adalah dapat dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang
ditinggalkan seperti vegetasi tegakan tinggal.
4.2 SARAN
Sistem TPTII di Indonesia bisa dilaksanakan dengan cara
meminimalisir dampak kerusakan yang ada hingga ke titik terendah.
35
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN