RINGKASAN DISERTASI
Dian Afriyanie
NIM: 35415004
(Program Studi Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota)
Februari 2020
Dian Afriyanie
NIM: 35415004
(Program Studi Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota)
Dian Afriyanie
NIM: 35415004
1. Latar Belakang
Peningkatan alihfungsi ruang hijau perkotaan menjadi lahan terbangun telah
memberikan tekanan terhadap struktur dan fungsi ekosistem perkotaan. Hal tersebut
menyebabkan berkurangnya kemampuan ekosistem perkotaan untuk menyediakan
beragam jasa ekosistem yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat (Li dkk.,
2005; Tzoulas dkk., 2007; Niemelä , 2014; Afriyanie dkk., 2018). Alihfungsi ruang
hijau perkotaan seringkali dipicu oleh peningkatan kebutuhan lahan untuk berbagai
aktivitas pembangunan dan manusia. Dalam banyak kasus, kontestasi ruang di
kawasan perkotaan selalu dimenangkan oleh kepentingan investasi untuk
menghasilkan keuntungan tertinggi, alih-alih untuk keberlanjutan ekosistem. Hal
tersebut merupakan persoalan politik yang sebagian besar diatur melalui
perencanaan tata ruang (Ernstson, 2008 dan 2013). Perencanaan tata ruang yang
menjadi acuan dalam alokasi penggunaan lahan masih berpihak pada pembangunan
ekonomi (Roggema, 2009; McCLure dkk., 2013; Galderisi & Menoni, 2015).
Menurut Hillier dan Healey (2010), perencanaan tata ruang merupakan upaya dalam
mengelola “distribusi spasial manusia dan non-manusia dan berbagai kegiatan
penggunaan lahan". Piagam EU Torremolinos (1983) mengakui bahwa
"perencanaan tata ruang dapat memberikan ekspresi geografis pada kebijakan
ekonomi, sosial, budaya dan ekologi masyarakat ”. Saat perhatian terhadap substansi
ekologi dalam praktik perencanaan mulai berkembang (Davoudi, 2009 dan Murdoch,
2006), teori perencanaan diklaim telah gagal untuk mengembangkan aspek substansi
(ekologi) perencanaan secara seimbang dengan perkembangan prosedur
perencanaan yang pesat (Wilkinson, 2011 dan Davoudi dan Strange, 2009).
Swyngedouw (2010) berargumen bahwa selama ini “intervensi perencanaan dalam
bidang lingkungan dipandang sebagai upaya kekerasan dalam mengubah koreografi
hubungan alam dan manusia melalui de-politisasi kebebasan dalam
memperjuangkan alam dan manusia secara sejajar”. Hal tersebut menyebabkan
aspek lingkungan diperlakukan sebagai empty signifier dan perjuangan untuk
mempromosikan substansi ekologis telah digantikan oleh perencanaan teknik-
manajerial, manajemen pakar dan administrasi (Swyngedouw, 2010).
Dalam konteks perencanaan ruang hijau perkotaan, hal tersebut tercermin melalui
penggunaan “Pendekatan Standar” dalam penyediaan ruang hijau perkotaan yang
didasarkan pada jumlah populasi (Olsson, 2012), tanpa mempertimbangkan
1
karakteristik dan keunikan dari bentang alam dan ekosistem di masing-masing
wilayah. Pendekatan standar hanya fokus pada kebutuhan masyarakat perkotaan
terhadap jasa ekosistem, namun belum mempertimbangkan kebutuhan ekosistem
perkotaan dalam mempertahankan struktur dan fungsinya untuk menjamin
ketersediaan jasa ekosistem bagi masyarakat perkotaan (Afriyanie dkk., 2018).
Berbagai penelitian telah menunjukkan kegagalan pendekatan standar dalam
menghasilkan ruang hijau perkotaan yang berkualitas untuk dimanfaatkan oleh
masyarakat perkotaan, khususnya untuk mempertimbangkan pola perubahan
demografi dan perubahan preferensi dan prilaku masyarakat perkotaan dalam
penyediaan ruang hijau perkotaan (Byrne dan Sipe, 2010).
Salah satu dampak dari degradasi ekosistem perkotaan adalah bencana banjir. Banjir
merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Asia, khususnya di kota-
kota delta sungai dan kota-kota pesisir (Dutta dan Herath, 2004). Di Asia, Indonesia
2
merupakan negara ketiga yang mengalami frekwensi kejadian banjir tertinggi antara
tahun 1973-2002 (ibid.). Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI)
dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), banjir merupakan bencana
yang paling sering terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir antara
2010 hingga 2019. DIBI mencatat pada tahun 2019 terdapat 343 kejadian banjir di
Indonesia dan mengakibatkan 1.045 orang luka-luka dan 94.493 rumah terendam
banjir.
3
2. Tujuan dan Sasaran Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkonseptualisasi peran socio-ecological
resilience (SER) dalam perencanaan ruang hijau perkotaan untuk mewujudkan
resiliensi banjir perkotaan. Adapun sasaran penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengevaluasi lokasi ruang hijau perkotaan saat ini dan masa depan berdasarkan
keadilan distribusi manfaat dan keberlanjutan jasa ekosistem pengendali banjir.
2. Menganalisis muatan kebijakan dan program terkait penanggulangan banjir saat
ini terhadap resiliensi banjir perkotaan di masa depan.
3. Menganalisis praktik tata kelola kawasan perkotaan melalui penyusunan
rencana tata ruang dan kajian lingkungan hidup strategis yang dilakukan selama
ini untuk menguak tantangan dalam mewujudkan kawasan perkotaan yang
adaptif terhadap perubahan dan ketidakpastian di masa depan.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran dalam memanfaatkan tiga
proposisi SER yang diajukan oleh Wilkinson (2011) dengan bingkai metodologi
critical realism. Fokus penelitian ini mengkaji kondisi dan dinamika sistem sosial-
ekologi (SES) yang terkait dengan resiliensi banjir perkotaan di Kota Bandung.
Penelitian SES di suatu daerah/wilayah memerlukan analisis yang dilakukan lintas
skala spasial dan temporal. Berdasarkan hal tersebut, wilayah penelitian ini meliputi
wilayah ekoregion yang berada di Hulu DAS Citarum, yang mencakup sistem
ekologi (ekosistem) dan sistem sosial yang berada di lokasi tersebut. Sistem ekologi
dibatasi oleh ekosistem yang berada di Hulu DAS Citarum; sedangkan sistem sosial
dibatasi oleh wilayah administrasi yang berada dibawah kewenangan Provinsi Jawa
Barat dan Kota Bandung. Terminologi sistem sosial dalam SES mengacu pada aspek
sosial, budaya dan ekonomi (Berkes dkk., 2003 dalam Wilkinson, 2011), sehingga
seluruh aspek dalam sistem sosial tersebut dianalisis dalam lingkup wilayah
administrasi Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung.
4
1. Kerangka Kerja Jasa Ekosistem yang merepresentasikan hubungan manusia dan
alam sebagai satu kesatuan, digunakan untuk mengevaluasi keadilan distribusi
manfaat dan keberlanjutan jasa ekosistem pengendali banjir dari distribusi ruang
hijau perkotaan.
2. Kerangka DPSIR digunakan untuk merepresentasikan dinamika perubahan
yang tidak linier dari SES dalam mengevaluasi muatan kebijakan dan program
penanggulangan banjir saat ini terhadap resiliensi banjir di masa depan.
3. Kerangka Karakteristik Perencanaan Resiliensi, Critical Institutional Analysis
and Development (C-IAD), serta kualitatif meta-inferensial digunakan untuk
menganalisis tata kelola penyusunan RTR dan KLHS dalam mewujudkan
kawasan perkotaan yang adaptif terhadap perubahan dan ketidakpastian di masa
depan.
5
Lima W dan satu Batasan Substansi Penelitian dari Komponen Resiliensi
H Resiliensi Banjir Perkotaan
Perkotaan
Why Ditujukan untuk mengurangi risiko banjir yang berupa
kerusakan dan kerugian serta populasi terdampak di
wilayah administrasi Kota Bandung. Dibatasi pada
kerentanan fisik (jenis kerusakan pada bangunan/Gedung,
infrastruktur publik dan tata guna lahan tertentu); serta dan
kerentanan sosial (populasi terdampak banjir).
How Dilakukan melalui penggunaan tiga hipotesis SER secara
utuh yang diajukan oleh Wilkinson (2011) dalam bingkai
Critical Realism melalui metoda analisis berikut:
• Kerangka Kerja Jasa Ekosistem
• Kerangka Kerja DPSIR
• Kerangka Karakteristik Perencanaan Resiliensi,
• Critical Institutional Analysis and Development (C-IAD)
Beberapa penjelasan tambahan dari batasan dan lingkup substansi penelitian pada
adalah sebagai berikut:
1. Ruang hijau perkotaan merujuk pada definisi yang telah disepakati oleh para
pakar ekologi, ekonomi, ilmu sosial dan perencana yaitu: “public and private
open space in urban areas, primarily covered by vegetation, which are directly
or indirectly available for users” (Haq, 2011).
2. Konseptualisasi ruang hijau perkotaan di Indonesia disederhanakan menjadi
RTH di kawasan perkotaan, namun merujuk pada definisi diatas penelitian ini
memperluas cakupan ruang hijau perkotaan dengan menambahkan lahan
pertanian dan kawasan lindung yang ditetapkan oleh pusat dan daerah yang
berada di kota Bandung. Berikut ini pembatasan tipologinya untuk masing-
masing ruang hijau perkotaan yang menjadi obyek dalam penelitian ini:
2.1 RTH (merujuk pada PERMEN PU No. 05/PRT/M/2008) dengan tipologi
berikut: secara fisik: alami dan non-alami; secara fungsi: ekologis; secara
struktur: pola ekologis dan pola planologis; dan secara kepemilikan: RTH
Publik dan Privat.
2.2 Kawasan Lindung dan lahan pertanian yang ditetapkan oleh:
2.2.1 Pemerintah Pusat dan Provinsi dan dicantumkan dalam rencana
tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat 2009-2029 dan
RTRW Kota Bandung 2011-2031 serta rencana detil tata ruang
dan peraturan zonasi (RDTR dan PZ) Kota Bandung 2015-2035.
2.2.2 Kota Bandung dalam RTRW Kota Bandung 2011-2031 dan
RDTR dan PZ Kota Bandung 2015-2035.
6
Gambar 1. Strategi Penyelidikan dan Tahapan Penelitian melalui Critical Realism
7
4. Hasil dan Pembahasan
Temuan analisis penelitian ini disajikan dalam tiga bagian yang ditujukan untuk
mencapai tiga sasaran penelitian dan disajikan dalam tiga subbab berikut. Setiap
subbab memuat metoda analisis yang lebih detil, hasil temuan analisis dan sintesis
penelitian.
8
jasa ekosistem untuk pengendali banjir direpresentasikan oleh indeks jasa ekosistem
pengendali banjir dan indeks risiko banjir (tabel 2). Sedangkan strategi resiliensi
banjir perkotaan beserta indikatornya fokus pada keberlanjutan jasa ekosistem
(resilient supply) dan keadilan distribusi manfaat dari jasa ekosistem pengendali
banjir (tabel 3).
Tabel 2. Kriteria Model Kerangka Kerja Jasa Ekosistem Pengendali Banjir dan
Metoda Analisisnya
1
Misalnya: RTH lindung alami, RTH Hutan Kota, RTH Pelestarian Alam, RTH
Perlindungan Setempat, dan lainnya.
9
Strategi Resiliensi Indikator untuk Pengendali Banjir
Banjir
menyediakan jasa pengendali banjir (Kondisi
masa depan).
Keadilan distribusi Kapasitas untuk menyediakan kebutuhan (demand)
manfaat (equitable pengendali banjir bagi masyarakat rentan,
distribution) diindikasikan oleh:
• Penyediaan dan/atau ko-produksi ruang hijau
perkotaan untuk pengendali banjir yang sesuai
dengan indeks kebutuhan di setiap wilayah
(kondisi baseline dan masa depan).
Gambar 2. Alur analisis pemodelan spasial untuk evaluasi ruang hijau perkotaan
Analisis supply dan demand jasa ekosistem dapat mengungkap disparitas spasial dari
keduanya yang dapat dijadikan panduan untuk mengidentifikasi lokasi prioritas dari
ruang hijau perkotaan. Penyediaan jasa ekosistem di kawasan perkotaan tidak hanya
tergantung pada struktur dan fungsi ekosistem, namun juga diproduksi oleh
masyarakat perkotaan melalui keputusan dan preferensi dari sistem sosial (Ernstson,
2013). Dalam penelitian ini, keputusan dan preferensi dari kelompok masyarakat
tertentu sebagai dalam memproduksi jasa ekosistem dikonseptualisasi berupa
sebaran ruang hijau perkotaan saat ini dan masa depan yang dimuat dalam rencana
10
tata ruang dalam hal ini adalah RDTR dan PZ Kota Bandung 2015-2035. Analisis
interaksi dinamis SES dalam hal ini tidak hanya mempertimbangkan supply dan
demand jasa ekosistem, namun juga memperhatikan sebaran ruang hijau perkotaan
yang ada saat ini dan masa depan. Analisis tersebut dapat memberikan informasi
sejauhmana ruang hijau perkotaan saat ini dan masa depan mempertimbangkan
keadilan distribusi manfaat dan keberlanjutan jasa ekosistem pengendali banjir.
Gambar 2 menunjukkan alur analisis pemodelan spasial kerangka kerja jasa
ekosistem di tahap ini.
Hasil analisis menunjukkan adanya disparitas antara supply dan demand jasa
ekosistem pengendali banjir di Kota Bandung. Kondisi supply diindikasikan oleh
rendahnya kualitas jasa ekosistem pengendali banjir, sedangkan kondisi demand
diindikasikan oleh tingginya kebutuhan pengendali banjir. Kondisi tersebut
dipengaruhi oleh minimnya luas ruang hijau perkotaan di Kota Bandung. Penyebab
utamanya antara lain adalah alihfungsi lahan hijau menjadi kawasan terbangun untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan populasi di Kota Bandung. Pada
periode 1990 hingga 2008, pembangunan kawasan perumahan dan komersial di
Kota Bandung meningkat sekitar 50 persen, dan ruang hijau perkotaan di Kawasan
Bandung Utara berkurang sekitar 60 persen dari rencana awal (Tarigan dkk., 2016).
Hasil analisis spasial menunjukkan luas total lahan hijau (termasuk badan air dan
tanah kosong/gundul) di Kota Bandung pada tahun 2014 sebesar 51,46 persen dari
luas wilayah. Di masa depan, melalui RDTR dan PZ, Kota Bandung berencana untuk
meningkatkan kawasan perumahan menjadi 52,33 persen; serta kawasan
perdagangan dan jasa menjadi 16,08 persen, sehingga hanya akan menyisakan
kawasan RTH dan pertanian sebesar 8,71 persen dan 0,41 persen.
Di sisi lain, praktik pelanggaran tata ruang di kawasan lindung juga menjadi
penyebab penyusutan luas ruang hijau perkotaan di Kota Bandung. Direktur Jenderal
Pengendalian Pemanfatan Ruang dan Pengendalian Tanah Kementerian Agraria,
Budi Situmorang (7 Februari 2019) menyatakan bahwa antara tahun 2015-2018
terdapat 4.400 rumah dan villa di Kawasan Bandung Utara yang terbukti melanggar
ketentuan tata ruang. Ketua Satuan Tugas Penegakan Hukum Lingkungan Provinsi
Jawa Barat, Anang Sudharma (2 November 2016) menyatakan bahwa terdapat tujuh
lokasi di wilayah Kawasan Bandung Utara yang peruntukan zonasinya dalam RDTR
Kota Bandung 2015-2035 tidak sesuai dengan RTRW Kota Bandung 2011-2031 dan
tidak sesuai dengan persetujuan substansi Provinsi terhadap rancangan RDTR Kota
Bandung 2015-2035 (sebelum disahkan menjadi PERDA). Ketidaksesuaian tersebut
berupa pengubahan zona hijau2 menjadi kuning3 di empat lokasi, dan pengubahan
zona kuning menjadi merah 4 di tiga lokasi di Kawasan Bandung Utara. Kasus
2
Zona hijau diperuntukan untuk kawasan lindung.
3
Zona kuning diperuntukan untuk kawasan perumahan.
4
Zona merah diperuntukan untuk kawasan komersil.
11
pelanggaran tata ruang di Kota Bandung dan sekitarnya didominasi oleh alihfungsi
lahan hijau menjadi kawasan permukiman dan perdagangan dan jasa. Kondisi
tersebut dikonfirmasi oleh data yang dikumpulkan Isradjuningtias (2017), Walhi
Jawa Barat (2013 dan 2016) serta Majalah Tempo (2018).
Tabel 4. Jenis tutupan lahan dan ruang hijau perkotaan saat ini
12
Gambar 3. Ketidaksesuaian penempatan ruang hijau perkotaan saat ini
Temuan analisis pada tabel 5 juga menunjukkan bahwa wilayah yang saat ini berupa
tanah kosong, sawah, permukiman, badan air, dan lahan pertanian akan
dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan, jalan, kawasan campuran, serta
kawasan perdagangan dan jasa di masa depan. Wilayah tersebut memiliki kebutuhan
tinggi terhadap jasa ekosistem pengendali banjir dan berlokasi di kecamatan Regol,
Bandung Kidul, Gedebage, Antapani, Arcamanik, Cinambo, dan Buahbatu yang
sebagian dari wilayah permukimannnya dihuni oleh ribuan populasi miskin.
13
Alihfungsi lahan tersebut mengindikasikan dua hal yaitu: 1). kebijakan alokasi ruang
di kawasan perkotaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Bandung (melalui
RDTR dan PZ 2015-2035) lebih dominan untuk mengakomodir kepentingan dan
pertumbuhan ekonomi dibandingkan kebutuhan masyarakatnya terhadap ruang hijau
perkotaan; 2). adanya ketimpangan kepemilikan lahan di kawasan perkotaan sebagai
akibat marketisasi lahan perkotaan
Tabel 5. Jenis tutupan lahan dan ruang hijau perkotaan di masa depan
14
Karakteristik Wilayah Ruang Hijau Perkotaan Tutupan Lahan
dan Pola Ruang Dominan (tahun 2014)
Dominan (berdasarkan
RDTR 2015-2035)
terdapat ruang hijau RTH Perlindungan
perkotaan Setempat.
Pasokan rendah-kebutuhan RTH Lindung Alami, Pertanian, Sawah,
sangat rendah-terdapat RTH Pelestaran Alam, Semak belukar.
ruang hijau perkotaan RTH Privat.
Pasokan sangat rendah- Perumahan, Jalan, Tanah kosong/gundul,
kebutuhan tinggi-tanpa Perdagangan & Jasa, Sawah, Permukiman.
ruang hijau perkotaan
Pasokan sangat rendah- Perumahan, Jalan, Sawah, tanah kosong,
kebutuhan sangat tinggi- kawasan campuran. badan air.
tanpa ruang hijau
perkotaan
Pasokan rendah-kebutuhan Perumahan, Badan Air, Pertanian,
tinggi-tanpa ruang hijau Perdagangan dan jasa, tanah kosong.
perkotaan jalan.
15
dan mitigasi banjir tersebut dapat dilakukan di lokasi yang berkebutuhan tinggi
terhadap jasa pengendali banjir namun tidak memiliki ruang hijau perkotaan.
Berbagai upaya adaptasi tersebut antara lain: pembangunan sumur rentensi air,
sistem jaringan drainase yang terkoneksi dan terdesentralisasi, sumur biopori,
pengerukan sedimentasi sungai. Selain itu rencana penyediaan RTH Pelestarian
Alam di utara Kota Bandung pada masa depan, yang saat ini didominasi oleh lahan
pertanian, dapat menjadi bagian dari upaya mitigasi melalui rehabilitasi lahan
dan/atau reforestasi. Di sisi lain, penerapan intensitas pemanfaatan lahan berupa
koefisien dasar bangunan (KDB)5, koefisien dasar hijau (KDH)6 dan koefisien lantai
bangunan (KLB)7 di wilayah risiko banjir tinggi dan di wilayah penyumbang banjir
juga dapat diterapkan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan ruang
hijau perkotaan.
Berbagai upaya adaptasi dan mitigasi banjir tersebut perlu dipastikan keberadaannya
dalam indikasi pemanfaatan ruang berupa program dan kegiatan yang dimuat dalam
lampiran rencana tata ruang. Hal tersebut merupakan fokus pada tahap analisis
selanjutnya yang diuraikan pada subbab 4.2. Analisis tahap ini telah menunjukkan
bahwa distribusi ruang hijau perkotaan di Kota Bandung yang ada saat ini dan
direncanakan di masa depan belum mempertimbangkan keadilan distribusi manfaat
dan keberlanjutan jasa ekosistem. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh: 1).
Luputnya analisis dalam memperhitungkan manfaat jasa ekosistem dalam
perencanaan dan alokasi ruang hijau perkotaan yang dilakukan melalui pendekatan
standar; 2). Adanya ketimpangan kepemilikan lahan di kawasan perkotaan; dan 3).
Dominasi kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam pemanfaatan
ruang di kawasan perkotaan yang difasilitasi dalam RDTR dan PZ 2015-2035.
Analisis lebih lanjut diperlukan untuk memastikan dan/atau mengkonformasi tiga
penyebab tersebut, khususnya melalui analisis yang dilakukan secara menyeluruh
terhadap muatan kebijakan dan program terkait penanggulangan banjir yang ada saat
ini. Di sisi lain, pemodelan ruang hijau perkotaan melalui konseptualisasi kerangka
kerja jasa ekosistem yang dilakukan pada tahap ini, telah dapat digunakan untuk
memfasilitasi operasionalisasi konsep water sensitive city, khususnya pilar kedua
yaitu kota sebagai penyedia jasa ekosistem.
5
KDB adalah perbandingan antara luas dasar bangunan terhadap luas persil.
6
KDH adalah perbandingan antara luas ruang terbuka di luar bangunan untuk penghijauan
terhadap luas persil.
7
KLB adalah perbandingan antara luas lantai bangunan terhadap luas persil.
16
faktor yang berpengaruh terhadap kondisi tersebut antara lain adanya ketimpangan
kepemilikan lahan di kawasan perkotaan, pelanggaran tata ruang yang berujung pada
alihfungsi lahan hijau, dominasi kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi
dalam pemanfataan ruang yang difasilitasi oleh RDTR dan PZ 2015-2035, serta
luputnya memperhitungkan manfaat jasa ekosistem dalam perencanaan dan
penyediaan ruang hijau perkotaan.
Pembahasan analisis pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh muatan
dari berbagai kebijakan dan program terkait penanggulangan banjir yang ada saat ini
terhadap resiliensi banjir perkotaan di masa depan. Definisi resiliensi perkotaan8
yang dimaksud merujuk pada definisi yang diajukan oleh Meerow dkk. (2016) dan
spesifik ditujukan untuk mengatasi banjir. Kerangka DPSIR dimanfaatkan sebagai
alat analisis dengan mengkonseptualisasi indikator dari masing-masing variabelnya
berdasarkan hasil temuan analisis subbab 4.1 dan kerangka teoritis mengenai
penyebab banjir (tabel 6). Indikator untuk variabel D-P-S-I dianalisis dalam dua
periode yaitu baseline dan masa depan agar dapat mengevaluasi sejauhmana muatan
kebijakan dan program (indikator R) dapat mewujudkan resiliensi banjir di masa
depan. Wilayah penyumbang banjir di Kota Bandung diidentifikasi berdasarkan
hasil pemodelan hidrologi berbasis DAS yang dilakukan saat melakukan pemodelan
hidrologi untuk menyusun peta inundasi. Hasil analisis hidrologi dalam bentuk titik-
titik lokasi yang mengalami inundasi paling tinggi di Kota Bandung, dianalisis lebih
lanjut untuk mengetahui sebaran spasial dari wilayah yang mempengaruhi tingginya
8
Resiliensi perkotaan adalah kemampuan sistem perkotaan -dan seluruh jaringan sosial-
ekologis dan sosial-teknisnya di setiap skala temporal dan spasial- untuk mempertahankan
atau kembali ke fungsi yang diinginkan secara cepat dalam menghadapi gangguan, untuk
beradaptasi dengan perubahan, dan untuk bertransformasi dengan cepat dari sistem yang
membatasi kemampuan adaptif saat ini dan masa depan.
17
inundasi tersebut. Wilayah penyumbang banjir tersebut meliputi wilayah di Hulu
DAS Citarum yang melintasi batas administasi Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat (gambar
5).
Tabel 6. Ruang lingkup wilayah dan indikator DPSIR; serta metoda analisisnya
18
Variabel Indikator Ruang Lingkup Metoda Analisis
DPSIR Wilayah
pelanggaran tata
ruang.
Pressure • Alihfungsi Wilayah • Analisis spasial
lahan penyumbang melalui
• Perubahan banjir di Regional intersection
iklim (Hulu DAS (overlay) terhadap
• Land- Citarum) dan data tutupan lahan
subsidence Lokal (Kota dan pola ruang
Bandung) dalam RTR.
• Analisis tematik
terhadap data land-
subsidence (Ge
dkk., 2014 dan Du
dkk., 2017) dan
data iklim.
State Luas wilayah Lokal (Kota Hasil analisis subbab
dengan nilai IJE Bandung) namun 4.1
sangat rendah perhitungan
Luas genangan parameter Hasil analisis subbab
inundasi didasarkan pada 4.1 melalui pemodelan
analisis hidrologi hidrologi J2000 melalui
di Hulu DAS Jena Adaptable
Citarum Modelling System.
(landscape
ecosystem-based)
Impact Risiko kerugian Lokal (Kota Hasil analisis subbab
akibat banjir berupa Bandung) 4.1.
jumlah populasi
terdampak dan nilai
kerugian akibat
banjir.
Response Kebijakan dan Regional Analisis tematik
program terkait (Provinsi Jawa terhadap berbagai
resiliensi banjir, Barat) dan Lokal dokumen kebijakan dan
yang meliputi: (Kota Bandung) program terkait.
kebijakan RTR,
kebijakan
lingkungan dan
program adaptasi.
19
Berdasarkan Kerangka Kerja DPSIR, setiap persoalan yang diindikasikan oleh
masing-masing indikator D-P-S-I dapat diatasi melalui berbagai intervensi kebijakan
dan program yang khusus untuk masing-masing persoalan tersebut. Asumsi awal
dari penelitian ini adalah berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan
penanggulangan banjir di Kota Bandung saat ini dapat dan/atau ditujukan untuk
mengatasi masing-masing persoalan dari indikator P-S-I pada kondisi baseline. Hasil
temuan analisis menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program tersebut justru
semakin meningkatkan persoalan dari indikator P-S-I di masa depan (tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan kondisi D-P-S-I pada kondisi baseline dan masa depan
20
Indikator Kondisi Baseline Kondisi Masa Depan
D-P-S-I
Risiko Jumlah populasi terdampak Jumlah populasi terdampak
kerugian banjir = 13.430 jiwa banjir = 108.791 jiwa
akibat banjir Total nilai kerugian akibat Total nilai kerugian akibat
(Impact) banjir = USD 70.095. banjir = USD 272.384.
Analisis resiliensi banjir perkotaan di Kota Bandung pada tahap ini merupakan hasil
analisis dari interaksi dinamis sistem sosial-ekologi perkotaan antar skala spasial dan
antar skala temporal. Pengaruh berbagai muatan kebijakan dan program terhadap
persoalan dan penyebab banjir dianalisis melalui metoda kualitatif dan kuantitatif
yang telah dijelaskan pada tabel 6. Berbagai kebijakan dan program yang dianalisis
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan rencana tata ruang dan kebijakan ekstraksi air tanah yang ditujukan
untuk mengatasi persoalan alihfungsi lahan, perubahan iklim dan land-
subsidence, yang terdiri atas:
a. RTRW Provinsi Jawa Barat 2009-2029
b. RTRW Kota Bandung 2011-2031
c. RDTR dan PZ Kota Bandung 2015-2035
d. PERDA No. 03/2001 tentang Pajak Air Tanah, dan
e. PERWAL No. 242/2017 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Air Tanah.
2. Kebijakan lingkungan yang ditujukan untuk mengatasi persoalan rendahnya
kualitas jasa ekosistem dan inundasi banjir, yang terdiri atas:
a. KLHS RTRW Provinsi Jawa Barat 2009-2029
b. KLHS RTRW Kota Bandung 2011-2031
c. KLHS RDTR dan Peraturan Zonasi Kota Bandung 2015-2035
d. PERDA 25/2009 tentang Hutan Kota
e. PERDA 07/2011 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dan
Masterplan Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung 2012-2032
3. Program adaptasi banjir yang ditujukan untuk mengatasi risiko banjir berupa
jumlah populasi terdampak dan nilai kerugian akibat banjir, yang dimuat dalam
beberapa dokumen rencana pembangunan berikut:
a. Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum
2019-2025 Provinsi Jawa Barat
b. Indikasi Program pada RTRW Kota Bandung 2011-2031
c. Indikasi Program pada RDTR dan Peraturan Zonasi Kota Bandung 2015-
2035
d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung
2013-2018
e. Realisasi Rencana Kerja Pemerintah Kota Bandung 2017
21
Merujuk pada definisi resiliensi perkotaan dari Meerow dkk. (2016), hasil analisis
menunjukkan terbatasnya kemampuan sistem sosial-ekologi perkotaan di Kota
Bandung untuk mengatasi persoalan banjir perkotaan dan beradaptasi dengan risiko
perubahan iklim di masa depan. Hal tersebut disebabkan karena muatan kebijakan
dan program penanggulangan banjir yang berada dibawah kewenangan Kota
Bandung belum sepenuhnya bersinergi dengan kebijakan dan program yang
dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat dalam mewujudkan resiliensi banjir perkotaan
di masa depan. Berdasarkan temuan analisis, beberapa faktor yang menyebabkan hal
tersebut antara lain adalah:
1. Rencana tata ruang Kota Bandung (RTRW dan RDTR) memiliki fokus yang
dominan untuk mengakomodir pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penduduk; serta belum dapat mengatasi keterlanjuran pelanggaran tata ruang.
Kebijakan rencana tata ruang tersebut berimplikasi terhadap penyusutan luas
ruang hijau perkotaan di wilayah penyumbang banjir secara siginifikan di masa
depan. Beberapa temuan analisis yang mengindikasikan kondisi tersebut antara
lain:
a. Penetapan dua pusat pertumbuhan (Alun-alun dan Gedebage) serta
beragam kawasan industri yang tersebar di 8 sub-wilayah kota sebagai
wujud dalam mengakomodir kepentingan nasional dalam penetapan Kota
Bandung sebagai kota inti dari Pusat Kegiatan Nasional.
b. Peningkatan luas ruang hijau perkotaan tidak dilakukan melalui
penambahan luas kawasan lindung secara signifikan, namun melalui
penambahan luas RTH Privat dan RTH Publik. Penambahan luas RTH
Privat dilakukan melalui mekanisme intensitas pemanfaatan ruang (KDB,
KLB dan KDH). Sedangkan penambahan luas RTH Publik dilakukan
melalui mekanisme bonus zoning dan pengalihan hak membangun (transfer
of development rights). Penambahan luas RTH Publik melalui dua
mekanisme tersebut dilakukan berbasis prinsip sukarela dan mekanisme
pasar, sehingga manfaatnya belum dapat diukur khususnya dalam
penambahan luas ruang hijau perkotaan di lokasi yang membutuhkannya.
c. Ketidaksesuaian alokasi ruang antara RDTR dengan RTRW Kota Bandung
mengindikasikan terjadinya pelanggaran tata ruang. Hingga buku disertasi
ini disusun, belum terdapat upaya dalam penyelarasan kedua kebijakan
tersebut, khususnya dalam mengembalikan fungsi kawasan lindung yang
telah berubah menjadi lingkungan terbangun. Hal serupa juga terjadi
dengan kasus pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh beberapa
kelompok masyrakat tertentu. Sejauh ini penindakan terhadap pelanggaran
tata ruang hanya dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
2. Rencana tata ruang dan KLHS di Kota Bandung belum memperhitungkan
manfaat dan nilai ekonomi jasa ekosistem serta analisis risiko banjir di masa
depan. Sehingga persoalan alihfungsi lahan hijau, land-subsidence dan
perubahan iklim yang menjadi penyebab rendahnya kualitas jasa ekosistem
serta meningkatnya luas dan intensitas inundasi banjir di masa depan belum
22
dapat diatasi. Luputnya perhitungan dan analisis tersebut antara lain disebabkan
oleh: a). Ketidaktersediaan data dan informasi daya dukung lingkungan di
tingkat lokal/kota, contohnya informasi mengenai inundasi dan risiko banjir di
masa depan pada skala kota; b). Penggunaan metoda analisis daya dukung
lingkungan dalam penyusunan rencana tata ruang dan KLHS yang tidak
memungkinkan analisis interaksi dinamis sistem sosial-ekologi perkotaan serta
analisis kinerja jasa ekosistem; c). Minimnya pengetahuan dan kapasitas
penyusun dokumen rencana tata ruang dan KLHS dalam menganalisis daya
dukung lingkungan dengan keterbatasan data dan informasi.
3. Dalam aspek pengendalian ekstraksi air tanah untuk mengatasi land subsidence,
belum terdapat instrumen kebijakan yang efektif dalam mengurangi praktik
ekstraksi air tanah yang tidak berkelanjutan oleh sektor industri. PERDA dan
PERWAL mengenai pajak air tanah, hanya mengatur tata cara pemungutan
pajak, namun tidak mengatur batas ketentuan pengambilan air tanah yang
memperhatikan prinsip daya dukung lingkungan.
4. Prinsip dan karakteristik resiliensi berupa redundancy, diversity dan safe failure
yang diindikasikan dalam rencana dan program adaptasi banjir belum berbasis
analisis risiko banjir. Sehingga berbagai upaya adaptasi dan mitigasi untuk
menambah luas ruang hijau perkotaan dan mengurangi luas dan intensitas
inundasi belum diidentifikasi secara spesifik pada lokasi-lokasi yang
membutuhkannya di masa depan. Selain itu PERDA tentang hutan kota dan
pengelolaan RTH ditujukan untuk pengelolaan ruang hijau perkotaan yang
sudah ada, tidak menambah luasnya. Di sisi lain, masterplan ruang terbuka hijau
2012-2032 belum dapat diimplementasikan karena belum terdapat dasar hukum
operasional yang berupa Peraturan Walikota untuk mendukung
implementasinya.
23
Penyusunan RTR dan KLHS di wilayah studi tidak terlepas dari aturan, pedoman
dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Desentralisasi penataan ruang
telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola ruang di
wilayah administrasinya sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik fisik,
lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi di masing-masing wilayah. Hirarki sistem
penataan ruang membatasi kewenangan tersebut agar sesuai dengan arah
pengembangan ruang untuk beragam program pembangunan yang ditentukan oleh
pemerintahan yang memiliki hirarki lebih tinggi. Dalam konteks tata kelola, hal ini
bermakna bahwa praktik tata kelola yang mengacu pada berbagai aturan dan
kebijakan dipengaruhi oleh kapasitas masing-masing partisipan yang terlibat untuk
menggunakan kekuasaan dan pengetahuannya dalam mentransformasi dan/atau
mereproduksi aturan dan sumberdaya sehingga menghasilkan hasil akhir yang
dikehendaki maupun tidak dikehendaki.
Proses tersebut dapat dianalisis melalui Kerangka Critical Institutional Analysis and
Development (C-IAD) yang dikembangkan oleh Whaley (2018). Kerangka C-IAD
mengindikasikan adanya interaksi antar partisipan dalam sebuah situasi sosial
dengan konteks field, domain dan arena tertentu (Gambar 6). Analisis terhadap
praktik tata kelola dapat dilakukan dengan memahami interaksi antar partisipan
dalam situasi sosial tersebut. Situasi sosial dalam Kerangka C-IAD menjadi kunci
utama untuk memahami interaksi antar agen dalam menggunakan kekuasaan dan
pengetahuannya untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu dalam mengelola
sumberdaya (Gambar 7). Analisis terhadap praktik tata kelola dari masing-masing
partisipan melalui C-IAD pada tahap ini menggunakan data dan informasi yang
dihasilkan dari temuan analisis pada subbab 4.1 dan 4.2; hasil evaluasi terhadap
pedoman penyusunan RTR dan KLHS yang dikaji terhadap karakteristik
perencanaan resiliensi (M.M. Sellberg dkk., 2018); serta hasil analisis terhadap
praktik penyusunan RTR dan KLHS yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
sejumlah narasumber. Berdasarkan hal tersebut, konseptualisasi dan lingkup
substansi yang dianalisis melalui C-IAD dalam penelitian ini disajikan pada tabel 8.
24
Gambar 6. Kerangka Critical Institutional Analysis and Development (Whaley,
2018)
25
Tabel 8. Konseptualisasi dan ruang lingkup analisis C-IAD
26
Komponen Konseptualisasi dan Lingkup Substansi dalam Penelitian
Framework C-IAD ini
dan KLHS di Kota Bandung; serta pengguna
pedoman penyusunan RTR dan KLHS.
Outcomes • Ketidakadilan distribusi manfaat dan
ketidakberlanjutan jasa ekosistem pengendali banjir.
• Belum memadainya muatan kebijakan dan program
terkait penanggulangan banjir saat ini untuk
mewujudkan resiliensi banjir di masa depan.
Analisis terhadap praktik tata kelola penyusunan RTR dan KLHS tidak dapat
terlepas dari pedoman dan praktik penyusunan keduanya. Beberapa pedoman
penyusunan RTR dan KLHS yang dianalisis dalam penelitian ini disajikan pada
tabel 9. Hasil analisis terhadap pedoman penyusunan RTR dan KLHS menunjukkan
bahwa berbagai pedoman tersebut belum mengacu pada karakteristik perencanaan
resiliensi. Hal tersebut berimplikasi muatan RTR dan KLHS yang disusun melalui
pedoman tersebut belum dapat menganalisis interaksi dinamis sistem sosial-ekologi
guna memberi perhatian seimbang antara aspek lingkungan, ekonomi dan budaya
dalam praktik perencanaan tata ruang.
27
Jenis Pedoman Nama dan Nomor Aturan Pedoman
Pedoman Lama Pedoman Baru
Kriteria Teknis 1. PERMENPU No. 41/PRT/M/2007 tentang Kriteria
Teknis Perencanaan Tata Ruang Kawasan
Budidaya
2. KEPPRES No. 32/1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung
Pedoman 1. PERMENLH No. 1. PP No. 46/2016 tentang
penyusunan KLHS 09/2011 tentang Tata Cara
Pedoman Umum Penyelenggaraan Kajian
Kajian Lingkungan Hidup
Lingkungan Strategis.
Hidup Strategis. 2. PERMENLHK No. P.69/
MENLHK/
SETJEN/KUM.1/12/2017
tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Kajian
Lingkungan Hidup
Strategis
Di sisi lain, praktik penyusunan RTR dan KLHS yang selama ini mengacu pada
berbagai pedoman tersebut, menghadapi berbagai tantangan dalam mengakomodir
muatan daya dukung lingkungan kedalam RTR. Berbagai narasumber mengakui
adanya berbagai tantangan berikut:
1. Belum memadainya analisis aspek fisik-lingkungan yang mengacu pada
pedoman penyusunan RTR.
2. Praktik alokasi RTH dan intensitas pemanfaatan lahan belum didasarkan pada
analisis daya dukung lingkungan, namun didasarkan pada kondisi yang sudah
ada di lapangan dan expert judgement.
3. Perumusan isu strategis dalam KLHS belum menggambarkan kondisi
lingkungan yang ada.
4. Analisis dampak KRP terhadap muatan KLHS belum memadai.
5. Integrasi rekomendasi KLHS kedalam muatan RTR belum memadai bahkan
dalam beberapa muatan tidak dilakukan.
6. Dominasi keputusan politik terhadap hasil kajian ilmiah.
7. Sistem hirarki perencanaan tata ruang yang berimplikasi pada kendala teknis
dan kendala hukum terkait dengan tingkat kedetilan skala peta.
8. Sistem manajemen proyek yang berimplikasi pada keterbatasan dana, data dan
kapasitas penyusun.
28
9. Terbatasnya partisipasi publik.
Berbekal temuan analisis tersebut serta temuan analisis pada subbab 4.1 dan 4.2,
praktik tata kelola kawasan perkotaan melalui penyusunan rencana tata ruang dan
KLHS di wilayah studi dilakukan oleh berbagai partisipan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Pemerintah Pusat menetapkan muatan kebijakan dan pedoman penyusunan
rencana tata ruang dan KLHS melalui pendekatan top-down. Hal ini
diindikasikan oleh:
a. Penetapan Kawasan Strategis Nasional dan Pusat Kegiatan Nasional di
Kawasan Perkotaan Bandung Raya untuk kepentingan ekonomi dilakukan
oleh Pemerintah Pusat di wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat dan
Kota Bandung.
b. Menetapkan aturan dan pedoman penyusunan rencana tata ruang dan
KLHS secara seragam melalui berbagai indikator teknis di seluruh wilayah
di Indonesia dan mengacu pada sistem hirarki perencanaan tata ruang yang
berbasis pada wilayah administrasi.
2. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung memanfaatkan kewenangan
desentralisasi perencanaan tata ruang. Hal ini diindikasikan oleh:
a. Penetapan Kawasan Hulu Sungai Citarum dan Kawasan Bandung Utara
sebagai Kawasan Strategis Provinsi untuk keberlanjutan daya dukung
dalam RTRW Propinsi Jawa Barat.
b. Penetapan dua pusat pertumbuhan kota (Alun-alun dan Gedebage) serta 8
sub-wilayah kota untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi; serta penataan
dan revitalisasi tiga kawasan lindung yang telah ada (Kawasan Babakan
Siliwangi, Kawasan Sungai Cikapundung, Kawasan Punclut) untuk
perlindungan daya dukung lingkungan dalam RTRW dan RDTR Kota
Bandung.
3. Pemerintah, DPRD dan masyarakat Kota Bandung melakukan pelanggaran tata
ruang di kawasan lindung melalui:
a. Perubahan alokasi ruang di tujuh lokasi yang berada di Kawasan Bandung
Utara (sebagian lokasinya merupakan kawasan lindung) yang ditetapkan
dalam RDTR dan PZ Kota Bandung untuk pembangunan hotel, apartemen
dan kondotel yang dapat mendukung kegiatan industri pariwisata. Hal
tersebut bertentangan dengan muatan RTRW Kota Bandung dan
persetujuan substansi RDTR dan PZ dari Provinsi Jawa Barat sebelum
pengesahan PERDA RDTR dan PZ Kota Bandung.
b. Pemanfaatan ruang di beberapa lokasi kawasan lindung oleh pihak swasta
untuk kepentingan investasi dan kegiatan ekonomi, khususnya
pembangunan hotel, apartemen dan kondotel yang dapat mendukung
kegiatan industri pariwisata.
4. Konsultan, pakar dan tim penyusun RTR dan KLHS Kota Bandung melakukan
penyederhanaan lingkup analisis daya dukung yang diindikasikan oleh:
29
a. Luputnya perhitungan manfaat dan nilai ekonomi jasa ekosistem serta
kajian risiko banjir pada skala kota dalam analisis daya dukung lingkungan
selama proses penyusunan RTR dan KLHS.
b. Analisis untuk penetapan nilai KDB, KLB dan KDH tidak dilakukan
berbasis analisis daya dukung, namun dilakukan berdasarkan kondisi yang
ada saat ini serta expert judgement.
c. Analisis daya dukung di kawasan Gedebage dilakukan berdasarkan pada
keputusan politis yang telah ditetapkan untuk pengembangan pusat
pertumbuhan baru.
Berbagai praktik yang dilakukan oleh para partisipan tersebut dilandasi oleh
beberapa mekanisme sebagai wujud dari strategi dan taktik dalam menerjemahkan
aturan penyusunan RTR dan KLHS kedalam praktik yang dilakukan oleh masing-
masing partisipan untuk mencapai tujuan. Mekanisme tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Sistem hirarki perencanaan tata ruang berbasis wilayah administrasi.
Mekanisme ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam menetapkan
kepentingan nasional berupa KSN dan PKN yang berada di wilayah
administrasi Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung untuk kepentingan
pertumbuhan ekonomi dan diadopsi dalam rencana tata ruang provinsi dan kota.
Selain itu pedoman penyusunan rencana tata ruang dan KLHS yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat secara seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia
ditujukan untuk memudahkan penyediaan layanan standar di setiap wilayah
administrasi melalui berbagai indikator teknis, namun hal tersebut belum
dirancang untuk menganalisis daya dukung lingkungan berbasis wilayah
ekoregion atau landscape ekosistem.
2. Penyediaan ruang hijau perkotaan yang fokus dalam meningkatkan luas RTH
Privat dibandingkan luas RTH Publik.
Mekanisme ini digunakan oleh Pemerintah Kota Bandung agar memiliki
keleluasaan untuk memperluas kawasan budidaya melalui alihfungsi lahan hijau
guna mendukung kegiatan investasi dan ekonomi. Hal tersebut berimplikasi
pada kebijakan pemerintah Kota Bandung dalam penyediaan ruang hijau
perkotaan yang lebih dominan untuk menyediakan RTH Privat dibandingkan
RTH Publik. Pencapaian target luas RTH sebesar 30 persen didominasi melalui
penyediaan RTH Privat. Penambahan luas RTH Privat dilakukan melalui
mekanisme intensitas pemanfaatan lahan (KDB, KLB dan KDH) pada setiap
persil lahan. Sedangkan perluasan RTH Publik fokus pada penyediaan RTH
Perlindungan Setempat berupa sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan
kereta api, sempadan danau dan mata air; serta melalui mekanisme bonus zoning
dan transfer of development rights yang berbasis pada prinsip sukarela dan
mekanisme pasar.
30
3. Posisi rencana tata ruang sebagai dokumen politis.
Proses pengesahan rencana tata ruang sebagai dokumen politis yang ditetapkan
melalui peraturan daerah Kota Bandung dilakukan melalui beberapa tahap.
Tahapan tersebut antara lain meliputi: penyusunan materi teknis yang dilakukan
oleh tim penyusun melalui supervisi tim tata ruang kota, dan partisipasi publik
dalam tahap perumusan isu dan sosialisasi konsep rencana; sinkronisasi atau
validasi peta tata ruang oleh Badan Informasi Geospasial, persetujuan substansi
muatan rencana tata ruang oleh Provinsi Jawa Barat, serta pengesahan PERDA
rencana tata ruang oleh DPRD Kota Bandung. Setiap tahapan dalam proses
tersebut dapat mengakomodir berbagai kepentingan para pihak dan masyarakat
yang terdampak dalam penetapan kebijakan rencana tata ruang. Di sisi lain
tingkat partisipasi publik masih terbatas dan hanya dilakukan pada tahap
penyusunan konsep rencana tata ruang yaitu saat perumusan isu strategis dan
sosialiasi konsep rencana. Saat ini belum terdapat mekanisme untuk
meningkatkan partisipasi publik yang lebih luas, khususnya untuk menguji
dampak konsep rencana terhadap daya dukung lingkungan secara ilmiah, serta
untuk berpartisipasi dalam mengajukan kepentingan dan/atau keberatan
terhadap konsep rencana tata ruang dalam proses pengesahan rencana tata ruang
di DPRD. Kondisi ini berpotensi untuk menguatkan kepentingan ekonomi
dalam rumusan rencana tata ruang oleh beberapa pihak dan/atau kelompok yang
memiliki akses dalam perumusan konsep rencana tata ruang dan pengesahan
PERDA rencana tata ruang.
4. Sistem manajemen proyek dalam penyusunan rencana tata ruang dan KLHS.
Proses penyusunan rencana tata ruang dan KLHS selama ini dilaksanakan
melalui mekanisme sistem manajemen proyek berbasis lelang dan/atau
swakelola yang didanai oleh APBD. Implementasi mekanisme tersebut
menimbulkan beberapa persoalan yang berimplikasi terhadap keterbatasan dana,
data dan kapasitas penyusun. Selama ini penyusunan kajian ilmiah untuk RTR
dan KLHS berada dalam berbagai kondisi keterbatasan tersebut, sehingga
berimplikasi terhadap rendahnya kualitas muatan daya dukung lingkungan
dalam RTR dan KLHS. Luputnya perhitungan manfaat dan nilai ekonomi jasa
ekosistem serta kajian risiko banjir di wilayah studi dalam analisis daya dukung
lingkungan merupakan implikasi dari adanya keterbatasan data, dana dan
kapasitas penyusun; yang didukung dengan metoda analisis yang dimuat dalam
pedoman penyusunan RTR dan KLHS belum memadai.
Berbagai praktik tata kelola yang dilakukan oleh para partisipan tersebut
menunjukkan bahwa masing-masing partisipan menerjemahkan aturan penyusunan
RTR dan KLHS melalui beragam strategi dan taktik dalam mencapai tujuan dan
sasarannya. Ragam strategi dan taktik tersebut mengindikasikan adanya kolaborasi
dan/atau kerjasama dari para partisipan dalam mewujudkan pemanfaatan ruang di
kawasan perkotaan untuk mendukung kepentingan pertumbuhan ekonomi. Aturan
mengenai pedoman dan prosedur perencanaan tata ruang yang tidak fleksibel,
31
berbasis indikator teknis dan belum memadai dalam memandu analisis daya dukung
lingkungan digunakan oleh para partisipan dalam mendukung tujuan pemanfaatan
ruang untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, keterbatasan data, dana dan kapasitas penyusun; serta keterbatasan
metoda analisis yang dimuat dalam pedoman penyusunan RTR dan KLHS
merupakan kondisi yang dialami oleh tim penyusun dalam menganalisis daya
dukung lingkungan di wilayah studi. Hal tersebut menyebabkan luputnya
perhitungan manfaat dan nilai ekonomi jasa ekosistem serta kajian risiko banjir di
wilayah studi dalam analisis daya dukung lingkungan. Implikasinya rekomendasi
KLHS untuk perbaikan KRP (pola dan struktur ruang) dalam RTR tidak memadai.
Di sisi lain, beberapa analisis untuk penentuan alokasi ruang tidak didasarkan pada
kondisi daya dukung lingkungan namun didasarkan pada expert judgement atau
keputusan politis. Sebagai contoh, intensitas pemanfaatan lahan (KLB, KDB, KDH)
didasarkan pada expert judgement atau kondisi intensitas yang sudah ada di lapangan;
alokasi RTH didasarkan pada ketersediaan lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh
pemerintah kota. Berbagai kondisi tersebut berimplikasi pada minimnya
pertimbangan daya dukung lingkungan dalam penentuan pola dan struktur ruang,
sehingga penyusutan ruang hijau perkotaan dalam RTRW dan RDTR Kota Bandung
cukup signifikan.
32
Selain itu, penegakkan hukum terhadap pelanggaran tata ruang seringkali diatasi
melalui sanksi administratif berupa denda. Upaya untuk mengembalikan fungsi
lindung di lokasi terjadinya pelanggaran tata ruang belum terindikasi di wilayah
studi. Sebagai contoh belum terdapat upaya untuk mengembalikan “zona kuning”
menjadi “zona hijau” yang dimuat dalam RDTR dan PZ 2015-2035 (tidak sesuai
dengan RTRW 2011-2031 dan persetujuan substansi dari Provinsi Jawa Barat).
Walaupun terdapat wacana untuk membatalkan RDTR dan PZ 2015-2035 (Ketua
Satgas Penegakan Hukum Lingkungan Provinsi Jawa Barat, 2016), namun hingga
saat ini dokumen kebijakan tersebut masih berlaku sebagai dasar bagi penerbitan ijin
lokasi dan IMB di Kota Bandung.
Praktik tata kelola kawasan perkotaan di wilayah studi selama ini dilakukan melalui
kolaborasi beberapa aktor untuk mengedepankan kepentingan ekonomi dan
mengabaikan pelanggaran tata ruang di kawasan lindung, namun tidak dilakukan
untuk penatalayanan ekosistem bagi keberlanjutan daya dukung lingkungan di masa
depan. Hal tersebut didukung oleh berbagai keterbatasan data, dana dan kapasitas
penyusun; serta pedoman penyusunan rencana tata ruang dan KLHS yang belum
dapat mengakomodir kondisi perubahan ekosistem di masa depan. Kondisi ini
menyebabkan muatan rencana tata ruang dan KLHS belum dapat mewujudkan
resiliensi banjir di masa depan sehingga memicu terjadinya ketidakadilan distribusi
manfaat dan ketidakberlanjutan jasa ekosistem di masa depan.
Temuan analisis pada subbab 4.2 yang menunjukkan tiga faktor penyebab muatan
kebijakan dan program terkait banjir belum dapat mewujudkan resiliensi banjir
perkotaan di masa depan. Ketiga faktor tersebut juga merupakan penyebab atau
berpengaruh terhadap praktik tata kelola yang tidak adaptif. Merujuk pada tantangan
perencanaan kontemporer yang dikemukakan oleh Healey (2010), berbagai faktor
penyebab tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua tantangan perencanaan
kontemporer yaitu tantangan analitis dan tantangan normatif. Berdasarkan definisi
Healey (2010) mengenai dua tantangan tersebut, maka rumusan tantangan praktik
perencanaan tata ruang di wilayah studi adalah sebagai berikut:
33
1. Tantangan normatif praktik perencanaan tata ruang di wilayah studi adalah
dominasi elit kekuasaan terhadap alokasi pemanfaatan ruang untuk kepentingan
pertumbuhan ekonomi melalui praktik klientelisme, pengabaian terhadap
pelanggaran tata ruang di kawasan lindung, serta keterbatasan partisipasi publik
yang berpotensi untuk menurunkan daya dukung lingkungan di masa depan.
2. Tantangan analitis praktik perencanaan tata ruang di wilayah studi adalah
gagasan dan ide mengenai pola dan struktur ruang dibentuk melalui serangkaian
pedoman, indikator teknis, dan pendekatan standar yang belum mampu untuk
memperhitungkan manfaat dan nilai ekonomi jasa ekosistem serta kajian risiko
iklim secara bermakna berbasis wilayah bentang alam (landscape ecology)
akibat pengaruh sistem hirarki perencanaan tata ruang yang berbasis wilayah
administrasi; serta akibat adanya kondisi keterbatasan data dan kapasitas
penyusun yang dipengaruhi oleh sistem manajemen proyek. Hal tersebut
berimplikasi pada minimnya kualitas kajian ilmiah yang menyebabkan rumusan
pola dan struktur ruang tidak adaptif terhadap perubahan dan ketidakpastian di
masa depan.
34
dapat dilaksanakan melalui analisis daya dukung lingkungan (manfaat dan
nilai ekonomi jasa ekosistem serta kajian risiko banjir) yang berbasis bentang
alam (wilayah ekoregion) dalam proses penyusunan RTR dan KLHS.
Pelaksanaan hal tersebut perlu diawali dengan pembenahan terhadap praktik
perencanaan tata ruang khususnya dalam mengatasi tantangan normatif dan
tantangan analitis. Pembenahan tersebut dapat dilakukan melalui implementasi
pendekatan transdisiplin dalam penyusunan RTR dan KLHS agar
memungkinkan kolaborasi antar pihak dalam penyediaan data dan sumberdaya
manusia yang berkualitas, serta penguatan partisipasi publik sebagai
mekanisme kontrol secara ilmiah terhadap praktik penyusunan RTR dan KLHS
sehingga dapat menyeimbangkan dominasi kepentingan pertumbuhan ekonomi
dalam alokasi pemanfataan ruang serta mewujudkan ruang yang inklusif dan
berkelanjutan di masa depan”
35
4. Penyediaan ruang hijau perkotaan berbasis SER tidak dapat terlepas dari praktik
perencanaan tata ruang yang dapat mewujudkan resiliensi perkotaan atau
kawasan perkotaan yang adaptif terhadap perubahan dan ketidakpastian di masa
depan. Berdasarkan hal tersebut penyusunan RTR dan KLHS perlu mengacu
pada perencanaan karakteristik resiliensi melalui:
a. Pendekatan transdisiplin yang memungkinkan kolaborasi antar aktor untuk
ko-produksi pengetahuan, data dan informasi
b. Pendekatan berbasis wilayah ekoregion atau ekosistem atau bentang alam
atau sekurang-kurangnya berbasis sub-DAS.
c. Identifikasi berbagai ancaman dan bahaya yang dapat terjadi di masa depan.
d. Penggunaan metoda dan alat analisis berbasis sistem sosial-ekologi sesuai
dengan kebutuhan analisis daya dukung lingkungan yang diperlukan di
masing-masing wilayah studi.
e. Perumusan pola dan struktur ruang diarahkan untuk mewujudkan kawasan
perkotaan (urban fabric dan/atau morfologi kota) yang mengacu pada
beberapa strategi resiliensi perkotaan yaitu: mengurangi akar kerentanan,
menguatkan kapasitas adaptasi, menangani threshold yang kritis dan
mentransformasi sistem.
f. Penguatan partisipasi publik dalam penyusunan RTR dan KLHS sebagai
mekanisme kontrol secara ilmiah; hal ini dapat dilakukan antara lain dengan
membentuk komite akademis independen yang memiliki keahlian dan
kewenangan dalam mengkaji metodologi yang digunakan dalam kajian
ilmiah.
5. Praktik tata kelola penyusunan RTR dan KLHS yang tidak adaptif dipengaruhi
oleh tantangan analitis dan tantangan normatif dari perencanaan tata ruang.
Hubungan kedua tantangan tersebut saling memperkuat dalam mempengaruhi
praktik tata kelola yang tidak adaptif. Temuan tersebut berkontribusi untuk:
a. Melengkapi hasil penelitian sebelumnya mengenai tantangan normatif
dalam praktik perencanaan rencana tata ruang di Indonesia (Firman, 1997;
Rukmana, 2015; Hudalah dan Woltjer, 2007; Winarso dan Firman, 2002).
b. Menguak secara utuh tantangan normatif dan tantangan analitis dari praktik
perencanaan tata ruang, sehingga memunculkan sebuah analisis baru
mengenai tantangan dalam praktik perencanaan tata ruang dalam bingkai
science-based policy.
36
6. Tindak Lanjut
Penelitian dalam menentukan lokasi prioritas ruang hijau perkotaan berperan
penting dalam mewujudkan resiliensi perkotaan, khususnya terhadap dampak
perubahan iklim. Ruang hijau perkotaan yang merupakan bagian dari green
infrastructure telah diakui oleh para pakar sebagai bagian penting dalam pergeseran
paradigma dari “perencanaan untuk pembangunan berkelanjutan” menuju
“perencanaan untuk membangun ruang yang resilient” (Meerow dan Newell, 2017).
Dalam konteks tersebut, sedikitnya terdapat dua usulan untuk penelitian lanjut
sebagai berikut:
1. Pemodelan green infrastructure yang mempertimbangkan keragaman manfaat
dari jasa ekosistem perkotaan.
Salah satu prinsip dasar dari green infrastructure adalah multifunctionality,
penelitian yang dapat mempertimbangkan keragaman manfaat dari jasa
ekosistem untuk menentukan lokasi green infrastructure serta menganalisis
trade-offs dan sinergi dari masing-masing jasa ekosistem perkotaan akan sangat
membantu dalam menentukan lokasi ruang hijau perkotaan sesuai dengan
kondisi ketersediaan dan kebutuhan masyarakat. Dalam analisisnya penelitian
tersebut juga perlu mempertimbangkan supply jasa ekosistem, preferensi dari
masyarakat mengenai jenis manfaat jasa ekosistem yang diperlukan dan/atau
diinginkan untuk diperoleh dari green infrastructure yang akan disediakan di
wilayahnya
2. Tata kelola penyusunan rencana tata ruang dan KLHS berbasis transdisiplin.
Sistem manajemen pekerjaan berbasis proyek melalui proses lelang yang
selama ini dilakukan dalam praktik penyusunan rencana tata ruang dan KLHS
dinilai tidak memampukan pendekatan transdisiplin dan belum efektif dalam
mengimplementasikan science-based policy. Penelitian untuk mengidentifikasi
tata kelola penyusunan rencana tata ruang dan KLHS yang dapat memampukan
kedua hal tersebut akan memberikan kontribusi terhadap praktik penyusunan
kedua kebijakan tersebut. Penelitian sebaiknya dilakukan dengan mengkaji
praktik tersebut -khususnya yang sudah mengacu pada pedoman dan aturan
terbaru yang telah diterbitkan oleh Kementerian ATR dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan- di beberapa provinsi, kota dan/atau
kabupaten di Indonesia agar dapat mengeneralisir temuan dengan kecukupan
data dan informasi.
37
Riwayat Hidup
Dian Afriyanie lahir di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1974, merupakan praktisi
dalam bidang pengurangan risiko bencana (PRB) dan adaptasi perubahan iklim (API)
di Indonesia. Dian meraih gelar S-1 (1999) di bidang teknik geodesi dan gelar S-2
(2004) di bidang perencanaan wilayah dan kota, keduanya diperoleh dari Institut
Teknologi Bandung. Dian memperoleh IPCC Scholarship Award yang didanai oleh
Prince Albert II of Monaco Foundation untuk mendukung sebagian biaya studi dan
penelitiannya di Program Studi Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut
Teknologi Bandung.
38
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan disertasi ini untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi pada
Program Studi Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. DR. Ir. Hariadi Kartodihardjo,
M.S.; DR. Sri Maryati, S.T., M.IP; DR. RM. Petrus Natalivan Indradjati, S.T., M.T;
dan Saut Aritua H. Sagala, S.T., M.Sc., Ph.D atas masukan dan sarannya yang sangat
membantu dalam mempertajam analisis dan temuan dari penelitian disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yus Budiono, M. Eng., Ph.D atas
diskusi dan sarannya mengenai pemodelan damage-scanner; dan Miga Magenika
Julian, S.T., M.T. atas diskusi dan bantuannya dalam pemodelan inundasi banjir.
Penulis juga berterima kasih kepada seluruh jajaran dosen di SAPPK ITB atas saran
dan masukannya selama penulis menempuh pendidikan. Tak lupa ucapan terima
kasih kepada Pak Itok dan Bu Jeane, serta teman-teman seperjuangan S3 atas segala
dukungan dan motivasi selama menempuh pendidikan.
Sebagian sumber pendanaan untuk biaya studi dan penelitian disertasi ini berasal
dari The IPCC Scholarship Award yaitu program beasiswa yang diselenggarakan
oleh The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dengan sumber
pendanaan dari The Prince Albert II of Monaco Foundation. Muatan ringkasan
disertasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan
pandangan maupun posisi dari The Prince Albert II of Monaco Foundation dan IPCC.
Akhirnya penulis sangat bersyukur atas kesabaran suami tercinta Mohamad Iqbal
Arifin yang mendampingi selama proses penelitian ini berlangsung. Semoga segala
kebaikan dan bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak merupakan amal
jariyah dan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap agar ilmu yang
ditimba selama masa studi dan hasil penelitian ini dapat menjadi ilmu yang
bermanfaat.
39