Anda di halaman 1dari 14

EVALUASI PELAKSANAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA

YOGYAKARTA TAHUN 2015-2019

Oleh:
Sintia Diah Kusuma1, Sofianna Hanum Tamara2, Naila Authori3, Fariza Widy Athia4

Departemen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Diponegoro
2020

A. PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
Peraturan Menteri PU No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan bahwa pengertian
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam UU No. 26 Tahun 2007,
secara khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
hijau, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota.
Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem
kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan nilai estetik kota. Proporsi 30%
Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat. Ruang
terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Sedangkan, ruang terbuka hijau privat, antara lain adalah kebun atau halaman
rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Ruang Terbuka Hijau juga diatur dalam Perwal (Peraturan Walikota) Yogyakarta
Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Ruang Terbuka Hijau. Sebagaimana dijelaskan dalam

1
14020118130055
2
14020118140096
3
14020118140107
4
14020118140112
Perwal tersebut bahwa Ruang Terbuka Hijau diperoleh dari alih fungsi lahan milik
pemerintah daerah dan pengadaan tanah oleh pemerintah daerah yang khusus
diperuntukkan menjadi Ruang Terbuka Hijau. Pengelolaan RTH diselenggarakan
berdasarkan asas-asas keterpaduan; keserasian, keselarasan, dan kesimbangan;
keberlanjutan; keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; keterbukaan; kebersamaan dan
kemitraan; perlindungan kepentingan umum; kepastian hukum dan keadilan; dan
akuntabilitas.

Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau juga dilaksanakan sesuai dengan tujuan dari
Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu tujuan ke 11 yaitu menjadikan kota dan
pemukiman inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan
kota dan permukiman yang berkelanjutan pada tahun 2030, melalui RAN TPB
ditetapkan 10 target nasional. Target-target tersebut antara lain meliputi pembangunan
kota yang terpadu, infrastruktur dan pelayanan perkotaan, serta risiko bencana dan
perubahan iklim di perkotaan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target-
target tersebut dijabarkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan
oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Pemerintah Daerah DIY, dalam
Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah 2017-2022, menetapkan sasaran
(indikator) pada tujuan 11 sebagai berikut: (1) Jumlah Rumah Tangga yang Tinggal
Hunian Layak dan Terjangkau; (2) Persentase penyediaan layanan angkutan umum
dalam trayek; (3) Penyiapan penyediaan sarpras angkutan perkeretaapian; (4)
Pengembangan Kawasan Keistimewaan; (5) Pemenuhan kebutuhan sarpras
keistimewaan; (6) Menurunnya Indeks Risiko Bencana (IRB); (7) Meningkatnya
cakupan penanganan sampah perkotaan (RAD Sanitasi); (8) Ruang Terbuka Hijau
(RTH); (9) Program Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana; (10) Program
Pengelolaan Kedaruratan dan Logistik Bencana; (11) Program Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana.

Suatu kebijakan ketika dietapkan tidak dapat diperlepas begitu saja tanpa adanya
evaluasi. Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai sejauhmana keefektitasan
kebijakan publik untuk dipertnggung jawabkan kepada publik dalam rangka mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dan kenyataan. Sehingga berbagai peraturan dari pemerintah mengenai Ruang
Terbuka Hijau juga perlu di evaluasi apakah pelaksanaanya sudah sesuai dengan tujuan,
perencanaan maupun regulasi mengenai Ruang Terbuka Hijau.

Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian


kebijakan yang menyangkut substansi, implementasi, dan dampak (Adreson; 1975).
Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan kepada seluruh proses
kebijakan. Sebagaimana pendapat yang dikemukakakn oleh William Dunn (184:358)
bahwa evaluasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah kebijakan dilaksanakan.
Fungsi dari evaluasi itu sendiri adalah sebagai berikut :

1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat
dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi
realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengindentifikasi
masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan
kebijakan. Dalam studi kasus mengenai RTH ini misalnya untuk mengetahui
bagaimanakah pelaksanaan program RTH di lapangan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh
para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan
prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. Dalam studi kasus mengenai RTH
berfungsi untuk mengatahui apakah pelaksanaan program sudah sesuai dengan
regulasi mengenai RTH.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke
tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari
kebijakan tersebut.

Terdapat beberapa macam evaluasi kebijakan, yaitu sebagai berikut :

1. Evaluasi administratif

Dilakukan dengan aspek finansial dan prosedur (dilakukan dalam lingkup


pemerintahan). Evaluasi administrati terdiri atas effort evaluation (mengevaluasi input
program), performance evaluation (menkaji output program), effectiveness evaluation
(mengkaji apakah pelaksanaanya sesuai dengan sasaran dan tujuan), efficiency
evaluation (membandingkan biaya dengan output yang dicapai), process evaluation
(mengkaji metode pelaksanaan, aturan dan prosedur dalam pelaksanaan)

2. Evaluasi yudisial
Evaluasi yang berkaitan dengan obyek-obyek hukum
3. Evaluasi politik
Evaluasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik

Dalam evaluasi yang akan dilakukan mengenai Ruang Terbuka Hijau ini lebih
pada evaluasi administratif karena akan lebih mengkaji bagaimana pelaksanaan program
kebijkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta, apakah sudah di jalankan dengan
baik sesuai dengan regulasi yang sudah ada dan apakah sudah efektif maupun efisien.

B. METODE EVALUASI
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Penggunaan desain penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
secara mendalam mengenai evaluasi pelaksanaan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Kota
Yogyakarta Tahun 2015-2019. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
mengevaluasi dilakukan dengan cara studi pustaka melalui kajian literatur dari berbagai
sumber, seperti jurnal, artikel, skripsi atau tesis, portal berita, dan data-data dari website
instansi yang berkaitan (Dinas Lingkungan Hidup, Bappeda).

Tabel 1. Daftar Literatur yang Digunakan


Judul Penulis Tahun Terbit
Identifikasi Area Pengembangan RTH Angelia, T., & 2019
sebagai Fungsi Ekologis Penyerap Air Santoso, E. B.
Hujan di Kecamatan Rungkut Kota
Surabaya. Tesis Program Studi
Pascasarjana Arsitektur, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
JURNAL PEMBANGUNAN WILAYAH & Eko, T., & Rahayu, 2012
KOTA, 8(4), p 330-340. Universitas S.
Diponegoro, Semarang.
Studi Kecukupan Ruang Terbuka Hijau Deni Hermawan & 2017
Ideal Di Kampus Perguruan Tinggi Untuk Diananta Pramitasari
Perencanaan Kampus Hijau Kasus
Amatan Wilayah Aglomerasi Kota
Yogyakarta Utara. Prosiding Seminar
Nasional Sekolah Tinggi Teknologi
Nasional Yogyakarta.
JURNAL TATALOKA, 17(4), p 196-208. Ratnasari, A., 2015
Universitas Diponegoro, Semarang. Sitorus, S., &
Tjahjono, B.
Analisis Faktor-Faktor Yang Tangguh Wicaksono 2011
Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan
Perumahan Untuk Tujuan Komersial Di
Kawasan Tlogosari Kulon Semarang.
Skripsi Fakultas Ekonomi, Universitas
Diponegoro.
JURNAL PENDIDIKAN GEOGRAFI, Muh. Zamroh 2014
2(1), p 109. IKIP Veteran Semarang.
Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Kurniawan Pambudi 2018
Hijau Terhadap Jumlah Penduduk
Melalui Pendekatan Spasial Berbasis
Objek di Kecamatan Umbulharjo
Yogyakarta. Skripsi Fakultas Geografi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Journal of Publik Policy and Management Dyah Lituhayu & 2016
Review, 5(2), 707-719. Universitas Kidung Sukma Dewi
Diponegoro, Semarang.
Evaluasi Ketersediaan Ruang Terbuka Dhaniar, N. M., & 2017
Hijau Dengan Pendekatan Berbasis Objek Sigit, A. A.
Di Kota Yogyakarta Tahun 2017 (Doctoral
Dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Lingkungan 2015-2019
(LAKIP) DLH. Hidup Kota
Yogyakarta.

C. HASIL EVALUASI
RTH RTH RTH RTH
Total RTH Total RTH
Tahun Privat Privat Publik Publik
(m2) (%)
(m2) (%) (m2) (%)
2015 4,782,750 14.72% 6,191,891 19.05% 10,974,641 33.77%
2016 4,782,750 14.72% 6,194,048 19.06% 10,976,798 33.78%
2017 6,697,480 20.61% 3,170,400 9.76% 9,867,890 30.37%
2018 4,203,129 12.93% 1,904,607 5.86% 6,107,736 18.79%
2019 4,203,129 12.93% 1,906,859 5.87% 6,109,988 18.80%
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah yaitu 32,5 km² atau dapat diartikan
1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007, luas
minimal RTH di wilayah perkotaan minimal 30% dari total luas wilayah kota, terdiri
atas RTH Publik 20% dan RTH Privat 10%. Sepanjang tahun 2015-2019, luas RTH
Kota Yogyakarta mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ketentuan baru tata cara penghitungan luas
RTH. Oleh karenanya, luas RTH tahun 2018-2019 tidak memenuhi target 30% luas
RTH.
Tabel 2. Data Luasan RTH Tahun 2015-2019

Gambar 1. Grafik Luasan RTH Tahun 2015-2019


35.00%

30.00%
(Sumber: LAKIP DLH Kota Yogyakarta Tahun 2015-2019)
25.00%

20.00%

15.00%

10.00%

5.00%

0.00%
2015 2016 2017 2018 2019

Luasan RTH Privat Luasan RTH Publik Total Luasan RTH


Data RTH Kota Yogyakarta pada tahun 2015 didapat angka luas RTH Publik
seluas 19.05 % (6,191,891 m2) serta luas RTH Privat seluas 14.72% (4,782,750 m 2).
Kemudian, pada tahun 2016 terdapat kenaikan luasan RTH Publik sebesar 0.01% yaitu
menjadi 19.06% sedangkan pada luas RTH Privat masih berada diangka yang sama.
Luas RTH pada tahun 2015-2016 tersebut mencapai 33,78% dimana hal ini dapat
dikatakan mencapai target ketentuan luas RTH suatu daerah yaitu minimal 30%.

Pada tahun 2017 terjadi perubahan luasan RTH Publik maupun Privat secara
drastis. Luasan RTH Privat melonjak naik menjadi 20.61% (6,697,480 m2). Namun, luas
RTH Publik turun drastis menjadi 9.76%. Meskipun terjadi perubahan angka, total luas
RTH tetap memenuhi syarat/target yaitu 30.37%.

Perubahan luas RTH pada tahun 2018 lebih drastis baik dari RTH publik maupun
privat. Total luas RTH Kota Yogyakarta pada tahun 2018 seluas 18.79% dimana luas
RTH Publik 5.86% (1,904,607 m2) dan luas RTH Privat 12.93% (4,203,129 m 2).
Sedangkan, data yang diperoleh pada tahun 2019 juga menunjukan angka yang sama
pada luas RTH Privat, hanya saja pada luas RTH Publik naik sebesar 0.01% menjadi
5.87%. Hal ini dapat dikatakan bahwa luas total RTH Kota Yogyakarta pada tahun
2018-2019 tidak mencapai target bahkan jauh dibawah target.

D. ANALISIS HASIL EVALUASI


1. Faktor Umum
Pengembangan Kota Hijau merupakan konsep perencanaan pembangunan Kota
berkelanjutan untuk menjamin keseimbangan lingkungan perkotaan dan sebagai respon
terhadap kerusakan lingkungan. Ruang terbuka Hijau merupakan salah satu atribut Kota
Hijau yang telah di atur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M/2008,
tentang penataan ruang. Untuk mewujudkan Kota Hijau, pemerintah telah mengatur
proporsi penyediaan Ruang Terbuka Hijau yaitu sebanyak 30%, terdiri dari paling
minimal 20% RTH Publik dan paling minimal 10% RTH Privat. Merujuk pada
peraturan tersebut maka RTH di daerah perkotaan sangat penting sekali peranannya.

Faktor pendorong dan penghambat pengembangan RTH dapat didasarkan pada


upaya mewujudkan kota berkelanjutan, yang mana dalam hal ini disebutkan oleh Lestari
(2013) faktor pendorong antara lain program pemerintah, anggaran, sumber daya
manusia, lingkungan alam. Sedangkan faktor penghambat adalah kerjasama beragam
pihak, profesionalisme SDM, dan responsibilitas masyarakat.

Kerjasama beragam pihak dalam hal ini menjadi penghambat karena proses yang
panjang akan membuat suatu tujuan tercapai dengan lambat, karena membutuhkan
kesepakatan semua pihak. Profesionalisme SDM sering tidak berjalan dengan baik
karena lemahnya pengawasan, dalam hal ini pengawasan terhadap program-program
lingkungan yang ada di masyarakat. Sedangkan responsibilitas masyarakat pada
umumnya apabila suatu kebijakan tidak menguntungkan masyarakat, maka
responsibilitas masyarakat rendah, sehingga perlu adanya kegiatan atau kebijakan yang
lebih memberikan keuntungan pada masyarakat sehingga masyarakat dapat
berpartisipasi dengan baik.

Dari penjelasan tentang faktor-faktor yang mendukung maupun menghambat


pengembangan RTH perkotaan, dapat diambil kesimpulan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pengembangan RTH secara umum dan RTH fungsi ekologis penyerap
air hujan secara khusus. Faktor-faktor yang dimaksud dalam pengembangan RTH, yaitu
berdasarkan persamaan penjelasan dari Pamekas dan Zulkifli dalam Angela (2017:47)
bahwa perkembangan pembangunan dengan adanya perubahan penggunaan lahan
sangat mempengaruhi keberadaan RTH. Dari perubahan penggunaan lahan ini dapat
ditarik indikator yaitu suboptimalisasi RTH, yang dapat dilihat dengan parameter
kualitas RTH, alih fungsi lahan yaitu jenis penggunaan bangunan.
Perubahan penggunaan lahan menjadi sama artinya dengan menurunnya luas
ruang terbuka hijau yang diakibatkan oleh banyaknya faktor. Faktor penyebab
perubahan penggunaan lahan menurut Khadiyanto dalam Eko (2012:330-340) adalah
aktivitas manusia dan perubahan alam. Faktor penambahan jumlah penduduk serta
adanya urbanisasi menyebabkan peningkatan kebutuhan akan sandang, pangan dan
papan. Faktor-faktor lain sebagai penyebab perubahan penggunaan lahan menurut
Rayes dalam Zamroh (2014:109) yaitu faktor politik, ekonomi, demografi, dan budaya.
Faktor politik dapat diartikan sebagai kebijakan yang dilakukan oleh pengambil
keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Faktor
ekonomi dapat dilihat dengan adanya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan
konsumsi penduduk, seperti meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal, rekreasi,
transportasi dimana semua adalah tuntutan penduduk disuatu wilayah. Faktor budaya
berpengaruh karena perubahan budaya menggeser arti akan kesederhanaan menjadi
kemewahan.

Penjelasan-penjelasan oleh pakar tentang perubahan guna lahan memiliki


persamaan seperti yang dijelaskan oleh Khadiyanto dalam Eko (2012) bahwa faktor
ekonomi dan kondisi alam menjadi faktor-faktor dalam perubahan guna lahan di suatu
wilayah, hal ini ditambahkan oleh Rayes dalam Zamroh (2014) bahwa demografi atau
kependudukan juga memiliki peran penting dalam perubahan penggunaan lahan.
Sedangkan Sujarto dan Napituliu dalam Wicaksono (2011:23) menyebutkan penyediaan
infrastruktur dan akesibilitas penduduk dalam melakukan perubahan juga menjadi
faktor dalam perubahan penggunaan lahan. Infrastruktur dalam hal aksesibilitas adalah
kondisi prasarana jalan yang sangat mendukung aktivitas manusia dalam suatu kawasan
tertentu, terutama dalam perekonomian.

Selain itu, terdapat perubahan perhitungan RTH Publik di tahun 2018 sampai
2019 sehingga RTH Publik di tahun tersebut menurun dari tahun sebelumnya. Biasanya,
data luasan RTH Publik diperoleh melalui data citra satelit. Digitasi citra satelit ini
idealnya
dilakukan setiap tahun, namun apabila tidak memungkinkan karena membutuhkan
waktu yang cukup lama maka akan dilakukan setiap 2 tahun. Pada saat tidak dilakukan
digitasi ulang dari citra satelit, data luas RTH Publik dihitung berdasarkan luas RTH
Publik dari data digitasi terakhir ditambah dengan luasan RTH Publik yang telah
dibangun dan jumlah pohon perindang yang ditanam (dengan asumsi luasan m2 tajuk =
600 pohon/1 Ha).

2. Faktor Khusus

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar yang memiliki banyak sekolah dan
perguruan tinggi, sehingga lahan ruang terbuka hijau turut berkurang karena dialihkan
pada penggunaan lahan kampus. Menurut Yunus dalam Hermawan (2017:399) kampus
Tabel 3. Data Jumlah Pendidikan Tinggi DIY
merupakan salah satu faktor terjadinya urbanisasi horizontal yang memicu adanya
perkembangan kota (urban sprawl). Hal tersebut akan mengakibatkan daerah pedesaan
berubah menjadi kekotaan, dengan mengalih fungsikan tata guna lahan yang
mengakibatkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau. Oleh karena itu kampus sebagai
fasilitas umum seharusnya memiliki peran penting terhadap kontribusi Ruang Terbuka
Hijau privat. Mengingat kebutuhan akan Ruang Terbuka Hijau harus dipenuhi oleh
suatu daerah minimal 30% dari luas daerah.

No Jenis Pendidikan Tinggi Jumlah


.
1. Universitas 26
2. Sekolah Tinggi 55
3. Institut 8
4. Politeknik 11
5. Akademi 37
Jumlah 137

Sumber data: https://forlap.ristekdikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt (dikutip oleh


Statistika Kepariwisataan DIY 2018 oleh Dinas Pariwisata DIY)

Kota Yogyakarta selain menjadi kota pelajar juga menjadi kota dengan tujuan
wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya wisatawan juga dapat
menyebabkan alih fungsi lahan menjadi gedung-gedung maupun bangunan hunian.
Kebutuhan akan pembangunan objek wisata baru juga semakin gencar. Hal ini dapat
menyebabkan banyaknya alih fungsi lahan terkhusus pada lahan Ruang Terbuka Hijau.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Data Statistika Kepariwisataan DIY tahun
2018, jumlah hotel bintang dan hotel non bintang yang ada di DIY adalah 685 dengan
jumlah wisatawan Kota Yogyakarta yaitu 219.332 wisatawan mancanegara dan
4.533.019 wisatawan nusantara, dengan jumlah total 4.752.351 wisatawan. Banyaknya
wisatawan tentunya berpengaruh terhadap perlunya pemenuhan serta pengembangan
kota agar lebih maju dan menarik lebih banyak wisatawan.

3. Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Keterbatasan RTH

Nirwono Yoga dan Iwan Ismaun dalam Angelia (2011:54) menjelaskan dalam
pencapaian RTH 30% maka strateginya, antara lain :

1. Menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun;


2. Membangun lahan hijau baru, dengan pembelian lahan;
3. Mengembangkan koridor ruang hijau kota;
4. Mengakuisisi RTH privat menjadi RTH kota;
5. Peningkatan kualitas RTH kota melalui refungsi RTH eksisting;
6. Menghijaukan bangunan (green roof/green wall);
7. Menyusun kebijakan hijau;
8. Memberdayakan komunitas hijau.

Upaya Pemkot Yogyakarta dalam memenuhi kuota minimal RTH 30% dari total
luas daerah telah dilakukan sejak lama yaitu berusaha untuk membeli tanah privat untuk
dijadikan RTH. Pemkot Yogyakarta telah mendapat banyak tawaran tanah dari warga.
Namun, Pemkot tidak bisa langsung membelinya begitu saja karena ada prosedur yang
harus dipenuhi. Prosedur pembelian tanah untuk RTH harus memenuhi syarat keluasan
lahan, lokasi, dan legalitas tanah. Pembelian lahan sebagai RTH publik juga harus
berdasarkan usulan warga. Tahun 2018 Pemkot Yogyakarta akan membeli lahan di
empat lokasi yaitu, Muja Muju, Karangwaru, Purbayan, dan Mantrijeron. Tanah yang
akan dibeli memiliki luas 300-800 m2. Seluruhnya adalah lahan terbuka tanpa bangunan
di atasnya. Pembelian tanah itu untuk melengkapi program 2017 yaitu membeli lahan di
tiga lokasi, Pringgokusuman seluas 225 m2, Purwokinanti (276 m2), dan Kricak (1.100
m2). 5

Menurut DLH Yogyakarta, untuk mengatasi tidak adanya lahan untuk pembuatan
RTH di Kota Yogyakarta, maka bisa dioptimalkan melalui pembangunan taman atau
penghijauan di roof top gedung-gedung besar.6 DLH Yogyakarta juga tengah
5
https://radarjogja.jawapos.com/2018/03/18/luas-rth-kota-jogja-jauh-dari-target/
6
https://jogja.tribunnews.com/2017/07/25/rth-yogyakarta-turun-jadi-18-persen
memproses pengalihan status tanah di bantaran sungai milik Balai Besar Wilayah
Sungai Serayu Opak (BBWSSO) menuju RTH milik Pemkot Jogja.7

4. PENUTUP
Kesimpulan

Pengembangan Kota Hijau merupakan konsep perencanaan pembangunan kota


berkelanjutan untuk menjamin keseimbangan lingkungan perkotaan dan sebagai respon
terhadap kerusakan lingkungan. Regulasi mengenai RTH pun sudah diatur secara lokal,
nasional, maupun internasional. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Yogyakarta dalam
pelaksanaanya belum sesuai dengan regulasi yang ada, karena dalam pelaksanaanya
RTH di Kota Yogyakarta lebih banyak RTH privat dibandingan dengan RTH Publik.
Dapat dilihat salah satunya pada data tahun 2017 bahwa RTH publik hanya sejumlah
9,76% sedangkan RTH privat mencapai 20,61%. Dalam data terakhir tahun 2019 pun
RTH di Kota Yogyakarta masih belum mencapai target. Hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh beberapa faktor seperti banyaknya kerjasama beragam pihak,
profesonalisme SDM, dan responsibilitas masyarakat yang masih rendah.

Akan tetapi, Pemerintah Kota Yogyakarta juga melakukan berbagai upaya agar
program RTH Kota Yogyakarta bisa dilaksanakan lebih baik lagi. Beberapa upayanya
adalah sebagai berikut dengan menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun,
membangun lahan hijau baru dengan pembelian lahan, mengembangkan koridor ruang
hijau kota, mengauisisi RTH privat menjadi RTH publik, peningkatan kualitas RTH
publik melalui refungsi RTH eksisting, menghijaukan bangunan, menyusun kebijakan
hijau, dan memberdayakan komunikasi hijau.

Saran

Beberapa saran atau rekomendasi yang dapat diberikan terhadap pelaksanaan


program Ruang Terbuka Hijau di Yogyakarta adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah Kota sebaiknya mengeluarkan regulasi yang mengharuskan setiap


kecamatan membangun taman publik di wilayahnya;

7
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/04/10/510/909494/pantas-jogja-panas-kota-ini-
kekurangan-ruang-terbuka-hijau
2. Pemerintah, masyarakat dan pihak swasta perlu melakukan komitmen bersama
guna membantu memenuhi Ruang Terbuka Hijau Publik 30% sesuai yang
tertera dalam Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
(RTH);
3. Penambahan anggaran untuk perawatan Ruang Terbuka Hijau Taman Publik
yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Yogyakarta, supaya
pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Taman Publik di Kota Yogyakarta bisa lebih
optimal;
4. Diadakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Ruang Terbuka
Hijau Publik agar masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga dan
mwujudkan Ruang Terbuka Hijau.

DAFTAR PUSTAKA
Angelia, T., & Santoso, E. B. (2019). Identifikasi Area Pengembangan RTH sebagai
Fungsi Ekologis Penyerap Air Hujan di Kecamatan Rungkut Kota Surabaya.
Tesis Program Studi Pascasarjana Arsitektur Bidang Keahlian Manajemen
Pembangunan Kota, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Budiman, A., Sulistyantara, B., & Zain, A. F. (2015). Deteksi Perubahan Ruang
Terbuka HIjau pada 5 Kota Besar di Pulau Jawa (Studi Kasus : DKI Jakarta, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Surabaya). JURNAL
LANSKAP INDONESIA, 6(1), 7-15. Institut Pertanian Bogor
Dewi, K., & Lituhayu, D. (2016). Evaluasi Pelaksanaan Penataan Ruang Terbuka Hijau
Publik (Taman Publik) di Kecamatan Semarang Timur Berdasarkan Perda Kota
Semarang No 7 Tahun 2010 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau. Journal of
Publik Policy and Management Review, 5(2), 707-719. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Dhaniar, N. M., & Sigit, A. A. (2017). Evaluasi Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau
Dengan Pendekatan Berbasis Objek Di Kota Yogyakarta Tahun 2017 (Doctoral
Dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP) Tahun 2015-2019.
Eko, T., & Rahayu, S. (2012). Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaiannya
Terhadap RDTR di Wilayah Peri-Urban (Studi Kasus: Kecamatan Mlati).
JURNAL PEMBANGUNAN WILAYAH & KOTA, 8(4), p 330-340. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Hermawan, Deni. Diananta Pramitasari. (2017). Studi Kecukupan Ruang Terbuka Hijau
Ideal Di Kampus Perguruan Tinggi Untuk Perencanaan Kampus Hijau Kasus
Amatan Wilayah Aglomerasi Kota Yogyakarta Utara. Prosiding Seminar Nasional
XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi Sekolah Tinggi Teknologi
Nasional Yogyakarta.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan RTH Kawasan
Pekotaan.
Noviyanti, I. K., Roychansyah M. S. (2019). Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka
Hijau dengan NDVI Menggunakan Citra Satelit Worldview 2 di Kota Yogyakarta.
Majalah Ilmiah Globe, 21(2), p 63-70. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pambudi, Kurniawan. (2018). Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Terhadap
Jumlah Penduduk Melalui Pendekatan Spasial Berbasis Objek di Kecamatan
Umbulharjo Yogyakarta. Skripsi Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH Perkotaan.
Peraturan Walikota Yogyakarta No. 5 Tahun 2016 Tentang Ruang Terbuka Hijau
Publik.
Ratnasari, A., Sitorus, S., & Tjahjono, B. (2015). Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta
Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Kecukupan RTH. JURNAL TATALOKA,
17(4), p 196-208. Universitas Diponegoro, Semarang.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka (RTH).
Wicaksono, Tangguh. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan
Pemanfaatan Perumahan Untuk Tujuan Komersial Di Kawasan Tlogosari Kulon
Semarang. Skripsi Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Zamroh, M. (2014). Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Permukiman Di
Kecamatan Kaliwungu Dengan Sistem Informasi Geografis. JURNAL
PENDIDIKAN GEOGRAFI, 2(1), p 109. IKIP Veteran Semarang.
http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/sdgs diakses pada 28 Mei 2020 pukul 15.00 WIB
http://xpresipena.blogspot.com diakses pada 28 Mei 2020 pukul 15.02 WIB

Anda mungkin juga menyukai