Ringkasan Eksekutif:
Dalam mendukung kebijakan pemerintah terkait mitigasi perubahan iklim dan ketahanan
energi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengakomodir
adanya beberapa kebijakan seperti pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi, energi air,
matahari dan karbon. Beberapa peraturan telah dihasilkan demi melegitimasi
pemanfaatan tersebut di kawasan hutan, baik lindung, produksi dan konservasi. Salah
satu contohnya adalah Peraturan Menteri LHK Nomor 25 Tahun 2018 yang merubah
kawasan Cagar Alam Kamojang menjadi Taman Wisata Alam untuk memperbaiki
keterlanjuran pemanfaatan panas bumi yang telah beroperasi sejak lama. Namun,
adanya perubahan kebijakan ini telah menimbulkan konflik penolakan di level tapak.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan solusi yang berbasis ilmu
pengetahuan. Disertasi ini menggunakan Research-Integration-Utilization (RIU) model
yang mampu menganalisis keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan, baik sebelum
maupun setelah implementasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
belum optimal digunakan dan diintegrasikan kepada para pihak terkait pengembangan
panas bumi di kawasan konservasi. Untuk itu diperlukan satuan tugas khusus yang bisa
berkolaborasi untuk menyeimbangkan kebutuhan energi dan konservasi hutan.
Pernyataan Masalah:
Penelitian ini menunjukkan masih adanya knowledge gap yang terjadi baik di skala
nasional maupun skala komunitas lokal. Rendahnya transfer ilmu pengetahuan antara
sesama pemerintah maupun dengan masyarakat lokal menyebabkan terhambatnya
pengembangan energi terbarukan. Dalam laporan tahunan resminya, FORDA
menyebutkan bahwa kapasitas adopsi hasil penelitian belum optimal dimana hanya
berkisar 20% - 70%. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan belum berdasarkan kajian ilmu
pengetahuan melainkan berdasarkan interest dari para aktor yang terkuat. Contohnya
dalam kasus ini pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi yang diakomodir di kawasan
konservasi demi memenuhi target ketahanan energi dan mitigasi perubahan iklim.
Adanya perubahan peraturan dan kebijakan yang melegitimasi pemanfaatan panas bumi,
juga pada praktiknya tidak mempercepat pembangunan panas bumi yang diperkirakan
banyak terkandung di dalam kawasan konservasi. Perubahan peraturan dipergunakan
untuk memperbaiki keterlanjuran pemanfaatan panas bumi yang sudah berpuluh tahun
beroperasi di kawasan konservasi. Penyelesaian masalah diatas ternyata juga
menimbulkan masalah-masalah baru lainnya, seperti konflik sosial dan tenurial. Konflik
sosial banyak terjadi di kawasan konservasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah kerja
panas bumi. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap
pengelolaan panas bumi yang diyakini menimbulkan dampak negatif sehingga
masyarakat menolak keberadaan projek tersebut. Masyarakat lokal juga merasa kurang
dilibatkan oleh pemerintah dalam perencanaan pengelolaan kawasan konservasi yang
dimana dampaknya justru terasa langsung terhadap keberlangsungan hidup mereka. Hal
ini kemudian berlanjut kepada konflik tenurial dimana terjadi kontestasi dan perebutan
penggunaan lahan di kawasan konservasi.
Metode Penelitian:
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam pengambilan data, berupa
analisis dokumen, wawancara semi terstruktur, dan observasi. Analisis dokumen meliputi
pengumpulan data empiris dari dokumen pengelolaan, peraturan dan laporan resmi yang
terkait dengan tema penelitian. Sebagai materi pendukung, laporan berita dan artikel
yang tersedia di media online juga dikumpulkan. Data-data ini yang kemudian akan
dianalisis untuk menentukan para aktor yang terlibat dan menjadi peserta dalam metode
selanjutnya, yaitu wawancara ahli. Wawancara dilakukan dengan kurang lebih 26 aktor
berbeda dalam rentang waktu antara November 2019 sampai dengan February 2020.
Dalam melakukan wawancara ini juga dilakukan metode bola salju dimana apabila aktor
menyebutkan salah satu aktor terkait, maka akan dilakukan juga interview terhadap yang
bersangkutan. Selanjutnya, observasi pada forum-forum diskusi dan lokasi pemanfaatan
panas bumi di Taman Wisata Alam (TWA) Kamojang.
Hasil dari pengumpulan data kemudian dianalisis menggunakan dasar kerangka teori
Research-Integration-Utilization (RIU) (Böcher and Krott 2014) dan pendekatan Actor-
centered-power (ACP) (Krott et al. 2014) . RIU model memiliki tiga tahapan penilaian,
yaitu Research (Penelitian), Integration (Integrasi), dan Utilization (Pemanfaatan).
Sedangkan definisi kekuasan pada teori ACP memiliki tiga elemen, yaitu Coercion
(paksaan melalui atribut hukum), Dis-Incentives (bantuan keuangan atau sanksi), dan
Dominant Information / Trust (Informasi yang dipercaya). Untuk memperkuat reliabilitas
dan validitas hasil penelitian, triangulasi data, teori dan metodologi juga diterapkan pada
penelitian ini.
Berdasarkan teori RIU model yang diterapkan dalam studi ini, maka hendaknya
dalam pengambilan kebijakan harus berdasarkan kajian ilmu pengetahuan seperti yang
digaungkan dalam 10 cara baru kelola kawasan konservasi (Wiratno, 2018). Hal ini
sejalan dengan beberapa kriteria yang terdapat pada setiap aspek research-integration-
utilization dalam RIU model dengan prioritas penekanan pada beberapa tahapan
kegiatan yang bisa dilakukan sebagai berikut:
1. KLHK dapat membuat satuan tugas atau kelompok kerja mengawal pemanfaatan jasa
lingkungan yang ada di hutan konservasi, khususnya panas bumi. Satuan tugas ini
bertugas untuk mengumpulkan database potensi panas bumi dan mengidentifikasi
daerah-daerah yang berkonflik secara tenurial. Kemudian, mengklasifikasikan potensi
sesuai dengan tipe kawasannya dan secara peruntukkannya apakah memungkinkan
untuk dikelola sebagai pemanfaatan panas bumi atau tidak. Satuan tugas ini juga
harus mengklarifikasikan kebijakan-kebijakan Pemerintah, KLHK dan pihak-pihak lain
yang berwenang dalam pengelolaan energi dan kehutanan agar tidak tumpang tindih
lagi. Rekomendasi areal potensi panas bumi di hutan konservasi dapat diteruskan
kepada pihak yang berwenang seperti Kementerian ESDM, DPR, dan Institusi Daerah
terkait.
References
Böcher, Michael; Krott, Max (2014): The RIU model as an analytical framework for
scientific knowledge transfer: the case of the “decision support system forest and climate
change”. In Biodivers Conserv 23 (14), pp. 3641–3656. DOI: 10.1007/s10531-014-0820-
5.
Krott, Max; Bader, Axel; Schusser, Carsten; Devkota, Rosan; Maryudi, Ahmad; Giessen,
Lukas; Aurenhammer, Helene (2014): Actor-centred power: The driving force in
decentralised community based forest governance. In Forest Policy and Economics 49,
pp. 34–42. DOI: 10.1016/j.forpol.2013.04.012.
PJLHK (2021): Laporan Kinerja Tahun 2020. Bogor.