Anda di halaman 1dari 4

STRATEGI REHABILITASI HUTAN LINDUNG BERBASIS

HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)

Ogi Setiawan

1. Ringkasan Eksekutif

Salah satu kawasan hutan yang mempunyai arti penting dan keberadaanya
sangat strategis serta mengalami degradasi adalah hutan lindung. Pendorong
degradasi hutan lindung dapat berupa faktor langsung dan tidak langsung,
diantaranya adalah penebangan liar, kebakaran hutan, kegagalan pasar, kebijakan
dan aspek sosial, ekonomi dan politik. Upaya rahabilitasi hutan lindung dalam rangka
mengembalikan fungsinya sudah banyak dilakukan melalui berbagai program
termasuk Gerakan Rehabilitasi Huatan dan Lahan (Gerhan). Di sisi lain, upaya
rehabilitasi hutan lindung juga harus mampu memberikan kontribusi ekonomi dan
sosial bagi masyarakat sekitar hutan serta sejalan dengan tujuan pengelolaan hutan
lindung itu sendiri. Hal ini sejalan dengan kondisi pandemi pada saat ini yang
berdampak pada aspek ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian
pemilihan lokasi yang tepat, dengan jenis yang potensial dan teknik silvikultur yang
tepat menjadi kunci penting. Salah satu jenis yang potensial yang dapat
dikembangkan dalam upaya rehabilitasi hutan lindung adalah Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK). Oleh sebab itu rehabilitasi hutan lindung hendaknya berbasis HHBK. Policy
brief ini menjelaskan strategi rehabilitasi hutan lindung berbasis HHBK yang
diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dimana fungsi hutan lindung
tetap terjaga dan memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat
sekitar hutan lindung.

2. Pernyataan Masalah

Degradasi hutan merupakan isu yang perlu ditangani sehingga laju degredasi
dapat ditekan bahkan dapat berada di bawah laju upaya rehabilitasi. Salah satu
kawasan hutan yang telah mengalami degradasi adalah hutan lindung. Pendorong
degradasi hutan ini dapat berupa faktor langsung dan tidak langsung. Faktor
langsung diantaranya adalah penebangan liar dan kebakaran hutan, sedangkan faktor
tidak langsung diantaranya kegagalan pasar, kebijakan dan aspek sosial, ekonomi dan
politik (Nawir et.al., 2008). Penentuan tingkat degredasi hutan lindung secara
spasial diperlukan sebagai dasar penentuan lokasi prioritas upaya rehabilitasi hutan
lindung. Penentuan tingkat degredasi hutan lindung selama ini hanya
mempertimbangkan kualitas tutupan lahan. Oleh sebab itu perlu parameter tambahan
sebagai dasar penentuan tingkat degredasi hutan lindung. Di sisi lain degredasi hutan
atau lahan juga dipengaruhi oleh tingkat kerentanan secara fisik terhadap proses-
proses hidrologi, diataranya adalah kerentanan terhadap erosi dan longsor. Aktifitas
manusia juga akan memberikan peran dalam degedrasi hutan lindung.
Upaya rehabilitasi hutan lindung juga harus mampu memberikan kontribusi
ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar hutan serta sejalan dengan tujuan
pengelolaan hutan lindung itu sendiri. Dengan demikian pemilihan jenis yang
potensial juga menjadi kunci penting. Salah satu jenis yang potensial yang dapat
dikembangkan dalam upaya rehabilitasi hutan lindung adalah Hasil Hutan Bukan Kayu

1
(HHBK). Hal ini menjadi logis karena pemanfaatan hutan lindung bukan pada produk
kayu tetapi berupa pemungutan produk bukan kayu.
Kondisi fisik hutan lindung pada umumnya mempunyai kemiringan lereng yang
tinggi. Hal ini tentunya akan menentukan pilihan teknik silvikultur yang setidaknya
meliputi pola tanam dan penerapan konservasi tanah dan air bila diperlukan.
Pemanfaatan hutan lindung oleh masyarakat penggarap baik legal maupun ilegal juga
banyak dijumpai. Kondisi ini perlu mendapat perhatian dalam perumusan pola
kerjasama dengan pengarap sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi sekaligus
fungsi hutan lindung tetap terjaga dalam kerangka hukum yang benar.
Berdasarkan uraian, maka permasalahan dalam rehabilitasi hutan lindung
adalah bagaimana strategi rehabilitasi hutan lindung berbasis Hasil Hutan Bukan kayu
(HHBK). Strategi rehabilitasi setidaknya mencakup penentuan lokasi yang tepat, jenis
HHBK yang tepat, dan teknik silvikultur yang tepat.

3. Temuan kunci

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dalam rangka rehabilitasi


hutan lindung di KPHL Rinjani Barat, Provinsi Nusa Tengara Barat, maka dapat
dirumuskan beberapa temuan kunci sebagai dasar penentuan kebijakan rehabilitasi
hutan lindung berbasis HHBK.
 Penentuan lokasi prioritas yang harus direhabilitasi di kawasan hutan
lindung dapat ditentukan berdasarkan parameter kerentanan terhadap
erosi, longsor dan tekanan penduduk terhadap lahan.
Penggunaan paremeter erosi dan longsor didasarkan pada fungsi dari
kawasan hutan lindung yang diantaranya adalah mengendalikan erosi. Parameter
dan indikator yang digunakan untuk menentukan kerentanan erosi dan longsor
sesuai yang dikemukakan oleh Paimin et. al. (2006). Formula untuk menentukan
tekanan penduduk terhadap lahan menggunakan persamaan yang dikemukakan
Soemarwoto (1985). Satuan analisis yang digunakan adalah unit lahan dalam
kawasan hutan lindung yang mempunyai kesamaan penutupan lahan, kemiringan
lereng dan jenis tanah. Unit lahan yang mempunyai kerentanan erosi dan longsor
tinggi serta tekanan penduduk > 1 merupakan unit lahan yang menjadi prioritas
unruk di rehabilitasi (Setiawan dan krisnawati, 2014).
 Pemilihan jenis HHBK yang akan dikembangkan didasarkan pada
kesesuaian jenis terhadap lahan, aspirasi masyarakat, karakteristik
sistem perakaran, dan prospek pasar.
Pada penelitian ini kesesuaian jenis terhadap lahan pada lokasi yang harus
direhabilitasi menggunakan metode macthing antara karakteristik lahan dan
kebutuhan tanaman (Ritung, et al., 2007) dengan pembagian kelas kesesuaian
berdasarkan FAO (1976). Sistem perakaran yang diamati adalah Indeks Jangkar
Akar (IJA) dan Indeks Cengkram Akar (ICA) yang dikemukakan oleh Hairiah, et.al.
(2008) serta arsitektur perakaran yang dikemukakan Yen (1987). Informasi jenis
HHBK yang sesuai aspirasi masyarakat dan potensi pasarnya dilakukan dengan
wawancara masyarakat sekitar hutan lindung (Setiawan dan krisnawati, 2014).
 Pola tanam yang dapat diterapkan dalam rehabilitasi hutan lindung
adalah pola campuran dan teknik KTA yang dapat diterapkan berupa
jalur rumput/serai/laos dengan guludan, dengan pola kemitraan.

2
Kawasan hutan lindung di KPHL Rinjani Barat khususnya yang langsung
berbatasan dengan masyarakat sekitar hutan sudah terdapat penggarap lahan di
dalamnya. Sehingga diperlukan pelibatan masyarakat dengan pola kemitraan. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian Diniyati, et.al. (2007). Rehabilitasi hutan lindung
dilakukan dengan melibatkan petani maka strategi utama adalah pola kemitraan
dengan lembaga ekonomi (perusahaan), swadaya, dan pemerintah. Pola tanam
campuran merupakan salah satu pola tanam yang direkomendasikan sebagai
bentuk kemitraan dan optomalisasi penggunaan lahan sehingga diharapkan
mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi.
Pada penelitan di KPHL Rinjani Barat telah dibangun plot penelitian
rehabilitasi hutan lindung berbasis HHBK sebagai bentuk proses experimentasi
berdasarkan hasil yang diperoleh dari proses konseptualisasi. Jenis HHBK yang
digunakan merupakan hasil pemilihan berdasarkan kesesuaian lahan, aspirasi
penggarap, penguasaan teknologi penggarap dan potensi pasar. Teknik KTA juga
diterapkan pada tiap lokasi untuk mengetahui sejauh mana pola tanam yang
diterapkan mempunyai pengaruh untuk meminimalisir proses erosi yang pada
akhirnya dapat meminimalisir potensi longsor. Hasil pengamatan selama dua
tahun menunjukan pertumuhan yang baik dari jenis HHBK yang ditanam dan
adanya penurunan potensi erosi dengan penerapan teknik KTA (Setiawan dan
krisnawati, 2014).

4. Pilihan dan Rekomendasi Kebijakan


- Strategi rehabilitasi hutan lindung berbasis HHBK hendaknya meliputi beberapa
aspek yaitu persebaran lokasi prioritas yang akan direhabilitasi, pemilihan jenis
HHBK yang tepat untuk dikembangkan, dan strategi penanaman serta pola
pengelolaannya.
- Penentuan lokasi prioritas untuk rehabilitasi hutan lindung dapat menggunakan
parameter kerentanan erosi, longsor dan tekanan penduduk. Penentuan
kerentanan erosi dan longsor menggunakan parameter dan indikator yang
dikemukakan Paimin et.al (2006). Formula untuk menentukan tekanan
penduduk terhadap lahan menggunakan persamaan yang dikemukakan
Soemarwoto (1985). Lokasi dengan tingkat kerentanan erosi dan lonsor yang
tinggi dan tekanan penduduk tingi (>1) merupakan lokasi prioritas untuk
direhabilitasi.
- Pemilihan jenis HHBK yang akan diimplementasikan dalam rehabilitasi hutan
lindung hendaknya didasarkan pada tingkat kesesuaian jenis dengan lahan,
aspirasi masyarakat, karakteristik perakaran dan potensi pasar.
- Strategi penanaman dapat disesuaikan dengan kondisi lokasi yang harus
direhabilitasi. Strategi penanaman pada umumnya berupa pengkayaan, hal ini
disebabkan pada umumnya lokasi-lokasi yang terbuka hanya berupa spot-spot
yang tidak terlalu luas. Pola tanam campuran merupakan pola tanam yang
direkomendasikan dengan penerapan teknik KTA sesuai karakteristik lokasi.
- Pelibatan masyarakat dengan pola kemitraan. Pada umumnya hutan lindung
yang langsung berbatasan dengan masyarakat, sudah terdapat penggarap di
dalamnya. Oleh sebab itu rehabilitasi perlu melibatkan penggarap secara aktif
dengan tetap berada di dalam kerangka hukum yang berlaku dengan pola

3
kemitraan. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan ekonmi masyarakat
sekitar hutan ditengah Pandemi.

5. Rujukan untuk Konsultasi

Ogi Setiawan (o_setiawan@yahoo.com)


Krisnawati (yakrisnawati@yahoo.com)
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl. Dharma Bhakti No.7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB.

6. Daftar Pustaka

Diniyati, D, E. Fauziyah, dan T. Sulistiyati W. 2007. Strategi Rehabilitasi Hutan Lindung


di Kabupaten Garut. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.
Vol,4.No.2. Juni 2007. Pusat Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Bogor.
FAO. 1976. A Framework for Land Evluation. Soil Bull. No.32. Rome
Hairiah, K., Widianto dan Didik Suprayogo. 2008. Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan
Global : Bisakah agroforestri mengurangi resiko longsor dan emisi gas rumah
kaca. Kumpulan makalah INAFE. UNS. Surakarta.
Nawir, Ani A., Murniati dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia :
Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa. Center for
International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia.
Paimin, Sukresno dan Purwanto. 2006. Sidik cepat degradasi Sub Daerah Aliran
Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian Hutan dan konservasi Alam. Bogor
Ritung S, Wahyunto, Agus F, dan Hidayat H. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian
Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat.
Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,
Indonesia.
Setiawan, O, dan Krisnawati. 2014. Pemilihan jenis Jenis Hasil hutan Bukan Kayu
Potensial dalam Rangka Rehabilitasi Hutan Lindung (Studi Kasus Kawasan
hutan lindung KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat). Jurnal Ilmu
Kehutanan, Volume 8 No.2:90-99.
Soemarwoto, O., 1985. A Qualitative of Population Pressure and It’s Potential Use in
Development Planning. Majalah Demografi Indonesia, 12 (24)
Yen,C.P. 1987. Tree root patterns and erosion control. Proceedings of the
International Workshop on Soil Erosion and its Countermeasures. Soil and
Water Conservation Society of Thailand, Bangkok.

Anda mungkin juga menyukai