PENDAHULUAN
2
yang bermatapencaharian sebagai nelayan. dan produk hutan non kayu. Secara
ekologis, hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, penyangga
perlindungan wilayah pesisir dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan
intrusi air laut juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas
(FAO, 1992).
Mengingat manfaat dan fungsi hutan pantai dan mangrove sebagai sabuk
hijau sangat penting, maka pengelolaan ekosistem tersebut seharusnya disesuaikan
dengan kondisi dan kearifan lokal (Indigenous knowledge) pada setiap wilayah dan
daerah hal ini disebabkan oleh masing-masing wilayah dan daerah memiliki
karakteristik budaya yang berbeda-beda.. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi
sebagai ciri khas suatu komunitas tetapi juga sebagai upaya untuk pelestarian dan
pengelolaan sumberdaya alam pada suatu komunitas masyarakat pesisir sebagai
penyeimbang dan penyelaras lingkungan pesisir.
Kearifan lokal terkait penggunaan lahan, pengelolaan hutan, wilayah pesisir
dan kelautan telah berlaku sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (16071637) yang memerintah kerajaan Islam Aceh. Kearifan lokal tersebut diperkuat
dengan adanya beberapa lembaga adat yang tercantum di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh. Lembaga
adat yang dimaksud diantaranya Panglima Laot, yang mengatur hukum kelautan,
Pawang Glee dan Peutua Seunebok, yang mengatur hukum pengelolaan hutan dan
penggunaan lahan. Tugas-tugas lembaga adat tersebut secara rinci tercantum di
dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, tentang Lembaga Adat.
Adanya pengaruh budaya urban dan gaya hidup secara tidak langsung telah
mengikis norma-norma kearifan lokal dan hukum-hukum yang telah ada sejak dulu.
3
Hal ini seharusnya tidak boleh dianggap enteng, mengingat risiko bencana yang
datang dari perairan laut seperti tsunami di masa lalu, sewaktu waktu dapat terulang
tanpa bisa diprediksi. Prospek kearifan lokal masyarakat di masa depan, terutama
yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya pesisir sangat dipengaruhi
oleh kesadaran masyarakat dan berbagai kebijakan Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan kesadaran masyarakat dan budaya kearifan lokal serta
kebijakan dari pemerintah setempat, penulis ingin mengali persepsi masyarakat
terhadap keberadaan sabuk hijau (green belt) dalam upaya pengurangan resiko
bencana di dua lokasi yang berbeda baik karakteristik lingkungan dan budaya yang
terkena dampak langsung dari bencana tsunami. Penulis mengambil sampel lokasi
penelitian yaitu Gampong Lamteh Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota
Banda Aceh.
4
kearifan lokal dalam upaya pengurangan risiko bencana di Gampong Lamteh
Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh?
5
1.5 Kegunaan Penelitian
Studi penelitian terhadap persepsi masyarakat Gampong Lamteh Kabupaten
Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh dalam pengelolaan ruang
berbasis kearifan lokal sebagai upaya pengurangan risiko bencana diharapkan akan
memberikan manfaat bagi pemerintah, masyarakat dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Manfaat dan kegunaan tersebut antara lain: