Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem di wiayah pesisir, terutama
ekosistem hutan pantai dan mangrove sebagai sabuk hijau (green belt) mulai muncul
pasca tsunami Aceh 2004. Di beberapa daerah di Indonesia, gerakan penyelamatan
hutan pantai dan hutan mangrove dalam bentuk reboisasi dan reklamasi dengan
penanaman tanaman yang sesuai tapak tumbuh sedang dilakukan. Gerakan tersebut
muncul atas inisiatif individu, kelompok adat, lembaga non pemerintah maupun
yang dikelola pemerintah daerah setempat.
Bencana alam yang terjadi sebelas tahun silam, telah menimbulkan dampak
yang demikian luas terhadap lingkungan di kawasan pesisir yang disertai dengan
perubahan bentang alam. Di daerah pantai yang tipis tutupan vegetasinya, terjangan
gelombang tsunami mampu mencapai belasan kilometer ke daratan, sedangkan
pantai yang masih memiliki sabuk hijau (green belt), tingkat kerusakannya relatif
lebih ringan. Hal ini menggambarkan bahwa tutupan vegetasi dari hutan pantai dan
mangrove memberikan perlindungan serta mampu mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan oleh anomali alam seperti gelombang pasang (tsunami), badai, angin
dan terpaan garam, Secara ekosistem wilayah sabuk pengaman dapat meningkatkan
keragaman hayati dari lingkungan pantai dan mangrove.
Beberapa hasil penelitian sabuk hijau (green belt) hutan pantai dan mangrove
secara ekonomi dapat meningkatkan penghidupan masyarakat di wilayah pesisir baik
secara langsung seperti memanfaatkan kayu dan tidak langsung seperti masyarakat

2
yang bermatapencaharian sebagai nelayan. dan produk hutan non kayu. Secara
ekologis, hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, penyangga
perlindungan wilayah pesisir dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan
intrusi air laut juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas
(FAO, 1992).
Mengingat manfaat dan fungsi hutan pantai dan mangrove sebagai sabuk
hijau sangat penting, maka pengelolaan ekosistem tersebut seharusnya disesuaikan
dengan kondisi dan kearifan lokal (Indigenous knowledge) pada setiap wilayah dan
daerah hal ini disebabkan oleh masing-masing wilayah dan daerah memiliki
karakteristik budaya yang berbeda-beda.. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi
sebagai ciri khas suatu komunitas tetapi juga sebagai upaya untuk pelestarian dan
pengelolaan sumberdaya alam pada suatu komunitas masyarakat pesisir sebagai
penyeimbang dan penyelaras lingkungan pesisir.
Kearifan lokal terkait penggunaan lahan, pengelolaan hutan, wilayah pesisir
dan kelautan telah berlaku sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (16071637) yang memerintah kerajaan Islam Aceh. Kearifan lokal tersebut diperkuat
dengan adanya beberapa lembaga adat yang tercantum di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh. Lembaga
adat yang dimaksud diantaranya Panglima Laot, yang mengatur hukum kelautan,
Pawang Glee dan Peutua Seunebok, yang mengatur hukum pengelolaan hutan dan
penggunaan lahan. Tugas-tugas lembaga adat tersebut secara rinci tercantum di
dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, tentang Lembaga Adat.
Adanya pengaruh budaya urban dan gaya hidup secara tidak langsung telah
mengikis norma-norma kearifan lokal dan hukum-hukum yang telah ada sejak dulu.

3
Hal ini seharusnya tidak boleh dianggap enteng, mengingat risiko bencana yang
datang dari perairan laut seperti tsunami di masa lalu, sewaktu waktu dapat terulang
tanpa bisa diprediksi. Prospek kearifan lokal masyarakat di masa depan, terutama
yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya pesisir sangat dipengaruhi
oleh kesadaran masyarakat dan berbagai kebijakan Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan kesadaran masyarakat dan budaya kearifan lokal serta
kebijakan dari pemerintah setempat, penulis ingin mengali persepsi masyarakat
terhadap keberadaan sabuk hijau (green belt) dalam upaya pengurangan resiko
bencana di dua lokasi yang berbeda baik karakteristik lingkungan dan budaya yang
terkena dampak langsung dari bencana tsunami. Penulis mengambil sampel lokasi
penelitian yaitu Gampong Lamteh Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota
Banda Aceh.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini secara umum
adalah perbedaan persepsi masyarakat terhadap keberadaan sabuk hijau dalam upaya
pengurangan resiko bencana dilihat dari pengelolaan yang berbasis kearifan lokal.
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, dapat diidentifikasi pula beberapa
permasalahan yang lebih khusus, yaitu :
1. Bagaimana perilaku masyarakat pesisir setempat dalam pemanfaatan sabuk hijau
hutan mangrove?
2. Bagaimana persepsi masyarakat dalam pengelolaan sabuk hijau hutan
mangrove?
3. Bagaimana konsep pengelolaan ruang sabuk hijau hutan mangrove berbasis

4
kearifan lokal dalam upaya pengurangan risiko bencana di Gampong Lamteh
Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Mengidentifikasi perilaku masyarakat pesisir setempat dalam pemanfaatan sabuk
hijau hutan mangrove?
2. Mengkaji dan mendeskripsikan persepsi masyarakat dalam pengelolaan dan
pelestarian sabuk hijau mangrove?
3. Sejauhmana pelaksanaan konsep pengelolaan ruang sabuk hijau berbasis
kearifan lokal dalam upaya pengurangan risiko bencana di Gampong Lamteh
Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh?

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dibatasi hanya pada persepsi masyarakat Gampong Lamteh
Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh dalam pengelolaan
ruang berbasis kearifan lokal sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Dipilihnya
Gampong Lamteh Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh
disebabkan memiliki bentang alam yang sama berhadapan langsung dengan garis
pantai dan jugamerupakan salah satu kawasan yang terkena imbas langsung bencana
tsunami dan telah dilakukan rehabilitasi pada lokasi sabuk hijau (green belt) namun
diduga terdapat pola karakter prilaku yang berbeda,

5
1.5 Kegunaan Penelitian
Studi penelitian terhadap persepsi masyarakat Gampong Lamteh Kabupaten
Aceh Besar dan Gampong Pande Kota Banda Aceh dalam pengelolaan ruang
berbasis kearifan lokal sebagai upaya pengurangan risiko bencana diharapkan akan
memberikan manfaat bagi pemerintah, masyarakat dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Manfaat dan kegunaan tersebut antara lain:

a. Hasil penelitian ini dapat diperolehnya informasi dan gambaran perilaku


masyarakat terhadap pengelolaan ruang sabuk hijau berbasis kearifan lokal
dalam upaya pengurangan risiko bencana yang diharapkan dapat menjadi
bahan masukan serta pertimbangan dalam salah satu penanganan mitigasi
bencana melalui konsep mitigasi vegetasi sebagai sabuk hijau (green belt)
pada wilayah sepanjang pesisir hutan pantai oleh instansi terkait.

b. Menjadi referensi bagi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis.

Anda mungkin juga menyukai