Anda di halaman 1dari 30

HUKUM PESISIR DAN KELAUTAN

KERUSAKAN MANGROVE PADA DAERAH PESISIR PENAJAM

DOSEN PENGAMPU :
RAHMAWATI AL HIDAYAH, SH., LL.M

Disusun oleh:
KELOMPOK 2
1. Rizky Azwar Rosadi R (1808015089)
2. Maulia Rahman (1808015067)
3. Renly Winata (1808015071)
4. M. Wahid Ihza S (1808015093)
5. Dinda Savira F (1808015094)
6. Ahmad Naelul Abrori (1808015098)
7. Yizreel Soga Patima (1808015122)
8. Khofifah Laila Oktafia (1808015024)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Kehutanan
dan Perkebunan dengan judul “Kerusakan Mangrove Pada Daerah Pesisir
Penajam”.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi referensi
tambahan bagi pembaca. Terima kasih.

Samarinda, 22 September 2021

Penyusun Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN
A.......................................................................................................................... Latar
Belakang
Provinsi Kalimantan Timur memiliki kawasan pesisir dan wilayah laut yang luas,
dari 13 kabupaten atau kota, 10 di antaranya berada di wilayah pesisir. Luas hutan
mangrove di Provinsi Kalimantan Timur adalah 775.660 ha (Anonim, 2001). Desa
Babulu Laut merupakan satu di antara desa di wilayah Kecamatan Babulu Kabupaten
Penajam Paser Utara yang mempunyai wilayah seluas 129.990 ha.

Hutan mangrove di wilayah ini mempunyai luas 232 ha dan didominasi oleh
jenis Avicennia sp. (20–30%) dan Rhizopora sp. (70-80%). Masyarakat di Desa Babulu
Laut telah lama memanfaatkan hutan mangrove yaitu sebagai tempat mencari ikan
dan menangkap kepiting serta lahan budidaya.

Banyak hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi hutan produksi, lahan
pertambakan, pertanian dan permukiman. Hal ini menyebabkan kuantitas dan kualitas
hutan mangrove berkurang dan menyebabkan tergangggunya keseimbangan
ekosistem yang ada di kawasan hutan mangrove. Dampak yang ditimbulkan adalah
semakin berkurangnya fungsi hutan mangrove sebagai tempat memijah ikan, daerah
asuhan dan mencari makan bagi ikan, udang dan pada akhirnya dapat menurunkan
tingkat produksi perikanan.

Penelitian valuasi ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui apa saja manfaat
langsung dan tidak langsung dari keberadaan hutan mangrove, sehingga nantinya
dapat dijadikan modal dalam membangun kesadaran para pengambil kebijakan
(decision maker) serta masyarakat yang berada di sekitar wilayah hutan mangrove,
sehingga pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan mangrove dapat
dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.

Ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi ganda yaitu sebagai fungsi
ekonomi dan ekologi, maka perubahan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan
tambak akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan mangrove. Uraian
di atas menunjukkan, bahwa manfaat hutan mangrove bagi masyarakat tidaklah kecil.
Tetapi selama ini penilaiannya lebih ditekankan kepada nilai penggunaan atau manfaat
langsung dari hutan mangrove seperti kayu bakar dan bahan bangunan, sedangkan
nilai manfaat tidak langsung (seperti pencegah intrusi air laut, penjaga suplai pakan
bagi ikan), manfaat pilihan berupa kesediaan orang atau kelompok untuk membayar
demi kelangsungan pemanfaatan sumberdaya untuk masa depan dan manfaat
eksistensi (seperti keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan) tidak mendapat
banyak perhatian dan memerlukan penilaian secara ekonomi.

Kerusakan Mangrove Pada Daerah Pesisir Penajam sebagian besar diakibatkan


oleh ulah manusia. Baik berupa konversi mangrove menjadi sarana pemanfaatan lain
seperti pertambakan perikanan, karena mangrove merupakan bagian fungsi
lingkungan hidup dan salah satu tempat penyediaan sumber daya perikanan yang
efektif untuk penahan abrasi, meningkatkan produksi perikanan, kelestarian habitat
perikanan. Dewasa ini, pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyalir terbukti
memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan
antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Salah satu metode
rehabilitasi yang memungkinkan peran aktif masyarakat adalah penerapan teknologi
silvofishery.

Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang


menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove, yang diikuti
konsep pengenalan sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi
dampak terhadap lingkungan (Macintosh et al., 2002 dalam Shilman, 2012).

Dengan pemanfaatan mangrove untuk silvofishery mampu mendatangkan


keuntungan bagi masyarakat sekitarnya, maka perlu dikembangkan agar hasilnya
optimal dan berkelanjutan. Kawasan sekitar mangrove mempunyai permasalahan yang
kompleks, salah satunya intervensi masyarakat setempat yang menjadikan mangrove
sebagai lahan pemukiman dan tambak. Oleh karena itu, pemilihan kawasan sebagai
lokasi silvofishery diperkirakan mampu mengurangi permasalahan tersebut. Sehingga
perlu penelitian yang lebih mendalam tentang faktor ekosistem pendukung
keberhasilannya. Faktor tersebut antara lain adalah kondisi mangrove, kepadatan dan
keanekaragaman jenis plankton dan nekton sebagai sumber energi bagi tambak
silvofishery.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar dari mangrove di Indonesia, silvofishery di Indonesia,
dan Konservasi Mangrove di Indonesia?
2. Bagaimana Regulasi di Indonesia yang mengatur terkait mangrove dan Konservasi
Mangrove?
3. Bagaimana Problematika Pemanfantaan Mangrove Pada Daerah Pesisir Penajam di
Kalimantan Timur?
4. Bagaimana Upaya Penyelasaian Pemberantasan Mangrove Pada Daerah Pesisir
Penajam Kalimantan Timur?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Mangrove DiIndonesia

Menurut Arief Arifin mangrove adalah perpaduan antara kata mangue (bahasa
portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa inggris) yang berarti belukar atau
hutan kecil. Masyarakat kita sering menerjermahkan mangrove sebagai komunitas
hutan bakau, sedangkan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-tumbuhan
yang hidup di hutan pasang surut tersebut.1

Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 24 Tahun 2012


tentang pengelolaan hutan mangrove pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa hutan
mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang tumbuh pada pantai-pantai yang
terlindung dari muara sungai, penyebaran dan komposisi tidak tergantung iklim tetapi
pada faktor edhopis (lebih ditentukan oleh tipe tanah) dari pasang surut, struktur
mangrove sangat sederhana yang hanya terdiri atas satu lapis tajuk pohon dan dengan
jumlah jenis pohon yang kecil.

Mangrove merupakan sebuah ekosistem yaitu bahwa mangrove sebagai unsur


lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.
Pasal 1 angka 2 Perpres No. 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove menerangkan bahwa “Ekosistem mangrove sendiri adalah
kesatuan antara komunitas vegetasi mangrove berasosiasi dengan fauna dan mikro
organisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada daerah sepanjang pantai
terutama di daerah pasang surut, laguna, muara sungai yang terlindung dengan
substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam membentuk keseimbangan lingkungan
hidup yang berkelanjutan.

1
Arief Arifin, Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya, Kanisius, Yogyakarta, 2003. hlm
42
Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan menjaga ekosistem
lain di sekitarnya, seperti padang lamun dan terumbu karang dengan menghasilkan
zat-zat nutrien [organik dan anorganik] yang mampu menyuburkan perairan laut.
Ekosistem mangrove juga berperan sangat penting dalam siklus karbon, nitrogen, dan
sulfur.

Mangrove mempunyai jenis-jenis vegetasi yaitu a. Api-api (Avicennia Alba),


Bakau gundul (Rhizophora Meuronata), Bakau kacangan (Rhizopora Opiculata),
Dungun (Hiriteriaspp), Nipah (Nypa Fruticans), Tancang (Bruguiera Gymnorrizha),
Tanjan (Mezzetia Parviflora), Nyirih (Xyclocarpus Granatum Koen), Nyuruh (Cerioph
Tagal), Beringin (Ficus sp), Gogen/Bogem/Perepat (Soneratia) dan jenis vegetasi
mangrove lainnya.

Mangrove mempunyai peranan yang sangat penting yaitu Secara umum,


mangrove berperan sangat penting sebagai peredam angin dan gelombang laut, serta
pelindung abrasi di pantai. Mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol ke
permukaan tanah [pasir] atau biasa disebut sebagai akar napas. Sistem ini merupakan
suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen. Manfaat penting
lainnya dari ekosistem ini adalah sebagai penyeimbang ekosistem darat, laut dan udara.
Eksositem mangrove dapat membantu pembentukan daratan baru dari hasil
sedimemtasi lumpur yang dibawa oleh aliran sungai. Dengan kemampuannya mengikat
zat pencemar maka mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto 2004)
yang dapat menetralkan dan menjernihkan kawasan pesisir. Dari ekosistem ini dapat
dihasilkan biomassa 62.9–39.8 ton/ha, guguran serasah 5.8–25.8 ton/ha dan riap
volume 20 tcal/ha/th atau 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun.
Namun dari produksi yang besar ini tidak lebih dari 10% yang dikonsumsi langsung
oleh hewan-hewan darat pemakannya, sedangkan sisanya tinggal di dalam wilayah
perairan pantai (Odum dan Heald 1975). Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan
organik hutan mangrove sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya
perikanan.

Mangrove penting bagi wilayah pesisir adalah kemampuannya menjaga


keberlangsungan populasi ikan, kerang, udang dan lainnya. Bukan itu saja, mengrove
merupakan tempat menyenangkan untuk perkembangbiakan dan pembesaran
beberapa spesies hewan khususnya udang dan nener. Selain itu, hutan mangrove
merupakan habitatnya bekantan [Nasalis lavartus], burung bluwok/wilwo [Mycteria
cinerea], juga bangau tongtong [Leptoptilus javanicus].

B. Konsep Dasar Silvofishery

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang
terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove
pada lokasi yang sama Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk
budidaya perikanan tradisional yang berkelanjutan dengan input yang rendah.
Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan
untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki
produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya
perikanan. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya
perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah (Nofianto 2008).

Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan
terpadu antara kegiatan budidaya ikan atau udang dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengelolaan, dan upaya pelestarian hutan mangrove. Mangrove
wanamina ditanam di sepanjang tambak dengan jarak tanam 1 meter antara satu
pohon dengan pohon yang lain. Mangrove yang digunakan pada sistem wanamina ini
adalah Avicennia dan Rhizophora. Tambak dengan sistem wanamina telah banyak
dikembangkan untuk meningkatkan produksi budidaya serta melindungi kawasan
tambak dari kerusakan. Menurut Sualia dan Suryadiputra, (2010)
penanaman/pemeliharaan mangrove dapat meningkatkan daya dukung (carrying
capacity) tambak, sehingga mampu menjaga kualitas air dan menopang kehidupan
komoditas yang dibudidayakan. Primavera (2000) menyebutkan bahwa wanamina
bertujuan untuk mengoptimalkan keuntungan seiring dengan upaya konservasi.

Vaiphasa et al. (2007) menyebutkan bahwa mangrove dalam tambak wanamina


berfungsi sebagai biofilter bagi buangan tambak. Hal ini bertujuan agar buangan
tambak tidak melampaui kemampuan asimilasi lingkungan. Budidaya tambak dengan
sistem wanamina telah banyak diterapkan di Indonesia. Peran mangrove sebagai
penyedia jasa lingkungan merupakan faktor yang diharapkan mampu mendukung
kegiatan budidaya tambak. Jasa-jasa tersebut meliputi secara fisik, kimia maupun
biologi. Peran fisik mangrove bagi lingkungan adalah sebagai pemerangkap sedimen
(Pramudji, 2004). Sementara peran kimia mangrove adalah sebagai penyerap bahan
pencemar, penyuplai bahan organik dan sumber nutrien (Pramudji, 2002). Sedangkan
peran biologis mangrove adalah sebagai area pemijahan (spawning ground), area
asuhan (nursery ground) dan area pencarian makan (feeding ground) bagi berbagai
biota perairan (Supriharyono, 2009).

Sementara Mardiyati (2004) menunjukkan bahwa budidaya tambak dengan sistem


wanamina memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tambak
biasa. Pemaduan vegetasi mangrove dalam pertambakan menunjukkan pengaruh yang
positif terhadap usaha budidaya udang. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tambak tanpa mangrove.
Menurut Ahmed dan Shaukat (2012), Rhizophora mucronata memiliki daya tahan yang
lebih baik terhadap pencemaran dibandingkan dengan Avicennia marina. Maie et al.
(2008) menyebutkan bahwa Rhizophora mucronata memproduksi tanin dari daun
mangrove. Tanin berfungsi dalam menjaga ketersediaan nitrogen sebagai penyangga
siklus nutrien dalam ekosistem mangrove. Dengan demikian, kandungan nutrisi dalam
tambak dengan vegetasi Rhizophora cenderung memiliki kandungan nutrien yang lebih
melimpah dibandingkan dengan Avicennia. Tannin juga mengandung banyak protein
yang secara bertahap dilepaskan ke lingkungan perairan pada saat siang hari.

Dengan sistem wanamina, aspek ekonomi masyarakat dapat terpenuhi dari


kegiatan budidaya ikan dan udang dalam tambak, sedangkan aspek perlindungan
pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga bakau-bakau di
pematang tambak dan bagian luar dari tambak. Kegiatan penanaman bakau dan
pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat tanpa bantuan pemerintah,
sehingga konsep social forestry atau community forestry tercipta dengan sendirinya di
wilayah pesisir tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius
mewujudkan prinsip Blue Economy dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan. Prinsip utama dari blue economy tersebut diantaranya adalah: 1)
kepedulian terhadap lingkungan (proenviroment) karena memastikan bahwa
pengelolaannya bersifat zero waste; 2) menjamin keberlanjutan (sustainable); 3)
menjamin adanya social inclusiveness; 4) terciptanya pengembangan inovasi bisnis
yang beragam (multiple cash flow) (Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, 2013).
Wanamina sebagai sebuah konsep usaha terpadu antara hutan mangrove dan
perikanan budidaya yaitu budidaya di tambak menjadi alternatif usaha yang prospektif
dan sejalan dengan prinsip blue economy. Pendekatan terpadu terhadap konservasi
dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk
mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, di samping itu, budidaya perairan
payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Hal yang paling penting adalah
bahwa konsep ini menawarkan alternatif teknologi aplikatif berdasarkan prinsip
keberlanjutan (sustainable). Pengelolaan terpadu mangrove tambak diwujudkan dalam
bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian
dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina. Wanamina pada
dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat
tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga
diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis karena mempertimbangkan kepedulian
terhadap ekologi (ecologycal awareness).

Silvofishery yang dikembangkan di Indonesia memiliki 3 model/tipe, yaitu:

1. Pola Empang Parit

Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan dengan
membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara ikan ataupun udang. Saluran
air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan
mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara
tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery) Kondisi ini dapat
diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan
pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren
atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini,
maka lahan yang akan direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak.
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu
mangrove (Bengen 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997), kepadatan
mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m2. Kepadatan vegetasi
yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan
vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting
bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora sp) atau
dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia spp).
2. Pola Empang Parit yang Disempurnakan

Pada dasarnya sistem empang parit yang disempurnakan (Gambar 3) tidak


berbeda jauh dengan sistem empang parit. Perbedaannya hanya terletak pada disain
lahan untuk menanam mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah.
Model ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan empang parit,
karena adanya tanggul yang mengelilingi lahan pelataran yang akan digunakan untuk
menanam mangrove.

3. Model Komplang

Model Komplang merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain tambak


berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove
(Gambar 4). Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang
diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan
digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga
nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk memelihara
ikan/udang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode budidaya air
payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif yang minimal
terhadap lingkungan (ekosistem). Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus
dengan garis pantai memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di
dalam areal greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman
sumberdaya alam hayati.
Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahui bahwa silvofishery sistem empang
parit dan komplangan dapat diterapkan untuk menjaga kelestarian dan fungsi kawasan
mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan tetap dapat berlangsung di areal
tersebut.

Sisi Negatif Silvofishery permasalahan yang sering dihadapi dalam penerapan tambak
wanamina adalah proses pengelolaan yang relatif kompleks dibandingkan dengan
tambak tradisional dan tambak intensif. Proses penanaman mangrove dalam tambak
seringkali mengalami kegagalan akibat kondisi lingkungan yang kurang sesuai dengan
habitat asli mangrove (Primavera & Esteban 2008). Dibutuhkan waktu hingga
bertahun-tahun untuk menghasilkan tegakan mangrove yang mantap serta adanya
upaya penanaman ulang selama proses penghijauan yang dilakukan. Belum lagi
perlunya kegiatan pemangkasan secara berkala untuk mencegah mangrove yang
terlalu rimbun yang justru berpotensi menurunkan produktivitas tambak. Hal ini jika
tidak dilakukan upaya pemanfaatan yang terpadu yang mengarah pada produktivitas
secara ekonomi maka berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk menerapkan
sistem wanamina dalam budidaya tambak.

Menerapkan sistem budidaya wanamina berarti menerapkan kegiatan budidaya


dalam kondisi habitat alaminya. Hal ini berarti bahwa jenis-jenis kultivan yang ditanam
adalah jenis-jenis kultivan tertentu yang memang berasosiasi atau hanya dapat
tumbuh optimal di dalam ekosistem mangrove saja. Pemilihan jenis kultivan yang
kurang sesuai dengan daya dukung lingkungan yang ada mengakibatkan tingkat
produktivitas yang relatif rendah (Budihastuti et al. 2012).

C. Konsep Dasar Konservasi Mangrove

Kerusakan hutan mangrove perlu mendapat perhatian lebih guna menghentikan


tindakan pengalihfungsian ataupun perusakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
ialah dengan mengadakan konservasi guna mengembalikan dan menata kembali
sumber daya alam yang telah rusak. Oleh karena itu kegiatan konservasi hutan
mangrove tidak hanya sekedar untuk melindungi dan melestarikan spesies serta
menyediakan obyek wisata, tetapi harus pula berfungsi untuk meningkatkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dalam konteks pembangunan berwawasan
lingkungan.

Dengan demikian, diperlukan adanya konservasi mangrove untuk menjaga


kelestarian mangrove yang ada. Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata
Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang
memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what
you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore
Roosevelt yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang
konsep konservasi. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi
dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya
alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Konservasi hutan mangrove adalah usaha perlindungan, pelestarian alam dalam
bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut, pesisir,
dan hutan mangrove (Mulyadi, Hendriyanto, & Fitriani, 2010).

Konservasi hutan mangrove sangat penting dimana dengan adanya hutan


mangrove itu sendiri memiliki banyak manfaat bagi ekosistem sekitar. Mangrove
merupakan salah satu pohon yang memiliki beragam manfaat untuk lingkungan.
Kegunaan mangrove dari berbagai aspek, baik aspek fisik (seperti penahan abrasi,
intrusi air asin ke sumur – sumur warga dan angin kencang dari laut), aspek ekologi
(sebagai tempat hidup berbagai biota, seperti ikan, kepiting, udang, siput dan biota
lainnya) maupun aspek ekonomi (seperti untuk ekowisata, buahnya diolah menjadi
sirup dan dodol) (Adriman, Fauzi, Fajri, Purwanto, & Prianto, 2020).

Bahwasannya terkait konservasi mangrove telah ada aturan yang menaungi yaitu
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumbedaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Pasal 2 "Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang” dan Pasal 3 “Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia” dalam ini
berkaitan dengan mangrove bahwa mangrove juga merupakan bagian dari sumber
daya hayati yang perlu konservasi untuk menjaga kelestariannya.

D. Regulasi di Indonesia Mengatur Mangrove

Indonesia memiliki pengaturan yang cukup banyak mengenai mangrove.


Regulasi tersebut bukan hanya berasal dari Undang-Undang melainkan dari peraturan
perundangan yang lainnya. Peraturan-peraturan dasar yang digunakan sebagai
pedoman untuk menyusun Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di
Indonesia adalah sebagai berikut:2

1. Undang-Undang Dasar 1945

2
Mangrove Indonesia, 2021, Peraturan, http://mangroveindonesia.org/peraturan/
(diakses pada tanggal 22 September 2021 pukul 09:49 WITA)
Pasal 33 ayat 3 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
bunyi Pasal ini juga mencangkup mangrove diwilyah pesisir sebagai sumber daya yang
menaungi mangrove, bahwa mangrove harus digunakan untuk kepentingan rakyat
yang mana menjaga kelestarian mangrove dari perusakan juga merupakan yang
menyangkut kepentingan rakyat.

2. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumbedaya Alam


Hayati dan Ekosistemnya

Pasal 2 "Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan


pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
secara serasi dan seimbang” dan Pasal 3 “Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia” dalam ini
berkaitan dengan mangrove bahwa mangrove juga merupakan bagian dari sumber
daya hayati yang perlu konservasi untuk menjaga kelestariannya.

3. Undang-Undang No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Pasal 1 “Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya” dan Pasal 3
huruf c angka 4 “Penataan ruang bertujuan mewujudkan perlindungan fungsi ruang
dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan” dalam hal
berkaitan dengan mangrove bahwa kesatuan tata ruang termasuk darat, laut dan
udara yang di dalam kesatuan itu di dalamnya termasuk mangrove yang mana juga
harus mendapat perlindungan demi mencegah dan menanggulangi dampak negative
terhadap lingkungan.

4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Dalam Undang-Undang ini beberapa pasal telah mengatur tentang mangrove yaitu
Pasal 1 angka 4 “Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya
hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;
sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota
laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber
daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan,
dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi
gelombang laut yang terdapat di WilayahPesisir”, terkait perlindungan Pasal 31 ayat
(2) huruf d “Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan perlindungan
terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang
lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta” terkait larangan Pasal 35 huruf e “Dalam
pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau
tidak langsung dilarang menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem
mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
huruf f “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang
secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan konversi Ekosistem mangrove
di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi
ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” dan huruf g “Dalam pemanfaatan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung
dilarang menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri,
pemukiman, dan/atau kegiatan lain” kemudian terkait ketentuan pidana tertuang pada
Pasal 73 ayat (1) huruf b “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan cara dan
metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove,
menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 1 angka 1 “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain” kemudian Pasal 21 ayat (3) huruf d “kriteria baku
kerusakan mangrove” bahwa secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini mengatur
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk mangrove didalamnya yang
bahwa juga telah ditentukan baku mutu mangrove sebagai dasar penilaian kerusakan
mangrove yang akan menjadi dasar untuk menetukan perbuatan orang atau badan
hukum yang merusak mangrove.

6. Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan

Pasal 7 ayat (1) huruf p “rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta
lingkungannya” bahwa dalam penjelasan Pasal ini rehabilitasi dan peningkatan sumber
daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan
bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau
berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau
penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar
perairan. Bahwa dalam hal ini ada proses rehabilitasi dalam pengelolaan perikanan
yang meliputi hutan bakau yang sama dengan hutan mangrove.

7. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 5 ayat (2) “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas
kawasan lindung dan kawasan budi daya” bahwa dalam lampiran penjelasan Undang-
Undang ini bahwa bakau termasuk dalam kawasan lindung yang termasuk dalam
kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan
suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

8. Peraturan Presiden Nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional


Pengelolan Ekosistem Mangrove

Pasal 1 angka 1 “Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang


selanjutnya disingkat SNPEM adalah upaya dalam bentuk kebijakan dan program untuk
mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan masyarakat sejahtera
berkelanjutan berdasarkan sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari
sistem perencanaan pembangunan nasional. Pasal 1 angka 3 “Pengelolaan ekosistem
mangrove berkelanjutan adalah semua upaya perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan lestari melalui proses terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan fungsi-
fungsi ekosistem mangrove bagi kesejahteraan masyarakat”. Bahwa pengelolaan
mangrove merupakan strategi pembangunan nasional yang mana dalam ini berarti
bahwa mangrove mempunyai pran penting dalam proses pembangunan social
berkelanjutan yang mana dilakukan dengan upaya perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan lestari melalui proses terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan fungsi-
fungsi ekosistem mangrove.

9. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 24/PERMEN-KP/2016 TENTANG TATA CARA
REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Bahwa dalam Permen ini telah diatur mengenai mangrove mulai dari Pasal 1, Pasal
15 sampai dengan Pasal 41 yang membahas mangrove dimana Pasal 1 angka 5
menjelaskan “Mangrove adalah vegetasi pantai yang memiliki morfologi khas dengan
sistem perakaran yang mampu beradaptasi pada daerah pasang surut dengan substrat
lumpur atau lumpur berpasir” Pasal 15 huruf c “Rehabilitasi mangrove dilakukan
dengan cara perlindungan Mangrove agar tumbuh dan berkembang secara alami” yang
mana di sambung pada Pasal 18 huruf c “Perlindungan Mangrove agar tumbuh dan
berkembang secara alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan
dengan cara penegakan hukum terhadap pelaku kerusakan mangrove.

10. Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 24 tahun 2012
tentang Pengelolaan Hutan Mangrove,

Bahwa dalam Perda ini menagtur Mangrove yaitu yang dimaksud Mangrove dalam
Perda ini yaitu tertuang pada Pasal 1 angka 12 “Hutan Mangrove atau hutan bakau
adalah hutan yang tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung dari muara sungai,
penyebaran dan komposisi tidak tergantung iklim tetapi pada faktor edhopis (lebih
ditentukan oleh tipe tanah) dari pasang surut, struktur mangrove sangat sederhana
yang hanya terdiri atas satu lapis tajuk pohon dan dengan jumlah jenis pohon yang
kecil” Pasal 3 “Pengelolaan hutan mangrove bertujuan untuk menjamin kelestarian
sumber daya hayati secara terpadu, sehingga dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan.” Pasal 4 “Pengelolaan hutan mangrove berfungsi untuk melindungi
kawasan hutan mangrove agar memberikan manfaat dan dapat mensejahterakan
masyarakat” Pasal 6 “Ruang lingkup pengelolaan hutan mangrove meliputi: a.
Penetapan kebijakan pengelolaan, b. Pengelolaan hutan mangrove, terdiri dari:
1. penetapan rencana rehabilitasi;

2. pengelolaan hutan mangrove lindung;

3. pengelolaan hutan mangrove sempadan sungai;

4. Penataanusahaan empang parit;

5. penetapan kawasan hutan mangrove;

6. penataan hutan mangrove;

7. pemanfaatan hutan mangrove;

8. hak dan kewajiban masyarakat;

9. pendanaan; dan

10. pengawasan dan pengendalian.

E. Problematika Pemanfantaan Mangrove Pada Daerah Pesisir Penajam di


Kalimantan Timur
Ruang merupakan wadah bagi berbagai aktivitas yang dikembangkan oleh
manusia untuk mendukung fungsi kehidupan. Kegiatan yang berlangsung pada saat
ruang dapat menimbulkan dampak tertentu terhadap kegiatan lainya. Ruang juga
memiliki potensi untuk menimbukan ketidak paduan antar sektor. Wilayah pesisir
merupakan potensi sumber daya di Indonesia yang merupakan suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Seperti hal nya potensi pemanfaatan hutan
mangrove, mangrove memiliki nilai ekonomis dan mempunyai nilai strategis yang
mampu mendukung industri utama seperti usaha perikanan dan pariwisata. Pantai
dengan hutan bakau adalah kawasan pesisir yang merupakan habitat alami hutan
bakau (mangrove) yang berfungsi memberikan perlindungan pada perikehidupan
pantai dan lautan. Melestarikan keberadaan hutan bakau mangrove sebagai
pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembang biaknya pelindung pantai
air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Selain itu, juga dapat
menghemat biaya pemulihan dan bantuan bencana internasional pasca bencana.
Permasalahan ekologis yang muncul dari pemanfaatan areal hutan mangrove
yang tidak memperhatikan aspek pelestararian, antara lain adalah terjadinya
perubahan ekosistem, pencemaran serta hilangnya biota laut di kawasan perairan
sekitarnya. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove mempunyai peranan sebagai filter
terhadap bahan-bahan polutan yang berupa limbah rumah tangga, limbah industri
maupun tumpahan minyak. Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan
hutan mangrove ini umumnya akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik,
yakni akan merusak dan pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya sumberdaya
tersebut. 3 Kerusakan hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir pantai Indonesia
sudah cukup serius, salah satunya daerah pesisir Kabupaten Penajam Kalimantan
Timur. Selain itu kerusakan mangrove di Penajam diakibatkan dengan terjadinya
Pembalakan Liar, berdasarkan data sekitar 1.300 hektare hutan "mangrove" (hutan
bakau) atau 10 persen dari total luasan hutan bakau di Kabupaten Penajam Paser
Utara, Kalimantan Timur 4, rusak akibat pembalakan liar yang dilakukan masyarakat,
kemudian Ratusan Hektare hutan "mangrove" atau bakau yang tersebar di sepanjang
pesisir pantai Kabupaten Penajam Paser Utara, setiap tahun mengalami kerusakan
Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten
Penajam Paser Utara, Sugino, Rabu mengatakan, kerusakan itu terjadi karena adanya
abrasi, pembukaan tambak serta pembangunan pelabuhan batu bara. 5 Meskipun
pengawasan di wilayah pesisir terus dilakukan, upaya tersebut belum maksimal
karena kesadaran masyarakat terhadap kelestarian hutan mangrove masih rendah.
Banyak masyarakat memanfaatkan pohon mangrove sebagai bahan baku pembuatan
arang. Namun masyarakat memiliki kesadaran yang masih minim dalam melindungi
pohon bakau, sehingga menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan bakau di
daerah tersebut. Selain itu, anggaran untuk rehabilitasi mangrove di sepanjang
kawasan pesisir di Kabupaten Penajam Paser Utara, dalam APBD 2015 sangat minim.
Padahal sekitar 1.200 hektare hutan mangrove sebagai penahan terjadinya abrasi
mengalami kerusakan yang parah.6

3
Pramudji. 2002. Eksploitasi Hutan Mangrove di Indonesia: Dampak dan Upaya
Untuk Penanggulannya. Vol. 27. No. 3, hlm. 4.
4
Antara News, 2015, 1.300 Hektar Hutan Mangrove di Penajam Rusak,
https://m.antaranews.com/amp/berita/487634/1300-hektare-hutan-mangrove-di-penajam-
rusak#aoh=16323621941690&csi=1&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=D
ari%20%251%24s (diakses pada tanggal 22 September 2021 pukul 09.50 WITA)
5
https://kaltim.antaranews.com/berita/22215/ratusan-hektare-hutan-mangrove-di-
penajam-rusak
6
Republika, 2015, Seribuan Hektare Hutan Mangrove di Penajam Rusak,
https://m.republika.co.id/amp/nluh7v#aoh=16323621941690&csi=1&referrer=https%3A%2F%
2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s (diakses pada tanggal 22 September 2021
pukul 10.00 WITA)
Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Penajam Paser Utara terletak di pesisir
pantai mulai dari Selatan sampai utara yang tersebar di semua wilayah Kecamatan
yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama wilayah yang berada di daerah
pesisir. pantai. Kawasan ini merupakan kawasan tumbuhnya tanaman mangrove
didaerah pesisir yang berfungsi untuk melindungi habitat, ekosistem dan aneka biota
laut. Disamping itu juga untuk melindungi pantai dari abrasi dan bencana tsunami.

Masyarakat di Kabupaten Penajam Paser Utara memanfaatkan hutan mangrove


di dalam kehidupan mereka. Saat ini, sudah banyak masyarakat yang mulai
mengembangkan buah dari mangrove untuk makanan dan minuman yang ternyata
memiliki nilai gizi yang cukup tinggi meskipun dari segi rasa rata-rata buah mangrove
tidak bisa dikatakan manis. Namun, rasa yang unik, manis sepet bahkan terkadang
pahit bagi orang yang pandai mengolahnya akan menjadi perpaduan rasa baru yang
khas.

Beberapa jenis mangrove yang dapat dijadikan bahan makanan antara lain;

a. pidada (Sonneritia caseolaris);


b. api-api (Avicenna spp);
c. nipah (Nypa fruticans);
d. tumu/tancang (Bruguiera sp), dan lain-lain.
Beberapa jenis makanan yang dihasilkan dari bahan baku buah mangrove diantaranya:

a. Bolu agar-agar
b. Talam
c. Onde-onde
d. Gemblong
e. Ketimus
f. Puding
g. Dodol
h. Sirup
i. Permen buah
j. Lempok buah
k. Manisan buah
l. Juice buah
Kawasan hutan mangrove tersebut antara lain berada di:

1. Kawasan mangrove Gresik, Sesumpu, Kampung Baru berada di


Kecamatan Penajam;

2. Kawasan mangrove Tanjung Maruwat berada di Kecamatan Babulu;

3. Kawasan mangrove Mentawir berada di Kecamatan Sepaku;

4. Kawasan mangrove Kemantis berada di Kecamatan Sepaku;

5. Kawasan mangrove pesisir dan pulau-pulau kecil berada di Kelurahan


Maridan Kecamatan Sepaku.

Pengembangan Kawasan Kehutanan yang terdapat di Kabupaten Penajam Paser Utara


meliputi:

a. Melakukan penanaman dan penebangan secara bergilir;

b. Pengolahan hasil hutan untuk kemakmuran rakyat;

c. Mengembangkan zona penyangga pada kawasan hutan produksi yang


berbatasan dengan kawsan lindung;

d. Mengembangankan pola hutan tanaman industri (HTI);

e. Melakukan Penyelesaian masalah tumpang tindih dengan kegiatan


budidaya lain (pertambangan, perkebunan) dengan cara pendeliniasian secara
tegas peruntukan kawasan hutan dengan kawasan yang lainnya;

f. Reboisasi dan rehabilitasi lahan padan bekas tebangan (HPH);

g. Meminimalkan kegiatan budidaya KNBK di sekitar area KBK sehingga


peruntukan hutan tidak berubah;

h. Pembangunan “Mangrove Tourisme Centre” (MTC) di Kelurahan Kampung


Baru Kecamatan Penajam.

F. Upaya Pemberantasan Perusakan Mangrove Melalui Instrumen


Penegakan Hukum

Penegakan hukum ialah suatu usaha dalam mewujudkan ide-ide keadilan,


kepastian hukum serta kemanfaatan sosial menjadi sebuah kenyataan. Jadi pada
hakikatnya penegakan hukum ialah suatu proses yang dilakukan agar norma-norma
hukum dapat berfungsi secara nyata dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 7 Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan serta ditegakkan dengan baik.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ideide dan


konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum
merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Melalui penegakan hukum inilah
hukum itu menjadi kenyataan.8

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam makalahnya mengatakan bahwa penegakan


hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan
menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum kepada setiap pelanggaran yang
dilakukan orang maupun badan hukum, yaitu melalui ketentuan peradilan maupun
melalui ketentuan arbitrase dan proses penyelesaian sengketa lainnya (alternative
desputes or conflicts resolution), selain itu kegiatan penegakan hukum mencakup
setiap aktivitas yang ditujukan supaya hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang
mengatur dan mengikat orang atau badan hukum dalam segala bentuk kehidupan
bermasyarakat dan bernegara sungguh-sungguh ditaati dan benar-benar ditaati
sebagaimana mestinya. Penegakan hukum dalam artian sempit berkaitan dengan
kegiatan penindakan kepada setiap pelanggaran terhadap peraturan
perundangundangan, khususnya melalui proses peradilan pidana serta adanya
keterlibatan aparat kejaksaan, kepolisian, advokat, dan badan-badan peradilan.
Terdapat pengertian yang berbeda mengenai penegakan hukum menurut Koesnadi
Hardjasoemantri, bahwa penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat
dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak.9

Jika dilihat dari sudut instrumen penegak hukum, maka penegakan hukum
terbagi menjadi 3 macam, yaitu:10

7
“penegakan hukum” melalui, http://digilib.unila.ac.id/2827/12/BAB%2011.pdf.
Diakses pada tanggal 22 September 2021.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2010. Hlm 207.
9
M. Hadin. Mujad, Hukum Lingkungan: Sebuah Pengantar untuk Konteks
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2015. hlm. 199.
10
Abrar Saleng, Hukum Pertimbangan, UII Press, Jogjakarta, 2004. hlm. 181.
1. Penegakan Hukum Administrasi; Penegakan hukum yang dilakukan oleh
instrumen administratif, yaitu pejabat administrasif atau pemerintah.
2. Penegakan Hukum Perdata Penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak
yang dirugikan, baik secara individual, kelompok, masyarakat atau negara.

3. Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum yang dilakukan oleh negara


melalui jaksa.

1. Penegakan Hukum Secara Administrasi

Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan, sarana penegakan hukum administrasi negara


berisi:

1. Pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan


pada atau berdasarkan Undang-Undang yang ditetapkan secara tertulis dan
pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu, dan;

2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintahan. Apa yang dikemukakan


oleh Nicolai hampir sama dengan Berger, seperti penegakan hukum administrasi
melalui pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah
preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan
langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Dalam suatu negara hukum,
pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam
menjalankan aktivitasnya, sesuai dengan norma-norma hukum sebagai suatu
upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi
sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya
represif. Akan tetapi, poin penting dari penerapan sanksi ini ialah memberikan
perlindungan hukum bagi rakyat, baik upaya administratif dan peradilan
administrasi.

Dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan


penerapan kewenangan pemerintah dimana kewenangan ini berasal dari aturan
Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis. Pada umumnya, memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan norma-norma hukum administrasi
negara tertentu, diiringi pula dengan memberikan kewenangan untuk menegakkan
norma-norma Hukum Administrasi Negara tersebut. 11 Menurut Philipus M. Hadjon,

11
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi, 2011, hlm. 296.
beberapa bentuk sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi antara lain: 1)
Bestuursdwang ( paksaan pemerintah), yaitu kewenangan untuk atas biaya para
pelanggar guna menyingkirkan, mencegah, melakukan, atau mengembalikan pada
keadaan semula apa yang bertentangan dengan (ketentuan perundang-undangan
tertentu) yang telah atau sedang diadakan, dibuat atau ditempatkan, diusahakan,
dilalaikan (ditelantarkan), di rusak atau di ambil. 2) Penarikan kembali keputusan
(ketetapan yang menguntungkan, seperti; izin, pembayaran, subsidi). 3) Pengenaan
denda administrastif. 4) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (bestuutdwangsom),
berfungsi sebagai pengganti paksaan pemerintahan yang secara praktis sulit dijalankan
atau dipandang sebagai sanksi yang terlalu berat.12

Regulasi di Indonesia terutama dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menegaskan


sanksi administrasi terhadap lingkungan hidup yaitu pada Pasal 76 (1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b.
paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin
lingkungan. Pasal 77 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran
yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 78 Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

Berkaca dari apa yang terjadi di Penajam bahwa kerusakan mangrove


disebabkan salah satunya yaitu pembangunan Pelabuhan tambang oleh perusahaan
perusahaan kapal pengangkut tambang lagi-lagi dan tambang selalu ikut andil dalam
yang namanya kerusakan lingkungan agaknya kegiatan tambang seakan tak mau
tertinggal dalam peran serta perusakan lingkungan. Berkaitan dalam hal bahwa disini
dapat dilakukan penegakan hukum secara adminitrasi terhadap perusahaan

12
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah mada University Press,
Yoyakarta, 1990, hal. 3.
pembangun Pelabuhan tambang yang menyebabkan kerusakan pada mangrove hal ini
tentu saja langsung secara utuh bisa dilakukan berkaca pada teori absolute liability
tanggung jawab secara mutlak tak perlu lagi memerlukan pembuktian dan lain halnya
yang akan memakan waktu yang apabila sudah terjadi kerusakan terhadap mangrove
akibat dari pembangunan Pelabuhan tambang tadi maka langsung bisa dimintai
pertanggung jawaban dengan cara melakukan pencabutan izin dari perusahaan
tersebut yang telah terakomodir dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menegaskan sanksi
administrasi terhadap lingkungan hidup yaitu pada Pasal 76 ayat (1) Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan. Pasal 76 ayat (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b.
paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin
lingkungan.

2. PENEGAKAN HUKUM SECARA PERDATA


Sengketa (perdata) lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersangkutan. Jika
usaha di luar pengadilan yang dipilih itu tidak berhasil maka oleh salah satu atau para
pihak dapat ditempuh jalur pengadilan. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat
ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa Pasal 84
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Permasalahan dalam pertanggungjawaban perdata lingkungan terdiri dari
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan
bahwa, “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”. dan penerapan prinsip strict liability (tanggung jawab mutlak) yang diatur
dalam ketentuan Pasal 88 UUPPLH[ Pasal 88 UU 32/2009 menyebutkan bahwa, “Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan”. Huruf D Bab IV Pedoman Penanganan Perkara
Perdata Lingkungan.
Bahwa dilihat kerusakan yang terjadi bahwa 1.300 hektare Kawasan mangrove
telah rusak akibat dari kegiatan masyarakat yaitu melakukan pembalakan liat terhadap
pohon bakau dikawasan mangrove. Tentu hal ini bisa dimintai pertanggung jawaban
dengan upaya ganti rugi untuk mengembalikan kondisi Kawasan mangrove untuk
melakukan rehabilitasi karena tidak dapat dipungkiri bahwa rehabilitasi kawsan
mangrove membutuhkan dana yang cuku besar. Maka jawaban hal ini melakukan
upaya gugatan perdata melalui pemerintah penajam melalui instansi terkait terhadap
masyarakat yang melakukan pemabalakan liat dikawasan hutan mangrove pesisir
penajam meminta pertanggung jawaban ganti rugi.

3. Penegakan Hukum Secara Pidana


Bentuk kerusakan hutan mangrove yang terjadi pada Pesisir daerah Penajam
Kalimantan timur yang 1.300 hektare lebih rusak karena penebangan/pembalakan
hutan mangrove secara liar. Penebangan/pembalakan hutan mangrove secara liar di
Penajam ini jelas terjadi akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Meskipun
penebangan hutan ini kelihatannya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
namun juga ada hal-hal yang perlu di perhatikan dalam hal itu karena pembalakan liar
hutan mangrove di pesisir Penajam ini akan membawa dampak buruk yang hal ini
tidak boleh terus dibiarkan dan kegiatan masyarakat menebang pohon-pohon
mangrove tidak dapat dibenarkan yang apabila terus dibiarkan hal seperti ini kita
hanya akan tinggal menunggu waktu saja bencana pasti akan melanda, maka dalam
hal ini perlu ada ketegasan dalam penindakan perbuatan pembalakan pohon-pohon
mangrove ini yaitu secara tegas dengan melalui jalur pidana. Bahwa sudah ada aturan
pidana yang mengakomodir tindakan pembalakan liar terhadap mangrove yaitu
tertuang pada Pasal 73 ayat (1) huruf b “Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja
menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan
konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan
permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e,
huruf f, dan huruf g. Dengan penegakan hukum secara pidana diharapkan
menimbulkan rasa takut kepada masyarakat untuk melakukan penebangan pohon
mangrove sehingga tidak lagi terjadi pembalakan terhadap pohon pohon mangrove
secara masiv dan luas cakupannya khususnya di daerah Penajam Kalimantan Timur.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. mangrove adalah perpaduan antara kata mangue (bahasa portugis) yang
berarti tumbuhan dan grove (bahasa inggris) yang berarti belukar atau hutan
kecil. Masyarakat kita sering menerjermahkan mangrove sebagai komunitas
hutan bakau, sedangkan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut.
2. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang
terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan
mangrove pada lokasi yang sama Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai
salah satu bentuk budidaya perikanan tradisional yang berkelanjutan dengan
input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan
mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove
yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan
ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah.
3. Konservasi hutan mangrove adalah usaha perlindungan, pelestarian alam dalam
bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut,
pesisir, dan hutan mangrove (Mulyadi, Hendriyanto, & Fitriani, 2010).
Konservasi hutan mangrove sangat penting dimana dengan adanya hutan
mangrove itu sendiri memiliki banyak manfaat bagi ekosistem sekitar.
Mangrove merupakan salah satu pohon yang memiliki beragam manfaat untuk
lingkungan. Kegunaan mangrove dari berbagai aspek, baik aspek fisik (seperti
penahan abrasi, intrusi air asin ke sumur – sumur warga dan angin kencang
dari laut), aspek ekologi (sebagai tempat hidup berbagai biota, seperti ikan,
kepiting, udang, siput dan biota lainnya) maupun aspek ekonomi (seperti untuk
ekowisata, buahnya diolah menjadi sirup dan dodol)
4. Problemmatika mangrove di daerah Penajam bahwa disebabkan oleh berbagai
kegiatan yang utama ialah kegiatan pembalakan liar oleh masyarakat yang
dilakukan oleh masyarakat khususnya di Penajam untuk dimanfaatkan bagi
kehidupan namun hal itu tidaklah dibenarkan karena telah merusak lingkungan
yang mana akan berdampak bagi aspek-aspek kehidupan makhluk hidup yang
ada pada ekosistem mangrove.
5. Upaya atau solusi dari promblematika mangrove di Penajam adalah dengan
instrument penegakan hukum yaitu mulai dari penegakan hukum secara
adnimistratif, perdata, dan pidana yang dilakukan dengan tegas diharapkan
nantinya akan menimbulkan kesadaraan hukum bahwa perbuatan masyrakat
khususnya di Penajam melakukan penebangan pohon-pohon mangrove sacara
luas dan masiv itu merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan, kemudian
diharapkan juga dengan adanya penegakan hukum secara tegas akan berefek
pada berkurangnya penebangan-penebagan mangrove secara luas, sehingga
ekosistem mangrove tetap terjaga dan lestari.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Bagir Manan. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara . Mandar Maju,
Bandung, 1995.

Pide, Suriyaman Mustari. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Prenadamedia
Group, Jakarta, 2014.

Salim. Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,
2010.

JURNAL
Ernest Runtukahu, “Hambatan Dan Upaya Pembenahan Penegakan Hukum Terhadap
Kejahatan Di Bidang Kehutanan”, Lex et Societatis, Vol. II/No. 2 Februari, 2014.

Patris Toar Pandeirot, “Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Di Bidang Kehutanan”,


Lex Administratum, Vol. IV/No. 1 Januari, 2016.

Rugun Romaida Hutabarat, “Penegakan Hukum Kehutanan Dalam Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Ditinjau Dari Perspektif Keadilan Masyarakat Hukum Adat”, Era Hukum: Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 16, No. 2, Oktober, 2018.

Suwari Akhmaddhian, “Penegakan Hukum Lingkungan Dan Pengaruhnya Terhadap


Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia (Studi Kebakaran Hutan Tahun 2015)”, Jurnal
Unifikasi, Vol. 03 Nomor 01 Januari, 2016.

Syam, Z., Yunasfi, Dalimunthe, M. , 2014. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap


Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Wanamina di Desa
Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Jurnal Aquacoastmarine,
2(1): 107-117.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Perusakan Hutan

WEBSITE

Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013.


Budidaya Wanamina, Budidaya Berdasarkan Prinsip Keseimbangan.
http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=839.

Anda mungkin juga menyukai