DOSEN PENGAMPU :
RAHMAWATI AL HIDAYAH, SH., LL.M
Disusun oleh:
KELOMPOK 2
1. Rizky Azwar Rosadi R (1808015089)
2. Maulia Rahman (1808015067)
3. Renly Winata (1808015071)
4. M. Wahid Ihza S (1808015093)
5. Dinda Savira F (1808015094)
6. Ahmad Naelul Abrori (1808015098)
7. Yizreel Soga Patima (1808015122)
8. Khofifah Laila Oktafia (1808015024)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Kehutanan
dan Perkebunan dengan judul “Kerusakan Mangrove Pada Daerah Pesisir
Penajam”.
Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi referensi
tambahan bagi pembaca. Terima kasih.
Penyusun Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
A.......................................................................................................................... Latar
Belakang
Provinsi Kalimantan Timur memiliki kawasan pesisir dan wilayah laut yang luas,
dari 13 kabupaten atau kota, 10 di antaranya berada di wilayah pesisir. Luas hutan
mangrove di Provinsi Kalimantan Timur adalah 775.660 ha (Anonim, 2001). Desa
Babulu Laut merupakan satu di antara desa di wilayah Kecamatan Babulu Kabupaten
Penajam Paser Utara yang mempunyai wilayah seluas 129.990 ha.
Hutan mangrove di wilayah ini mempunyai luas 232 ha dan didominasi oleh
jenis Avicennia sp. (20–30%) dan Rhizopora sp. (70-80%). Masyarakat di Desa Babulu
Laut telah lama memanfaatkan hutan mangrove yaitu sebagai tempat mencari ikan
dan menangkap kepiting serta lahan budidaya.
Banyak hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi hutan produksi, lahan
pertambakan, pertanian dan permukiman. Hal ini menyebabkan kuantitas dan kualitas
hutan mangrove berkurang dan menyebabkan tergangggunya keseimbangan
ekosistem yang ada di kawasan hutan mangrove. Dampak yang ditimbulkan adalah
semakin berkurangnya fungsi hutan mangrove sebagai tempat memijah ikan, daerah
asuhan dan mencari makan bagi ikan, udang dan pada akhirnya dapat menurunkan
tingkat produksi perikanan.
Penelitian valuasi ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui apa saja manfaat
langsung dan tidak langsung dari keberadaan hutan mangrove, sehingga nantinya
dapat dijadikan modal dalam membangun kesadaran para pengambil kebijakan
(decision maker) serta masyarakat yang berada di sekitar wilayah hutan mangrove,
sehingga pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan mangrove dapat
dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.
Ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi ganda yaitu sebagai fungsi
ekonomi dan ekologi, maka perubahan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan
tambak akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan mangrove. Uraian
di atas menunjukkan, bahwa manfaat hutan mangrove bagi masyarakat tidaklah kecil.
Tetapi selama ini penilaiannya lebih ditekankan kepada nilai penggunaan atau manfaat
langsung dari hutan mangrove seperti kayu bakar dan bahan bangunan, sedangkan
nilai manfaat tidak langsung (seperti pencegah intrusi air laut, penjaga suplai pakan
bagi ikan), manfaat pilihan berupa kesediaan orang atau kelompok untuk membayar
demi kelangsungan pemanfaatan sumberdaya untuk masa depan dan manfaat
eksistensi (seperti keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan) tidak mendapat
banyak perhatian dan memerlukan penilaian secara ekonomi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar dari mangrove di Indonesia, silvofishery di Indonesia,
dan Konservasi Mangrove di Indonesia?
2. Bagaimana Regulasi di Indonesia yang mengatur terkait mangrove dan Konservasi
Mangrove?
3. Bagaimana Problematika Pemanfantaan Mangrove Pada Daerah Pesisir Penajam di
Kalimantan Timur?
4. Bagaimana Upaya Penyelasaian Pemberantasan Mangrove Pada Daerah Pesisir
Penajam Kalimantan Timur?
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Arief Arifin mangrove adalah perpaduan antara kata mangue (bahasa
portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa inggris) yang berarti belukar atau
hutan kecil. Masyarakat kita sering menerjermahkan mangrove sebagai komunitas
hutan bakau, sedangkan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-tumbuhan
yang hidup di hutan pasang surut tersebut.1
1
Arief Arifin, Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya, Kanisius, Yogyakarta, 2003. hlm
42
Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan menjaga ekosistem
lain di sekitarnya, seperti padang lamun dan terumbu karang dengan menghasilkan
zat-zat nutrien [organik dan anorganik] yang mampu menyuburkan perairan laut.
Ekosistem mangrove juga berperan sangat penting dalam siklus karbon, nitrogen, dan
sulfur.
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang
terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove
pada lokasi yang sama Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk
budidaya perikanan tradisional yang berkelanjutan dengan input yang rendah.
Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan
untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki
produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya
perikanan. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya
perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah (Nofianto 2008).
Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan
terpadu antara kegiatan budidaya ikan atau udang dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengelolaan, dan upaya pelestarian hutan mangrove. Mangrove
wanamina ditanam di sepanjang tambak dengan jarak tanam 1 meter antara satu
pohon dengan pohon yang lain. Mangrove yang digunakan pada sistem wanamina ini
adalah Avicennia dan Rhizophora. Tambak dengan sistem wanamina telah banyak
dikembangkan untuk meningkatkan produksi budidaya serta melindungi kawasan
tambak dari kerusakan. Menurut Sualia dan Suryadiputra, (2010)
penanaman/pemeliharaan mangrove dapat meningkatkan daya dukung (carrying
capacity) tambak, sehingga mampu menjaga kualitas air dan menopang kehidupan
komoditas yang dibudidayakan. Primavera (2000) menyebutkan bahwa wanamina
bertujuan untuk mengoptimalkan keuntungan seiring dengan upaya konservasi.
Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan dengan
membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara ikan ataupun udang. Saluran
air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan
mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara
tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery) Kondisi ini dapat
diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan
pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren
atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini,
maka lahan yang akan direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak.
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu
mangrove (Bengen 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997), kepadatan
mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m2. Kepadatan vegetasi
yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan
vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting
bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora sp) atau
dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia spp).
2. Pola Empang Parit yang Disempurnakan
3. Model Komplang
Sisi Negatif Silvofishery permasalahan yang sering dihadapi dalam penerapan tambak
wanamina adalah proses pengelolaan yang relatif kompleks dibandingkan dengan
tambak tradisional dan tambak intensif. Proses penanaman mangrove dalam tambak
seringkali mengalami kegagalan akibat kondisi lingkungan yang kurang sesuai dengan
habitat asli mangrove (Primavera & Esteban 2008). Dibutuhkan waktu hingga
bertahun-tahun untuk menghasilkan tegakan mangrove yang mantap serta adanya
upaya penanaman ulang selama proses penghijauan yang dilakukan. Belum lagi
perlunya kegiatan pemangkasan secara berkala untuk mencegah mangrove yang
terlalu rimbun yang justru berpotensi menurunkan produktivitas tambak. Hal ini jika
tidak dilakukan upaya pemanfaatan yang terpadu yang mengarah pada produktivitas
secara ekonomi maka berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk menerapkan
sistem wanamina dalam budidaya tambak.
Bahwasannya terkait konservasi mangrove telah ada aturan yang menaungi yaitu
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumbedaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Pasal 2 "Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang” dan Pasal 3 “Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia” dalam ini
berkaitan dengan mangrove bahwa mangrove juga merupakan bagian dari sumber
daya hayati yang perlu konservasi untuk menjaga kelestariannya.
2
Mangrove Indonesia, 2021, Peraturan, http://mangroveindonesia.org/peraturan/
(diakses pada tanggal 22 September 2021 pukul 09:49 WITA)
Pasal 33 ayat 3 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
bunyi Pasal ini juga mencangkup mangrove diwilyah pesisir sebagai sumber daya yang
menaungi mangrove, bahwa mangrove harus digunakan untuk kepentingan rakyat
yang mana menjaga kelestarian mangrove dari perusakan juga merupakan yang
menyangkut kepentingan rakyat.
Pasal 1 “Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya” dan Pasal 3
huruf c angka 4 “Penataan ruang bertujuan mewujudkan perlindungan fungsi ruang
dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan” dalam hal
berkaitan dengan mangrove bahwa kesatuan tata ruang termasuk darat, laut dan
udara yang di dalam kesatuan itu di dalamnya termasuk mangrove yang mana juga
harus mendapat perlindungan demi mencegah dan menanggulangi dampak negative
terhadap lingkungan.
Dalam Undang-Undang ini beberapa pasal telah mengatur tentang mangrove yaitu
Pasal 1 angka 4 “Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya
hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan;
sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota
laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber
daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan,
dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi
gelombang laut yang terdapat di WilayahPesisir”, terkait perlindungan Pasal 31 ayat
(2) huruf d “Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan perlindungan
terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang
lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta” terkait larangan Pasal 35 huruf e “Dalam
pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau
tidak langsung dilarang menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem
mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
huruf f “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang
secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan konversi Ekosistem mangrove
di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi
ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” dan huruf g “Dalam pemanfaatan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung
dilarang menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri,
pemukiman, dan/atau kegiatan lain” kemudian terkait ketentuan pidana tertuang pada
Pasal 73 ayat (1) huruf b “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan cara dan
metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove,
menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.
Pasal 1 angka 1 “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain” kemudian Pasal 21 ayat (3) huruf d “kriteria baku
kerusakan mangrove” bahwa secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini mengatur
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk mangrove didalamnya yang
bahwa juga telah ditentukan baku mutu mangrove sebagai dasar penilaian kerusakan
mangrove yang akan menjadi dasar untuk menetukan perbuatan orang atau badan
hukum yang merusak mangrove.
Pasal 7 ayat (1) huruf p “rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta
lingkungannya” bahwa dalam penjelasan Pasal ini rehabilitasi dan peningkatan sumber
daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan
bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau
berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau
penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar
perairan. Bahwa dalam hal ini ada proses rehabilitasi dalam pengelolaan perikanan
yang meliputi hutan bakau yang sama dengan hutan mangrove.
Pasal 5 ayat (2) “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas
kawasan lindung dan kawasan budi daya” bahwa dalam lampiran penjelasan Undang-
Undang ini bahwa bakau termasuk dalam kawasan lindung yang termasuk dalam
kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan
suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Bahwa dalam Permen ini telah diatur mengenai mangrove mulai dari Pasal 1, Pasal
15 sampai dengan Pasal 41 yang membahas mangrove dimana Pasal 1 angka 5
menjelaskan “Mangrove adalah vegetasi pantai yang memiliki morfologi khas dengan
sistem perakaran yang mampu beradaptasi pada daerah pasang surut dengan substrat
lumpur atau lumpur berpasir” Pasal 15 huruf c “Rehabilitasi mangrove dilakukan
dengan cara perlindungan Mangrove agar tumbuh dan berkembang secara alami” yang
mana di sambung pada Pasal 18 huruf c “Perlindungan Mangrove agar tumbuh dan
berkembang secara alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan
dengan cara penegakan hukum terhadap pelaku kerusakan mangrove.
10. Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 24 tahun 2012
tentang Pengelolaan Hutan Mangrove,
Bahwa dalam Perda ini menagtur Mangrove yaitu yang dimaksud Mangrove dalam
Perda ini yaitu tertuang pada Pasal 1 angka 12 “Hutan Mangrove atau hutan bakau
adalah hutan yang tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung dari muara sungai,
penyebaran dan komposisi tidak tergantung iklim tetapi pada faktor edhopis (lebih
ditentukan oleh tipe tanah) dari pasang surut, struktur mangrove sangat sederhana
yang hanya terdiri atas satu lapis tajuk pohon dan dengan jumlah jenis pohon yang
kecil” Pasal 3 “Pengelolaan hutan mangrove bertujuan untuk menjamin kelestarian
sumber daya hayati secara terpadu, sehingga dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan.” Pasal 4 “Pengelolaan hutan mangrove berfungsi untuk melindungi
kawasan hutan mangrove agar memberikan manfaat dan dapat mensejahterakan
masyarakat” Pasal 6 “Ruang lingkup pengelolaan hutan mangrove meliputi: a.
Penetapan kebijakan pengelolaan, b. Pengelolaan hutan mangrove, terdiri dari:
1. penetapan rencana rehabilitasi;
9. pendanaan; dan
3
Pramudji. 2002. Eksploitasi Hutan Mangrove di Indonesia: Dampak dan Upaya
Untuk Penanggulannya. Vol. 27. No. 3, hlm. 4.
4
Antara News, 2015, 1.300 Hektar Hutan Mangrove di Penajam Rusak,
https://m.antaranews.com/amp/berita/487634/1300-hektare-hutan-mangrove-di-penajam-
rusak#aoh=16323621941690&csi=1&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=D
ari%20%251%24s (diakses pada tanggal 22 September 2021 pukul 09.50 WITA)
5
https://kaltim.antaranews.com/berita/22215/ratusan-hektare-hutan-mangrove-di-
penajam-rusak
6
Republika, 2015, Seribuan Hektare Hutan Mangrove di Penajam Rusak,
https://m.republika.co.id/amp/nluh7v#aoh=16323621941690&csi=1&referrer=https%3A%2F%
2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s (diakses pada tanggal 22 September 2021
pukul 10.00 WITA)
Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Penajam Paser Utara terletak di pesisir
pantai mulai dari Selatan sampai utara yang tersebar di semua wilayah Kecamatan
yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama wilayah yang berada di daerah
pesisir. pantai. Kawasan ini merupakan kawasan tumbuhnya tanaman mangrove
didaerah pesisir yang berfungsi untuk melindungi habitat, ekosistem dan aneka biota
laut. Disamping itu juga untuk melindungi pantai dari abrasi dan bencana tsunami.
Beberapa jenis mangrove yang dapat dijadikan bahan makanan antara lain;
a. Bolu agar-agar
b. Talam
c. Onde-onde
d. Gemblong
e. Ketimus
f. Puding
g. Dodol
h. Sirup
i. Permen buah
j. Lempok buah
k. Manisan buah
l. Juice buah
Kawasan hutan mangrove tersebut antara lain berada di:
Jika dilihat dari sudut instrumen penegak hukum, maka penegakan hukum
terbagi menjadi 3 macam, yaitu:10
7
“penegakan hukum” melalui, http://digilib.unila.ac.id/2827/12/BAB%2011.pdf.
Diakses pada tanggal 22 September 2021.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2010. Hlm 207.
9
M. Hadin. Mujad, Hukum Lingkungan: Sebuah Pengantar untuk Konteks
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2015. hlm. 199.
10
Abrar Saleng, Hukum Pertimbangan, UII Press, Jogjakarta, 2004. hlm. 181.
1. Penegakan Hukum Administrasi; Penegakan hukum yang dilakukan oleh
instrumen administratif, yaitu pejabat administrasif atau pemerintah.
2. Penegakan Hukum Perdata Penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak
yang dirugikan, baik secara individual, kelompok, masyarakat atau negara.
11
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi, 2011, hlm. 296.
beberapa bentuk sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi antara lain: 1)
Bestuursdwang ( paksaan pemerintah), yaitu kewenangan untuk atas biaya para
pelanggar guna menyingkirkan, mencegah, melakukan, atau mengembalikan pada
keadaan semula apa yang bertentangan dengan (ketentuan perundang-undangan
tertentu) yang telah atau sedang diadakan, dibuat atau ditempatkan, diusahakan,
dilalaikan (ditelantarkan), di rusak atau di ambil. 2) Penarikan kembali keputusan
(ketetapan yang menguntungkan, seperti; izin, pembayaran, subsidi). 3) Pengenaan
denda administrastif. 4) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (bestuutdwangsom),
berfungsi sebagai pengganti paksaan pemerintahan yang secara praktis sulit dijalankan
atau dipandang sebagai sanksi yang terlalu berat.12
12
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah mada University Press,
Yoyakarta, 1990, hal. 3.
pembangun Pelabuhan tambang yang menyebabkan kerusakan pada mangrove hal ini
tentu saja langsung secara utuh bisa dilakukan berkaca pada teori absolute liability
tanggung jawab secara mutlak tak perlu lagi memerlukan pembuktian dan lain halnya
yang akan memakan waktu yang apabila sudah terjadi kerusakan terhadap mangrove
akibat dari pembangunan Pelabuhan tambang tadi maka langsung bisa dimintai
pertanggung jawaban dengan cara melakukan pencabutan izin dari perusahaan
tersebut yang telah terakomodir dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menegaskan sanksi
administrasi terhadap lingkungan hidup yaitu pada Pasal 76 ayat (1) Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan. Pasal 76 ayat (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b.
paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin
lingkungan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. mangrove adalah perpaduan antara kata mangue (bahasa portugis) yang
berarti tumbuhan dan grove (bahasa inggris) yang berarti belukar atau hutan
kecil. Masyarakat kita sering menerjermahkan mangrove sebagai komunitas
hutan bakau, sedangkan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-
tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut.
2. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang
terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan
mangrove pada lokasi yang sama Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai
salah satu bentuk budidaya perikanan tradisional yang berkelanjutan dengan
input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan
mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove
yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan
ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah.
3. Konservasi hutan mangrove adalah usaha perlindungan, pelestarian alam dalam
bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut,
pesisir, dan hutan mangrove (Mulyadi, Hendriyanto, & Fitriani, 2010).
Konservasi hutan mangrove sangat penting dimana dengan adanya hutan
mangrove itu sendiri memiliki banyak manfaat bagi ekosistem sekitar.
Mangrove merupakan salah satu pohon yang memiliki beragam manfaat untuk
lingkungan. Kegunaan mangrove dari berbagai aspek, baik aspek fisik (seperti
penahan abrasi, intrusi air asin ke sumur – sumur warga dan angin kencang
dari laut), aspek ekologi (sebagai tempat hidup berbagai biota, seperti ikan,
kepiting, udang, siput dan biota lainnya) maupun aspek ekonomi (seperti untuk
ekowisata, buahnya diolah menjadi sirup dan dodol)
4. Problemmatika mangrove di daerah Penajam bahwa disebabkan oleh berbagai
kegiatan yang utama ialah kegiatan pembalakan liar oleh masyarakat yang
dilakukan oleh masyarakat khususnya di Penajam untuk dimanfaatkan bagi
kehidupan namun hal itu tidaklah dibenarkan karena telah merusak lingkungan
yang mana akan berdampak bagi aspek-aspek kehidupan makhluk hidup yang
ada pada ekosistem mangrove.
5. Upaya atau solusi dari promblematika mangrove di Penajam adalah dengan
instrument penegakan hukum yaitu mulai dari penegakan hukum secara
adnimistratif, perdata, dan pidana yang dilakukan dengan tegas diharapkan
nantinya akan menimbulkan kesadaraan hukum bahwa perbuatan masyrakat
khususnya di Penajam melakukan penebangan pohon-pohon mangrove sacara
luas dan masiv itu merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan, kemudian
diharapkan juga dengan adanya penegakan hukum secara tegas akan berefek
pada berkurangnya penebangan-penebagan mangrove secara luas, sehingga
ekosistem mangrove tetap terjaga dan lestari.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Bagir Manan. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara . Mandar Maju,
Bandung, 1995.
Pide, Suriyaman Mustari. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Prenadamedia
Group, Jakarta, 2014.
Salim. Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
JURNAL
Ernest Runtukahu, “Hambatan Dan Upaya Pembenahan Penegakan Hukum Terhadap
Kejahatan Di Bidang Kehutanan”, Lex et Societatis, Vol. II/No. 2 Februari, 2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
WEBSITE