Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326379768

JEJARING AKTOR DALAM PENGELOLAAN MANGROVE BERBASIS


MASYARAKAT KONTEKS KPH

Article  in  RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan · July 2018
DOI: 10.20957/jkebijakan.v4i3.22083

CITATIONS READS

2 90

4 authors, including:

Ok Hasnanda Syahputra Bramasto Nugroho


University of Sumatera Utara Bogor Agricultural University
17 PUBLICATIONS   3 CITATIONS    66 PUBLICATIONS   291 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Hariadi Kartodihardjo
Bogor Agricultural University
49 PUBLICATIONS   135 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ok Hasnanda Syahputra on 09 November 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan
Vol. 4 No. 3, Desember 2017: 233-240
ISSN : 2355-6226
E-ISSN : 2477-0299

JEJARING AKTOR DALAM PENGELOLAAN MANGROVE


BERBASIS MASYARAKAT KONTEKS KPH

OK Hasnanda Syahputra1, Bramasto Nugroho2, Hariadi Kartodihardjo2,


3
Nyoto Santoso
1 1
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB),
Bogor 16680, Indonesia
Email: ok.hasnanda@yahoo.com
2
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680, Indonesia.
3
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB),
Bogor 16680, Indonesia

RINGKASAN
Jejaring aktor memiliki konsep suatu hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan
yang dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Hubungan ini dapat dipandang
sebagai sebuah interaksi yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan
utuh yang terikat melalui satu jaringan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa
aktor yang menjadi pusat informasi didalam jaringan (centrality), aktor yang menjadi perantara
(betweenness) dan aktor yang mempunyai hubungan terdekat (closeness) dengan para aktor lainnya
sehingga mempunyai pengaruh yang besar dalam pengambilan kebijakan. Metode analisis data
menggunakan pendekatan social network analysis (SNA), yaitu dengan melihat pola keterhubungan
didalam jaringan. Hasil studi menunjukkan bahwa yang masuk katagori tertinggi untuk indegree :
kepala desa, dinas kehutanan provinsi, tokoh masyarakat, dan masyarakat desa pusong kapal,
outdegree: kepala desa, kesatuan pengelolaan hutan (KPH), perguruan tinggi, dan dinas kehutanan
provinsi. Incloseness : kepala desa, KPH, perguruan tinggi, dinas kehutanan provinsi. Outcloseness
yaitu dinas kelautan dan perikanan Aceh Tamiang, kepala desa, lembaga swadaya masyarakat
lembah tari, dan perguruan tinggi. Betweeness terdiri dari kepala desa, KPH, perguruan tinggi, dan
dinas kehutanan provinsi.

Kata kunci: jejaring, aktor, mangrove, berbasis masyarakat, KPH

PERNYATAAN KUNCI pihak yang bertanggung jawab untuk


melestarikannya.
® Hutan mangrove merupakan sumberdaya ® Adanya bukti bahwa pengawasan dan
milik bersama (common pool resources, CPR) yang pengelolaan CPR yang dilakukan oleh
rentan terhadap eksploitasi berlebihan akan masyarakat pengguna/lokal dapat
mengancam kelestariannya dan tidak adanya menciptakan institusi yang membentuk

233
OK Hasnanda Syahputra, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, Nyoto Santoso Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

interaksi antara sumberdaya dan masyarakat kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sebagai
yang membantu mereka melindungi aktor pengelola ditingkat tapak bukan hanya
sumberdaya secara adil, efesien, dan lestari. untuk tujuan organisasi mereka sendiri akan
® Peran penting seorang aktor dan dampaknya tetapi untuk tujuan kolektif.
pada kebijakan yaitu dalam memberikan
informasi dan tingkat informasi yang diterima
didalam jaringan serta seberapa banyak I. PENDAHULUAN
interaksi yang terjadi didalam jaringan
sehingga akan memberikan wawasan lebih Jaringan yang terbangun antar aktor didalam
pada keyakinan aktor dalam proses pengelolaan hutan mangrove merupakan salah
pengambilan keputusan. satu bagian terpenting dalam mengembangkan
suatu kelembagaan. Salah satu asumsi dasar
pendekatan yang dikembangkan adalah bahwa
REKOMENDASI KEBIJAKAN kelembagaan tidaklah statis tapi dinamis dan
jaringan muncul berdasarkan interaksi dan
® Pengelolaan mangrove berbasis masyarakat hubungan antar aktor dalam pengelolaan
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pusong mangrove. Hampir semua pendekatan jaringan
Kapal, telah menunjukkan pengelolaan yang mengacu pada hubungan, keterhubungan,
bertanggung jawab dan efektif. Hal ini kolaborasi, aksi kolektif, kepercayaan, dan
didorong oleh pengalaman panjang yang kerjasama (Provan et al.2007). Disamping itu pula
dirasakan oleh masyarakat ini ketika mereka bahwa tingkat keberhasilan pengelolaan hutan
berinteraksi langsung dalam pengelolaan berbasis masyarakat sering dijadikan rekomendasi
mangrove. Artinya dalam berinteraksi dalam para ahli terutama terkait hubungannya dengan
penggunaan sumberdaya alam, mereka lebih transfer pengambilan keputusan kekuasaan
peduli terhadap kesejahteraan terkait dengan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
kepentingan konservasi, dan pengakuan nilai- sumberdaya alam untuk masyarakat lokal (Dewees
nilai lokal. et al.2010), diharapkan dapat memberikan
® Kerjasama dan kepercayaan yang terbangun kontribusi terhadap tata kelola hutan yang baik
melalui pertukaran informasi dan berlanjut (Agrawal dan Ribot 1999) melalui investasi lokal
dari waktu ke waktu akan mengembangkan dan manajemen yang lebih efektif dan akhirnya
hubungan dan mengurangi ketidakpastian. Hal menghasilkan tata kelola hutan yang ramah
ini akan membuat jarak komunikasi menjadi lingkungan (Ribot 2002; Maryudi et al. 2012).
lebih pendek dan memiliki dampak positif Saat ini kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
terhadap persepsi aktor terkait nilai hubungan, wilayah 3 Provinsi Aceh dihadapkan pada
kekuatan jaringan, dan mobilisasi aktor dalam tantangan untuk mengelola hutan mangrove
jaringan. secara berkelanjutan karena di wilayah ini
® Adanya dukungan masyarakat dan elit lokal mempunyai luasan hutan mangrove yang terbesar
sebagai bagian sekutu didalam jaringan di Provinsi Aceh diperkirakan seluas ± 20.481 ha
merupakan sumberdaya dan kekuatan bagi yang meliputi Aceh Tamiang, Kota Langsa, dan

234
Vol. 4 No. 3, Desember 2017 Jejaring Aktor dalam Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat Konteks KPH

Aceh Timur, dan adanya eksploitasi sumberdaya masing. Sehingga seberapa besar sebenarnya
hutan mangrove untuk bahan baku arang. Kondisi tingkat kedekatan para aktor untuk saling
ini mengakibatkan terjadinya tingkat kekeritisan berinteraksi dan tukar menukar informasi dalam
lahan mangrove dan menurunnya tingkat jaringan sangat sulit ditemukan. Untuk
biodiversitas sumberdaya mangrove, seperti yang menganalisis struktur sosial mengenai beberapa
dilaporkan Iswahyudi (2008) bahwa tingkat elemen yang terdapat pada lingkungan sosial yang
kekeritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh saling berhubungan maka digunakan metode social
Timur terdiri atas katagori rusak berat seluas network analysis (SNA). SNA menitik beratkan
36,064 hektar (49,85%); rusak seluas 28,729 analisisnya pada interaksi para aktor.
hektar (39,71%), dan tidak rusak seluas 7,548 Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini
hektar (10,43%). Nurlailita (2015) juga dilakukan untuk menganalisis bagaimana
melaporkan hasil inventarisasi hutan mangrove di kebijakan yang dilakukan KPH sebagai pengelola
Kabupaten Aceh Timur disusun oleh 10 jenis ditingkat tapak terkait dengan pengelolaan
tumbuhan mangrove, mulai dari tingkat semai mangrove berbasis masyarakat khususnya di Desa
hingga pohon, dengan indeks nilai penting (INP) Pusong Kapal (DPK) Kabupaten Aceh Tamiang,
tertinggi adalah jenis Rhizophora apiculata dan yang mampu membangun hubungan dan saling
Bruguiera gymnorrhiza. Hasil penelitian Hasri et al. berintraksi dengan para aktor didalam jaringan
(2014) menunjukkan bahwa di Kabupaten Aceh menyangkut pertukaran informasi, saling
Tamiang Kecamatan Seuruway Desa Lubuk membantu dalam melaksanakan ataupun
Damar hutan mangrove hanya disusun oleh 5 mengatasi sesuatu sehingga memungkinkan
jenis yaitu Bruguiera sexangula (INP 103,17); B. kegiatan dapat berjalan secara efesien dan efektif.
Parviflora (INP 90,22); Aegisceras floridium (INP Kondisi ini memerlukan dukungan aktor lainnya
82,23); Excoecaria agallocha (INP 12,08); dan untuk mencapai tujuan yang diharapkan atau
Soneratia alba (INP 11,30). Jenis penyusun sebaliknya jaringan tidak akan terwujud tanpa
mangrove ini memiliki kerapatan rendah yaitu 230 dilandasi norma dan rasa saling percaya.
i n d iv i d u / h a . Ko n d i s i i n i m e n g a n c a m
keberlangsungan regenerasi di masa yang akan
datang. Berdasarkan kriteria baku kerusakan II. SITUASI TERKINI
mangrove yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (2004) kondisi hutan 2.1. Kondisi Jaringan Aktor
mangrove di desa Lubuk Damar termasuk Salah satu faktor penentu keberhasilan
kedalam kriteria rusak. Dengan demikian pengelolaan mangrove berbasis masyarakat adalah
kebijakan dan strategi yang menjamin tergantung dari pentingnya aktor dan bagaimana
keberlanjutan pengelolaan mangrove sangat aktor tersebut memainkan perannya dalam sebuah
diperlukan. jaringan. Disini akan terlihat aktor yang mampu
Sebelum terbentuknya KPH salah satu mengembangkan hubungan satu sama lain,
kelemahan pengelolaan mangrove adalah, memungkinkan mengakses dan menggunakan
dimana masing-masing aktor mempunyai visi dan sumberdaya aktor lain, meningkatkan dan
misi dari organisasi atau kelembagaannya masing- memperbaiki posisi mereka dalam jaringan
(Hakansson dan Snehota 2006).
235
OK Hasnanda Syahputra, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, Nyoto Santoso Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Jaringan para aktor yang terbentuk ini dianalisis mengidentifikasi wilayah kelolanya terhadap
dengan SNA untuk melihat hubungan antara para berbagai permasalahan yang timbul ke depannya
aktor di dalam pengelolaan mangrove berbasis akan sangat mempengaruhi setiap kebijakan yang
masyarakat DPK khususnya di Kabupaten Aceh akan diterapkan dan keputusan yang akan diambil.
Tamiang. Dalam menilai hubungan ini SNA dapat 2.2. Arah kebijakan pengelolaan mangrove
menjelaskan bahwa secara konseptual struktur KPH Wilayah 3 memiliki kebijakan
sosial sebagai jaringan dengan anggota ikatan memberikan informasi seluas-luasnya kepada
menghubungkan dan menyalurkan sumberdaya, masyarakat dalam mendorong upaya pelestarian
lebih berfokus pada karakteristik hubungan bukan mangrove di dalam wilayah kelolanya. Hal ini
pada karakteristik individu anggota, dan dapat terlihat dengan terbitnya kesepakatan
memandang masyarakat sebagai masyarakat kerjasama antara Dinas Kehutanan dengan
pribadi. Aspek penting dari SNA adalah Kampung Kuala Pusong Kapal tentang
bagaimana keteraturan struktural mempengaruhi pengelolaan hutan bakau di Kampung Kuala
perilaku aktor. Hasil penelitian ini cukup persuasif Pusong Kapal pada UPTD KPH Wilayah 3 Aceh
dalam memberikan gambaran ikatan yang terjadi Nomor: 050/1149-V (Dishut Aceh) dan Nomor:
antara aktor dalam pengelolaan mangrove 470/75/2020 (Kampung Kuala Pusong Kapal)
berbasis masyarakat di DPK yang menunjukkan tanggal 18 Maret 2015.
bahwa aktor memiliki hubungan yang lebih kuat Dengan perjanjian ini maka posisi KPH
kepada aktor yang lain dan dengan siapa mereka Wilayah 3 sebagai pengelola ditingkat tapak
bersama-sama berinteraksi lebih dari satu konteks semakin kuat karena telah memperoleh sekutu
sosial. didalam pengelolaan mangrove dan dapat
KPH Wilayah 3 sebagai organisasi baru memanfaatkan masyarakat sebagai garda terdepan
pengelola di tingkat tapak telah menunjukkan didalam menjaga kelestarian mangrove dari
keberhasilannya dengan melakukan hubungan kegiatan illegal logging. Demikian juga dengan
yang maksimal kepada setiap aktor yang terlibat masyarakat DPK memperoleh keuntungan
didalam jaringan pengelolaan mangrove. Hal ini didalam pengelolaan melalui kegiatan penanaman,
tampak dari beberapa aktor yang awalnya menolak membentuk tim pengamanan dalam rangka
kehadiran KPH Wilayah 3, akan tetapi lambat laun mengamankan areal hutan lindung, mendapatkan
mempercayai bahwa KPH Wilayah 3 adalah bimbingan teknis dalam upaya perlindungan dan
sebagai leading sector kehutanan khususnya dalam pengelolaan kawasan hutan bakau serta
pengelolaan mangrove. melakukan patroli rutin.
Apabila KPH Wilayah 3 mampu memainkan Strategi yang diterapkan KPH Wilayah 3
perannya di wilayah ini dengan baik terutama dengan perjanjian ini ternyata telah membuat
memainkan sentimen para aktor yang terlibat masyarakat desa lain yang berada dalam kawasan
didalam pengelolaan mangrove, akan lebih hutan mangrove juga berkeinginan untuk dapat
menguntungkan karena banyaknyanya para aktor melakukan kerjasama seperti yang dilakukan
lain yang ingin terlibat atau ingin dilibatkan dengan masyarakat DPK. Jika keadaan ini bisa
sebagai bagian dari pengelolaan mangrove dimainkan dengan baik oleh KPH sehingga
berbasis masyarakat tersebut. Pentingnya mendapatkan hasil positif tentunya konflik yang

236
Vol. 4 No. 3, Desember 2017 Jejaring Aktor dalam Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat Konteks KPH

mungkin timbul dapat dihindari atau diperkecil Hasil analisis SNA pada jaringan aktor dalam
dan akan lebih mudah bagi KPH untuk pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di
mengontrol para aktor didalam pengelolaan Kabupaten Aceh Tamiang dalam KPH Wilayah 3
mangrove didalam jaringan. seperti pada Tabel 1.
Kebijakan yang diambil KPH dengan Dari hasil analisis SNA diketahui bahwa kepala
mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam desa, KPH Wilayah 3, Dinas Kehutanan Provinsi,
pengelolaan mangrove dimana pada dasarnya dan tokoh masyarakat adalah merupakan aktor
merupakan masyarakat yang peduli dengan yang mempunyai derajat sentralitas (degree centrality)
hutan mangrove karena mereka sangat yang cukup besar dalam jaringan informasi
menyadari pentingnya mang rove bagi pengelolaan hutan mangrove. Dari analisis SNA
perlindungan desa mereka selain sebagai sumber ini dapat menjelaskan tentang ketersediaan
mata pencaharian. Kondisi ini tentu lebih sumberdaya dan dukung an, bila aktor
menguntungkan dibandingkan deng an diidentifikasi memiliki hubungan yang lemah
masyarakat yang melakukan usaha pelestarian maka harus bekerjasama dengan aktor yang
dan perlindungan mangrove yang disebabkan memiliki hubungan yang sangat kuat sehingga
aktor yang lemah tersebut dapat lebih maksimal
oleh adanya kewajiban yang dibebankan kepada
untuk mendapatkan akses ke sumberdaya dan
mereka akibat adanya izin yang diberikan.
dukungan yang tersedia. Interaksi dan dinamika
hubungan antara aktor di Kabupaten Aceh
Tamiang pada pengelolaan hutan mangrove
III. ANALISIS DAN ALTERNATIF
berbasis masyarakat DPK, dimana secara empiris
SOLUSI
hubungan kepercayaan dibangun melalui proses

Tabel 1 Nilai centrality hubungan jaringan aktor dalam pengelolaan mangrove berbasis masyarakat

Sumber: Data primer diolah (2016)

237
OK Hasnanda Syahputra, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, Nyoto Santoso Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

konfirmasi tentang substansi kegiatan dan Pada Tabel 1, terlihat pula bahwa untuk kriteria
sumberdaya yang dipertukarkan, dapat dilihat indegree para aktor yang mempunyai nilai tertinggi
pada Gambar 1. Hubungan kerjasama ini yaitu Kepala Desa, Dishut Provinsi, tokoh
terbangun karena adanya tujuan bersama, masyarakat, dan masyarakat DPK. Interaksi para
keselarasan visi aktor, keterbukaan dan aktor yang terjadi masing-masing sebanyak 58, 47,
ketersediaan masing-masing pihak untuk 44 dan 43 kali. Hal ini mengandung arti bahwa
memecahkan masalah kolektif. Pada dasarnya aktor dalam jaring an mencoba untuk
tidak ada aktor yang memiliki semua sumberdaya berhubungan dengan aktor yang banyak relasinya.
yang diperlukan untuk penyampaian layanan Sedangkan kepala desa, KPH, dan Perguruan
mereka, karenanya perlu diciptakan hubungan Tinggi (PT), dan Dinas Kehutanan Provinsi
untuk membangun jaringan sumberdaya dan adalah aktor yang banyak relasinya berinteraksi
kegiatan (Hakansson dan Ford 2002). sebanyak 50, 43, 40, dan 39 kali kepada aktor yang

Gambar 1. Representasi interaksi para aktor dalam jaringan di Kabupaten Aceh Tamiang.

Gambar 2 Hubungan Sentralitas para aktor dalam pengelolaan mangrove

238
Vol. 4 No. 3, Desember 2017 Jejaring Aktor dalam Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat Konteks KPH

lain didalam jaringan (outdegree). Hubungan Perikanan, kepala desa, LSM, dan PT dengan nilai
sentralitas dari para aktor dapat dilihat pada masing-masing sebesar 90,75,75, dan 64.
Gambar 2. Hubungan Closness para aktor dalam pengelolaan
Pada jaringan yang terbentuk terlihat ada mangrove seperti terlihat pada Gambar 3.
beberapa aktor yang memiliki peranan besar Aktor yang mampu dalam menjembatani
dalam jaringan. Seorang aktor yang memiliki informasi antar dua aktor yang lain di jaringan
peran besar jika dia memiliki ukuran centrality yang dalam pengelolaan mangrove yaitu kepala desa,
baik dan biasanya akan membentuk sub group pada KPH Wilayah 3, PT, dan Dinas Kehutanan
jaringan yang ada. Provinsi dengan nilai betweeness masing-masing 19,
Dari Tabel 1 memperlihatkan bahwa aktor 18, 8, dan 3. Secara keseluruhan nilai ini masih
yang memiliki kedekatan dengan aktor lain dalam terlalu kecil walaupun ada usaha yang dilakukan
jaringan akan lebih mampu dalam berkomunikasi para aktor akan tetapi kemampuan para aktor
dan memiliki hubungan yang maksimal dengan dalam menjembatani informasi antar aktor masih
aktor lainnya (incloseness), seperti kepala desa, KPH sangat lemah. Hal ini kemungkinan bisa
Wilayah 3, PT, dan Dinas Kehutanan Provinsi disebabkan karena beberapa aktor telah berusaha
dengan nilai masing-masing 90, 90, 81, dan 81. sebagai penghubung untuk aktor yang lain akan
Hal ini menunjukkan bahwa para aktor memiliki tetapi karena kepentingannya kecil di dalam
akses yang cepat ke aktor lainnya dan memiliki jaringan sehingga arus informasi tidak sepenuhnya
visibilitas yang tinggi untuk mengetahui apa yang sampai ke aktor yang lain, atau sebaliknya dari
terjadi didalam jaringan. Sementara para aktor aktor tersebut ingin menyampaikan informasi
yang mempunyai kemampuan dalam didalam jaringan tetapi karena pengaruhnya tidak
menyampaikan informasi kepada aktor lain besar sehingga informasi tersebut belum
didalam jaringan terdiri dari Dinas Kelautan dan sepenuhnya dimanfaatkan oleh aktor lainnya.

Gambar 3 Hubungan Closness para aktor dalam pengelolaan mangrove

239
OK Hasnanda Syahputra, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, Nyoto Santoso Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Gambar 4 Hubungan Betweeness para aktor dalam pengelolaan mangrove

Gambar 4 memperlihatkan hubungan betweeness memudahkan bagi KPH untuk mensosialisasikan


aktor. semua informasi dan program kegiatannya di
Berdasarkan hasil analisis yang telah jaringan, mana dari aktor tersebut yang merupakan
dikemukakan sebelumnya agar pengelolaan sekutu dan aktor yang sering melakukan
mangrove berbasis masyarakat konteks KPH perlawanan dari setiap kebijakan yang diambil.
dapat berhasil kedepannya adalah dengan Dengan analisis ini juga akan diketahui peran
mengetahui bagaimana pola keterhubungan aktor dari masing-masing aktor dan bagaimana para
dalam jejaring yang akan diselidiki apakah derajat aktor tersebut terhubung didalam jaringan.
keberadaan dan posisi aktor dalam sebuah Analisis ini akan dapat berkontribusi terhadap
jaringan sosial (degree centrality), merupakan jumlah optimalisasi keseluruhan sistem kerja (Stanton
relasi atau interaksi yang diterima (indegree) atau 2014).
relasi yang keluar (outdegree) dari sebuah node atau
aktor. Jarak terpendek antara aktor-aktor yang
terjangkau dalam jaringan dan sejauh apa REFERENSI
informasi bisa tersebar dalam jaringan (Closeness
centrality). Seberapa jauh aktor dapat Agrawal A., Ribot J. 1999. Accountability in
mengendalikan informasi diantara aktor-aktor decentralization: a framework with South
yang lain serta seberapa kuat aktor yang Asian and West African environmental
merupakan fasilitator atau penghubung bagi cases. J. Dev. Areas 33, 473-502.
aktor-aktor lain dalam jaringan (betweeness). Dewees P.A., Campbell B.M., Katererec Y., Sitoed
Dengan kemampuan memetakan kedudukan para A., Cunninghame A.B., Angelsenf A.,
aktor yang terlibat dalam pengelolaan mangrove Wunderg S. 2010. Managing the Miombo
berbasis masyarakat didalam jaringan, maka akan woodlands of Southern Africa: policies,

240
Vol. 4 No. 3, Desember 2017 Jejaring Aktor dalam Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat Konteks KPH

incentives and options for the rural poor. J. Maryudi A., Devkota R, Schusser C., Yufanyi C.,
Nat Resour.Policy Res. 2 (1), 57-73. Salla M.,Aurenhammer H.,
Håkansson H., & Ford D. 2002. How should Rotchanaphatharawit R., Krott M. 2012.
companies interact in business networks? Back to basics: considerations in evaluating
Journal of Business Research, 55(2), the outcomes of community forestry. For
133–139. doi:10.1016/S0148- Policy Econ. 14 (1), 1-5.
2963(00)00148-X Nurlailita. 2015. Evaluasi kesesuaian lahan dan
Håkansson H., & Snehota I. 2006. No business is strategi rehabilitasi hutan mangrove
an island: The network concept of business Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan
strateg y. Scandinavian Journal of Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur.
Management, 22(3), 256–270. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
doi:10.1016/j.scaman.2006.10.005 Bogor.
Hasri K., Basri H., Indri. 2014. Dampak alih Provan K.G.,Fish A., and Sydow J. 2007.
fungsi lahan terhadap nilai ekosisitem Interorganizational networks at the network
mangrove di Kecamatan Seuruway level: A review of the empirical literature on
K abupaten Aceh Tamiang. Jur nal whole networks. Journal of Management,
Manajemen Sumberdaya Lahan. Vol. 3 No. 3 3 ( 3 ) , 4 7 9 - 5 1 6 .
1. 396-405. Doi:10.1177/0149206307302554.
Iswahyudi. 2008. Kajian biofisik hutan mangrove Ribot J.C. 2002. Democratic decentralization of
di Kabupaten Aceh Timur. Sekolah natural resource: institutionalizing popular
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. participation. World Resource Institut,
Tesis. Washington DC.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Stanton NA. 2014. Representing distributed
cognition in complex systems: how a submarine
Kumpulan peraturan pengendalian
return to priscope depth periscope depth.
kerusakan pesisir dan laut. Deputi bidang Ergonomics 57, 403-418.
peningkatan konservasi sumberdaya alam http://dx.doi.org/10.1080/00140139.2013.7722
dan pengendalian kerusakan lingkungan. 44.

241

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai