Anda di halaman 1dari 160

DEWAN KELAUTAN INDONESIA

KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA


BUKU I

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


SEKRETARIAT JENDERAL
SATKER DEWAN KELAUTAN INDONESIA
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Panjang Nasional 2005-2025 mencantumkan 8 (delapan) misi pembangunan nasional untuk
mencapai Visi Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Salah satu misi tersebut
adalah Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional. Strategi pembangunan nasional yang digunakan untuk
mencapai visi dan misi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang tersebut adalah
pembangunan yang berkelanjutan dengan semangat yang pro-poor, pro-growth, pro-job
dan pro-environment. Namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki suatu kebijakan
kelautan. Padahal Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesian Ocean Policy) tersebut dapat
dijadikan framework atau rujukan bagi semua stakeholders yang sangat peduli terhadap
pembangunan kelautan di Indonesia.
Dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) disusun berdasarkan 5 pilar kebijakan
yakni Budaya Bahari (Ocean Culture), Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance),
Pertahanan, Keamanan dan Keselamatan di Laut (Maritime Security), Ekonomi Kelautan
(Ocean Economic), dan Lingkungan Laut (Marine Environment). Arahan kebijakan dari
masingmasing pilar tersebut antara lain:
1. Budaya Bahari : menjadikan laut sebagai ruang hidup dan ruang juang, tempat berkarya,
bekerja, berolah raga, bersukaria dan masyarakat Indonesia mencintai, memelihara,
mengembangkan, mengelola, mengolah dan memanfaatkan sumberdaya laut secara
bertanggungjawab dan berkelanjutan.
2. Tata kelola laut: menciptakan sistem tata kelola kelautan nasional yang komprehensif,
terintegrasi, efektif, dan efisien.
3. Pertahanan, Keamanan dan Keselamatan di Laut: menegakkan kedaulatan dan hukum
di laut yuridiksi nasional, demi terwujudnya kesatuan wilayah NKRI, serta terjaminnya
keamanan dan keselamatan pelayaran, dan keamanan sumber daya hayati dan sumber
daya alam laut yang kuat dan terkoordinasi.
4. Ekonomi Kelautan: mewujudkan industri kelautan yang kokoh, mandiri, berdaya saing,
dan terkemuka di dunia, serta memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi guna
mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
5. Lingkungan Laut: menjadikan pesisir dan laut Indonesia sebagai tempat hidup
masyarakat yang sehat dan terlindung dari bencana, serta sekaligus dapat memberikan
manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat dan bangsanya.

i
Peluang-peluang pengembangan kelautan bagi pembangunan nasional perlu dipayungi
dengan Kebijakan Kelautan Indonesia yang mampu mensinergikan setiap potensi kelautan
yang dimiliki, serta mampu mensinergikan lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat.
Kebijakan Kelautan Indonesia disusun berdasarkan pada kekuatan-kekuatan yang dimiliki
bangsa, tantangan dan isu strategis baik nasional, regional maupun global, dengan didasari
aspek legal dan searah dengan kebijakan yang sudah ada. KKI diharapkan mampu
membangun kebersamaan para pemangku kepentingan agar dapat memberikan sumbangsih
pemikirannya bagi kemampuan bangsa dan negara dalam memanfaatkan, mengelola, dan
mengembangkan laut dari segala aspeknya. KKI yang disusun diupayakan semaksimal
mungkin mampu mendasari pembangunan kelautan di segala lapisan pembangunan
sehingga dapat dioperasionalkan guna meningkatkan martabat bangsa, penguasaan iptek,
kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelestarian laut dan kemakmuran
bangsa.
Dewan Kelautan Indonesia menyadari bahwa Kebijakan Kelautan Indonesia ini masih
belum sempurna. Oleh karenanya masih banyak membutuhkan masukan dan perbaikan.
Kami berharap kiranya Kebijakan Kelautan Indonesia ini dapat menjadi Peraturan Pemerintah
(PP). Akhir kata, Dewan Kelautan Indonesia mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak atas bantuan berbagai informasi, ijin penggunaan sumber
informasi, pikiran dan tenaga yang telah diberikan dalam penyusunan dokumen Kebijakan
Kelautan Indonesia. Semoga bermanfaat.

Menteri Kelautan dan Perikanan


Selaku
Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia

Sharif C. Sutardjo

ii
TIM PENYUSUN
NASKAH KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

POKJA KEBIJAKAN BUDAYA BAHARI :


Ketua : Laksma TNI (Purn) Drs. Bonar Simangunsong, M.Sc / Tenaga Ahli
Anggota : 1. Ir. Abdul Alim Salam / Tenaga Ahli
2. Dr. Ir. Sugianto Halim, M.si / STP
3. Dr. Ir. Anton Leonard, MM / Asosiasi
4. Ukay Karyadi, SE., ME./ Staf Khusus Men.KP
5. Ir. Herman Suherman, M.M / BPSDM KKP
6. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc / IPB
7. Prof.Dr. Ibrahim Bafadel / Kemdikbud
8. Dr. Supratikno Rahardjo, M.Hum / UI

POKJA KEBIJAKAN TATA KELOLA KELAUTAN


Ketua : Prof. Dr . Kuntoro, SH, MH / Tenaga Ahli
Anggota : 1. Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA / Pakar
2. Prof. Dr Etty R Agoes, SH, L.LM / UNPAD
3. Dr. Ir Son Diamar, M.Sc / Pakar
4. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si /IPB
5. Drs. H. Ahmad Mujib Rahmad /Staf Khusus Men. KP
6. Ir. Moh Andus Nurhidajat, M.Si / Dir. Produksi Ditjen PB, KKP
7. Dr. I Rizari, MBA, M.Si/Dir. Kawasan dan Pertanahan Ditjen PUM Kemdagri
8. Rachmat Budiman / Dir Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kemlu

POKJA KEBIJAKAN EKONOMI KELAUTAN


Ketua : Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.Sc / Anggota DEKIN
Anggota : 1. Prof Dr. Ir Daniel Monintja / Pakar
2. Dr. Ir. Enday Kusnendar, MS / Pakar
3. Djodie Supriatman / Asosiasi
4. Syarif Syahrial, SE, ME / Staf Khusus MKP
5. Ir. Syafril Fauzi, M.Sc /DJP2HP KKP
6. Ir. Tyas Budiman, MM/Dir. Pelabuhan Perikanan, KKP
7. Dr.Ir. Sri Yanti Widjana/ Bappenas
8. Ir. Hanggoro Budi Wiyawan /Kepala Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa
Transportasi Kemhub

iii
POKJA KEBIJAKAN PERTAHANAN, KEAMANAN DAN KESELAMATAN DI LAUT
Ketua : Laksdya TNI (Purn) Abu Hartono / Anggota DEKIN
Anggota : 1. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, MS, Msi / Kemhan
2. Laksda TNI (Purn) I Gede Artjana / Pakar
3. Dr. Ir. Dicky Munaf, M. Sc. / Bakorkamla
4. Dr. Ir. Yulistyo, M.Sc / DJPSDKP KKP
5. Imran Azis, SH / Pakar
6. Capt. H. Rubianto, M.Mar / Pakar Keselamatan Laut
7. Kolonel Laut (P) R. Achmad Rivai / Paban I Renstra Srenal TNI-AL
8. Kombes Triyono / Mabes POLRI

POKJA KEBIJAKAN LINGKUNGAN LAUT


Ketua : Dr Elly Rasdiani Soedibyo / Tenaga ahli
Anggota : 1. Dr. Ir. Hikman Manaf, M.Sc / Tenaga Ahli
2. Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moesidik / UI
3. Dr. Udi Syahnudi Hamzah / Pakar
4. Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus.It / Dir. Pesisir dan Laut DJKP3K KKP
5. Ir.Arief Yuwono,MA / Deputi Bid. Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan
Perubahan Iklim, KLH
6. Drs. Nursiwan Taqim, M.Si/Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan /
Pesisir dan Laut KLH
7. Ir. Hari Purwanto, M.Sc.DIC / SAM Menristek Bid. Pertahanan dan Keamanan
Kemen Ristek
8. Kepala Pusat PPPGL KESDM

Tim Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia


1. Dr. Ir. Dedy H. Sutisna , MS
2. Dr. Ir. Syahrowi R. Nusir, MM
3. Drs. Tomo HS, M.Si
4. Budi Sampurno, SE
5. Synthesa Praharani Ksatrya, SIK
6. Jatu Nugrohorukmi,S. Kel

iv
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
TIMPENYUSUN .......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... viii

I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1. Umum .......................................................................................................... 1
2. Maksud dan Tujuan ..................................................................................... 2
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut....................................................................... 2
4. Metode dan Pendekatan .............................................................................. 3
5. Sistemetika ................................................................................................. 3
6. Pengertian ................................................................................................... 4

II LANDASAN PEMIKIRAN ................................................................................... 6


1. Umum .......................................................................................................... 6
2. Paradigma Nasional .................................................................................... 7
3. Rencana pembenagunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional ................. 12
4. Pokok-pokok Teori yang Melandasi Kebijakan Kelautan Indonesia ............ 16

III KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA SAAT INI .............................. 19


1. Umum .......................................................................................................... 19
2. Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia saat ini ........................................... 20
3. Implikasi Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Ketahanan Nasional .............................................................. 64
4. Permasalahan yang Dihadapi ..................................................................... 67

v
IV PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS .............................................. 70
1. Umum .......................................................................................................... 70
2. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Global ............................................ 70
3. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Regional ........................................ 75
4. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Nasional ......................................... 87
5. Peluang dan Kendala .................................................................................. 81

V KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA YANG


DIHARAPKAN ..................................................................................................... 86
1. Umum .......................................................................................................... 86
2. Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang Diharapkan ........................... 87
3. Indikator Keberhasilan Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap
Bidang Kelautan .......................................................................................... 93
4. Kontribusi Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja ................................................. 96

VI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA ............................................................... 98


1. Umum .......................................................................................................... 98
2. Visi, Misi dan Kebijakan ............................................................................... 99
3. Strategi ......................................................................................................... 102
4. Upaya-upaya ............................................................................................... 110

VII PENUTUP ........................................................................................................... 147


DAFTAR PUSTAKA

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Hasil Survei Tentang Wawasan Kelautan Tahun 2009 dan 2010 .......... 20
Tabel 3.2 Kontribusi Sektor Perikanan terhadap GDP di Kawasan ASEAN ......... 21
Tabel 3.3. Perkiraan ketersediaan dan kebutuhan Pelaut dalam
pelayaran Domestik Indonesia sampai dengan 2015 (orang) ............... 23
Tabel 3.4. Jumlah Lulusan Pendidikan Kedinasan Kementerian KKP
selama 6 Terakhir .................................................................................. 24
Tabel 3.5. Institusi Negara yang Berkaitan dengan Pembangunan
Bidang Kelautan .................................................................................... 26
Tabel 3.5 World Vital Chokepoint .......................................................................... 34
Tabel 3.6. Satuan Tugas Patroli Laut berdasarkan Instansi Tahun 2011 ............... 36
Tabel 3.7. Jumlah Kapal Milik TNI AL Tahun 2011 ................................................. 36
Tabel 3.8. Jumlah Kapal Milik Kepolisian Negara RI Tahun 2011 .......................... 38
Tabel 3.9. Jumlah Kapal Ditjen Bea dan Cukai Tahun 2011 .................................. 38
Tabel 3.10. Jumlah Kapal Patroli KPLP Tahun 2011 ................................................ 39
Tabel 3.11. Kapal Pengawas milik Kementerian Kelautan dan Perikanan
Tahun 2011 ............................................................................................ 39
Tabel 3.12. Jumlah Kapal Patroli Direktorat Imigrasi Tahun 2011 ............................ 40
Tabel 3.13. Jumlah Kapal Milik BASARNAS Tahun 2011 ........................................ 40
Tabel 3.14. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan
periode tahun 2001 - 2005 ..................................................................... 44
Tabel 3.15 Produk Domestik Bruto (PDB) Bidang Transportasi Laut
Berdasarkan Harga Berlaku, 2002-2011 (dalam Milyar Rupiah) ........... 46
Tabel 3.16 Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional
untuk Angkutan Laut Luar Negeri........................................................... 47
Tabel 3.17 Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional
untuk Angkutan Laut Dalam Negeri........................................................ 47
Tabel 3.18 Jenis-Jenis Kapal Produksi Dalam Negeri ............................................ 48
Tabel 4.1. Undang-Undang dan Konvensi yang terkait dengan Bidang
Kelautan Nasional................................................................................... 78
Tabel 6.1 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari
Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy) ..................... 111
Tabel 6.2 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari
Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy) ............... 115
Tabel 6.3 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi
dari Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy) .............. 119

vii
Tabel 6.4 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari
Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy) ....................... 124
Tabel 6.5 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi
dari Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy) .............. 133

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 ALKI di Wilayah Perairan Indonesia ..................................................... 33


Gambar 3.2. Kawasan unggulan potensi terumbu karang dan tujuan
wisata bahari (dikompilasi dari berbagai sumber) ................................ 56

viii
Bab 1 PENDAHULUAN

1. Umum
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan (archipelagic
state) terbesar di dunia dan secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis, yaitu
berada pada persilangan 2 benua (Australia dan Asia) dan 2 samudera (Hindia dan Pasifik).
Selain itu, sebagian besar atau hampir 70% wilayah NKRI merupakan perairan laut yang
luasnya mencapai 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Kondisi obyektif
ini sesungguhnya merupakan suatu anugerah yang tak terkira nilainya, dan juga sangat
logis bila bangsa Indonesia seharusnya mengoptimalkan potensi kelautannya sebagai salah
satu penghela pertumbuhan perekonomian dan pembangunan nasional. Hal ini mengingat
nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia diperkirakan hampir mencapai US $ 160
milyar/tahun (ADB, 1996; PKSPL-IPB, 1997; PIT-IAGI, 1999; DEPBUPAR, 2000; dan DMI,
BAPPENAS, DEPHUB, 2003). Namun sayangnya, hingga kini keunggulan geografis dan
potensi yang dimiliki tersebut masih belum secara signifikan memberikan peran yang optimal
bagi pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kemakmuran serta kualitas hidup rakyat
Indonesia.
Sejarah telah mencatat, bahwa Indonesia pernah memiliki puncak kejayaan pada
jaman Sriwijaya dan Majapahit sebagai Negara Maritim yang besar dan kuat pada masanya,
dengan menguasai jalur perdagangan dan perhubungan laut diseluruh wilayah nusantara,
bahkan sampai ke bagian Afrika Selatan dan Madagaskar. Namun sejarah pula yang
menggoreskan bahwa telah terjadi rekayasa sosial pada masa penjajahan Belanda, sehingga
menyebabkan pergeseran kultur dan struktur bangsa dari Bangsa Bahari ke Bangsa Agraris.
Peristiwa sejarah selama ratusan tahun ini telah menggiring pemahaman tentang ruang
hidup dan cara hidup bangsa yang lebih berorientasi dan bergantung hanya pada wilayah
daratan, bahkan cenderung apriori terhadap laut, sehingga tidaklah heran bahwa paradigma
pembangunan nasional pun masih lebih berbasis daratan (land base oriented) dan
mengabaikan potensi kelautan yang dimiliki.
Laut sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa harusnya dapat dijadikan sebagai salah
satu pilar utama untuk membantu mengakselerasi terwujudnya kemakmuran dan kejayaan
bangsa Indonesia. Tambahan pula, laut bagi NKRI juga memiliki makna dan fungsi yang
sangat strategis, yaitu laut sebagai: (1) wilayah kedaulatan bangsa, (2) lingkungan dan
sumberdaya, (3) media kontak sosial, ekonomi, dan budaya, (4) geostrategi, geopolitik,

1
geokultural, dan geoekonomi negara, dan (5) sumber dan media penyebar bencana alam.
Namun demikian, karena bidang kelautan hingga kini belum menjadi arus utama dan
bersinergi dengan bidang lainnya dalam pembangunan nasional, maka besarnya sumberdaya
laut yang dimiliki bangsa ini belum dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Disamping
itu, pada kenyataan di lapangan, pembangunan kelautan Indonesia juga belum dilaksanakan
secara terpadu, dimana masih sektoral, parsial dan fragmented, yang mengakibatkan sering
terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan dan pengelolaannya. Hal ini dapat dicermati
dengan belum adanya grand design pembangunan bidang kelautan Indonesia yang
disepakati oleh semua stakeholders yang terlibat.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan sumberdaya laut yang dimiliki guna meng-
akselerasi pembangunan nasional agar Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur
segera terwujud, maka diperlukan sebuah Ocean Policy (Kebijakan Kelautan) yang kuat
dan tepat. Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) merupakan tuntutan yang sangat mendesak
untuk memayungi pembangunan bidang kelautan yang sifatnya lintas sektoral dan
institusional, serta terintegrasi dengan daratan. Selain itu pula, diharapkan dengan adanya
KKI dapat mengatasi berbagai rintangan yang dihadapi dalam mengembangkan bidang
kelautan, baik rintangan teknis operasional maupun rintangan yang bersifat regulasi.

2. Maksud dan Tujuan


Penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran tentang Kebijakan Kelautan Indonesia dalam konteks mengoptimalkan
sumberdaya laut yang dimiliki guna memacu pembangunan nasional dan sekaligus
memperkokoh ketahanan nasional, sedangkan tujuannya adalah untuk merumuskan
Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif dan terpadu antar sektor dalam mengelola,
memanfaatkan, menjaga serta memelihara laut secara optimal dan berkelanjutan.

3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan dalam tulisan ini adalah Kebijakan Kelautan Indonesia
dalam konteks pembangunan bidang kelautan dalam keterkaitannya dengan pembangunan
semesta Indonesia untuk jangka waktu pendek, menengah, dan panjang yang meliputi 5
pilar utamanya, yakni: kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan
tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime
security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan
lingkungan laut (marine environment policy).

2
4. Metode dan Pendekatan
Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif-analisis secara
komprehensif integral dengan pendekatan analisis kebijakan (policy analysis approach) dan
aspek asta gatra dalam Ketahanan Nasional. Data dan informasi diperoleh dari Dewan
Kelautan Indonesia dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan bidang kelautan
ditambah dengan penelusuran studi pustaka (desk study) dari berbagai sumber terkait lainnya.
Secara ringkas, alur dan pola pikir metode dan pendekatan untuk penyusunan tulisan ini
dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

5. Sistematika
Sistematika penyusunan tulisan ini adalah sebagai berikut:
a) Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan secara umum, maksud dan
tujuan penyusunan tulisan ini, ruang lingkup, metode dan pendekatan
penulisan, dan sistematika penulisan serta beberapa pengertian terkait dengan
makalah ini. Bab ini melandasi penulisan pada Bab-bab selanjutnya.
b) Bab II Landasan Pemikiran, berisi landasan yang digunakan dalam penulisan
meliputi: Paradigma nasional terutama pancasila, wawasan nusantara dan
ketahanan nasional; Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Nasional sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan semua sektor
termasuk bidang kelautan; dan Pokok-pokok teori yang melandasi kebijakan
kelautan dan pembangunan berkelanjutan.
c) Bab III Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia Saat Ini, berisi uraian kondisi nyata
kebijakan kelautan Indonesia yang dicerminkan pada kondisi sektor-sektor
utama bidang kelautan saat ini (hingga tahun 2010). Kemudian implikasi
kebijakannya terhadap perekonomian dan pembangunan nasional, dan berbagai
permasalahan yang dihadapi terutama permasalahan aktual dan faktual.
d) Bab IV Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis, berisi uraian perkembangan
lingkungan global, regional dan nasional yang terkait dengan kebijakan
kelautan Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. Dari analisis
lingkungan strategis tersebut, selanjutnya diidentifikasi peluang dan
kendalanya.
e) Bab V Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang Diharapkan, berisi uraian tentang
kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan, indikator keber-
hasilannya, dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan nasional.

3
f) Bab VI Kebijakan Kelautan Indonesia, berisi uraian tentang kebijakan, strategi dan
upaya-upaya untuk membangun bidang kelautan yang terpadu dan sinergi
dengan bidang lain serta berkelanjutan. Dalam bab ini diuraikan secara rinci
kebijakan yang dijabarkan ke dalam beberapa strategi dan tiap strategi
dirumuskan upaya-upayanya.
g) Bab VII Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran sebagai rekomendasi kepada
Pemerintah.

6. Pengertian
a) Asta Gatra dalam Ketahanan Nasional adalah gatra geografi, demografi, sumber
kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
b) Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih
baik (Murtadi, 1999).
c) Kebijakan Kelautan Indonesia adalah kebijakan pembangunan Nasional dibidang
kelautan yang meliputi : kebijakan kelautan dibidang Kebudayaan, Kebijakan kelautan
dibidang Tatakelola Pemerintahan, kebijakan kelautan dibidang Pertahanan, Keamanan,
dan Keselamatan di laut, kebijakan kelautan dibidang Ekonomi, dan kebijakan kelautan
dibidang Lingkungan Hidup.
d) Kebijakan Publik adalah suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan
tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah
yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan atau perundangan
(Mustodidjaja, 1992)
e) Kelautan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya hayati, nir-hayati, dan jasa lingkungan di wilayah laut, pesisir
dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan dalam suatu pengelolaan yang terpadu
f) Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi
segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan
yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik
yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas,
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya
(Pokja Geostrategi & Tannas Lemhannas R.I., 2006).
g) Pembangunan Nasional adalah segala upaya pembangunan di semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan keamanan dan kesejah-
teraan serta menuju perubahan yang lebih baik, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

4
h) Perekonomian nasional adalah kondisi perekonomian bangsa yang ditunjukkan dengan
segala upaya untuk membangun sistem ekonomi sebagai bagian penting dari
pembangunan nasional.
i) Sumberdaya kelautan adalah semua potensi unsur, baik biotik maupun abiotik, yang
berada didalam lingkungan laut dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.
Sumberdaya kelautan terdiri dari sumberdaya dapat pulih (renewable resources) dan
sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources).
j) Perairan Indonesia adalah semua perairan yang berada di antara dan di sekitar pulau-
pulau kepulauan Indonesia yang meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan,
dan Laut Teritorial sebagai mana yang diatur dalam UU No.6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia.
k) Perairan dalam Yuridiksi Nasional adalah wilayah laut yang meliputi wilayah laut,
dibawah kedaulatan penuh yaitu Perairan Pedalaman, Perairan Kelpulauan, dan Laut
Teritorial; wilayah laut yang berada dibawah hak-hak berdaulat dan yuridiksi tertentu
yaitu Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen.

5
Bab 2 LANDASAN PEMIKIRAN

1. Umum
Wawasan Nusantara merupakan pandangan bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 tentang diri dan lingkungannya yang berbentuk kehidupan sebagai
satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam (pertahanan dan keamanan)
dalam satu ruang kehidupan, yaitu seluas perairan laut dengan pulau-pulau didalamnya
beserta udara di atasnya karena dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pandangan ini akan selalu menjiwai bangsa Indonesia dalam hidup dan kehidupan
nasionalnya maupun kehidupan internasionalnya.
Rumusan Wawasan Nusantara secara formal pertama-tama dikemukakan dan dikenal
dalam TAP MPR IV/1973 dan seterusnya berturut-turut dicantumkan dalam TAP MPR 1978,
1983 dan 1988 yang ditetapkan sebagai wawasan untuk mencapai tujuan Pembangunan
Nasional yang menyeluruh dan berkehendak mewujudkan NKRI ini dalam satu kesatuan
politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan hukum. Berdasarkan doktrin
dasar Wawasan Nusantara, bangsa Indonesia harus dapat menggunakan wilayah lautnya
sebagai bagian dari ruang hidup bangsa guna mempertahankan kelangsungan hidup dan
mengembangkan kehidupannya.
Penyusunan kebijakan kelautan Indonesia yang dilakukan bertujuan untuk mendukung
percepatan Pembangunan Nasional dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia
melalui pembangunan bidang kelautan. Selain itu, dengan penyusunan kebijakan kelautan
Indonesia ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang tujuan, sasaran,
strategi, dan upaya serta penanggung jawabnya. Hal ini dimaksudkan, agar kebijakan
kelautan yang dibuat akan lebih efektif dan sinergis dijalankan oleh setiap instansi/lembaga
yang terkait dengan pembangunan bidang kelautan.
Pembangunan bidang kelautan dianggap identik dengan pembangunan sektor-sektor
utamanya, yaitu: perikanan, industri dan jasa maritim, energi dan sumber daya mineral,
perhubungan laut, pendidikan dan penelitian kelautan, pariwisata bahari, lingkungan laut,
dan hukum dan tata kelautan. Secara umum, potensi dari kedelapan sektor utama tersebut
belum dikelola dan dimanfaatkan dengan optimal. Selain itu, bidang kelautan juga memiliki
permasalahan yang kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor dan bidang,

6
dan juga sensitif terhadap interaksi dengan lingkungan, mempunyai implikasi yang tinggi
terhadap perekonomian dan kondisi sosial, dan memerlukan penanganan nasional yang
komprehensif karena berkaitan dengan hubungan antar negara dan dunia internasional.
Oleh karenanya, tidak mungkin perumusan konsep kebijakan kelautan Indonesia hanya
melihat dari sisi internalnya saja, namun harus mempertimbangkan keterkaitannya secara
komprehensif dan integral dengan semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Untuk itu, diperlukan pemahaman dan landasan berpikir yang sama dalam satu
paradigma nasional. Disamping itu, perlu justifikasi landasan teori yang kuat dalam melandasi
perumusan konsep solusi.

2. Paradigma Nasional
Dunia sekarang ini cenderung ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang
dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, karena setiap negara sedang berjuang
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini,
kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan
kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya. Pancasila sebagai
ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan
metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang
adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan
untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman
dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan
membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya. Oleh karenanya,
diperlukan komitmen kuat segenap komponen bangsa untuk mengaktualkan Pancasila
kehidupan nyata, utamanya harus diteladankan oleh para pemimpin negeri ini.
Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa
Indonesia ini adalah sebuah desain negara modern yang disepakati oleh para pendiri negara
Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap
seluruh dinamika ekonomi, sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan
peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Kemudian, pembangunan nasional sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Artinya, pembangunan nasional harus
melibatkan segenap komponen bangsa sebagai pelaku dan sekaligus sasaran pembangunan
itu sendiri. Pembangunan nasional termasuk di dalamnya pembangunan bidang kelautan
harus dapat mewujudkan kesejahteraan bangsa dengan tetap berlandaskan ideologi
Pancasila, yakni memberikan kebebasan beragama dan beribadah, menghormati hak asasi

7
manusia secara adil dan beradab, menjaga persaudaraan dan persatuan, melaksanakan
demokrasi dengan musyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial.
Selanjutnya, pembangunan nasional juga harus mengacu kepada UUD 1945, karena
UUD 1945 merupakan nilai dasar bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 25 UUD 1945 melandasi pemikiran dalam
pembangunan bidang kelautan, karena disana dinyatakan secara eksplisit bahwa Indonesia
sebagai negara kepulauan. Demikian pula dengan pasal 33 yang secara implisit
mengamanatkan bahwa sumber daya alam (termasuk sumber daya laut) harus dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pembangunan
bidang kelautan harus menjamin bahwa rakyatlah yang akan menikmati hasilnya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Perumusan kebijakan kelautan Indonesia dalam
pembangunan bidang kelautan harus menggambarkan keberpihakan kepada masyarakat
luas.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia masih menggunakan beberapa peraturan hukum
yang ditinggalkan Pemerintahan Hindia Belanda, termasuk landasan hukum bidang kelautan,
yakni Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 (TZMKO). Namun,
penggunaan ordonansi ini menyebabkan wilayah Indonesia menjadi tidak utuh, karena
perairan diantara kelima pulau besar Indonesia terdapat perairan bebas (high seas). Keadaan
ini dinilai dapat mengancam keutuhan NKRI. Atas dorongan semangat tinggi dan kebulatan
tekad yang luar biasa di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, dengan berani dan secara
sepihak mengeluarkan suatu deklarasi keutuhan wilayah Indonesia pada tanggal 13
Desember 1957, yang dikenal dengan Deklarasi Djoeanda. Pada dasarnya konsep deklarasi
ini memandang bahwa kepulauan Indonesia merupakan wilayah pulau-pulau, wilayah
perairan, dan dasar laut di dalamnya sebagai suatu kesatuan historis, geografis, ekonomis,
dan politis. Dengan adanya konsep ini, maka wilayah perairan nusantara yang tadinya
merupakan wilayah laut lepas kini menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia yang berada
di bawah kedaulatan NKRI.
Deklarasi Djoeanda merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan
dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan
dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang
diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan
(darat, laut, dan udara) yang diumumkan H. Djoeanda, 13 Desember 1957.
Kemudian, Deklarasi ini diperkuat secara yuridis melalui Undang-Undang No. 4. Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU ini, pokok-pokok dasar dan pertimbangan-
pertimbangan mengenai pengaturan wilayah perairan Indonesia pada hakikatnya tetap sama
dengan Deklarasi Djoeanda, walaupun segi ekonomi dan pengamanan sumberdaya alam

8
lebih ditonjolkan. Kemudian, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, telah memungkinkan
Indonesia menyempurnakan luas wilayahnya melalui UU No. 5 tahun 1983 tentang Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE) termasuk di dalamnya integrasi Timor Timur, yang disempurnakan
lagi dengan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan UU No 61 tahun 1998
tentang penutupan Kantung Natuna dan keluarnya Timor Timur.
Pada tahun 1982, 119 negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menandatangani
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Nation Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS 1982). Konvensi tersebut di dalamnya memuat 9 buah pasal mengenai perihal
ketentuan tentang prinsip Negara Kepulauan. Salah satu pasal dalam prinsip Negara
Kepulauan tersebut menyatakan bahwa laut bukan sebagai alat pemisah, melainkan sebagai
alat yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan lainnya, yang kemudian
diimplementasikan oleh Indonesia dengan istilah Wawasan Nusantara.
Pengakuan dunia internasional ini, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto,
ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HUKUM LAUT 1982. Ratifikasi ini
merupakan tindaklanjut dari gagasan negara kepulauan yang pada 25 tahun lalu
dicetuskannya Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957. Sejak itu, Indonesia
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan Konvensi Hukum Laut
PBB tahun 1982, dan UU No.17 tahun 1985 ini, selanjutnya harus dijadikan pedoman dalam
penyusunan rencana pembangunan nasional, utamanya pembangunan dibidang kelautan,
dan pada REPELITA ke 5 (1993 1998) konsep pembangunan kelautan akhirnya masuk
kedalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun, akibat makin seriusnya kasus-
kasus di wilayah perbatasan laut Indonesia dan sekaligus guna mengimplementasikan
konsep pembangunan kelautan yang tertuang di GBHN, maka Presiden Soeharto
mengeluarkan perintah pada tanggal 1 Januari 1996, yakni: Mengembalikan Jiwa Bahari
Dengan Melalui Pembangunan Kelautan Indonesia. Selanjutnya, diteruskan dengan
pembentukan Dewan Kelautan Nasional (DKN) melalui Keppres No.77 Tahun 1996, yang
memiliki tugas dan fungsi:
a) Memberikan pertimbangan, pendapat maupun saran kepada Presiden mengenai
peraturan, pengelolaan, pemanfaatan, pelestarian, perlindungan dan keamanan
kawasan laut, serta penentuan batas wilayah Indonesia.
b) Melakukan koordinasi dengan departemen dan badan yang terkait, dalam rangka
keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan mengenai masalah laut.
Paradigma nasional selanjutnya adalah Deklarasi Bunaken yang dicetuskan tanggal
26 September 1998 pada masa pemerintahan Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie. Deklarasi ini
pada dasarnya secara tegas menyatakan dua hal pokok yaitu kesadaran bangsa Indonesia

9
akan geografik wilayahnya dan kemauan yang besar dari bangsa Indonesia untuk
membangun kelautan. Kesadaran geografik adalah kesadaran bangsa Indonesia untuk
memahami dan menyadari akan kondisi obyektif wadah kepulauan Indonesia yang 2/3 (dua
per tiga) bagian wilayahnya adalah merupakan laut. Kesadaran bangsa Indonesia akan
geografik wilayahnya menjadi sangat penting bagi keberhasilan bangsa dalam melaksanakan
pembangunan kelautan yang mempunyai arti strategis dalam mengembalikan kondisi
ekonomi nasional yang sedang menyelesaikan berbagai krisis ini.
Inti dari Deklarasi Bunaken adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan
untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Deklarasi
Bunaken merupakan pernyataan politis strategis pemerintah atau sebagai komitmen bangsa
yang memberikan peluang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pembangunan bidang
kelautan. Melalui Deklarasi Bunaken, pemerintah juga akan mengorientasikan Pembangunan
Nasional ke laut dengan memberikan perhatian dan dukungan optimal terhadap
pembangunan kelautan.
Deklarasi Bunaken dapat juga dikatakan sebagai kunci pembuka babak baru
pembangunan nasional yang berorientasi ke laut karena mengandung komitmen bahwa:
Pertama, Visi pembangunan dan persatuan nasional Indonesia harus juga berorientasi ke
laut dan Kedua, Semua jajaran pemerintah dan masyarakat hendaknya juga memberikan
perhatian untuk pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia.
Kemudian, pada masa pemerintahan, tumbuh kesadaran bahwa potensi dan kekayaan
yang ada di laut merupakan sumber ekonomi utama Negara. Laut adalah kehidupan masa
depan bangsa. Atas pemikiran ini, maka Presiden Abdurrahman Wahid membentuk
kementerian baru yakni Departemen Eksplorasi Laut dengan Keputusan Presiden No.355/
M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999. Dalam perjalanannya, namanya berubah-ubah
dan akhirnya saat ini menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan berdasarkan Peraturan
Presiden No. 47 tahun 2009. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga
dibentuk Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang bertugas untuk mengkoordinasikan dan
mensinergikan program pembangunan kelautan di Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 2001, tepatnya tanggal 27 Desember 2001, bertempat di
Pelabuhan Rakyat Sunda Kelapa Jakarta, Presiden RI Megawati Sukarnoputri telah
mencanangkan Seruan Sunda Kelapa. Pada intinya seruan tersebut mengajak seluruh
bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun kekuatan maritim/kelautan, dengan
berlandaskan pada kesadaran penuh bahwa bangsa Indonesia hidup di negara kepulauan
terbesar di dunia, dengan alam laut yang kaya akan berbagai sumberdaya alam. Pada
Seruan Sunda Kelapa menyatakan meliputi 5 pilar program pembangunan kelautan, yaitu:

10
1. Membangun kembali wawasan bahari,
2. Menegakkan kedaulatan secara nyata di laut,
3. Mengembangkan industri dan jasa maritim secara optimal dan lestari bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat,
4. Mengelola kawasan pesisir, laut dan pulau kecil, dan
5. Mengembangkan hukum nasional di bidang maritim.
Dengan lahirnya Seruan Sunda Kelapa diharapkan menimbulkan kesadaran dan
mengarahkan kembali bangsa Indonesia ke wawasan bahari. Dengan demikian, Seruan
Sunda Kelapa merupakan paradigma nasional untuk membangkitkan ekonomi kelautan
nasional untuk memberi kontribusi nyata bagi pertumbuhan perekonomian nasional, mem-
bangkitkan kembali kekuatan armada niaga nasional, mempercepat penggapaian masa
depan bangsa, dan sekaligus memperkuat tali kehidupan bangsa.
Dan paradigma nasional yang terkini, yakni pada masa pemerintahan Presiden Dr. H.
Susilo Bambang Yudhoyono, adalah mengganti nomenklatur Dewan Maritim Indonesia (DMI)
menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) melalui Keppres No.21 Tahun 2007 dan
menyelengarakan konferansi kelautan dunia atau World Ocean Conference (WOC) di
Manado pada tanggal 11 15 Mei 2009 dengan tema Dampak perubahan iklim terhadap
laut dan dampak laut terhadap perubahan iklim. Kegiatan ini merupakan inisiatif Indonesia
dalam forum internasional yang ditujukan bagi para pemimpin dunia dan pengambil keputusan
untuk mengembangkan kolaborasi internasional dan membuat komitmen bersama dalam
menghadapi isu kelautan dunia dan sekaligus masalah perubahan iklim global. Penyelengaraan
WOC 2009 didukung oleh 123 negara yang tergabung dalam The Eighteenth Meeting of
States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea dan dalam
pelaksanaannya dihadiri oleh 423 delegasi yang berasal dari 87 negara dan organisasi-
organisasi antar negara.
Agenda utama dalam WOC 2009 adalah (1) Pertemuan antar pemerintah atau Senior
Officials Meeting yang dimaksudkan untuk mengerucutkan perumusan Manado Ocean
Declaration yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran negara partisipan WOC 2009
terhadap peran penting laut dalam perubahan iklim, dan (2) Kesepakatan Coral Triangle
Initiative atau CTI dalam bentuk CTI Regional Plan of Action oleh 6 negara, yakni Indonesia,
Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste, untuk meningkatkan
perlindungan terhadap sumber daya laut dan pantai yang berada di wilayah coral triangle
dalam wilayah laut 6 negara tersebut.
Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) yang menjadi menjadi salah
satu output utama dari WOC 2009 ini merupakan tonggak sejarah dan dokumen penting
untuk menyelamatkan planet bumi dan kelangsungan hidup generasi penerus dimasa akan

11
datang, sehingga dokumen tersebut akan diperjuangkan oleh wakil tetap pemerintah
Indonesia di PBB untuk dimasukan dalam agenda resmi dan dibahas dalam Meeting of the
States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea. Selain itu, output
lainnya, yakni CTI Regional Plan of Action yang dilakukan oleh 6 negara, juga merupakan
hal penting dalam menyelamatkan keanekaragaman sumber daya hayati laut dunia,
utamanya ikan dan terumbu karang. Dengan demikian, WOC 2009 dapat dinyatakan sebagai
komitmen Bangsa Indonesia dalam upaya mengembangkan, mengelola, dan melestarikan
sumber daya laut nasional dan internasional secara berkelanjutan.

3. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional


Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan
tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan
tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan
tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut
dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 20052025 yang telah
ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 merupakan kelanjutan dari pembangunan
sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu,
dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk
melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan
sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga
bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta
daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional.
Dengan ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman
penyusunan rencana pembangunan nasional dan diperkuatnya otonomi daerah dan
desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka untuk
menjaga pembangunan yang berkelanjutan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional sangat diperlukan. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memerintahkan penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yang menganut paradigma
perencanaan yang visioner, maka RPJP Nasional hanya memuat arahan secara garis besar.
Kurun waktu RPJP Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP Nasional

12
2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi
perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan, yang dituangkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional I Tahun 2005-2009,
RPJM Nasional II Tahun 2010-2014, RPJM Nasional III Tahun 2015-2019, dan RPJM Nasional
IV Tahun 2020-2024.
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan
kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya
dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik,
pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang,
penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan
lingkungan hidup. Namun demikian, masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan, salah satu yang utama adalah pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya kelautan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena
beberapa hal, antara lain: (1) belum adanya penataan batas maritim; (2) adanya konflik
dalam pemanfaatan ruang di laut; (3) belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di
laut; (4) adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap
pengelolaan sumber daya kelautan; (5) adanya keterbatasan kemampuan sumber daya
manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan (6) belum adanya dukungan riset
dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan. Padahal berdasarkan fakta dan dinyatakan
pula dalam UUD 1945 perubahan Pasal 25A bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut.
Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia, tantangan yang akan dihadapi dalam 20 tahunan
mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia,
dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, visi pembangunan nasional tahun 20052025
adalah:
INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR
Kemudian, untuk mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui
8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut:
1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila.
2) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing.
3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.

13
6) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional.
8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
Dari 8 misi yang diemban tersebut, terdapat satu misi yang terkait langsung dengan
pembangunan kelautan nasional, yakni: Mewujudkan Indonesia menjadi negara
kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
Pencapaian sasaran pokok misi ini ditandai oleh hal-hal berikut:
1) Terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan
kepulauan Indonesia.
2) Meningkat dan menguatnya sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung
oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang
terkait dalam kerangka pertahanan negara.
4) Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan meng-optimalkan pemanfaatan
sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
5) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut.
Pembangunan bidang kelautan pada masa yang akan datang di arahkan pada pola
pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan
ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik,
ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi.
Selanjutnya, untuk mencapai terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri,
maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, arah pembangunan kelautan nasional
selama kurun waktu 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut:
1) Membangkitkan wawasan dan budaya bahari, antara lain, melalui (a)
pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang dapat diwujudkan melalui
semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) melestarikan nilai-nilai budaya serta
wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan;
dan (c) melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha
preservasi, restorasi, dan konservasi.
2) Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan
yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan
yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang keunggulan yang diimbangi
dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) mengembangkan standar kompetensi
sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan

14
dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan
sistem informasi kelautan.
3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal
terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum
laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia telah
meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mempunyai kewajiban, antara lain,
(a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan
berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim
(perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas
kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d)
menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata
kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan
sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia
sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan,
monitoring, dan evaluasi.
4) Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja pertahanan dan
keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring,
control, and survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya,
lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah
perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan
dan penanganan pelanggaran di laut.
5) Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang
meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e)
energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan.
6) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a)
pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengembangan early warning system; (c)
pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d)
pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan
organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak
sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut.
7) Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan
mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan
lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin

15
Berdasarkan arah pembangunan kelautan nasional diatas dan sekaligus untuk
menyatukan seluruh modal dasar, potensi dan kekuatan nasional dalam rangka pencapaian
misi pembangunan nasional, untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang
mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, maka secara garis besar terdapat
5 (lima) pilar utama yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pembangunannya, yakni:
1) Budaya Kelautan (Ocean Culture)
2) Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance)
3) Keamanan Laut (Maritime Security)
4) Ekonomi Kelautan (Ocean Economic)
5) Lingkungan Laut (Marine Environment)

4. Pokok-Pokok Pikiran yang Melandasi Kebijakan Kelautan Indonesia


Alasan utama mengapa perlu menyusun kebijakan kelautan Indonesia adalah sebagai
berikut. Pertama, Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas
maupun diversitasnya. Kedua, Sumberdaya laut sebagian besar bersifat sumberdaya yang
dapat diperbaharui (renewable resources), sehingga akan bertahan dalam jangka panjang
asal diikuti dengan kebijakan yang tepat dan kuat. Ketiga, Industri di bidang kelautan memiliki
keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnnya,
sehingga dapat menciptakan multiplier effects yang tinggi. Keempat, Jumlah penduduk yang
cenderung meningkat dan ketersediaan lahan yang semakin terbatas, sehingga perlu
alternatif ruang untuk menjaga ketahanan pangan. Kelima, Dengan memanfaatkan sumber
daya laut, utamanya di wilayah perbatasan negara, secara tidak langsung akan menjaga
keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI.
Oleh karena itu, dalam melakukan penyusunan kebijakan kelautan untuk melaksanakan
pembangunan bidang kelautan tersebut, seyogyanya diarahkan pada berbagai upaya
terobosan yang berpihak kepada masyarakat dan industri dalam negeri serta bertumpu
kepada empat grand strategi pembangunan nasional yaitu: pro-growth strategy (pertumbuhan
ekonomi); pro-job strategy (penyerapan tenaga kerja), pro-poor strategy (pengentasan
kemiskinan), dan pro-environment strategy (pembangunan yang ramah lingkungan). Dengan
demikian, pembangunan bidang kelautan Indonesia juga harus bertumpu pada empat grand
strategi tersebut, mulai dari tingkat hulu hingga ke hilir dan dari skala kecil (rumah tangga) hingga
skala besar (industri). Selain itu, pembangunan bidang kelautan Indonesia harus ber-
kelanjutan, yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan
generasi yang akan datang. Menurut Munasinghe (2002), konsep pembangunan berkelanjutan pada
prinsipnya adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.

16
Perhatian dunia terhadap kondisi ekosistem laut dan pesisir menjadi isu utama pada
pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 di Brazil, Juni 2012, dimana berbagai
negara dan organisasi dunia mulai menyerukan adanya perhatian lebih serius terhadap
kondisi ekosistem laut dan pesisir yang semakin terdegradasi akibat pemanfaatan yang
cenderung berlebihan dan dampak perubahan iklim. Terdapat 19 poin kesepakatan, yang
terkait langsung dengan bidang kelautan. Penekanannya terutama pada perlunya konservasi
dan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan,
ketahanan pangan, dan mata pencaharian, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada
momen ini pula, Presiden RI, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan
Blue Economy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia.
Blue Economy merupakan paradigma baru model pembangunan ekonomi yang
menyatukan pembangunan laut dan daratan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan
dengan memperhitungkan daya dukung sumberdaya dan lingkungannya. Melalui pendekatan
Blue Economy, pembangunan bidang kelautan diharapkan mampu menjadi motor penggerak
utama pembangunan nasional dan sumber pertumbuhan baru. Blue Economy tidak hanya
diharapkan dapat memacu pembangunan berkelanjutan tetapi juga dapat menjaga kesehatan
lingkungan melalui perekonomian rendah karbon (low carbon economy).
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka prinsip-prinsip utama yang harus dikandung
dalam pembangunan bidang kelautan nasional adalah sebagai berikut: 1) terintegrasi dengan
pembangunan daratan, 2) pemanfaatan sumber daya kelautan yang efisien dan sesuai
dengan kapasitas daya dukung, 3) bersifat rendah karbon dan nir-limbah (zero waste), 4)
berorientasi pada kesejahteraan seluruh masyarakat (social inclusiveness), 5) berkelanjutan,
dan 6) investasi kreatif dan inovatif. Selanjutnya, Adrianto dan Kusumastanto (2004)
menyatakan sedikitnya ada tiga hal yang menjadi penyebab ketidakseimbangan dalam
pembangunan kelautan Indonesia, yaitu: (1) masih rendahnya muatan teknologi, (2) lemahnya
pengelolaan, dan (3) masih kurangnya dukungan ekonomi-politik. Oleh karena itu, agar
tercipta pembangunan bidang kelautan yang optimal, efisien, dan berkelanjutan, maka
diperlukan penyusunan kebijakan kelautan Indonesia yang tepat dan kuat.
Suatu keputusan pemerintah untuk mengelola dan memecahkan masalah-masalah
negara atau masyarakat di suatu sektor dapat diidentikan dengan bentuk kebijakan. Kebijakan
kelautan dapat didefinisikan sebagai suatu keputusan atau tindakan pemerintah untuk
mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan kelautan guna
mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang, 2001). Dengan melihat definisi
ini, maka kebijakan kelautan harus dipandang dalam konteks untuk pembangunan nasional
yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir saja,
tetapi juga kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa
kebijakan kelautan termasuk kedalam kategori kebijakan publik, yang harus dilakukan oleh

17
pemerintah, karena berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Wilayah laut Indonesia yang begitu luas dengan potensinya yang besar, memungkinkan
berbagai jenis kegiatan berlangsung di dalamnya, seperti: perikanan, pelayaran, industri
maritim, pariwisata, pertambangan dan energi, dan lain sebagainya. Potensi yang besar
tersebut akan mampu menghasilkan devisa negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat
Indonesia. Namun demikian, dalam pengelolaan dan pemanfaatannya tidak boleh serta
merta hanya berprinsip eksploitasi secara maksimal semata, tetapi harus mengacu pada
prinsip-prinsip utama pembangunan kelautan nasional, agar dapat berjalan secara optimal,
efisien, dan berkelanjutan. Pada prinsipnya semua kegiatan di laut, seperti: perikanan,
pelayaran, industri maritim pariwisata, pertambangan dan energi, harus dapat berjalan secara
sinergi, efisien, dan berkelanjutan, serta diatur dengan regulasi sedemikian rupa yang mampu
melindungi dan menjamin kelestarian lingkungan ekosistem lautnya.

18
KONDISI KEBIJAKAN
Bab 3 KELAUTAN INDONESIA SAAT INI

1. Umum
Sebagai bidang yang relatif baru diperhatikan dan difokuskan dalam khazanah
pembangunan nasional, bidang kelautan tentu masih menghadapi berbagai tantangan dan
permasalahan besar, seperti: aspek prasarana dan sarana, kelembagaan dan organisasi,
sumberdaya manusia, manajemen, anggaran dan dana pembangunan. Disisi lain, kalangan
swasta, organisasi profesi dan lembaga non pemerintah (LSM) di bidang kelautan juga
belum memiliki kemampuan yang setara dengan organisasi sejenis di bidang lain. Secara
umum, stakeholder bidang kelautan masih memiliki keterbatasan, utamanya dalam hal
pengelolaan dan penguasaan IPTEKS. Terlebih, bila melihat kehidupan masyarakat pesisir
yang menjadi subyek utama pembangunan bidang kelautan, kondisinya hingga kini sebagian
besar masih penuh dengan keterbelakangan ekonomi, politik maupun sosial budaya.
Keadaan ini jelas mencerminkan bahwa kebijakan pembangunan bidang kelautan nasional
dapat dinyatakan masih belum tepat dan berjalan optimal.
Namun demikian, dalam lima tahun terakhir ini, setidaknya landasan dan kerangka
dasar kebijakan nasional untuk membangun bidang kelautan telah diletakkan, yakni dalam
UU No.17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional. Kebijakan tersebut, tentu memberikan hasil
yang positif dan cukup baik bagi pembangunan bidang kelautan, walaupun belum optimal.
Hasil positif yang dapat dilihat dalam pembangunan bidang kelautan nasional adalah adanya
peningkatan kinerja bidang ini dari waktu ke waktu, yang ditunjukkan dari beberapa aspek,
diantaranya adalah kontribusi produk domestik bruto (PDB) bidang kelautan, penyerapan
tenaga kerja di bidang kelautan, dan penerimaan devisa dari hasil ekspor produk kelautan.
Hasil pembangunannya juga telah dirasakan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat
daerah, seperti adanya perbaikan taraf hidup atau kesejahteraan dari sebagian masyarakat
pesisir, seperti: nelayan dan pembudidaya ikan, serta mulai tertata dan terpeliharanya
kelestarian lingkungan laut dan pesisir. Meskipun demikian, hasil yang dicapai tersebut belum
memberikan manfaat yang optimal bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, utamanya bagi
masyarakat pesisir, serta tantangan yang dihadapi ke depan juga masih besar, sehingga
Pemerintah perlu mengakselerasi pembangunannya melalui Kebijakan Kelautan Indonesia
yang komprehensif dan terpadu, agar dapat mempercepat terwujudnya bangsa Indonesia
yang mandiri, maju, adil, dan makmur.

19
2. Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia Saat Ini
Gambaran umum kondisi kebijakan kelautan Indonesia saat ini, dapat dilihat dari capaian
hasil pembangunan bidang kelautan yang telah dilaksanakan dalam kaitannya dengan
pembangunan nasional. Berikut ini adalah uraian tentang gambaran kondisi kebijakan
kelautan Indonesia saat ini yang direpresentasikan dari 5 (lima) pilar utamanya, yakni: Budaya
Kelautan (Ocean Culture), Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance), Keamanan Laut
(Maritime Security), Ekonomi Kelautan (Ocean Economic), dan Lingkungan Laut (Marine
Environment).

1) Budaya Kelautan (Ocean Culture)


Membangun bidang kelautan seyogianya diawali dengan kebulatan persepsi bagi
seluruh anak bangsa akan kondisi fisik laut, fungsi dan peran laut bagi kehidupan negara,
pemahaman tersebut dikenal sebagai wawasan kelautan. Memahami wawasan kelautan
merupakan modal dasar dalam pembangunan bidang kelautan Indonesia, karena
bagaimana mungkin kita mampu mengelola sumberdaya kelautan yang kita miliki tanpa
diimbangi dengan adanya pemahaman terhadap wilayah laut yang kita punyai dengan
segala sumberdaya kelautan yang tersimpan didalamnya.
Apabila wawasan kelautan telah tersebar merata diseluruh anak bangsa, pemimpin
pemerintahan dan masyarakat di pusat maupun daerah, maka diharapkan
pembangunan kelautan akan berhasil baik, sehingga akhirnya bidang kelautan akan
menjadi pilar ekonomi utama bagi kehidupan NKRI sekaligus sebagai senjata mutahir
untuk membasmi kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat. Dalam kenyataannya
sebagaimana hasil kajian yang dilakukan Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2009
dan 2010 pemahaman wawasan kelautan sangat minim, seperti data yang disajikan
dibawah ini:
Tabel 3.1
Hasil Survei Tentang Wawasan Kelautan Tahun 2009 dan 2010

Pemahaman tentang Kebijakan PEMDA yang berpihak


Tahun Wawasan kelautan (%) pada bidang kelautan (%)

Paham Tidak Sudah Belum

2009 38.3 51.2 11.7 76.9


2010 47.4 52.4 38.8 54.6

Sumber: Dewan Kelautan Indonesia

20
Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia belum paham
benar tentang laut, apalagi fungsinya sebagai pilar ekonomi negara. Data diatas
diperoleh dari 33 provinsi dan 20 kabupaten/kota, sehingga hasil survei dapat
memberikan gambaran. Kenyataan itu tentunya menyedihkan bagi Indonesia sebagai
Negara Kepulauan.
Adanya wawasan kelautan yang masih terbatas inilah yang diperkirakan mempengaruhi
kontribusi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sektor-sektor di bidang kelautan masih
relatif kecil, bila dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya. Padahal PDB
merupakan salah satu indikator keberhasilan kebijakan bidang kelautan dalam
pembangunan Indonesia. Nilai kontribusi tersebut apabila dibandingkan dengan negara-
negara di kawasan Asia, terlihat masih relatif jauh tertinggal.
Sebagai ilustrasi salah satu sektor di bidang kelautan yakni sektor perikanan di Indonesia
yang hanya mencapai sekitar 2,9 % jauh dibawah kontribusi sektor perikanan terhadap
PDB/Gross Domestic Product (GDP) Kamboja, untuk perikanan tangkap sebesar 11.4%
dan perikanan budidaya sebesar 1.3%, sedangkan Vietnam untuk perikanan tangkap
sebesar 9.5% dan perikanan budidaya sebesar 16.0%, Myanmar untuk perikanan
tangkap sebesar 9.9%, dan perikanan budidaya 8.8%, Filipina untuk perikanan tangkap
sebesar 3.0% dan perikanan budidaya sebesar 1.5 %, tetapi di Indonesia kontribusi
sektor perikanan baru mencapai 1.9% bagi perikanan tangkap dan 1.0% bagi perikanan
budidaya, seperti ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2
Kontribusi Sektor Perikanan terhadap GDP di Kawasan ASEAN

Kontribusi GDP (%)


No. Nama Negara Total (%)
Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya

1 Vietnam 9.5 16.0 25.5


2 Myanmar 9.9 8.8 18.7
3 Kamboja 11.4 1.3 12.7
4 Filipina 3.0 1.5 4.5
5 Indonesia 1.9 1.0 2.9

Sumber: FAO, 2006

21
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kontribusi ekonomi bidang kelautan masih
relatif rendah yang diduga akibat masih minimnya wawasan kelautan di kalangan
pengambil kebijakan. Kondisi yang sama juga terjadi pada beberapa sektor lainnya di
bidang kelautan yang kontribusi ekonominya masih relatif rendah pula apabila
dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya, seperti: a) sektor perhubungan, yang
kondisi armada pelayarannya masih didominasi kapal-kapal asing, b) sektor pariwisata
bahari, yang belum berkembang optimal karena masih menghadapi hambatan-
hambatan yang serius tentang perijinan (seperti: clearance approval for Indonesian
territory, custom, immigration, quarantine,and port clearance dan infrastruktur (port of
entry/exit, marina, mooring buoys, dll), c) sektor energi dan sumber daya mineral, yang
belum menyentuh potensi mineral di dasar laut dan di tanah bawah laut maupun potensi
energi dari lautnya, e) sektor bangunan kelautan, yang belum berfungi optimal dan
kalah bersaing dengan pelabuhan laut negara-negara tetangga, dan f) sektor industri
maritim, yang belum berkembang baik jika dibandingkan dengan negara lain di dunia
(seperti: industri perkapalan, industri mesin kapal, industri bioteknologi, industri farmasi
laut dan industri garam).
Kemudian, riset ilmiah kelautan juga mempunyai peranan penting dalam menggali
potensi kekayaan sumberdaya kelautan yang kemudian harus dioptimalkan bagi
pembangunan nasional, sehingga Indonesia tidak hanya bangga pada status sebagai
negara kepulauan dengan kekayaan sumberdaya alam yang besar, tetapi harus benar-
benar dapat memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan rakyat dan
keunggulan bangsa. Oleh karena itu, penyediaan anggaran yang cukup, pembenahan
kerjasama dan koordinasi yang baik, serta peralatan yang memadai antara instansi
yang terkait mutlak diperlukan dalam melaksanakan riset ilmiah kelautan Indonesia.
Selain itu, unsur yang paling utama dalam pembangunan bidang kelautan adalah
sumberdaya manusia (SDM). Unsur ini tentu harus dituangkan kedalam kebijakan
kelautan. Sebab daya dukung serta kemampuan manusia dalam mengoperasikan aset-
aset kelautan seperti armada pelayaran dan industri maritim sangat menentukan
keberhasilan program pembangunan.
Dalam rapat-rapat Dewan Kelautan Indonesia dengan para pemangku kepentingan di
laut, terungkap dari Badan Kerjasama Pendidikan Tinggi Maritim Swasta Indonesia
(BKS PMSI), bahwa sumberdaya manusia di sektor transportasi laut yaitu menyangkut
dengan awak kapal, awak industri perkapalan dan awak kepelabuhanan. SDM akan
bermutu jika pendidikan yang handal sesuai dengan kompetensi, sehingga SDM yang
dihasilkan berkualitas internasional (Standar IMO) SDM untuk transportasi khususnya
pengawakan kapal, pada saat ini pelayaran Nasional maupun Internasional
membutuhkan ratusan ribu Perwira. IMO (Internasional Maritime Organization) meminta

22
Indonesia menyiapkan (mensuplai) perwira untuk pelayaran niaga sebanyak, 24 ribu
orang perwira/tahun. Sedang menurut BIMCO/ISF total kebutuhan pelaut tahun 2010
yaitu perwira 637.000 dan bawahan/anak buah kapal 747.000 orang. Ini merupakan
tantangan dan peluang bagi bangsa Indonesia.
Lembaga pendidikan pemerintah dan swasta yang telah berpengalaman bertahun-tahun
dalam membina pendidikan, mempunyai produktivitas yang masih kecil untuk
meluluskan perwira/crew kapal niaga dengan standard IMO. Ada 19 lembaga pendidikan
tingkat Akademi/ Perguruan Tinggi Maritim dan 7 Lembaga Pendidikan Maritim Negeri
serta 70 SMK Pelayaran. Keseluruhan lembaga pendidikan tersebut hanya mampu
mencetak 1.300 Perwira kapal Niaga.
Kementerian perhubungan memiliki pusat pendidikan dan latihan, yang sesungguhnya
badan ini menyiapkan tenaga atau awak kapal bagi pelayaran niaga. Namun demikian
badan ini tidak mampu menyiapkan tenaga yang diharapkan untuk memenuhi
permintaan internasional. Sampai tahun 2010 badan ini hanya menghasilkan pendidikan
pembentukan sebanyak 1.228 orang, pendidikan penjejangan sebanyak 13.962 orang
sedang pelatihan ketrampilan khusus pelaut hanya berjumlah 115.030 orang. Dengan
demikian kegiatan pendidikan dan pelatihan awak kapal sangat rendah produknya setiap
tahun, padahal permintaan pasar dunia sangat besar. Ditambah lagi, daya saing
sumberdaya manusia pelayaran Indonesia, baik pelaut maupun SDM di industri
pelayaran, relatif masih dibawah beberapa negara lain.
Data yang diperoleh dari Organisasi Pelaut/Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), ternyata
jumlah pelaut untuk dalam negeri pun belum terpenuhi. Secara rinci perkiraan
ketersediaan jumlah pelaut dan kebutuhan sampai dengan 2015 disajikan pada tabel
berikut.
Tabel 3.3.
Perkiraan ketersediaan dan kebutuhan Pelaut dalam
pelayaran Domestik Indonesia sampai dengan 2015 (orang)

Jabatan Ketersediaan Kebutuhan Selisih

Perwira 7.200 19.500 (-) 12.300


Bawahan 10.300 25.200 (-) 14.900
Total 17.500 44.700 (-) 27.200

Sumber: Kesatuan Pelaut Indonesia, 2010

23
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga memiliki Lembaga Pendidikan dan Pelatihan
Perikanan Tangkap, serta sekolah-sekolah kejuruan perikanan di Indonesia,
menyelenggarakan pendidikan profesi bersertifikat Nasional dan Internasional, sampai
tahun 2011 telah meluluskan sebanyak 7.696 orang. Data rinci lulusan sejak tahun
2006 sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3.4, rata-rata lulusannya
1.283 orang per tahun. Terdiri dari tingkat sarjana 317 lulusan, program D3 sebanyak
83 lulusan, sedang tingkat sekolah menengah 780 lulusan, dan hasil pendidikan
pelatihan 380 lulusan.
Tabel 3.4.
Jumlah Lulusan Pendidikan Kedinasan Kementerian KKP selama 6 Terakhir

Satuan Tahun Lulus


No Jumlah
pendidikan 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1. Sekolah Tinggi
Perikanan 296 309 335 304 327 331 1902
2. Akademi Perikanan
Sidoarjo 106 78 100 100 99 97 580
3. Akademi Perikanan
Bitung 66 59 97 86 55 90 453
4. Akademi Perikanan
Sorong 48 78 81 84 75 77 443
5. SUPM N. Ladong 42 29 24 107 113 66 381
6. SUPM N. Pariaman 78 80 96 80 90 81 505
7. SUPM N. KotaAgung 85 71 71 72 78 72 449
8. SUPM N. Tegal 131 114 118 136 131 129 759
9. SUPM N. Pontianak 82 52 76 94 85 79 468
10. SUPM N. Bone 84 113 113 110 78 82 580
11. SUPM N. Waiheru 80 67 96 104 69 74 490
12. SUPM N. Sorong 84 74 83 92 84 86 503
13. SUPM N. Kupang 44 44
14. SUPM N. Dumai 69 69
15. SUPM N. Muh. Tuban 70 70
Jumlah 1.182 1.124 1.290 1.369 1.284 1.147 7.696
Sumber. Badan Pengembangan SDM Kementerian KP, 2011

Untuk menghasilkan awak kapal perikanan yang berkualitas seperti yang dituntut oleh
Konvensi Internasional mengenai STCW-F 1995, maka penyelenggaraan pendidikan

24
dan pelatihan awak kapal perikanan harus memenuhi standar yang ditentukan. Kuantitas
SDM perikanan memang dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun dari sisi
kualitasnya, SDM perikanan hingga kini masih tetap memprihatinkan. Sebagai gambaran
pada tahun 2011 jumlah nelayan perikanan laut di Indonesia tercatat sebanyak 2.237.640
orang, sedangkan jumlah pembudidaya ikan (marikultur dan tambak) sebanyak
1.051.326 orang. Dari jumlah yang besar tersebut ternyata sebagian besar (sekitar
60%) tingkat pendidikannya hanya tamat SD. Disamping itu juga, mereka umumnya
tidak memiliki skill atau ketrampilan dengan kualifikasi tertentu. Hal ini jelas meng-
gambarkan bahwa kualitas SDM perikanan Indonesia masih terbatas tingkat
profesionalitasnya, sehingga jumlah SDM yang besar tersebut masih menjadi salah
satu kendala dalam mengembangkan dan mengoptimalkan sektor perikanan. Akibat
lain dari rendahnya kualitas SDM perikanan ini menyebabkan kegiatan usaha perikanan
di Indonesia sebagian besar belum efisien dan profesional, sehingga baik langsung
maupun tidak langsung hal tersebut akan memberikan dampak terhadap, daya saing
produk yang dihasilkan.

2) Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance)


Bidang kelautan saat ini dilihat dari perspektif tata kelola dan politik sudah menunjukkan
komitmen pada tataran perundangan yang cukup kuat, hal ini terbukti dengan lahirnya
beberapa Undang-Undang (UU) yang mendukung bidang kelautan, diantaranya adalah
UU No.1/1973 tentang Landas Kontinen, UU No.5/1983 tentang ZEEI, UU No.17/1985
tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
UU No.31/2004 jo UU No.45/2009 tentang Perikanan, UU No.27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No.17/2008 tentang
Pelayaran. Namun demikian, Implementasi UU tersebut masih dilakukan secara
terkotak-kotak atau fragmented, sehingga pengembangan bidang kelautan berjalan
secara sektoral, bahkan tidak sedikit terjadi perebutan kewenangan dan tumpang tindih
dalam program pembangunannya.
Kemudian, kemauan politik (political will) pada tataran kebijakan nasional juga relatif
belum kuat, terutama agar pembangunan kelautan dapat terencana dan berjalan secara
sinergis dan terpadu. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya merealisasikan peraturan
pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat mengatur
pelaksanaannya agar berjalan lebih efektif, efisien, dan terpadu. Semua institusi negara
yang berkepentingan dengan laut umumnya membuat kebijakan lebih bersifat sektoral.
Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan
dan memadukan peningkatan keamanan di laut. Akibatnya, tidak sedikit terjadi

25
perbedaan penafsiran tentang pengelolaan dan kewenangan di wilayah laut yang
berdampak seringkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral.
Terdapat sekurang-kurangnya 14 instansi negara yang berkaitan dengan pembangunan
di bidang kelautan, yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Energi Sumberdaya Mineral, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tabel 3.5.
Institusi Negara yang Berkaitan dengan Pembangunan Bidang Kelautan

Cakupan
No. Institusi Negara Kewenangan/Tanggungjawab
Teritorial Laut
1 Kementerian Implementasi otonomi daerah Kabupaten/Kota
Dalam Negeri di wilayah laut yang memiliki
Penataan aransemen kelembagaan wilayah laut,
otda di daerah Provinsi yang
Penataan ulang masalah perbatasan memiliki wilayah
daerah di wilayah laut laut
2 Kementerian Luar Wilayah perbatasan NKRI Laut territorial,
Negeri Ratifikasi hukum-hukum laut Perairan ZEEI, Alur
internasional laut kepulauan
Jalur pelayaran internasional Indonesia (ALKI)
Perbatasan dengan negara tetangga
3 Kementerian Kebijakan pertahanan di wilayah Seluruh wilayah
Pertahanan laut laut
4 Kementerian Perumusan kebijakan pembiayaan Seluruh wilayah
Keuangan pembangunan kelautan laut
5 Kementerian Transportasi Laut Seluruh wilayah
Perhubungan Kepelabuhanan Syahbandar laut dan sungai
6 Kementerian Energi Pertambangan Minyak dan Wilayah pesisir
dan Sumberdaya Gas lepas pantai dan pulau-pulau
Mineral Pertambangan Mineral dan golongan kecil,Perairan
C di pantai dan lepas pantai lepas pantai
7 Kementerian Hukum Penyusunan dan penataan Laut territorial,
dan Hak Asasi hukum-hukum kelautan Perairan ZEEI
Manusia Penyidikan, penyelidikan hukum
di laut

26
Cakupan
No. Institusi Negara Kewenangan/Tanggungjawab
Teritorial Laut
8 Kementerian Pengembangan Sumber Daya Kabupaten/Kota yg
Pendidikan dan Manusia (SDM) di Bidang Kelautan memiliki wilayah
Kebudayaan Budaya Bahari laut, Provinsi yang
memiliki wilayah
laut
9 Kementerian Wisata Bahari (diving, snorkeling, Perairan pesisir
Pariwisata dan atraksi laut, surfing, dll) dan pulau-pulau
Ekonomi Kreatif kecil
10 Kementerian Perikanan tangkap Perairan pantai,
Kelautan dan Perikanan budidaya (laut dan darat) Perairan lepas
Perikanan Aransemen kelembagaan perikanan pantai,Perairan
(hukum-hukum perikanan nasional) ZEEI,Perairan
Pengelolaan pesisir dan pulau- terrestrial/tawar
pulau kecil
11 Kementerian Negara Perencanaan pembangunan nasional Seluruh wilayah
Perencanaan lintas sektoral, maupun institusi Negara
Pembangunan negara
Nasional / Bappenas
12 Kementerian Negara AMDAL pesisir dan pulau-pulau Perairan pesisir
Lingkungan Hidup kecil termasuk muara
Perumusan kebijakan pengelolaan sungai,Perairan
lingkungan pesisir, laut dan pulau laut nasional
kecil
13 Tentara Nasional Pengamanan wilayah laut dan Seluruh perairan
Angkatan Laut wilayah perbatasan NKRI Indonesia,
Patrol dan Penegakkan hukum termasuk ZEEI
di laut
14 Kepolisian Negara Penyidik, penyelidikan, keamanan Perairan pantai
Republik Indonesia di laut
(Polair)
Sumber: Kusumastanto, 2003 yang telah disesuaikan

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab/ kewenangan di bidang


kelautan melibatkan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak mungkin pembangunan
bidang kelautan hanya akan dapat dilakukan oleh sebuah institusi negara saja yang
kewenangannya terbatas atau derajat institusionalnya sejajar dengan lembaga negara
yang lainnya. Pembangunan bidang kelautan dapat maju dan berkembang pesat, apabila
dilaksanakan secara bersama dan terpadu yang dilandasi oleh persepsi dan
pemahaman yang sama tentang kepentingan nasional.

27
Koordinasi antar sektor secara konsep dan teori terlihat mudah untuk dilaksanakan,
seperti dibentuknya Menteri Koordinator (Menko) yang berfungsi untuk mengkoordinir
antara sektor terkait tersebut. Namun, pada prakteknya dalam mengkoordinasikan satu
masalah penting untuk diputuskan secara bersama dalam rangka mendorong
pembangunan kelautan, masih sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh praktik sistem
politik pemerintahan dalam Kabinet Presidentil kurang memberikan peluang adanya
sistem koordinasi yang efektif dan sulit menghasilkan produk hukum bersama antar
Menteri. Dalam pandangan hukum, Menko dan Menteri memiliki kedudukan yang relatif
sama, tidak merupakan superior dan inferior, kewenangan memerintah Menteri hanya
ada pada Presiden.
Disamping itu, sistem perundangan yang bersifat pengaturan pelaksanaan pembangunan
di Indonesia masih menganut azas sektoral. Artinya suatu produk UU pada umumnya
hanya mengatur suatu sektor tertentu saja, kemudian dijabarkan oleh PP, Perpres dan
Permen yang sifatnya juga sektoral. Suatu masalah yang memerlukan konsolidasi
kewenangan antar Lembaga setingkat kementerian, seharusnya dapat diatur dalam
PP, Perpres atau SKB Menteri, namun pada prakteknya hal tersebut sulit untuk
dilaksanakan, karena masih sangat menonjolnya sifat ego sektoral dari setiap lembaga
atau institusi kementerian.
Tata kelola kelautan adalah sebuah proses interaksi antara sektor publik dan sektor
privat yang dilakukan untuk memecahkan persoalan kelautan dan menciptakan
kesempatan sosial-ekonomi di bidang kelautan, seperti peningkatan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan, pelestarian sumberdaya dan lain sebagainya. Konsepsi ini
menunjukkan bahwa tata kelola memiliki spektrum yang lebih luas di mana persoalan
kelautan merupakan persoalan publik yang harus diselesaikan melalui interaksi
komprehensif antara sektor publik dan privat, dimana sektor publik biasanya menjadi
domain pemerintah, sedangkan sektor privat menjadi domain pelaku pemanfaatan
sumberdaya kelautan. Secara umum dapat dinyatakan tata kelola bidang kelautan saat
ini belum berjalan baik, terintegrasi, efektif, dan efisien. Uraian ringkas dibawah ini
mengemukakan kondisi tata kelola kelautan saat ini diltinjau dari setiap bidangnya:
a) Tata Kelola di Bidang Budaya Kelautan
Kebudayaan merupakan ciri kehidupan masyarakat dari suatu bangsa yang
dibentuk oleh sejarah dan terus berlangsung dalam waktu yang lama. Secara
umum nilai-nilai budaya kelautan sangat langka ditanamkan kepada masyarakat,
baik melalui sistem pendidikan maupun kegiatan kemasyarakatan. Dengan latar
belakang sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, dimana pelaut
memiliki jiwa: pemberani, egaliter (tidak bersifat monarchy), dan toleransi/

28
kerjasama yang tinggi, seharusnya terpatri pada karakter pemimpin bangsa dan
sekaligus dijadikan sebagai jati diri bangsa.
Saat ini cerminan budaya bahari di masyarakat Indonesia telah berkurang. Nilai
dan perilaku bangsa, terutama generasi muda saat ini sudah tidak berjiwa bahari.
Padahal kondisi obyektif bangsa Indonesia adalah Negara kepulauan, sehingga
sudah sepatutnya menanamkan jiwa bahari pada setiap generasi bangsa agar
tujuan pembangunan nasional cepat terwujud dan NKRI tetap hidup ditengah
bangsa-bangsa lain di dunia.
Kemudian, tata kelola SDM kelautan di Indonesia juga belum baik, hal ini
disebabkan belum adanya koordinasi antar instansi yang terkait masalah SDM
kelautan. Selain itu, saat ini belum tercipta grand design untuk dapat menghasilkan
SDM kelautan yang berkualitas dan berkompetensi. Muatan kurikulum pendidikan
nasional, baik pada pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi, yang terkait
dengan bidang kelautan juga masih minim. Kebijakan pendidikan nasional masih
disusun oleh unit kerja terkecil secara fragmented, tanpa lintas fungsi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan yang menjadi salah satu faktor
penentu bagi keberhasilan pembangunan kelautan nasional juga belum dikuasai
dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini keterbatasan IPTEK
kelautan merupakan kendala dalam pengelolaan sumberdaya kelautan secara
optimal. Permasalahan dalam pengembangan IPTEK kelautan, antara lain:
berkaitan dengan keterbatasan alokasi dana, tenaga ahli, teknologi, dan sistem
pendidikan yang belum berpihak kepada IPTEK Kelautan.
Tambahan pula, berbagai hasil riset kelautan dari pelbagai badan penelitian dan
pengembangan suatu kementerian maupun universitas, dalam kenyataan hanya
disimpan pada instansi yang melakukannya. Sesungguhnya, hasil kajian dari
berbagai kementerian maupun universitas-universitas harus ada bank data dalam
suatu badan/lembaga, agar informasi ilmiah tidak membuat kebingungan bagi
para penguna data tersebut. Disamping itu, data hasil riset seharusnya link dengan
dunia industri.
Dengan demikian, secara umum kondisi tata kelola budaya kelautan saat ini belum
berjalan baik, sehingga perlu diatur dan dikelola lebih baik lagi, agar pembangunan
kelautan nasional dapat berjalan secara maksimal.
b) Tata Kelola di Bidang Pemerintahan
Bidang kelautan adalah wilayah kerja yang sangat luas, berbagai kementerian
maupun swasta terlibat dalam memanfaatkan laut, baik mengestraksi sumberdaya
alam laut maupun laut sebagai media penghubung. Sampai saat ini, hubungan

29
antar lembaga di pusat dalam menata bidang kelautan belum berjalan harmonis
dan sinergis, malah masih kental dengan kepentingan ego sektoralnya. Masing-
masing lembaga masih mengutamakan kepentingan lembaga mereka sendiri. Hal
ini, menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan laut hingga sekarang belum
terpadu dan terintegrasi.
Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah pun juga tidak sedikit yang
mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
alam di periaran laut, baik antar wilayah, antara pusat dan daerah, serta antar
pengguna. Masih sering terjadi ketidakpaduan antara regulasi daerah dengan
regulasi pemerintah pusat, yang juga menjadi salah satu penghambat
berkembangnya bidang kelautan nasional. Sebagai salah satu contoh yang terkini
(2012) adalah terhalangnya kapal tongkang pengangkut batubara untuk merapat
ke dermaga khusus pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) oleh ribuan pelampung
keramba budidaya di Bolok-Kupang, NTT.
c) Tata Kelola di Bidang Keselamatan, Keamanan dan Penegakkan Hukum di
Laut
Saat ini pelayaran sebagai salah satu transportasi masal yang umum digunakan
masyarakat Indonesia, banyak diselenggarakan oleh pihak swasta. Namun
sayangnya, keselamatan pelayaran terkadang menjadi hal yang dianggap tidak
penting oleh operator kapal, terutama pada pelayaran rakyat serta pelayaran antar
pulau dengan jarak yang dekat.
Sarana penting lainnya dalam sistem keselamatan pelayaran adalah ketersediaan
stasiun radio pantai (SROP). Saat ini jumlah SROP mengalami penurunan jumlah
yang cukup signifikan, yakni dari 222 unit pada tahun 2007 menjadi 155 unit pada
tahun 2011. Padahal kebutuhan ideal adalah sebesar 302 unit, yang terdiri dari 84
unit SROP dengan GMDSS dan 218 unit SROP dengan mobile device.
(Kementerian Perhubungan, 2012).
Selanjutnya, kemampuan arrmada TNI angkatan laut Indonesia juga masih jauh
dari harapan untuk dapat menjadi armada angkatan laut yang kuat dan tangguh.
Saat ini kapal perang yang dimiliki angkatan laut tidak sebanding dengan luasnya
wilayah lautan yang harus dijaga. Belum lagi kapal-kapal perang yang dimiliki
Indonesia rata-rata berumur diatas 50 tahun dan merupakan kapal perang bekas
Uni Soviet di era perang dingin. Demikian halnya juga dengan kapal selam, yang
jumlahnya kini tinggal 2 unit kapal selam, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan Malaysia yang memiliki wilayah lautan yang lebih sempit dari wilayah
Indonesia.

30
Kemudian kekuatan armada polisi air juga sangat terbatas, bahkan biaya
operasionalnya pun juga relatif terbatas. Bagaimana mungkin keamanan dan
keselamatan di laut yang wilayah jangkauannya luas bisa tercapai berhasil baik.
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas, yaitu Samudera Hindia, Samudera
Pasifik, dan Laut Cina Selatan menjadi jalur pelayaran yang sangat penting bagi
jalur perdagangan dan pelayaran dunia. ALKI yang menjadi jalur pelayaran bagi
perekonomian dunia menjadikannya rentan terhadap kriminalitas yang terjadi di
laut. Selat Malaka menjadi jalur yang berbahaya bagi setiap kapal niaga yang
melewatinya. Hingga saat ini banyak terjadi kriminalitas yang dilakukan perompak
terhadap kapal-kapal dagang dan kapal yang bermuatan ekonomis lainnya.
Meskipun telah dilaksanakan kerjasama antar angkatan laut Indonesia dengan
angkatan laut negara lain, akan tetapi kasus perompakan masih sering terjadi.
Hal ini dikarenakan luasnya lautan serta minimnya kapal patroli untuk menumpas
para perompak.
Perdagangan manusia (human trafficking) juga masih menjadi permasalahan,
perdagangan manusia lebih banyak dipekerjakan pada sektor informal seperti di
tempat hiburan. Hal ini tentunya dapat menurunkan martabat bangsa Indonesia.
Umumnya perdagangan manusia dilakukan melalui laut, karena dianggap laut
lemah dalam hal pengawasan dari aparat keamanan. Selain perdagangan manusia
(human trafficking), narkoba juga masih menjadi pekerjaan bagi aparat keamanan
untuk dapat diatasi. Umumnya peredaran narkoba juga melewati perairan laut.
Tata kelola dibidang keselamatan, keamanan dan penegakkan hukum di laut, dapat
dikatakan belum berjalan efektif dan sinergis, padahal potensi dan kejadian kasus
kriminal dan transaksi ilegal yang terjadi di wilayah yurisdiksi perairan laut Indonesia
cukup besar. Untuk itu, tata kelola di bidang keselamatan, keamanan dan
penegakkan hukum di laut perlu dibenahi secepat mungkin, agar wilayah laut kita
aman dari segala kondisi berbahaya.
d) Tata Kelola di Bidang Ekonomi Kelautan
Sektor pembangunan sebagai pemasok ekonomi negara bersumber dari laut, yaitu
perikanan, pelayaran, energi dan mineral laut, wisata bahari, industri maritim,
bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Agar setiap sektor tersebut dapat
berkembang dibutuhkan adanya dukungan yang kondusif dari berbagai sektor
lainnya, seperti: perbankan, infrastruktur, sistem logistik dan perdagangan dan
lain-lain. Namun, dalam kenyataan hingga saat ini masih belum terwujud suatu
sistem tata kelola ekonomi kelautan yang mampu memadu-serasikan lintas sektor
secara memadai. Hal ini salah satunya, diakibatkan dari tiadanya kesamaan

31
wawasan kelautan dalam pencabaran visi dan misi pembangunan nasional
sebagaimana yang dirumuskan dalam RPJP Nasional 2025.
Umumnya sektor-sektor yang diuraikan diatas, tata kelolanya sampai saat ini masih
belum berjalan sinergi dan optimal, sehingga diperlukan penataan dan regulasi,
agar semua kegiatan pembangunannya dapat terintegrasi, terpadu, dan sesuai
dengan visi dan misi pembangunan nasional dalam RPJP Nasional 2025, serta
harmoni dengan pembangunan yang ada di daratan.
e) Tata Kelola di Bidang Lingkungan Laut
Ekosistem laut dan pesisir sering menerima ancaman pencemaran dan perusakan
lingkungan, baik dari daratan maupun di laut, seperti tumpahan minyak akibat
kecelakaan kapal tanker maupun air ballast. Ancaman ini berpengaruh besar
terhadap kehidupan hayati di laut. Belakangan ini tiga habitat pantai (terumbu
karang, padang lamun dan bakau) telah terjadi kerusakan berat akibat aktifitas di
pesisir pantai.
Sisi lain, wilayah Indonesia rawan bencana sebagai akibat gerakan lempengan
Eurasia dan Australia yang bergerak terus mengakibatkan wilayah pantai rentan
dengan kerusakan, ditambah lagi oleh adanya gelombang dan arus dibawah
permukaan mengakibatkan pengikisan pantai, sehingga mengancam ekosistem
pesisir. Selain pertimbangan tersebut, ekosistem laut dan pantai memiliki
kemampuan sebagai pengendali efek rumahkaca (adanya kandungan karbon
dioksida), sehingga kedua ekosistem itu perlu dijaga dan dikontrol.
Ancaman lingkungan yang diuraikan diatas sampai saat ini belum diatur tata
kelolanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan belum tertatanya pembangunan
wilayah pesisir dengan baik, bahkan hampir sebagian besar kota dan desa di
wilayah pesisir Indonesia masih terkesan kumuh, kotor, dan rentan terhadap
pencemaran dan bencana alam.

3) Keamanan Laut (Maritime Security)


Sebagai negara kepulauan terbesar didunia dengan 2/3 wilayahnya merupakan laut,
sudah pasti laut memiliki arti penting bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Minimal
terdapat 4 (empat) faktor penting yaitu:
a. Laut sebagai sarana pemersatu wilayah NKRI
b. Laut sebagai sarana transportasi dan komunikasi
c. Laut sebagai sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi
d. Laut sebagai medium pertahanan (untuk proyeksi kekuatan)

32
Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal keamanan
maritim yang tujuannya harus diarahkan untuk mencapai dan menciptakan kondisi yang
aman dari ancaman pelanggaran wilayah dari pihak luar, aman dari bahaya navigasi
pelayaran, aman dari eksploitasi illegal sumber daya alam serta pencemaran lingkungan
dan aman dari tindakan pelanggaran hukum.
Dari sudut pandang ekonomi, terdapat beberapa fakta empiris yang menjadi perhatian
khusus berkaitan dengan keamanan di laut, yaitu:
a) Alur pelayaran transit Selat Malaka dewasa ini dilewati oleh 60.000 kapal berbagai
jenis per tahun, merupakan 1/3 volume perdagangan dunia dengan jumlah $ 390 milyar.
b) Selat Lombok dilewati 3.900 kapal/tahun dengan nilai $ 40 milyar.
c) Selat Sunda, 3.500 kapal/tahun dengan nilai $ 5 milyar.
d) Jika seandainya ketiga selat ini ditutup, kerugian akibat pengalihan rute akan
mencapai $ 8 milyar per tahun.
e) Tahun 2015 ekonomi China, India, dan Jepang akan sebesar 2(dua) kali AS dan 4
(empat) kali Eropa ($ 19.8 triliun : $ 14 triliun : dan $ 11.6 triliun).
Kemudian, wilayah laut NKRI berbatasan dengan 10 negara tetangga (India, Malaysia,
Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina, Palau, Papua New Guinia, Australia dan Timor
Leste). Hal ini tentu membawa sebuah konsekuensi bahwa laut menjadi kawasan
perbatasan atau tapal batas dengan beberapa negara tetangga tersebut. Disamping
itu, sesuai konvensi internasional, wilayah Indonesia pada alur pelayaran tertentu dapat
dilewati oleh kapal asing yang dikenal sebagai Alur Kepulauan Laut Indonesia (ALKI)
seperti ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 3.1
ALKI di Wilayah Perairan Indonesia

33
Dalam peta perdagangan dunia, wilayah Indonesia menyediakan jalur perdagangan
terdekat melalui chokepoints yang menghubungkan antara negara-negara di belahan
bumi Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Lima dari enam chokepoint vital dalam
perdagangan dunia di kawasan Asia Pasifik berada di Indonesia (Tabel 3.5). Dalam
teori strategi maritim, blokade Angkatan Laut dapat berbentuk distant blockade, bisa
pula berupa close blockade. Dewasa ini, isu blokade masih tetap dikhawatirkan oleh
negara-negara yang mempunyai kepentingan jauh dari wilayah nasionalnya.
Tabel 3.5
World Vital Chokepoint

Eastern
Eastern
Mediterranian Europe Africa The Americas
Pacific
And Persian Gulf

Bosporus Malacca Strait* Great Belt Mozambique Panama


Channel Canal
Dardanelles Sunda Strait* Kiel Canal Cabot Strait
Suez Canal Lombok Strait* Dover Strait Florida Strait
Strait of Hormuz Luzon Strait Gibraltar Strait Yucatan
Channel
Bab el-Mandab Singapore Windward
Strait* Passage
Makassar Mona
Strait* Passage
*) Chokepoint yang terdapat di wilayah perairan Indonesia

Wilayah perairan Indonesia juga berfungsi sebagai life line pelayaran baik nasional
maupun internasional, yang tunduk pada berbagai pengaturan internasional khususnya
yang berkaitan dengan teknis pelayaran dan perlindungan lingkungan yang menjadi
mandat dari International Maritime Organization (IMO), antara lain Convention for the
Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) 1973 beserta Protokolnya, Convention
for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 beserta Amandemennya, Convention for
the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA) 1973
dan International Convention on Maritime Search and Rescue (SAR Convention) 1998.
Dalam waktu akhir-akhir ini, penciptaan keamanan di laut menjadi kian rumit dengan
maraknya berbagai kejahatan, seperti perompakan di laut (sea piracy), perompakan
bersenjata (armed robbery), dan terorisme (maritime terrorism), serta kejahatan lintas
negara atau transnational organised crime (TOC). Hampir seluruh kejahatan yang

34
termasuk kategori TOC dapat dilakukan di laut atau menggunakan laut sebagai
medianya seperti pencurian ikan (illegal fishing), pencurian kayu (illegal logging),
peredaran obat terlarang (illicit drug trafficking) penyelundupan/perdagangan manusia
(trafficking in person) dan penyelundupan senjata (arm smuggling).
Wilayah-wilayah yang terbuka, terlebih yang berhimpitan dengan choke points dan
ALKI ini sangat mudah menjadi sasaran. Bahkan lebih buruk lagi bisa terjadi benturan
antara freedom of navigation dan isu kedaulatan di daerah-daerah yang berhimpitan
atau menjadi choke points dan ALKI tersebut. Dalam perspektif defence proper,
keberadaan ALKI berarti pembagian Indonesia kedalam beberapa kompartemen
strategis yang sangat potensial rawan terhadap berbagai ancaman, yang bersumber
pada masalah (a) Sea Lines of Communication (SLOC) dan Sea Line of Oil Trade (SLOT),
(b) klaim pemilikan pulau-pulau terluar Indonesia, sesuai data ada 92 pulau-pulau kecil
dan sekaligus menjadi titik terluar wilayah RI, dimana 12 pulau diantaranya diperkirakan
dapat menjadi sumber konflik dengan negara tetangga, dan (c) kehadiran kekuatan
Angkatan Laut Asing di Perairan Indonesia, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan pada beberapa persoalan besar di laut,
yakni:
a) Masalah perbatasan laut dengan 10 (sepuluh) Negara tetangga yang belum ada
kesepakatan batas-batas yang jelas, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antar
Negara.
b) Belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengontrol seluruh perairan
guna menanggulangi kejahatan transnasional seperti terorisme, perompakan,
penyelundupan senjata api, penjualan manusia (human trafficking), penyelundupan
manusia (people smuggling), penyelundupan narkotika dan obat terlarang, illegal
fishing, illegal logging, penyelundupan elektronik, penyelundupan bahan bakar
minyak, penyelundupan otomotif dan sebagainya.
c) Mengamankan 3 buah ALKI (ALKI Barat, ALKI Tengah dan ALKI Timur) dari
kemungkinan penyalahgunaan hukum laut internasional yang dapat merugikan
Indonesia.
d) Bertanggung jawab dalam upaya keamanan nasional-regional (Asia Tenggara)
e) Terdapat 15 instansi pemerintah yang terkait dalam penegakkan hukum, keamanan
dan keselamatan di laut, namun berjalan secara sinergis dan terpadu.
Berdasarkan keberadaan satuan tugas patroli laut yang dimiliki, maka terdapat dua
kategori instansi yang terkait dalam penegakkan hukum, keamanan dan keselamatan
di laut, yaitu: instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut dan instansi tanpa
satuan tugas patroli di laut, seperti disajikan pada tabel berikut

35
Tabel 3.6.
Satuan Tugas Patroli Laut berdasarkan Instansi Tahun 2011

Instansi Terkait dengan Instansi Terkait tanpa


Satgas Patroli Laut Satgas Patroli Laut

1. Kementerian Keuangan 1. Kementerian Lingkungan Hidup


- Ditjen Bea dan Cukai 2. Kementerian Pertanian
2. Kementerian Perhubungan 3. Kementerian Kehutanan
- Ditjen Perhubungan Laut (KPLP) 4. Kementerian Kesehatan
3. Kementerian Hukum dan HAM 5. Kementerian Energi dan Sumber
- Ditjen Imigrasi Daya Mineral
4. Kementerian Kelautan dan Perikanan 6. Kejaksaan Agung
- Ditjen Pengawasan Sumberdaya 7. Mahkamah Agung
Kelautan dan Perikanan
5. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
- TNI Angkatan Laut
6. Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Direktorat Polisi Perairan
7. Badan Koordinasi Keamanan Laut
8. Badan SAR Nasional

Kondisi saat ini, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh instansi terkait bidang
keamanan laut antar instansi yang satu dengan yang lain sangat berbeda baik mengenai
jumlah maupun kualitas, dan secara umum sarana prasarana tersebut belum memadai
jika dibandingkan dengan wilayah perairan yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Berikut
ini adalah gambaran umum sarana dan prasarana yang dimiliki oleh instansi yang
terkait dengan bidang keamanan laut, sebagai berikut:
a) Sarana dan prasarana yang dimiliki TNI AL terkait upaya penegakkan keamanan
di laut berupa beberapa jenis kapal yang usianya telah lebih dari 20 tahun dan
hanya 46% yang memiliki kondisi teknis siap operasi. Jumlah kapal yang dimiliki
oleh TNI AL sebanyak 147 unit, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.7.
Jumlah Kapal Milik TNI AL Tahun 2011

No. Jenis Kapal Jumlah

1 Kapal Markas (MA) 1 unit


2 Kapal Perusak Kawal (PK) 15 unit
3 Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR) 14 unit

36
No. Jenis Kapal Jumlah

4 Kapal Selam (KS) 2 unit


5 Kapal Cepat Rudal (KCR) 4 unit
6 Kapal Cepat Torpedo (KCT) 2 unit
7 Kapal Patroli Cepat (PC) 46 unit
8 Kapal Penyapu Ranjau (PR) 4 unit
9 Kapal Buru Ranjau (BR) 2 unit
10 Kapal Angkut Tank (AT) 28 unit
11 Kapal Angkut Serba Guna (ASG), 2 unit
12 Kapal Tanker (BCM) 5 unit
13 Kapal Tunda Samudra (BTD) 1 unit
14 Kapal Hidro-Oceanografi (BHO) 5 unit
15 Kapal Bantu Umum (BU) 3 unit
16 Kapal Bantu Angkut Personel (BAP) 3 unit
17 Cepat Angkut Pasukan (CAP) 3 unit
18 Kapal Latih (LAT) 2 unit
19 Kapal Bantu Rumah Sakit (BRS) 1 unit
20 landing Platform Dock (LPD) 4 unit
21 Pesawat NOMAD N-22/24 19 unit
TOTAL 166 Unit

b) Sarana dan prasarana yang dimiliki Direktorat Polisi Perairan terkait upaya
penegakkan keamanan di laut berupa kapal yang terdiri dari berbagai jenis
sebanyak 120 unit. Tabel berikut ini menunjukan jenis dan jumlah kapal yang dimiliki
Ditpolair Baharkam Polri.

37
Tabel 3.8.
Jumlah Kapal Milik Kepolisian Negara RI Tahun 2011

NO JENIS KAPAL JUMLAH

1. Kapal Kelas A2 2
2. Kapal Kelas A3 9
3. Kapal Kelas B2 18
4. Kapal Kelas B3 14
5. Kapal Kelas C1 10
6. Kapal Kelas C2 4
7. Jet Sky 2
8. Perahu Karet 61
TOTAL 120
Sumber : Ditpolair Baharkam Polri, 2011

c) Hingga tahun 2011, sarana dan prasarana yang dimiliki Ditjen Bea dan Cukai,
Kementerian Keuangan dalam proses penegakkan keamanan di laut berupa kapal
patrol sebanyak 43 unit, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.9.
Jumlah Kapal Ditjen Bea dan Cukai Tahun 2011

No Jenis Kapal Jumlah

1 Kapal Patroli berukuran 28-38 meter 33 unit


2 Kapal Patroli berukuran 16 meter 10 unit
TOTAL 43 unit

d) Sarana dan Prasarana yang dimiliki Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai
(KPLP) - Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan untuk
penegakkan keamanan di laut berupa kapal patroli sebanyak 457 unit dengan
rincian sebagai berikut:

38
Tabel 3.10.
Jumlah Kapal Patroli KPLP Tahun 2011

No Jenis Kapal Jumlah

1 Kapal Patroli ADPEL 236 unit


2 Kapal Patroli KANPEL 221 unit
TOTAL 457 unit

e) Sarana dan prasarana yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk
penegakkan hukum dan keamanan di laut berupa kapal pengawas sebanyak 25
unit kapal dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 3.11.

No Kapal Pengawas Surveillance Vessel Jumlah

1 KP. Barracuda 2 unit


2 KP. Hiu 10 unit
3 KP. Hiu Macan 6 unit
4 KP. Todak 2 unit
5 KP. Takalamongan 1 unit
6 KP. Padaido 1 unit
7 KP. Catamaran 1 unit
8 KP. Hiu Macan Tutul 1 unit
9 KP. Akar Bahar 1 unit
Jumlah 25 unit

Kapal Pengawas milik Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011


f) Sarana dan Prasarana yang dimiliki Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia berupa kapal patroli sebanyak 3 unit dengan rincian
sebagai berikut :

39
Tabel 3.12.
Jumlah Kapal Patroli Direktorat Imigrasi Tahun 2011

No Kantor Imigrasi Jumlah Kapal

1 Kantor Imigrasi Batam 1 unit


2 Kantor Imigrasi Dumai 1 unit
3 Kantor Imigrasi Nunukan 1 unit
TOTAL 3 unit

g) Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Badan Search And Research Nasional
BASARNAS terkait dengan upaya keselamatan di laut sebanyak 75 unit, yang
terdiri dari rescue boat dan rigid inflatable boat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 3.13.
Jumlah Kapal Milik BASARNAS Tahun 2011

Rigid Infla-
No Kantor SAR Rescue Boat
table Boat
1. Medan I 1 2
2. Jakarta II 1 1
3. Surabaya III 1 1
4. Denpasar IV 1 2
5. Makassar V 2 2
6. Biak IV 1 1
7. Banda Aceh VII 1 3
8. Padang VIII 1 1
9. Pekanbaru IX 2 2
10. Tj. Pinang X 1 2
11. Palembang XI 2 3
12. Semarang XII 2 2

40
Rigid Infla-
No Kantor SAR Rescue Boat
table Boat
13. Mataram XIII 1 1
14. Kupang XIV 1 2
15. Pontianak XV 1 1
16. Banjarmasin XVI 3 2
17. Balikpapan XVII 1 2
18. Kendari XVIII 1 3
19. Manado XIX 2 4
20. Ambon XX 2 2
21. Sorong XXI 1 1
22. Jayapura XXII 1 1
23. Timika XXIII 1 1
24. Merauke XXIV 1 1
TOTAL 32 Unit 43 Unit

h) Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang memiliki fungsi sebagai


koordinator terhadap 14 instansi yang memiliki kewenangan dalam proses
penegakkan keamanan di laut, belum memiliki sarana dan prasarana berupa kapal
ataupun sarana lainnya, namun saat ini BAKORKAMLA sedang membangun 1
unit kapal patroli dan direncanakan pada tahun 2012 akan mulai dioperasikan.
Jika membandingkan antara luas wilayah perairan RI dengan jumlah kapal yang
menangani penegakkan hukum dan keamanan di laut, yaitu = Luas Wilayah (5.800.000
km2) : Jumlah kapal (870 unit) = 6.666 km2/kapal. Artinya rata-rata setiap 1 kapal patroli
harus mengawasi luas wilayah perairan laut seluas 6.666 km2. Ditambah lagi dengan
kesiapan pangkalan utama dan pangkalan aju yang masih jauh dari kebutuhan untuk
mendukung operasi kapal. Melihat gambaran kasar tentang fakta ini, terlihat bahwa
proses penegakkan keamanan di wilayah laut yurisdiksi NKRI masih menghadapi
tantangan dan kendala yang cukup besar
Kemudian, untuk membantu penegakkan keamanan di laut melalui dukungan udara
dengan kekuatan alutsista TNI AU, juga tidak jauh berbeda dengan kekuatan di laut,

41
khususnya jumlah pesawat tempur TNI AU sangat terbatas, disamping kemampuan
pangkalan dukungan operasional masih juga terbatas. Saat ini sarana dan prasarana
yang dimiliki TNI AU untuk membantu menegakkan keamanan di laut, antara lain: 16
pesawat SU-27 sebanyak 1 squadron di tempatkan di pangkalan Makassar, 1 squadron
F-16 di tempatkan di pangkalan utama madiun bersama sama dengan 1 squadron
PSE (Tiger), 1 squadron Hawk di pangkalan Pekanbaru, dan 1 squadron Hawk di
pangkalan Pontianak. Terlihat kekuatan TNI AU tersebut masih jauh dari kemampuan
penguasaan kedaulatan udara. Namun, secara bertahap sedang diadakan penambahan
jenis dan jumlah pesawat tempur, antara lain pesawat tempur baru jenis Stucano sebagai
pengganti dari pesawat tempur ringgan jenis Ovi-10.
Dengan keterbatasan jumlah dan kemampuan operasional dalam menjaga kedaulatan
dan keamanan wilayah NKRI, sebenarnya masih dapat dibantu dan didukung
kemampuan operasi dan jelajahnya dengan mengunakan sistem Monitoring, Controling,
and Surveilance (MCS). Namun, kondisi sistem MCS saat ini masih berbatas pada
satuan masing-masing dan belum diintegrasikan, karena masih membutuhkan
penambahan peralatan yang canggih dan mahal.
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 pasal 9 b yang menyatakan bahwa TNI AL memiliki
tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan laut yurisdiksi nasional sesuai
dengan ketentuan hukum nasional maupun internasional. Kewenangan atas telah
tertuang dalam UNCLOS 1982 dan beberapa perundangan nasional bahwa wilayah
kewenangan tersebut berlaku tidak hanya di laut teritorial (12 mil), namun berlaku hingga
perairan zona tambahan (24 mil), ZEE (200 mil) dan bahkan di laut lepas (>200 mil).
Selain TNI AL Institusi penyelenggara penegakkan hukum dan keamanan laut
diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Unsur-unsur
yang dikoordinasikan dalam Bakorkamla adalah unsur-unsur dari badan/lembaga lain
memiliki kewenangan penegakkan hukum di laut berdasarkan UU yang dimilikinya,
yaitu: Kepabeanan, Keimigrasian, Pelayaran, Perikanan, Karantina, Lingkungan Hidup,
dan Kepolisian, dan kewenangannya hanya mencakup batas wilayah teritorial (12 mil).
Sifat koordinasi yang dilaksanakan oleh Bakorkamla sesuai dengan UU No. 6 Tahun
1996 pasal 23 dan Perpres No. 81 Tahun 2005, tetapi hingga saat ini sifat koordinasi
dari Bakorkamla belum didukung sepenuhnya oleh unsur-unsur dari badan/lembaga
lain yang memliki kewenangan penegakkan hukum di laut berdasarkan UU yang
dimikinya. Badan/lembaga tersebut secara sendiri-sendiri melaksanakan operasi
penegakkan hukum di laut, sehingga di lapangan terdapat berbagai-bagai satuan
penegakkan hukum di luar Bakorkamla, sehingga operasi penegakkan hukum di laut
belum dilaksanakan secara integratif dan terpadu dalam satu kesatuan dan satu

42
komando. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak efektif dan tidak efisien, hal tersebut
juga menimbulkan persaingan kewenangan atau kepentingan antar instansi, yang
kesemuanya merugikan output pelaksanaan penegakkan hukum dan merugikan
pengguna jasa kelautan serta kepentingan nasional umumnya.
Penyelenggaraan operasi penegakkan hukum dan keamanan di laut, seperti tersebut
di atas membawa akibat bahwa masing-masing badan/lembaga melaksanakan
pelaporan deteksi, identifikasi dan penindakan (MCS) belum dapat berfungsi sebagai
informasi Operasi Keamanan di Laut untuk Pusat Komando Pengendali Bakorkamla.
Sehingga informasi keamanan secara umum atau khususnya penegakkan hukum dan
keamanan di laut belum tergambar secara nasional.

4) Ekonomi Kelautan (Ocean Economic)


Dalam rangka mencermati pembangunan kelautan Indonesia, maka sepatutnya
mengkaji kembali bagaimana posisi bidang ekonomi kelautannya yang terdiri beberapa
sektor, yakni: perhubungan atau transportasi laut, industri maritim, perikanan, wisata
bahari, energi dan sumberdaya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, berperan
di masa lalu dan bagaimana seharusnya bangsa Indonesia meletakkan dasar yang
kuat bagi pembangunan negara kepulauan yang dapat memakmurkan rakyat nusantara
(Kusumastanto, 2007). Secara empiris, pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa
terakhir kurang mendapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran (periphery)
dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir
70% wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar,
sehingga sebagai negara yang merupakan the largest archipelagic country in the world
(negara kepulauan terbesar didunia), ternyata memang belum memiliki keberpihakan
politik maupun ekonomi dalam pembangunan ekonomi kelautan, sehingga sampai saat
bidang kelautan tersebut belum memberikan sumbangsih optimal bagi pertumbuhan
ekonomi nasional.
Bila dilihat dari kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia pada tahun 2005 sebenarnya sudah mengalami peningkatan walaupun belum
optimal jika melihat membandingkannya dengan potensi yang ada. Pada tahun 2001
kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional sebesar 20,15 %, tahun 2002 sebesar
20,71%, tahun 2003 sebesar 20,77%, tahun 2004 sebesar 20,83%, dan pada tahun
2005 meningkat menjadi 22,42%. Pada Tabel 3-3, dapat dilihat peningkatan persentase
kontribusi bidang kelautan tersebut beserta masing-masing ketujuh sektor ekonominya.

43
Tabel 3.14.
Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan
periode tahun 2001 - 2005

Persentase ( %) Produk Domestik Bruto


No. Bidang Kelautan
2001 2002 2003 2004 2005
1. Perhubungan Laut 0,74 1,39 1,67 1,49 1,48
2. Industri Maritim
- Pengilangan Minyak Bumi 2,09 2 2,01 2,05 2.10
- LNG 1,2 1,11 1,13 1,12 1,14
- Industri maritim lainnya 0,51 0,7 0,71 0,51 0,53
3. Perikanan 2,43 2,56 2,59 2,66 2,79
4. Wisata Bahari 1,47 1,56 1,52 1,51 1,52
5. Energi dan Sumberdaya Mineral 9,29 9,32 9,36 9,38 9,13
6. Bangunan Kelautan 0,96 0,96 0,5 0,77 1,01
7. Jasa Kelautan 1,46 1,2 1,28 1,34 1,32
Jumlah PDB Sektor Kelautan (5) 20,15 20,71 20,77 20,83 22.42

Sumber : data BPS diolah.

Nilai kontribusi ini tentu jauh belum optimal, bila membandingkannya dengan negara-
negara lain yang memiliki laut lebih sempit dibanding Indonesia, misalnya saja Cina
yang hanya memiliki luas laut kurang dari separuh Indonesia, bidang kelautannya
memberikan kontribusi 48,40% terhadap PDB nasionalnya, Korea dengan luas laut
yang jauh lebih kecil memberikan kontribusi 37%, dan Jepang yang juga lautnya lebih
kecil dari Indonesia memberikan kontribusi 54%. Sehingga Indonesia yang memiliki
laut lebih luas, harusnya bidang kelautan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar
dari saat ini, apalagi mengingat potensi serta posisi geopolitis Indonesia yang sangat
strategis.
Besarnya potensi ekonomi kelautan yang dimiliki Indonesia, diperkirakan mencapai
US$ 171 miliar per tahun atau dengan kurs US$ 1 = Rp 9.500, setara dengan nilai Rp
1.624,50 trilyun per tahun (sumber: Institut Pertanian Bogor, 1997; Asian Development
Bank, 1997; Departemen Pariwisata dan Kebudayaan 2000; Ikatan Ahli Geologi
Indonesia 1999; Badan Perencana Pembangunan Nasional 2000; dan Departemen
Perhubungan 2000). Nilai perkiraan potensi ini setara dengan nilai RAPBN Indonesia

44
tahun 2013. Diestimasi bangsa Indonesia baru memanfaatkannya sebesar 20% dari
nilai potensi ekonomi kelautan tersebut. Padahal, jika potensi kelautan Indonesia ini
dapat dimanfaatkan secara optimal, maka cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang mandiri, maju, adil dan makmur segera dapat terwujud.
Selanjutnya, kondisi saat ini dari ke 7 (tujuh) sektor ekonomi bidang kelautan tersebut,
secara singkat dideskripsikan pada uraian berikut:
a) Perhubungan Laut
Badan Perencana Pembangunan Nasional dan Departemen Perhubungan
mengestimasi bahwa nilai potensi ekonomi nasional dari aktivitas transportasi laut
adalah sebesar US$ 20 miliar per tahun, sementara sampai tahun 2011 tercatat
PDB sektor transportasi laut sebesar Rp 18.5 milyar (US$ 1,95 milyar) atau baru
sekitar 9,7 % dari nilai potensi. Kondisi ini menggambarkan bahwa kebijakan sektor
perhubungan laut belum optimal memacu pertumbuhan ekonomi aktivitas
transportasi laut nasional.
Untuk menggairahkan transportasi laut perlu diupayakan berbagai kebijakan yang
mendukung. Misalnya menetapkan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai international
hub port (pelabuhan pengumpul internasional) yang diharapkan bisa mengurangi
cost akibat transit di Singapura. Diperkirakan peng-hematan bisa mencapai US$
500 juta per tahun. Menurut data statistic, Indonesia mempunyai peti kemas sebesar
5,3 juta twenty feet equivalent units (TEUs) per tahun. Sebanyak 90% dari jumlah
tersebut dikirim ke Singapura terlebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan ke Negara-
negara tujuan ekspor. Untuk impor barang pun berlaku hal yang sama. Artinya
ada sekitar 9,4 juta TEUs yang keluar dan masuk Indonesia setiap tahunnya.
Dalam periode waktu tahun 2002-2011, PDB sektor transportasi laut terus
mengalami peningkatan, walaupun belum memberikan kontribusi yang optimal
bagi perekonomian nasional. Perkembangan PDB sektor transportasi laut dan
total transportasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.

45
Tabel 3.15
Produk Domestik Bruto (PDB) Bidang Transportasi Laut Berdasarkan Harga
Berlaku, 2002-2011 (dalam Milyar Rupiah)

Kontribusi
Transportasi Total
Tahun terhadap Total
Laut Transportasi
Transportasi
2002 10.625,0 72.234,0 14,7%
2003 11.997,6 62.627,0 19,2%
2004 12.328,3 88.310,3 14,0%
2005 13.974.4 110.271,2 12,7%
2006 16.120,7 142.980,0 11,3%
2007 16.043,4 149.973,5 10,7%
2008 16.019,2 171.246,8 9,4%
2009 15.812,7 182.908,2 8,6%
2010 16.929,9 217.311,2 7,8%
2011 18.504,0 254.427,0 7,3%

Kalau diperhatikan dari tabel diatas, terlihat bahwa kontribusi sub-sektor


transportasi laut masih relatif kecil dan bahkan cenderung menurun. Nilai kontribusi
ini masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi sub-sektor
transportasi darat (55,3%), padahal kondisi geografis Indonesia yang sebagian
besar merupakan lautan. Kendala utama yang dihadapi oleh para pengusaha
transportasi laut adalah masalah peraturan. Saat ini belum ada peraturan pelayaran
nasional yang memadai, sehingga selama ini peraturan internasional dijadikan
sebagai acuan. Peraturan internasional tersebut banyak yang tidak sesuai dengan
kondisi Indonesia. Selain itu, peraturan di pusat dan masing-masing daerah juga
belum ada keseragaman, terlebih sejak pemberlakuan otonomi daerah.
Selain itu, sampai tahun 2011 sebesar 90% muatan angkutan laut ke luar negeri
dikuasai oleh kapal berbendera asing. Akibatnya setiap tahun Indonesia membayar
kapal asing sekitar Rp 100 Triliun dan menghasilkan defisit pada transaksi berjalan,
yaitu membayar jasa kepada kapal luar negeri lebih besar ketimbang mendapat
penerimaan dari komoditi yang diekspor. Kemudian, ditinjau dari segi daya saing,

46
pangsa muatan armada kapal nasional untuk angkutan laut luar negeri juga relatif
masih sangat rendah (sekitar 10%). Namun, hal yang cukup menggembirakan
adalah armada kapal nasional mulai dapat menguasai pangsa muatan untuk
angkutan dalam negeri secara penuh (99%). Hal ini, menandakan bahwa azas
cabotage sudah mulai berjalan. Walaupun demikian, biaya angkutan barang dalam
negeri masih belum efisien atau masih mahal, sebagai contoh, ongkos pengapalan
peti kemas dari Padang ke Jakarta mencapai US$ 600, sedangkan ongkos
pengapalan serupa dari Singapura ke Jakarta hanya US$ 185 (Kompas, 21
Desember 2012).
Tabel 3.16
Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional
untuk Angkutan Laut Luar Negeri.

Tahun
No. Pelayaran
2008 2009 2010 2011
1. Nasional 7% 9% 9% 10%
2. Asing 93% 91% 91% 90%
Sumber : Kementerian Perhubungan, 2012 yang telah diolah

Tabel 3.17
Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional
untuk Angkutan Laut Dalam Negeri.

Tahun
No. Pelayaran
2008 2009 2010 2011
1. Nasional 79% 90% 98% 99%
2. Asing 21% 10% 2% 1%
Sumber : Kementerian Perhubungan, 2012 yang telah diolah

Tambahan pula, sebanyak 75% kapal-kapal Indonesia yang berlayar di perairan


nusantara sudah berumur tua, walaupun masih laik pakai untuk pelayaran (Hartoto,
2012). Selain itu, infrastruktur pelabuhan di Indonesia juga belum mampu melayani
kapal-kapal berteknologi terkini. Hartoto, (2012) mengatakan kapal-kapal
berteknologi terkini membutuhkan pelabuhan dengan kedalaman tinggi, sedangkan

47
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia rata-rata dangkal sehingga Indonesian National
Shipowner Association (INSA) belum bisa menggunakan kapal-kapal teknologi
terkini.
Dengan melihat kondisi saat ini tersebut, maka sektor perhubungan laut, utamanya
pelayaran nasional, sangat memerlukan dukungan kebijakan yang tepat agar dapat
tumbuh secara efisien dan mampu bersaing dengan pelayaran asing utamanya
untuk membawa produk-produk nasional ke negara-negara tujuan ekspor.
b) Industri Maritim
Industri maritim adalah salah satu sektor kelautan yang dapat menjadi sumberdaya
ekonomi potensial utama sebagai penyumbang penerimaan devisa negara.
Menurut Asian Development Bank/ADB (1997), diperkirakan potensi aktivitas
ekonomi di wilayah pesisir Indonesia adalah sebesar US$ 56 miliar per tahun.
Kegiatan ekonomi industri maritim adalah mencakup industri-industri yang
menunjang kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan juga perairan laut, seperti:
industri galangan kapal dan jasa perbaikannya (docking), industri pengolahan hasil
pengilangan minyak bumi, dan industri gas alam cair (LNG).
Industri maritim sangat berpotensi dalam menjawab tantangan-tantangan masa
depan dan memberi nilai tambah yang cukup tinggi untuk produk-produk
transportasi laut yang menghasilkan tambahan devisa negara. Saat ini, terdapat
industri galangan kapal nasional yang telah mampu membuat berbagai jenis kapal
di Indonesia, baik yang merupakan proses alih teknologi maupun kerjasama dengan
pihak luar negeri. Tabel berikut menyajikan jenis kapal yang telah diproduksi di
Indonesia.
Tabel 3.18
Jenis-Jenis Kapal Produksi Dalam Negeri

No Jenis Kapal

1 Kapal barang dan semi peti kemas 1500 DWT dan 3650 DWT
2 Kapal barang dengan kombinasi layar dan mesin 1000 DWT
3 Tanker kimia 16000 DWT
4 Tanker minyak 1500 DWT, 3500 DWT, 6500 DWT, 17000 DWT
5 Kapal penumpang & trailer roro 18900 GT
6 Kapal penumpang & mobil roro 200 - 600 GT dan 5000 GT

48
No Jenis Kapal

7 Kapal pemasok anjungan lepas pantai 3000 HP


8 Kapal pesiar penumpang FRP
9 Kapal patrol cepat 8000 HP / 57 m / 30 knot
10 Kapal patrol cepat 2440 HP / 28 m / 30 knot
11 Kapal penangkap ikan 150 GT, 300 GT
12 Kapal tunda 800 HP - 4200 HP
13 Kapal penangkap ikan tuna long-line
14 Kapal penangkap ikan tuna pool & line
15 Kapal penumpang PAX-500
16 Kapal curah (bulk carrier) sampai ukuran 42.000 DWT
17 Kapal LPG kapasitas 5.600 Cbm (cubic meter)
18 Pusher Tug/ Fire Fitting Tug Boat ukuran 4,200 HP
19 Kapal keruk ukuran 12.000 Ton
20 Reparation floating storage ukuran 150.000 DWT
21 Kapal kontainer (Container Carrie) 600 TEU & 1600 TEU
22 Floating repair 150.000 DWT (Cinta Natomas)

Potensi galangan kapal di Indonesia saat ini tercatat ada sekitar 240 galangan
kapal, yang sebagian besar adalah galangan kapal dalam skala kecil dan 4 buah
galangan kapal milik pemerintah yaitu: PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari, PT
PAL Indonesia, PT Dok dan Perkapalan Surabaya, dan PT Industri Kapal Indonesia.
Dimana total investasi di sektor industri kapal ini sejumlah kurang lebih 1.426 juta
US Dollar dengan menyerap tenaga kerja sebesar 35.000 tenaga kerja, dengan
fasilitas yang dimiliki antara lain:
1) Building Berth ukuran sampai 50.000 DWT
2) Graving Dock ukuran sampai 50.000 DWT
3) Footing Dock ukuran sampai 6.500 TLC
4) Slipway ukuran sampai 6.000 DWT
5) Shiplift ukuran sampai 300 TLC

49
Sebaran 240 perusahaan galangan dalam negeri tersebut adalah sebagai berikut:
37% berada di pulau Jawa, 26% di Sumatra, 25% di Kalimantan dan 12% berada
di Kawasan Timur Indonesia. Kapasitas total galangan kapal nasional terpasang
sebesar 140.000 GT per tahun. Namun, galangan kapal nasional yang berkapasitas
antara 1001-30.000 GT masih terbatas, yakni sebesar 10%, sementara galangan
kapal nasional yang berkapasitas antara 501 - 1000 GT sebanyak 25%, dan sisanya
(65%) yang merupakan dominasi galangan kapal nasional adalah yang berskala
kecil dengan kapasitas sampai dengan 500 GT. Sebenarnya potensi pasar galangan
kapal dalam negeri sangatlah besar. Namun, karena galangan kapal nasional kalah
bersaing dengan galangan kapal asing, maka walaupun perusahaan pelayaran
nasional menguasai angkutan laut dalam negeri, namun kapal-kapal laut yang
digunakannya sebagian besar merupakan kapal impor, bukan kapal buatan dalam
negeri. Hal ini menjadi ironis, disatu sisi harus meng-implementasikan azas
cabotage, namun disisi lain memenuhinya dengan cara menggunakan kapal-kapal
impor. Hal ini terjadi karena ketidaksiapan galangan kapal nasional untuk memenuhi
permintaan yang tinggi akan kapal-kapal berskala besar dengan harga yang
kompetitif. Ditambah lagi, dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia
belum mampu melakukan perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000
DWT, karena ukuran docking domestik sangat terbatas.
Selain industri galangan kapal, terdapat juga industri penunjang yang dapat
memberikan kontribusi ekonomi nasional, yaitu pengembangan industri
penunjangnya, seperti pabrikasi bahan-bahan pembangunan kapal, permesinan,
peralatan dan komponen lainnya seperti pelat baja, rantai jangkar, tali kabel,
jangkar, mesin utama kapal, genset, main switch boards, radio, mesin kulkas,
hatch cover, heat exchargers, cat kapal, dan lain sebagainya.
Secara makro, kontribusi nilai tambah galangan kapal dalam negeri bagi PDB
Indonesia baru mencapai 0,034 % dari total PDB. Dengan total nilai investasi sekitar
Rp 2,3 triliun dan total nilai produksi kapal sekitar Rp 700 milyar, maka kontribusi
tersebut relatif masih rendah. Sebagai bahan perbandingan, industri sepeda dan
komponennya yang relatif tidak memerlukan teknologi canggih dan investasi besar
saja mampu memberikan kontribusi sekitar 0,023 % dari total PDB.
Melihat kondisi diatas dapat dinyatakan bahwa industri galangan kapal Indonesia
masih belum berkembang baik. Padahal peranan industri ini sangat besar karena
mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang. Identifikasi akar masalah industri
perkapalan, menunjukkan bahwa pajak masih terlalu besar dibandingkan negara
tetangga terdekat, seperti Singapura dan Malaysia. Kemudian, dukungan
perbankan terhadap pengembangan industri perkapalan pun masih sangat rendah,

50
misalnya dikenakan suku bunga yang relatif tinggi terhadap kredit investasi dan
kredit modal kerja. Di tataran kebijakan pun sama saja, belum mampu mendorong
tumbuhnya industri galangan kapal berikut industri penunjangnya. Sektor lainpun,
belum memberikan dukungan optimal, padahal industri perkapalan merupakan
bagian integral dari keseluruhan industri maritim.
Kemudian, dalam dekade belakangan ini, perhatian besar negara-negara industri,
seperti Jepang, Jerman dan Cina, sudah melirik ke laut untuk pengembangan
industri farmasi laut, lebih populer dengan istilah drugs from the sea. Indonesia
yang terletak di daerah tropis memiliki keaneka ragaman hayati berlimpah sehingga
dapat dijamin di laut Indonesia terdapat ribuan senyawa bioaktif dan biotoksin.
Berdasarkan penelitian, potensi ekonomi hanya dari farmakologi laut saja
diperkirakan sebesar US$ 4 milliar/tahun. Potensi tersebut hanya didasarkan pada
senyawa murni yang dapat diskreening dari bahan hayati laut. Nilai potensi tersebut
dapat berlipat ganda apabila senyawa dikembangkan lewat sintesa lanjut. Institut
Pertanian Bogor (1997) mengestimasi nilai potensi ekonomi dari pengembangan
industri bioteknologi kelautan dapat mencapai US$ 40 miliar per tahun. Namun
demikian, potensi tersebut belum termanfaatkan. Kedepan, industri farmasi laut
dapat merupakan terobosan ekonomi kelautan yang dapat diharapkan sebagai
pemasok utama devisa negara.
Wilayah Indonesia juga memiliki banyak perairan dalam, seperti di Laut Banda,
Perairan sekitar Aceh, di Laut Arafura, Perairan sekitar Kalimantan Timur, di
Perairan Sulawesi Utara (dekat Filipina) dan di bagian selatan Pulau Sumatera.
Kawasan-kawasan itu dapat dijadikan sumber air mineral berkualitas sangat baik
untuk kebutuhan air minum manusia, dan produk sampingannya menghasilkan
garam dapur dengan kandungan mineral cukup banyak. Kondisi sekarang baru
satu industri air minum mineral bersumber dari laut dalam, yaitu berada di Bali.
Sesungguhnya potensi kawasan itu di Indonesia cukup banyak, diperkirakan bisa
mendidirikan 25 pusat industri air minum bermineral tinggi
c) Perikanan
Sumber daya perikanan nasional sampai saat ini belum memberikan manfaat dan
kontribusi yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Padahal, menurut Institut Pertanian Bogor (1997), diperkirakan nilai potensi
perikanan Indonesia adalah sebesar US$ 32 miliar per tahun. Nilai PDB perikanan
nasional pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 41,42 triliun atau setara dengan
US$ 4,36 miliar, yang berarti secara keseluruhan Indonesia baru memperoleh
manfaat sebesar 13,6% dari nilai potensi perikanan nasional.

51
Kemudian, sebagai gambaran, pada subsektor perikanan tangkap, walaupun
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diperkirakan telah lebih dari 80% dari potensi
lestarinya, tetapi sebagian besar (sekitar 95%) struktur armada penangkapannya
masih tergolong dalam skala kecil (dibawah 30 GT) yang daya jelajahnya hanya
terbatas di perairan pantai dengan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang
relatif rendah. Hal ini mencerminkan konsentrasi pusat penangkapan ikan saat ini
bertumpu pada wilayah-wilayah perairan pantai saja. Kenyataan ini menunjukkan,
adanya ketidak-seimbangan dalam pemanfaatan potensi sumber daya ikan yang
ada, sehingga mengakibatkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan di wilayah
tertentu atau overfishing, namun disisi lain ada wilayah yang masih under fishing.
Akibat langsung dari adanya ketidakseimbangan pemanfaatan tersebut adalah di
wilayah-wilayah perairan yang overfishing umumnya akan terjadi degradasi
lingkungan, kemiskinan, dan rawan konflik pada kawasan tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada perikanan budidaya yang diperkirakan tingkat
pengusahaannya masih dibawah 20% dari luas lahan potensial yang tersedia.
Konsentrasi usaha budidaya ikan umumnya berada di kawasan-kawasan yang
berdekatan dengan konsentrasi penduduk, sehingga masih menimbulkan
permasalahan tersendiri, utamanya permasalahan konflik pemanfaatan ruang
dengan sektor-sektor lainnya. Hal ini terjadi karena lemahnya kebijakan yang ada
pada saat ini, utamanya dalam masalah pengaturan tata ruang wilayah pesisir
dan laut. Produksi perikanan budidaya Indonesia masih jauh dari optimal, sebagai
contoh: pada tahun 2011 total produksi perikanan budidaya (laut, tambak, dan air
tawar) Indonesia baru mencapai 6.976.750 ton, sementara negara China produksi
total perikanan budidayanya pada tahun 2007 saja sudah mencapai sekitar
32.444.000 ton. Padahal, bila luas potensi lahan kegiatan budidaya di wilayah
pesisir dan laut yang diperkirakan mencapai sekitar 10,4 juta hektar dapat
diberdayakan dan dengan asumsi produktivitas moderat saja sebesar 2 ton/ha/
tahun, maka produksi potensial budidaya di wilayah pesisir dan pantai saja dapat
mencapai 20,8 juta ton per tahun.
Pengelolaan sumberdaya perikanan juga mendapat permasalahan tersendiri,
dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang salah satu pasalnya
mengamanatkan pengaturan kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah
laut. Dalam UU tersebut diatur bahwa kewenangan Pemda Provinsi adalah wilayah
laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pantai, sedangkan Pemda Kabupaten/
Kota adalah sepertiga lebar wilayah Provinsi atau 4 mil diukur dari garis pantai.
Sayangnya hingga kini, masih ada pejabat daerah maupun masyarakat yang salah

52
tafsir menerapkan UU ini dalam kewenangan mengelola dan memanfaatkan
sumber daya kelautan dan perikanannya. Akibatnya masih dijumpai konflik
horisontal antar daerah atau kelompok masyarakat.
Kemudian, kuantitas SDM perikanan memang dari tahun ke tahun cenderung
meningkat, namun dari sisi kualitasnya, SDM perikanan hingga kini masih tetap
memprihatinkan. Sebagai gambaran pada tahun 2011 jumlah nelayan perikanan
laut di Indonesia tercatat sebanyak 2.237.640 orang, sedangkan jumlah
pembudidaya ikan (marikultur dan tambak) sebanyak 1.051.326 orang. Dari jumlah
yang besar tersebut ternyata sebagian besar (sekitar 50%) tingkat pendidikannya
hanya tamat SD. Disamping itu juga, mereka umumnya tidak memiliki skill atau
ketrampilan dengan kualifikasi tertentu. Hal ini jelas menggambarkan bahwa kualitas
SDM perikanan Indonesia masih terbatas tingkat profesionalitasnya, sehingga
jumlah SDM yang besar tersebut masih menjadi salah satu kendala dalam
mengembangkan dan mengoptimalkan sektor perikanan. .
Selain itu, penyebaran SDM perikanan di Indonesia belum menyebar secara merata
di seluruh wilayah NKRI, artinya masih terjadi konsentrasi pada wilayah-wilayah
tertentu saja, umumnya lebih 50% terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia,
utamanya di Pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini tentu merupakan suatu kendala
tersendiri dalam upaya membangun sektor perikanan secara merata di seluruh
pelosok nusantara. Tidak sedikit daerah yang memiliki sumberdaya perikanan yang
potensial tetapi di wilayah tersebut jumlah SDM yang ada sangat terbatas, bahkan
juga ada yang tidak berpenghuni, utamanya di daerah-daerah perbatasan dan
remote area. Wilayah-wilayah ini tentu rawan terhadap kegiatan-kegiatan illegal
dari negara asing.
Pembangunan sektor perikanan, seperti sektor lainnya, masih berjalan secara
sektoral dan bahkan seringkali program pembangunannya tidak dapat berjalan
optimal, karena kurangnya dukungan dari sektor lain. Dukungan sektor lain yang
merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan perikanan antara lain:
dukungan fiskal dan perpajakan, sarana dan prasarana (pelabuhan dan irigasi
tambak), perdagangan luar negeri, kesyahbandaran dan perkapalan, penegakkan
hukum, perindustrian (pabrikasi dan galangan kapal), konservasi sumber daya
ikan dan lingkungan.
Walaupun demikian, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
selama tiga tahun terakhir nilai ekspor produk perikanan Indonesia mengalami
peningkatan yakni dari 2,17 miliar dollar AS pada tahun 2009 meningkat menjadi
2,71 miliar dollar AS pada tahun 2011. Hal ini tentu cukup menggembirakan, karena

53
berarti telah terjadi upaya perbaikan mutu dan nilai tambah yang signifikan pada
sektor perikanan. Tambahan pula, selama periode tahun 2009 2011, kontribusi sektor
perikanan terhadap PDB nasional, naik, dari 2,77% pada tahun 2009 menjadi
3,11 pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara makro pembangunan
sektor perikanan mulai memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional.
Tantangan yang paling mendasar bagi Indonesia untuk membangun sektor
perikanan sebagai pilar ekonomi kelautan adalah menyediakan dana investasi
yang cukup agar dapat tumbuh secara cepat. Dalam situasi keuangan negara yang
relatif terbatas seperti sekarang ini, kiranya sulit mengharapkan pemerintah untuk
menjadi investor utama untuk menggerakkan roda perikanan nasional. Alternatifhya
adalah mendorong peran para pengusaha nasional dan investor mancanegara
dalam pembangunan sektor perikanan. Bagi pengusaha atau investor, persyaratan
dasar untuk melakukan penanaman modal di suatu perekonomian adalah adanya
iklim investasi yang kondusif. Ikiim investasi yang kondusif merupakan resultante
dari berbagai faktor, seperti kemudahan perizinan, jaminan keamanan hak
kepemilikan dan perlindungan HAM, serta ketersediaan infrastruktur bisnis
d) Wisata Bahari
Secara umum pembangunan pariwisata bahari, merupakan bagian dari
pembangunan kelautan yang terdiri dari berbagai sektor. Kepuiauan nusantara
memiliki potensi wisata bahari cukup besar. Saat ini belum digarap dan
dikembangkan bagi peningkatan perekonomian nasional.
Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna yang tersebar di kepuiauan
nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi
pada pendapatan negara sektor industri pariwisata. Tetapi pada kenyataanya,
potensi ini belum dilirik oleh kalangan pengusaha. Sebagian dari mereka belum
yakin bahwa bisnis yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata ini menjadi
peluang bagus dan potensial mendulang uang di masa datang.
Potensi obyek wisata bahari ditawarkan dalam bentuk taman nasional laut, taman
wisata laut, suaka alam laut, suaka margasatwa laut, dan situs peninggalan budaya
bawah air tersebar di wilayah perairan seluas 5,6 juta hektar dan ribuan pulau-
pulau kecil. Selain itu wisatawan bahari dengan menggunakan kapal layar pribadi
maupun komersial dapat menjangkau pulau-pulau kecil ynag tidak mungkin dijangkau
lewat darat atau udara. Hal ini tentu sangat membantu dalam meningkatkan
ekonomi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, yang banyak tersebar di
seluruh pelosok nusantara. Oleh karenanya pariwisata bahari dapat dijadikan piranti

54
kebijakan untuk percepatan pembangunan utamanya pada wilayah yang bercorak
gugus pulau-pulau kecil.
Hingga saat ini dukungan pemerintah bagi pariwisata bahari masih sangat kurang,
akibatnya usaha wisata bahari di hampir semua wilayah perairan Indonesia belum
berkembang dengan baik. Akibatnya, kontribusi wisata bahari terhadap dunia
pariwisata di Indonesia secara umum masih sangat minim. Padahal, nilai potensi
wisata bahari Indonesia sebenarnya cukup besar, diestimasi sebesar US$ 2 miliar
per tahun (Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, 2000). Ini berbeda dengan
negara tetangga, seperti Malaysia, dimana industri wisata bahari mampu
menyumbang 60% terhadap sektor kepariwisataan karena dukungan pemerintah
setempat yang maksimal.
Sebagai negara maritim dengan 75% wilayahnya adalah laut yang terdiri dari ribuan
pulau, diperkirakan sekitar 10.000 buah di antaranya tidak berpenghuni (Prof. J.
Rais, pers.com, April 2009). Indonesia berpotensi sebagai salah satu negara tujuan
atau destinasi wisata bahari kelas dunia. Dengan banyaknya pulau yang sangat
indah seharusnya dapat menarik wisatawan dunia yang ada. Artinya, pulau-pulau
tersebut ditetapakan sebagai pulau pariwisata bahari karena memiliki keindahan
dan estetika laut yang unik.
Kekayaan kawasan pantai Indonesia sebagai bagian dari komponen lingkungan
laut memiliki sekitar 950 spesies terumbu karang yang hidup dalam kawasan seluas
75.000 km2; 8500 spesies ikan tropis, 18 spesies padang lamun serta kumunitas
masyarakat pantai dengan multi budaya. Kemudian, guna memperoleh nilai tambah,
telah ditetapkan 13 kawasan laut sebagai destinasi unggulan Kawasan Wisata
Bahari Kepulauan (Kurnia, 2009), yaitu: Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara),
Kupulauan Padaido, Biak (Papua), Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur),
Kupulauan Selayar-Takabonarate (Sulawesi Selatan), Pulau Nias dan Kepulauan
Mentawai (Sumatera Utara), Kepulauan Raja Empat (Papua Barat), Kepulauan
Ujung Kulon dan Anak Krakatau (Banten), Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur),
Teluk Tomini dan Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah), Kepulauan Bali dan
Lombok, Pulau Batam-Rempang-Galang (Kepulauan Riau), Kepulauan Seribu
(DKI. Jakarta) dan Kepulauan Bunaken (Sulawesi Utara) - (Gambar 3.2).

55
Gambar 3.2.
Kawasan unggulan potensi terumbu karang dan tujuan wisata bahari
(dikompilasi dari berbagai sumber)

Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna serta tanaman laut yang tersebar
di kepulauan nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan
memberi kontribusi pada pendapatan negara sektor industri pariwisata. Tetapi pada
kenyataanya, potensi ini belum dilirik oleh kalangan pengusaha. Sebagian dari
mereka belum yakin bahwa bisnis yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata
ini menjadi peluang bagus dan potensial mendulang uang di masa datang.
Potensi obyek wisata bahari ditawarkan dalam bentuk taman nasional laut, taman
wisata laut, suaka alam laut, suaka margasatwa laut, dan situs tinggalan budaya
bawah air tersebar di wilayah perairan seluas 5,6 juta hektar. Tetapi banyak hal
perlu dipersiapkan lebih jauh terkait dengan kesiapan Indonesia menuju negara
industri wisata bahari.
Saat ini pulau-pulau kecil tersebut sedang diposisikan untuk menjadikannya
sebagai masa depan pembangunan, dimana berbagai potensi yang dimilikinya
dipandang sebagai peluang untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi
sehingga berperan dalam mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Rencana tersebut merupakan suatu tantangan yang
tidak kecil, karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya dan hingga saat
ini belum ditemukenali secara jelas. Memang komitmen pemerintah baru digulirkan
tahun 2007 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, yang

56
menyatakan pemerintah akan mengembangkan kegiatan wisata bahari di pulau-
pulau kecil terutama yang berada di wilayah perbatasan dengan negara lain.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah munculnya berbagai pertanyaan yang
sangat mendasar, yakni layakkah pulau-pulau kecil untuk dikembangkan dan dijual
atau dipromosikan? Memang dalam upaya membangun dan mengembangkan
pulau-pulau kecil di Indonesia dibutuhkan suatu pendekatan pemikiran yang agak
sedikit meloncat. Pendekatan dan pemikiran yang terjadi saat ini dinilai tidak
akan mampu untuk menjawab ke arah perkembangan pulau-pulau kecil tersebut.
Jika hanya berdasarkan atas kekuatan faktor internal saja, kiranya tidak ada daya
untuk dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Akan tetapi dengan bantuan
derivative factor eksternal kiranya dapat diperoleh peluang-peluang pengembangan
di masa yang akan datang. Dalam kaitan ini, pemahaman terhadap peluang-
peluang pasar menjadi sangat penting dalam menentukan produk barang atau
jasa yang seyogyanya harus dihasilkan oleh pulau-pulau kecil tersebut.
e) Energi dan Sumberdaya Mineral
Sekitar 70% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan.
Dari 60 cekungan potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas
pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam yang di daratan. Dari seluruh cekungan
tersebut diperkirakan potensinya sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan
gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik (Dahuri, 2009). Kawasan
ini juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral, seperti emas, perak,
timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan jenis energi baru
pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai barat Sumatera
dan selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang
sangat besar (Richardson, 2008). Nilai potensi energi dan sumberdaya mineral di
wilayah yurisdiksi perairan laut Indonesia diestimasi sebesar US$ 21 milyar per
tahun (Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1999).
Hingga akhir tahun 1990-an, kebutuhan bahan energi primer dunia sebanyak 85%
disuplai oleh bahan bakar fosil, yakni minyak bumi sebesar 40%, batubara 25%,
dan gas bumi 20%. Adapun sisanya dipenuhi dari tenaga hidro dan lain-lain.
Penyediaan BBM dalam negeri sebagian besar diperoleh dari kilang dalam negeri
(sekitar 72%), sedangkan sisanya diperoleh dari pasar impor. Disamping impor
dalam bentuk BBM, Indonesia juga mengimpor minyak mentah untuk diolah di
kilang-kilang dalam negeri. Saat ini impor minyak mentah mencapai sekitar 360
ribu barrel per hari (hampir 50% dari produksi). Bila konsumsi bahan bakar minyak
(BBM) Indonesia diperkirakan naik sekitar 56% setiap tahunnya, maka pada awal

57
abad baru nanti Indonesia diperkirakan akan menjadi negara importir neto BBM.
Keadaan ini mesti diantisipasi dengan melakukan diversifikasi energi guna
mengurangi ketergantungan sumber energi pada BBM dengan memanfaatkan
sumber energi alternatif misalnya gas bumi, batu bara, panas bumi, dan air, serta
sumber energi nir-konvensional dari lautan seperti OTEC, air pasang, gelombang
arus, atau perbedaan salinitas perairan. Oleh karena itu perlu dipikirkan teknologi
pemanfaatan sumber energi alternatif lainnya terutama sumber energi dari laut.
Kondisi kini sumber energi dari OTEC, gelombang, arus laut maupun angin belum
dieksploitasi. Kekayan mineral di dasar dan tanah bawah laut yang terikat dalam
nodules sangat besar potensinya untuk dimanfaatkan menjadi high technology
industries seperti: bahan bakar peluncuran setelit ke angkasa luar dan kebutuhan
industri mikro elektri. Saat ini belum belum ada upaya pemerintah Indonesia
untuk eksplorasi dan eksploitasinya.
f) Bangunan Kelautan
Indonesia memiliki keunggulan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain.
Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia terletak di antara Benua
Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Dengan hampir 90% perdagangan internasional mempergunakan laut untuk jalur
logistiknya, Indonesia berada di posisi strategis dalam sistem logistik dunia karena
40% nya melalui perairan Indonesia. Selain itu, 2/3 minyak dunia berasal dari
lepas pantai dan setengahnya dikirimkan ke kilang-kilang minyak juga melalui
laut dengan menggunakan kapal tanker. Tambahan pula, Indonesia memiliki
wilayah perairan laut yang sangat besar, yakni seluas 5,8 juta km2, yang terdiri
dari 2,7 juta km2 perairan teritorial dan 3,1 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Berdasarkan data empiris tersebut, menunjukkan bahwa bila
bidang kelautan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal lestari melalui
kebijakan pembangunan yang tepat, maka bukan mustahil bidang ini akan menjadi
prime mover perekonomian nasional dan sekaligus juga akan mengatasi
permasalahan kemiskinan dan pengangguran nasional.
Namun demikian, kebijakan yang diterapkan dalam pembangunan bidang kelautan
sampai saat ini dirasakan belum berjalan optimal dan masih bersifat parsial serta
tidak komprehensif. Hal ini dapat dilihat dengan ketimpangan hasil pembangunan
nasional, sebagai salah satu contohnya adalah kemajuan pembangunan sarana
dan prasarana (bangunan) di wilayah daratan jauh lebih baik dan lengkap
dibandingkan dengan di wilayah pantai atau laut (bangunan kelautan), belum lagi
bila melihat perbedaan kemajuan wilayah antara Indonesia bagian barat dengan

58
Indonesia bagian timur, yang memang terpisah oleh lautan. Kemudian ditambah
pula, bahwa pengembangan wilayah yang dititik beratkan pada keserasian dan
keseimbangan antara pembangunan wilayah hulu dengan hilir; wilayah daratan
(mainland) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan); serta antara
kawasan lindung dengan kawasan budidaya, di Indonesia juga masih sangat
kurang. Pola-pola pembangunan kawasan pesisir belum dilaksanakan secara
terintegrasi dengan pola pengembangan integrated coastal management.
Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi
pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif
pembangunan nasional dan daerah. Kondisi infrastruktur di Indonesia pada tahun
2010 jika dikomparasikan dengan negara-negara di dunia, maka Indonesia berada
pada peringkat ke 82 dari 139 negara. Hal ini menandakan bahwa infrastruktur di
Indonesia masih sangat tertinggal. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa
pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital,
sedangkan dalam dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan
infrastruktur berpengaruh terhadap biaya produksi
Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan
produktifitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan
kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan
fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.
Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, umumnya hanya berperan sebagai cabang
atau ranting dari Singapura atau lainnya. Sistem pelabuhan Indonesia masih tidak
efisien, tidak aman, dan tidak produktif. Daya saing sumber daya manusia
pelayarannya pun relatif rendah, baik itu pelaut maupun di industri pelayaran.
Persoalan yang dihadapi sistem pelabuhan Indonesia, antara lain: kurang dari
separuh pelabuhan di Indonesia, yang sudah memperoleh sertifikat International
Ship and Port Facilities Security (ISPS), port days kapal-kapal nasional masih
terlalu tinggi, terdapat kegiatan yang tidak ada pelayanan tetapi dikenakan biaya,
dan belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi pemerintah (regulator) dan
fungsi pengusahaan (operator). Juga belum terjadi kompetisi antar terminal dan
antar pelabuhan, lemahnya pengawasan, penegakan hukum belum efektif, dan
belum tersedia terminal khusus karena rendahnya arus barang.
Tambahan pula, 2 (dua) pelabuhan laut utama di Indonesia telah dioperasikan
oleh swasta asing, yakni terminal peti kemas di Tanjung Priok oleh perusahaan
Hongkong dan pelabuhan peti kemas di Tanjung Perak, Surabaya, oleh perusahaan

59
Australia. Kehadiran asing di Tanjung Perak tak pernah menimbulkan kontroversi.
Namun, tidak demikian halnya dengan keberadaan asing di Tanjung Priok. Sejak
proses awal privatisasi hingga kini sering menimbulkan kontroversi.
Setelah lebih dari satu dasawarsa, ternyata privatisasi dan kehadiran asing tak
memberikan banyak maslahat. Juga tak banyak mengubah peta dunia pelayaran
nasional. Arus keluar-masuk peti kemas masih saja lewat Singapura dan lebih
dari 90% diangkut oleh kapal-kapal asing. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia tetap
saja tidak efisien dengan tarif efektif jasa pelabuhan yang relatif sangat mahal.
Sementara itu, PT Pelindo praktis jalan di tempat sehingga kinerja pelabuhan-
pelabuhan Indonesia kian tertinggal dari pelabuhan-pelabuhan negara tetangga.
Tanpa pembenahan mendasar, pelayanan pelabuhan di Tanah Air akan semakin
kewalahan melayani arus ekspor dan impor yang terus naik.
Dampak lain akibat tidak optimalnya pelayanan pelabuhan dan infrastruktur
pendukungnya, sektor industri manufaktur dan sektor pertanian tentu akan sulit
berkembang secara optimal dalam bertarung di kancah pasar global. Industri
manufaktur akan tersingkir dari pola jaringan produksi global yang mensyaratkan
keandalan sistem logistik dan supply chain.
Pembenahan kepelabuhanan dan pelayaran harus dilakukan secara terintegrasi.
Titik pijak dalam melakukan pembenahan ialah mewujudkan visi negara kelautan
yang tangguh dan mengokohkan Indonesia sebagai negara kesatuan bagi sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Semua pemangku kepentingan yang terkait dengan
usaha kepelabuhanan dan pelayaran harus tunduk pada visi tersebut. Boleh saja
mengedepankan dimensi bisnis, tetapi jangan sampai merapuhkan kedaulatan
negara. Kemampuan armada pelayaran nasional harus terus dikedepankan dan
menikmati porsi yang kian besar dalam lalu lintas barang, terutama dalam pelayaran
nusantara/nasional.
g) Jasa Kelautan
Jasa kelautan meliputi aktivitas pendidikan dan pelatihan, penelitian, arkeologi
laut dan benda muatan kapal tenggelam, perdagangan, pengamanan laut serta
jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon,
pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih dapat
membangkitkan aktivitas sosial, ekonomi maupun budaya. Pengembangan aktivitas
tersebut tentu akan memberikan kontribusi pada produk domestik bruto maupun
penyerapan lapangan kerja.
Jasa lingkungan yang diperoleh dari pelestarian sumberdaya pesisir dan laut juga
memberikan dorongan terhadap berkembangnya jasa pendidikan dan penelitian

60
dibidang jasa lingkungan terkait dengan konservasi sumberdaya. Maraknya degradasi
sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi membutuhkan penanganan yang lebih ekstra
agar tidak terjadi degradasi yang semakin parah. Kemampuan sumberdaya pesisir
dan laut, seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang untuk memberikan
kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat pesisir sangat signifikan dibutuhkan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya khusus agar daya dukung lingkungan
sumberdaya pesisir dan laut tersebut tetap terjaga, seperti melalui upaya perlindungan,
pelestarian, reboisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
Jasa kelautan lainnya, adalah benda muatan kapal tenggelam memiliki potensi yang
besar dana harus dikelola dengan baik sehingga tidak menghancurkan nilai sejarah
dari benda-benda purbakala. Pendidikan dan riset kelautan diharapkan mendorong
sektor-sektor ekonomi dapat dikembangkan oleh tenaga terampil dan terdidik sehingga
dihasilkan terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan memberikan nilai
tambah ekonomi bidang kelautan.
Kemudian, jasa lainnya adalah jasa lalu lintas perhubungan laut nasional. Namun saat
ini, jasa lalu lintas perhubungan laut nasional belum didukung dengan infrastruktur
sistem navigasi yang handal, seperti vessel traffic services (VTS). Salah satu akibat,
ketiadaan sistem navigasi yang handal tersebut adalah terjadinya kecelakaan laut,
yakni tabrakan antara kapal ferry nasional Bahuga Jaya dengan kapal MT Norgas
Cathinka berbendera Singapura di Selat Sunda pada tanggal 26 September 2012.

5) Lingkungan Laut (Marine Environment)


Kebijakan lingkungan laut Indonesia saat ini disusun berdasarkan arahan strategis
dan komprehensif dari implementasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang No. 17 tahun 2009
tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan undang-undang dimaksud, maka pengembangan lingkungan laut
Indonesia diarahkan pada pembangunan kelautan berkelanjutan berdasarkan daya
dukung lingkungan alami, berbasiskan pada keseimbangan ekosistem pantai dan laut
dengan berorientasi pada pengembangan sumberdaya manusia, ekonomi, iptek, sosial
budaya, kelembagaan, politik, pertahanan keamanan, dalam rangka mencapai
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

61
Secara alamiah, lingkungan pantai dan laut sebagai daerah rendahan di bumi sehingga
merupakan lokasi akhir dari aliran berbagai polutan dan sedimen asal darat. Kondisi ini
menyebabkan lingkungan pantai dan laut sangat rentan terhadap kerusakan. Di samping
itu daya tarik lingkungan pantai dan laut, menyebabkan terjadinya urbanisasi ke arah
pesisir dan eksploitasi yang menyebabkan degradasi lingkungan. Bahkan, kondisi
sebagian besar kota dan desa pesisir saat ini di Indonesia terkesan kumuh, kotor, dan
rawan bencana. Oleh sebab itu, penataan ruang lingkungan pesisir dan laut berdasarkan
undang-undang di atas merupakan langkah penting dalam penyelamatan lingkungan
laut.
Perencanaan dan pemanfaatan tata ruang dalam rangka kelestarian lingkungan laut
juga harus memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim seperti
terjadinya pemanasan global (global warming) saat ini. Bagi wilayah pesisir, pemanasan
global dapat mengakibatkan kenaikan muka air laut, sehingga dapat mengakibatkan
perubahan arus laut, terjadinya rob, kerusakan mangrove, serta secara tidak langsung
berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir. Oleh karena itu,
perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah harus memperhatikan keserasian
dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan,
dengan menerapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainability
development).
Selain berdampak terhadap kenaikan permukaan air laut, pemanasan global juga
meningkatkan curah hujan. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan terjadinya
erosi, dimana endapan erosi yang masuk ke laut akan menyelimuti berbagai organisme
laut, termasuk tumbuhan karang. Penurunan tingkat salinitas air juga akan menimbulkan
efek yang merugikan terhadap species-species laut yang tidak toleran.
Peningkatan permukaan air laut secara langsung akan mempengaruhi geomorfologi
pantai. Daerah banjir pada dataran rendah merupakan daerah-daerah yang pertama
kali akan mengalami dampak peningkatan air laut ini. Terjadinya banjir tergantung pada
kemiringan dan konfigurasi garis pantai, dimana keduanya akan berubah bila permukaan
air laut meningkat. Aspek lain yang penting adalah tinggi rendahnya pasang surut, di
mana daerah-daerah yang mempunyai tingkat pasang surut kecil akan lebih terpengaruh
daripada daerah-daerah yang mempunyai tingkat pasang surut besar.
Keadaan seperti tersebut di atas ditambah dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam pola arus, akan mengakibatkan tingkat pengendapan dan erosi pantai meningkat
sedemikian rupa, sehingga merubah geomorfologi pantai. Kondisi ini diperburuk oleh
hilangnya ekosistem alam, yang pada akhirnya mengakibatkan hilangnya kemampuan
untuk melindungi garis pantai.

62
Perubahan pada suhu udara, curah hujan dan permukaan laut, secara langsung memiliki
dampak sosial-ekonomi pada wilayah pesisir Timur Sumatera, pesisir Utara Jawa dan
pesisir Barat Kalimantan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan serta sebagian
dari Papua. Sebuah studi tentang skenario perubahan iklim yang dilakukan oleh CSIRO
Australia (1992,1993) untuk kawasan regional, diperkirakan terjadi perubahan suhu,
curah hujan dan permukaan laut pada tahun 2010, 2019 dan tahun 2070. Studi CSIRO
menunjukan bahwa permukaan laut naik di kawasan Selatan dan Asia Tenggara
termasuk Indonesia menjadi 15 cm pada tahun 2010, 25 cm pada tahun 2019, dan 90
cm tahun 2070 berdasarkan skenario kenaikan permukaaan laut dalam. Prediksi lain,
dari naiknya permukaan air laut pada kawasan Selatan dan tenggara Asia disajikan
oleh Panel Internasional untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang memprediksi tingkat
maksimum mencapai 110 cm pada tahun 2070, dan oleh UNEP diperkirakan kenaikan
permukaan laut mencapai 1 meter pada tahun 2090 pada kawasan Asia tenggara.
Bahkan dengan skenario yang konservatif terjadi kenaikan 45 cm atas permukaan air
laut di tahun 2070. Hasil ini hampir serupa dengan dua penelitian baik model CSIRO
maupun IPCC. Jika perkiraaan ini tepat, banyak daerah yang berpopulasi padat dan
kota industri yang berada di tepi pesisir menghadapi permasalahan yang serius. Masalah
ini menjadi semakin buruk berdasarkan kenyataan bahwa daerah-daerah tersebut
kondisinya merupakan daerah berpenduduk sangat padat, dibandingkan tempat lain di
Indonesia.
Diperkirakan lebih dari 2 juta orang di Indonesia bertempat tinggal di ketinggian 2 meter
dari permukaan laut dan di sepanjang pesisir. Dengan demikian diperkirakan terdapat
3,3 juta orang yang mungkin perlu diungsikan segera karena banjir dan air pasang
pada tahun 2070. Biaya rehabilitasi untuk masalah ini ditaksir mencapai US$ 8 juta
(Indonesia Country Report from Climate Change in Asia).
Lebih jauh akibat naiknya 60 cm permukaan laut, diperkirakan 800 ribu ha sawah
beririgrasi, dan 20% dari 5,5 juta ha gambut yang dipergunakan bagi budidaya padi
pasang surut serta 300 ribu ha tambak di sepanjang pesisir akan lenyap, yang secara
keseluruhan dapat mencapai 3,4 juta ha. Kerugian masyarakat ini diperkirakan mencapai
US$ 11,3 juta setiap tahunnya.
Kemudian, fakta lain yang masih terjadi saat ini dan menyebabkan kerusakan lingkungan
laut adalah memanfaatkan sumberdaya kelautan dengan cara yang merusak, seperti:
penangkapan ikan dengan menggunakan racun atau bom ikan. Kegiatan semacam ini
tentunya memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang. Penangkapan ikan
dengan racun sianida ke daerah terumbu karang, akan membunuh atau membius ikan-
ikan. Sementara itu, karang yang terkena racun sianida berulang kali akan mengalami
pemutihan dan kematian. Pengeboman ikan dengan dinamit atau bom rakitan lainnya,

63
dapat menghancurkan struktur terumbu karang, dan dapat membunuh ikan secara
masal, termasuk anak-anak ikan yang sebenarnya penting bagi regenerasi kehidupan
ikan dan spesies lainnya. Penangkapan ikan dengan menggunakan racun maupun
bom tentunya dapat mengganggu kelestarian lingkungan, serta merugikan sektor
ekonomi dan pariwisata.
Selanjutnya, karena letak Indonesia di posisi silang dan strategis menjadi jalur pelayaran
yang penting bagi kapal-kapal internasional, maka tak urung jika perairan Indonesia
cukup padat bagi lalu lintas pelayaran kapal, termasuk kapal tanker yang mengangkut
minyak. Kondisi yang paling sering terjadi saat ini adalah proses bongkar muat air
ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar-muat air) dalam
kapal yang ternyata masih mengandung minyak, sehingga turut menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan laut.

3. Implikasi Pembangunan Bidang Kelautan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan


Ketahanan Nasional
Secara umum, implikasi kebijakan bidang kelautan saat ini dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi bangsa dirasakan belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari
keragaan beberapa aspek utamanya, yakni aspek manfaat ekonomi, penyerapan tenaga
kerja dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta kedaulatan negara di laut. Beberapa
implikasi masih lemahnya kebijakan bidang kelautan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a. Implikasi terhadap pertumbuhan ekonomi
Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) mengestimasi (2007) nilai ekonomi potensi sumber
kekayaan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebesar 156.582.651.400 dollar AS
per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.000 per 1 dollar AS, nilai ini setara dengan
Rp 1.409 triliun. Potensi laut Indonesia tersebut, antara lain berasal dari sektor perikanan
sebesar 31.939.651.400 dollar AS, dari wilayah pesisir sebesar 56 miliar dollar AS, dari
sektor bioteknologi kelautan sebesar 40 miliar dollar AS, dari sektor pariwisata bahari
sebesar 2 miliar dollar AS, dari sektor minyak bumi lepas pantai sebesar 6,643 milyar
dollar AS, dan dari sektor transportasi laut sebesar 20 miliar dollar AS.
Jika dianalogikan secara sederhana, nilai ekonomi potensi kekayaan laut yang Rp
1.409 triliun tersebut, nilainya setara dengan nilai APBN Indonesia saat ini (tahun 2012).
Hal ini berarti, hanya dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi kekayaan
sumberdaya laut saja, Indonesia sebenarnya sudah sanggup menjalankan roda
pemerintahan secara mandiri dan mensejahterakan rakyatnya.

64
Namun kenyataannya, kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional ternyata masih
relatif rendah. Menurut catatan PKSPL (2004), pada tahun 2002 bidang kelautan
menyumbang kontribusi 22,63% dari pangsa PDB nasional, dimana sebagian besar
disumbangkan oleh sub-sektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut sebesar
41,44 % dari total PDB Kelautan. Dan diperkirakan hingga saat ini kontribusi bidang
kelautan tersebut belum mencapai 30% dari PDB nasional. Belum lagi bila melihat
data historis pertumbuhan PDB bidang kelautan dari tahun 1995 hingga tahun 2002,
rata-rata pertumbuhannya sangat kecil, yakni sekitar 1,58%. Bila hal tersebut dihadapkan
dengan angka inflasi nasional rata-rata sekitar 8% saja per tahun, maka berarti bidang
kelautan belum memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi pada saat itu.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa potensi kekayaan sumberdaya laut Indonesia
yang sangat besar tersebut masih disia-siakan dan belum dioptimalkan
pemanfaatannya. Berbeda dengan negara lain, seperti Jepang, Republik Rakyat China,
Korea Selatan dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga
memberikan kontribusi di atas 30% terhadap PDB nasional mereka. Semestinya,
kelautan Indonesia dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dari negara-negara
tersebut, karena memiliki luas wilayah laut yang relatif lebih luas. Indonesia sebaiknya
tidak terlena dan hanya bangga memiliki kekayaan laut yang melimpah, tetapi
seharusnya cepat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal demi mengakselerasi
kemakmuran bangsa.
Hal tersebut diatas dapat menyatakan bahwa kebijakan bidang kelautan nasional saat
ini belum mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Padahal dengan pertumbuhan ekonomi yang mantap selain akan
meningkatkan pendapatan masyarakat Indonesia juga akan memperkokoh ketahanan
nasional. Oleh karena itu, agar bidang kelautan dapat memberikan kontribusi yang
lebih nyata bagi pertumbuhan ekonomi bangsa, perlu suatu kebijakan kelautan Indonesia
yang komprehensif, sinergis, dan terintegrasi.

b. Implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja


Penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh adanya kegiatan usaha dari hulu sampai ke
hilir. Di bidang kelautan, umumnya semua sektornya memiliki daya serap tenaga kerja
yang relatif tinggi. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa untuk kegiatan usaha
bidang kelautan belum mampu menyerap tenaga kerja tinggi, meskipun sudah mulai
menunjukkan kecenderungan yang positif.
Sebagai gambaran angka ILOR (index of labor output ratio) untuk bidang perikanan
adalah sekitar 7,8, artinya tiap pertumbuhan investasi 1% baru berdampak kepada

65
penambahan tenaga kerja langsung sebesar 7,8%. Berdasarkan hal ini dan juga
informasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa
pertumbuhan investasi sektor perikanan di Indonesia hingga kini masih relatif rendah,
maka dapat dinyatakan bahwa penyerapan tenaga kerja baru pada sektor perikanan
belum optimal. Kondisi ini kini makin diperparah lagi dengan harga BBM yang cenderung
meningkat dan banyaknya industri pengolahan ikan di dalam negeri yang kekurangan
bahan baku. Akibat sulitnya mendapatkan pasokan bahan baku ikan, industri pengolahan
ikan yang ada rata-rata hanya berproduksi sebesar 30% dari kapasitas terpasang. Bila
hal ini terus dibiarkan terjadi, niscaya banyak industri di sektor perikanan dan turunannya
yang mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Kondisi ini lambat laun tentu akan memper-
lemah kesatuan dan persatuan bangsa yang ada. Oleh karenanya, pemerintah harus
segera membuat suatu terobosan kebijakan yang tepat, komprehensif, dan terintegrasi,
utamanya untuk mendukung tumbuhnya industri-industri atau kegiatan-kegiatan usaha
bidang kelautan serta menjamin kelangsungan usahanya.

c. Implikasi terhadap ketahanan nasional


Kebijakan pembangunan bidang kelautan sampai saat ini diakui belum dapat
mengentaskan kemiskinan secara signifikan. Sebagian besar masyarakat pesisir masih
tergolong miskin dan mereka umumnya hanya dapat sekedar memenuhi kebutuhan
pokok sehari-harinya saja. Indikator kemiskinan tersebut dapat dilihat dari pendapatan
per kapita yang sebagian besar masih dibawah pendapatan per kapita rata-rata nasional,
kondisi perumahannya pun masih relatif kumuh dan tingkat kemampuan inovasi dan
adopsi mereka terhadap teknologi maju juga relatif rendah.
Kondisi diatas, tentu lambat laun akan menimbulkan permasalahan yang kompleks
dan akhirnya juga akan memperlemah ketahanan nasional. Diperkirakan kondisi ini
terjadi karena implikasi masih lemahnya kebijakan bidang kelautan yang ada sekarang,
utamanya yang berpihak dan melindungi masyarakat pesisir dalam kegiatan usaha
dan kehidupannya.

d. Implikasi terhadap kelestarian lingkungan


Secara umum kondisi kondisi lingkungan pesisir dan laut Indonesia kini mengalami
degradasi karena polusi oleh limbah perkotaan, dan limbah industri, siltasi dan
sedimentasi yang diakibatkan pemanfaatan dan penataan ruang wilayah hulu yang
lemah. Kondisi lingkungan laut semakin rusak disebabkan, antara lain oleh:
(1) Land based pollution, terutama akibat limbah rumah tangga yang berasal dari kota-
kota besar dan pemukiman disepanjang daerah aliran sungai dan sepanjang pesisir.

66
(2) Sea based pollution, yang memberikan kontribusi pada pencemaran laut sebesar
30%, terutama pencemaran akibat limbah industri, tumpahan dan ceceran minyak,
dan limbah bahan berbahaya lainnya.
Selain itu, terjadi pula pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak ramah
lingkungan (misalnya: penambangan pasir, dan Iain-lain) dan penebangan hutan mangrove
yang menyebabkan meningkatnya proses abrasi dan erosi pantai sehingga menimbulkan
kerugian yang besar. Tambahan pula, terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara
illegal (IUU Fishing) dan tidak ramah lingkungan yang juga menyebabkan kerusakan
sumberdaya ikan dan terumbu karang. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung
pada sumberdaya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
juga belum dipahami dengan baik. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin
ketersediaan sumberdaya laut dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

4. Permasalahan yang dihadapi.


Secara garis besar permasalahan umum yang dihadapi dalam bidang kelautan adalah
sebagai berikut:
a) SDM Kelautan yang berkarakter kuat dan profesional masih terbatas
Political will dari pemerintah untuk mengembangkan SDM kelautan memang sudah
ada. Hal ini dapat dilihat dalam UU No.17 Tahun 2007 tentang RPJPN dalam misi yang
ke 7. Namun, sebagai tindak lanjut dari realisasi misi ke 7 tersebut belum terlihat jelas.
SDM kelautan saat ini juga masih terbatas, karena masih belum optimalnya institusi
pendidikan yang menyelenggarakan program profesional kelautan. Komitmen
pemerintah untuk memajukan pembangunan kelautan tentunya perlu didukung dengan
SDM kelautan yang handal. Untuk meningkatkan SDM kelautan tersebut, salah satunya
dengan memasukkan wawasan kelautan dalam kurikulum pendidikan nasional untuk
berbagai tingkatan dari SD hingga perguruan tinggi.
b) Tata Kelola Pemerintahan yang masih fragmented dan parsial
Bidang kelautan yang mencakup banyak sektor memerlukan pengelolaan yang terpadu.
Apalagi, untuk wilayah laut Indonesia yang luas dengan potensi yang begitu besar.
Keterpaduan pengelolaan ini dimaksudkan agar tidak ada tumpang tindih (overlapping)
kewenangan antar pemangku kepentingan. Jika kita lihat saat ini, tata kelola
pemerintahan di laut di Indonesia masih terkesan fragmented dan parsial Pelayanan di
laut tidak terkoordinasi, dimana masing-masing lembaga menangani fungsinya secara
terpisah, sehingga seringkali suatu kasus bergerak dari satu fungsi ke fungsi yang lain.
Ditambah lagi dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka seolah-olah pemerintah
daerah diberi kewenangan seluas-luasnya tanpa adanya control dari pusat.

67
c) Sarana dan sistem prosedur pertahanan dan keamanan yang terbatas dan fragmented
Letak Indonesia yang strategis di posisi silang jalur perdagangan dunia menyimpan
potensi kejahatan dan tindakan kriminal lain. Pencurian kekayaan laut Indonesia,
perampokan, penyelundupan senjata dan barang-barang illegal merupakan contoh
kejahatan yang sering terjadi. Tetapi permasalahan yang lebih membahayakan lagi
adalah klaim atas suatu wilayah oleh negara tetangga akibat masih belum selesainya
sengketa batas wilayah di beberapa wilayah perbatasan. Alutsista yang masih terbatas,
sehingga sulit untuk melaksanakan pengawasan yang optimal terhadap seluruh wilayah
yurisdiksi perairan laut Indonesia. Ditambah lagi, sistem prosedur pertahanan dan
keamanan yang masih minim dan fragmented, dimana hanya tergantung pada TNI,
yang merupakan suatu kelemahan dalam melindungi kedaulatan wilayah NKRI. Tugas
untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI seharusnya merupakan kewajiban setiap warga
negara dan juga pemerintah.
d) Kegiatan usaha bidang kelautan yang masih terbatas dan fragmented
Berbagai kegiatan usaha di bidang kelautan seperti apa yang dijelaskan diatas, masih
banyak menghadapi permasalahan dan kendala. Permasalahan tidak hanya
menyangkut dampak dari kegiatan itu terhadap lingkungan laut, yang pada umumnya
menimbulkan pencemaran, tetapi juga menyangkut lingkup kegiatan yang masih
terbatas dan pengelolaan yang fragmented. Lingkup kegiatan yang terbatas itulah yang
kemudian membuka celah bagi pihak asing untuk menguasai kegiatan-kegiatan
tersebut. Sementara itu, egosektoral dari masing-masing instansi yang berwenang,
menyebabkan ketidakterpaduan dalam pengelolaan. Hal ini yang kemudian menjadi
kelemahan bagi pembangunan kelautan Indonesia.
e) Entrepreneurship bidang kelautan yang langka
Saat ini SDM kelautan Indonesia yang berkecimpung dan mampu mengelola usaha
bidang kelautan dengan baik, masih sangat minim. Sementara itu, wujud nyata komitmen
dari pemerintah untuk memajukan pembangunan kelautan juga belum maksimal.
Padahal, wilayah laut Indonesia yang luas memerlukan pengelolaan yang terpadu.
Selain itu, perlu adanya entrepreneurship sehingga potensi laut Indonesia dapat dikelola
secara optimal. Saat ini, penyelenggaraan entrepreneurship dari pemerintah masih
sangat jarang.
f) Penataan ruang wilayah pesisir dan laut yang belum berjalan baik
Penataan ruang dalam perencanaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia saat ini belum
berjalan baik. Hal ini, ditunjukkan dengan gambaran sebagian besar pertumbuhan kota
dan desa di wilayah pesisir Indonesia terkesan kumuh, kotor, dan rentan terhadap
bencana. Permasalahan lainnya yang juga terjadi terkait dengan penataan ruang ini

68
adalah adanya potensi konflik kepentingan, tumpang tindih (overlaping), dan
kekosongan (gap) yang tidak hanya terjadi antar sektor (pemerintahan, masyarakat
setempat, maupun swasta), namun juga antar penggunaan. Di pihak Pemerintah sendiri
terdapat konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan pemanfaatan
wilayah laut dan pesisir berupa konflik antar wilayah, sebagai contoh adalah dalam
pengelolaan tata ruang laut, dimana sering terjadi konflik kewenangan antara
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Selain itu, konflik kepentingan juga terjadi dengan pemerintah daerah
seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah.
Saat ini sasaran pembangunan masih lebih terfokus pada aspek-aspek ekonomi dan
politik serta lebih memperhatikan produksi komoditas dan skala wilayah pemerintahan, tanpa
memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan karakteristik ruang hidup tersebut. Oleh karena
itu, kedepan, sebaiknya dalam menyusun penataan ruang wilayah pesisir dan laut perlu
adanya pendekatan ecoregion. Penetapan wilayah ecoregion dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan: karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora
dan fauna, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat, dan hasil inventarisasi
lingkungan hidup. Dengan penyusunan tata ruang pesisir dan laut yang tepat, selain akan
menjaga kelestarian lingkungan, juga akan mencegah timbulnya konflik kepentingan antar
sektor atau kegiatan. Selain itu, pertumbuhan aktivitas usaha di bidang kelautan juga akan
berkembang dengan optimal dan berkelanjutan.

69
PERKEMBANGAN LINGKUNGAN
Bab 4 STRATEGIS

1. Umum
Perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, sangat
mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kelautan nasional. Perkembangan global atau
internasional dapat mempengaruhi banyak hal, seperti: aturan main atau persyaratan dalam
perdagangan dunia, tatacara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan, dan
perkembangan ilmu dan teknologi dunia. Hal yang sama juga terjadi pada kondisi lingkungan
regional, seperti di lingkungan negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN dan lingkungan
negara-negara Asia Pasifik atau APEC. Lingkungan nasional pun sangat pasti mempengaruhi
perkembangan dan kemajuan bidang kelautan di Indonesia, yang tentunya tidak terlepas
dari perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam dalam negeri. Perkembangan
lingkungan strategis yang semakin dinamis tersebut merupakan perkembangan penting
yang harus sejak dini diantisipasi dalam Kebijakan Kelautan Indonesia.

2. Perkembangan Global
Liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama dari era globalisasi. Globalisasi
perekonomian dunia yang semakin kompleks dan kompetitif tersebut menuntut tingkat
efisiensi yang tinggi. Dampak dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam
kualitas produk dan jasa. WTO (World Trade Organization) merupakan suatu wadah dalam
sistem perdagangan di dunia. Kini anggotanya mencapai lebih 90% dari total seluruh negara
di dunia. Ketentuan WTO dilandasi oleh prinsip perdagangan bebas dalam bentuk persaingan
bebas dan kawasan perdagangan bebas. Umumnya negara-negara maju yang menjadi
anggota WTO menginginkan dengan segera adanya pasar yang terbuka di seluruh dunia
dan memberikan peluang persaingan yang sama bagi seluruh negara anggota. Namun hal
tersebut bagi Indonesia tentu akan menjadi suatu ancaman, karena kapasitas atau
kemampuan Indonesia untuk bersaing masih terbatas dan juga belum mampu secara optimal
memanfaatkan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan WTO.
Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO sangat penting, karena akan melindungi
dari persaingan yang tidak sehat dan juga mengamankan kepentingan perdagangan
Indonesia di dunia internasional. Indonesia masuk WTO tahun 1995, kemudian membentuk
komite anti dumping-nya tahun 1997. Hingga kini, sudah ada 30 kasus dumping yang
ditangani oleh komite ini dalam rangka menyelamatkan produk Indonesia.

70
Akibat perkembangan global, perekonomian nasional, termasuk bidang kelautan,
dihadapkan kepada dua masalah utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non-tarif.
Padahal, seharusnya dengan globalisasi perekonomian dunia, masalah hambatan tarif dan
non--tarif tersebut dapat diminimalkan. Namun, disinilah letak permasalahan yang dihadapi
banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yakni munculnya hambatan tarif dan non-
tarif yang diberlakukan oleh negara-negara maju yang terkadang sering merupakan bagian
dari upaya mereka dalam melindungi industri dan kepentingan ekonomi domestiknya.
a. Hambatan Tarif
Hambatan tarif yang kini diberlakukan negara maju sangat bervariasi. Disamping itu,
tingkat tarif bea masuk yang diberlakukan juga biasanya sangat tergantung dari jenis
komoditi hasil laut dan bentuk olahannya. Secara umum, tingkat tarif yang diberlakukan
oleh Uni Eropa adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju
lainnya seperti: Jepang dan Amerika Serikat. Walaupun beberapa negara Uni Eropa
ada yang memberikan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) terhadap
beberapa komoditi hasil laut yang diimpor dari negara berkembang termasuk Indonesia,
namun fasilitas GSP tersebut saat ini sudah mulai secara bertahap dikurangi. Sebagai
gambaran, tarif impor udang segar beku dari Indonesia dinaikkan menjadi sekitar 8 %,
sedangkan untuk udang rebus beku naik menjadi 16 %.
Secara umum terlihat, Uni Eropa cenderung memberlakukan tarif bea masuk yang
paling tinggi, diikuti oleh Jepang dan Amerika Serikat. Tarif bea masuk biasanya akan
semakin tinggi bagi value added product. Disamping tingkat tarif yang tinggi, Uni
Eropa juga memberlakukan tarif secara diskriminatif, dimana negara-negara bekas
jajahan Uni Eropa yang tergabung dalam kelompok ACP (Africa, Carribea and Pacific
countries) mendapatkan keringanan atau dibebaskan dari kewajiban membayar tarif
bea masuk dengan alasan untuk membantu perekonomian bagi least developed
countries.
Dengan tingginya tarif bea masuk impor produk perikanan ke Uni Eropa, juga
melemahkan daya saing komoditi hasil laut Indonesia, khususnya ikan tuna kalengan.
Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk ikan tuna yang diberlakukan adalah sebesar
24 %. Padahal komoditi serupa dari negara anggota ACP, tidak ada tarif atau bea masuk
0 %. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi pergeseran dominasi
ekspor ikan tuna kalengan dari negara-negara ASEAN ke negara-negara anggota ACP
utamanya dari Benua Afrika.
Tambahan lagi, posisi tawar Indonesia yang cenderung lebih lemah dibandingkan
negara-negara ASEAN lainnya utamanya Thailand dan Vietnam. Seperti diketahui,
walaupun mulai awal tahun 2000 Thailand sudah tidak mendapatkan fasilitas GSP dari

71
Uni Eropa, namun daya saingnya di pasar Uni Eropa sangat kuat. Bahkan saat ini
Thailand adalah merupakan eksportir produk perikanan terbesar ke Uni Eropa dan
dunia.

b. Hambatan Non Tarif


Seperti pada hambatan tarif, jenis dan tingkat hambatan non tarif yang diberlakukan
negara-negara di dunia juga sangat variatif, tergantung pada jenis produk dan negara
pengimpor. Negara-negara berkembang umum-nya semakin khawatir terhadap
meningkatnya hambatan non tarif ini dalam perdagangan global, walaupun Agreement
on Non-Tariff Barriers secara tegas menyatakan bahwa setiap anggota WTO yang
menggunakan hambatan non tarif harus benar-benar mengikuti kaidah-kaidah perjanjian
yang telah disepakati, antara lain harus transparan, terukur, dan secara prosedural
mudah diikuti oleh para eksportir. Uni Eropa adalah pihak yang paling banyak
menerapkan hambatan non tarif dibandingkan negara maju lainnya, seperti Amerika
Serikat dan Jepang. Sebagai gambaran, hambatan non tarif yang sering diberlakukan
oleh negara-negara maju terhadap salah satu sumberdaya laut utama, yakni komoditi
perikanan adalah sebagai berikut:
(1) Harmonisasi: yaitu hanya approved packers dari negara-negara yang telah
masuk dalam kategori harmonized countries yang diizinkan untuk mengekspor
komoditi perikanan ke negara terkait.
(2) Health Certificate: setiap ekspor produk perikanan diwajibkan untuk dilengkapi
dengan sertifikat mutu (quality certificate) dan sertifikat kesehatan (health
certificate). Namun untuk ekspor ke Uni Eropa, maka bahasa yang dipergunakan
dalam sertifikat harus sesuai dengan bahasa nasional di pelabuhan masuk dan
ditandatangani oleh inspektur yang telah terakreditasi.
(3) Standar Sanitasi: masalah utama yang dikeluhkan para eksportir adalah
pemberlakuan standar sanitasi yang tidak transparan atau diskriminatif (meng-
gunakan standar ganda). Misalnya: dalam peraturan Uni Eropa -tidak ada peraturan
yang menyebutkan bahwa udang beku (kecuali udang rebus beku) harus bebas
dari bakteri Salmonella. Namun dalam peraturan nasional yang diterapkan masing-
masing negara anggota Uni Eropa dengan tegas mempersyaratkan bahwa semua
ekspor udang beku harus bebas dari bakteri patogen. Uni Eropa juga memper-
syaratkan bahwa semua kerang-kerangan yang diekspor ke negara-negara
anggota Uni Eropa harus bebas dari E. coli dan bakteri patogen. Sementara kerang-
kerangan sejenis yang diproduksi/dipanen dari wilayah Uni Eropa, walaupun
tercemar E. coli, masih boleh dijual di pasaran asalkan diberi label B-area product.

72
(4) Standar Mutu: walaupun standar mutu yang dipakai oleh negara-negara pengimpor
relatif lebih lunak dibanding dengan standar sanitasi, namun pengujian mutu secara
organoleptik masih merupakan cara konvensional yang lazim dipakai untuk
menentukan kualitas dan penerimaan suatu produk di pelabuhan masuk. Padahal
uji ini tidak mempunyai nilai ukuran mutlak, bahkan kadangkala unsur subyektivitas
dapat mempengaruhi hasil penilaiannya. Oleh karena itu, ekspor produk perikanan
negara berkembang seringkali ditolak karena tidak lolos uji organoleptik.
(5) Isu Lingkungan: masalah dolphin issue, yang digunakan Amerika Serikat untuk
memblokir impor ikan tuna serta embargo terhadap udang ekspor dalam kaitannya
dengan isu penggunaan TED/BED (turtle excluder device l by-catch excluder
device) beberapa tahun terakhir ini, secara jelas menunjukkan adanya penggunaan
isu lingkungan sebagai hambatan teknis terhadap ekspor komoditi perikanan dari
negara berkembang. Demikian pula embargo Uni Eropa terhadap ikan tuna yang
diimpor dari Belize dan Equatorial Guinea adalah merupakan indikasi bahwa hanya
ikan-ikan yang ditangkap dari sumber daya yang lestari yang boleh diperdagangkan
di pasar internasional.
(6) Rapid Alert System: untuk mengawasi standar sanitasi dan mutu produk perikanan
impor, Uni Eropa menerapkan Rapid Alert System (RAS), sedang Amerika Serikat
dan Australia masing-masing menggunakan automatic detention dan holding
order. Penerapan RAS, automatic detention maupun holding order ini cenderung
mengganggu kelancaran ekspor produk perikanan dari Indonesia.
Disamping hal diatas, terdapat juga beberapa perjanjian internasional yang berpengaruh
langsung dan mengatur mekanisme perdagangan komoditi hasil laut di pasar internasional.
Secara garis besar beberapa perjanjian internasional tersebut dapat dikelompokkan kedalam
3 kategori, yakni:
(1) Perjanjian internasional yang terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan,
seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang dikeluarkan FAO
(1995), International Convention for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT) dan
Agreement on Straddling Stocks and Highly Migratory Fish Species. Dengan adanya
perjanjian tersebut, maka ikan-ikan komersial penting yang dijual di pasar internasional
harus ditangkap dari sumber daya ikan yang lestari. Selain itu, Committee on Fisheries
FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action (IPOA) on Illegal, Unreported
and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti
pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah,
atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga
mengancam kelestarian stok ikan global.

73
(2) Perjanjian internasional yang terkait dengan perlindungan satwa yang terancam
punah, seperti CITES (Convention on Intemational Trade of Endangered Species).
Melalui perjanjian ini, maka beberapa jenis fauna, termasuk komoditi fauna laut dibatasi
pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan punah. Jenis-jenis satwa yang
ekspornya dibatasi atau dilarang oleh CITES antara lain: penyu, corral, kerang Tridacnid,
dan ikan cucut.
(3) Perjanjian internasional yang terkait dengan perdagangan, seperti Perjanjian GATT/
WTO, termasuk di dalamnya Perjanjian SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures)
dan Agreement on Technical Barriers to Trade. Perjanjian GATT/WTO mempunyai
implikasi yang sangat besar terhadap perdagangan global komoditi perikanan, karena
sektor perikanan belum secara resmi dimasukkan dalam perjanjian WTO, sehingga
graduasi tingkat tarif komoditi perikanan nampaknya masih mengalami kesulitan.
Selain itu, terdapat pula beberapa standar internasional yang harus dipatuhi, misalnya
mengenai pembinaan sumberdaya manusia kelautan yang harus sesuai ketentuan IMO
(International Maritime Organization), yakni para pelaut niaga dituntut untuk memenuhi
persyaratan Standard Training Certification and Watchkeeping for Seaferer (STCW) 1995,
sedangkan untuk pelaut kapal perikanan dituntut untuk memenuhi persyaratan Standard
Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnels (STCW-F) 1995.
Wilayah perairan Indonesia juga berfungsi sebagai life line pelayaran baik nasional
maupun internasional, yang tunduk pada berbagai pengaturan internasional khususnya yang
berkaitan dengan teknis pelayaran dan perlindungan lingkungan yang menjadi mandat dari
International Maritime Organization (IMO), antara lain Convention for the Prevention of
Pollution from Ships (MARPOL) 1973 beserta Protokolnya, Convention for the Safety of Life
at Sea (SOLAS) 1974 beserta Amandemennya, Convention for the Suppression of Unlawful
Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA) 1973 dan International Convention on
Maritime Search and Rescue (SAR Convention) 1998.
Kemudian, isu internasional lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah Clean
Development Mechanism atau lebih dikenal dengan CDM, adalah salah satu mekanisme
pada Kyoto Protokol yang mengatur negara maju yang tergabung dalamAnnex I dalam
upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme CDM ataudiistilahkan sebagai
Mekanisme Pembangunan Bersih ini merupakan satu-satunya mekanisme yang terdapat
pada Protokol Kyoto yang mengikutsertakan Negara berkembang dalam upaya membantu
negara maju dalam menurunkan emisinya. Selain membantu negara maju, diharapkan pula
melalui mekanisme CDM ini akan memungkinkan adanya bantuan keuangan, transfer
teknologi, dan pembangunan berkelanjutan dari negara maju ke negara berkembang.
Kesepakatan internasional ini memberikan kesempatan bagi Indonesia. Di sektor energi

74
Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan energi hijau yang mencakup
pemanfaatan energi terbarukan, teknologi yang efisien dan teknologi energi bersih. Terkait
dengan keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas laut lebih dari 3,1
juta km 2 atau sekitar 63% dari total wilayah, Indonesia memiliki kesempatan untuk
memasukan laut dalam perdagangan emisi disamping hutan, pada perundingan internasional
tentang kebijakan iklim global. Luas laut dan sebaran terumbu karang di Indonesia memiliki
potensi dalam menyerap dan menyimpan gas karbon dioksida (CO2).
Dan perkembangan lingkungan global yang terkini (2012) adalah Konferensi PBB
tentang Pembangunan Berkelanjutan yang dikenal juga sebagai Pertemuan Rio 2012 atau
Rio+20 sebagai bentuk dari tindak lanjut atas Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan atau KTT Bumi yang pernah diselenggarakan di kota yang sama pada tahun
1992. Konferensi ini secara khusus diadakan oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial
PBB bersama tuan rumah Brasil di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni 2012
Konferensi ini memiliki tiga tujuan, yaitu (1) memperbaharui komitmen politik atas
pembangunan berkelanjutan, (2) mengidentifikasi kesenjangan antara progres kemajuan
dan implementasi dalam mencapai komitmen-komitmen lama yang telah disetujui, serta (3)
mengatasi berbagai tantangan baru yang terus berkembang. Tema yang diusung dalam
konferensi ini adalah: (1) Ekonomi Hijau dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan dan
Pemberantasan Kemiskinan atau Green Economy in the Context of Sustainable Development
and Poverty Eradication, dan (2) Kerangka Kerja Kelembagaan untuk Pembangunan
Berkelanjutan atau Institutional Framework for Sustainable Development.
Kesepakatan dari konferensi ini adalah bahwa negara-negara didunia didorong untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dengan program pembangunan
yang berkelanjutan dan sekaligus untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Dari 283 poin
kesepakatan, terdapat 19 poin yang terkait langsung dengan bidang kelautan. Penekanannya
terutama pada perlunya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkelanjutan
untuk menanggulangi kemiskinan, ketahanan pangan, dan mata pencaharian, serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

3. Perkembangan Regional
Pada tingkat regional, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan tersendiri, seperti
AFTA (pasar bebas ASEAN) yang sudah berlaku sejak tahun 2003, dan APEC (pasar bebas
Asia Pasifik) yang akan berlaku tahun 2010 bagi negara maju dan tahun 2020 bagi negara
berkembang. Sebagai gambaran, kini sudah mulai terjadi persaingan yang ketat diantara
negara-negara ASEAN maupun Asia untuk menembus pasar produk sumberdaya laut,
utamanya komoditi perikanan di berbagai negara di dunia. Berbagai upaya telah dilakukan

75
oleh beberapa negara Asia untuk mempertahankan segmen pasarnya, seperti dumping
yang dilakukan oleh Negara Cina dan Vietnam untuk produk udangnya serta lobby bilateral
yang dilakukan oleh Thailand untuk mendapatkan keringanan tarif bea masuk di Jepang
dan Amerika. Melihat hal diatas, maka Indonesia pun harus segera mengantisipasi persaingan
tersebut dengan negara lain melalui peningkatan kemampuan daya saing dan kerjasama
yang saling menguntungkan.
Selain itu, bidang kelautan nasional ditingkat regional juga dihadapkan kepada kaidah-
kaidah yang telah ditetapkan melalui organisasi/komisi-komisi regional. Sebagai contoh,
pada sektor perikanan adalah IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) dan CCSBT (Convention
for Conservation of Southern Bluefin Tuna) yang mengatur penangkapan tuna di perairan
Samudera Hindia dan merupakan organisasi-organisasi yang dibentuk di dalam
melaksanakan amanat Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di wilayah
geografis tertentu maupun jenis ikan tertentu. Indonesia sudah menjadi anggota IOTC
maupun CCSBT, karena wilayah perairan internasional yang dikelola oleh dua komisi regional
ini, berbatasan langsung dengan wilayah perairan laut Indonesia. Konsekuensi logis dari
keikutsertaan dalam keanggotaan komisi-komisi regional tersebut adalah terkait dengan
partisipasi dalam pengelolaan sumber daya dan kuota penangkapan ikan di wilayah perairan
tersebut. Hal tersebut berimplikasi bahwa Indonesia sudah semestinya wajib turut serta
mengelola dan menjaga sumber daya ikan tuna di perairan tersebut dan juga menjaga
tingkat produksinya, yakni harus sesuai dengan nilai kuota yang telah ditentukan bersama.
Kemudian, terdapat pula beberapa bentuk kerjasama regional lainnya yang juga
menentukan dalam pengembangan bidang kelautan diantaranya, adalah:
a. Pengembangan Kerjasama Laut Tertutup dan Separuh Tertutup yang melingkupi
Indonesia :
1). Pengembangan kerjasama Laut Cina Selatan
2). Pengembangan Kerjasama Laut Sulawesi
3). Pengembangan kerjasama Laut Arafura
4). Pengembangan kerjasama Laut Timor
5). Pengembangan kerjasama Selat Malaka
b. Pengembangan Kerjasama Samudera Hindia
1). IOR-ARC (Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation)
2). IOMAC (Indian Ocean marine Affair Cooperation)
3). Conference (US PACOM MILOPS)

76
c. Pengembangan Kerjasama Samudera Pasifik
1). MHLC (Multilateral Highlevel Conference) / Ratifikasi UNIA-United Nations
Implementing Agreement (Hight Seas Fisheries)
2). US-Pacific Command on Military and law Operations
3). ARF (ASEAN Regional Forum)
4). CSCAP (Council for Security Cooperation in the Asia Pacific), khususnya tentang
kerjasama bidang maritim
d. Pengembangan Kerjasama Tripartite Indonesia-Malaysia-Singapura, untuk memajukan
keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut, baik secara langsung maupun
melalui International Maritime Organization (IMO).

4. Perkembangan Nasional
Undang-Undang Dasar (UUD) RI Tahun 1945 pasal 25A perubahan menyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan, dan selanjutnya pasal 33
pada hakekatnya telah mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
kelautan di wilayah Indonesia dikuasai negara dan ditujukan kepada terwujudnya manfaat
yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan pengembangan dan pembangunan kelautan
nasional guna memberikan manfaat ekonomi, sosial dan budaya dalam usaha untuk meng-
antarkan bangsa menuju masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, makmur, berkeadilan
dan berkelanjutan.
Kemudian, terdapat pula beberapa Undag-Undang (UU), seperti tertera pada Tabel
4.1, yang berdampak kepada perubahan mendasar dalam pengelolaan dan pembangunan
kelautan nasional, baik dilihat dari prinsip-prinsip pemanfaatan, kelestarian lingkungan
maupun pembagian kewenangan Pusat dan Daerah. Implementasi UU tersebut selanjutnya
dijabarkan dalam berbagai perangkat pengatur, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Peraturan Menteri. Namun demikian, pelaksanaan pembangunan kelautan
nasional ke depan masih memerlukan upaya keras dalam mewujudkan visi dan misinya.

77
Tabel 4.1.
Undang-Undang dan Konvensi yang terkait dengan Bidang Kelautan Nasional.

Undang-Undang Undang-Undang
Tahun Konvensi lainnya
Umum yang mengatur Kelautan

1939 TZMKO
1945 UUD 45
1957 Deklarasi Juanda
1958 Konferensi I
Tahun 1958
1960 PERPU. No. 4 tahun 1960 Konferensi II
PERAIRAN INDONESIA Tahun 1960
1973 UU No. 1 Tahun 1973 Sidang 1 Konferensi III
LANDAS KONTINEN
1982 Sidang 12 Konferensi
III UNCLOS 82
1983 UU No. 5 Tahun 1983 ZEEI
1984 UU No. 5 Tahun 1984
PERINDUSTRIAN INDUSTRI KELAUTAN
1985 UU No. 17 Tahun 1985
Pengesahan UNCLOS 1982
1990 UU No. 5 Tahun 1990
KONSERVASI KONSERVASI LAUT
1992 UU No. 24 Tahun 1992
TATA RUANG TATA RUANG KELAUTAN
1996 UU No. 6 Tahun 1996
PERAIRAN INDONESIA
2000 UU No. 24 Tahun 2000
PERJANJIAN
INTERNASIONAL WILAYAH PERBATASAN DI LAUT
2002 UU No. 18 Tahun 2002 LITBANG TEKNOLOGI DAN
SISNASLITBANG BIOTEKNOLOGI KELAUTAN
UU No. 3 Tahun 2002 PENEGAKAN KEDAULATAN
PERTAHANAN DAN HUKUM DI LAUT
NEGARA
UU No.2 Tahun 2002
POLRI
2004 UU No. 31 Tahun 2004 jo UU
No.45 Tahun 2009 PERIKANAN

78
Undang-Undang Undang-Undang
Tahun Konvensi lainnya
Umum yang mengatur Kelautan

UU No. 32 Tahun 2005 WEWENANG PENGELOLAAN


PEMERINTAHAN WILAYAH ADMINISTRATIF
DAERAH DI LAUT
UU No. 34 Tahun 2004 PENEGAKAN KEDAULATAN
TENTARA NASIONAL DI LAUT
INDONESIA
2006 UU No. 17 Tahun 2006 PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
KEPABEANAN DAN USAHA DI BIDANG KELAUTAN
2007 UU No. 17 Tahun 2007 RENCANA PEMBANGUNAN
RPJP NASIONAL BIDANG KELAUTAN INDONESIA
UU No. 27 Tahun 2007
PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
UU No. 30 Tahun 2007 PERTAMBANGAN MINYAK
ENERGI DAN GAS DI LAUT
2008 UU No. 17 Tahun 2008
PELAYARAN
2009 UU No. 4 Tahun 2009 PERTAMBANGAN MINERAL
PERTAMBANGAN DAN GOLONGAN C DI LAUT
MINERAL & BATUBARA
UU No. 10 Tahun 2009
KEPARIWISATAAN WISATA BAHARI
UU No. 32 Tahun 2009 PENGELOLAAN LINGKUNGAN
PERLINDUNGAN DAN HIDUP DI LAUT
PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
2010 UU No. 11 Tahun 2010 CAGAR BUDAYA BAWAH
CAGAR BUDAYA AIR LAUT

Dalam pelaksanaan pembangunan bidang kelautan yang terkait dengan penyelenggaraan


otonomi daerah, terjadi dinamika yang positif dimana sebagian Provinsi dan Kabupaten
yang berbatasan dengan laut mulai menjadikan bidang kelautan sebagai salah satu sumber
penggerak ekonomi yang penting. Perkembangan yang demikian tentu akan semakin mem-
percepat pembangunan kelautan nasional ke depan, karena semakin mendapat dukungan
politik yang kuat hingga ke tingkat daerah. Implementasi otonomi daerah juga membawa
sejumlah konsekuensi terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut. Pertama, sudah
seharusnya daerah mengetahui potensi sumberdaya serta batas-batas wilayahnya sebagai
dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdayanya, seperti penentuan jenis dan tipe

79
kegiatan bidang kelautan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut bertanggung
jawab atas kelestarian sumberdaya laut di wilayahnya. Ketiga, semakin terbuka peluang bagi
masyarakat lokal untuk terlibat dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut.
Perkembangan ekonomi nasional, kini menunjukkan kinerja yang semakin membaik,
terbukti dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi makro yang
secara perlahan semakin mantap serta tingkat inflasi per tahun yang terkendali. Kondisi
ekonomi makro yang mengarah kepada stabilitas dan pertumbuhan tersebut, juga didukung
oleh pembenahan di berbagai bidang, antara lain perpajakan, penyelesaian hutang luar
negeri, penciptaan daya tarik investasi serta pembenahan infrastruktur. Ditambah lagi, dengan
diplomasi luar negeri Pemerintah RI yang memfokuskan kepada kerjasama ekonomi dan
menarik investor, terbukti menghasilkan respons positif pula. Kondisi demikian, tentu akan
menjadikan ekonomi nasional semakin kuat dan kondusif, yang pada akhirnya juga akan
mendukung pembangunan kelautan nasional.
Selain kondisi ekonomi nasional, situasi keamanan dalam negeri juga sangat mem-
pengaruhi pembangunan kelautan nasional. Dalam masa krisis ekonomi periode tahun 1997
sampai tahun 2002, terjadi gangguan keamanan yang cukup tinggi. Namun demikian,
masalah-masalah keamanan tersebut dapat ditangani dengan baik, sehingga sejak tahun
2002 sampai saat ini kondisinya sudah semakin kondusif. Apalagi untuk penanganan
pelanggaran hukum di laut sudah menjadi perhatian utama Pemerintah, dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2006 tentang pembentukan Badan
Koordinasi Keamanan Laut yang pelaksanaannya dibawah koordinasi Menko Polhukam.
Kemudian, Pemerintah Indonesia juga telah menyadari bahwa perubahan iklim global
dapat mempengaruhi kondisi laut dan sebaliknya, sehingga pemerintah berinisiatif meng-
kombinasikan dua substansi masalah tersebut, yaitu kelautan dan perubahan iklim dunia,
ke dalam forum internasional dengan mengadakan suatu konferansi kelautan dunia atau World
Ocean Conference (WOC) di Manado pada tanggal 11 15 Mei 2009 dengan tema Dampak
perubahan iklim terhadap laut dan dampak laut terhadap perubahan iklim dan dibuka secara
resmi oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. World Ocean Conference (WOC)
merupakan suatu forum bagi para pemimpin dunia dan pengambil keputusan untuk mengembangkan
kolaborasi internasional dan membuat komitmen bersama dalam menghadapi isu kelautan
dunia dan sekaligus masalah perubahan iklim global. Penyelengaraan WOC 2009 didukung
oleh 123 negara yang tergabung dalam The Eighteenth Meeting of States Parties to the
United Nations Convention on the Law of the Sea dan dalam pelaksanaannya dihadiri oleh
423 delegasi yang berasal dari 87 negara dan organisasi-organisasi antar negara.
Agenda utama dalam WOC 2009 adalah (1) Pertemuan antar pemerintah atau Senior
Officials Meeting yang dimaksudkan untuk mengerucutkan perumusan Manado Ocean

80
Declaration yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran negara partisipan WOC 2009
terhadap peran penting laut dalam perubahan iklim, dan (2) Kesepakatan Coral Triangle
Initiative atau CTI dalam bentuk CTI Regional Plan of Action oleh 6 negara, yakni Indonesia,
Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste, untuk meningkatkan
perlindungan terhadap sumberdaya laut dan pantai yang berada di wilayah coral triangle
dalam wilayah laut 6 negara tersebut.
Deklarasi Kelautan Manado yang menjadi menjadi salah satu output utama dari WOC
2009 ini merupakan tonggak sejarah dan dokumen penting untuk menyelamatkan planet
bumi dan kelangsungan hidup generasi penerus dimasa akan datang, sehingga dokument
tersebut akan diperjuangkan oleh Pemerintah Indonesia di PBB untuk dimasukan dalam
agenda resmi dan dibahas dalam Meeting of the States Parties to the United Nations
Convention on the Law of the Sea. Selain itu, output lainnya, yakni CTI Regional Plan of
Action yang dilakukan oleh 6 negara, juga merupakan hal penting dalam menyelamatkan
keanekaragaman sumberdaya hayati laut dunia, utamanya ikan dan terumbu karang. Dengan
demikian, World Ocean Conference (WOC) 2009 dapat dinyatakan sebagai komitmen
Bangsa Indonesia dalam upaya mengembangkan, mengelola, dan melestarikan sumberdaya
laut secara berkelanjutan.

5. Peluang dan Kendala


a. Peluang
Peluang yang dimiliki Bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan
nasionalnya, utamanya pada bidang kelautan, adalah sebagai berikut:
1) Laut Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang luas, lebih kurang sebesar 5,8
juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, dan kaya akan potensi
sumberdaya laut, baik untuk jenis sumberdaya hayati laut (seperti: ikan, terumbu
karang, rumput laut dan lainnya); sumberdaya non-hayati laut (seperti: minyak
dan gas bumi, dan bahan tambang dan mineral lainnya); energi laut (seperti:
gelombang, pasang surut, arus dan Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC);
dan jasa lingkungan laut (seperti: transportasi laut, keindahan alam, penyerapan
limbah, dan lainnya).
Untuk sumberdaya hayati laut dikenal pula sebagai sumberdaya yang dapat
diperbaharui (renewable resources), sehingga bila dikelola dengan baik, dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sebagai gambaran salah satu potensi
sumberdaya hayati laut adalah sumberdaya ikan laut Indonesia yang potensi
lestarinya diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun. Dari seluruh potensi
sumber daya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) untuk

81
dimanfaatkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi
lestarinya. Kemudian, dari sisi diversivitas, lebih dari 25.000 jenis ikan ditemukan di
perairan Indonesia dari sekitar 28.400 jenis yang ada di dunia. Di samping itu,
terdapat potensi pengembangan untuk: a) budidaya laut terdiri dari: budidaya ikan
(antara lain kakap dan kerapu), budidaya moluska (kekerangan, mutiara, dan
teripang), dan budidaya rumput laut; dan b) budidaya air payau (udang, bandeng, dan
rumput laut) yang potensi lahan pengembangannya mencapai sekitar 913.000 ha.
Laut Indonesia juga kaya akan sumberdaya non-hayati laut, diantaranya adalah:
minyak, gas dan bahan tambang lainnya. Sebagai gambaran bahwa sekitar 70%
produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60
cekungan potensial mengandung minyak dan gas (migas), 40 cekungan terdapat
di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam yang di daratan. Dari seluruh
cekungan tersebut diperkirakan potensinya sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi.
Cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik (Dahuri, 2009).
Selain itu, laut Indonesia juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral,
seperti emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan
jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai
barat Sumatera dan selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan
potensi yang sangat besar (Richardson, 2008).
Secara umum, potensi energi laut yang dapat menghasilkan listrik dapat dibagi
kedalam 3 jenis potensi energi fisik, yaitu energi pasang surut (tidal power), energi
gelombang laut (wave energy), energi arus (current energy), dan energi perbedaan
panas laut (ocean thermal energy conversion). Energi laut dapat dikategorikan
sebagai energi terbarukan. Di wilayah Indonesia, energi yang punya prospek bagus
adalah energi arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai banyak pulau
dan selat. Selain itu, akibat interaksi Bumi-Bulan diperkirakan menghasilkan daya energi
arus pasang surut setiap harinya sebesar 3.17 TW, lebih besar sedikit dari kapasitas
pembangkit listrik yang terpasang di seluruh dunia pada tahun 1995 sebesar 2.92
TW (Kantha & Clayson, 2000). Namun demikian, untuk wilayah Indonesia besarnya
potensi daya energi laut yang dimilikinya belum dapat diprediksi kapasitasnya.
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki potensi wisata bahari yang belum
digali secara serius, namun karena kurangnya dukungan pemerintah maka kegiatan
wisata bahari di hampir semua wilayah perairan Indonesia belum berkembang
dengan baik. Indonesia berpotensi sebagai salah satu negara tujuan atau destinasi
wisata bahari kelas dunia. Dengan banyaknya pulau yang sangat indah seharusnya
dapat menarik wisatawan dunia yang ada. Ditambah lagi dengan ciri khas
keanekaragaman alam, flora, dan fauna serta tanaman laut yang tersebar di kepulauan

82
nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi
bagi pendapatan negara dari sektor industri pariwisata di masa datang.
2) Sebagai sarana vital bagi lalu lintas perdagangan internasional, karena posisi
geografis Indonesia terletak pada persilangan 2 benua (Australia dan Asia) dan 2
samudera (Hindia dan Pasifik). Karena kegiatan ekspor-impor barang antar negara
umumnya diangkut oleh kapal melalui transportasi laut, bahkan hingga kini
transportasi laut (pelayaran) masih mendominasi (sekitar 90%) pengangkutan
barang ekspor-impor. Dengan demikian bila peluang ini dimanfaatkan secara baik,
maka tidak mustahil kita kembali berjaya menjadi negara besar dan kuat serta
menguasai laut dan lalu lintas perdagangan dunia, seperti pada jaman Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit dahulu.
3) Besarnya potensi ekonomi bidang kelautan yang dimiliki Indonesia, diperkirakan
mencapai US$ 171 miliar per tahun, yang berasal dari potensi perikanan sebesar
US$ 32 miliar per tahun, potensi wilayah pesisir sebesar US$ 56 miliar per tahun,
potensi bioteknologi kelautan sebesar US$ 40 miliar per tahun, potensi wisata
bahari sebesar US$ 2 miliar per tahun, potensi minyak bumi, gas dan sumberdaya
mineral di laut sebesar US$ 21 milyar per tahun, dan potensi transportasi laut
sebesar US$ 20 miliar per tahun. Jika potensi tersebut dirupiahkan dengan kurs
Rp 9.500 per 1 dollar AS, nilainya setara dengan Rp 1.624,5 triliun yang berarti
pula nilai potensi tersebut relatif sama dengan nilai RAPBN Indonesia tahun 2013.
Dengan demikian, tentunya bila potensi kelautan Indonesia ini dapat dimanfaatkan
secara optimal, maka cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri,
maju, adil dan makmur segera dapat terwujud.
4) Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia, sehingga jumlah permintaan
(demand) produk kelautan juga akan semakin meningkat dari tahun-ke tahun.
Apalagi, ketersediaan lahan atau ruang di darat untuk melakukan budidaya dan
pengembangan produksi semakin terbatas. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa laut di masa depan akan menjadi sumber produksi, utamanya produksi
pangan, bagi umat manusia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki peluang yang
besar untuk menjadi pemasok kebutuhan pangan dunia bila sumberdaya lautnya
dikelola secara tepat.
5) Berkembangnya teknologi farmasi, kosmetika, probiotik dan bioaktif yang berbahan
baku dari sumberdaya hayati laut. Hal ini tentu merupakan peluang bagi
pengembangan industri bidang kelautan masa depan yang bernilai ekonomi tinggi.

83
b. Kendala
Kendala yang kini masih dihadapi dalam membangun bidang kelautan adalah sebagai
berikut:
1) Belum kuatnya kesadaran bangsa tentang arti penting dan nilai strategis kelautan
bagi pembangunan ekonomi nasional (kemakmuran bangsa), sehingga perhatian,
pengetahuan (wawasan) dan penguasaan serta penerapan IPTEK kelautan
menjadi rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa hingga kini fokus pembangunan
nasional masih lebih berorientasi pada basis sumberdaya daratan, seperti tercermin
dalam pembangunan sektor perhubungan, industri, energi, pertahanan dan
keamanan, produksi pangan, jasa lingkungan, pendidikan dan budaya, dan
regulasi. Ditambah pula dengan kebijakan moneter, fiskal dan investasi yang belum
kondusif untuk mendukung tumbuhnya industri kelautan. Apabila hal ini,
berlangsung terus-menerus, tentu akan menjadi ancaman bagi bangsa, dimana
laut Indonesia dan sumberdaya yang terkandung didalamnya akan dikuasai oleh
bangsa asing.
2) Liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kompleks dan kompetitif yang
menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Dampak dari kondisi tersebut adalah
persaingan yang ketat dalam kualitas produk dan jasa. Bila hal tersebut tidak
dipersiapkan dengan baik, maka akan menjadi suatu ancaman bagi Indonesia,
apalagi saat ini kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk bersaing masih
terbatas dan juga belum efisien.
3) Perusakan lingkungan laut. Kegiatan-kegiatan yang disengaja yang berakibat pada
terjadinya bencana lingkungan laut, berdampak negatif yang luas bagi kelangsungan
ekonomi dan politik disuatu wilayah regional. Dekade belakangan ini seolah-olah
terjadi kompetisi dalam merusak sumberdaya laut, misalnya aktivitas penangkapan
ikan secara berlebihan, baik yang legal maupun ilegal, yang seringkali menimbulkan
sengketa kekerasan antara nelayan penangkap ikan. Demikian pula terjadinya
polusi laut yang sering dilakukan oleh kapal-kapal tanker yang sengaja membuang
sisa-sisa hasil pembersihan tangkinya dilaut. Aksi-aksi pencemaran dilaut ini jika
dibiarkan akan merusak lingkungan laut bahkan lebih jauh lagi dapat berakibat
terjadinya konflik antar negara bertetangga sehingga akan mengganggu stabilitas
keamanan regional.
4) Kejahatan Trans Nasional dan Pembajakan, Perdagangan internasional yang
semakin berkembang, masih bertumpu pada domain laut telah pula dibarengi dengan
penggunaan laut untuk tujuan-tujuan kriminal. Kejahatan yang menonjol dalam
kategori ini adalah: penyelundupan manusia (peoples smuggling), obat-obat

84
terlarang, senjata api dan barang-barang terlarang lainnya, serta perompakan atau
pembajakan bersenjata diatas kapal, telah menjadi ancaman nyata bagi keamanan
maritim.
5) Penguasaan teknologi kelautan yang relatif masih tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara lain, sehingga industri kelautan nasional hingga kini belum
berkembang dengan baik dan optimal, bahkan sebagian besar aktivitas usaha
bidang kelautan di Indonesia masih dikuasai oleh Asing. Tambahan pula, sebagian
besar industri kelautan nasional yang ada pun juga belum mampu berkompetisi di
pasar dunia, karena produk yang dihasilkannya tidak memiliki keunggulan
kompetitif dan daya saing tinggi.
6) Kemiskinan. Kemiskinan merupakan persoalan yang cukup pelik tidak hanya bagi
negara berkembang, tetapi juga bagi sebagian negara maju. Akibat yang
ditimbulkan dari kemiskinan juga sistemik, seperti masalah kesehatan, pendidikan,
sampai kejahatan atau perbuatan kriminal. Saat ini masih banyak penduduk
Indonesia terutama mereka yang tinggal di wilayah pesisir masih tergolong
penduduk miskin. Dalam konteks lingkungan laut, kerusakan yang ditimbulkan
bukan tidak mungkin sebagai dampak tidak langsung dari kemiskinan. Karena
kondisi yang miskin tersebut, mereka terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang
dilarang oleh hukum, dan tidak menghiraukan lagi pada kelestarian lingkungan.
Hal itu dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi secara cepat
atau sesaat.
7) Belum terpadunya rencana pembangunan bidang kelautan di Indonesia, karena
masih tingginya ego-sektoral dari sektor-sektor utama yang terkait dengan bidang
kelautan, sehingga tidak sedikit terjadi tumpang tindih dan tarik ulur kepentingan
antar sektor tersebut. Akibatnya, pelaksanaan pembangunan kelautan nasional
dan penanganan masalah yang menghadapinya sulit dilakukan secara sistematis.

85
KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN
Bab 5 INDONESIA YANG DIHARAPKAN

1. Umum
Kelautan Indonesia ke depan diharapkan dapat menjadi mainstream pembangunan
nasional dengan memanfaatkan ekosistem perairan laut beserta segenap sumber daya
yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan (on a sustainable basis) untuk kesatuan,
kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Keinginan tersebut dijabarkan dalam lima tujuan yang
harus dicapai, yaitu: (1) Membangun jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua
pulau dan kepulauan Indonesia, (2) Meningkatkan dan menguatkan sumber daya manusia
di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (3)
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait
dalam kerangka pertahanan negara, (4) Membangun ekonomi kelautan secara terpadu
dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan, dan (5)
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut
Profil kelautan nasional seperti harapan diatas, bila melihat dengan pencapaian kinerja
pembangunan saat ini, dapat disimpulkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus
dibenahi agar kelautan nasional dapat berperan lebih besar dan signifikan lagi, guna mem-
percepat terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, adil dan makmur. Atas dasar
potensi sumber daya laut yang dimiliki, sesungguhnya peran dan kontribusi kelautan
Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dapat dinyatakan masih relatif minim.
Jadi, walaupun potensi sumber daya laut yang dimiliki cukup besar, namun karena kinerja
pembangunannya belum optimal dan efektif, maka manfaat yang diperoleh Bangsa Indonesia
dari bidang kelautan masih relatif jauh dari harapan bersama yang diinginkan. Hal ini terjadi,
diantaranya disebabkan karena kurangnya dukungan politik yang kuat, baik dari lembaga
eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Selain itu, dalam melaksanakan
pembangunan kelautan nasional masih terjadi mismanagement (salah urus), dilaksanakan
secara parsial dan belum dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, dan sinergis.
Oleh karena itu, perlu meluruskan kembali pandangan dan cara-cara dalam membangun
kelautan nasional melalui kebijakan dan strategi yang tepat, sistematik dan efektif, agar
mampu menghantarkan bangsa Indonesia seperti yang di cita-citakan dalam pembukaan
UUD 1945. Secara umum pembangunan kelautan nasional yang diinginkan adalah untuk
mewujudkan:

86
a. Pembangunan kelautan nasional yang berpegang teguh pada prinsip kepentingan
nasional, keadilan dan manfaat sebesar-besarnya untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
b. Pemanfaatan sumber daya laut yang seimbang, optimal, dan berkelanjutan sesuai
potensi yang tersedia, baik secara spasial maupun temporal.
c. Pembangunan kelautan yang sesuai dengan tata ruang dan berbasis kelestarian lingkungan.
d. Tingkat pendapatan yang layak dan kualitas hidup yang baik bagi SDM kelautan.
e. Kuantitas dan kualitas sarana pendidikan dan penelitian kelautan yang optimal, memadai
dan tersebar merata secara nasional.
f. SDM kelautan yang optimal, baik secara kuantitas dan kualitas, serta bertaraf internasional.
g. Praktik pemanfaatan sumber daya laut yang sesuai dengan kaidah-kaidah berlaku,
baik tingkat regional maupun internasional.
h. Perundangan dan peraturan yang kuat dibidang kelautan.
i. Posisi tawar yang baik dalam menentukan berbagai pengaturan pengelolaan sumber
daya laut.
j. Investasi di bidang kelautan yang signifikan, baik PMA (Penanaman Modal Asing)
maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).
k. Industri kelautan nasional beroperasi dan berkembang dengan baik.
l. Penyerapan tenaga kerja yang maksimal, mulai dari kegiatan di hulu sampai hilir.
m. Produk kelautan mempunyai daya saing yang tinggi, sehingga mampu berkompetisi
dengan negara lain.
n. Penerimaan devisa dari ekspor produk kelautan yang maksimal.
o. Jumlah prasarana dan sarana kelautan nasional yang optimal dan memadai serta layak
operasional.
p. Kontribusi yang maksimal dan signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Nasional.
q. Implementasi dan penegakan hukum kelautan yang efektif dan tegas.
r. Koordinasi kerjasama pembangunan kelautan nasional yang efektif, sinergis dan
harmonis diantara sektor-sektor terkait.

2. Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang diharapkan


Kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan adalah kebijakan yang dapat
memperkuat dan mengakselerasi pembangunan nasional melalui pengelolaan dan peman-
faatan sumberdaya laut secara optimal, efisien, dan berkelanjutan. Berikut ini dipaparkan
uraian singkat tentang kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang diharapkan dari 5 (lima)
pilar utamanya, yakni: Budaya Kelautan (Ocean Culture), Tata Kelola Kelautan (Ocean

87
Governance), Keamanan Laut (Maritime Security), Ekonomi Kelautan (Ocean Economic),
dan Lingkungan Laut (Marine Environment).

1) Budaya Kelautan (Ocean Culture)


Ditinjau dari pilar budaya kelautan, kebijakan kelautan Indonesia diharapkan mampu
menciptakan kualitas masyarakat kelautan Indonesia yang lebih baik dari kondisi saat
ini. Dengan demikian, kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan selaras
dengan budaya kelautan adalah yang dapat menciptakan kondisi sebagai berikut:
a. Masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang baik terhadap wawasan kelautan,
nilai-nilai budaya bahari, dan kearifan lokal di bidang kelautan. Diharapkan dengan
mantapnya wawasan kelautan di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para
pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), akan mempercepat
pembangunan kelautan nasional sebagai pilar utama ekonomi bangsa, sehingga
akan membantu ketahanan pangan, menjaga kedaulatan, mengentaskan
kemiskinan, dan meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional.
b. Pelaku usaha bidang kelautan yang memahami pentingnya kelestarian lingkungan
bagi keberlanjutan usaha mereka dan masyarakat luas lainnya. Diharapkan tidak
ada lagi pelaku usaha di bidang kelautan yang melakukan praktik-praktik peman-
faatan yang berbahaya, merusak lingkungan dan melanggar hukum demi
keuntungan ekonomi sesaat.
c. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya manfaat sumber
daya laut (seperti: ikan, alga, mineral, dan lainnya) bagi kesehatan semakin
meningkat. Diharapkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk
pangan dan suplemen dari laut semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga,
baik secara langsung maupun tidak langsung, akan meningkatkan kualitas hidup
rakyat Indonesia, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan nilai Human
Development Index (HDI) nasional.
d. Terbangun Sekolah Tinggi Kelautan Terpadu yang merupakan center of excellences
berstandar internasional di beberapa kota pesisir, seperti di Banda Aceh, Batam,
Jakarta, Yogyakarta, Makasar, Bitung, dan Ambon.
e. Mampu menghasilkan SDM kelautan yang trampil (skilled labor), profesional, dan
bertaraf internasional, sehingga dapat bersaing dengan tenaga kerja asing.
f. Mandiri untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja industri kelautan nasional.
g. Memiliki SDM kelautan nasional dengan kualitas kehidupan (kesehatan dan
pendidikan) yang baik, sehingga mampu mendukung usaha bidang kelautan yang
produktif, efisien dan berkelanjutan.

88
i. Meningkatnya jumlah hak paten ilmuwan Indonesia dalam bidang kelautan tropis
j. Indonesia menjadi pusat pengembangan riset kelautan tropika dunia.

2) Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance)


Dari perspektif pilar tata kelola kelautan, kebijakan kelautan Indonesia diharapkan dapat
mengefesienkan, mengefektifkan, dan memantapkan pengelolaan dan pemanfaatan
aktivitas sumberdaya kelautan nasional. Dengan kebijakan bidang kelautan yang tepat,
efektif, dan sinergis dengan bidang lain, setidaknya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang pada akhirnya tentu
hal ini akan meredam gejolak konflik masyarakat, bahkan juga konflik nasional. Kondisi
kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan dari pilar tata kelola kelautan adalah
yang dapat menciptakan kondisi sebagai berikut:
a) Pembangunan bidang kelautan nasional yang mendapat dukungan politik penuh
dan kuat, baik dari supra struktur politik, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
maupun pemerintah.
b) Indonesia yang memiliki perundangan dan peraturan bidang kelautan yang kuat.
Diharapkan dalam waktu yang tidak lama, Indonesia sudah mempunyai Undang-
Undang yang mengatur bidang kelautan secara terpadu, sehingga pengembangan
bidang kelautan yang komprehensif, integral, dan sinergis dapat segera di
realisasikan dan diimplementasikan oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholders).
c) Indonesia yang berperan aktif dalam percaturan bidang kelautan, baik level regional
maupun internasional, untuk membantu memudahkan Indonesia dalam
mengembangkan industri kelautan nasional menembus pasar regional dan dunia.
Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
organisasi kelautan regional dan dunia, agar Indonesia memiliki posisi tawar yang
baik dalam menentukan berbagai pengaturan pengelolaan bidang kelautan.
d) Pemanfaatan sumberdaya laut nasional mencapai tingkat yang optimal, berjalan
sinergis, dan sesuai dengan kapasitas daya dukung, serta dilakukan berdasarkan
kaidah-kaidah nasional dan internasional.
e) Sistem tata kelola kelautan Indonesia yang adil, transparan, dan bertanggungjawab
f) Setiap warga negara Indonesia (WNI) memiliki kesempatan dan hak yang sama
untuk memanfaatkan sumberdaya laut, Pemerintah hanya mengatur jumlah alokasi
optimalnya, sesuai dengan kapasitas daya dukungnya.

89
g) Pengelolaan sumberdaya laut nasional dapat memberikan manfaat, baik moril maupun
materil, yang maksimal bagi masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat pesisir.

3) Keamanan Laut (Maritime Security)


Kebijakan kelautan Indonesia dilihat dari pilar keamanan laut harus dapat memberikan
manfaat bagi penegakkan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut, dimana hasil
pembangunan pada pilar ini dapat difungsikan pula sebagai komponen pendukung
pertahanan negara. Kondisi yang diharapkan selaras dari pilar keamanan laut adalah
yang dapat mewujudkan kondisi bangsa Indonesia:
a) mampu menjaga keamanan dan melakukan penegakkan hukum di wilayah
yurisdiksi laut Indonesia secara efektif, efisien, dan tegas, guna mengatasi masalah
kejahatan transnasional, pencurian kekayaan negara, penyelundupan, terorisme,
dan kejahatan lainnya. Diharapkan dapat terwujud suatu lembaga/institusi yang
efektif dalam mengelola keamanan dan penegakkan hukum di laut secara
komprehensif dan terpadu, serta berfungsi pula sebagai komponen cadangan
nasional untuk kepentingan pertahanan negara.
b) mampu secara efektif menjaga kedaulatan dan wilayah perbatasan negara dari
ancaman pihak asing. Diharapkan Indonesia memiliki kekuatan laut yang diperhitungkan
dan disegani oleh negara-negara lain, utamanya negara-negara tetangga. Oleh
karenanya, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) harus mempunyai alat
utama sistem persenjataan (Alutsista) yang modern dan dalam jumlah yang optimal.
c) memiliki prasarana pelabuhan yang memadai dan layak operasional di berbagai
lokasi yang potensial dan strategis. Fasilitas ini tentu digunakan untuk mendukung
kepentingan operasi keamanan dan pertahanan laut, utamanya pada masa krisis
atau perang. Oleh karenanya, pemilihan posisi pelabuhan yang dapat menampung
kapal-kapal besar, selain mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomi, juga harus
mempertimbangkan aspek strategis untuk kegiatan operasi pertahanan dan
keamanan negara. Diharapkan fasilitas atau prasarana pelabuhan ini kedepan
terus dapat ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya, terutama di wilayah-
wilayah terdepan yang dekat dengan wilayah perbatasan negara.
d) mempunyai industri maritim nasional yang mandiri, kuat dan berkembang dengan
baik. Industri ini dalam kondisi perang dapat dijadikan sebagai supply logistik,
baik untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun sarana pada saat krisis atau
perang atau bencana nasional. Selain itu, industri maritim nasional dapat berperan
pula menjadi industri untuk memproduksi sarana pertahanan negara (fasilitas
militer), seperti kapal perang.

90
4) Ekonomi Kelautan (Ocean Economic)
Dari sudut pilar ekonomi kelautan, kebijakan kelautan Indonesia sudah tentu diharapkan
dapat meningkatkan perekonomian nasional, utamanya dalam kontribusi pertumbuhan
ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Oleh karenanya, kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan dari pilar
ekonomi kelautan adalah yang dapat menghasilkan kondisi sebagai berikut:
a) Dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada produk domestik bruto (PDB)
nasional. Diharapkan pilar ekonomi kelautan ini akan memberikan kontribusi yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun sampai ke titik yang optimal.
b) Dapat menyerap tenaga kerja secara maksimal. Diharapkan bidang kelautan dapat
menyerap lebih dari 30% angkatan kerja nasional, mulai dari kegiatan di hulu
sampai di hilir.
c) Terbangunnya armada pelayaran nasional yang dapat memenuhi seluruh
kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional sehingga dapat
berperan fair share, yaitu 50 persen kegiatan ekspor impor.
d) Penerimaan devisa dari ekspor produk kelautan yang optimal. Diharapkan produk
dari bidang kelautan mempunyai daya saing yang tinggi, sehingga mampu
berkompetisi dengan produk sejenis dari negara lain, yang pada akhirnya dapat
memberikan kontribusi nilai devisa yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun
hingga mencapai ke titik yang optimal.
e) Terbangun 2 kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu di Batam-
Bintan-Karimun dan Bitung.
f) Terbangun sekurang-kurangnya 3 pelabuhan hub-internasional yaitu di Sabang,
Batam, dan Bitung yang didukung oleh sub-sub sistem pelabuhan di dalam tatanan
pelabuhan nasional yang berdaya saing
g) Terbangunnya kawasan budidaya perikanan (marikultur, payau dan air tawar) yang
baru seluas 100.000 Ha yang tersebar di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata,
Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sangihe, Talaud, Maluku Utara dan
Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makasar.
h) Terbangunnya kawasan industri (cluster) pengolahan hasil perikanan terpadu
dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawasan-kawasan di pesisir
Barat Sumatera, Selat Karimata, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini,
Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan Papua, dan di pesisir Timur Sumatera,
Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara dan Papua
Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makasar

91
i) Terbangunnya daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang telah ada,
antara lain: di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan Kepulauan Seribu, Krakatau,
Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo,
Derawan, Wakatobi, Togean, Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Ampat.
j) Terbangunnya sarana dan prasarana kawasan pariwisata bahari baru, antara lain:
di Pulau Weh, Pulau Banyak, Pulau Enggano, Pulau Rupat, Kepulauan Bangka
Belitung, Anambas, Natuna, Roti, Kupang, Lembata, Alor, Siparamanita, Banggai,
Sangihe, Talaud, Ternate, Biak, dan Mapia
k) Terpenuhinya kebutuhan energi untuk dalam negeri.
l) Termanfaatkannya energi kelautan alternatif yang merupakan energi non-konvensional
dan termasuk sumber daya kelautan nonhayati yang dapat diperbarui, seperti:
ocean thermal energy conversion (OTEC), energi gelombang, arus dan pasang-surut.
m) Termanfaatkannya sumber daya mineral laut, seperti: biji besi, timah dan nodul
mangan, secara optimal.
n) Tingkat pendapatan SDM kelautan yang layak dan sejahtera. Diharapkan masyarakat
Indonesia, utamanya masayarakat pesisir nelayan, dapat terbebas dari kemiskinan
dan memiliki kualitas hidup yang layak. Sekurang-kurangnya tingkat pendapatannya
diatas upah minimum regional yang berlaku.
o) Investasi di bidang kelautan, baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri), meningkat secara nyata, dari tahun ke tahun.
p) Setiap industri kelautan yang berdiri di wilayah Indonesia mem-prioritaskan meng-
gunakan tenaga kerja domestik dengan upah/gaji yang layak untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan
q) Tumbuh dan kokohnya usaha bidang kelautan yang berbasis pada masyarakat,
seperti: koperasi, kelompok usaha, dan sejenisnya.

5) Lingkungan Laut (Marine Environment)


Ditinjau dari pilar lingkungan laut, kebijakan kelautan Indonesia diharapkan dapat
menjaga dan melestarikan lingkungan lautnya secara berkelanjutan. Secara rinci, kondisi
kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan dari pilar lingkungan laut adalah yang
dapat menghasilkan kondisi sebagai berikut:
a) Terciptanya kondisi wilayah pesisir dan laut yang bersih, tertata rapi, nyaman dan
aman untuk tinggal dan melakukan kegiatan usaha, bebas dari pencemaran limbah
beracun dan berbahaya, aman dari ancaman bencana tsunami dan alga bloom,
serta mempunyai akses jalan dan prasarana yang baik.

92
b) Sistem pengelolaan mitigasi bencana yang holistik dan integral, yang mencakup
aspek legal, kelembagaan, mekanisme pendanaan, hingga penyusunan program
penanggulangannya
c) Konsep kewilayahan terpolakan dan terinventarisasi dengan baik, dimana hal ini
kemudian menjadi basis bagi pengelolaan lingkungan baik secara fisik maupun
manajemennya, termasuk dalam kerjasama antar institusi/stakeholders. Sehingga
pembangunan bidang kelautan akan dilaksanakan sesuai dengan tata ruang dan
kondisi lingkungan sekitarnya.
d) Tata ruang lingkungan kelautan yang meliputi pengelolaan ruang, perubahan
bentang alam di pesisir terintegrasi dengan baik dari hulu sampai ke hilir, dengan
memperhitungkan segala aspek lingkungan laut.
e) Pemanfaatan sumberdaya kelautan menggunakan cara-cara dan teknologi yang
ramah lingkungan.
f) Penggunaan teknologi energi yang ramah lingkungan dan bersifat renewable
semakin meluas.
g) Pengelolaan keindahan alam, dalam hal ini merujuk pada kegiatan pariwisata
bahari, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Artinya, perencanaan
dan pembangunan pariwisata terutama di wilayah pesisir harus menyeluruh, dari
hulu ke hilir. Ke depannya, memungkinkan untuk menyatukan pelabuhan perikanan
dengan pelabuhan rekreasi, dengan cara menciptakan pelabuhan perikanan yang
sehat, bersih dan nyaman sehingga tidak mengganggu unsur keindahan dan
kenyamanan yang diperlukan sektor pariwisata.
h) Sistem MCS yang handal terhadap kegiatan-kegiatan aktivitas pengeboran minyak
di laut dan pelayaran (lalu lintas kapal) yang rawan menyebabkan pencemaran minyak.
i) Sistem peringatan dini yang cepat dan efektif.
j) Pendidikan tentang lingkungan laut sejak usia dini menjadi salah satu bagian utama
dalam kurikulum pendidikan nasional.

3. Indikator Keberhasilan Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Bidang Kelautan


Keberhasilan efektivitas kebijakan kelautan Indonesia dapat dilihat dari beberapa
indikator utamanya, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yakni sebagai berikut:
a. Kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, dinyatakan berhasil bila
kontribusinya semakin besar (minimal memberikan kontribusi 50% terhadap PDB Nasional).
b. Jumlah penerimaan devisa dari ekspor produk kelautan, dinyatakan berhasil bila
jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai nilai yang optimal.

93
c. Tingkat penyerapan tenaga kerja bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila menyerap
minimal 50% jumlah tenaga kerja nasional.
d. Tingkat pendapatan masyarakat pesisir dan pelaku usaha bidang kelautan, dinyatakan
berhasil bila pendapatannya semakin layak.
e. Tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, dinyatakan berhasil bila angka kemiskinannya
semakin berkurang.
f. Tingkat pemanfaatan sumberdaya laut optimal, dinyatakan berhasil bila tingkat
pemanfaatannya mendekati atau sama dengan jumlah potensi yang tersedia (atau
nilainya mendekati atau sama dengan 100%)
g. Jumlah keluhan atau pengaduan dari pelaku usaha di bidang kelautan, dinyatakan
berhasil bila jumlahnya semakin sedikit.
h. Kinerja industri atau usaha di bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila kinerjanya
semakin efisien dan berdaya saing.
i. Perundangan dan peraturan di bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila perundangan
dan peraturan yang ada semakin kuat dan harmoni.
j. Jumlah kasus pelanggaran hukum di wilayah perairan laut, dinyatakan berhasil bila
jumlahnya semakin sedikit.
k. Jumlah ancaman kedaulatan wilayah laut NKRI, dinyatakan berhasil bila jumlahnya
semakin sedikit.
l. Jumlah kawasan konservasi yang berfungsi efektif (terjaga dan terpelihara baik),
dinyatakan berhasil bila ratio antara jumlah kawasan konservasi yang berfungsi efektif
terhadap jumlah semua kawasan konservasi yang ada, nilainya mendekati atau sama
dengan 1 (satu).
m. Jumlah wilayah laut yang tercemar, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin sedikit.
n. Tingkat pendidikan masyarakat pesisir dan pekerja di bidang kelautan, dinyatakan
berhasil bila tingkat pendidikannya semakin tinggi
o. Jumlah penelitian dan pengembangan bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila
kuantitasnya semakin dominan dengan kualitasnya semakin baik.
p. Jumlah terjadinya konflik sosial pada masyarakat pesisir, dinyatakan berhasil bila
jumlahnya semakin menurun dan mendekati nihil.
Kemudian, guna mewujudkan bidang kelautan menjadi bidang andalan (leading sector)
dalam pembangunan nasional, terdapat tiga syarat atau tolok ukur mutlak yang harus
dipenuhi. Pertama, bidang kelautan harus memberikan dampak ekonomi yang signifikan
secara makro (seperti peningkatan perolehan devisa dan peningkatan kontribusi terhadap
PDB). Kedua, bidang kelautan harus dapat memberikan keuntungan secara signifikan untuk

94
meningkatkan kesejahteraan terhadap semua pelaku usaha didalamnya. Ini berarti bidang
kelautan harus dapat memberikan pemerataan (equity) kesejahteraan bagi semua pelaku
usahanya. Ketiga, pembangunan bidang kelautan yang dilaksanakan harus berkelanjutan,
tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara ekologi.
Dengan demikian, agar dapat memanfaatkan sumberdaya laut sebagaimana yang
diharapkan, maka langkah yang harus dilakukan adalah menyatukan kesamaan misi
pembangunan bidang kelautan. Misi pembangunan bidang kelautan Indonesia sampai
dengan tahun 2025 adalah Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri,
maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
Untuk menjawab tantangan di atas, maka kebijakan kelautan Indonesia harus diarahkan
untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada melalui pengembangan kegiatan
usaha yang efisien, berkelanjutan, dan semaksimal mungkin berbasis pada masyarakat.
Selain itu pula, perlu dukungan dan keinginan kuat dari para pelaku pembangunan bidang
kelautan untuk lebih bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya guna mencapai hasil
yang optimal dan berkelanjutan. Demi memenuhi tuntutan kebutuhan di masa mendatang,
maka pemerintah harus memberikan perhatian secara maksimal pada kebijakan
pengembangan industri kelautan yang bersifat padat modal, padat teknologi, dan juga
sekaligus padat karya. Sifat padat karya dalam industri kelautan cukup penting, karena
dengan karakteristik seperti itu akan tercipta banyak peluang kerja bagi masyarakat.
Guna merangsang minat para pengusaha nasional untuk berpartisipasi dalam
pembangunan kelautan nasional yang sekaligus juga menumbuhkan ekonomi nasional,
sudah saatnya format kebijakan pembangunan yang kurang kondusif diperbaiki dan
disempurnakan, seperti memberikan insentif bagi yang mau menanamkan investasi pada
bidang kelautan di daerah-daerah terpencil atau perbatasan. Bahkan untuk percepatan
pemerataan perkembangan wilayah, perlu membangun beberapa kawasan Free Bounded
Area yang berbasis sumber daya laut di Indonesia Bagian Timur. Namun, yang paling
fundamental dari semua itu adalah perlu adanya perubahan dalam kultur dan etos hidup
masyarakat, agar lebih memperhatikan dan berorientasi pada dunia kelautan, sebab disinilah
salah satu letak kunci keberhasilan kebijakan pembangunan kelautan nasional.
Untuk keperluan tersebut, diperlukan serangkaian penguatan kebijakan yang dapat
dijalankan secara sistematis sebagai bagian esensial dalam strategi pembangunan bidang
kelautan. Mengingat bahwa semua kerangka pemecahan ini bersifat multi aspek dan multi
dimensi serta memiliki hubungan interdependensi dengan berbagai aspek pembangunan
yang lain, maka sudah saatnya Pemerintah juga memperkuat kebijakan kelembagaan
kelautan agar fungsi koordinasi terhadap berbagai kegiatan pembangunan terkait dengan
bidang kelautan dapat berjalan secara efektif.

95
Selain itu, perlu adanya kesadaran yang dalam dan visi yang tajam dalam menatap
masa depan serta kemauan politik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada secara
fundamental. Kelengahan dalam mengantisipasi tuntutan kebutuhan masa depan akan
membawa efek berantai bagi pembangunan pada bidang lainnya, bahkan juga bagi
kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Karenanya, sangat tepat bila langkah antisipasi
yang kongkrit dimulai dengan menyusun Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesians Ocean
Policy) dan dari sekarang, agar kita sebagai bangsa tidak akan menyesal di kemudian hari.

4. Kontribusi Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan


Penciptaan Lapangan Kerja
Dengan tersedianya Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif dan terpadu
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan
penciptaan lapangan kerja, sekaligus juga memberikan kontribusi signifikan bagi
pembangunan nasional, sehingga akan mempercepat terwujudnya masyarakat Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur secara berkelanjutan. Secara ringkas, kontribusi sektor
ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tumbuhnya bidang kelautan dapat meningkatkan kegiatan produksi secara nasional.
Peningkatan produksi tersebut tentu akan meningkatkan nilai penjualan dan nilai
tambah, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kontribusi sektor ini pada PDB nasional. Dengan meningkatnya PDB
nasional, nantinya tentu akan menumbuhkan perekonomian nasional yang lebih baik,
sehingga juga akan menambah penciptaan lapangan kerja.
b. Berjalannya pembangungan kelautan nasional juga akan membangkitkan industri dalam
negeri, baik industri kelautan primer maupun industri sekunder dan tersiernya. Dengan
demikian bidang kelautan dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi
nasional dan penciptaan lapangan kerja. Hal ini karena bidang kelautan mempunyai
multiplier effect (efek ganda) ekonomi yang besar. Efek ganda ekonomi diperoleh pada
setiap proses produksi mulai dari hulu sampai ke hilir dan kegiatan ikutan lainnya,
termasuk perbankan.
c. Pembangunan kelautan nasional yang didukung dengan paket kebijakan dan deregulasi
yang tepat akan memberikan kontribusi bagi peningkatan investasi, baik dari dalam
maupun luar negeri, yang pada gilirannya akan meningkatkan pula pertumbuhan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan angka ICOR rata-rata
untuk kelautan sebesar 3,4 dan ILOR rata-rata sebesar 7 - 9.
d. Pengembangan produk kelautan melalui peningkatan nilai tambah dan industrialisasi
akan meningkatkan daya saingnya di pasar Internasional, sehingga dapat menjadikan

96
Indonesia sebagai salah satu negara produsen yang terkemuka. Peningkatan nilai
tambah suatu komoditi umumnya akan diikuti dengan pertumbuhan industrinya, yang
berarti pula akan menumbuhkembangkan roda perekonomian dan menambah lapangan
kerja baru.
e. Pengembangan bidang kelautan akan mendorong pula bangkitnya industri hulu dan
hilir, yang tentunya akan memacu pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya akan
menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar serta akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
f. Kebijakan kelautan nasional yang diarahkan untuk meningkatkan kemandirian bangsa,
akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kondisi sosial budaya,
posisi tawar politik di luar negeri, meningkatkan neraca perdagangan luar negeri, dan
meningkatkan kemampuan Hankam serta dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia.

97
KEBIJAKAN KELAUTAN
Bab 6 INDONESIA

1. Umum
Pembangunan bidang kelautan merupakan upaya sistematis dan terencana yang
dilakukan untuk memperkuat bidang ini, baik secara geopolitik, ekonomi, ekologi, maupun
sosial-budaya dalam mewujudkan kedaulatan bangsa dan kemakmuran rakyat.
Pembangunan bidang kelautan merupakan bagian dari upaya mewujudkan Indonesia
sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional
sebagaimana diamanatkan oleh UU 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional. Dalam konsepsi
Negara kepulauan tersebut, maka daratan dan lautan merupakan kesatuan wilayah yang
utuh, sehingga penguatan bidang kelautan juga tidak terlepas dari upaya-upaya
pembangunan di darat. Begitu pula pembangunan di darat tidak bisa mengabaikan
kepentingan bangsa di laut. Konsepsi Negara kepulauan tersebut juga menunjukkan
pentingnya pemerataan pembangunan, baik pemerataan hasil maupun kesempatan. Hal
ini sekaligus menggambarkan bahwa pembangunan harus dirasakan oleh setiap masyarakat
yang mendiami kepulauan, baik besar maupun kecil. Hal ini pun selaras dengan konsep
wawasan nusantara yang diinspirasi Deklarasi Djuanda.
Keseriusan Pemerintah untuk mengimplementasikan paradigma diatas, kemudian lebih
dipertegas lagi oleh pernyataan Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang
disampaikan pada KTT Rio+20 di Brasil akhir Juni 2012 tentang komitmen Indonesia dalam
melaksanakan pembangunan nasional dengan pendekatan Blue Economy. Blue Economy
merupakan model pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan darat dan
laut dengan memperhitungkan daya dukung sumberdaya dan lingkungannya. Karena pada
prinsipnya potensi darat dan laut harus disinergikan sehingga menjadi kekuatan, dan hal
utama yang perlu digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan pemikiran tersebut
adalah bagaimana kekuatan laut yang luasnya hampir dua pertiga wilayah Indonesia serta
berbagai peluang ekonomi secara internasional perlu dikembangkan bagi kemakmuran
Indonesia secara berkelanjutan. Pembangunan nasional dengan pendekatan Blue Economy
ditujukan pula untuk mempercepat terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang pro-poor
(pengentasan kemiskinan), pro-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan tenaga kerja)
dan pro-environtment (melestarikan lingkungan).
Prinsip penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) pada dasarnya mengacu
kepada kondisi bidang kelautan pada saat ini yang dihadapkan kepada kondisi bidang

98
kelautan yang diharapkan dapat dicapai. Selanjutnya, dituangkan kedalam Visi, Misi,
Kebijakan, dan Strategi, serta Upaya yang diperlukan guna mewujudkannya.
Visi adalah suatu pemikiran untuk mencapai suatu cita-cita yang jauh ke depan dan
harus dicapai, sedangkan misi adalah pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan dalam
usahanya mewujudkan visi. Sementara, kebijakan atau policy adalah arah yang pasti atau
metode bertindak terpilih untuk memandu keputusan saat ini dan yang akan datang (The
Merriam Webster Dictionary, 1998). Kemudian, strategi merupakan suatu cara untuk
mencapai sasaran yang diinginkan. Batu bangun strategi ada tiga, yaitu: sumberdaya
(resources), rencana atau konsep (concepts) dan sasaran (objectives). Muatan strategi
meliputi tiga yaitu sarana (means), cara-cara (ways) dan tujuan (ends) (Naryadi, 2006).
Untuk upaya adalah langkah-langkah aksi sebagai penjabaran dari strategi.

2. Visi, Misi, dan Kebijakan


Pengertian pembangunan bidang kelautan diatas dapat dipahami pula bahwa dimensi
pembangunan kelautan mencakup dimensi kemakmuran dan keadilan, pengelolaan,
kedaulatan dan pengamanan laut, pendidikan dan penelitian, dan keberlanjutan. Orientasi
kemakmuran dan keadilan dimaknai sebagai pentingnya pembangunan kelautan dapat
membawa kemakmuran dan keadilan bagi bangsa Indonesia. Orientasi pengelolaan dimaknai
sebagai pentingnya bangsa Indonesia untuk mengatur dan mengurus pembangunan dan
usaha kelautan secara efektif, efisien, dan sinergis. Kemudian, orientasi kedaulatan dan
pengamanan laut dimaknai sebagai pentingnya bangsa Indonesia secara empiris mampu
menjaga wilayah lautnya dari berbagai ancaman secara mandiri tanpa didikte oleh pihak
asing. Untuk orientasi pendidikan dan penelitian dimaknai sebagai pentingnya bangsa
Indonesia untuk membangun karakter bangsa yang kuat dan berkualitas serta mampu
menguasai teknologi. Sementara itu, orientasi keberlanjutan dimaknai sebagai pentingnya
memperhatikan kelestarian sumberdaya guna kepentingan generasi mendatang.
Berdasarkan pada harapan dan pandangan diatas, maka dirumuskan visi kelautan
Indonesia adalah sebagai berikut:
INDONESIA MENJADI NEGARA KEPULAUAN YANG MANDIRI, MAJU, KUAT, DAN
BERBASISKAN KEPENTINGAN NASIONAL
Dengan misi utamanya mengintegrasikan pembangunan kelautan nasional yang
diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya
laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan
kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan,
dan teknologi. Secara lebih rinci misi kelautan Indonesia dirumuskan sebagai berikut:

99
1) Membangkitkan wawasan dan budaya bahari
2) Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan.
3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait
di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut
United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982.
4) Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5) Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan.
6) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut.
7) Mengelola dan Memanfaatkan laut secara bijaksana, terpadu, dan berkelanjutan untuk
kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, dengan memperhatikan cakupan visi dan misi ini, maka dapat ditentukan
arah pembangunan kelautan nasional yang menjadi landasan kebijakan utamanya, yakni
sebagai berikut:
a) Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia serta memperkuat nilai-nilai budaya
bahari yang bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa. Untuk itu, perlu kebijakan
kebudayaan kelautan (ocean culture policy).
b) Memperkuat kemampuan nasional untuk pengelolaan sumberdaya kelautan guna
mendorong terwujudnya pembangunan dan pengembangan usaha kelautan yang efektif,
efisien dan sinergis. Dengan demikian, memerlukan kebijakan tata kelola kelautan
(ocean governance policy).
c) Memperkuat sistem pertahanan dan keamanan yang mencerminkan Negara kepulauan
yang bermartabat dan berkedaulatan. Hal yang mendasar dalam rangka penguatan
kedaulatan bangsa di laut adalah penetapan batas maritim yang harus segera
dituntaskan. Oleh karenanya, perlu kebijakan keamanan maritim (maritime security policy).
d) Membangun ekonomi berbasis sumberdaya kelautan guna meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dalam hal ini dituntut kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya nasional
melalui formulasi desain program kelautan nasional yang disertai kelengkapan instrumen
fiskal, moneter, keuangan serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung bidang
kelautan. Untuk itu, perlu suatu kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy).
e) Memperhatikan kelestarian dan mengutamakan keberlanjutan sumberdaya kelautan
guna kepentingan generasi mendatang. Hal ini penting sebagai upaya memelihara
ekosistem laut yang kini sudah terancam akibat pencemaran, over-eksploitasi
sumberdaya, dsb. Oleh karena itu, perlu kebijakan lingkungan laut (marine environment
policy).

100
Dengan berdasarkan hal tersebut diatas dan mengacu kepada luasnya permasalahan
yang harus ditangani, peluang dan kendala yang ada, serta kondisi yang diharapkan yang
dihadapkan kepada kondisi saat ini, maka kebijakan yang diambil harus komprehensif,
terintegrasi, terukur dan realistik, karena langkah yang diambil tersebut juga harus efektif
atau dapat diimplementasikan secara nyata. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka
dirumuskanlah kebijakan utama sebagai berikut:
Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi
pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy),
kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim
(maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan
lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan negara kepulauan yang
mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional.
Kemudian, secara lebih rinci Kebijakan Kelautan Indonesia untuk setiap pilarnya adalah
sebagai berikut:
1) Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy):
Menjadikan laut sebagai ruang hidup dan ruang juang, tempat belajar, berkarya, bekerja,
berolah raga, dan berekreasi serta mendidik masyarakat
Indonesia agar mencintai, memelihara, mengelola, mengolah, meneliti, mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan secara
bertanggungjawab dan berkelanjutan.
2) Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy):
Menciptakan sistem tata kelola kelautan nasional yang komprehensif, terintegrasi,
efektif, dan efisien.
3) Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy):
Menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat serta hukum di laut dalam yurisdiksi
nasional, demi terwujudnya keutuhan, keamanan dan keselamatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4) Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy):
Mewujudkan perekonomian nasional berbasis kelautan yang kokoh, mandiri, berdaya
saing, memberi nilai tambah, dan berkelanjutan dengan prinsip-prinsip blue economy,
untuk kesejahteraan rakyat.
5) Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy):
Menjamin pemanfaatan laut dengan melestarikan lingkungan bagi kepentingan nasional
untuk kesejahteraan rakyat.

101
3. Strategi
Komponen strategi meliputi means (sumberdaya atau sarana dan prasarana), ends
(tujuan atau sasaran) dan ways (cara dalam mencapai tujuan atau sasaran). Kemudian,
untuk perumusan strategi ini mengacu kepada kebijakan yang telah dirumuskan di atas,
namun tetap berdasarkan kondisi nyata yang memungkinkan untuk dicapai. Strategi yang
dirumuskan sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan, adalah sebagai berikut:
a. Strategi untuk Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy):
1) Strategi 1: Membangkitkan wawasan dan budaya bahari.
Strategi ini bertujuan agar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang baik
terhadap wawasan kelautan, nilai-nilai budaya bahari, dan kearifan lokal di bidang
kelautan, untuk mendukung ketahanan pangan, menjaga kedaulatan, mengentaskan
kemiskinan, dan meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional. Sasaran
yang ingin dicapai adalah mantapnya wawasan kelautan di seluruh lapisan
masyarakat Indonesia, termasuk para pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif
dan yudikatif), sehingga akan mengoptimalkan pembangunan kelautan nasional
sebagai salah satu pilar utama ekonomi bangsa, serta terlembaganya nilai-nilai
positif budaya bahari, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keuletan, kerja keras,
keberanian menanggung resiko (enterpreunership), gotong royong, menghargai
perbedaan, dan cinta akan lingkungan.
2) Strategi 2: Harmonisasi unsur-unsur kearifan lokal ke dalam sistem
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mencegah terjadinya konflik sosial dalam
memanfaatkan sumberdaya laut. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah
terciptanya pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan dengan lingkungan
usaha yang aman dan kondusif.
3) Strategi 3: Mempertahankan dan mengembangkan kota-kota pelabuhan
bersejarah.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk melestarikan dan mengembangkan wisata
budaya bahari nusantara. Sasaran yang hendak dicapai adalah:
i. Terjaganya bukti-bukti sejarah kejayaan bahari di nusantara yang merupakan
bagian dari sejarah perkembangan budaya bangsa.
ii. Berkembangnya wisata budaya bahari nusantara sebagai salah satu tujuan
utama para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

102
4) Strategi 4: Meningkatkan dan memberdayakan sumber daya manusia (SDM)
bahari.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mampu menghasilkan SDM kelautan yang
trampil (skilled labor), profesional, dan bertaraf internasional, sehingga mampu
bersaing dengan tenaga kerja asing. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah:
i. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja untuk tata kelola dan industri kelautan
nasional.
ii. Terwujudnya pengusaha bidang kelautan yang produktif, efisien, dan
berkelanjutan.
5) Strategi 5: Meningkatkan dan menguatkan peranan IPTEK dan Riset Kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi kelautan di Indonesia, serta menjadi salah satu pusat riset kelautan tropis
dunia. Sasaran yang hendak dicapai adalah:
i. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung
pengembangan usaha bidang kelautan.
ii. Tumbuhnya usaha bidang kelautan yang inovatif, kreatif, dan berdaya saing
tinggi.
iii. Termanfaatkannya sumberdaya kelautan Indonesia secara efisien, optimal,
dan berkelanjutan.

b. Strategi untuk Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy):


1) Strategi 1: Menata sistem hukum nasional di bidang kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengharmonikan dan mengoptimalkan
peraturan hukum di bidang kelautan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah
terwujudnya tertib hukum secara tegas dan jelas dalam mengelola sumber daya
kelautan nasional.
2) Strategi 2: Mempercepat terbentuknya peraturan perundang-undangan yang
mengatur bidang kelautan secara komprehensif dan terpadu.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk menghasilkan Undang-undang tentang
Kelautan sebagai payung hukum utama dan acuan bersama bagi semua
stakeholders bidang kelautan di Indonesia. Sasaran yang hendak dicapai adalah
adanya dukungan politik yang kuat, baik dari supra struktur politik, yakni Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) maupun pemerintah, dalam melaksanakan pembangunan
kelautan nasional.

103
3) Strategi 3: Mengimplementasikan dan menindaklanjuti Konvensi PBB tentang
Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982).
Tujuan dari strategi ini adalah untuk menerapkan UNCLOS 1982 untuk kepentingan
Indonesia dalam menentukan batas wilayah lautnya dan ikut berperan dalam
memanfaatkan sumber daya alam di perairan internasional. Sasaran yang hendak
dicapai adalah terselesaikannya batas wilayah laut NKRI secara jelas dan utuh
serta turut andil dalam memanfaatkan sumber daya alam di perairan internasional.
4) Strategi 4: Menuntaskan penyelesaian hak dan kewajiban dalam mengelola
wilayah perbatasan maritim berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk segera menuntaskan perjanjian-perjanjian
batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga yang masih terbengkalai
dan memperjuangkan pembagian beban bersama dalam menjaga keselamatan,
keamanan dan perlindungan wilayah maritim perbatasan dengan negara-negara
tetangga sesuai amanat UNCLOS 1982. Sasaran yang hendak dicapai adalah
jelasnya batas wilayah laut yurisdiksi nasional, guna mendapat kepastian hukum
dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya laut dan penegakan hukum di
wilayah laut perbatasan.
5) Strategi 5: Membentuk sistem kelembagaan pemerintahan di bidang kelautan
yang terintegrasi, komprehensif, berwenang untuk membuat perencanaan
dan mengevaluasi implementasi program-program pembangunan kelautan
nasional secara keseluruhan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk membentuk sistem kelembagaan pemerintah
yang memiliki wewenang menyusun dan memadukan perencanaan atau
roadmap seluruh pembangunan kelautan nasional serta mengevaluasi tahapan
implementasinya. Sasaran yang hendak dicapai adalah sinergis dan harmoninya
pembangunan bidang kelautan nasional, baik diantara internal sektornya maupun
dengan bidang lainnya.
6) Strategi 6: Membangun sistem tata kelola kelautan Indonesia yang baik,
transparan, adil, dan bertanggungjawab.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk membuat aktivitas pengelolaan dan peman-
faatan sumberdaya laut berjalan efektif, selaras, dan berkelanjutan serta dapat
mencegah timbulnya potensi konflik sosial. Adapun sasaran yang hendak dicapai
adalah :
i. Usaha bidang kelautan berjalan optimal, efisien, dan sesuai dengan kapasitas
daya dukungnya.

104
ii. Nihilnya potensi konflik sosial yang diakibatkan oleh pemanfaatan sumberdaya
laut.
7) Strategi 7: Meningkatkan pengelolaan aset Negara di Bidang Kelautan,
Strategi ini bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.
Sasaran yang ingin dicapai adalah Optimalnya pengelolaan aset/kekayaan negara
di bidang kelautan (seperti: wilayah pesisir, laut, dasar laut, tanah di bawah dasar
laut dan segala kekayaan yang terkandung didalam/diatasnya termasuk keindahan,
serta kekayaan yang tidak terlihat (intangible), contohnya: rute-rute pelayaran).
8) Strategi 8: Memperkuat sumberdaya manusia untuk menjalankan fungsi-
fungsi pemerintahan di bidang kelautan yang didasarkan pada peraturan
perundangan baik nasional maupun internasional.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme
sumberdaya manusia yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di
laut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, baik ditingkat nasional
maupun internasional. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah sumber daya
manusia yang cakap dan profesional dalam menjalan tugas-tugas pokok dan
fungsi-fungsi pemerintahan di laut Indonesia.
9) Strategi 9: Mengefektifkan sistem koordinasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan di bidang kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas koordinasi antar
sektor dalam merumuskan pengembangan bidang kelautan. Adapun sasaran yang
hendak dicapai adalah terselesaikannya permasalahan yang terkait dengan bidang
kelautan secara cepat dan tepat.

c. Strategi untuk Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy):


1) Strategi 1: Membentuk Badan Keamanan Laut Indonesia yang profesional.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk membentuk satu lembaga yang memiliki
kewenangan multifungsi sebagai maritime law enforcement, search and rescue at
sea, environmental protection, shipping safety, fishery protection, dan custom and
immigration secara efektif dan efisien. Lembaga/Instutusi ini akan mengintegrasikan
BAKORKAMLA dengan seluruh instansi-instansi yang berwenang mengadakan
operasi penegakan hukum dan keamanan di laut, yang selama ini menjalankan
fungsi-fungsi seperti tersebut diatas secara sendiri-sendiri, sehingga menjadi
kurang efektif dan efisien, bahkan cenderung tumpang tindih dalam pelaksana-

105
annya. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah laut Indonesia menjadi aman
dan terjaga dari kejahatan perompakan, penyelundupan, pencurian kekayaan
negara, kejahatan transnasional, dan kejahatan-kejahatan laut lainnya.
2) Strategi 2: Meningkatkan kemampuan dan kinerja pertahanan dan keamanan
secara terpadu di seluruh wilayah laut dalam yurisdiksi nasional dan kinerja
keamanan di laut lepas.
Strategi ini bertujuan untuk mampu secara efektif menjaga kedaulatan dan keutuhan
wilayah NKRI dari ancaman pihak asing melalui penyediaan fasilitas armada
pengawas termasuk alutsista untuk memperkuat hankam wilayah laut dalam
yuridiksi nasional, khususnya yang berbatasan dengan Negara tetangga. Adapun
sasaran yang hendak dicapai adalah :
i. Terjaganya kedaulatan dan keutuhan wilayah laut NKRI.
ii. Terwujudnya kekuatan laut nasional yang diperhitungkan dan disegani oleh
negara-negara lain.
3) Strategi 3: Meningkatkan peran aktif dalam kerjasama pertahanan dan
keamanan bidang kelautan di tingkat regional dan internasional.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk memperkuat eksistensi bangsa Indonesia
dalam mengelola dan mengembangkan bidang kelautan di tingkat regional dan
internasional. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan keikutsertaan Indonesia dalam
berbagai organisasi kelautan regional dan dunia, seperti ARF (Asean Regional
Forum), ADMM (Asean Defence Minister Meeting), ASPC (Asean Political and
Security Council), PSI (Prolifereaction Security Initiative) dan CSI (Container
Security Initiative). Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah Indonesia memiliki
posisi tawar yang tinggi di tingkat regional dan internasional dalam pengelolaan
bidang kelautan.
4) Strategi 4: Mengembangkan Sistem Monitoring, Controling, and Surveilance
(MCS) dan Penanganan Pelanggaran di laut yang efektif.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan
keterpaduan pelaksanaan deteksi, identifikasi, pengawasan dan penindakan
terhadap pelanggaran di wilayah laut NKRI. Sasaran yang hendak dicapai adalah
terkendalinya pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional untuk
pengembangan usaha bidang kelautan
5) Strategi 5: Mempercepat pembangunan wilayah di choke points dan sabuk
batas wilayah teritorial Indonesia.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk memperkuat jati diri bangsa dan stabilitas
hankam di wilayah-wilayah perbatasan dari pengaruh ideologi, politik, ekonomi,

106
sosial, dan budaya negara asing/negara tetangga. Sasaran yang hendak dicapai
adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan lingkungan yang kondusif di
sekitar wilayah perbatasan negara.

d. Strategi untuk Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy):


1) Strategi 1: Menciptakan iklim investasi usaha di bidang kelautan yang
kondusif dan efisien.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk menarik minat para investor, utamanya investor
dalam negeri, untuk berinvestasi di bidang kelautan. Adapun sasaran yang hendak
dicapai adalah :
i. Pemanfaatan sumberdaya laut nasional yang optimal dan sesuai dengan
kapasitas daya dukungnya.
ii. Berkembangnya industri kelautan nasional.
2) Strategi 2: Menciptakan sistem fiskal dan moneter yang mendukung
pengembangan usaha bidang kelautan.
Strategi ini bertujuan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan industri
kelautan nasional, mulai dari hulu hingga hilir. Sasaran yang ingin dicapai adalah
industri kelautan nasional tumbuh kuat dan memiliki daya saing yang baik.
3) Strategi 3: Membangun kawasan ekonomi kelautan secara terpadu dengan
menggunakan prinsip-prinsip blue economy di wilayah pesisir dan perairan
laut Indonesia.
Tujuan dari strategi ini adalah jaminan kepastian tempat pengembangan usaha
bidang kelautan yang efisien, aman, dan berkelanjutan serta berbasis lingkungan
atau ekosistem. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah tumbuhnya sentra-
sentra pengembangan usaha atau bisnis bidang kelautan yang inovatif, terintegrasi,
efisien, nir-limbah, berdaya saing, dan berjalan sinergis dengan sektor dan bidang
lain yang terkait.
4) Strategi 4: Mengoptimalkan penyediaan fasilitas infrastruktur yang
dibutuhkan dunia usaha di bidang kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mendukung dan mempermudah usaha bidang
kelautan tumbuh dan berkembang dengan stabil, efisien dan berkelanjutan.
Sasaran yang hendak dicapai adalah terpenuhinya fasilitas infrastruktur dasar
(seperti: energi listrik, air bersih, bahan bakar minyak/BBM atau substitusinya,
aksesibilitas, dan pelabuhan) untuk pengembangan usaha bidang kelautan.

107
5) Strategi 5: Mengembangkan dunia usaha di bidang kelautan nasional yang
berdaya saing dan bertaraf internasional.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk menumbuhkan dan membangun usaha atau
industri kelautan di Indonesia guna menggerakkan perekonomian, memperluas
lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan nasional. Sasaran yang hendak
dicapai adalah meningkatnya kontribusi bidang kelautan terhadap pertumbuhan
ekonomi, PDB, penyerapan tenaga kerja dan tingkat kesejahteraan nasional.
6) Strategi 6: Mengembangkan kemitraan usaha bidang kelautan yang saling
menguntungkan antara usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan
usaha besar.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mempercepat tumbuhnya usaha bidang
kelautan secara merata dan berkembang secara sinergis untuk saling melengkapi
serta saling menguntungkan dalam upaya mengembangkan usaha bidang kelautan
yang terpadu dan efisien. Sasaran yang hendak dicapai adalah usaha bidang
kelautan yang tumbuh dan berkembang luas di masyarakat serta memberikan
manfaat yang nyata dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.
7) Strategi 7: Mengembangkan kota bandar dunia
Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengoptimalkan letak posisi strategis Bangsa
Indonesia yang berada di tengah persimpangan jalur penting perdagangan dunia
(dilalui 40% kapal-kapal perdagangan internasional) dengan mengembangkan
kota-kota pantainya sebagai kota bandar dunia untuk kawasan industri dan
perdagangan internasional. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah:
i. Tumbuh pesatnya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir dan sekitarnya.
ii. Terciptanya banyak lapangan kerja.
iii. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat pesisir
8) Strategi 8: Memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan
bagi sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah agar sumber daya manusia kelautan Indonesia,
utamanya tenaga kerja yang bekerja di industri-industri kelautan nasional, mem-
peroleh akses kesempatan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan yang
layak. Sekurang-kurangnya tingkat pendapatannya bisa mencukupi kebutuhan
minimum untuk pangan dan sandang, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan
di lingkungan tempat tinggalnya. Sasaran yang hendak dicapai adalah bidang
kelautan memberikan kontribusi nyata bagi berkurangnya jumlah kemiskinan di
Indonesia.

108
9) Strategi 9: Mengembangkan kerjasama ekonomi dengan negara-negara mitra
dagang bidang kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk menyediakan jaminan kepastian pasar global
bagi industri kelautan nasional. Sasaran yang hendak dicapai adalah kuatnya posisi
tawar industri kelautan nasional dalam perdagangan internasional.

e. Strategi untuk Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy):


1) Strategi 1: Memperkuat dan mengembangkan Wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS), pesisir, laut dan pulau-pulau kecil melalui pengelolaan secara terpadu
dan berkelanjutan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk membangun pola-pola pengelolaan wilayah
DAS, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang saling mendukung dan terpadu serta
harmoni dengan lingkungan daratan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah:
i. Terwujudnya sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terpadu
dan berkelanjutan.
ii. Terbentuknya wilayah pesisir hijau yang serasi dan harmoni dengan
lingkungan.
2) Strategi 2: Memperkuat konservasi ekosistem laut.
Strategi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dan sekaligus
memelihara kelestarian sumberdaya hayatinya. Sasaran yang ingin dicapai adalah
terlindungnya wilayah pesisir dari gangguan atau kerusakan alam dan memberikan
manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat.
3) Strategi 3: Mencegah, menanggulangi. dan pemulihan sumber pencemaran
dan dampak pencemaran, bencana, dan perubahan iklim.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk memelihara dan menjaga lingkungan laut
bagi kehidupan dan kesehatan manusia, baik saat ini maupun yang akan datang,
serta untuk meminimalisir resiko bencana yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir
dan laut. Wilayah Indonesia sebagian besar adalah laut, sehingga bila lingkungan
laut tersebut terpelihara dan terjaga dengan baik, maka akan menunjang sumber
kehidupan yang masyarakat pesisir secara berkelanjutan. Selain itu, juga akan
menjadi sumber makanan sehat dan obat-obatan bagi manusia. Jadi sudah
semestinya laut menjadi sumber kehidupan bangsa untuk masa kini dan masa
depan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah meningkatnya kesejahteraan
dan kualitas hidup serta keselamatan rakyat Indonesia, utamanya masyarakat
pesisir.

109
4) Strategi 4: Mengembangkan tata guna dan infrastruktur pesisir dan laut
(coastal and sea use) yang berkelanjutan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk menerapkan perencanaan sistem tata guna
dan infrastruktur pesisir dan laut yang sinergi dan harmoni dengan lingkungannya.
Sasaran yang hendak dicapai adalah terciptanya keterpaduan dalam perencanaan
tata ruang antara satu sektor dengan sektor lainnya tanpa mengorbankan
kelestarian lingkungan pesisir dan laut.
5) Strategi 5: Mengembangkan kerjasama bilateral, regional dan global di bidang
pengelolaan lingkungan kelautan.
Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan laut
dengan ruang lingkup yang lebih luas dan terpadu. Sasaran yang hendak dicapai
adalah terjaga dan lestarinya kawasan ekosistem laut secara utuh dan menyeluruh
dengan pendanaan secara bersama.

4. Upaya-Upaya

110
Tabel 6.1
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy)

Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
Kebijakan Kelautan Ocean Culture 1. Membangkitkan a) Mensosialisasikan nilai-nilai Kemdikbud dan Jangka
Indonesia untuk Policy: wawasan dan budaya bahari Indonesia kepada DEKIN Menengah
pemanfaatan potensi Menjadikan laut budaya bahari masyarakat umum untuk
kelautan dalam sebagai ruang hidup meningkatkan minat dan apresiasi
mengakselerasi dan ruang juang, nasional dalam pembangunan
pembangunan tempat berkarya, kelautan
nasional melalui bekerja, berolah
kebijakan kebudayaan raga, bersukaria b) Membangun museum-museum Kemdikbud, Jangka
kelautan (ocean dan masyarakat IPTEK Kelautan dan Budaya Kemnegristek, dan Panjang
culture policy), Indonesia mencintai, Bahari Pemda
kebijakan tata kelola memelihara,
kelautan (ocean mengembangkan, c) Merumuskan dan mengembang- Kemdikbud, KKP, Jangka
governance policy), mengelola, meng- kan Wawasan Kelautan, yaitu Kemhub, Diklat Kelautan Pendek
kebijakan keamanan olah dan meman- Wawasan Bahari Ormas/LSM Kelautan s/d
maritim (maritime faatkan sumber Lembaga Keagamaan Menengah
security policy), daya laut secara
kebijakan ekonomi bertanggungjawab d) Merumuskan Wawasan Bahari
kelautan (ocean dan berkelanjutan sebagai Geo-life bangsa Indonesia
economic policy), dan disamping Wawasan Nusantara
kebijakan lingkungan sebagai Geo-politik
laut (marine
environment policy), e) Mengembangkan Budaya Bahari
guna mewujudkan menjadi bagian dari Budaya
negara kepulauan Nasional
yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasis f) Memasukkan Wawasan Bahari, Kemdikbud, KKP Jangka
kepentingan kearifan lokal, adat istiadat Bahari Kemhub, Diklat Pendek s/d
nasional. dan Budaya Bahari ke dalam silabi Kelautan Ormas/ Jangka
Diklatnas LSM Kelautan Panjang
g) Memelihara peninggalan Budaya
Bawah Air melalui Reservasi,
Restorasi dan Konservasi

111
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
h) Menyelenggarakan Pemilihan Kemdikbud, Jangka
Putra Putri Bahari setiap tahun Kemparekraf, Pendek
menjadi bagian acara peringatan Kempora
Hari Nusantara
2. Harmonisasi unsur- a) Melakukan penelitian dan men- Kemdikbud, LIPI, Jangka
unsur kearifan lokal dokumentasikan tentang dan Perguruan Tinggi Menengah
kedalam sistem kebudayaan kelautan dan nilai-
pengelolaan dan nilai budaya tradisional
pemanfaatan masyarakat maritim
sumber daya
kelautan b) Memasukan unsur-unsur kearifan Kemdikbud, Lembaga Jangka
lokal yang termuat dalam tradisi- adat dan Lembaga- Pendek s/d
tradisi lokal ke dalam sistem lembaga swadaya Jangka
pendidikan formal dan informal masyarakat Panjang
c) Menjadikan pelestarian
lingkungan laut sebagai bagian
dari budaya bahari
3. Mempertahankan a) Melakukan penelitian dan men Kemdikbud, LIPI, dan Jangka
dan mengembang- dokumentasikan kota-kota Perguruan Tinggi Menengah
kan kota-kota bandar/pelabuhan lama/tua yang
pelabuhan sejarah menjadi bukti sejarah kejayaan
bahari nusantara
b) Merevitalisasi kota-kota bandar/ Kemdikbud, Kem-PU Jangka
pelabuhan sejarah dan Pemda Panjang
4. Meningkatkan dan a) Membentuk Lembaga Diklat yang Kemdikbud, Kemhub, Jangka
Memberdayakan berkualitas sesuai dengan KKP, Pendek s/d
sumberdaya lapangan pekerjaan Panjang
manusia (SDM)
Bahari b) Merumuskan Standar kompetensi
SDM Bahari
c) Memasukkan kurikulum materi
kelautan ke setiap Diklatluh
112
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
d) Membangun Universitas Kelautan
dan Institut Teknologi Maritim
e) Mengembangkan program bea Kemdikbud Jangka
siswa khusus di bidang kelautan Panjang
f) Membentuk Ocean Center di Instansi Pemerintah Jangka
Pusat, Regional dan Kab/Kota yang terkait,Swasta, Pendek
yang anggotanya pemerintah, Diklat kelautan, dan s/d
diklat, swasta dan masyarakat Tokoh masyarakat Panjang
kelautan
g) Menyediakan SDM Bahari yang Kemdikbud,KKP, Jangka
tangguh dan bertaraf internasional Kemhub, Pendek
untuk memenuhi kebutuhan Kemnakertrans s/d
nasional dan internasional Panjang
5. Meningkatkan dan a) Menyusun rencana induk riset Kemnegristek, Jangka
menguatkan kelautan nasional dan meng- Kemdikbud, LIPI, Pendek
peranan IPTEK dan integrasikannya dengan kegiatan Perguruan Tinggi,
Riset Kelautan industri kelautan nasional dan Asosiasi
b) Membangun pusat-pusat riset Kemnegristek, Jangka
kelautan tropis yang merupakan Kemdikbud, LIPI, dan Panjang
center of excelences dunia Perguruan Tinggi
c) Meningkatan sarana dan pra- Kemnegristek, Jangka
sarana riset dan iptek kelautan Kemdikbud, dan LIPI Panjang
d) Memacu pemanfaatan dan Kemkominfo dan Jangka
penerapan hasil-hasil riset Kemnegristek Panjang
kelautan yang telah dihasilkan
melalui program difusi dan
diseminasi

113
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
e) Menguasai IPTEK kelautan Kemnegristek, LIPI, Jangka
KKP, Kemdikbud, Pendek
Kemhub, Kemkominfo s/d
Pemda, Perguruan Panjang
Tinggi, dan Industri
maritim
f) Menyelenggarakan Riset
Kelautan
g) Membangun Sistem Informasi
Maritim Nasional
h) Mengintegrasikan kegiatan
Riset dan IPTEK kelautan
dengan kegiatan industri
i) Mengadakan kerjasama antar
lembaga kelautan, baik nasional
maupun internasional

114
Tabel 6.2
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy)

Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
Kebijakan Kelautan Ocean 1. Menata sistem a) Melakukan penelusuran, DEKIN, KKP Jangka
Indonesia untuk Governance hukum nasional di inventarisasi, dsn identifikasi Kemkumham, Menengah
pemanfaatan potensi Policy: bidang Kelautan peraturan perundang-undangan dan DPR
kelautan dalam Menciptakan sistem di bidang kelautan
mengakselerasi tata kelola kelautan
pembangunan nasional yang b) Melakukan penelitian/pengkajian: DEKIN, KKP, Jangka
nasional melalui komprehensif, - Pengaturan hukum yang perlu Kemkumham, Menengah
kebijakan kebudayaan terintegrasi, efektif, diciptakan (belum ada peng- dan DPR
kelautan (ocean dan efisien aturannya)
culture policy), - Pengaturan hukum yang
kebijakan tata kelola memerlukan aspek kelautan
kelautan (ocean nya (belum ada aspek
governance policy), kelautannya)
kebijakan keamanan - Pengaturan hukum yang
maritim (maritime memerlukan harmonisasi/
security policy), sinkronisasi ( mencegah
kebijakan ekonomi tumpang tindih/bertentangan)
kelautan (ocean
economic policy), dan 2. Mempercepat ter- a) Mensinkronkan konsep Rancangan DEKIN dan DPD Jangka
kebijakan lingkungan bentuknya peraturan Undang-Undang (RUU) Kelautan Pendek
laut (marine perundang-undangan DPD dan DEKIN
environment policy), yang mengatur
guna mewujudkan bidang kelautan b) Mengupayakan RUU Kelautan DEKIN, KKP, Jangka
guna mewujudkan secara kompre- masuk prioritas Prolegnas 2013 Kemkumham, dan DPR Pendek
negara kepulauan hensif dan terpadu
yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasis 3. Mengimplementasi- a) Menyelesaikan batas wilayah laut/ KKP, DEKIN, Jangka
kepentingan kan dan menindak maritim antara lain Zona Kemkumham, Kemlu, Menengah
nasional. lanjuti Konvensi PBB Tambahan, Landas Kontinen Kemhan, dan Mabes TNI
tentang Hukum Laut
Internasional 1982 b) Menyelesaikan Delimitasi wilayah
(UNCLOS 1982) laut dengan negara tetangga a.l.

115
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
Singapura, Malaysia, India,
Timor Leste, Palao
c) Merumuskan pengaturan hak
dan kewajiban Indonesia di Laut
Bebas
d) Memperkuat kerjasama dengan
International Seabed Authority
dalam rangka Pemanfaatan
International Seabed Area
4. Menuntaskan a) Mengakselerasi penyelesaian Kemlu, Kemhan, Jangka
penyelesaian hak & penetapan batas maritim dengan Setneg, dan Menengah
kewajiban dalam negara-negara tetangga Kemkumham
mengelola wilayah
perbatasan maritim b) Menuntaskan penataan nama- Kemhan, TNI AL, Jangka
berdasarkan nama geografis (toponimi) maritim Setneg, dan Kemlu Menengah
ketentuan UNCLOS
1982 c) Mengelola wilayah perbatasan BNPP, KKP, Jangka
maritim dan pulau-pulau kecil Kemparekraf Menengah
terluar secara efektif dan efisien
5. Membentuk sistem a) Meningkatkan dan memperkuat Presiden dan DEKIN Jangka
kelembagaan peran dan fungsi DEKIN sebagai Pendek
pemerintahan di Lembaga Pemerintah Non
bidang kelautan Kementerian bidang Kelautan
yang terintegrasi, (National Ocean Office dan
komprehensif, dan Steering Committee)
berwenang untuk
membuat peren- b) Menata Tata Pemerintahan Kemdagri dan DEKIN Jangka
canaan dan meng- Kelautan antar strata (Pusat dan Menengah
evaluasi implementasi Daerah)
program-program
pembangunan
kelautan nasional
secara keseluruhan

116
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
6. Membangun sistem a) Membangun sistem tata Kemdagri, Jangka
tata kelola kelautan pemerintahan di bidang kelautan Kemnegpan, Menengah
Indonesia yang baik, yang efisien, komprehensif dan DEKIN, dan Pemda
transparan, adil, dan terintegrasi, baik di tingkat pusat
bertanggungjawab. maupun daerah.
b) Menyusun rencana induk penge- BAPPENAS dan Jangka
lolaan darat, pesisir, dan laut BAPPEDA Menengah
dalam kesatuan Tata Ruang
Nasional
7. Meningkatkan a) Menyusun dan menyempurnakan DPR, Setneg, Jangka
pengelolaan aset peraturan yang menjadi landasan Kemkumham, dan Panjang
Negara di bidang legal bagi kerjasama sinergis dan Pemda
Kelautan saling menguntungkan dalam
memanfaatkan sumber daya laut
b) Menyusun dan menyempurnakan Kemkeu, Kem-ESDM, Jangka
sistem bagi hasil pemanfaatan Kemhub, KKP, Menengah
sumber daya laut milik Negara Kemneg-BUMN,
yang memberikan manfaat Kemparekraf
maksimal untuk kemakmuran
bangsa dan rakyat Indonesia
c) Menyempurnakan sistem Kemkeu, Kem-ESDM, Jangka
manajemen dan pelayanan dalam Kemhub, KKP, Menengah
pengelolaan aset/ kekayaan Kemneg-BUMN,
Negara di bidang Kelautan Kemparekraf
8. Memperkuat a) Mendirikan pusat pendidikan dan Kemdikbud dan Jangka
sumberdaya manusia pelatihan ketenagakerjaan untuk Kemenakertrans Panjang
untuk menjalankan bidang pengelolaan kekayaan
fungsi-fungsi laut
pemerintahan di

117
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
bidang kelautan b) Meningkatkan kapasitas sumber Kemhub, Kem-ESDM, Jangka
yang didasarkan daya manusia di instansi KKP, Kemperin, Panjang
pada peraturan pemerintahan pusat dan daerah Kemparekraf,
perundangan baik yang terkait dengan pengelolaan Kemkeu, TNI-AL,
nasional maupun bidang kelautan dan POLRI
internasional

9. Mengefektifkan a) DEKIN mengundang secara


sistem koordinasi periodik kementerian/lembaga
dalam perencanaan, terkait dalam rangka koordinasi
pelaksanaan, bidang kelautan
monitoring dan
evaluasi kebijakan b) Menjadikan DEKIN sebagai DEKIN dan Jangka
bidang kelautan institusi terdepan dalam mem- Kementerian / Pendek
bahas isu-isu atau peristiwa Lembaga terkait
terkini di bidang kelautan

118
Tabel 6.3
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy)

Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
Kebijakan Kelautan Maritime Security 1. Membentuk Badan a) Mempercepat terbentuknya Badan Kemenkopolhukam, Jangka
Indonesia untuk Policy : Keamanan Laut Keamanan Laut Indonesia yang TNI AL, POLRI, Pendek
pemanfaatan potensi Menegakkan Indonesia yang memiliki kewenangan multifungsi Kemhub, Kemkeu, s/d
kelautan dalam kedaulatan dan profesional dalam maritime law enforcement, KKP, Basarnas, dan Jangka
mengakselerasi hukum di laut search and rescue at sea, Kemnegpan Menengah
pembangunan yuridiksi nasional, environment protection, shipping
nasional melalui demi terwujudnya safety, fishery protection, dan
kebijakan kebudayaan kesatuan wilayah custom and immigration.
kelautan (ocean NKRI, serta ter-
culture policy), jaminnya keamanan b) Menyusun sistem manajemen Kemenkopolhukam, Jangka
kebijakan tata kelola dan keselamatan operasi Badan Keamanan Laut TNI AL, POLRI, Pendek
kelautan (ocean pelayaran, dan Indonesia yang efektif dan efisien Kemhub, Kemkeu,
governance policy), keamanan sumber KKP, dan Basarnas
kebijakan keamanan daya hayati dan
maritim (maritime sumber daya alam 2. Meningkatkan a) Memperkuat dan memodernisasi Kemhan, TNI AL, Jangka
security policy), laut yang kuat dan kemampuan dan sistem ALUTSISTA di laut dan POLRI Panjang
kebijakan ekonomi terkoordinasi kinerja pertahanan
kelautan (ocean dan keamanan b) Membangun Pangkalan Utama Kemhan, TNI AL, Jangka
economic policy), dan secara terpadu di dan Pangkalan Aju serta lapangan dan TNI AU Menengah
kebijakan lingkungan seluruh wilayah laut terbang untuk mendukung keter- s/d
laut (marine dalam yurisdiksi paduan operasi di perbatasan Panjang
environment policy), nasional dan kinerja laut wilayah NKRI
guna mewujudkan keamanan di laut
guna mewujudkan lepas c) Membangun pos-pos pengawasan Kemhan, TNI AL, Jangka
negara kepulauan pada wilayah Alur Laut Kepulauan dan POLRI Menengah
yang mandiri, maju, Indonesia (ALKI).
kuat, dan berbasis d) Mengintensifkan kerjasama Kemhan, TNI AL, Jangka
kepentingan antara pemerintah pusat dengan POLRI, dan Pemda. Menengah
nasional. pemerintah daerah untuk men-
dukung dalam memenuhi sarana
dan prasarana pertahanan dan
keamanan di laut.

119
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
e) Meningkatkan kapasitas sumber Kemhan, POLRI Jangka
daya manusia kelautan, utamanya dan Pemda Panjang
nelayan, melalui kerjasama
pendidikan dan pelatihan
hankam di laut
f) Menghadirkan secara terus Kemhan, Mabes TNI, Jangka
menerus diseluruh wilayah rawan TNI AL, TNI AU Pendek
di perbatasan oleh satuan tugas s/d
TNI AL, TNI AU dan Bakamla Jangka
untuk mengadakan operasi Panjang
pengawasan dan pencegahan
pelanggaran wilayah perbatasan,
sesuai dengan tingkat kerawanan
ancaman
g) Memadukan operasi pengawasan
dan pencegahan pelanggaran
bersama-sama dengan satuan-
satuan Bakamla, dengan
demikian kegiatan diatas akan
dapat menjamin kehadiran secara
terus menerus dari ke 3 satuan
diatas di pulau-pulau kecil ter-
depan, yang akan dapat mem-
berikan rasa aman dan bangga
terhadap NKRI
h) Melaksanakan latihan bersama
atau latihan gabungan dengan
Angkatan Laut negara tetangga
di wilayah perbatasan guna
mengurangi kemungkinan konflik
i) Mengembangkan secara terus
menerus Satuan Tugas antara
TNI AL, TNI AU dan Bakamla di

120
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
setiap pelaksanaan operasi di
perbatasan laut untuk mewujud-
kan keterpaduan dalam upaya
menjaga kedaulatan, keutuhan
wilayah NKRI.
j) Menyiapkan kekuatan pemukul
reaksi cepat dengan kekuatan
Tri Matra terpadu sebagai kekuatan
terpusat dalam rangka antisipasi
terhadap berbagai perkembangan
lingkungan strategik yang urgen
diwilayah perbatasan maupun
wilayah kerawanan yang tinggi
3. Meningkatkan peran Meningkatkan peran aktif Indonesia Kemlu, Kemhan, TNI Jangka
aktif dalam kerja- dalam kerjasama lembaga keamanan dan POLRI Menengah
sama pertahanan laut di berbagai forum regional dan
dan keamanan internasional, seperti ARF (Asean
bidang kelautan di Regional Forum), ADMM ( Asean
tingkat regional dan Defence Minister Meeting), ASPC
internasional (Asean Political and Security Council),
PSI (Prolifereaction Security Initiative)
dan CSI (Container Security Initiative)
4. Mengembangkan a) Mempercepat terbentuk dan Menko Polkam,TNI AL, Jangka
Sistem Monitoring, berfungsinya sistem MCS yang POLRI, Kemkumham, Pendek
Controling, and terintegrasi oleh : Kemhub, Kemkeu, s/d
Surveilance (MCS) - Seluruh unsur-unsur TNI AL, KKP Jangka
dan Penanganan TNI AU dengan komando Panjang
Pelanggaran di Mabes TNI AL dan TNI AU
laut yang efektif secara terintegrasi dalam
penyelenggaraan fungsi
pertahanan
- berfungsinya sistem MCS ter-
integrasi dari seluruh unsur-

121
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
unsur Bakamla dengan pusat
komando di Bakamla
- berfungsinya MCS terintegrasi
yang mencakup Mabes TNI,
Mabes Al, Mabes AU, Mabes AD,
Mabes Polri, Bakamla,Menham
dan Menkopolkam dalam
wujud MCS Nasional
- Diharapkan dengan terwujud-
nya sistem MCS nasional ter-
integrasi baik disektor
pertahanan dan keamanan
serta keselamatan dilaut maka
akan dapat dicapai perwujudan
sistem pengawasan,
pengendalian , pencegahan
seluruh ATHG di wilayah laut
Nusantara secara optimum
dan efisien
b) Meningkatkan kapasitas Kemkumham, Jangka
kelembagaan penegak hukum Kejaksaan, POLRI, Menengah
di laut dan peradilan maritim dan TNI AL.
c) Mengembangkan sistem hukum Kemkumham, Jangka
kelautan untuk negara kepulauan Kejaksaan, POLRI, Menengah
yang sesuai dengan konstitusi dan TNI AL
d) Meningkatkan kualitas dan Kemdikbud, Kemhan, Jangka
kuantitas SDM keamanan laut TNI AL dan POLRI Panjang
dalam rangka menjaga keamanan
dan penegakan hukum di wilayah
perairan laut Indonesia
e) Mengembangkan proses peradilan Menko Polkam,TNI AL, Jangka
satu atap untuk mempercepat POLRI Kemkumham, Pendek
penanganan pelanggaran di laut Kemhub, Kemkeu, KKP s/d

122
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
di kota- kota pantai terdekat Jangka
dengan wilayah kerawanan Panjang
f) Memberdayakan potensi Kemhan, POLRI Jangka
masyarakat sipil untuk mendukung dan Pemda Menengah
pengawasan keamanan maritim
di wilayah sekitarnya
5. Mempercepat a) Mengembangkan armada Kemhan dan TNI AL Jangka
pembangunan pengawasan di wilayah maritime Panjang
wilayah di choke boundary dan 4 choke points di
points dan sabuk wilayah perairan Indonesia
batas wilayah
teritorial Indonesia b) Mempercepat penetapan Kemhan, Setneg dan Jangka
Peraturan Pemerintah tentang Kemkumham Pendek
Security Belt

123
Tabel 6.4
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy)

Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
Kebijakan Kelautan Ocean Economic 1. Menciptakan iklim a) Menyederhanakan/ Kemdag, Kemperin, Jangka
Indonesia untuk Policy: investasi usaha di menyempurnakan peraturan yang KKP, Kemhub, Pendek
pemanfaatan potensi Mewujudkan industri bidang kelautan menyangkut perizinan usaha Kemparekraf, Kem-
kelautan dalam kelautan yang yang kondusif dan bidang kelautan ESDM, dan Pemda
mengakselerasi kokoh, mandiri, efisien
pembangunan berdaya saing, dan b) Merealisasikan sistem pelayanan Kemdag, Kemperin, Jangka
nasional melalui terkemuka di dunia, terpadu untuk penanaman modal KKP, Kemhub, Pendek
kebijakan kebudayaan serta memberikan usaha bidang kelautan dengan Kemparekraf, Kem-
kelautan (ocean nilai tambah pembagian kewenangan antara ESDM, dan Pemda
culture policy), ekonomi yang tinggi pusat dan daerah yang jelas
kebijakan tata kelola guna mempercepat
kelautan (ocean pertumbuhan c) Memberikan insentif perpajakan Kemkeu Jangka
governance policy), ekonomi nasional Pendek
kebijakan keamanan
maritim (maritime d) Memberikan jaminan keamanan POLRI, TNI AL, Jangka
security policy), dan aset usaha, serta Kemkumham, Pemda Pendek
kebijakan ekonomi perlindungan HAM.
kelautan (ocean
economic policy), dan e) Memperbaiki sistem distribusi Kemdag, Kemhub, Jangka
kebijakan lingkungan logistik yang efisien dan terpadu dan Pemda Menengah
laut (marine
environment policy), 2. Menciptakan sistem a) Mendorong kebijakan pemerintah Kemkeu, BI, Lembaga Jangka
guna mewujudkan fiskal dan moneter dan lembaga keuangan untuk perbankan dan Pendek
guna mewujudkan yang mendukung membiayai pengembangan keuangan lainnya
negara kepulauan pengembangan industri maritim yang efisien dan
yang mandiri, maju, usaha bidang berdaya saing
kuat, dan berbasis kelautan
kepentingan b) Mengembangkan sistem pem- Kemkeu, BI, dan Jangka
nasional. biayaan bersama di bidang Lembaga perbankan Menengah
kelautan melalui konsep public- dan keuangan lainnya
private-people partnership

124
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
c) Membentuk Indonesia Maritime Kemkeu, BI, dan Jangka
Fund Asosiasi Menengah
3. Membangun a) Mengkoordinasikan dan meng- Kemdagri, Kem-PU, Jangka
kawasan ekonomi harmonikan perencanaan dan Pemda Menengah
kelautan secara pembangunan dan pemanfaatan
terpadu dengan kawasan pesisir dan laut dengan
menggunakan tata ruang daratan sesuai kaidah
prinsip-prinsip blue ekosistem
economy di wilayah
pesisir dan perairan b) Menyusun cetak biru kawasan Kemdagri, KKP, Jangka
laut Indonesia pengembangan ekonomi kelautan Kem-ESDM, Kemhub, Menengah
nasional terpadu dengan model Kem-PU, Kemparekraf,
pendekatan blue economy Kemhan, Kemhut,
dan Pemda
4. Mengoptimalkan a) Meningkatkan pembangunan Kem-PU, Kem-ESDM, Jangka
penyediaan fasilitas infrastruktur dasar/primer secara Kemhub, BAPPENAS, Panjang
infrastruktur yang terpadu (seperti: penyediaan dan Pemda
dibutuhkan industri energi dan air bersih, fasilitas
kelautan keamanan dan keselamatan
laut, sarana penghubung, dll)
b) Menciptakan iklim yang kondusif Kemkeu, BI, BUMN, Jangka
untuk pihak swasta dalam dan Swasta Menengah
membangun infrastruktur sekunder
(yang bersifat komersial)
5. Mengembangkan a) Menyusun blueprint pembangunan BAPPENAS, Kemhub, Jangka
dunia usaha di industri kelautan nasional yang Kemperin, KKP, Pendek
bidang kelautan komprehensif dan terintegrasi Kemparekraf, Kem-
nasional yang ber- ESDM, Kem-PU, dan
daya saing dan ber- Kemneg-BUMN.
taraf internasional
b) Melaksanakan penegakan asas Kemhub, Kemperin, Jangka
cabotage 100% Kemdag, Kemneg- Menengah
BUMN, dan Asosiasi
125
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
c) Meningkatkan peran armada Kemhub, Kemdag, Jangka
pelayaran nasional sebagai dan Asosiasi Panjang
pemain utama dalam kegiatan
ekspor-impor
d) Mengembangkan sistem Kemhub dan Kemneg- Jangka
kepelabuhanan yang efisien dan BUMN (Pelindo dan Menengah
sesuai dengan standar Perum Pelabuhan
internasional Perikanan)
e) Mengembangkan sistem Kemhub, Pelindo, Jangka
manajemen transportasi laut INSA, dan Kem-PU Menengah
yang efektif dan efesien serta
terpadu dengan sistem
transportasi darat dan udara
f) Memperkuat pelayaran rakyat Kemhub, Kemkeu, Jangka
melalui peningkatan efisiensi dan dan Asosiasi Panjang
keselamatan guna mendukung
sistem logistik nasional di
wilayah-wilayah remote
g) Menjalin keterpaduan input, proses Kemperin, Kemneg- Jangka
dan output industri maritim dalam BUMN, Swasta Menengah
rangka membangun kekuatan
struktur ekonomi industri maritim
h) Membangun sistem produksi Kemperin, Kemneg- Jangka
dalam industri maritim yang ber- BUMN, Kemhub, KKP, Panjang
orientasi pada nilai tambah dari Kem-ESDM,
setiap rangkaian proses Kemparekraf
produksi yang efesien
i) Mengintegrasikan output dari DEKIN, BAPPENAS
industri maritim dalam sistem Kemhub, Kemperin,
perekonomian nasional sehingga Kemneg-BUMN
mampu meningkatkan per-
tumbuhan ekonomi nasional

126
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
j) Mempercepat kemampuan Kemperin, Kemneg- Jangka
stakeholder industri maritim dalam BUMN, Kemkeu, dan Menengah
mengembangkan kapasitas BI
usaha dan sinergi antar aktivitas
ekonomi
k) Menciptakan rantai pemasaran Kemperin, KKP, Kemlu, Jangka
produk industri maritim yang Kemdag, Kemneg- Menengah
efesien dan adil serta memiliki BUMN, Kemenegkop
daya saing global & UKM
l) Mengedepankan peran industri Kemenperind, KKP, Jangka
maritim nasional dalam memenuhi Kemlu, Kemenristek, Pendek
kebutuhan produk-produk industri Kemdag, Kemenkop
maritim sehingga mampu men- & UKM
ciptakan industri yang tangguh
m) Mengembangkan dan memper- Kemperin, Kemdag, Jangka
kuat industri galangan kapal Kemkeu, dan Asosiasi Panjang
dalam negeri
n) Mengoptimalkan dan memper- KKP, Kemperin, Jangka
kuat usaha dan industri perikanan Kemdag, Kemkeu, Menengah
tangkap yang terpadu, efisien, dan Asosiasi
dan berkelanjutan sesuai dengan
kaidah CCRF
o) Mengembangkan dan memper- KKP, Kemperin, Jangka
kuat usaha dan industri perikanan Kemdag, Kemkeu, Menengah
budidaya yang terpadu, efisien, dan Asosiasi
dan berkelanjutan sesuai dengan
kaidah CCRF
p) Mengembangkan dan memper- KKP, Kemperin, Jangka
kuat usaha dan industri peng- Kemdag, Kemkeu, Menengah
olahan hasil perikanan yang dan Asosiasi
efisien dan terpadu dengan
perikanan tangkap dan budidaya

127
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
q) Memperkuat sistem produksi dan KKP, Kemperin, Jangka
pemasaran serta manajemen Kemdag, Kemkeu, Menengah
usaha perikanan dan Asosiasi
r) Mengembangkan dan memper- KKP, Kemperin, Jangka
kuat usaha dan industri peng- Kemdag, Kemkeu, Menengah
olahan hasil laut non-ikan yang dan Asosiasi
efisien dan berkelanjutan
s) Mengembangkan dan memper- KKP, Kemperin, Jangka
kuat usaha dan industri garam Kemdag, Kemkeu, Menengah
dan mineral laut lainnya secara dan Asosiasi
efisien dan berkelanjutan
t) Mengembangkan dan memper- Kemparekraf, KKP, Jangka
kuat industri pariwisata bahari Kemhub, dan Menengah
yang berkelas dunia Asosiasi
u) Mengembangkan beberapa lokasi Kemhub, Jangka
Port of Entry untuk wisata bahari Kemparekraf, Menengah
yang disinergikan dengan pengem- dan Asosiasi
bangan kepelabuhanan nasional
v) Mengembangkan sistem Kemkeu dan Jangka
pelayanan wisata bahari yang Kemparekraf Menengah
kondusif melalui deregulasi CAIT
(clearrance approval for Indonesian
territory), CIQP (custom, immigration,
quarantine, and port clearance),
dan perizinan terpadu
w) Meningkatkan promosi wisata Kemparekraf, KKP, Jangka
secara efektif dan efisien di dalam dan Asosiasi Menengah
maupun diluar negeri
x) Mengembangkan kapasitas Kem-ESDM, Kemperin, Jangka
nasional dalam pengelolaan Kemneg-BUMN, Panjang
energi dan sumberdaya mineral Perguruan Tinggi,
Swasta

128
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
y) Mengintegrasikan kebijakan Kem-ESDM, Kemperin, Jangka
pengelolaan dalam mendorong Kemneg-BUMN, Pendek
usaha dibidang energi dan Kemkeu, KLH
sumberdaya mineral yang
kompetitif
z) Mengembangkan industri energi Kem-ESDM, Kemperin, Jangka
laut (tenaga arus, OTEC, dan KKP, Perguruan Tinggi, Panjang
lainnya) dan Investor/Pengusaha
aa) Mengembangkan industri Kemnegristek, Kemperin, Jangka
bioteknologi kelautan KKP, Perguruan Tinggi, Panjang
dan Investor/
Pengusaha
bb) Mengembangkan industri Kemnegristek, Kemperin, Jangka
farmasi laut KKP, Kemenkes, Panjang
Perguruan Tinggi, dan
Investor/ Pengusaha
cc) Mengembangkan dan memper- Kemhan, Kemnegristek, Jangka
kuat industri strategis untuk per- Kemperin, TNI dan Panjang
tahanan dan keamanan laut POLRI, dan BUMN
dd) Mengharmoniskan perencanaan Kem-PU, BAPPENAS, Jangka
dan implementasi serta peng- Kemhub, Pelindo, Pendek
elolaan pembangunan sektor KKP, Kemparekraf,
bangunan kelautan antara pusat KLH, Pemda
dan daerah sehingga dicapai
efisiensi dan meningkatkan daya
saing ekonomi nasional
ee) Mengembangkan standar Kem-PU, Kemhub, Jangka
bangunan kelautan yang sesuai Pelindo, KKP, Panjang
dengan kebutuhan nasional dan Kemparekraf, KLH,
memenuhi kriteria internasional Pemda
serta mempertimbangkan aspek
lingkungan

129
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
ff) Mendayagunakan potensi sektor Kemparekraf, KKP, Jangka
jasa kelautan secara efektif dan Kemperin, KLH, Panjang
efesien melalui pengelolaan ber- Kemdikbud, KemenPU,
basiskan iptek dan kelestarian Kemenristek, Pemda
lingkungan laut
gg) Mengembangkan industri jasa Kemparekraf, KKP, Jangka
kelautan melalui kebijakan yang Kemperin, KLH, Panjang
komprehensif dan kondusif Kem-PU, Pemda
sehingga peran sektor jasa
kelautan meningkat
6. Mengembangkan a) Menyempurnakan mekanisme Kemneg Kop & UKM, Jangka
kemitraan usaha dan peraturan yang berkaitan KKP, Kemparekraf, Pendek
bidang kelautan dengan pola kemitraan di bidang Kemperin, Kemdag,
yang saling meng- kelautan dan Asosiasi
untungkan antara
usaha mikro, kecil b) Memberikan insentif bagi pelaku Kemneg Kop & UKM, Jangka
dan menengah kemitraan Kemkeu, dan BI Menengah
(UMKM) dengan
usaha besar c) Meningkatkan peran UKM dalam Kemneg Kop & UKM, Jangka
aktivitas ekonomi kelautan Kemperin, Kemneg Menengah
BUMN, BI, KKP,
Kemhub, Kemparekraf,
d) Membangun keterpaduan Kemperin, Kemeneng Jangka
pengembangan industri maritim Kop & UKM, Menengah
melalui riset peningkatan teknologi Kemenristek
dan melibatkan sektor ekonomi
besar dan UMKM
7. Mengembangkan a) Mengembangkan beberapa kota Kem-PU, Kemhub, KKP, Jangka
kota bandar dunia pelabuhan utama di Indonesia Kem-ESDM, Pemda, Panjang
menjadi berskala internasional Swasta, dan Lembaga
yang dapat melayani kapal-kapal perbankan dan
internasional post panamax keuangan lainnya
(> 300.000 DWT), yang memiliki

130
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
kawasan industri dan perdagangan
internasional, serta kawasan
hunian internasional yang menarik,
dengan konsep penataan kota
hijau (green concept)
b) Menyiapkan sistem pengelolaan Kemkeu, Kemneg Jangka
kota bandar dunia yang efisien BUMN, dan Pemda Menengah
sebagai kawasan ekonomi khusus
yang menerapkan prinsip
perdagangan bebas, pelayanan
administrasi terpadu, dan penye-
lenggaraan manajemen usaha
dan aset dengan kaidah bisnis
8. Memperluas a) Menyusun peraturan yang terkait Kemenakertrans, Jangka
kesempatan kerja dengan sistem pengupahan atau Pengusaha Industri Pendek
dan meningkatkan gaji yang layak bagi industri Kelautan, dan Asosiasi
kesejahteraan bagi kelautan Pekerja
sumber daya
manusia (SDM) di b) Meningkatkan kualitas dan Kemdikbud, KKP, Jangka
bidang kelautan ketrampilan SDM kelautan men- Kemhub, Kemperin, Panjang
jadi tenaga profesional melalui Kemparekraf, dan
pendidikan dan pelatihan. Kem-ESDM
c) Memaksimalkan pemanfaatan Kemenakertrans, KKP, Jangka
SDM nasional dalam pengem- Kemhub, Kemperin, Menengah
bangan aktivitas ekonomi kelautan. Kemparekraf, dan
Kem-ESDM
d) Menjamin terjadinya Kemenakertrans, KKP, Jangka
kesinambungan pengembangan Kemhub, Kemperin, Panjang
profesionalisme SDM kelautan Kemparekraf, dan
dengan pasar tenaga kerja Kem-ESDM
nasional dan internasional.

131
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
9. Mengembangkan a) Mengakselerasi pengembangan Kemhub, KKP, Kemlu, Jangka
kerjasama ekonomi sistem dan prosedur Kemdag, dan Pendek
dengan negara- kepelabuhanan dan perkapalan BAPPENAS s/d
negara mitra dagang berstandar internasional melalui Jangka
bidang kelautan kerjasama dengan negara- Menengah
negara tujuan ekspor
b) Mengembangkan SDM kelautan Kemdikbud, KKP, Jangka
melalui program kemitraan Kemhub, Kemperin, Pendek
dengan negara-negara tujuan Kemparekraf, s/d
ekspor (seperti: Uni Eropa, AS, Kem-ESDM, dan Jangka
dan Jepang) BAPPENAS Panjang

132
Tabel 6.5
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy)

Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
Kebijakan Kelautan Marine 1. Menperkuat dan a) Melakukan harmonisasi hukum Bappeda (Pemda), Jangka
Indonesia untuk Environment mengembangkan dan penataan ruang/zonasi dalam DPR, Kem-PU, KLH, Pendek
pemanfaatan potensi Policy: Wilayah Daerah pengelolaan DAS, pesisir dan Kemdagri, Kemenristek,
kelautan dalam Menjadikan pesisir Aliran Sungai (DAS), laut. Kemhut, Kemkumham,
mengakselerasi dan laut Indonesia pesisir, laut dan KKP.
pembangunan sebagai tempat pulau-pulau kecil
nasional melalui hidup masyarakat melalui pengelolaan b) Meningkatkan kesadaran Bappeda (Pemda), Jangka
kebijakan kebudayaan yang sehat dan secara terpadu dan masyarakat dalam memahami Kemkominfo, Pendek
kelautan (ocean terlindung dari berkelanjutan. pengelolaan dan pelindungan Kemdikbud, Kem-PU,
culture policy), bencana, serta lingkungan yang berbasis KLH, Kemdagri,
kebijakan tata kelola sekaligus dapat ekosistem secara keberlanjutan Kemenristek, Kemhut,
kelautan (ocean memberikan man- melaui kegiatan penyuluhan, Kemkumham, KKP,
governance policy), faat yang ber- pelatihan, bimbingan teknis, Kemperin,
kebijakan keamanan kelanjutan bagi penyadaran masyarakat Kem-ESDM,
maritim (maritime masyarakat dan (pendekatan budaya lokal), papan Kemhub.
security policy), bangsanya) informasi, serta dengan men-
kebijakan ekonomi cegah pembuangan limbah atau
kelautan (ocean pun sampak ke badan sungai.
economic policy), dan
kebijakan lingkungan c) Menginventarisasi data, sistem Bappeda (Pemda), Jangka
laut (marine informasi dan penelitian di bidang Kem-PU, KLH, Pendek
environment policy), lingkungan hidup melalui kegiatan Kemdagri,
guna mewujudkan penguatan basis data, penguatan Kemenristek,
guna mewujudkan sistem informasi, dan penguatan Kemhut, KKP, ESDM,
negara kepulauan riset terkait dalam rangka PT.
yang mandiri, maju, mengembangkan model sistem
kuat, dan berbasis pengelolaan terpadu DAS, pesisir
kepentingan dan laut pada wilayah yang kritis.
nasional.
d) Mengintegrasikan kajian-kajian Bappeda (Pemda), Jangka
tentang daya dukung dan daya Kem-PU, KLH, Pendek
tampung suatu kawasan dan Kemdagri,

133
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
menyusun strategi pengelolaan Kemenristek,
limbah dalam rangka peningkatan Kemhut, KKP.
pengelolaan limbah dengan
mempertimbangkan interkoneksi
laut dan daratan.
e) Menerapkan blue economy Semua sektor Jangka
dengan memperhitungkan daya Pendek/
dukung dan daya tampung Menengah/
kawasan. Panjang
f) Menerapkan prinsip-prinsip Semua sektor Jangka
integrated ocean and coastal Pendek/
management dan watershed Menengah/
management untuk kepentingan Panjang
pembangunan berkelanjutan.
g) Melakukan koordinasi dengan Bappeda (Pemda), Jangka
stakeholders dan pemberdayaan Kem-PU, KLH, Pendek
masyarakat dalam pengelolaan, Kemdagri,
perlindungan DAS, pesisir, laut Kemenristek, Kemhut,
dan pulau-pulau kecil, menyangkut KKP.
kepada aspirasi masyarakat,
kearifan lokal, keragaman karakter,
dan fungsi ekosistem. Program
yang dapat dilakukan oleh
masyarakat antara lain adalah:
- komposting, biogas.
- mikrohidro, destilasi, energi
matahari dan angin.
- Meningkatkan pengelolaan
dan perlindungan DAS, pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil
berbasis masyarakat atau
co-management.

134
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
h) Merumuskan sistem pendanaan Bappenas, Kemkeu, Jangka
yang tepat dan memadai. Bappeda (Pemda), Pendek
Kem-PU, KLH,
Kemdagri, Kemenristek,
Kemhut, KKP.
i) Melaksanakan pengawasan Bappeda (Pemda), Jangka
sistem berkala dan terpadu serta Kem-PU, KLH, Pendek
lebih ketat untuk memastikan Kemdagri,
polluter-pays principle bagi Kemenristek,
pencemar yang membuang Kemperin, KKP,
limbahnya, baik langsung maupun KemHub.
tidak langsung ke sungai, muara
dan laut.
j) Mempercepat penyusunan Bappeda (Pemda), Jangka
Rencana Pengelolaan pesisir Kem-PU, KLH, Kem- Pendek
dan Wilayah pulau-pulau kecil. dagri, Kemenristek, KKP.
k) Mempercepat penyusunan Tata Kem-ESDM, KPU, Jangka
Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau KKP, Kemhub, Pendek
Kecil yang berbasis mitigasi Kemdagri , Pemda, s/d
bencana melalui penyusunan KLH, BNPB. Menengah
Zonasi Tata Ruang Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil.
l) Mempercepat pengembangan Kem-ESDM, KPU, KKP, Jangka
infrastruktur pesisir dan jaringan Kemhub, Kemdagri , Pendek s/d
listrik. Pemda, KLH. Menengah
m) Mengembangkan Desa pesisir Kem-ESDM, KKP, Jangka
dan industri kelautan di pesisir, Kemdagri , Pemda, Pendek
antara lain dengan cara: KLH, Kemperin, s/d
- Meningkatkan usaha ekonomi Kemenpar dan IK, Menengah
pedesaan melalui berbagai Kemneg-BUMN.
kegiatan budidaya pesisir,
pariwisata dan industri kreatif
berdasarkan karakteristik dan
135
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
potensi unggulan kawasan.
- Meningkatkan ekonomi
pedesaan melalui
pengembangan industri
kelautan melalui pengolahan
hasil tangkapan ikan dan
rumput laut.
n) Meningkatkan penataan pedesaan Kem-ESDM, KPU, Jangka
di wilayah pesisir yang sehat dan KKP, Kemdagri , Pendek
lestari melalui pembangunan Pemda, KLH, BNPB. s/d
desa pesisir berwawasan Menengah
lingkungan.
2. Memperkuat a) Melindungi dan melestarikan Bappeda (Pemda), Jangka
konservasi keanekaragaman hayati, dan Kem-PU, KLH, Pendek
ekosistem laut. peninggalan budaya bawah air Kemdagri, s/d
melalui usaha preservasi dan Kemenristek, Kemhut, Jangka
konservasi, antara lain dengan: KKP. Panjang
- Menominasikan spesies laut
yang dilindungi.
- Menyusun peraturan yang
mendefinisikan kriteria
penilaian status perlindungan
biota laut.
- Menyusun sistem pemulihan
spesies yang terancam punah.
b) Mengembangankan model Bappeda (Pemda), Jangka
pengelolaan dan perlindungan Kem-PU, KLH, Menengah
terumbu karang, padang lamun, Kemdagri,
mangrove, dan sea grass yang Kemenristek,
lestari di perairan Indonesia, Kemhut, KKP, PT.
termasuk di kawasan CTI.
c) Menerapkan prinsip-prinsip Bappeda (Pemda), Jangka
integrated ocean and coastal Kem-PU, KLH, Pendek

136
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
management , sustainable Kemdagri,
fisheries management dan Kemenristek,
precautionary approach untuk Kemhut, KKP.
kepentingan pembangunan
berkelanjutan
d) Melakukan penetapan wilayah Bappenas, Kem-PU, Jangka
konservasi ekosistem laut di KLH, Kemdagri, Pendek
perairan pedalaman, laut teritorial, Kemenristek, Kemhut, s/d
perairan kepulauan, zona KKP, ESDM, KemHub. Jangka
tambahan, zona ekonomi eksklusif Panjang
dan landas kontinen sesuai
dengan karakteristik sumberdaya
dan lingkungan perairan melalui
pendekatan ekoregion dengan
mempertimbangkan potensi
ekonomi.
e) Memberikan dukungan anggaran Bappenas, Kemkeu,
yang tepat dan memadai. Bappeda (Pemda),
Kem-PU, KLH, Kem-
dagri, Kemenristek,
Kemhut, KKP.
f) Meningkatkan perlindungan Bappeda (Pemda), Jangka
lingkungan terhadap MPA secara Kem-PU, KLH, Pendek
efektif, serta Membentuk satuan Kemdagri,
pengawas/ penjaga/ keamanan Kemenristek, Kemhut,
di MPA. KKP.
g) Menyusun Peraturan tentang KLH, Kemenristek, Jangka
akses terhadap sumber daya Kemhut, KKP, LIPI, Menengah
genetik di perairan Indonesia PT, DEKIN.
dengan menggunakan teknologi
rekayasa genetika.

137
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
h) Mencegah introduksi jenis asing KLH, KKP, Jangka
invasive/IAS (sengaja dan tidak Kementerian Menengah
sengaja, termasuk dari air ballast) Perhubungan (Dirjen- s/d
dan mengendalikan IAS (Invasive Perhubungan Laut, Jangka
Alien Species) jenis asing invasif, Karantina, Otoritas Panjang
aspek ini masih kurang ditangani Pelabuhan-perlu
padahal ini salah satu kontrobutor dikonfirmasi kembali )
terbesar hilangnya beberapa
flora dan fauna ( Keaneka
Ragaman Hayati) lokal.

3. Mencegah, a) Menguatkan kelembagaan dan


menanggulangi, koordinasi dalam bidang:
dan pemulihan - Pengendalian dan pengelolaan
sumber pencemaran wilayah pesisir dan laut.
dan dampak - Mitigasi bencana dan adaptasi
pencemaran, perubahan iklim di wilayah laut,
bencana, dan pesisir dan pulau-pulau kecil.
perubahan iklim.
b) Pengembangan data, informasi, Bappenas, Jangka
potensi dan karakteristik sumber Kemnegpan, Kem-PU, Pendek
daya alam wilayah pesisir dan KLH, Kemdagri,
laut, dan pulau-pulau kecil dalam Kemenristek, Kemhut,
rangka melakukan: KKP.
- Pengendalian dan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut.
- Mitigasi bencana dan adaptasi
perubahan iklim di wilayah laut,
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Hal tersebut di atas dapat
berfungsi sebagai:
- Dalam rangka menentukan
dampak pencemaran dan
tingkat kerusakan suatu
wilayah pesisir dan lau dan
pulau-pulau kecil.
138
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
- Dalam rangka menentukan
tingkat resiko dan kerentanan
suatu wilayah pesisir dan laut
dan pulau-pulau kecil.
c) Menyusun Rencana Aksi Nasional Bappenas, Bappeda Jangka
Adaptasi Perubahan Iklim (Pemda), Kem-PU, Pendek
(RAN API) dan Rencana Aksi KLH, Kemdagri, s/d
Nasional Pengurangan Risiko Kemenristek, Jangka
Bencana (RAN PRB) yang diikuti Kemhut, KKP. Menengah
dengan langkah-langkah yang
dapat dioperasionalkan di
lapangan melalui kerjasama
stakeholder
d) Menyusun program nasional KKP, KLH, Jangka
pengendalian dan pengelolaan KemenHub, Pendek
dampak pencemaran dan Kemndagri s/d
kerusakan lilngkungan di wilayah Jangka
pesisir dan laut dan pulau-pulau Menengah
kecil.
e) Mengidentifikasi dan mengusul- KemHub, KLH, KKP, Jangka
kan Particularly Sensitive Sea KemenLu, KemHan Menengah
Areas (PSSA) / Marine Protection s/d Jangka
Area (MPA). Panjang
f) Meningkatkan pendidikan, Bappenas (Pemda), Jangka
penelitian, pengembangan, dan KLH, KKP, Kemdagri, Pendek
sosialisasi kepada semua instansi Kemenristek, Kemhut. s/d
terkait, termasuk masyarakat Jangka
pesisir dan nelayan, untuk mem- Menengah
berikan pemahaman tentang
dampak yang diakibatkan dari
perubahan iklim.

139
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
g) Melakukan pengawasan berkala Kemhub, KLH, Jangka
dan terpadu untuk mengatasi Kem-ESDM, KKP, Pendek
masalah pembuangan limbah Bakorkamla
domestik maupun limbah industri,
antara lain dengan menambahkan
sarana dan prasarana pengolah-
an limbah.
h) Menginventarisasi kegiatan/ Kem-ESDM, KKP, Jangka
usaha / industri Pertambangan Kemhub, Bakorkamla. Pendek
Mineral dan Migas yang berpotensi
menimbulkan pencemaran dan
belum melakukan abandonment
and site restoration bagi anjungan
yang berada di ZEE.
i) Meningkatkan peran serta ESDM, KemHub, Jangka
kalangan industri atau swasta KemHut, KKP, KLH Pendek s/d
dalam kegiatan konservasi. Jangka
Panjang
j) Mengembangkan penelitian dan BPPT Jangka
penguasaan teknologi untuk Pendek s/d
mencegah pencemaran. Jangka
Panjang
k) Mengembangkan program KLH, KKP, Jangka
penerapan Clean Development Kemenristek, DNPI. Menengah
Mechanism (CDM) Kyoto
Protocol di wilayah laut, pesisir
dan pulau-pulau kecil.
4. Mengembangkan a) Mempercepat penyusunan Bappeda (Pemda), Jangka
tata guna dan Rencana Pengelolaan Wilayah Kem-PU, KLH, Pendek
infrastruktur pesisir pulau-pulau terdepan. Kemdagri,
dan laut (coastal Kemenristek, KKP
and sea use) yang
berkelanjutan
140
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
b) Meningkatkan pendayagunaan Bappenas, Jangka
energi terbarukan (energi non Kemenristek, Kem- Menengah
konvensional). ESDM, KKP, KLH,
Kemneg-BUMN.
c) Mengembangkan teknologi Kemenristek, Jangka
eksplorasi dan ekspolitasi sumber Kem-ESDM, KKP, Menengah
daya alam yang tidak terbarukan KLH
(pertambangan) yang ber-
wawasan lingkungan.
d) Pengembangan sistem ekonomi KLH, KKP, Jangka
lingkungan melalui valuasi Menristek, Kemhut, Menengah
lingkungan sumber daya alam. Kemen ESDM

5. Mengembangkan a) Meningkatkan peran aktif dalam Bappeda (Pemda), Jangka


kerjasama bilateral, forum kerjasama kelautan regional Kem-PU, KLH, Pendek
regional, dan global dan internasional, termasuk Kemdagri, Kemenristek, s/d
di bidang pengelolaan penetuan jalur South East Asean Kemperin, KKP, Jangka
lingkungan kelautan Grid untuk interkoneksi transmisi Kemlu, ESDM. Panjang
listrik dan jalur tranportasi Gas
Alam melalui pipa di dasar laut.
b) Meningkatkan kemampuan Kem-PU, KLH, Jangka
masyarakat Indonesia untuk Kemdagri, Pendek
menjadi anggota lembaga- Kemenristek,
lembaga internasional termasuk Kemperin, KKP,
NGO international di bidang Kemlu, Assosiasi.
pembangunan kelautan.
c) Meningkatkan peran diplomasi Pemda, Kem-PU, Jangka
untuk menempatkan putra-putra KLH, Kemdagri, Menengah
Indonesia pada posisi yang Kemenristek, Kemperin,
strategis di lembaga kelautan KKP, Kemlu,
internasional. Assosiasi.

141
Instansi / Lembaga
Periode
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN STRATEGI UPAYA yang
Waktu
Bertanggungjawab
d) Melanjutkan komitmen Indonesia Kem-PU, KLH, Jangka
terhadap pembentukan identitas Kemdagri, Kemenristek, Pendek
dan pemantapan integrasi regional Kemperin, KKP,
dan mengoptimalkan partisipasi Kemlu, Assosiasi.
dan peran aktif indonesia dalam
forum regional dan multilateral.
e) Menerapkan strategi regional Kem-PU, KLH, Jangka
yang memadukan aspek kerja- Kemdagri, Pendek
sama lingkungan yang tidak Kemenristek,
terlepas dari strategi ekonomi, Kemperin, KKP,
politik dan keamanan, antara lain Kemlu, Assosiasi.
dengan cara melakukan kerja-
sama regional di Asia (Large
Marine Ecosytem).
f) Membangun confidence building Kemdag, KLH, Jangka
measures (CBM) di fora regional Kemenristek, Kemperin Menengah
maupun internasional. KKP, Kemlu, Assosiasi.
g) Meningkatkan kapasitas kerja Kemenristek, KKP, Jangka
sama penelitian yang bertaraf KLH, Kemlu. Menengah
internasional dengan tetap
memperhatikan kepentingan
nasional.

142
Keterangan :

BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Basarnas : Badan Search And Rescue Nasional
BI : Bank Indonesia
BNPP : Badan Nasional Pengelola Perbatasan
BPBN : Badan Penanggulangan Bencana Nasional
BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
DEKIN : Dewan Kelautan Indonesia
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
Kemdag : Kementerian Perdagangan
Kemdagri : Kementerian Dalam Negeri
Kemdikbud : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenkopolhukam : Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
Kemneg-BUMN : Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara
Kemnegpan ; Kementerian Negara Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi
Kemneg Kop & UKM : Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Kemnegristek : Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Kem-ESDM : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kemhub : Kementerian Perhubungan
Kemhut : Kementerian Kehutanan
Kemkeu : Kementerian Keuangan
Kemkominfo : Kementerian Komunikasi dan Informasi
Kemkumham : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kemlu : Kementerian Luar Negeri
Kemnakertrans : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kemparekraf : Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif
Kemperin : Kementerian Perindustrian
Kempora : Kementerian Pemuda dan Olahraga
Kem-PU : Kementerian Pekerjaan Umum

143
KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan
KLH : Kementerian Negara Lingkungan Hidup
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pelindo : Pelabuhan Indonesia
Pemda : Pemerintah Daerah
POLRI : Polisi Republik Indonesia
Setneg : Sekretariat Negara
TNI AL : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

144
Bab 6 PENUTUP

Argumentasi utama perlunya membangun bidang kelautan karena didasarkan pada


kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia, sehingga
sudah seharusnya bangsa ini memberikan prioritas utama terhadap upaya mendayagunakan
sumber daya laut yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian,
diperlukan suatu Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif agar proses pendayagunaan
sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan guna mengakselerasi
tercapainya cita-cita Bangsa Indonesia yakni INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL
DAN MAKMUR.
Kebijakan Kelautan Indonesia yang disusun ini merupakan landasan bagi implementasi
pembangunan bidang kelautan nasional yang terintegrasi dalam pembangunan nasional.
Dengan ditetapkannya Kebijakan Kelautan Indonesia, maka segenap komponen bangsa
dan negara dapat melaksanakan pembangunan kelautan dengan sumber hukum dan acuan
yang jelas. Kebijakan Kelautan Indonesia ini tentunya harus menjadi arah dan pedoman
bagi pengembangan bidang kelautan di Indonesia untuk masa kini dan mendatang.
Implementasi dari Kebijakan Kelautan Indonesia ini haruslah dipantau dan dievaluasi,
secara berkala, agar tetap berada dalam sasaran, tujuan, dan kerangka pembangunan
kelautan nasional yang telah ditentukan bersama, untuk menjadi dasar dalam perbaikan
perencanaan maupun revisi implementasi pada masa mendatang.
Rekomendasi utama yang diusulkan untuk dapat membantu mengakselerasi
pembangunan kelautan nasional adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu melakukan upaya penyadaran kembali jati diri Bangsa Indonesia
sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic state) melalui peningkatan KESADARAN
NASIONAL TENTANG KELAUTAN secara sistematik dan komprehensif, yang diawali
dengan suatu GERAKAN NASIONAL KELAUTAN
2. Perlu merubah paradigma pembangunan nasional dari LAND BASE ORIENTED ke
ARCHIPELAGIC ORIENTED. Dengan memanfaatkan potensi yang ada di darat dan
di laut, maka akan mempercepat mewujudkan kemandirian dan kemakmuran bangsa.
3. Pemerintah perlu segera melakukan PENATAAN KELEMBAGAAN dan peraturan
perundangan terkait dengan pengelolaan dan percepatan pembangunan kelautan
nasional. Pembangunan Kelautan mencakup dan melibatkan beberapa sektor dan

145
instansi pemerintahan, oleh karena itu perlu satu Lembaga yang yang langsung bertugas
dibawah Unit Kerja Presiden dan bekerjasama dengan setiap Kementerian Koordinator
(Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, dan Kemenko Kesra) dan Bappenas
untuk membentuk Deputi Bidang Kelautan sebagai mitra kerjanya.
4. Guna mengoptimalkan pengamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di laut yang
komprensif, efektif dan efisien, perlu dibentuk satu lembaga BADAN KEAMANAN LAUT
(BAKAMLA) yang multifungsi.
5. Pembangunan Ekonomi Kelautan Nasional harus dilaksanakan dengan pendekatan
Blue Economy untuk mengakselerasi terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang
pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan
tenaga kerja) dan pro-environtment (melestarikan lingkungan)
6. Agar hasil Pembangunan Ekonomi Kelautan dapat dengan menggunakan prinsip-prinsip
Blue Economy
7. Menyempurnakan SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL dengan memberikan muatan
bidang kelautan, agar generasi penerus bangsa tidak melupakan jati diri bahwa mereka
tinggal di negara kepulauan.
Namun, betapapun bagus dan lengkapnya rumusan Kebijakan Kelautan Indonesia untuk
mempercepat keberhasilan pembangunan kelautan Indonesia yang telah disusun ini, pada
akhirnya yang utama dan sangat menentukan keberhasilannya adalah faktor manusia
Indonesia di bawah kepimpinan pemerintahan. Betapapun luhur dan tingginya cita-cita yaitu
membangun kelautan Indonesia, tidak akan tercapai tanpa adanya komitmen penuh dari
seluruh stakeholders kelautan Indonesia dan penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih
(clean government). Oleh karena itu marilah kita teguhkan bersama semangat dan tekad
seluruh bangsa untuk membangun Kelautan Indonesia secara utuh dan sinergis dengan
Pembangunan Nasional.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa merestui.

146
Lampiran 1. Alur Pikir Penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia Guna Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan
Kerja Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional

147
Lampiran 2. Pola Pikir Penguatan Kebijakan Kelautan Indonesia Guna Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan
Kerja Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan nasional

148
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, L. dan Kusumastanto, T. 2004. Penyusunan Rencana pengelolaan Perikanan


(Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan kawasan Pesisir (Coastal
Management Plan). Makalah pada Training of Trainer (TOT) Marginal Fishing
Community Development Pilot. Bappenas, Cipayung 8 Oktober 2004.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP 2006. Draft Naskah Akademik Kebijakan Kelautan
Indonesia Dewan Maritim Indonesia 2006. Grand Strategi Pembangunan Kelautan
Indonesia. Jakarta
Dahuri, R. 2009. Enhancing sustainable ocean development : An Indonesian Experience.
Center for Coastal and Marine Resource Studies - IPB. Bogor
Dewan Kelautan Indonesia 2011. Ocean Culture Policy. Jakarta
Dewan Kelautan Indonesia 2011. Ocean Governance Policy. Jakarta
Dewan Kelautan Indonesia 2011. Maritime Security Policy. Jakarta
Dewan Kelautan Indonesia 2011. Ocean Economic Policy. Jakarta
Dewan Kelautan Indonesia 2011. Marine Environment Policy. Jakarta
Dewan Maritim Indonesia 2005. Draft Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan
Indonesia. Jakarta
Dewan Maritim Indonesia 2007. Naskah Kesepahaman dan Dukungan Antar Menteri tentang
Pembangunan Berkelanjutan Kelautan Indonesia. Jakarta
Dewan Maritim Indonesia 2007. Draft Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan
Indonesia. Jakarta
Dewan Maritim Indonesia 2007. Draft Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang
tentang Kelautan. Jakarta
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Code Of Conduct For
Responsible Fisheries. FAO. Rome.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2006. The State of World
Fisheries and Aquaculture 2006. FAO. Rome.
Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1999. Proceedings of Indonesian Association of Geologists:
Developments in Stratigraphy and Sedimentology. Vol.3. The 28th Annual Convention
30 November-1 December 1999. Jakarta.
Kantha, L.H. and Clayson, C.A. 2000. Numerical Models of Oceans and Oceanic Processes.
Academic Press. London.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2012. Statistik Energi dan Sumberdaya
Mineral 2011. Jakarta

149
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011.
Jakarta
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian
Kelautan dan Perikanan Tahun 2011. Jakarta
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2011. Jakarta
Kementerian Perhubungan. 2012. Statistik Perhubungan 2011. Jakarta
Kementerian Perindustrian. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Perindustrian
Tahun 2011. Jakarta
Kesatuan Pelaut Indonesia. 2010. Prediksi Kebutuhan Tenaga Pelaut Indonesia. Jakarta
Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi
Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kusumastanto, T. 2007. Analisis Ekonomi Kelautan dan Arah Kebijakan Pengembangan
Jasa Kelautan. PKSPL-IPB. Bogor
Munasinghe, M. 2002. Macroeconomis and the Environment. International Library of Critical
Writings in Economics. Edward Elgar Publication. London.
Murtadi, S. 1999. Pengantar Kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan. (Tidak
Dipublikasikan). Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Mustodidjaja. 1992. Kebijakan Pembangunan: Proses, Masalah dan Praktek. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta .
Naryadi. 2006. Strategi, teori dasar dan perkembangan. Lemhannas R.I., Jakarta: Lemhannas R.I.
Pokja Geostrategi & Tannas. 2006. Ketahanan Nasional Indonesia. Jakarta: Lemhannas
R.I. Jakarta
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB. 2004. Kajian Kontribusi Sektor
Kelautan dan Perikanan. Kerjasama BAPPENAS dan PKSPL-IPB. Jakarta
Sekretariat Negara R.I. 1983. Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Jakarta
Sekretariat Negara R.I. 1985. Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HUKUM LAUT 1982. Jakarta
Sekretariat Negara R.I. 1996. Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Jakarta
Sekretariat Negara R.I. 2007. Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Jakarta
Sekretariat Negara R.I. 2003. Undang-Undang Dasar 45 dan Perubahannya. Jakarta

150

Anda mungkin juga menyukai