Anda di halaman 1dari 3

2.

Perlindungan Hukum Secara Represif Pengguna Jasa Lembaga Keuangan


Mikro terhadap Risiko Kerugian
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh
pengadilan umum dan pengadilan administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah
bertumpu dan bersumber dari konsep tent1ang pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia (1987:30).
Prinsip perlindungan hukum secara represif digunakan sebagai landasan bagi
perlindungan hukum setelah terjadinya sebuah perkara ataupun sengketa. Prinsip
perlindungan hukum secara represif kerap digunakan oleh pemerintah ataupun aparat
terkait sebagai landasan dalam penyelesaian sengketa.
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro dapat digunakan sebagai landasan perlindungan hukum pengguna jasa LKM
secara represif terhadap risiko kerugian. Pasal 26 tersebut menyebutkan
bahwa OJK melakukan pelayanan pengaduan

Penyimpan yang meliputi:


a. Menyiapkan perangkat untuk pelayanan pengaduan penyimpan yang dirugikan oleh
LKM;
b. membuat mekanisme pengaduan penyimpan yang dirugikan oleh LKM;
c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan penyimpan yang dirugikan oleh
LKM.
Lembaga Keuangan Mikro memiliki beberapa kegiatan antara lain yang sudah
tertera dalam Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro, sebagai berikut:
a. Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha;
b. Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LKM dapat melakukan
kegiatan berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Kegiatan usaha
LKM meliputi, pertama jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan. Pinjaman
dalam LKM adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus
dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus
dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. Kedua
pengelolaan simpanan yaitu pengelolaan dana yang dipercayakan oleh masyarakat
kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana. Ketiga pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, adalah
jasa konsultasi yang diberikan oleh LKM dalam mempersiapkan analisis tentang
peluang dan potensi usaha yang akan digeluti oleh pengguna jasa LKM.
Kegiatan usaha LKM tentunya memiliki kemungkinan menimbulkan dampak
yang buruk bagi pengguna jasa LKM. Adapun macam-macam risiko kerugian yang
mungkin timbul dari adanya kegiatan usaha Lembaga Keuangan Mikro, antara lain:
a. Simpanan para nasabah sudah pada jatuh tempo, akan tetapi dana milik para
nasabah tersebut tidak mampu dibayar;
b. Risiko penyimpangan dana, yang dilakukan oleh LKM yang menghimpun dana dari
simpanan pengguna jasa LKM;
c. Pembiayaan yang tidak lancar, keterlambatan dari jadwal pemberian pembiayaan;
d. Risiko operasional, yaitu akibat kurangnya sistem informasi atau sistem
pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan;
e. Risiko kepatuhan, yang timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak
dilaksanakannya peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah
ditetapkan baikketentuan internal maupun eksternal.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang terbentuk untuk mengawasi jalannya
kegiatan usaha sektor jasa keuangan, yang salah vzsatunya adalah LKM, mengeluarkan
sebuah peraturan OJK yang mengatur tentang perlindungan hukum pengguna jasa
LKM, juga sejalan dengan apa yang telah direkomendasikan dalam Pasal 26 huruf c
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM bahwa OJK memiliki kewenangan
untuk melakukan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan undang-undang ini,
oleh sebab itu OJK memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan OJK tersebut dalam beberapa pasal dirasa belum dapat mengakomodasi atau
belum tepat jika diterapkan dalam perlindungan hukum pengguna jasa LKM secara
represif terhadap risiko kerugian. Kritik mengenai pasal-pasal tersebut antara lain:
a. Bahwa dalam peraturan OJK tersebut dalam Pasal 1 Angka 1 pengertian pelaku
usaha tidak mencantumkan LKM sebagai pelaku usaha jasa keuangan, hal ini cukup
membuat keambiguan.
b. Pasal 40 Ayat (1), (2) dan (3) merekomendasikan pengguna jasa keuangan untuk
menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha jasa
keuangan dengan pengguna jasa keuangan kepada OJK. Pengaduan tersebut dirasa
cukup menyulitkan pengguna jasa LKM, dengan tingkat ekonomi rendah dan posisi
hukum yang rendah untuk dapat segera mengadu kepada OJK. Apabila pengaduan
tersebut dilakukan kepada OJK, maka pengguna jasa LKM perlu didampingi oleh
kuasa hukum.
c. Pasal 41 tidak memberikan batasan secara terperinci perihal kuantitas dari risiko
kerugian yang dapat di ajuka penyelesaian pengaduannya, lalu sejauh mana
tanggung jawab OJK sebagai pengawas sektor jasa keuangan terhadap sengketa
sektor jasa keuangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Pasal 41 peraturan OJK tersebut.

Anda mungkin juga menyukai