Oleh :
Ahmad Zulkarnain
21211200000009
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masuknya penyakit “Islam Phobia” pada masa pemerintahan
Orde Baru sekitar tahun 1990, yang sebenarnya isu ini sudah berkembang
cukup subur di Eropa, membuat pemerintah membatasi berbagai aktivitas
dan gerakan politik islam. Hal semacam ini tentu sangat berdampak bagi
keberlangsungan perekonomian terutama ekonomi islam. Sehingga istilah
yang digunakan adalah perbankan syariah dan penyebutan seperti ini hanya
terjadi di indonesia. sedangkan dinegara lain menggunakan frasa ekonomi
Islam, Islamic Economic dan Islamic Banking. Karena dikhawatirkan
dengan penyebutan ekonomi islam secara langsung, akan mengganggu dan
menggoyahkan kesetabilan negara dan menurunkan kewibawaan
pemerintah. Demi berjalannya perekonomian islam, maka digunakan istilah
yang lebih halus yaitu “Syariah” untuk menamakan aktivitas perekonomian
dan keungangan yang berlandaskan prinsip ketentuan islam.
MUI memiliki satu lembaga khusus yaitu Dewan Syariah Nasional
(DSN-MUI) yang ditugaskan untuk membentuk fatwa, mengkaji, menggali
dan merumuskan secara komperhensif nilai dan aktivitas transaksi di
lembaga keuangan syariah. Dalam proses aktualisasinya, aktivitas
perekonomian yang menggunakan istilah syariah harus mengikuti dan
tunduk kepada hukum atau fatwa yang sudah dibuat oleh (DSN-MUI).
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan kepanjangan tangan
dari DSN yang bertugas melakukan pengawasan. Namun ketika DSN
belum memutuskan fatwa terkait beberapa persoalan, maka DPS berhak
memberikan argumentasi dan jawaban sementara sembari menunggu
keluarnya fatwa. Ketika fatwa sudah terserap kedalam peraturan perundang-
undangan yang sah dan legal, maka fatwa yang semula tidak bersifat
universal dan hanya berlaku bagi golongan tertentu saja dengan sendirinya
akan berubah menjadi aturan yang universal yang harus dipatuhi bagi
pelaku kegiatan ekonomi syariah.1
Dari penjelasan diatas, kiranya penting untuk mengetahui
bagaimana prosese legislasi serta transformasi hukum serta pembentukan
Undang-Undang perbankan syariah di Indonesia. dalam makalah ini,
penulis akan sedikit menjelaskan terkait substansi dari UU ini serta
penerapannya. apakah sudah sesuai dengan UU atau belum dalam
melakukan aktivitas ekonomi. Selain itu, penulis juga akan melakukan
pembacaan lebih dalam dan kritis terkait problem yang terjadi di perbankan
syariah.
1
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI-Press, 2011), h. iii.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3472.
3
Baca juga, Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah, (Jakarta:
pkes Publishing, 2008).
4
Baca juga Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam (Sejarah, Teori dan
Konsep), Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
5
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
2
Islam disebut dengan kata bank Syariah atau bank berdasarkan prinsip
Syariah.
Adiwarman A. Karim mengatakan,6 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, khususnya Pasal 1 ayat 11 7 dan Pasal 12
nyaris memadankan maksud pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah
dengan kredit (angsuran). perbedaannya, di dalam kredit, hasil diperoleh
dengan pemberian bunga sedangkan dalam pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah hasil diperoleh dengan dikenakannya upah (ujrah atau fee) atau
bagi hasil. Kata “angsuran” diubah dengan kata “pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah”, kata “pinjam-meminjam” dihapus, kata “peminjam untuk
melunasi utangnya” diubah dengan “pihak yang dibiayai harus
mengembalikan uang atau tuntutan tersebut”, dan akhirnya kata “bunga”
diubah dengan “upah atau bagi hasil”.
Tidak hanya itu, bank Syariah sudah keluar dari maksud
pembiayaan yang disusun oleh undang-undang. Peraturan Bank Indonesia
(PBI) bersikap dualisme, terkadang memakai paradigma “akad fiqih adalah
prinsip”, dan terkadang memakai paradigma “akad fiqih adalah jenis
perjanjian”. Sehingga pada tahun 2000 BI tetap konsisten memakai
paradigma “prinsip”, yaitu dalam PBI 2/7/2000 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang
Melakukan aktivitas Usaha Berdasarkan Syariah, dan PBI 2/8/2000 tentang
Pasar Uang Antar bank Berdasarkan Prinsip Syariah, tetapi pada tahun 2003
muncul keraguan karena kadangkala BI menggunakan paradigma “prinsip,”
yaitu pada PBI 5/7/2003 tentang Kualitas Aktiva Produk Bagi Bank
Syariah, dan PBI 5/9/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produk
Bagi Bank Syariah pada Pasal 1 ayat (5), (6), dan (7). Di PBI yang sama
dan yang lain disebutkan dengan memakai paradigma “jenis perjanjian”,
yaitu di PBI 5/3/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi
Bank Syariah, PBI 5/7/2003 dan PBI 5/9/2003 Pasal 1 ayat (8), (9), (10),
(11), dan (12).
3
dalam Kegiatan pengumpulan uang dan Penyalurannya serta Layanan Jasa
Bank Syariah. Penarikan kembali ini dilakukan untuk sinkronisasi dengan
keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Di
sinilah proses menjadikan fatwa berkekuatan mengikat. Terjadi perubahan
hukum Islam menjadi hukum nasional.8
Setelah itu, Bank Indonesia membuat Surat Edaran Nomor
10/14/DPbs 2008 tentang pelaksanaan prinsip syariah bagi aktivitas
pengumpulan keuangan dan pembagiannya serta layanan jasa bank syariah.
Surat Edaran ini menetapkan secara teknis terkait pelaksanaan usaha
perbankan sesuai dengan prinsip syariah, karena Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/19/PBI/2007 ini hanya mengandung usaha perbankan secara
umum berdasarkan prinsip syariah. Surat edaran ini dikeluarkan untuk
mengikuti dan menyesuaikan perkembangan dan syarat fatwa yang
dikeluarkan DSN.
lalu PBI ini diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/16/PBI/2008 terkait Pelaksanaan Prinsip Syariah bagi aktivitas
pengumpulan keuangan dan pembagiannya serta jasa layanan Bank Syariah
untuk mensingkronkan dengan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan. Undang-undang ini memberi petunjuk secara teknis tentang
keharusan tunduk kepada syariah bagi upaya mengembangkan perbankan
dan keharusan mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.
Sejauh ini, industri perbankan Syariah berlandaskan pada Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan sudah diganti menjadi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur regulasi perbankan
syariah dan perbankan konvensional. Namun, setelah itu, perlu regulasi
khusus untuk mengatur perbankan syariah saja. Hal ini karena bank syariah
sudah berlangsung selama 16 tahun, namun dasar hukumnya baru disahkan
pada 18 Juni 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah 9 memberi aturan yang lebih jelas dan
lebih khusus tentang sistem dan aturan perbankan Syariah. Pengesahan UU
Perbankan Syariah tidak terlepas dari sasaran yang ditetapkan stakeholder,
termasuk Bank Indonesia (BI) sebagai pembuat peraturan perbankan. BI
menargetkan perbankan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan
cepat. Sasaran yang ditetapkan adalah nilai aset bank syariah tahun 2008
dapat mencapai 5 persen dari seluruh total aset perbankan nasional.
8
Baca juga, Kemenag, Buku Saku Perbankan Syariah, 1013
9
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94.
4
B. Undang-Undang Perbankan Syariah
Didalam UU Perbankan Syariah yang terdiri dari 13 bab dan 70
pasal, di antaranya memuat ketentuan tentang tata cara mendirikan bank
syariah yang harus melakukan perizinan kepada Bank Indonesia, bank
syariah diwajibkan menyertakan kata “syariah” setelah nama bank, bank
konvensional bisa bertransformasi menjadi bank syariah, tetapi sebaliknya,
bank syariah tidak bisa bertransformasi menjadi bank konvensional.
diperbolehkannya unit usaha syariah dari suatu bank konvensional lalu
berganti status menjadi bank yang secara penuh beroperasi secara syariah,
ketika aset unit usaha syariah ini sudah mencapai 50% dari bank induknya
dalam hal terjadi penyatuan atau merger bank syariah dengan bank lain,
maka bank hasil penyatuan atau merger tersebut harus menjadi bank
syariah, bank syariah tidak boleh melakukan jual beli saham di pasar modal
secara langsung, melarang bank syariah melakukan usaha yang
mengandung riba, maysir, ataupun jual beli yang mengandung gharar.
Undang-Undang Perbankan Syariah memberi aturan secara tegas
perbedaan antara asas yang terdiri dari prinsip syariah, demokrasi ekonomi
dan prinsip berhati-hati dengan jenis dan kegiatan usaha yang terdiri dari
macam-macam akad. Asas prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur: riba,10 maysir,11 gharar,12 haram13 dan dzalim.14 Asas
demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung
nilai keadilan, kebersamaan, kesetaraan dan kemanfaatan. Asas berhati-hati
adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib diikuti untuk mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
1. Penjelasan terkait ketentuan umum dalam Perbankan Syariah
Dalam pasal 1 yang di maksud dengan: Perbankan Syariah adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Akad adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan
Prinsip Syariah. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad
wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
10
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
11
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
12
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
13
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
14
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
5
dengan itu.15 Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah
atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya
yang dipersamakan dengan itu.
Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan
Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS .
Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk
mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi
jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna,
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh
15
Lihat Pasal 1 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
16
Lihat Pasal 4 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
6
3. Aturan tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar
dan kepemilikan.
Didalam pasal 5 dijelaskan bahwa Setiap pihak yang akan
melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari
Bank Indonesia.17 Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus
memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: susunan organisasi
dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang
Perbankan Syariah, dan kelayakan usaha. Didalam pasal 7 menjelaskan
bahwa Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.
17
Lihat Pasal 5 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
18
Lihat Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
7
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk
asuransi syariah.
19
Lihat Pasal 32 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
8
c) gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat
diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain
dalam syariah.
d) haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah.
e) zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi
pihak lainnya.
20
Lihat penjelasan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
9
barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat
(shani’).
f) Akad qardh adalah Akad pinjaman dana kepada Nasabah
dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan
dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
g) Yang dimaksud dengan “Akad ijarah” adalah Akad penyediaan
dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Sedangkan
Yang dimaksud dengan “Akad ijarah muntahiya bittamlik”
adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
h) Akad hawalah” adalah Akad pengalihan utang dari pihak
yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
atau membayar.
i) Akad kafalah” adalah Akad pemberian jaminan yang diberikan
satu pihak kepada pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil)
bertanggung jawab atas pembayaran kembali utang yang
menjadi hak penerima jaminan (makful).
j) Akad wakalah” adalah Akad pemberian kuasa kepada
penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama
pemberi kuasa
9. Penyelesaian Sengketa
Penjelasan soal penyelesaian sengketa terdapat dalam pasal 55 yang
berbunyi, Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
isi Akad. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
10
Bank Indonesia melengkapi undang-undang ini dengan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/32/PBI 2008 tentang Komite Perbankan
Syariah (KPS).22 PBI ini menetapkan tentang Komisi Perbankan Syariah
yang diamanahkan UU. Selain soal kepakaran anggota komite, PBI ini
menjelaskan tugas komite, yaitu menjabarkan fatwa MUI yang
berhubungan dengan perbankan syariah, memberikan sumbangan dalam
rangka penyerapan fatwa dalam Peraturan Bank Indonesia dan
melaksanakan pembangunan industri perbankan syariah. Jadi, fatwa
mempunyai kekuasaan penuh dalam menilai dan memberi tuntunan yang
sesuai dengan syariah bagi upaya mengembangkan perbankan syariah.
Inilah kedudukan hukum Islam sebagai sumber undang-undang nasional
yang setingkat derajatnya dengan sumber hukum nasional yang lain: hukum
adat dan hukum warisan kolonial Belanda untuk dimasukkan dan disahkan
menjadi hukum nasional.
Pembentukan lembaga Komite Perbankan Syariah (KPS)
merupakan bagian perjuangan untuk mengubah fatwa yang tidak mengikat
untuk dipraktikkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang
selanjutnya akan mengikat seluruh perbankan syariah. KPS yang berada di
bawah Bank Indonesia juga berfungsi untuk mengkaji fatwa dan
menjadikannya sebagai bahan PBI. Fungsi tersebut mirip fungsi Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk dan berada di bawah MUI, di mana
ia bertugas untuk mengkaji bahan fatwa yang akan difatwakan oleh MUI
berkaitan dengan masalah fiqih muamalah.
22
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/32/PBI 2008
11
kaku. Sebagai contoh terkait keilmuan baru dalam penetapan hukum
islam, seperti teori Double movement fazlur rahman yang ingin
membaca realitas sosial dari zaman dulu, sekarang lalu untuk masa
depan. Seharusnya keilmuan semacam ini juga digunakan dalam
penetapan hukum islam.
2. Seharusnya islam mendukung praktek ekonomi yang sedang
berkembang bukan malah menghambat. Maksud dari kata menghambat
disini bukan berkonotasi negatif, tetapi islam tidak mampu melakukan
transformasi hukum. Salah satu contohnya terkait crypto atau mata
uang digital yang diharamkan oleh MUI karena melanggar prinsip
syariah. Asumsi penulis, haramnya crypto karena metode yang
digunakan dalam istinbath hukum masih menggunakan fiqih klasik
yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Artinya
dalam membaca realitas sosial, khususnya ekonomi jangan hanya
menggunakan nalar bayani, atau epistemologi islam normatif. Tapi
harus dipadukan dengan epistemologi burhani dan pembacaan melalui
islam historis.
3. Dalam undang-undang ini belum ada jaminan atau perlindungan
terhadap nasabah.
4. Problem Aspek Komitmen atas Pelaksanaan Prinsip Syariah yang
Masih Rendah
Ada dua sistem perbankan yang sudah diterapkan, yang mengatur
bank konvensional dan bank Islam diperbolehkan bersama-sama
melakukan bisnis. Lebih penting lagi, UU Perbankan No. 7 tahun 1992
dipandang sebagai dasar bagi eksistensi formal perbankan syariah di
Indonesia. Pada tahun 1998, pemerintah menerbitkan UU No.10 tahun
1998 tentang perbankan yang mengadopsi sistem dual banking (Sistem
bunga bank konvensional dan sistem bagi hasil bank syariah). UU No.
10 tahun 1998 merupakan amandemen dari UU No. 7 tahun 1992 dan
ini merupakan penegasan eksistensi perbankan syariah sebagai salah
satu lembaga keuangan di tanah air Kemudian, seiring dengan semakin
berkibarnya eksistensi perbankan syariah yang disupport oleh undang-
undang tersebut, ternyata hingga kini perilaku perbankan syariah di
Indonesia tak ubahnya dengan apa yang selama ini ditunjukkan oleh
perbankan nasional, yakni perilaku bunga bank ‘berbaju mudharabah’,
dan lain sebagainya ataupun simbolisme agama fatamorganis membuat
eksistensinya saat ini justru menjadi bahan kritikan umat Islam sendiri.
Hal ini disinyalir sebagai dampak dari rendahnya komitmen pelaku
perbankan syariah terhadap pelaksanaan prinsip syariah yang masih
rendah. Betapa tidak, menurut hasil penelitian ditemukan bahwa hampir
sebagian besar perbankan syariah di Indonesia mengambil keuntungan
‘riba’ yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perbankan
konvensional. Hal ini berimplikasi pada 2 (dua) fenomena faktual,
yaitu; pertama, animo masyarakat Indonesia khususnya muslim
menggunakan jasa produk perbankan syariah tidak mengalami
perkembangan yang signifikan, bahkan cenderung menurun. Kedua,
12
citra perbankan syariah yang sedemikian rupa justru turut menempatkan
Islam sebagai agama yang tidak produktif terhadap masalah
perekonomian umat, sekaligus ‘gugatan’ atas resolusi ekonomi Islam
terhadap masalah materialisme global.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
penjabaran data dan analisis prinsip syariah dalam fatwa-fatwa
fiqih muamalah Majelis Ulama Indonesia yang dilakukan di lembaga
Keuangan Syariah, lalu dibakukan dalam hukum konvensional, dapat
dijelaskan, bahwa ciri-ciri hukum Islam, terkhusus fiqih muamalah,
berwatak transendental/ketuhanan dan rasional. Prinsip syariah yang
tertulis dalam al-Qur’an dan Hadits di istinbathkan para ulama menjadi
hukum Islam yang sesuai untuk diterapkan pada setiap zaman dan
keadaan.
pengkajian fatwa fiqih muamalah MUI ditinjau dari sudut pandang
serta ragam pemikiran, metode penggalian (istinbath) dan
penyerapannya ke dalam peraturan perundang-undangan dapat
dikategorikan dalam beberapa kesimpulan besar. Bahwa penerapan
fiqih muamalah dalam aktivitas ekonomi Syariah di Indonesia dapat
dibagi kepada tiga periode: pertama, periode perintisan (‘asr al-ta’sis),
kedua, periode penerapan (‘asr al-tathbiq) dan ketiga, periode
penyerapan ke dalam peraturan perundang-undangan (‘asr al-taqnin).
Sebenarnya setiap tahapan tidak terpisah secara tegas. Pemilahan
pembagian ini dilakukan untuk mempermudah kajian terkait
perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
tahun 1992 sampai tahun 1999, dimulailah yang disebut dengan
periode awal atau perintisan, saat MUI melakukan pembahasan tentang
bunga bank dan aktivitas perbankan. Saat itu dirumuskan pendirian
bank syariah dan konsep bank berdasarkan prinsip syariah. Sepanjang
periode ini, MUI tidak mengeluarkan fatwa fiqih muamalah. Periode
penerapan dimulai tahun 2000 hingga 2007. Pada periode ini, MUI
banyak memproduksi fatwa fiqih muamalah untuk dijadikan pedoman
dan diterapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah. Adapun periode
penyerapan fatwa dalam peraturan perundang-undangan, dimulai sejak
MUI berhasil mendorong pengesahan undang-undang yang khusus
mengatur bank Syariah. Meskipun sebenarnya proses penyerapan fatwa
dalam peraturan perundang-undangan telah dimulai sejak MUI menjadi
perintis ekonomi syariah di Indonesia.
14
DAFTAR PUSTAKA
www.kompas.com/read/xml/2008/07/09/10151115/belajar.uu.perbankan.syariah.
Karim, Adiwarman. 2003. Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), IIIT
(The International Institute of Islamic Thought) Indonesia, Jakarta.
15