Anda di halaman 1dari 16

UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Islamic Law

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Prof. Dr. Masykuri Abdillah beserta team teaching

Oleh :
Ahmad Zulkarnain
21211200000009

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masuknya penyakit “Islam Phobia” pada masa pemerintahan
Orde Baru sekitar tahun 1990, yang sebenarnya isu ini sudah berkembang
cukup subur di Eropa, membuat pemerintah membatasi berbagai aktivitas
dan gerakan politik islam. Hal semacam ini tentu sangat berdampak bagi
keberlangsungan perekonomian terutama ekonomi islam. Sehingga istilah
yang digunakan adalah perbankan syariah dan penyebutan seperti ini hanya
terjadi di indonesia. sedangkan dinegara lain menggunakan frasa ekonomi
Islam, Islamic Economic dan Islamic Banking. Karena dikhawatirkan
dengan penyebutan ekonomi islam secara langsung, akan mengganggu dan
menggoyahkan kesetabilan negara dan menurunkan kewibawaan
pemerintah. Demi berjalannya perekonomian islam, maka digunakan istilah
yang lebih halus yaitu “Syariah” untuk menamakan aktivitas perekonomian
dan keungangan yang berlandaskan prinsip ketentuan islam.
MUI memiliki satu lembaga khusus yaitu Dewan Syariah Nasional
(DSN-MUI) yang ditugaskan untuk membentuk fatwa, mengkaji, menggali
dan merumuskan secara komperhensif nilai dan aktivitas transaksi di
lembaga keuangan syariah. Dalam proses aktualisasinya, aktivitas
perekonomian yang menggunakan istilah syariah harus mengikuti dan
tunduk kepada hukum atau fatwa yang sudah dibuat oleh (DSN-MUI).
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan kepanjangan tangan
dari DSN yang bertugas melakukan pengawasan. Namun ketika DSN
belum memutuskan fatwa terkait beberapa persoalan, maka DPS berhak
memberikan argumentasi dan jawaban sementara sembari menunggu
keluarnya fatwa. Ketika fatwa sudah terserap kedalam peraturan perundang-
undangan yang sah dan legal, maka fatwa yang semula tidak bersifat
universal dan hanya berlaku bagi golongan tertentu saja dengan sendirinya
akan berubah menjadi aturan yang universal yang harus dipatuhi bagi
pelaku kegiatan ekonomi syariah.1
Dari penjelasan diatas, kiranya penting untuk mengetahui
bagaimana prosese legislasi serta transformasi hukum serta pembentukan
Undang-Undang perbankan syariah di Indonesia. dalam makalah ini,
penulis akan sedikit menjelaskan terkait substansi dari UU ini serta
penerapannya. apakah sudah sesuai dengan UU atau belum dalam
melakukan aktivitas ekonomi. Selain itu, penulis juga akan melakukan
pembacaan lebih dalam dan kritis terkait problem yang terjadi di perbankan
syariah.

1
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI-Press, 2011), h. iii.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Alur Legislasi dan Transformasi Hukum Perbankan Syariah


dalam Sistem Hukum Nasional
Dimulai dari Pasal 6 huruf m, UU Nomor 7 Tahun 1992 terkait
Perbankan.2 Yang menjadi dasar dimulainya Absorbsi fatwa fiqih
muamalah ke dalam peraturan perundang-undangan Pasal 6 huruf m dan
penjelasannya tidak memakai kata bank Islam atau bank Syariah
sebagaimana digunakan sebagai istilah formal atau baku dalam peraturan
perbankan Indonesia. Pasal tersebut hanya menyebutkan kalimat
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP)”. Dalam Pasal 5
ayat (3) PP Nomor 70 Tahun 1992 terkait Bank Umum juga disebutkan
ungkapan “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil”
dan di dalam penjelasannya disebutkan ungkapan “Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil”.3
Pada hakikatnya perbedaan antara perbankan Syariah dan
perbankan konvensional terdapat pada aturan tentang bunga dan bagi hasil.
Perbedaan pokok terletak pada jenis keuntungan yang dipungut oleh bank
dari transaksi yang dilakukan. ketika bank konvensional mendasarkan profit
dari pemungutan bunga, maka bank Syariah memungut profit dari apa yang
disebut sebagai upah (ujrah atau fee). Baik berupa jasa layanan (fee-based
income), mark-up atau profit margin maupun bagi hasil (loss and profit
sharing). Oleh karena itu, bank Syariah terkadang disebut bank Islam
(Islamic banking), bank tanpa bunga (interest-free bank) dan bank tanpa
riba (lariba bank).4
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” adalah
istilah bagi bank Islam atau bank Syariah dengan ketentuan pada penjelasan
Pasal 1 ayat (1) PP nomor 72 Tahun 1992 terkait Bank Berlandaskan
Prinsip Bagi Hasil. Dalam interpretasi ayat tersebut, menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil merupakan prinsip muamalah
berdasarkan Syariah dalam melakukan aktivitas dan operasi bank. Setelah
itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.5 Pasal 1 angka 4, 12 dan
13 menuturkan identitas perbankan Islam secara tegas. Di situ perbankan

2
Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3472.
3
Baca juga, Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah, (Jakarta:
pkes Publishing, 2008).
4
Baca juga Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam (Sejarah, Teori dan
Konsep), Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
5
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

2
Islam disebut dengan kata bank Syariah atau bank berdasarkan prinsip
Syariah.
Adiwarman A. Karim mengatakan,6 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, khususnya Pasal 1 ayat 11 7 dan Pasal 12
nyaris memadankan maksud pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah
dengan kredit (angsuran). perbedaannya, di dalam kredit, hasil diperoleh
dengan pemberian bunga sedangkan dalam pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah hasil diperoleh dengan dikenakannya upah (ujrah atau fee) atau
bagi hasil. Kata “angsuran” diubah dengan kata “pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah”, kata “pinjam-meminjam” dihapus, kata “peminjam untuk
melunasi utangnya” diubah dengan “pihak yang dibiayai harus
mengembalikan uang atau tuntutan tersebut”, dan akhirnya kata “bunga”
diubah dengan “upah atau bagi hasil”.
Tidak hanya itu, bank Syariah sudah keluar dari maksud
pembiayaan yang disusun oleh undang-undang. Peraturan Bank Indonesia
(PBI) bersikap dualisme, terkadang memakai paradigma “akad fiqih adalah
prinsip”, dan terkadang memakai paradigma “akad fiqih adalah jenis
perjanjian”. Sehingga pada tahun 2000 BI tetap konsisten memakai
paradigma “prinsip”, yaitu dalam PBI 2/7/2000 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang
Melakukan aktivitas Usaha Berdasarkan Syariah, dan PBI 2/8/2000 tentang
Pasar Uang Antar bank Berdasarkan Prinsip Syariah, tetapi pada tahun 2003
muncul keraguan karena kadangkala BI menggunakan paradigma “prinsip,”
yaitu pada PBI 5/7/2003 tentang Kualitas Aktiva Produk Bagi Bank
Syariah, dan PBI 5/9/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produk
Bagi Bank Syariah pada Pasal 1 ayat (5), (6), dan (7). Di PBI yang sama
dan yang lain disebutkan dengan memakai paradigma “jenis perjanjian”,
yaitu di PBI 5/3/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi
Bank Syariah, PBI 5/7/2003 dan PBI 5/9/2003 Pasal 1 ayat (8), (9), (10),
(11), dan (12).

Dalam penerapan dan implementasi perbankan Syariah, Bank


Indonesia sudah banyak mengeluarkan peraturan sebagai pedoman
pelaksanaan prinsip-prinsip syariah. Prinsip syariah mengenai pengumpulan
uang dan penyalurannya, Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan
Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Pengumpulan Uang dan
Penyalurannya bagi Bank yang Melaksanakan Transaksi Berdasarkan
Prinsip Syariah. Peraturan kemudian diganti dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
6
Koreksi tentang inkonsistensi PBI ini dipaparkan oleh Adi Warman A Karim,
Kegamangan Regulasi Perbankan Syariah, Republika Online, 28 Juni 2004, www.
republika.co.id/koran_detail.asp?id=165023&kat_id=15&kat_id1= &kat_id2=.
7
Dalam UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat (11); Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

3
dalam Kegiatan pengumpulan uang dan Penyalurannya serta Layanan Jasa
Bank Syariah. Penarikan kembali ini dilakukan untuk sinkronisasi dengan
keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Di
sinilah proses menjadikan fatwa berkekuatan mengikat. Terjadi perubahan
hukum Islam menjadi hukum nasional.8
Setelah itu, Bank Indonesia membuat Surat Edaran Nomor
10/14/DPbs 2008 tentang pelaksanaan prinsip syariah bagi aktivitas
pengumpulan keuangan dan pembagiannya serta layanan jasa bank syariah.
Surat Edaran ini menetapkan secara teknis terkait pelaksanaan usaha
perbankan sesuai dengan prinsip syariah, karena Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/19/PBI/2007 ini hanya mengandung usaha perbankan secara
umum berdasarkan prinsip syariah. Surat edaran ini dikeluarkan untuk
mengikuti dan menyesuaikan perkembangan dan syarat fatwa yang
dikeluarkan DSN.
lalu PBI ini diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/16/PBI/2008 terkait Pelaksanaan Prinsip Syariah bagi aktivitas
pengumpulan keuangan dan pembagiannya serta jasa layanan Bank Syariah
untuk mensingkronkan dengan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan. Undang-undang ini memberi petunjuk secara teknis tentang
keharusan tunduk kepada syariah bagi upaya mengembangkan perbankan
dan keharusan mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.
Sejauh ini, industri perbankan Syariah berlandaskan pada Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan sudah diganti menjadi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur regulasi perbankan
syariah dan perbankan konvensional. Namun, setelah itu, perlu regulasi
khusus untuk mengatur perbankan syariah saja. Hal ini karena bank syariah
sudah berlangsung selama 16 tahun, namun dasar hukumnya baru disahkan
pada 18 Juni 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah 9 memberi aturan yang lebih jelas dan
lebih khusus tentang sistem dan aturan perbankan Syariah. Pengesahan UU
Perbankan Syariah tidak terlepas dari sasaran yang ditetapkan stakeholder,
termasuk Bank Indonesia (BI) sebagai pembuat peraturan perbankan. BI
menargetkan perbankan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan
cepat. Sasaran yang ditetapkan adalah nilai aset bank syariah tahun 2008
dapat mencapai 5 persen dari seluruh total aset perbankan nasional.

8
Baca juga, Kemenag, Buku Saku Perbankan Syariah, 1013
9
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94.

4
B. Undang-Undang Perbankan Syariah
Didalam UU Perbankan Syariah yang terdiri dari 13 bab dan 70
pasal, di antaranya memuat ketentuan tentang tata cara mendirikan bank
syariah yang harus melakukan perizinan kepada Bank Indonesia, bank
syariah diwajibkan menyertakan kata “syariah” setelah nama bank, bank
konvensional bisa bertransformasi menjadi bank syariah, tetapi sebaliknya,
bank syariah tidak bisa bertransformasi menjadi bank konvensional.
diperbolehkannya unit usaha syariah dari suatu bank konvensional lalu
berganti status menjadi bank yang secara penuh beroperasi secara syariah,
ketika aset unit usaha syariah ini sudah mencapai 50% dari bank induknya
dalam hal terjadi penyatuan atau merger bank syariah dengan bank lain,
maka bank hasil penyatuan atau merger tersebut harus menjadi bank
syariah, bank syariah tidak boleh melakukan jual beli saham di pasar modal
secara langsung, melarang bank syariah melakukan usaha yang
mengandung riba, maysir, ataupun jual beli yang mengandung gharar.
Undang-Undang Perbankan Syariah memberi aturan secara tegas
perbedaan antara asas yang terdiri dari prinsip syariah, demokrasi ekonomi
dan prinsip berhati-hati dengan jenis dan kegiatan usaha yang terdiri dari
macam-macam akad. Asas prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur: riba,10 maysir,11 gharar,12 haram13 dan dzalim.14 Asas
demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung
nilai keadilan, kebersamaan, kesetaraan dan kemanfaatan. Asas berhati-hati
adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib diikuti untuk mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
1. Penjelasan terkait ketentuan umum dalam Perbankan Syariah
Dalam pasal 1 yang di maksud dengan: Perbankan Syariah adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Akad adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan
Prinsip Syariah. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad
wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
10
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
11
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
12
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
13
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
14
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

5
dengan itu.15 Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah
atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya
yang dipersamakan dengan itu.
Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan
Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS .
Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk
mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi
jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna,
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh

2. penjelasan terkait asas, tujuan dan fungsi


dalam pasal 2 menjelaskan bahwa Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi
ekonomi, dan prinsip kehati hatian. Seperi yang sudah penulis jelaskan
diatas. Dalam pasal 3 menjelaskan bahwa Perbankan Syariah bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan
rakyat. Dalam pasal 4 menjelaskan bahwa Bank Syariah dan UUS
wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial
dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal
dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank Syariah dan
UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif).16

15
Lihat Pasal 1 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
16
Lihat Pasal 4 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.

6
3. Aturan tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar
dan kepemilikan.
Didalam pasal 5 dijelaskan bahwa Setiap pihak yang akan
melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari
Bank Indonesia.17 Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus
memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: susunan organisasi
dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang
Perbankan Syariah, dan kelayakan usaha. Didalam pasal 7 menjelaskan
bahwa Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.

4. Aturan tentang jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran


dana, larangan bagi Bank Syariah.
Didalam Pasal 18 menjelaskan bahwa Bank Syariah terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 18
Sedangkan pasal 19 menjelaskan bahwa, menghimpun dana dalam
bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. menghimpun dana
dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah,
Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad
murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah. melakukan pengambilalihan
utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah. membeli, menjual, atau menjamin
atas resiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas
dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti
Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau
hawalah. Pasal 24 menjelaskan terkait larangan bank syariah
diantaranya, melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan
Prinsip Syariah. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di
pasar modal. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c. melakukan

17
Lihat Pasal 5 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
18
Lihat Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.

7
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk
asuransi syariah.

5. Penjelasan tentang Dewan Pengawas Syariah


Dalam Pasal 32 menjelaskan bahwa, Dewan Pengawas Syariah
wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.19 Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
Prinsip Syariah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.

6. Aspek Substansi UU. No. 21 Tahun 2008 memuat Prinsip dan


Norma Syariah
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan
Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Itulah
prinsip dan asas yang dianut oleh perbankan syariah dalam melakukan
kegiatan usaha. Dan hal ini di atur dalam penjelasan pasal 2. Kegiatan
usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan
usaha yang tidak mengandung unsur: anti Maysir, prinsip anti gharar,
riba, haram, dan dzalim. Yang sudah penulis jelaskan dalam point ke-7.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Demokrasi Ekonomi” adalah
kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan,
kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sedangkan yang dimaksud
prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib
dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Prinsip anti Maysir, (gembling untung rugi), prinsip anti gharar,


riba, haram, dan dzalim
Penjelasan soal prinsip syariah, terdapat dalam penjelasan pasal 2
diantaranya sebagai berikut.
a) riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil)
antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak
sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau
dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan
Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima
melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah).
b) maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu
keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.

19
Lihat Pasal 32 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.

8
c) gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat
diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain
dalam syariah.
d) haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah.
e) zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi
pihak lainnya.

8. Penjelasan soal Akad


Penjelasan terkait macam-macam Akad terdapat dalam pasal 19
diantaranya sebagai berikut:
a) Akad Wadi’ah adalah Akad penitipan barang atau uang antara
pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
b) Akad mudharabah dalam menghimpun dana adalah Akad kerja
sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah)
sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau
Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan
membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam Akad. Sedangkan Yang dimaksud dengan
“Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja
sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal,
atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak
kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku
pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai
dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan
kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali
jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai
atau menyalahi perjanjian.
c) Akad musyarakah adalah Akad kerja sama di antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing
pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.
d) Akad murabahah adalah Akad Pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan
yang disepakati.20
e) Akad salam adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih
dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. Sedangkan Yang
dimaksud dengan “Akad istishna’ ” adalah Akad Pembiayaan

20
Lihat penjelasan Pasal 19 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

9
barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat
(shani’).
f) Akad qardh adalah Akad pinjaman dana kepada Nasabah
dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan
dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
g) Yang dimaksud dengan “Akad ijarah” adalah Akad penyediaan
dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Sedangkan
Yang dimaksud dengan “Akad ijarah muntahiya bittamlik”
adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
h) Akad hawalah” adalah Akad pengalihan utang dari pihak
yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
atau membayar.
i) Akad kafalah” adalah Akad pemberian jaminan yang diberikan
satu pihak kepada pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil)
bertanggung jawab atas pembayaran kembali utang yang
menjadi hak penerima jaminan (makful).
j) Akad wakalah” adalah Akad pemberian kuasa kepada
penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama
pemberi kuasa

9. Penyelesaian Sengketa
Penjelasan soal penyelesaian sengketa terdapat dalam pasal 55 yang
berbunyi, Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
isi Akad. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

C. Proses Pengeluaran UU antara Pemerintah dan MUI


Dalam proses pengeluaran undang-undang perbankan syariah,
antara Pemerintah dan MUI tentu melibatkan banyak pihak diantaranya
adalah Bank Indonsia, Kementrian Agama, dan unsur masyrakat. dari
ketiga unsur tersebut, lalu dibuat satu lembaga yang bernama Komite
Perbankan Syariah (KPS).21 Yang anggotanya harus memiliki keahlian
dibidang syariah dan ekonomi dan berjumlah 11 orang. Jadi fungsi dari
KPS adalah sebagai filter dan penjelas terkait fatwa yang sudah dikeluarkan
oleh MUI yang kemudian diserap menjadi peraturan Bank Indonesia.
21
Nafis, Teori hukum ekonomi syariah.

10
Bank Indonesia melengkapi undang-undang ini dengan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/32/PBI 2008 tentang Komite Perbankan
Syariah (KPS).22 PBI ini menetapkan tentang Komisi Perbankan Syariah
yang diamanahkan UU. Selain soal kepakaran anggota komite, PBI ini
menjelaskan tugas komite, yaitu menjabarkan fatwa MUI yang
berhubungan dengan perbankan syariah, memberikan sumbangan dalam
rangka penyerapan fatwa dalam Peraturan Bank Indonesia dan
melaksanakan pembangunan industri perbankan syariah. Jadi, fatwa
mempunyai kekuasaan penuh dalam menilai dan memberi tuntunan yang
sesuai dengan syariah bagi upaya mengembangkan perbankan syariah.
Inilah kedudukan hukum Islam sebagai sumber undang-undang nasional
yang setingkat derajatnya dengan sumber hukum nasional yang lain: hukum
adat dan hukum warisan kolonial Belanda untuk dimasukkan dan disahkan
menjadi hukum nasional.
Pembentukan lembaga Komite Perbankan Syariah (KPS)
merupakan bagian perjuangan untuk mengubah fatwa yang tidak mengikat
untuk dipraktikkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang
selanjutnya akan mengikat seluruh perbankan syariah. KPS yang berada di
bawah Bank Indonesia juga berfungsi untuk mengkaji fatwa dan
menjadikannya sebagai bahan PBI. Fungsi tersebut mirip fungsi Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk dan berada di bawah MUI, di mana
ia bertugas untuk mengkaji bahan fatwa yang akan difatwakan oleh MUI
berkaitan dengan masalah fiqih muamalah.

D. Pembacaan kritis terhadap UU Perbankan Syariah


Praktek perekonomian yang berlandaskan hukum islam merupakan
suatu transformasi yang penting dan layak untuk diapresiasi. Perkembangan
perekonomian yang begitu cepat, mengharuskan islam untuk menjawab
persoalan-persoalan seputar perekonomi yang semakin luas. Dengan adanya
perbankan syariah, secara tidak langsung membuktikan bahwasannya islam
mampu bertransformasi dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Namun ada beberapa hal yang ingin penulis kritisi dari UU Perbankan
syariah dan MUI.
1. Ketika MUI menjadi sumber hukum dalam melakukan kegiatan
perbankan, yang semuanya sudah diatur oleh fatwa yang dikeluarkan
MUI dengan berbagai motede istinbath hukum, berdasarkan empat
imam mazhab dan pendapat para ulama, yang menurut penulis metode-
metode dalam penetapan hukum islam yang telah ditetapkan oleh para
ulama semuanya sudah baku, dan tidak mungkin untuk diperbaharui.
Lalu ketika sudah seperti itu, apakah dimungkinkan untuk menemukan
satu celah untuk memasukkan keilmuan baru dalam penetapan hukum
islam. Seperti ilmu Sosiologi, ekonomi, sejarah, psikologi dan yang
lain. Dan penulis kira peluang masuknya keilmuan baru dalam proses
penetapan hukum harus dilakukan, supaya hukum islam tidak menjadi

22
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/32/PBI 2008

11
kaku. Sebagai contoh terkait keilmuan baru dalam penetapan hukum
islam, seperti teori Double movement fazlur rahman yang ingin
membaca realitas sosial dari zaman dulu, sekarang lalu untuk masa
depan. Seharusnya keilmuan semacam ini juga digunakan dalam
penetapan hukum islam.
2. Seharusnya islam mendukung praktek ekonomi yang sedang
berkembang bukan malah menghambat. Maksud dari kata menghambat
disini bukan berkonotasi negatif, tetapi islam tidak mampu melakukan
transformasi hukum. Salah satu contohnya terkait crypto atau mata
uang digital yang diharamkan oleh MUI karena melanggar prinsip
syariah. Asumsi penulis, haramnya crypto karena metode yang
digunakan dalam istinbath hukum masih menggunakan fiqih klasik
yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Artinya
dalam membaca realitas sosial, khususnya ekonomi jangan hanya
menggunakan nalar bayani, atau epistemologi islam normatif. Tapi
harus dipadukan dengan epistemologi burhani dan pembacaan melalui
islam historis.
3. Dalam undang-undang ini belum ada jaminan atau perlindungan
terhadap nasabah.
4. Problem Aspek Komitmen atas Pelaksanaan Prinsip Syariah yang
Masih Rendah
Ada dua sistem perbankan yang sudah diterapkan, yang mengatur
bank konvensional dan bank Islam diperbolehkan bersama-sama
melakukan bisnis. Lebih penting lagi, UU Perbankan No. 7 tahun 1992
dipandang sebagai dasar bagi eksistensi formal perbankan syariah di
Indonesia. Pada tahun 1998, pemerintah menerbitkan UU No.10 tahun
1998 tentang perbankan yang mengadopsi sistem dual banking (Sistem
bunga bank konvensional dan sistem bagi hasil bank syariah). UU No.
10 tahun 1998 merupakan amandemen dari UU No. 7 tahun 1992 dan
ini merupakan penegasan eksistensi perbankan syariah sebagai salah
satu lembaga keuangan di tanah air Kemudian, seiring dengan semakin
berkibarnya eksistensi perbankan syariah yang disupport oleh undang-
undang tersebut, ternyata hingga kini perilaku perbankan syariah di
Indonesia tak ubahnya dengan apa yang selama ini ditunjukkan oleh
perbankan nasional, yakni perilaku bunga bank ‘berbaju mudharabah’,
dan lain sebagainya ataupun simbolisme agama fatamorganis membuat
eksistensinya saat ini justru menjadi bahan kritikan umat Islam sendiri.
Hal ini disinyalir sebagai dampak dari rendahnya komitmen pelaku
perbankan syariah terhadap pelaksanaan prinsip syariah yang masih
rendah. Betapa tidak, menurut hasil penelitian ditemukan bahwa hampir
sebagian besar perbankan syariah di Indonesia mengambil keuntungan
‘riba’ yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perbankan
konvensional. Hal ini berimplikasi pada 2 (dua) fenomena faktual,
yaitu; pertama, animo masyarakat Indonesia khususnya muslim
menggunakan jasa produk perbankan syariah tidak mengalami
perkembangan yang signifikan, bahkan cenderung menurun. Kedua,

12
citra perbankan syariah yang sedemikian rupa justru turut menempatkan
Islam sebagai agama yang tidak produktif terhadap masalah
perekonomian umat, sekaligus ‘gugatan’ atas resolusi ekonomi Islam
terhadap masalah materialisme global.

E. Statistik dan Penyerapan fatwa MUI menjadi perundang-undangan

fatwa nomor jumlah persen Keterangan

Terserap 1,1-29 63 96,92 Dapat diterjemahkan


menjadi 31-54 ke dalam bahasa
peraturan 56-64 peraturan perundang-
undangan

Tidak 30 dan 55 2 3,08 Belum dapat


Terserap diterjemahkan ke
menjadi dalam bahasa
peraturan peraturan perundang-
undangan

Tabel statistik di atas memberikan informasi bahwa fatwa DSN-


MUI dikeluarkan atau diputuskan jika terdapat permintaan. Maka
produktivitas fatwa sangat bergantung kepada seberapa banyak masyarakat
melaporkan tentang permasalahan fiqih muamalah kepada MUI. Jika dilihat
dari sudut tema fatwa yang mayoritasnya berkaitan dengan perbankan (50
fatwa atau 76,92 persen), maka hal ini menunjukkan bahwa interaksi DSN-
MUI banyak terjadi dengan Bank Indonesia dan fokus kepada fiqih
muamalah yang masih dijalankan di dalam sistem perbankan di Indonesia.
Ini semua bukan inisiatif DSN-MUI, akan tetapi karena permintaan pasar.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
penjabaran data dan analisis prinsip syariah dalam fatwa-fatwa
fiqih muamalah Majelis Ulama Indonesia yang dilakukan di lembaga
Keuangan Syariah, lalu dibakukan dalam hukum konvensional, dapat
dijelaskan, bahwa ciri-ciri hukum Islam, terkhusus fiqih muamalah,
berwatak transendental/ketuhanan dan rasional. Prinsip syariah yang
tertulis dalam al-Qur’an dan Hadits di istinbathkan para ulama menjadi
hukum Islam yang sesuai untuk diterapkan pada setiap zaman dan
keadaan.
pengkajian fatwa fiqih muamalah MUI ditinjau dari sudut pandang
serta ragam pemikiran, metode penggalian (istinbath) dan
penyerapannya ke dalam peraturan perundang-undangan dapat
dikategorikan dalam beberapa kesimpulan besar. Bahwa penerapan
fiqih muamalah dalam aktivitas ekonomi Syariah di Indonesia dapat
dibagi kepada tiga periode: pertama, periode perintisan (‘asr al-ta’sis),
kedua, periode penerapan (‘asr al-tathbiq) dan ketiga, periode
penyerapan ke dalam peraturan perundang-undangan (‘asr al-taqnin).
Sebenarnya setiap tahapan tidak terpisah secara tegas. Pemilahan
pembagian ini dilakukan untuk mempermudah kajian terkait
perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
tahun 1992 sampai tahun 1999, dimulailah yang disebut dengan
periode awal atau perintisan, saat MUI melakukan pembahasan tentang
bunga bank dan aktivitas perbankan. Saat itu dirumuskan pendirian
bank syariah dan konsep bank berdasarkan prinsip syariah. Sepanjang
periode ini, MUI tidak mengeluarkan fatwa fiqih muamalah. Periode
penerapan dimulai tahun 2000 hingga 2007. Pada periode ini, MUI
banyak memproduksi fatwa fiqih muamalah untuk dijadikan pedoman
dan diterapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah. Adapun periode
penyerapan fatwa dalam peraturan perundang-undangan, dimulai sejak
MUI berhasil mendorong pengesahan undang-undang yang khusus
mengatur bank Syariah. Meskipun sebenarnya proses penyerapan fatwa
dalam peraturan perundang-undangan telah dimulai sejak MUI menjadi
perintis ekonomi syariah di Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nafis, M. Cholil , 2011. Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI-Press.

Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah, (Jakarta: pkes Publishing,


2008).

Kemenag, Buku Saku Perbankan Syariah, 2013

www.kompas.com/read/xml/2008/07/09/10151115/belajar.uu.perbankan.syariah.

Karim, Adiwarman. 2003. Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), IIIT
(The International Institute of Islamic Thought) Indonesia, Jakarta.

Supriyadi, Ahmad, 2011. Bank Syariah (Studi Perbankan Syariah dengan


Pendekatan Hukum), Idea Press Yogyakarta.

Susanto, Burhanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,


UIIPres,Yogyakarta.

Djamil, Fathurrahman, 2013. Hukum Ekonomi Islam (Sejarah, Teori dan


Konsep), Sinar Grafika, Jakarta.

UU. No. 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah

15

Anda mungkin juga menyukai