Anda di halaman 1dari 10

Nama : Rahmadani

Nim : 180510105

Matkul : Perbankan Syariah (UAS)

1. Jelaskan penting dan manfaatnya mempelajari Perbankan Syariah di Indonesia?

2. Jelaskan mengenai dasar hukum hukum perbankan Syariah di Indonesia?

3. Jelaskan mengenai perhimpunan modal perbankan syariah di Indonesia dan surat berharga
dalam praktek perbankan syariah di Indonesia?

4. Jelaskan mengenai kerahasiaan bank syariah serta jelaskan fungsi dan peran lembaga Bank
Indonesia dan Otoritas jasa Keuangan (OJK) terhadap perbankan syariah di Indonesia?

5. Jelaskan mengenai sejarah perbankan syariah serta jelaskan juga produk-produk perbankan
syariah?

JAWAB

1. Sebagai umat muslim, mempelajari perbankan syariah sangatlah penting karena dengan
mempelajarinya kita dapat mengetahui hal-hal terkait perbankan / permasalahan ekonomi dan
dapat membedakan kegiatan ekonomi mana yang haq serta mana yang batil sesuai dengan
syariat islam. Selain itu, manfaat dari mempelajari perbankan syariah ialah untuk mengetahui
bagaimana kegiatan perbankan syariah, mampu melakukan transaksi muamalah, menambah
ilmu pengetahuan di bidang perbankan khususnya perbankan syariah, membantu umat islam
dalam menghindari riba, yakni dapat menjalankan kegiatan perekonomian sesuai dengan
syariat dan terhindar dari harta yang haram, dapat menjadi sumber daya manusia yang
kompeten dibidang perbankan syariah dan memiliki referensi untuk bekerja di perbankan
syariah, serta mendapatkan pahala.

2. Dasar hukum mengenai bank syariah mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Nomor
10 Tahun 1998) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU
Nomor 21 Tahun 2008).
Menurut UU Nomor 10 Tahun 1998, Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah,
antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Sementara itu, Prinsip Syariah menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Kegiatan usaha yang
berasaskan Prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur
riba, maisir,.gharar, haram dan zalim. Serta berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin).

Mengenai penekanan prinsip syariah dalam perbankan syariah juga dapat dilihat dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah (PBI 9/2007) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/16/PBI/2008 Tahun 2008 (PBI 10/2008). Meskipun prinsip, jenis kontrak serta akad dalam
perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran dan hukum Islam dalam bidang ekonomi,
namun pengaturannya sudah ada legalitasnya dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia tentang perbankan syariah.

3. Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip
Wadi'ah dan Mudharabah. Prinsip wadi'ah yang diterapkan adalah wadi'ah yad dhamanah yang
diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamananh berbeda dengan wadia'ah amanah.
Dalam wadia'ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang
dititipi. Sementara itu, dalam hal wadi'ah yad dhamanah, pihak yang dititipi (bank)
bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan
tersebut. Sedangkan dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpanan atau deposan
bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan
terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua.
Hasil usaha ini akan dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank
menggunakannya untuk melakukan mudharabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh
atas kerugian yang terjadi.

Dalam mendapatkan modalnya, bank syariah melakukan penghimpunan dana dengan


produk-produknya seperti tabungan, instrumen giro, dan deposito. Meski hampir sama dengan
perbankan konvensional, tetapi dalam mekanismenya berbeda. Pada perbankan syariah
menggunakan prinsip wadiah dan mudharabah yang sesuai dengan prinsip islam. Produk
tabungan terbagi menjadi dua yaitu tabungan wadiah dan tabungan mudharabah. Instrumen
giro terbagi menjadi dua juga, yaitu giro wadiah dan mudharabah. Sedangkan pada deposito,
perbankan syariah hanya menggunakan prinsip mudharabah. Dari sistem mudharabah itu,
pihak bank akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan usaha yang dikelolanya berdasarkan
presentasi bagi hasil yang telah ditetapkan dan disetujui antara pemilik atau penyimpan dana
bank.

Surat berharga merupakan suatu surat yang didallamnya melekat erat suatu hak
tertentu, mempunyai nilai yang objektif sehingga dapat diperjualbelikan. Hak yang merekat
erat dimaksud dapat berupa hak menuntut penyerahan barang, hak yang berhubungan dengan
perusahaan atau hak untuk menagih sejumlah uang. Dalam hubungan dengan praktek
perbankan pengertian surat berharga di sini dibatasi dengan yang bersifat tagihan utang. Selain
pengertian surat berharga (Waarde papier negotiable instruments) juga dikenal pengertian surat
yang berharga terdapat pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Dalam pengertian
yang luas tercakup didalamnya pengertian surat berharga (waarde papier) dan surat yang dalam
arti yang sempit. Untuk pengertian yang sempit surat yang berharga ini diartikan sebagai lawan
dari surat berharga.

Peranan surat berharga pada sebuah bank tidak terlepas dari peran perbankan yang
berfungsi strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Peranan yang strategis tersebut
terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai wahana yang dapat menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien.

4. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah


selanjutnya disingkat UU Perbankan Syariah menyatakan bahwa rahasia bank adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
serta nasabah investor dan investasinya. Jika dilihat dari bunyi pasalnya, keterangan dalam
Pasal 1 angka 14 UU Perbankan Syariah, maka perlindungan rahasia bank untuk nasabah
penyimpan dan nasabah investor saja, sedangkan untuk nasabah debitor tidak ada penjelasan
secara terperinci. Pengertian tentang rahasia bank juga telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/9/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank menyatakan bahwa rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanan nasabah.

Fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan syariah dan


unit usaha syariah pada awalnya berada dalam otoritas Bank Indonesia. Regulasi ini melekat
pada Bank Indonesia sebagai mana diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999
sebagai mana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang. Pengawasan terhadap Bank Syariah dan Unit Usaha Syaria’ah juga
dilakukan Bank Indonesia, sebagai mana pada perbankan konvensional. Untuk melaksanakan
kepentingan tersebut Bank Indonesia, sebagaimana pada perbankan konvensional. Untuk
melaksanakan kepentingan tersebut Bank Indonesia telah dibentuk perbankan syariah.
Depertement ini terdiri dari 4 devisi yaitu Divisi Penelitian Pengembangan dan Pengaturan
Perbankan Syariah, Divisi Pengawasan Bank Syariah, Divisi Informasi Perbankan Syariah dan
Divisi Perijinan, Administrasi dan Dokumentasi Perbankan Syariah.

Menurut Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia


mengatur bahwa fungsi pengawasan tidak lagi berada di bawah otoritas Bank Indonesia tetapi
akan diserahkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan
dibentuk dengan undang-undang. Ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan yang mengokohkan kedudukan lembaga OJK sebagai lembaga
keuangan yang independen dan bebas campur tangan dari pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagai
mana diatur dalam undang-undang di maksud. Lembaga tersebut melaksanakan lembaga
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan
lembaga keuangan lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. Fungsi pengaturan
dan pengawasan tersebut tidaklah sepenuhnya diberikan kepada OJK. Akan tetapi OJK tetap
bekerjasama dengan BI dan memiliki kewenangannya masing-masing dalam menjalankan
fungsi pengaturan dan pengawasan. Pengaturan dan Pengawasan kelembagaan, kesehatan,
aspek kehati- hatian, dan pemeriksa bank merupakan lingkup microprudential yang menjadi
tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential
merupakan tugas dan wewenang BI. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, OJK
berkordinasi dengan BI untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan.

Adapun peran OJK dalam menjalankan tugas pengawasan bank saat ini melaksanakan
sisitem pengawasannya dengan mengadakan 2 pendekatan yaitu:

1. Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance Based Supervision/CBS), yaitu


pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan
pengelolaan bank dimasa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi
dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap
pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan
pengawasan bank berdasarkan risiko.

2. Pengawasan berdasarkan risiko (Risk Based Supervision/RBS) yaitu pengawasan bank yang
menggunakan strategi dan metologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank
mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai
dan tepat waktu.

Adapun tujuan OJK dibentuk adalah sebagai berikut:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel

b. Mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

5. Sejarah perbankan syariah di Indonesia

Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan
keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan
kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien
dan kuat dalam menopang perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut pemerintah Indonesia
pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang merupakan konsep
dari perbankan syariah. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan (liberalisasi
sistem perbankan). Meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa usaha-
usah perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.

Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-
diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan
perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait
At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Tahun 1990, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada
tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian
dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990,
yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di
Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk
melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja
Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT
Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1
Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar
Rp 106.126.382.000,-

Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperolehperhatian


yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Landasanhukum operasi bank yang
menggunakan sistem syariah, saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank
dengan sistem bagi hasil"pada UU No. 7 Tahun 1992; tanpa rincianlandasan hukum syariah
serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Pada tahun 1998, pemerintah dan
DewanPerwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebutmenjadi UU
No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan
di tanah air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan
syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya
beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN,
Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll.

Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan


meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk);
dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN
Barang dan Jasa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan
syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif,
yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir,
maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional
akan semakin signifikan. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah
BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-
2010).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua


dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik
dari aspek lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan,
maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem
keuangan syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara
internasional. Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah,
22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan
total aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah
Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS)
masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp. 85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun. Pada
akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia
ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih
ke OJK. OJK selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi
kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap
Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014.
Roadmap ini diharapkan menjadi panduan arah pengembangan yang berisi insiatif-inisiatif
strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan.
Produk perbankan syariah

➢ TABUNGAN SYARIAH

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya melalui beberapa ketentuan yang sudah
dijelaskan oleh pihak bank pada nasabah. Sarana penarikannya bisa menggunakan buku
tabungan, ATM, slip penarikan dan juga melalui metode canggih lain misalnya internet
banking. Ciri khas tabungan syariah adalah menerapkan akad wadi’ah, yang artinya tabungan
yang kita simpan tidak mendapatkan keuntungan karena cuma dititip, tidak ada bunga yang
diterima oleh nasabah akan tetapi bank memberikan hadiah atau bonus kepada nasabah.

➢ DEPOSITO SYARIAH

Deposito banyak dipilih oleh masyarakat untuk berinvestasi, selain mudah, keuntungan
yang didapatkan juga lebih tinggi dari tabungan biasa. Depositoadalahproduk simpanan di bank
yang penyetorannya maupun penarikannya hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu saja
karena bank membutuhkan waktu untuk melakukan investasi. Bisnis atau investasi yang
dijalankan oleh bank tersebut harus masuk kategori halal menurut hukum islam. Tenor atau
jangka waktu yang ditawarkan sama dengan deposito konvensional, antara 1 hingga 24 bulan.

➢ GADAI SYARIAH (RAHN)

Akad gadai syariah yang dipraktikkan pada PT. Pegadaian adalah meminjamkan uang
kepada nasabah dengan jaminan harta yang bernilai dan dapat dijual. Uang yang dipinjamkan
adalah murni tanpa bunga. Namun nasabah (rahin) wajib menyerahkan barang jaminan
(marhum) untuk kepentingan sebagai alat pembayaran utang manakala pemberi gadai tidak
dapat membayar utang saat jatuh tempo yang telah disepakati.

➢ GIRO SYARIAH

Salah satu produk perbankan syariah yang termasuk ke dalam konsep wadiah (titipan)
adalah giro. Secara umum yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya
atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro
berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.

➢ PEMBIAYAAN SYARIAH (IJARAH)


Leasing sudah sangat familiar dalam kehidupan kita sehari-hari karena sudah banyak
masyarakat yang menggunakan jasa layanan tersebut, yakni Akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujroh) tanpa
diikuti dengan pemindahan pemilikan barang itu sendiri. Contoh, dalam pembelian mobil,
motor atau benda berharga lainnya. Sewa guna usaha (leasing) pada awalnya di kenal di
Amerika Serikat, yaitu berasal dari kata lease yang berarti menyewa. Sedangkan dalam
ekonomi Islam istilah yang berkaitan dengan leasing adalah Ijarah (al ijarah) yang berasal dari
kata al ajru yang berarti al iwadhu (ganti).

➢ WADIAH (TITIPAN)

Titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dalam bidang ekonomi
syariah, wadi'ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah
yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan tersebut.
Kata wadi'ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang
seseorang (nasabah) tinggalkan pada pihak lain (bank) agar dijaga disebut wadi'ah, karena
orang tersebut meninggalkannya kepada pihak yang sanggup menjaganya. Secara harfiah,
wadi'ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu
maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya.

➢ MURABAHAH

Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Akad yang digunakan adalah Murabahah, yaitu akad jual-beli antara bank dan
nasabah. Bank akan melakukan pembelian atau pemesanan barang sesuai permintaan nasabah
kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah keuntungan Bank yang
disepakati.

➢ SYIRKAH (BAGI HASIL)

Syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi adalah bentuk umum dari usaha
kemitraan yang di dalamnya terdapat bagi hasil di mana dua pihak atau lebih menggabungkan
modal atau tenaga dalam melakukan usaha, dengan proporsi pembagian profit sesuai porsi
tanggungjawab.
➢ MUDHARABAH

Adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih pihak di mana pemilik modal
(shahibul amal) memercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal
dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

➢ AL QARD

Al qard adalah suatu akad pinjaman (penyaluran dana) kepada nasabah dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati antara nasabah dan LKS. Al-Qardh
merupakan perwujudan LKS yang di samping sebagai Lembaga Komersial juga sebagai
Lembaga Sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal.

➢ BAY'I (JUAL BELI)

Ada tiga jenis jual beli dalam pembiayaan di perbankan syariah, yaitu akad Bay'u al-
Murabahah (akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan (margin) yang
disepakati), Bay'u al-Salam (pembiayaan jual beli di mana barang yang dibeli diserahkan
kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan di muka), dan Bay'u al-Istishna (kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang). Adapun makna ba'i menurut istilah adalah
pemilikan terhadap harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta. Menurut
pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling
rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar
yang sah).

Anda mungkin juga menyukai