Oleh :
Ahmad Zulkarnain
21211200000009
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik berupa kitab (Al-Qur’an) yang
serupa-serupa dan berulang-ulang ayatnya”.
1
Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2011), hlm. 199.
1
PEMBAHASAN
A. Definisi Munasabah
Menurut pengertian etimologi munasabah artinya keserasian dan
kedekatan.2 Selanjutnya Az-Zarkasyi menyetakan Tanasub dan munasabah
berasal dari akar kata yang sama, yaitu نسبal-munasabah mengandung arti
berdekatan, bermiripan. Oleh karena itu ungkapan ب فُاَل نًا ِ
ُ فُاَل ٌن يُنَ ا سbermakna
si pulan itu mirip dengan pulan yang lain, dua orang bersaudara disebut satu
nasib ( )نسيبkarena keduanya bermiripan.3 Secara terminologis, Munasabah
sebagaimana di katakan Mana al-Qathan adalah: segi-segi hubungan antara
satu kalimat dalam ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak
ayat atau antara satu surat dengan surat lain. 4
Adapun menurut para ahli munasabah dapat didefinisikan sebagai
berikut:
1. Menurut Ibn Al’ Arabi
َ َ َ ُ
ِ ض حىَّت تَ ُكو َن َكالْكلِم ِة الْو
ِ اح َد ِة مت
َّس َق ِة اَلْم َعاىِن ُمْنتَ ِظم ِة الْمبَاىِن
َ َ ْ
ِ ِ ِّ ِأْرتِبَا ُط
َ ٍ َأي الْ ُق ْرأان َب ْعض َها بَب ْع
ِعْل ٌم َع ِظْي ٌم
Artinya: “munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga
seolah-olah merupakan satu ungkapan yang memiliki kesatuan makna
dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat
agung”.5
2. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan
dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan
ayat, atupun surat dengan surat.6
2
temukan sekarang merupakan susunan yang memiliki pertalian yang
demikian kuatnya sehingga ayat-ayat dan surat-surat di dalamnya terasa
sekali memiliki hubungan erat satu sama lain.
B. Sejarah Munasabah
Wacana ’Ilmu al-Munasabah erat kaitannya dengan latar belakang
diskursus kedudukan tartib al-mushaf (penyusunan surat-surat dalam
mushaf alQur’an. Perdebatan yang mengemuka adalah apakah
penyusunannya berdasar pada tawqifi atau ijtihadi. Perdebatan akademiknya
adalah para ulama berbeda pendapat dalam penyusunan mushaf. Ada dua
pendapat yang akan diuraikan di tulisan ini.
Pendapat Pertama, mayoritas ulama berpandangan bahwa surat-
surat Alquran disusun berdasarkan tauqifi. Sudah merupakan kepastian dari
Rasulullah membaca berbagai surat menurut susunan ayatnya masing-
masing di dalam shalat, atau pada khutbah Jum’at, disaksikan para
sahabatnya. Kenyataan itupun merupakan bukti terang yang menyatakan
bahwa susunan dan urutan ayatayatnya memang sesuai dengan kehendak
dan petunjuk dari Nabi sendiri. Maka, dalam mendukung pendapat pertama,
hal ini tidak mungkin apabila sahabat nabi menyusun urutan ayat-ayat yang
berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal itu merupakan kepastian yang
tidak dapat diragukan kebenarannya (mutawatir). 7
Susunan dan urutan suratpun berdasarkan kehendak dan petunjuk
Rasulullah SAW Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan
surat Alquran. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan
sebaliknya. Dengan kata lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan
surat Alquran disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad
mereka sendiri. Lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan ijtihad
para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya menurut
kehendak dan petunjuk Rasulullah saw. Pelopor pendapat ini adalah Abu
Ja‘far ibn Nuhas (w. 338 H.), al-Kirmani, Ibn alHasar (w. 611 H.), Abu
Bakr al-Anbari (271-328 H.) dan al-Bagawi (w. 286 H.). Abu Ja‘far ibn
Nuhas seperti yang dikutip al-Zarkashi.8
Pendapat kedua, Ada beberapa persepsi yang berdasarkan bahasan
ini. Pertama, mus}h}af pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat
pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang
terdapat dalam Alquran. Ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib
surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang
dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa susunan surah sebagai
ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah
mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tartib mushaf yang
sekarang dan tentang adanya catatan mushaf sahabat yang berbeda bukanlah
7
Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Mustafá al-Bab al-
Halabi, 1951), 105, bandingkan pula dengan, Subhi al-Salih, Mabahith Fi‘Ulum al-Qur’an
(Bayrut, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), 71.
8
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur'an, 259.
3
mutawatir. Tartib mushaf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir.
Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan
mushaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Alquran. Karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tartib mushaf al-Qur’an sahabat sangat besar.
Ulama yang mendukung pendapat kedua ini antara lain Imam
Malik, Abu bakr al-Tib al-Baqillani, al-Zarkashi dan al-Suyuti. Al-Zarkasyi
mengutip pendapat Imam Malik mengatakan bahwa para sahabat menyusun
Alquran itu berdasarkan apa yang mereka dengar dan lihat dari Nabi, sedang
susunan dalam penyusunan surat Alquran, mereka lebih mengedepankan
atas ijtihad mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip dalam buku
Sejarah dan Ulum al-Qur’an dikatakan bahwa tidak pernah ditemukan
riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. 9
Sebenarnya tidak diketahui secara pasti tanggal mulai lahirnya ilmu
Munasabah ini, namun dari literatur yang di temukan, para ahli cenderung
berpendapat bahwa kajian ini pertama kali munculkan oleh al-imam Abu
Bakr Abd Allah bin muhammad al-Nasyaburi (w 324 H) di kota baghdat
sebagaimana diakui oleh Syaykh Abu al-Hasan al-Syahrabanni seperti
dikutip oleh al-Alma’i.10 Al-Suyuthi juga berpendapat serupa. Dan
ditambahkannya bahwa al-Nasyaburi adalah seorang yang menonjol dalam
ilmu syari’at dan sastra.11 Jika pendapat ini diterima, berarti pembahasan
terkait munasabah ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an telah mulai
menjadi objek studi dikalangan ulama tafsir sejak abad ke-4 H. Namun
timbul pertanyaan mengapa baru abad ke-4 ulama memperhatikan
permasalahan munasabah ini secara serius? Jika diamati perkembangan
ilmu-ilmu keislaman, memang terjadi lonjakan yang amat berarti pada abad-
abad I sampai dengan IV setelah itu perkembangan ilmu keislaman tidak
sepesat abad-abad sebelumnya.
Namun diakui bahwa apa yang dilakukan oleh ulama pada abad I-III
belum membahas munasabah ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an secara
sistematis. Dengan demikian, agaknya karya al-Tanzil al-Iskafi (w. 420 H)
yang berjudul Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dapat dikategorikan
kitab tafsir tertua dalam bidang munasabah. Setelah itu diikuti oleh karya
Taj al-Qurran al-Karmani (w. 505 H) yang bernama al-Burhan fi Tajih
Mutasyabih al-Qur’an. Pada periode berikutnya dilanjutkan oleh Abu-Ja’far
Ibn al-Zubayr al-Andalusi (guru abu Hayyan) w. 708 H mengarang khusus
kitab membahas munasabah dengan judul al-Burhan fi Munasabat Tartib
Suwar al-Qur’an. Kemudian burhan al-Din al-Biqa’i (w. 885 H) mengarang
kitab khusus tentang munasabah dengan judul Nazhm al-Durar fi Tanasub
al-Ayat wa al-Suwar. Al-Suyuthi juga membahas masalah ini dengan
menulis kitab yang bernama Tanasub al-Durar fi Tanasub al-Suwar. Ada
9
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 259.
10
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, 1979, juz II,
hlm. 108.
11
Ibid. Hlm.78.
4
juga yang membahas secara parsial dalam kitabnya seperti yang dilakukan
oleh Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain.12
Dari sekian banyak kitab yang membahas munasabah, para ulama
cenderung berpendapat bahwa tulisan al-Biqa’i tampak lebih lengkap bila
dibandingkan dengan karya-karya lain sebagaimana disebut di atas. Quraisy
Syihab mengatakan pembahasan masalah munasabah mencapai puncaknya
dibawah usaha ibrahim bin Umar al-Biqa’i.13
Dengan demikian, jelas bahwa ilmu munasabah sudah mulai di
pelajari pada abad 4 H dan mengalami puncaknya di tangan al-Biqa’i.
Terlepas dari itu semua, yang menjadi latar belakang munculnya ilmu
munasabah adalah perdebatan di kalangan ulama terkait penyususan mushaf
Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kronologi turunya. Apakah penyususan
mushaf al-Qur’an berdasarkan petunjuk nabi (tauqif) atau berdasarkan
ijtihad sahabat. Terjadi perdebatan panjang di antara para ulama salaf
terkait hal ini. Tetapi penulis tidak akan menjelaskan perdebatan itu pada
tulisan ini karena pembahasan tersebut lumayan panjang. Mungkin nanti
pembaca bisa melihat dan mencari sumber referensi lebih jauh terkait
perdebatan tersebut.
12
Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 187.
13
Muhammad Quraish Syihab, Tafsir Al-Qur’an dengan metode maudhu’i,
(Jakarta: PTIQ, 1986). Hlm. 31.
14
Nur Efendi, Memahami Wahyu Allah Secara Lebih Integral dan Komprehensif,
(Yogyakarta: Teras, 2014), hlm. 113.
5
Setelah mengetahui langkah-langkah dalam meneliti munasabah
atau pengaplikasiannya dalam penafsiran, penulis akan menjelaskan macam-
macam munasabah. Untuk lebih memperjelas pembahasan mengenai
munasabah, perlu dikemukakan macam-macamnya baik dilihat dari sifat-
sifatnya maupun dari segi materinya. Munasabah dari segi sifat-sifatnya
dapat dipilih menjadi dua yaitu: Zhahir al-irtibath (korelasi yang
transparan) dan Khafiyyu al irtibath (korelasi yang terselubung).15
Artinya: maha suci Allah, yang telah memperjalankan hambanya pada suatu
malam dari masjidil haram ke masjidil aqsha yang telah kami berkahi
sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
kebesaran kami. Sesungguhnya dia adalah maha mendengar lagi maha
mengetahui. (Qs. Al-Isra: 1).
6
يَ ْسـَٔلُْونَ َك َع ِن ااْل َ ِهلَِّة ۗ قُ ْل ِه َي َمَواقِْي ُت لِلن َِّاس َواحْلَ ِّج ۗ َولَْي َس الْرِب ُّ بِاَ ْن تَْأتُوا الُْبُي ْو َت ِم ْن ظُُهْو ِر َها َوٰل ِك َّن الْرِب َّ َم ِن َّاتقٰىۚ َوْأتُوا
ت ِم ْن اَْب َواهِبَا ۖ َو َّات ُقوا ال ٰلّهَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْو َنَ الُْبُي ْو
Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit.
Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.”
Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi
kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah
dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
(Qs. Al-Baqarah: 189-190).
Ayat di atas menerangkan tentang bulan tsabit yang merupakan
tanda waktu untuk jadwal pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan ayat 190
mengiringinya dan berbunyi:
ُّ َِوقَاتِلُ ْوا يِف ْ َسبِْي ِل ال ٰلّ ِه الَّ ِذيْ َن يُ َقاتِلُ ْونَ ُك ْم َواَل َت ْعتَ ُد ْوا ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ اَل حُي
ب ال ُْم ْعتَ ِديْ َن
Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.17
Ayat tersebut menjelaskan perintah menyerang kepada orang-orang
yang menyerang umat islam. Sepintas memang antara kedua ayat di atas
tampak tidak memiliki korelasi. Padahal sebenarnya terdapat kaitan yang
erat antara keduanya. Ayat 189 berbicara soal waktu untuk melakukan
ibadah haji, sedangkan ayat 190 berikutnya menjelaskan, pada saat haji
umat islam dilarang menumpahkan darah (berperang), tetapi jika mereka
diserang terlebih dahulu, maka serangan tersebut harus dibalas walaupun
pada musim haji.
17
Qs. Al-Baqarah/2:190.
18
Nur Efendi, Memahami Wahyu Allah Secara Lebih Integral dan Komprehensif.
Hlm. 120.
19
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 92.
7
b. Pola Tafsir (Penjelas) yaitu apabila makna satu ayat atau bagian
tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat disampingnya.
Contoh firman Allah:
ۙ َ ب فِْي ِه ُه ًدى لِّْل ُمت َِّقنْي
َ ْٰب اَل َري
ِ َ ِ ٰذل
ُ ك الْكت
ٰه ْم يُْن ِف ُق ْو َن ب وي ِقيمو َن َّ مِم ِ ِ ِ
ُ الص ٰلوةَ َو َّا َر َز ْقن ْ ُ ْ ُ َ ِ الَّذيْ َن يُْؤ مُن ْو َن بالْغَْي
Artinya: Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah ayat 2-3).
Kata muttaqin pada ayat kedua ditafsirkan maknanya oleh
ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang
yang mengimani hal-hal ghaib, mengerjakan shalat dan yang
lainnya.20
d. Pola tasydid (Penegasan) apabila suatu ayat atau bagian ayat yang
mempertegas arti ayat yang ada di sampingnya. Contoh firman
Allah:
ِ ض ِ َّ ِ ٱلص ٰر َط ٱلْمست ِق ِ
َ ِّوب َعلَْي ِه ْم َواَل ٱلضَّال
ني ُ ت َعلَْي ِه ْم َغرْيِ ٱل َْم ْغ
َ ين َأْن َع ْم
َ يم ص َٰر َط ٱلذ
َ َ ْ ُ َ ِّ ْٱهدنَا
Artinya: tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan oang-orang
yang telah engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka
yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.
Ungkapan ash-shirath al-mustaqim pada ayat 6 dipertegas
oleh ungkapan shirathalladzina kedua ungkapan yang memperkuat
ini terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang
tidak diperkuat olehnya.
20
Nur Efendi, Memahami Wahyu Allah Secara Lebih Integral dan Komprehensif,
(Yogyakarta: Teras, 2014), hlm. 121.
21
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an,
8
e. Pola tanzhir (pernyataan), munasabah ayat yang merupakan dua hal
yang serupa atau setara. Pada umumnya bentuk munasabah ini tidak
menggunakan huruf athaf. Contoh firman Allah:
ِ ِ َ ك هم ٱلْمْؤ ِمنُو َن حقًّا ۚ هَّل م درجـٰت ِع ِئ
ٌند َرهِّب ْم َو َم ْغفَرةٌ َو ِر ْز ٌق َك ِرمي ٌ َ َ َ ُْ َ ُ ُ ُ َ ُٰأولَـ
Artinya: itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya
mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
tuhannya dan ampunan serta rezky (nikmat) yang mulia. (Qs. Al-
Anfal ayat 4).
ِِ َ ِك ِمن َبْيت
َ ك بِٱحْلَ ِّق َوِإ َّن فَ ِري ًقا ِّم َن ٱل ُْمْؤ من
ني لَ َكـٰ ِر ُهو َن َ ُّك َربَ َأخَر َج
ْ َك َما
Artinya: sebagaimana tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu
dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-
orang yang beriman itu tidak menyukainya. (Qs. Al-Anfal ayat 5).
Disini ada dua keadaan yang sebanding, yaitu mereka yang
mengikuti perintah tuhannya akan mendapat imbalan sesuai dengan
kerjanya. Imbalan tersubut ialah kebaikan dunia dalam bentuk
materi dan harta rampasan, dan imbalan akhirat adalah pahala yang
berlipat ganda. (Qs. Al-Anfal ayat 5).22
22
Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, hlm. 70-71.
23
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm. 52.
9
g. Pola Istihrad yakni munasabah yang terlihat pada adanya kaitan
antara satu persoalan dengan persoalan lain. Contoh firman Allah:
ت ال ٰلّ ِه لَ َعلَّ ُه ْم
ِ ك ِمن اٰ ٰي ِ ِ ِ ِ ِ ِ ً َيَا بَيِن اٰ َد َم قَ ْد اَْنَزلْنَا َعلَْي ُك ْم لِب
ْ َ ك َخْيٌرۗ ٰذل َ الت ْق ٰوى ٰذل َّ اس ُ َاسا يُّ َوار ْي َس ْواٰت ُك ْم َوريْ ًشاۗ َولب ْ
اس ُه َما لِرُيِ َي ُه َما َس ْواٰهِتِ َما ِ ِ ِ
َ َيَ َّذ َّكُر ْو َن ـ ٰيبَيِن ْ اٰ َد َم اَل َي ْفتَننَّ ُك ُم الشَّْي ٰط ُن َك َما اَ ْخَر َج اََب َويْ ُك ْم ِّم َن اجْلَنَّة َيْنزِعُ َعْن ُه َما لب
َّ ث اَل َتَر ْونَ ُه ْمۗ اِنَّا َج َعْلنَا
الشٰي ِطنْي َ اَْولِيَاۤءَ لِلَّ ِذيْ َن اَل يُْؤ ِمُن ْو َن ُ ۗانَّه يَ ٰرى ُك ْم ُه َو َوقَبِْيلُه ِم ْن َحْي
ِ
Artinya: Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah
menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan
bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah
sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
ingat. Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh
setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu
bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk
memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan
pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak
bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-
setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. Al-
Araf ayat 26-27).24
Ayat 26 merupakan kelanjutan dari pengertian ayat 27 yang
telah dikemukakan sebelumnya. Yakni berada setelah penyebutan
terbukanya aurat mereka (Adam dan Hawa) karena terlepasnya daun
surga yang menutupi aurat mereka ketika masih berada didalamnya,
setelah tergoda syaitan. Tujuan ayat 26 tersebut adalah untuk
menunjukkan karunia Allah yang telah menciptakan pakaian dan
telah memerintahkan untuk menutup aurat. Telanjang dan
terbukanya aurat bagi manusia adalah kehinaan. Dan menutupnya
merupakan bagian dari taqwa.
24
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Anggota IKAPI, 2013), hlm.
248.
10
2. Munasabah antar surat dalam Al-Qur’an
a. Munasabah antar nama surat25
Biasanya terjadi antara nama suatu surat dengan nama surat
sesudahnya atau dengan nama surat sebelumnya terdapat hubungan
makna. Sebagai contoh: Qs. Al-Mukminun: (23) orang-orang
mukmin dengan Qs. An-Nur: (24) cahaya dan Qs. Al-Furqan: (25)
pembeda. Korelasinya adalah pada hakikatnya orang-orang yang
beriman (Al-Mukminun) hidup dibawah cahaya (nur) yang
menerangi lahir dan batinnya. Dan karena adanya penerangan
kehidupan lahir dan batin, orang-orang beriman tersebut memiliki
kemampuan untuk membedakan (Al-Furqan) antara yang haq dan
yang batil, yang baik dan yang buruk, dan lain-lain.
11
batas, sama halnya dengan perumpamaan terang dan gelap. Apabila
datang terang, gelap langsung sirna, demikian pula sebaliknya. Jadi
bila di awal surat kaum beriman dinyatakan beruntung, dengan
sendirinya kaum kafir merugi. Kerugian tersebut dinyatakan secara
eksplisit oleh Allah di akhir surat al-mukminun.28
2. Kaidah bahasa memiliki cakupan yang luas dalam kaidah penafsiran Al-
Qur’an, seperti kaidah, Mufrad dan Jama, kaidah penambahan kata,
isim dan fiil, dan kaidah keumuman redaksi dan kekhususan sebab.
Asumsi penulis bahwa, beberapa kaidah yang sudah penulis tulis
memiliki kaitan dengan ilmu munasabah tetapi penulis belum memiliki
cukup bukti untuk membuktikannya. Mungkin kedepannya bisa
diperbaiki dan ditambah beberapa kaidah tafsir yang terkait.
28
Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 198.
29
Ibid.
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemunculan ilmu munasabah berawal dari kenyataan bahwa
sistematika Alquran sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang
tidak berdasarkan pada kronologis turunnya. Itulah sebabnya terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di dalam
Alquran. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tawqifi dari
nabi. Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas ijtihadi.
Golongan ketiga berpendapat, serupa dengan golongan pertama, kecuali
surat al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi.
Sebelum menutup pembahasan ini, agaknya perlu menjadi
perhatian kita adalah apa yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam
menetapkan kemunasabahan antara ayat dengan ayat atau antara surat
dengan surat. Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, tidak ada
ulama yang mengemukakan hal itu secara eksplisit dan rinci, tetapi
kemudian Quraish Shihab menggaris bawahi pendapat al-Biqa’i yang
menegaskan: “untuk menemukan setiap hubungan harus terlebih
dahulu diperhatikan kandungan ayat-ayat yang akan dihubungkan
dengan menyesuaikannya dengan tujuan surat secara keseluruhan.
Apabila memperhatikan contoh-contoh munasabah yang
dikemukakan oleh ulama tafsir diatas, agaknya teori al-Biqa’i dapat
kita terima karena memang demikian yang diterapkan oleh para
ulama tersebut.
13
S
M
m
y
k
I
l-
A
r
tzA
m
M
z
fy
if
g
e
h
b
s
a
n
ud
'k
T
o
P
Lampiran
14
trS
15
A
h
b
s
a
n
u
m
DAFTAR PUSTAKA
al-Suyuthi, Jalal al-Din, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Dar al-Fikr, 1979, juz II).
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Cet. Ke-3, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008).
Efendi, Nur, Memahami Wahyu Allah Secara Lebih Integral dan Komprehensif,
(Yogyakarta: Teras, 2014).
Khalil al-Qathan, Mana, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, (Mesir: mansyurat Al-'Ash al-
Hadits ,1973).
16