Anda di halaman 1dari 8

Tugas III Hukum Perbankan

Nama: Dante Deva Daniswara


NPM: 1906361512

1. Pada dasarnya, bank sebagai lembaga jasa keuangan yang pengaturan dan
pengawasannya berada di bawah OJK harus senantiasa dimiliki dan dikelola oleh
pihak-pihak yang memiliki kualifikasi-kualifikasi dan kemampuan-kemampuan yang
bai di bidang perbankan. “Pihak-Pihak” disini tidak hanya terbatas pada pemilik atau
pengelola saja, namun juga pihak yang memiliki pengaruh signifikan terhadap suatu
bank. Setelah adanya peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan industri jasa
perbankan dari Bank Indonesia ke OJK, peraturan pelaksana yang mengatur standar
dan prosedur uji kemampuan dan kepatutan bagi pejabat utama lembaga jasa
keuangan (termasuk bank) adalah POJK No. 27/POJK.03/2016 Tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (“POJK
27/2016”). Bagi bank, tiga pihak yang menjadi topik pembahasan adalah Pemegang
Saham Pengendali (PSP), direksi, dan dewan komisaris. Menurut Pasal 2 ayat (1)
POJK 27/2016, calon pihak utama harus mendapatkan persetujuan OJK terlebih
dahulu sebelum menjalankan tugasnya sebagai pihak utama. Selanjutnya pada pasal 4
POJK 27/2016 telah ditentukan beberapa persyaratan yang digunakan sebagai standar
untuk menilai kemampuan dan kepatutan calon pihak utama yaitu bagi PSP adalah
integritas dan kelayakan keuangan dan bagi selain PSP adalah integritas, reputasi
keuangan, dan kompetensi. POJK 27/2016 kemudian merinci beberapa indicator dari
masing-masing persyaratan, Pasal 5 merinci beberapa indikator untuk syarat integrasi
yaitu cakap melakukan perbuatan hukum, memiliki akhlak dan moral yang baik,
paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu
tertentu sebelum dicalonkan ,memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan dan mendukung kebijakan OJK, memiliki komitmen terhadap
pengembangan LJK yang sehat, dan tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang untuk
menjadi Pihak Utama. Selanjutnya, untuk memenuhi persyaratan reputasi keuangan,
harus memenuhi dua indikator yang ada dalam Pasal 6 POJK 27/2016 yaitu tidak
memiliki kredit/pembiayaan macet dan tidak pernah dinyatakan pailit atau emnjadi
pemegang saham, direksi, atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah
dalam meyebabkan perusahaan pailit dalam jangka waktu lima tahun terakhir.
Selanjutnya, Pasal 7 mengatur indikator yang harus dipenuhi untuk memenuhi syarat
kelayakan keuangan (khusus untuk PSP) pertama adalah harus memenuhi selutuh
syarat reputasi keuangan yang ada di Pasal 6, kemudian harus memiliki kemampuan
keuangan untuk mendukung usaha LJK dan memiliki komitmen untuk melakukan
segala upaya yang diperlukan bila LJK menghadapi kesulitan keuangan. Terakhir,
Pasal 8 mengatur syarat kompetensi yaitu memiliki pengetahuan dan atau pengalam
yang mendukung pengelolaan LJK
2. Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
ketika terjadi penggabungan (merger) atau peleburan antara bank Syariah dengan
jenis bank yang lain, bank hasil penggabungan atau peleburan harus menjadi bank
Syariah. Latar belakang filosofis dari persyaratan ini adalah fakta bahwa bank Syariah
memiliki kekhususan tertentu apabila dibandingkan dengan jenis bank konvensional
dimana bank Syariah menyelenggarakan usahanya berdasarkan prinsip Syariah.
Kegiatan bank Syariah juga dilaksanakan berdasarkan berbagai macam akad-akad
tertentu yang tidak dikenal dalam bank umum konvensional, selain itu bank Syariah
juga dilarang untuk melakukan beberapa usaha-usaha tertentu yang bertentangan
dengan prinsip Syariah. Oleh sebab itu, apabila hasil merger antara bank Syariah
dengan jenis bank lain menghilangkan sifat bank Syariah, dikhawatirkan akan
merugikan nasabah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
3. Setelah kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan mengalami transisi dari
yang sebelumnya dimiliki oleh Bank Indonesia menjadi dimiliki oleh OJK, terbit
peraturan pelaksana baru yang mengatur secara mendetail mengenai perbuatan hukum
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan konversi bank umum yaitu
POJK No. 41/POJK.03/2019 (“POJK 41/2019”). Berdasarkan ketentuan yang
terkandung dalam peraturan ini kita dapat melihat perbedaan-perbedaan penting
kelima perbuatan tersebut. Sebelum mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, kita
harus memahami esensi perbuatan-perbuatan tersebut terlebih dahulu. Pertama,
penggabungan adalah perbuatan hukum dimana satu atau lebih bank menggabungkan
diri ke bank lain yang mengakibatkan segala asset, liabilitas, dan ekuitas bank yang
menggabungkan diri beralih secara hukum kepada bank yang menerima
penggabungan dan status badan hukum bank yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum. Misalnya Bank A menggabungkan diri dengan Bank B, maka Bank A
status badan hukumnya akan berakhir sedangkan status hukum Bank B akan bertahan.
Kedua, Peleburan adalah perbuatan hukum dimana dua bank atau lebih meleburkan
diri menjadi suatu bank baru yang mengakibatkan seluruh asset, liabilitas, dan ekuitas
bank-bank yang meleburkan diri beralih secara hukum ke bank yang baru berdiri dan
status badan hukum bank yang meleburkan diri menjadi berakhir karena hukum.
Misalnya Bank A dan B berniat untuk meleburkan diri, maka mereka akan
menghasilkan Bank baru bernama Bank C. Ketiga, pengambilalihan adalah perbuatan
hukum dimana badan hukum atau orang perseorangan melakukan pembelian saham
bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas bank tersebut. Misalnya suatu
perusahaan X ingin mengambilalih Bank D, maka perusahaan X membeli saham
untuk menjadi pemegang saham mayortias di Bank D. Selanjutnya, integrasi adalah
perbuatan hukum dimana KCBLN mengalihkan asset dan atau liabilitasnya ke dalam
suatu bank umum yang mengakibatkan dicabutnya izin usaha KCBLN tersebut.
Terakhir, konversi adalah perbuatan hukum dimana KCBLN mengubah izin usahnya
menjadi izin usaha bank umum yang mengakibatkan izin usaha KCBLN dicabut.
Apabila kita menelaah pengertian-pengertian ini, maka kita akan mendapati beberapa
perbedaan penting. Pertama masalah subjek hukum, dalam penggabungan dan
peleburan, subjek hukumnya adalah sesama bank umum, kemudian dalam
pengambilalihan subjek hukumnya adalah bank dan badan hukum/orang
perseorangan, sedangkan dalam integrasi dan konversi subjek hukum utamanya
adalah KCBLN. Selanjutnya berkaitan dengan berakhirnya status badan hukum,
dalam penggabungan dan peleburan, terjadi “kematian” terhadap badan hukum yang
menggabungkan atau meleburkan diri, kemudian dalam pengambilalihan status badan
hukum bank tetap bertahan (hanya pengendalinya saja yang berubah), sedangkan
dalam integrasi dan konversi sejatinya tidak ada “kematian” terhadap badan hukum
karena subjeknya disini adalah KCBLN, hanya izin usahanya saja yang dicabut.
Terakhir mengenai lahirnya badan hukum baru, pada dasarnya hanya peleburan saja
yang menghasilkan badan hukum baru sedangkan perbuatan hukum lain tidak.
4. Untuk memahami perbedaan-perbedaan penting antara bank umum dan bank Syariah
saya akan membandingkan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan
UU No. 7 Tahun 1992 Sebagaimana Diubah UU No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan. Perbedaan pertama yang paling mendasar adalah bahwa bank Syariah
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah, sedangkan bank umum
konvensional hanya berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi dan kehati-hatian.
Selanjutnya, dari segi fungsi bank umum knvensional memiliki fungsi utama untuk
menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat sedangkan bank Syariah
selain menjalankan fungsi tersebut juga dapat menjalankan fungsi sosial sebagai
lembaga Baitul mal dan pengelola wakaf. Kemudian, perbedaan penting lainnya
adalah bahwa dalam berbagai bentuk usaha bank Syariah, terdapat akad-akad tertentu
yang harus dipakai misalnya akad wadi’ah,mudharabah,musyakarah,murabahah,
salam, istishna’,hawalah,qardh,ijarah muntahiya bitammlik,kafalah, dan wakalah.
Kesemuaan jenis akad ini hanya dipakai di bank Syariah dan tidak dikenal di bank
konvensional yang sifatnya sekuler. Selanjutnya, bank Syariah mengenali apa yang
disebut sebagai Dewan Pengawas Syariah yang bertugas untuk memastikan usaha
yang dijalankan oleh bank Syariah sudah berjalan sesuai dengan prinsip Syariah.
Lembaga ini tidak dikenal di bank umum konvensional. Terakhir, bank Syariah juga
memiliki larangan untuk melakukan transaksi jual beli saham secara langsung di pasar
modal dan larangan untuk menjalankan segala bentu kegiatan usaha yang
bertentangan dengan prinsip syariah, larangan ini tidak berlaku bagi bank umum
konvensional.
5. Dalam Pasal 19 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah diatur
dengan rinci berbagai bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh bank Syariah. Usaha-
Usaha itu kemudian akan melahirkan produk bank Syariah, yaitu instrumen keuangan
yang dikeluarkan oleh bank Syariah berdasarkan akad yang sesuai dengan prinsip
Syariah. Pada dasarnya ada tiga jenis produk bank Syariah, yaitu produk
penghimpunan dana Syariah, produk penyaluran dana Syariah, dan jasa layanan bank
Syariah. Dalam penghimpunan dana, terdapat dua jenis akad yang dipakai yaitu akad
wadi’ah dan mudharabah. Akad wadi’ah pada dasarnya adalah perjanjian penitipan
antara satu pihak dengan pihak lainnya, dimana barang yang dititipkan harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja sesuai dengan kehendak penitip. Produk bank Syariah
disini adalah giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah. Selanjutnya, akad mudharabah
pada dasarnya merupakan perjanjian antara dua pihak dimana satu pihak bertanggung
jawab untuk menyediakan dana dan pihak yang lain mengelola usaha. Hasil usaha
kemudian akan dibagikan sesuai dengan porsi bagi hasil yang telah disepakati. Dalam
perbankan Syariah produknya adalah deposito mudharabah dan tabungan
mudharabah. Kemudian dalam hal penyaluran dana, akad yang paling sering
digunakan adalah akad murabahah. Akad tersebut umumnya digunakan dalam
transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang dan margin yang
disepakati kedua belah pihak. Bank Syariah berperans sebagai pihak penyedia dana
dalam akad murabahah. Kemudian, ada pembiayaan yang dilakukan berdasarkan
akad salam, yaitu akad transaksi jual beli suatu barang dengan cara pemesanan
dengan syarat-syarat tertentu yang pembayarannya dilunasi secara tunai pada saar
akad berlangsung. Lebih lanjut, ada akad pembiayaan berdasarkan istishna’, yaitu
akad jual beli antara pembeli dan penjual yang juga berperan sebagai produsen
dimana pembeli memerintahkan produsen untuk memproduksi barang sesuai dengan
syarat-syarat teretentu. Cara pembayaran dapat dilakukan dimuka, cicilan, atau
ditangguhkan hingga waktu tertentu. Kemudian ada juga pembiayaan sewa menyewa
(ijarah) dan sewa beli (ijarah muntahiya bitammlik), akad ijarah adalah transaksi sewa
menyewa atas suatu barang dan atau jasa antara pemilik objek sewa dan penyewa
dimana penyewa mendapatkan hak pakai atas objek sewa dan pemilik mendapatkan
imbalan dalam jumlah tertentu. ijarah muntahiya bitammlik pada dasarnya sama,
hanya saja memiliki opsi untuk melakukan perpindahan hak milik. Selanjutnya bank
Syariah memiliki produk investasi musyarakah yaitu akad penanaman dana anatara
dua pihak atau lebih untuk menjalankan usaha tertentu yang sesuai dengan prinsip
Syariah dimana hasil usaha akan dibagikan sesuai dengan nisbah masing-masing,
namun kerugian dibagi sesuai dengan proporsi modal. Dalam musyarakah bank dan
nasabah dapat sama-sama berperan sebagai mitra usaha dalam pengelolaan usaha
tertentu atau nasabah sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha.
Kemudian juga ada pembiayaan berdasarkan.akad qardh yang berarti akan pinjam
meminjam dimana bank Syariah meminjamkan uang dengan jumlah tertentu kepada
nasabah dan nasabah harus mengembalikannya sesuai dengan waktu yang disepakati.
Dalam hal jasa layanan bank, juga terdapat berbagai produk bank Syariah yang dapat
kita temukan. Pertama, akad wakalah yang menjadikan bank sebagai wali amanat
nasabah untuk melakukan sesuatu hal selama nasabah masih hidup. Kedua, adalah
akad kafalah yang merupakan akad penjaminan antara pihak penjamin/penanggung
kepada pihak ketiga/tertanggung untuk melaksakanak kewajiban pihak kedua. Dalam
kafalah, bank berperan sebagai penjamin nasabah untuk melaksanakan kewajibannya
kepada pihak ketiga. Ketiga, bank Syariah juga dimungkinkan untk melakukan usaha
transaksi valuta asing meggunakan akad sharf. Keempat, bank juga dimungkinkan
melakukan pengambilalihan hutang melalui akad hiwalah. Ada juga beberapa produk
layanan lain seperti Letter of Credit Syariah dan card Syariah
6. Dewan Syariah Nasional (DSN) pada dasarnya merupakan lembaga otonom yang
secara struktutral berada dibwah MUI yang memiliki tugas utama untuk menjalankan
tugas MUI dalam bidang ekonomi Syariah dan pengembangan ekonomi ummat.
Lebih rincinya, tugas DSN MUI antara lain:

a) Mengeluarkan dan menetapkan fatwa berkenaan dengan segala layanan,


produk, kegiatan, sistem, atau jasa yang dilakukan dalam lingkup ekonomi
Syariah
b) Melakukan pengawasan terhadap penerapan fatwa ekonomi Syariah
c) Menerbitkan panduan dan pedomen implementasi fatwa agar tidak terjadi
kesalahpahahaman dalam penerapan fatwa
d) Memberi atau mencabut rekomendasi bagi calon anggota dewan pengawas
syariah
e) Memberi atau mencabut rekomendasi bagi calon ahli Syariah pasar modal
f) Dan lain-lain

Adapun wewenang yang dimiliki oleh DSN antara lain:

a) Mengeluarkan peringatan bagi penyelenggara ekonomi Syariah yang


melakukan penyimpangan terhadap prinsip Syariah

b) Mengeluarkan rekomendasi kepada pihak berwenang apabila rekomendasi


tidak ditaati

c) Menyetujui atau menolak usulan pergantian atau pemberhentian anggota


dewan pengawas Syariah pada lembaga ekonomi Syariah

d) membatalkan atau membekukan sertifikasi Syariah yang dimiliki lembaga


keuangan Syariah

Sedangkan Dewan Pengawas Syariah berdasarkan Pasal 32 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah adalah lembaga yang wajib dibentuk oleh bank Syariah yang memiliki
peran utama sebagai pengawas internal bank Syariah agar menjalankan kegiatan usahanya
sesuai dengan prinsip Syariah.

Tugas dewan pengawas Syariah antara lain:


a) menilai dan memastikan terpenuhinya prinsip Syariah dalam segala kegiatan operasional
bank dan produk bank yang dikeluarkan

b) mengeluarkan fatwa terhadap produk-produk bank

c) mengawasi pengembangan produk bank

d) memastikan bahwa mekanisme penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa layanan
bank sesuai dengan prinsip Syariah

Referensi:

1. Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Cet. 5. Jakarta: PT Citra


Aditya Bakti, 2006.
2. Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman. Hukum Perbankan. Cet. 1. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
3. Hadinoto, Soetanto. Bank Strategy on Funding and Liability Management. Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2008.
4. Hasibuan, Malayu S. P. Dasar-dasar Perbankan. Cet. 8. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
5. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998.
TLN No. 3790.
6. Undang-Undang tentang Bank Syariah, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. LN
No. 94 Tahun 2008. TLN No. 4867.
Surat Pernyataan
Saya yang membuat surat pernyataan :
Nama : Dante Deva Daniswara
NPM : 1906361512
Menyatakan, adalah benar tulisan yang saya sampaikan untuk tugas hukum perbankan
merupakan tulisan saya sendiri, memenuhi persyaratan anti Plagiarism dan dapat
dipertanggung jawabkan apabila terdapat kesamaan tulisan dengan tulisan orang lain.

(…………………)
Dante Deva

Anda mungkin juga menyukai