Anda di halaman 1dari 36

UNIVERSITAS INDONESIA

Analisis Kasus Kebakaran Hutan PT Kaswari Unggul:


Putusan Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT

1. Allesia Bayu Eureka (1806139090)


2. Hansel Jeremiah Ivander (1806139336)
3. Sebastian Sormin (1806139651)
4. Nabitha Puspa Rani Karunia (1806139494)
5. Tiara Ariqah Yunizar (1806139701)
6. Yosia David Christanto (1806139771)
7. Nur Salsabila (1806219204)
8. Amelia Dewi Rizky (1806219652)
9. Cindy Caroline (1806220004)
10. Raynold Ronaldo (1806220111)
11. Gabriel Marvin Emilio S. (1906361600)

KELOMPOK E
KELAS HUKUM LINGKUNGAN REGULER A

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DEPOK
2020
Bab I
Pendahuluan

A. Kasus Posisi
PT Kaswari Unggul atau yang selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”,
mengajukan gugatan terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia, yang selanjutnya akan disebut sebagai “Tergugat”. Penggugat dalam surat
gugatannya tanggal 12 Mei 2017 mengemukakan bahwa yang menjadi objek sengketanya
adalah sebagai berikut:
1) Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.
4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 tanggal 19 Oktober 2015 Tentang Penerapan
Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (untuk
selanjutnya disebut dan disingkat “Surat Keputusan No. 4551”);
2) Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK. 3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/ GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus
2016 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tentang
Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul
(untuk selanjutnya disebut dan disingkat “Surat Keputusan No. 3982”).

Alasan dari PT Kaswari Unggul mengajukan gugatan terhadap SK tersebut adalah


karena mereka merasa sangat dirugikan oleh kedua SK tersebut, dan mereka juga merasa
tak pernah menerima pemberitahuan secara resmi atas penerbitan SK No. 4551.

B. Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan paksaan pemerintah (bestuursdwang)?
a. Apakah akibat hukum (jika ada) yang dapat timbul jika seseorang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah?
b. Apakah seseorang baru dapat dikenakan sanksi paksaan pemerintah hanya
ketika pelanggaran timbul, e.g. kebakaran hutan di areal perkebunan
miliknya, karena kesalahan?
c. Bagaimana keterkaitan antara sanksi dengan pengawasan?
d. Apakah prosedur penerapan sanksi sudah dilakukan dengan tepat?
e. Bagaimana penerapan paksaan pemerintah dalam kasus ini ditinjau dari
definisi teoritis atas bestuursdwang?
2) Bagaimana asas Kesamaan dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(“AAUPB”) dimaknai, khususnya terkait dengan kasus ini?
3) Apakah sanksi paksaan pemerintah dapat memerintahkan seseorang/badan hukum
untuk menyerahkan kembali eks lahan kebakaran kepada negara?
4) Apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban moral dalam
pertanggungjawaban hukum? Lihat mengenai tanggapan Tergugat terkait soal
permintaan maaf.
5) Dapatkah sanksi administratif membebankan sanksi yang tidak dapat memulihkan
maupun mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, seperti
sanksi permintaan maaf?
6) Seandainya gugatan diajukan tidak melewati batas waktu, bagaimana menurut
Anda putusan ini akan berakhir?
Bab II
Analisis

1. Paksaan Pemerintah atau coercive action adalah suatu tindakan nyata oleh pemerintah, di
mana pelaksanaannya bertujuan untuk menghentikan suatu pelanggaran norma hukum
dan memulihkan keadaan kembali kepada kondisi semula. 1 Dalam Pasal 76 ayat (2) huruf
(b) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Paksaan Pemerintah disebutkan sebagai salah satu dari jenis-jenis sanksi administratif
yang ada dan penjabaran jenis-jenisnya dapat ditemukan dalam Pasal 80. Jenis-jenis
paksaan pemerintah adalah sebagai berikut:2 1) penghentian sementara kegiatan produksi,
2) pemindahan sarana produksi; 3) penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
4) pembongkaran; 5) penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran; 6) penghentian sementara seluruh kegiatan; atau 7) tindakan lain yang
bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan
hidup.
a. Apakah akibat hukum (jika ada) yang dapat timbul jika seseorang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah?
Jika seseorang tidak melaksanakan paksaan pemerintah, maka ada akibat
hukum yang akan timbul. Hal ini merujuk pada ketentuan pada Pasal 79 UU No.
32 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
No. 2 Tahun 2013.
Pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa:3 “Pengenaan sanksi
administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.”

1 Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011), hlm. 246.
2 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009,
LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 80.
3 J.B.J.M ten Berge, Bescherming Tegen Overheid, (Zwollen: Tjeenk Willink,1995), hlm. 390
sebagaimana dikutip dalam Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 299.
Selanjutnya, dijelaskan pula pada Pasal 4 ayat (4) dan (5) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 bahwa:4
“(4) Pembekuan Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterapkan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
a. tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
b. melakukan kegiatan selain kegiatan yang tercantum dalam Izin
Lingkungan serta Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
dan/atau c. dugaan pemalsuan dokumen persyaratan Izin Lingkungan
dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
(5) Pencabutan Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diterapkan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
a. memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan
tertulis dari pemberi izin usaha;
b. tidak melaksanakan sebagian besar atau seluruh paksaan pemerintah
yang telah diterapkan dalam waktu tertentu; dan/atau c. telah
menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
yang membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia.”
Selain kedua pasal tersebut, hal ini juga diatur pada Pasal 81 UU No. 32
Tahun 2009 jo. Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013.
Dijelaskan pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa:5 “Setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah
dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan
Pemerintah.” Kemudian, Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2
Tahun 2013 juga menjelaskan hal yang sama.
Apabila dikaitkan dengan kasus ini, biaya ganti rugi lingkungan yang
harus dibayarkan oleh PT Kaswari Unggul sesuai dengan ketentuan pasal-pasal di

4 J.J. Oosternkbrink, Administratief Santies, (Uitgeverij Vuga nv., ‘s Gravenhage, tt.) sebagaimana dikutip
dalam Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 299.
5 Ibid., Ps. 2.
atas mengenai pemberlakuan denda, sebagai akibat hukum karena PT Kaswari
Unggul tidak melaksanakan paksaan pemerintah. PT Kaswari Unggul melalui SK
No. 4551 dan SK No. 3982 telah diberikan sanksi paksaan oleh pemerintah,
namun PT Kaswari unggul tidak melaksanakan paksaan pemerintah tersebut.
Maka, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat PT Kaswari
Unggul dengan Nomor Perkara 296/PDT/2020/PT.DKI. Gugatan KLHK tersebut
kemudian dikabulkan, oleh karena itu, PT Kaswari Unggul harus membayar ganti
rugi lingkungan sebesar Rp25,6 milyar.

b. Apakah seseorang baru dapat dikenakan sanksi paksaan pemerintah hanya


ketika pelanggaran timbul, e.g. kebakaran hutan di areal perkebunan
miliknya, karena kesalahan?
Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),
salah satu bentuk penerapan paksaan pemerintah merupakan tindakan yang
bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi
lingkungan hidup. Dari bunyi pasal tersebut, pada dasarnya, paksaan pemerintah
merupakan sanksi administratif berupa “tindakan nyata” yang ditujukan untuk
“menghentikan pelanggaran” dan/atau “memulihkan dalam keadaan semula”.6
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor dikenakannya
sanksi paksaan pemerintah adalah karena adanya pelanggaran sehingga sanksi
paksaan pemerintah tersebut diharapkan dapat menghentikan pelanggaran tersebut
atau memulihkannya dalam keadaan semula.
Dalam kaitannya dengan sanksi administratif, penjatuhan sanksi
administrasi harus dilaksanakan secara bertahap. Penerapan sanksi administratif
harus didahulukan dengan penerapan sanksi yang lebih ringan. Apabila penerapan
sanksi yang ringan tersebut tidak efektif atau tidak ditaati, maka sanksi
administratif yang dijatuhkan dapat ditingkatkan pada sanksi yang lebih berat,
seperti paksaan pemerintah.7 Dalam menjatuhkan sanksi paksaan pemerintah

6 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, hlm. 301.


7 Wicipto Setiadi, “Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum dalam Peraturan
Perundang-undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4 – Desember 2009, hlm. 611.
terhadap pelanggaran, aparat pemerintah yang berwenang harus mengkaji fakta
hukumnya secara cermat. Apabila pelanggaran tersebut sifatnya tidak substansial,
maka aparat pemerintah yang berwenang tidak dapat langsung menerapkan
paksaan pemerintah, sedangkan apabila pelanggaran tersebut sifatnya substansial,
maka pemerintah dapat langsung menerapkan paksaan pemerintah.8
Paksaan pemerintah secara umum harus didahului oleh adanya peringatan
atau teguran tertulis dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). 9
Namun demikian, menurut Pasal 80 ayat (2) UUPPLH, paksaan pemerintah dapat
dilaksanakan tanpa didahului oleh teguran tertulis apabila pelanggaran tersebut
menimbulkan:
a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan
paksaan pemerintah tanpa didahului oleh teguran tertulis dilaksanakan apabila
dikhawatirkan bahwa tidak diterapkannya paksaan pemerintah tersebut dapat
menimbulkan ancaman, dampak, atau kerugian yang lebih buruk bagi lingkungan.
Indikator seseorang dapat dikenakan sanksi paksaan pemerintah tidak semata-
mata didasarkan pada adanya pelanggaran atau kesalahan, namun harus dikaji
lebih jauh terkait dengan ancaman, dampak, dan kerugian yang ditimbulkan dari
suatu pelanggaran. Apabila suatu pelanggaran bukanlah pelanggaran yang
menimbulkan akibat sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UUPPLH,
pelanggaran tersebut tidak dapat langsung dijatuhkan paksaan pemerintah,
melainkan harus didahului dengan teguran tertulis. Namun demikian, apabila
suatu pelanggaran yang timbul mengakibatkan ancaman, dampak, atau kerugian
yang lebih besar bagi lingkungan, maka terhadap pelanggaran tersebut dapat
dijatuhkan paksaan pemerintah tanpa teguran tertulis. Dengan demikian, alasan
8 Indonesia, KLHK, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permen No. 02 Tahun 2013, BN No.
314 Tahun 2013, Lampiran I, hlm. 12.
9 Setiadi, “Sanksi Administratif…”, hlm. 610.
seseorang dikenakan sanksi paksaan pemerintah tidak hanya didasarkan atas
timbulnya pelanggaran karena kesalahan, melainkan dapat juga berupa tidak
efektifnya teguran tertulis sebagai sanksi administrasi maupun pelanggaran
tersebut menimbulkan akibat sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU
PPLH.

c. Keterkaitan antara Sanksi dan Pengawasan


Dalam penegakan administratif lingkungan terdapat dua penegakan yaitu
pengawasan (preventif) dan sanksi administratif (represif).10 Keterkaitan antara
sanksi dan pengawasan dapat dilihat dari ketentuan mengenai pengawasan dan
sanksi administratif itu sendiri, yang diatur dalam Bab XII UU PPLH. Pasal 71
UUPPLH menjelaskan bahwa wewenang pengawasan ada pada menteri,
gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Secara umum, yang
diawasi oleh pejabat yang berwenang adalah ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan lingkungan hidup.
Hasil pengawasan tersebut ditujukan untuk mengembangkan penegakan hukum di
bidang lingkungan.11 Penegakan hukum lingkungan disini dapat diartikan sebagai
penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam hukum
administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana dengan tujuan memaksa subjek
hukum yang menjadi sasaran menaati peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan. Maka dari itu, perlu dilaksanakan upaya preventif terlebih dahulu
untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Jika tindakan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi,
maka perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif
dengan mengenakan sanksi berupa administrasi, perdata, maupun pidana.
Ketentuan mengenai pemberlakuan sanksi administratif itu sendiri diatur dalam
Bab XII Bagian Kedua UU PPLH, dimana pada Pasal 76 ayat (2) dijelaskan
bahwa sanksi administratif itu sendiri terdiri atas:

10 Ibid., hlm 612.


11 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 80 ayat (2).
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Paksaan pemerintah merupakan salah satu bentuk dari tindakan represif
yang berupa sanksi administratif, yang dimana pada dasarnya bertujuan untuk
menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Dengan demikian, dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup
perlu mendayagunakan instrumen pengawasan dan perizinan sebelum melakukan
upaya represif. Dengan demikian, perlu dikembangkan suatu sistem hukum
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang efektif guna menjamin
kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam serta pembangunan lainnya.

d. Apakah prosedur penerapan sanksi sudah dilakukan dengan tepat?


Mengenai prosedur penerapan sanksi administratif yang dilakukan pada
kasus, bahwa prosedur yang dilakukan dikatakan sudah tepat. Hal ini mengacu
kepada Lampiran 1 PerMen LH No. 2 Tahun 2013. Prosedur penerapan sanksi
administratif harus sesuai dengan peraturan dasar dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik. Terdapat tiga asas yang menjadi dasar pada AUPB,
yaitu asas kecermatan, persamaan, dan kewajaran.12 Selanjutnya, pejabat yang
menerapkan sanksi administratif harus dipastikan memiliki kewenangan yang sah
yang bisa bersumber dari atribusi, delegasi, atau mandat dan dalam prosedur
penerapan harus sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) PerMen LH No. 2 Tahun 2013
yang pada intinya menyatakan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/walikota
yang memiliki kewenangan untuk menerapkan sanksi administratif atas
pelanggaran yang dilakukan. Maka, dalam perkara ini, maka sudah sesuai. Hal ini
dikarenakan yang memberikan sanksi administratif adalah Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Lalu, dalam prosedur penerapan sanksi
administratif harus memperhatikan ketepatan penerapan sanksi administratif,

12 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 83-84.
mekanisme penerapan sanksi administratif, isi penerapan sanksi, kewanjban
pemberi sanksi, serta tahapan administrasi keputusan sanksi.
Mengenai hal ketepatan dalam penerapan sanksi administratif, dapat
ditinjau dari bentuk hukum, ketepatan substansi, dipastikan tidak terdapat
kecacatan dalam penerapan sanksi, serta asas kelestarian dan keberlanjutan.
Dalam kasus PT Kaswari, terdapat KTUN yang sudah diterbitkan oleh tergugat,
yaitu SK No. 4551 yang berubah menjadi SK No. 3982 sudah sesuai dengan
tepatnya substansi dalam penerapan sanksi administrasi. Hal ini mengingat bahwa
ketepatan dalam penerapan sanksi administrasi dapat ditinjau dari instrumen yang
digunakan, yang pada kasus ini harus menggunakan KTUN. Selanjutnya,
mengenai tidak adanya cacat yuridis dalam penerapan sanksi pada kasus ini dapat
dibuktikan bahwa ada sanksi administratif yang ditujukanoleh tergugat dalam SK
no. 4551 yang di dalamnya terdapat kesalahan dalam informasi lokasi, dan
selanjutnya kesalahan mengenai lokasi diakui oleh tergugat di dalam SK No. 3982
dan mengubah isi Diktum ke-3 poin 2 SK No. 4551. Selain itu, terdapat asas yang
harus dipenuhi, yaitu asas kelestarian dan keberlnjutan. Maksud dari asas ini
adalah bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada
generasi yang akan datan dan sesamanya dalam hal melestarikan daya dukung
ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Asas ini menjadi dasar
diterbitkannya KTUN yang terkait dengan kasus di atas. Dalam kasus PT
Kaswari, KTUN diterbitkan untuk menjamin bahwa lahan bekas kebakaran itu
dikembalikan sesuai dengan fungsi dari lingkungan hidup. Selanjutnya, dalam
penerapan sanksi administrasi, ada tiga mekanisme, yaitu bertahap, bebas, dan
kumulatif.13 Mengacu pada kasus PT Kaswari, mekanism yang digunakan adalah
bebas. Sehingga, mengakibatkan PT Kaswari termasuk dalam perbuatan serius
yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya sehingga
adanya penerapan sanksi paksaan pemerintah dengan tidak adanya teguran tertulis
yang diberikan terlebih dahulu. Penerapan sanksi paksaan pemerintah bisa
dilakukan apabila menimbulkan:
a. Ancaman yang sengat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
13 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32
Tahun 2009, LN. 2009/ No. 140, TLN NO. 5059 Ps. 76 ayat (2).
b. Dampak yang lebih bedan dan luas apabila tidak secara segera dihentikan;
c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup apabila kegiatan tsb
tidak segera dihentikan.
Selanjutnya, pemberi sanksi sudah memberikan kewajiban untuk menyamaikan
keputusan sanksi dengan patut dan langsung kepada pihak yang terkena sanksi.
Hal ini dibuktikan oleh kasus PT Kaswari dengan adanya Keputusan Menteri
LHK No SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 yang sudah disampaikan kepada
penggugat. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa ada surat penggugat No.
127/KU/VP/GAL/XII/2015 bahwa pada intinya penggugat mengajukan keberatan
karena diterbitkannya keputusan TUN a quo. Selanjutnya, pengadministrasian
keputusan sanksi administratif telah dilakukan sesuai dengan tahapannya, yaitu
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur,
ditandatangani oleh pihak berwenang yang dalam hal ini adalah DirJen Penegakan
Hukum LHK serta sudah diberikan nomor dan pengundangan, serta sudah
disampaikan kepada pihak yang memiliki kepentingan. Hal ini dapat dilihat
bahwa adanya keterangan saksi bahwa ia telah mengetahui adanya surat
penggugat No. 127/KU/VP/GAL/XII/2015.

e. Penerapan Paksaan Pemerintah dalam Kasus Ditinjau dari Definisi Teoritis


atas Bestuursdwang
Sebagaimana definisinya, bestuursdwang atau tindakan paksa
pemerintahan merupakan salah satu bentuk sanksi administratif, yaitu tindakan
nyata dari pejabat administrasi negara untuk mengakhiri suatu pelanggaran norma
hukum dan mengembalikan pada keadaan yang semula. Yang perlu digaris
bawahi adalah pemaksaan yang dilakukan bukanlah paksaan secara fisik, namun
lebih merupakan paksaan oleh pemerintah yang berwenang kepada pihak yang
dianggap mengabaikan peraturan perundang-undangan agar terpenuhi dan
tertaatinya ketentuan perundang-undangan.14

14 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32


Tahun 2009, LN. 2009/ No. 140, TLN NO. 5059 Ps. 80 ayat (1).
Apabila mengacu pada kasus, dapat diketahui bahwa Surat Keputusan
4551 dan Surat Keputusan 3982 yang menjadi objek sengketa TUN dikeluarkan
oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (“Menteri
LHK”). Kemudian, SK tersebut berisikan sanksi administratif paksaan
pemerintah dikarenakan PT Kaswari Unggul dinyatakan melakukan pelanggaran
sebagaimana tercantum dalam putusan. Pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah
ini pada dasarnya dapat dilakukan dalam bentuk: penghentian sementara kegiatan
produksi; pemindahan sarana produksi; penutupan saluran pembuangan air limbah
atau emisi; pembongkaran; penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran; penghentian sementara seluruh kegiatan; dan/atau
tindakan lainnya yang bertujuan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup.15
Berdasarkan hal tersebut, kedua SK yang menjadi objek sengketa TUN
tersebut pada salah satunya poinnya berisikan perintah untuk “mengembalikan
lahan eks area kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul kepada Negara
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) kalender.” Apabila melihat diktum tersebut, maka jelas terdapat
suatu tindakan dari pejabat administrasi negara yang dalam hal ini adalah Menteri
LHK untuk “mengembalikan keadaan seperti semula”, yaitu memastikan lahan
bekas areal kebakaran hutan tersebut dikembalikan sesuai dengan fungsi
lingkungan hidup. Sanksi pengembalian lahan ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan serta kepastian pemulihan fungsi lingkungan hidup yang
dilakukan oleh PT Kaswari Unggul terhadap bekas lahan kebakaran.
Lebih lanjut dalam penerbitannya, KTUN a quo sebagaimana disebutkan
juga memiliki dasar hukum yakni Pasal 67, 68b, dan 76 UU No. 32 Tahun 2009,
Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2014, serta Pasal 13 dan 18 UU No. 4 Tahun 2001.
Pertimbangan bestuursdwang melalui SK tersebut pada putusan juga adalah
berdasarkan hasil pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup yang telah dilakukan
pada areal terbakar/bekas terbakar PT Kaswari Unggul, yang dapat cukup
membuktikan pelanggaran yang telah dilakukan PT Kaswari Unggul. Yang
demikian sesuai dengan bahwa pada bestuursdwang tindakan nyata yang
15 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32
Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 76 ayat (2).
dilakukan oleh pejabat administrasi negara adalah untuk menyesuaikan keadaan
nyata yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dalam hal
dilalaikan oleh warga negara.16 Atas pengeluaran SK yang berlandaskan dasar
hukum yang sepatutnya dipenuhi oleh PT Kaswari Unggul, maka dapat dikatakan
bahwa Menteri LHK untuk berwenang menerbitkan SK pengenaan
bestuursdwang dikarenakan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan
sebagaimana disebutkan yang dilakukan oleh PT Kaswari Unggul sehingga
keputusan pengenaan sanksi administratif paksaan pemerintah tersebut
dikeluarkan.
Yang kemudian perlu diperhatikan pula terkait bestuursdwang ini yakni
bahwa sebelum pelaksanaannya pejabat administrasi negara juga harus
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan terkait, yaitu tidak menimbulkan
kerugian yang berlebihan bagi yang berkepentingan. 17 Apabila mengacu pada hal
tersebut, tentunya SK yang dikeluarkan Menteri LHK ini menurut kami telah
mempertimbangkan berbagai aspek dimana yang dilihat disini adalah besarnya
kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan oleh PT Kaswari Unggul yang
tidak hanya merusak fungsi lingkungan hidup, tetapi juga mengganggu kesehatan
terutama masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar sehingga atas hal ini, perlu
adanya sanksi setimpal yang diberikan kepada PT Kaswari Unggul. Selain itu
terhadap pernyataan yang menyatakan bahwa Menteri LHK tidak memberikan
peringatan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi administratif paksaan
pemerintah, maka apabila mengacu kepada Pasal 80 ayat (2) UUPPLH,
pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran tertulis
terlebih dahulu apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: 1. Ancaman
yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; 2. Dampak yang lebih
besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; 3. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak

16 Indonesia, KLHK, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permen No. 02 Tahun 2013, BN No.
314 Tahun 2013, Ps. 1 angka 1.
17 Richard J. McGowan dan Hilary G. Buttrick, “Moral Responsibility and Legal Liability, or, Ethics
Drives the Law,” Journal of Learning in Higher Education Vol. 11 No. 2 (2015), hlm. 10.
segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.18 Atas hal tersebut, maka
sanksi administratif paksaan pemerintah yang dilakukan kepada PT Kaswari
Unggul tidak memerlukan teguran terlebih dahulu karena atas kebakaran hutan
yang terjadi mengakibatkan ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
lingkungan hidup, yakni menciptakan lingkungan hidup yang tidak baik dan tidak
sehat serta kerusakan dan kerugian ekologi yang serius.

2. Pemaknaan Asas Kesamaan dalam AAUPB terkait dengan kasus kebakaran hutan
PT Kaswari Unggul
Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30
Tahun 2014 (“UU AP”) mengatur mengenai AUPB, khususnya mengenai asas
ketidakberpihakan yang merupakan asas yang mewajibkan badan dan/atau pejabat
pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan
dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak
diskriminatif.19 Berdasarkan hal tersebut, maka unsur-unsur yang membentuk asas
ketidakberpihakan atau tidak diskriminatif menurut UU AP adalah:
1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
2. Dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan;
3. Harus mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan;
4. Tidak diskriminatif.
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Pemerintahan, Faried Ali menyebut
asas ini dengan asas kesamaan yang selaras dengan makna daripada Pasal 27 UUD 1945,
yaitu memberikan kedudukan yang sama kepada semua warga negara di depan hukum
dan pemerintahan.20 Negara atau pemerintah tidak boleh bersikap diskriminatif atas dasar
apapun dan negara dituntut adil dan profesional dalam penyelenggaraan pemerintahan
sesuai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasannya.21 Asas ini memberikan
pedoman bagi aparatur pemerintah di dalam perbuatannya yang berakibat hukum agar
18 Ori J. Herstein, “Nobody’s Perfect: Moral Responsibility in Negligence,” Canadian Journal of Law &
Jurisprudence Vol. 32 No. 1 (Februari 2019), hlm. 110
19 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran
dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau (BMH), Bina
Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016), hlm. 44.
20 Justin A. Capes, “Strict Moral Liability,” Social Philosophy & Policy Vol. 36 No. 1 (2019), hlm. 67.
21 Ibid.
menempatkan dirinya sebagai subyek hukum yang sama kedudukannya dengan pihak
lain. Asas kesamaan memiliki implikasi bahwa terhadap keputusan pemerintah dalam
kasus yang sama tidaklah berarti diputuskan berdasarkan keputusan yang telah ada,
melainkan setiap masalah diputuskan kasus demi kasus dengan memperhatikan sifat
masalahnya yang sama agar tidak terjadi pertentangan.22 Sependapat dengan pandangan
tersebut, Van Vollenhoven menyatakan bahwa tugas bestuur dalam hal ini dapat
ditafsirkan sebagai pemerintah atau administrasi negara adalah membuat suatu keputusan
yang konkret, kasuistik, dan individualis.23 Oleh karena itu, asas kesamaan dapat pula
dimaknai sebagai asas yang menilai dan memperlakukan berbagai situasi yang sama
secara sama, sedangkan terhadap berbagai situasi yang berbeda dinilai dan diperlakukan
secara berbeda sesuai dengan derajat perbedaannya.
Dalam kasus kebakaran hutan PT Kaswari Unggul (“PT KU”) ini, PT KU
menyatakan bahwa objek sengketa Surat Keputusan No. 4551 dan Surat Keputusan No.
3982 (“Keputusan TUN a quo”) telah melanggar asas kesamaan dalam mengambil
keputusan dikarenakan pada tanggal 22 Juli 2015, 14 Agustus 2015, dan 2 September
2015 telah terjadi kebakaran lahan juga pada perusahaan perkebunan PT Agro Tumbuh
Gemilang Abadi (“PT ATGA”) yaitu sekitar 550-600 ha di Blok D, Blok E, Blok C, dan
Blok B areal perkebunan PT ATGA yang terletak di Desa Kota Kandis, Kecamatan
Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.24 Lokasi kebakaran tersebut bersebelahan
dengan lokasi perkebunan PT KU yang hanya mengalami kebakaran seluas 130 ha jauh
lebih sedikit daripada kebakaran yang terjadi di areal perkebunan PT ATGA sehingga
berdasarkan keterangan PT KU sumber kebakaran bukan berasal dari areal perkebunan
PT KU. Terdapat hal yang menarik perhatian dalam kejadian di atas dikaitkan dengan
asas kesamaan dalam AAUPB, dikarenakan dalam eksepsinya Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa terbitnya Keputusan TUN a quo telah melalui
kajian dan analisis yang objektif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu
berdasarkan hasil pengawasan dan menghasilkan data serta informasi bahwa PT KU telah
melakukan pelanggaran. Namun demikian, dapat dicermati pula sebenarnya bahwa dalam

22 Ameeta Patel dan Lamar Reinsch, “Companies Can Apologize: Corporate Apologies and Legal
Liability,” Business Communication Quarterly Vol. 66 No. 1 (Maret 2003), hlm. 16.
23 Ibid., hlm. 12.
24 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat (3).
wilayah dan waktu yang hampir bersamaan terjadi kebakaran lahan di PT KU dan PT
ATGA, namun demikian PT ATGA tidak diberikan sanksi administratif paksaan
pemerintah sebagaimana dijatuhkan pada PT KU.
Menurut hemat penulis, berdasarkan putusan Nomor: 104/G/LH/2017/PTUN-
JKT, Majelis Hakim telah melanggar penerapan asas kesamaan yang menyatakan bahwa
dalam kasus yang sama haruslah diperlakukan hal yang sama. Lebih lagi, kebakaran yang
terjadi pada areal perkebunan PT ATGA jauh lebih luas daripada yang terjadi pada areal
perkebunan PT KU. PT ATGA pun tidak mendapat sanksi administratif, padahal kasus
yang dialami oleh kedua pihak tersebut sama dan terjadi dalam waktu yang berdekatan.
Dengan demikian, asas kesamaan dalam halnya keputusan tata usaha negara mengenai
penjatuhan sanksi dan/atau hukuman terhadap seseorang berlandaskan prinsip
keseimbangan antara perbuatan dengan kesalahan serta harus berdasarkan pada prinsip
keseimbangan antara hak dan kewajiban aparatur pemerintah tidak terlihat dalam kasus
ini. Sebagai tambahan, kasus kebakaran yang terjadi pada PT ATGA diadili melalui
pengadilan negeri biasa dengan adanya upaya banding oleh PT ATGA meskipun
kemudian upaya tersebut ditolak.

3. Sanksi paksaan pemerintah mengenai perintah menyerahkan kembali eks lahan


kebakaran kepada negara

Sanksi paksaan pemerintah merupakan sanksi administratif yang berupa tindakan


nyata untuk menghentikan dan/atau memulihkan keadaan kepada sebagaimana kondisi
semula. Penerapan sanksi paksaan pemerintah sendiri dilakukan terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang terlebih dahulu diberikan teguran tertulis, maupun
tanpa didahului teguran tertulis khusus bagi pelanggaran yang menimbulkan Ancaman
yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup, Dampak yang lebih besar dan
lebih luas jika tidak segera dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya dan/atau Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.25

25 Haposan Siallagan, ”Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia,” Journal of Social Science and
Humanities Vol. 18 No. 2 (2016), hlm. 136.
Sanksi paksaan pemerintah sendiri tidak memiliki kuasa untuk dapat
memerintahkan seseorang/badan hukum untuk menyerahkan kembali eks lahan kebakaran
kepada negara. Karena, jika dilihat dari Pasal 80 Ayat (1), Paksaan pemerintah
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa 26 penghentian
sementara kegiatan produksi, pemindahan sarana produksi, penutupan saluran
pembuangan air limbah atau emisi, pembongkaran, penyitaan terhadap barang atau alat
yang berpotensi menimbulkan pelanggaran, penghentian sementara seluruh kegiatan, atau
tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup. Jika dilihat dari pasal tersebut, tidak terdapat penyerahan
kembali eks lahan yang terdampak/mengalami kerusakan.

4. Apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban moral dalam


pertanggungjawaban hukum? Lihat mengenai tanggapan Tergugat terkait soal
permintaan maaf

Pada Diktum Ketiga Poin 5 Surat Keputusan Nomor


4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menjatuhkan sanksi kepada PT Kaswari Unggul untuk melakukan permintaan maaf
kepada publik melalui media nasional yang dianggap sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral kepada masyarakat. Hal ini dipermasalahkan oleh PT Kaswari
Unggul di dalam Posita gugatannya dengan alasan:

a. permintaan maaf tidak dapat dilakukan sampai adanya unsur kesalahan yang telah
diperbuat oleh pihak yang dikenakan sanksi. Artinya sampai kesalahan itu
terbukti maka seseorang tidak dibebankan tanggung jawab untuk meminta maaf;
b. sanksi permintaan maaf tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan,
khususnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Lampiran I Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan

26 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, hlm. 307.


Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar pemberian sanksi paksaan
pemerintah terhadap PT Kaswari Unggul.

Hal ini menarik untuk dibahas bahwa apakah bisa PT Kaswari Unggul dijatuhi
sanksi permintaan maaf sebagai bentuk pertanggung jawaban moral. Muncul dua
pertanyaan yang berasal dari tanggapan PT Kaswari Unggul: 1) apakah permintaan maaf
sebagai pertanggungjawaban moral hanya dapat dituntut kepada mereka yang
kesalahannya terbukti, 2) apakah sanksi permintaan maaf dikenal di Indonesia?

Pertanggungjawaban dimulai dari adanya sebuah kesalahan yang berujung kepada


kerusakan. Dietz, dkk, berpendapat apabila tidak ada kerusakan maka tidak diperlukan
adanya sebuah pertanggungjawaban.27 Pertanggungjawaban juga hanya dituntut kepada
mereka yang memiliki kapasitas untuk mengerti, mendeteksi, mengingat norma-norma;
alasan-alasan dan fakta-fakta serta kemampuan untuk merasakan, berbuat, dan menilai
berdasarkan norma-norma; alasan-alasan dan fakta-fakta yang ada.28 Artinya
pertanggungjawaban dituntut kepada mereka yang memiliki kapasitas namun ternyata
atas kesalahannya telah menimbulkan sebuah kerusakan.

Pada dasarnya memang seseorang harus bertanggung jawab atas kerugian orang
lain ketika ada sebuah kesalahan yang diperbuatnya yang berakibat pada kerugian
tersebut. Namun terdapat pandangan lain yang mengecualikan pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan tadi. Pandangan tersebut adalah strict liability dimana unsur
kesalahan tidak ditentukan oleh kegiatan atau perbuatan dari seseorang, namun adanya
bahaya atau kerugian dari perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut. 29 Hal ini tentu
sejalan dengan apa telah digambarkan oleh Tergugat dalam tanggapannya yang
menyatakan bahwa PT Kaswari Unggul harus tetap melakukan pertanggungjawaban atas
kerugian yang dialami masyarakat akibat dari kebakaran lahan pada lahan perkebunan
kelapa sawitnya.

Lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban tanpa kesalahan, Justin A. Capes


mengungkapkan sebuah pemikiran yang dinamakan strict moral liability yang dengan
27 Ibid.
28 Ibid., hlm. 170.
29 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 80 ayat (1).
bahasa yang sederhana dapat dipandang sebagai penerapan strict liability dalam kacamata
moral. Di dalam pandangan Capes menggunakan kacamata moral, pertanggungjawaban
dalam bentuk permintaan maaf dapat dituntut dari seseorang meskipun ia tidak
dipersalahkan terhadap suatu kerugian.30 Tanggung jawab untuk meminta maaf ini,
dikatakan datang dari dorongan untuk memperbaiki atau menjaga hubungan baik yang
telah terlukai atau terancam oleh tindakan orang tersebut yang mendatangkan kerugian
bagi orang lain.31 Dapat ditarik pengertian bahwa tanggung jawab untuk melakukan
permintaan maaf datang dari adanya hubungan interpersonal. Berkaitan dengan
pertanggungjawaban moral PT Kaswari Unggul dengan masyarakat yang mengalami
kerugian akibat kebakaran lahan perkebunan sawit, hubungan ini dijelaskan oleh Von
Kalinowski dan Legget yang kemudian dikutip oleh Patel dan Reinsch, bahwa ada
dampak yang ditimbulkan dari permintaan maaf yang dilakukan oleh sebuah perusahaan
kepada masyarakat. Permintaan maaf sebuah perusahaan dapat menimbulkan citra atau
opini publik (sebagai potensi pasar) yang baik.32 Sejalan dengan dengan tanggapan
Tergugat yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyatakan bahwa
keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, tidak semata-mata melindungi lingkungan hidup dalam arti ekosentris tetapi juga
melindungi lingkungan hidup dalam arti antroposentris, dimana hubungan baik antara
pelaku usaha (dalam hal ini PT Kaswari Unggul) dengan masyarakat coba untuk dijaga
dengan adanya permintaan maaf ini. Namun, citra baik tidak selalu sejalan dengan proses
hukum yang berjalan. Dikatakan bahwa permintaan maaf yang dinyatakan oleh sebuah
perusahaan dapat menjadi suatu pengakuan kesalahan yang dapat membawa mereka
kepada pertanggungjawaban secara hukum.33 Hal ini juga yang mungkin menjadi
penghalang bagi PT Kaswari Unggul untuk menyatakan permintaan maafnya.

Kemudian, apabila kita ingin melihat kepada pemberlakuan sanksi permintaan


maaf dengan pertanyaan apakah sanksi permintaan maaf itu dikenal di dalam hukum

30 Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No.
104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 18.
31 Ibid.
32 Amelia M. K. Panambunan, “Penerapan Sanksi Administratif dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia,” Lex Administratum 4 (Februari 2016), hlm. 96.
33 Ivan Fauzani Raharja, “Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Perizinan,”
Inovatif 7 (Mei 2014), hlm. 130.
Indonesia, maka kita kita harus mendasari pikiran kita dengan hukum itu sendiri.
Dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia
merupakan negara hukum.34 Konsep negara hukum di Indonesia menganut prinsip-
prinsip: 1) Adanya upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia, 2) adanya pemisahan
atau pembagian kekuasaan, 3) adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, 4) adanya
penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, 5) adanya peradilan administrasi negara.35 Terkait penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari pelaksanaan
kekuasaan yang selalu dilandaskan kepada aturan yang sudah ada sebelumnya.36 Oleh
karena itu sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan, pemberian sanksi
kepada Penggugat (PT Kaswari Unggul) harus merupakan sanksi yang telah diatur atau
dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tepat seperti yang dikatakan oleh Penggugat, Undang-Undang No. 32 Tahun


2009 memang tidak mengenal adanya sanksi permintaan maaf. Apalagi jika kita melihat
secara khusus kepada paksaan pemerintah yang merupakan sanksi yang dijatuhkan
kepada Penggugat sesuai dengan bunyi pasal 80, disana tidak terdapat sanksi berupa
permintaan maaf kepada masyarakat. Terlepas dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009,
sanksi permintaan maaf ini memang tidak dikenal di banyak produk hukum Indonesia.
Sanksi permintaan maaf ini lebih banyak dikenal pada ranah hukum adat dimana
permintaan maaf banyak digunakan sebagai sanksi tambahan selain daripada sanksi
hukuman badan atau ganti rugi yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Dengan
demikian, meskipun Penggugat dalam kasus ini dapat dituntut pertanggungjawaban dan
tanggung jawab moral dalam bentuk permintaan maaf itu ada pada Penggugat, namun
karena memang bentuk sanksi ini tidak dapat dipaksakan kepada Penggugat akibat tidak
dikenal di dalam peraturan perundang-undangan, maka Tergugat dalam hal ini

34 Margareta Nopia Merry Venita Jarmani, I Gusti Ngurah Wairocana, I Ketut Sudiarta, “Wewenang
Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang) (Kajian Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun
2015 Tentang Bangunan Gedung),” Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum 6 (Maret 2018), hlm. 10.
35 Ibid., Ps. 79.
36 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2 Tahun
2019, Ps. 4.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak dapat menjatuhkan sanksi
permintaan maaf kepada PT Kaswari Unggul.

5. Dapatkah sanksi administratif membebankan sanksi yang tidak dapat memulihkan


maupun mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, seperti
sanksi permintaan maaf?
Keberadaan sanksi dalam penegakkan Hukum Administrasi Negara (HAN)
merupakan suatu bagian yang penting. Bahkan, menurut J.B.J.M ten Berge, sanksi
merupakan “inti” dari penegakkan hukum administrasi.37 Adapun dalam kaidah HAN,
sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah--warga
negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga, yaitu tanpa perantara
kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi
sendiri.38 Dalam konteks hukum positif, khususnya sektor lingkungan hidup, Pasal 1
angka 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Permen LH No. 2/2013) menyatakan, “Sanksi
administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan
kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang
dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan/atau ketentuan dalam izin lingkungan.” 39
Peraturan tersebut juga
telah memuat tujuan atau landasan dalam menjatuhkan sanksi administratif dengan tegas.
Berdasarkan Pasal 2 Permen LH No. 2/2013 menyatakan bahwa pengenaan sanksi
administratif bertujuan untuk: a. melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau
perusakan akibat dari suatu usaha dan/atau kegiatan; b. menanggulangi pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup; c. memulihkan kualitas lingkungan hidup akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan d. memberi efek jera bagi
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melanggar peraturan perundang-

37 Suparto Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Sanksi Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu,
Airlangga University Press, hlm. 494
38 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ps. 81.
39 Diana E. Rondonuwu, “Tinjauan Yuridis terhadap Penegakan Hukum Lingkungan Administratif
menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009”, Lex Privatum, 2018, Vol. VI No. 9, hlm. 188
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan ketentuan dalam
Izin Lingkungan.40 Tujuan-tujuan tersebut jika dipersempit pada dasarnya memuat dua
jenis tujuan, yakni sanksi reparatoir dan sanksi punitif. Sanksi reparatoir adalah sanksi
yang dilaksanakan sebagai reaksi atas pelanggaran norma dengan tujuan untuk
mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Di sisi lain, sanksi
punitif adalah sanksi yang pelaksanaannya semata-mata bertujuan untuk memberikan
hukuman pada pelanggarnya.41
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) jenis
dari sanksi administratif di bidang lingkungan hidup ditentukan secara terbatas, yakni
berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau
pencabutan izin lingkungan. Adapun sanksi administratif paksaan pemerintah, antara lain
a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c.
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran; e. penyitaan
terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian
sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan
pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.42 Kembali lagi,
mengingat bahwa dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewajiban Administrasi Negara
didasarkan pada efektivitas (doelmatig), legitimitas, yuridikitas (rechtmatig), legalitas
(wetmatig), moralitas efisiensi, dan teknik dan teknologi.43
Dalam Putusan PTUN No. 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, sanksi administratif
paksaan pemerintah yang dijatuhkan kepada PT Kaswari Unggul, dalam Diktum Ketiga
Point Kelima SK Nomor 4551 adalah, “Melakukan permintaan maaf kepada publik
melalui media massa nasional, paling lama 14 (empat belas) hari kalender.” Yang
menjadi landasan oleh Menteri KLHK dalam menjatuhkan sanksi tersebut dikatakan
dengan merujuk pada landasan hukum Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 65 ayat (1)

40 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun
2014, TLN No. 5601, Ps. 10 ayat (1)
41 Cekli Setya Pratiwi, et.al, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Lembaga Kajian
Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2016), hlm. 95.
42 Ibid., hlm. 96.
43 Ibid., hlm. 97.
dan (2) UU No. 32 /2009, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat.
Selanjutnya, landasan filosofis yang menjadi penekanan adalah komitmen dan
orientasi UU No. 32/2009 tidak semata-mata melindungi lingkungan hidup dalam arti
ekosentris, namun juga antroposentris. Yang berarti dalam pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup harus juga memperhatikan kesehatan dan keselamatan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Dalam hal ini, perbuatan penggugat yang menimbulkan kerugian
atau ketidaknyamanan bagi pihak lain dianggap harus dapat dimintakan pertanggung
jawaban moral yang diekspresikan berupa permintaan maaf kepada pihak yang dilanggar.
Namun, PT Kaswari Unggul memberikan bantahan bahwa bahwa sanksi permintaan
maaf ini tidak sesuai dengan apa yang tertuang didalam Pasal 80 ayat (1) UU No.
32/2009. Dalam hal ini, pendapat PT Kaswari Unggul adalah keliru dengan menyatakan
bahwa permintaan maaf dapat diterapkan jika adanya unsur kesalahan yang terbukti di
pengadilan. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal, sanksi administratif dilaksanakan
tanpa perantaraan pihak ketiga (kekuasaan pengadilan). Namun demikian, hal tersebut
tidak lantas membuat sanksi permintaan maaf dapat dilaksanakan.
Memang, dalam hal ini, Pasal 80 ayat (1) huruf (a) s.d. (f) UU No. 32/2009
terlihat secara limitatif membatasi jenis sanksi administratif paksaan pemerintah. Namun,
dalam Pasal 80 ayat (1) huruf (g) dinyatakan bahwa paksaan pemerintah juga meliputi
“tindakan lain” yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup. Makna “tindakan lain” tersebut yang seringkali
membuka peluang adanya diskresi (freies ermessen) dari pihak pemerintah dalam
penjatuhan sanksi, yang memang sejalan dengan hakikat sanksi paksaan pemerintah
sebagai kewenangan bebas (vrije bevoegheid).44 Hal yang perlu diperhatikan disini adalah
bahwa diskresi dilaksanakan dengan mengutamakan pencapaian tujuan atau sasaran
(doelgmatigheid).45 Yang mana dalam hal ini Pasal 80 ayat (1) huruf g UU No. 32 Tahun
2009 secara tegas membatasi tujuan paksaan pemerintah adalah untuk menghentikan
pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

44 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, (Bandung: Refika Aditama, 2012),
hlm. 131.
45Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, hlm. 24-25.
Dengan demikian, maka dalil Menteri KLHK terkait Pasal 28H ayat (1) UUD
1945, Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU No. 32 /2009, yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta landasan filosofis terkait
antroposentrisme tidak relevan, bahkan tidak membuka ruang diskresi. Adapun
permintaan maaf sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban moral tidak memiliki
kaitan dengan menghentikan pelanggaran dan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Sehingga unsur efektivitas pencapaian tujuan (doelmatigheid) dalam hal ini menjadi tidak
terpenuhi, yang berarti tidak memungkinkan untuk diadakan diskresi. Oleh karena itu,
memasukkan sanksi permintaan maaf ke dalam kategori, baik secara umum sebagai
sanksi administratif, maupun secara khusus sebagai paksaan pemerintah, adalah suatu
kekeliruan hukum.
6. Seandainya gugatan diajukan tidak melewati batas waktu, bagaimana menurut
Anda putusan ini akan berakhir?
Sebagaimana yang dinyatakan dalam putusan Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-
JKT, gugatan Penggugat dinyatakan telah melewati tenggang waktu pengajuan gugatan,
sehingga gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak diterima (Niet Ontvankelijk
verklaard), dan oleh karena itu maka seluruh dalil Penggugat dan Tergugat dalam pokok
perkara yang merupakan inti persengketaan yang menjadi substansi perkara tidak perlu
dipertimbangkan dan diberi penilaian hukum lagi. Namun, apabila seandainya gugatan
yang diajukan oleh Penggugat tidak melampaui batas waktu pengajuan gugatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka
menurut kelompok kami Majelis Hakim dapat mengabulkan sebagian dari gugatan
Penggugat. Berdasarkan objek sengketa pada putusan ini yakni Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-
PHLHK/PPSA/2015 tertanggal 19 Oktober 2015 tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul dan Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 3982/Menlhk-
PHLHK/PPSA/ GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus 2016 Tentang Perubahan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.
4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan
Pemerintah kepada PT Kaswari Unggul, diketahui bahwa sanksi administratif paksaan
pemerintah yang diberikan adalah sebagai berikut:
1. Mengembalikan lahan eks area kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul
kepada Negara sesuai peraturan perundangundangan, dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari kalender;
2. Melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di
Distrik Sungai Beyuku, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender;
3. Melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis, paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender;
4. Memiliki izin Penyimpanan Sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, paling
lama 60 (enam puluh) hari kalender;
5. Melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media masa nasional, paling lama
14 (empat belas) hari kalender;

Adapun diktum ketiga angka kedua kemudian diubah oleh SK. 3982/Menlhk-
PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016, sehingga menjadi “Melengkapi sarana dan prasarana
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender”.
Berdasarkan analisis kami, sanksi yang kurang tepat untuk dijatuhkan terdapat pada
diktum ketiga angka kesatu dan diktum ketiga angka kelima SK tersebut. Terkait
diktum ketiga angka kesatu, PT Kaswari Unggul diharuskan untuk mengembalikan
lahan eks area kebakaran dalam areal kerjanya. Padahal sebagaimana yang
dinyatakan dalam putusan, areal yang yang diperintahkan untuk dikembalikan tersebut
merupakan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Kaswari Unggul yang secara sah
diperolehnya melalui Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 58/HGU/KEM-
ATR/BPN/2015 tertanggal 11 Juni 2015. Sehingga sanksi paksaan pemerintah untuk
mengembalikan lahan eks kebakaran kepada negara bukanlah merupakan kewenangan
dari Menteri LHK, melainkan merupakan kewenangan dari Menteri Agraria dan Tata
Ruang sebagai pihak yang mengeluarkan keputusan pemberian HGU tersebut, dan
pencabutan atas HGU tersebut juga seharusnya tunduk pada peraturan perundang-
undangan di bidang agraria.
Lebih lanjut, berdasarkan eksepsi yang disampaikan oleh Tergugat, dinyatakan
bahwa pengembalian lahan eks kebakaran tersebut bukanlah dimaksudkan untuk
mengubah atau mencabut HGU yang dimiliki oleh PT Kaswari Unggul, melainkan
dimaksudkan untuk memberi kepastian dan jaminan bahwa akan dilakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup terhadap eks lahan kebakaran oleh Penggugat. Namun,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, perihal pengembalian lahan dan perbuatan lain
yang berkaitan dengan HGU yang dimiliki oleh PT Kaswari Unggul, maka seharusnya
tunduk pada peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Berdasarkan peraturan di
bidang agraria, pengembalian tanah/lahan dapat dipersamakan dengan pencabutan hak
atas tanah tersebut. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa “Untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-undang.”46 Hal ini berarti “pengembalian lahan” yang
dimaksudkan dalam Keputusan KLHK tersebut apabila ditinjau dari perspektif agraria
dapat menyebabkan hapusnya HGU yang dimiliki oleh PT Kaswari Unggul, dan tanah
tersebut akan kembali menjadi tanah negara. “Pengembalian lahan” ini juga seharusnya
disertakan dengan ganti rugi yang layak berdasarkan undang-undang.47 Sementara
sebagaimana yang dinyatakan dalam Keputusan KLHK terkait, tidak disebutkan bahwa
pengembalian lahan tersebut akan disertai dengan ganti rugi, dikarenakan makna
pengembalian lahan yang dimaksud dalam keputusan ternyata berbeda dengan makna
pengembalian lahan dalam perundang-undangan di bidang agraria. Dengan demikian
menurut kelompok kami, sanksi pada diktum ketiga poin pertama tidaklah tepat dan
bukan merupakan kewenangan dari Menteri LHK. Terdapat satu sanksi lagi yang
menurut kami kurang tepat diterapkan sehingga apabila gugatan ini tidak diajukan lewat
waktu, majelis hakim dapat membatalkan pemberian sanksi tersebut. Adapun sanksi yang
dimaksud ialah pada diktum ketiga poin kelima, yakni melakukan permintaan maaf

46 Andri Gunawan Wibisana, “Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 6 No. 1 (2019), hlm.
45-46.
47Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penerapan
Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2 Tahun 2013, Ps. 5
ayat (1).
kepada publik melalui media masa nasional, paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
Alasan yang mendasarinya adalah dikarenakan tujuan dari paksaan pemerintah ialah
mengembalikan kepada keadaan semula lingkungan yang telah dirusak. Lebih lanjut,
berdasarkan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bentuk-bentuk dari paksaan
pemerintah dapat berupa:48

1. penghentian sementara kegiatan produksi;


2. pemindahan sarana produksi;
3. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
4. pembongkaran
5. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
6. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
7. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup

Berdasarkan bentuk-bentuk paksaan pemerintah di atas, permintaan maaf tidaklah


termasuk ke dalam salah satunya. Sebetulnya poin ke-7 memungkinkan adanya tindakan
lain, namun tindakan lain tersebut juga harus bertujuan untuk menghentikan pelanggaran
dan tindakan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan menurut kelompok
kami, permintaan maaf tidak akan memengaruhi fungsi pemulihan lingkungan hidup,
melainkan hanya sebatas “tanggung jawab moral” dari pihak yang telah merusak fungsi
lingkungan hidup kepada masyarakat yang terkena dampak. Dengan demikian,
permintaan maaf bukanlah termasuk ke dalam bentuk paksaan pemerintah.

Bab III
Kesimpulan

48 Solechan, “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelayanan Publik” Administrative Law &
Governance Journal, Vol. 2 No. 3 - Agustus 2019.
1. Paksaan Pemerintah atau coercive action adalah suatu tindakan nyata pemerintah yang
tujuannya untuk menghentikan suatu pelanggaran norma hukum dan memulihkan
keadaan kembali kepada semula.
a. Terdapat akibat hukum apabila seseorang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah. Hal tersebut diatur pada Pasal 79 dan Pasal 81 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
kemudian Pasal 4 ayat (4) dan (5) serta Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 2 Tahun 2013. Terkait dengan kasus ini, denda yang harus
dibayarkan PT Kaswari Unggul merupakan akibat hukum tersebut.
b. Apabila dikaitkan dengan kasus ini, biaya ganti rugi lingkungan yang harus
dibayarkan oleh PT Kaswari Unggul sesuai dengan ketentuan pasal-pasal di atas
mengenai pemberlakuan denda. PT Kaswari Unggul melalui SK No. 4551 dan SK
No. 3982 telah diberikan sanksi paksaan oleh pemerintah, namun PT Kaswari
unggul tidak melaksanakan paksaan pemerintah tersebut. Maka, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat PT Kaswari Unggul dengan
Nomor Perkara 296/PDT/2020/PT.DKI. Gugatan KLHK tersebut kemudian
dikabulkan, oleh karena itu, PT Kaswari Unggul harus membayar ganti rugi
lingkungan sebesar Rp25,6 milyar.
c. Terdapat keterkaitan antara pengawasan dan sanksi. Pengawasan merupakan
tindakan preventif dalam penegakan hukum lingkungan, sedangkan sanksi
merupakan upaya represif yang dilakukan setelah pencemaran lingkungan telah
terjadi. Pengawasan perlu dilakukan terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sedangkan sanksi dilakukan setelah
pencemaran terjadi yang dapat berupa administrasi, perdata, maupun pidana.
d. Bahwa prosedur penerapan sanksi yang dilakukan oleh Tergugat sudah dilakukan
secara tepat dengan memenuhi prosedur penerapan sanksi sesuai dengan AUPB,
pejabat yang melakukan penerapan sanksi seusai dengan peraturan, pemberian
sanksi administratif sudah tepat, mekanisme penerapan sanksi dilakukan secara
bebas/tidak bertahap, pemberi sanksi sudah melaksanakan kewajiban, dan telah
melakukan tahapan pengadministrasian keputusan sanksi administratif
e. Penerapan paksaan pemerintah dalam kasus ini jika ditinjau dari definisi teoritis
atas bestuursdwang sudah tepat. Hal ini disebabkan karena SK yang menjadi
objek sengketa TUN dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
sebagai pejabat administrasi negara yang melakukan tindakan nyata untuk
mengakhiri suatu pelanggaran norma hukum yang dilakukan oleh PT Kaswari
Unggul, yakni kerusakan lingkungan hidup untuk dipulihkan kembali fungsi
lingkungan hidupnya. Penerapan paksaan pemerintah dalam kasus ini yang tidak
didahului oleh adanya teguran tertulis terlebih dahulu juga tetap dapat dilakukan
karena pelanggaran yang dilakukan oleh PT Kaswari Unggul telah mengakibatkan
ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup.
2. Penerapan asas kesamaan yang mengindikasikan dalam kasus yang sama haruslah
diperlakukan hal yang sama belum terlihat dalam kasus ini ditinjau dari tidak
dijatuhkannya sanksi administratif kepada PT ATGA mengingat telah terjadi kebakaran
lahan juga pada perusahaan perkebunan PT ATGA tersebut dalam waktu dan daerah yang
berdekatan dengan kebakaran lahan yang terjadi pada PT KU.
3. Menurut kelompok kami bahwa sanksi paksaan pemerintah terkait perintah menyerahkan
kembali eks lahan kebakaran kepada negara tidak dapat dilakukan. Jika kita lihat dalam
putusan, tertulis bahwa lahan perkebunan seluas kurang lebih 120 Ha (seratus dua puluh
hektar) eks are kebakaran yang diperintahkan dikembalikan kepada negara tersebut
adalah merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki secara sah oleh PT
Kaswari Unggul yang pemberian haknya yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Agraria
dan Tata Ruang (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Nomor:
58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 Tanggal 11 Juni 2015.49 Kewenangan mencabut dan atau
membatalkan Hak Guna Usaha (HGU) terdapat pada instansi yang menerbitkannya,
sehingga Tergugat tidak memiliki kewenangan dan atau telah melampaui kewenangannya
dengan memerintahkan Penggugat untuk mengembalikan lahan eks area kebakaran
tersebut. Dimana hal tersebut bukan merupakan kewenangan Tergugat.50 Sehingga,
berdasarkan alasan yang terdapat dan tertulis pada putusan tersebut, dapat diketahui
bahwa sanksi paksaan pemerintah mengenai perintah menyerahkan kembali eks lahan
kebakaran kepada negara tidak dapat dilakukan.
49 Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan No. 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, hlm. 24.
50 Ibid.
4. Pertanggungjawaban tetap dapat dituntut kepada PT Kaswari Unggul karena unsur
kesalahannya telah terpenuhi dengan adanya kerugian yang timbul akibat kegiatannya
dan dalam kacamata moral juga terdapat tuntutan kepadanya untuk melakukan
permintaan maaf. Meskipun demikian, pertanggungjawaban moral dalam bentuk
permintaan maaf tidak dapat dikenakan kepada PT Kaswari Unggul karena sanksi dalam
bentuk permintaan maaf bukanlah bentuk sanksi yang dikenal di dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dimana sebagai negara hukum, setiap pelaksanaan
kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah termasuk pemberian sanksi harus
berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan.
5. Pasal 80 ayat (1) huruf g UU No. 32 Tahun 2009 secara tegas membatasi tujuan paksaan
pemerintah adalah untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi
lingkungan hidup. Adapun dalil Menteri KLHK terkait Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,
Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU No. 32 /2009, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta landasan filosofis terkait
antroposentrisme tidak relevan, sehingga tidak membuka ruang diskresi. Permintaan
maaf sebagai bentuk pertanggungjawaban moral tidak memiliki kaitan dengan
menghentikan pelanggaran dan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Unsur efektivitas
pencapaian tujuan (doelmatigheid), yang menjadi unsur wajib dalam menjalankan fungsi
administrasi negara, dalam hal ini tidak terpenuhi, yang berarti tidak memungkinkan
untuk diadakan diskresi. Oleh karena itu, memasukkan sanksi permintaan maaf ke dalam
kategori, baik secara umum sebagai sanksi administratif, maupun secara khusus sebagai
paksaan pemerintah, adalah suatu kekeliruan hukum.
6. Apabila seandainya gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak melampaui batas waktu
pengajuan gugatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, maka menurut kelompok kami Majelis Hakim dapat mengabulkan sebagian
dari gugatan Penggugat. Adapun gugatan yang dapat dikabulkan tersebut berupa
penghapusan beberapa sanksi yang dinyatakan dalam SK Menteri KLHK No. 4551 jo.
SK Menteri KLHK NO. 3982, lebih tepatnya pada diktum ketiga angka kesatu dan
diktum ketiga angka kelima. Terkait diktum ketiga angka kesatu, sanksi ini kurang tepat
untuk diterapkan karena perihal pengembalian lahan bukanlah merupakan kewenangan
Menteri LHK, melainkan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Sedangkan untuk diktum
ketiga angka kelima, sanksi berupa permintaan maaf bukanlah termasuk ke dalam bentuk
paksaan pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Daftar Pustaka

I. BUKU
Ali, Faried. Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom. (Bandung: Refika
Aditama, 2012).
H.R., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Depok: Rajawali Pers, 2018.
Oosternkbrink, J.J. Administratief Santies. Uitgeverij Vuga nv., ‘s Gravenhage, tt.
Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Pratiwi, Cekli Setya. et.al. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Lembaga
Kajian Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2016.
Ten Berge, J.B.J.M. Bescherming Tegen Overheid. Zwollen: Tjeenk Willink,1995.
Wijoyo, Suparto. Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan
Secara Terpadu. Surabaya: Airlangga University Press. 2006.
Hadjon, Philipus M. et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011.

II. ARTIKEL/JURNAL
Capes, Justin A. “Strict Moral Liability.” Social Philosophy & Policy Vol. 36 No. 1
(2019). Hlm. 52-71.
Herstein, Ori J. “Nobody’s Perfect: Moral Responsibility in Negligence.” Canadian
Journal of Law & Jurisprudence Vol. 32 No. 1 (Februari 2019). Hlm. 109-125.
Jarmani, Margareta Nopia Merry Venita. I Gusti Ngurah Wairocana. I Ketut Sudiarta.
“Wewenang Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang) (Kajian Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Bangunan
Gedung).” Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum 6 (Maret 2018). Hlm. 1-15.
McGowan, Richard J. dan Hilary G. Buttrick. “Moral Responsibility and Legal Liability,
or, Ethics Drives the Law.” Journal of Learning in Higher Education Vol. 11
No. 2 (2015). Hlm. 9-13.
Panambunan, Amelia M. K. “Penerapan Sanksi Administratif dalam Penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia.” Lex Administratum 4 (Februari 2016). Hlm. 93-101.
Patel, Ameeta dan Lamar Reinsch. “Companies Can Apologize: Corporate Apologies and
Legal Liability.” Business Communication Quarterly Vol. 66 No. 1 (Maret
2003). Hlm. 9-25.
Raharja, Ivan Fauzani. “Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran
Perizinan.” Inovatif 7 (Mei 2014). Hlm. 117-138.
Rondonuwu, Diana E. “Tinjauan Yuridis Terhadap Penegakan Hukum Lingkungan
Administratif menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009”. Lex Privatum
(Nov 2018). Hlm. 188-193
Setiadi, Wicipto. “Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum
dalam Peraturan Perundang-undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 6 No. 4

Desember 2009. Hlm. 603-614.
Solechan. “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelayanan Publik”.
Administrative Law & Governance Journal. Vol. 2 No. 3 - Agustus 2019.
Siallagan, Haposan. “Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia.” Sosiohumaniora
Vol. 18 No. 2 (2016). Hlm. 131-137.
Wibisana, Andri G. “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan:
Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau (BMH).” Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No.
1 (Oktober 2016).
Wibisana, Andri Gunawan. “Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual
atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia.” Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia 6 No. 1 (2019). Hlm. 41-71.

III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
________. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun
1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043.
________. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
________. Menteri Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permen No. 02 Tahun 2013, BN No. 314
Tahun 2013.
________. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN
No. 292 Tahun 2014, TLN No. 5601.

IV. PUTUSAN PENGADILAN


Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 104/G/LH/2017/PTUN-JKT.
DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN PADA SAAT PRESENTASI
1. (Ruth) Apakah ada batasan/patokan/standar tersendiri berkaitan dengan asas
kesamaan dalam AAUPB?
Jawaban:
Di Indonesia, asas kesamaan ini hanya diatur dalam 3 undang-undang saja dengan
frasa asas ketidakberpihakan/tidak diskriminatif, yaitu dalam UU AP, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 mengenai Pelayanan Publik, dan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 mengenai Ombudsman Republik Indonesia. Berdasarkan ketiga undang-
undang tersebut tidak dijelaskan secara lebih lanjut terkait batasan/patokan/standar
berkaitan dengan asas kesamaan yang merupakan bagian daripada AAUPB tersebut.
Namun demikian, asas kesamaan ini lebih lanjut dijelaskan berdasarkan doktrin-doktrin
dari berbagai ahli Hukum Administrasi Negara seperti John Rawls dan Dworkin. John
Rawls menyatakan bahwa ketidaksamaan hanya diizinkan jika hal itu ditujukan untuk
menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung. Sementara itu, Dworkin
menyatakan mengenai affirmative action atau perbedaan yang ditujukan untuk
melindungi pihak yang lemah atau minoritas, dimana ia membedakan antara:
- Hak untuk diperlakukan sebagai sesuatu yang setara adalah hak terkait untuk
memperoleh perhatian dan penghormatan yang sama dalam pengambilan
keputusan politik terkait distribusi barang dan kesempatan tersebut.
- Hak atas perlakuan yang sama, yaitu hak untuk distribusi yang sama atas barang
dan kesempatan. Ia kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa hak atas perlakuan
yang sama merupakan turunan dari hak untuk diperlakukan sebagai sesuatu yang
setara.
Jadi, pada intinya tidak ada suatu batasan/patokan/standar tersendiri berkaitan
dengan asas kesamaan dalam AAUPB, namun yang terpenting untuk dicermati adalah
intisari daripada asas kesamaan ini yang mendasari kewajiban untuk memperlakukan hal
yang sama atas kasus yang sama dan larangan memperlakukan hal yang sama untuk
kasus yang berbeda.
2. (Habibah) Apabila suatu badan dikenakan sanksi perdata dan sanksi administratif
secara bersamaan, apakah hal tersebut tetap melanggar asas kesamaan?
Jawab: Jika terhadap pihak tersebut juga dikenakan sanksi administratif atas tindakan
pencemaran atau kerusakan lingkungan yang sama, maka tidak, hal tersebut masih
merupakan pelanggaran dari asas kesamaan dan AUPB. Ruang lingkup dalam UU AP
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 hanya mengatur mengenai penjatuhan sanksi
administratif jika dikaitkan dalam konteks asas kesamaan. Selanjutnya, UU PPLH juga
membedakan antara sanksi administratif, pidana, dan juga perdata, dimana pengaturan
mengenai sanksi administratif terdapat dalam Bab XII Bagian Kedua UU PPLH yang
dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan
Namun, hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan bagi sanksi perdata atau sanksi
pidana untuk dijalankan bersamaan dengan sanksi administratif.

Anda mungkin juga menyukai