Anda di halaman 1dari 3

Antara Keserakahan Pemerintah dan Kerusakan Lingkungan

Hana Wandari
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung

Naskah Undang - Undang Omnibuslaw telah diserahkan oleh Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) ke Presiden pada tanggal 14 Oktober 2020, namun perlu diketahui bahwa hal
ini tak berpengaruh apabila presiden jokowidodo tidak menandatangani naskah UU ini,
karena apabila selama 30 hari presiden tidak menandatangani UU Omnibuslaw ini tetap saja
akan berlaku. Dan pada pidato nya beberapa pekan yang lalu, Presiden Jokowi enggan untuk
menerbitkan Perpu dan apabila ada yang keberatan dpersilahkan untuk menggugat ke
Mahkamah Konstitusi. Omnibuslaw merupakan cerminan semakin rendahnya komitmen
pemerintah dalam melindungi sumber daya alam, hutan,lahan dan laut indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) itu dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan , namun
pemerintah menghapuskan di dalam Undang – Undang Omnibuslaw ini.

Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,


dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Dalam Pasal 88 UU PPLH ini, betul - betul ada kekuatan ketika menuntut
pertanggungjawaban perusahaan tanpa harus dibuktikan dulu ada unsur kesalahan atau tidak.

Namun, di dalam Undang – Undang Omnibuslaw pemerintah menghapus ketentuan


“tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau
kegiatannya.”

Prinsip “pertanggungjawaban mutlak” atau Strict Liabillity telah dilemahkan oleh


Pemerintah, frasa “Strict Liabillity” yaitu “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” telah
diganti menjadi “dari usaha dan/atau kegiatannya”. Implikasinya adalah Dalam proses
gugatan pihak tergugat akan memanfaatkan celah UU ini untuk terus mengejar harus adanya
pembuktian terjadinya kebakaran di lapangan, padahal “tanggungjawab mutlak” ini adalah
pasal yg sering digunakan oleh pemerintah sbg senjata untuk menuntut perusahan” yang
konsensinya terbakar. Ketika pasal ini sering digunakan untuk menuntut perusahaan, kenapa
pasal ini malah di lemahkan oleh pemerintah itu sendiri?

Akibat nya adalah :


(Dulu)
Dalam Pasal 88 UUPPLH “penegak hukum bisa langsung menindak perusahaan yang nakal
apabila menemukan telah terjadinya kerusakan lingkungan atau kebakaran di konsensi
perusahaan”

(Sekarang setelah adanya Omnibuslaw)


Penegak hukum perlu membuktikan terlebih dahulu apakah perusahaan melanggar, sehingga
menyebabkan kerusakan lingkungan padahal kebakaran itu sudah nyata di depan mata.
Dalam hal ini Negara sebagai organisasi kekuasaan yang merepresentasikan rakyat
semestinya memberikan jaminan yang tegas terhadap kehidupan yang layak bagi rakyatnya.
Salah satu jaminan kehidupan yang layak tersebut salah satunya mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan jaminan konstitusional negara bagi setiap orang yang termaktub dalam Pasal 28H
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun, dalam Undang – Undang Omnibuslaw telah
melanggar Pasal 28 H sebab sekarang penegak hukum susah untuk menindak perusahaan –
perusahaan yang nakal yang kerap kali membakar hutan untuk kepentingan perusahaan yang
menyebabkan kerusakan lingkungan karena setelah diterbitkan nya Undang – Undang
Omnibuslaw Penegak hukum perlu membuktikan terlebih dahulu apakah perusahaan
melanggar, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Dimana lingkungan hidup yang
baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan tentang peran Amdal dan pengambilan keputusan tentang


penyelenggaraam sebuah usaha dan/atau kegiatan yang semula tercantum dalam Undang -
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
berencana diubah dalam Undang – Undang Omnibuslaw Pasal 23. Salah satu pasal yang
terdampak adalah pasal (11) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang semula berbunyi :

“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal,


adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Diubah pada Undang – Undang Omnibuslaw Pasal 23 ayat (11) yang berbunyi :

“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah
Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Perubahan ini jelas mereduksi peran Amdal sebagai salah satu variabel pertimbangan
pemerintah dalam memberikan izin berusaha. Semula, Amdal berperan sebagai pengambil
keputusan tentang penyelenggaraan suatu kegiatan, kini Amdal hanya dipandang sebagai
pertimbangan pengambilan keputusan. Ini menunjukkan sikap pemerintah yang cenderung
mengesampingkan masalah lingkungan. Padahal perlu diketahui bahwasanya hal ini sudah
tertulis secara jelas bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang layak sebagaimana tertuliskan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Pasal 23 ayat (11) Undang – Undang Omnibuslaw juga telah melanggar
UUD 45 Pasal 33 ayat (4) yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”. Telah jelas termaktub dalam UUD 45 perekonomian nasional
diselenggarakan dengan berwawasan lingkungan, sedangkan dalam Undang – Undang
Omnibuslaw sendiri AMDAL bukanlah menjadi penentu akan suatu adanya penyelenggaraan
kegiatan dan kini AMDAL hanyalah sebagai pertimbangan pengambilan suatu keputusan.

Anda mungkin juga menyukai