Anda di halaman 1dari 8

PENDAPAT AHLI TERKAIT PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

Kepada
Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya
Jalan Walan, Sedati Agung, Kec. Sedati
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur

Dengan hormat,

I. KASUS POSISI

1. Bahwa PT Adhi Rizki Prathama (PT ARP) merupakan perusahaan penyedia


jasa yang bergerak di bidang pembangunan, konsultan, percetakan,
perdagangan, telekomunikasi, pertambangan, pertanian, perindustrian,
pengangkutan dan real estate. Berkedudukan di Jl. Gajah Mada no.15
Kaliwates Kidul, Kaliwates, Kec.Kaliwates, kabupaten Jember, Jawa Timur
68131. Berdasarkan akta pendirian no. 35 tanggal 17-10-2000 dihadapan
Notaris Aziza Zulia, S.H., M.Kn dan mendapatkan pengesahan dari
Kemenkumham dlm surat keputusan tgl 25-10-2000 Nomor C-25.HT.02.01-
TH.2001. Perusahaan ini telah mendapat banyak kepercayaan dari
pemerintah setempat, dilihat dari track record perusahaan tersebut.
Perusahaan ini berhasil menyelesaikan banyak proyek besar, beberapa
diantaranya seperti pembangunan Jalan besar di kabupaten jember sampai
pembangunan jembatan terpanjang di kabupaten tersebut, sehingga
perusahaan ini mendapat banyak penghargaan dari berbagai Lembaga dan
instansi pemerintahan.
2. Bahwa pada tanggal 4 Juni 2015 Vicky Alvian, S.H., M.Hum yang menjabat
sebagai Direktur Utama PT Adhi Rizki Prathama sejak tahun 2010,
mengundurkan diri karena berniat mencalonkan diri sebagai calon Bupati
Jember pada PILKADA bulan November 2015. Meskipun mundur,
perusahaan tersebut secara tidak langsung masih dikendalikan Vicky Alvian,
S.H., M.Hum sebagai Beneficial Owner
3. Bahwa pada tanggal 4 Februari 2016 diadakan Rapat Kerja Daerah
(Rakerda) yang memutuskan mengenai Program Kerja satu periode kedepan.
Dalam Program Kerja yang dipaparkan tersebut, salah satunya membahas
mengenai pembangunan dan pemeliharaan beberapa ruas jalan di Jember
yang dinilai terjadi penurunan kualitas jalan pada tahun 2016, kemudian untuk
mengatasi masalah tersebut pemerintah Kabupaten Jember mengadakan
Tender Pengadaan Barang/Jasa, antara lain:
1) Peningkatan Jalan Desa Cumedak-Jalan Ledokombo.
2) Proyek Peningkatan struktur pada ruas Jalan KH Agus Salim-KH
Shiddiq-Sentor Prawirodirjo.
3) Pemeliharaan berkala pada ruas Jalan Wolter monginsidi-Jalan Yos
Sudarso.

Bahwa rencananya ketiga proyek jalan tersebut akan dibuka pelelangan


tender pengerjaannya pada bulan Agustus 2016, dimana Vicky Alvian,
SH., M.Hum telah mengethui rencana pembukaan lelang tender proyek
Peningkatan dan pemeliharaan ruas jalan Kabupaten Jember tahun 2016
tersebut.
4. Bahwa Pada tanggal 13 Juli 2016, Vicky Alvian, S.H., M.Hum bertemu
dengan Adhisti Aprilia, S.E., M.M dan Miftachul Arif, S.T., M.T di Hotel
Horizon di Surabaya.
5. Bahwa Vicky Alvian, S.H., M.Hum memberikan penjelasan berkaitan dengan
proyek tender tersebut, kemudian Vicky Alvian, S.H., M.Hum berkongkalikong
dengan Adhisti Aprilia, S.E., M.M dan Miftachul Arif, S.T., M.T agar seluruh
tender tersebut dapat dimenangkan oleh PT Adhi Rizki Prathama, maka PT
Adhi Rizki Prathama harus menggunakan bendera perusahaan lain guna
menyamarkan identitasnya. Selain itu Vicky Alvian, S.H., M.Hum meminta
hadiah 5% dari nilai total nilai proyek Rp 32.321.000.000,00 (tiga puluh dua
miliyar tiga ratus dua puluh satu juta rupiah) yaitu sebesar Rp
1.616.050.000,00 (satu miliar enam ratus enam belas juta lima puluh ribu
rupiah) jika berhasil mewujudkannya.
6. Bahwa setelah adanya pertemuan tersebut, tanggal 23 Juli 2016 Vicky Alvian,
S.H.,M.Hum, Adhisti Aprilia, S.E., M.M, beserta Miftachul Arif , S.T., M.T
melakukan pertemuan dengan Fachrie Shahab, S.T., M.T selaku Direktur
Utama dari PT Hanna Satguna Jaya (PT HSJ) dan Brillyanda Robby, S.E
selaku dari Direktur Utama dari PT Sayidah Ratu Persada (PT SRP) di
Karoke Melati. Pertemuan tersebut membahas mengenai PT Adhi Rizki
Prathama yang berencana akan menggunakan bendera PT Hanna Satguna
Jaya untuk tender proyek peningkatan struktur pada ruas jalan KH Agus
Salim-KH Shiddiq-Sentor Prawirodirjo dan menggunakan bendera PT
Sayidah Ratu Persada untuk tender proyek pemeliharaan berkala pada ruas
jalan Wolter Monginsidi - Yos Sudarso. Pada akhirnya kedua perusahaan
pemilik bendera tersebut hanya akan diberikan fee pinjam bendera sebesar
1,5% (satu setengah) persen dari nilai kontrak. Kemudian PT Adhi Rizki
Prathama sendiri akan mengikuti Tender Proyek Peningkatan Jalan Desa
Cumedak – Jalan Ledokombo.
7. Bahwa untuk memenangkan proyek tersebut agar ketiga proyek tersebut
dapat dimenangkan oleh PT Adhi Rizki Prathama Pada tanggal 24 Juli 2016
Vicky Alvian berkongkalikong terkait dengan proyek ini dan berjanji akan
memberikan uang sebesar Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
kepada Sugeng Riyadi, S.T., M.T selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU)
Kabupaten Jember, jika berhasil memenangkan PT Adhi Rizki Prathama (PT
ARP), PT Hanna Satguna Jaya (PT HSJ), dan PT Sayidah Ratu Persada (PT
SRP). Pemberian uang kepada Sugeng Riyadi, S.T., M.T tersebut,
diserahkan dalam dua tahap,yaitu tahap pertama pada 24 Juli 2016 sebesar
Rp 300.000,000,00 (tiga ratus juta rupiah) via transfer Bank Maju Mundur
(BMM), tahap kedua pada saat proyek selesai sebesar Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) di waktu yang belum ditentukan. Maka dari itu pada 25
Juli 2016, Sugeng Riyadi, S.T., M.T selaku Pengguna Anggaran,
menempatkan orang kepercayaannya yaitu Buana Wacana, ST., MT. sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), setelah itu Pada 26 Juli 2016
ditetapkanlah Abdul Rakhim, S.T., M.T untuk menjabat sebagai Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) untuk Proyek Peningkatan dan pemeliharaan ruas
jalan Kabupaten Jember tahun 2016 dari bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Jember. Setelah resmi ditetapkan Abdul Rakhim, S.T., M.T
diarahkan oleh Sugeng Riyadi, S.T., M.T untuk membuat paket pengadaan
proyek yang dibawah standar anggaran, agar PT Adhi Rizki Prathama
memperoleh keuntungan yang besar. Pada 26 Juli 2016 Abdul Rakhim, S.T.,
M.T sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mendapatkan imbalan dari
Sugeng Riyadi, S.T., MT sebesar Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) juta
yang ditransfer via Bank Indonesia Kaya (BIK).
8. Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2016, kemudian sesuai hasil pemenang
proyek tender dengan dikeluarkannya Letter Of Award yang menyatakan PT
Adhi Rizki Prathama, PT Hanna Satguna Jaya, dan PT Sayidah Ratu Persada
selaku pemenang dari proyek tender akan mengerjakan proyek peningkatan
dan pemeliharaan beberapa ruas jalan di Jember pada tahun 2016 - 2017
nantinya. Setelah itu, Vicky Alvian, S.H., M.Hum melakukan pembagian
anggaran kepada PT Adhi Rizki Prathama, PT Hanna Satguna Jaya, dan PT
Sayidah Ratu Persada yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
Tahun Anggaran 2016, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bantuan
Provinsi Tahun Anggaran 2017 pada APBD Kabupaten Jember.
9. Bahwa PT Adhi Rizki Prathama mendapatkan keuntungan sebesar ........ dari
ketiga proyek yang di jalankan.

II. Permasalahan Hukum


1. Apakah perbuatan hukum yang diuraikan pada kasus posisi diatas
termasuk ke dalam pertanggungjawaban pidana korporasi?
2. Apakah dalam tindak pidana pencucian uang pihak korporasi dapat di
gantikan oleh perorangan?

III. Analisa dan Pendapat Hukum


1. Perbuatan Hukum Yang Diuraikan Pada Kasus Posisi Diatas
Termasuk Ke Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai kejahatan
transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena kejahatan
korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur - unsurnya
yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang tersistematis
karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat solid baik
karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingan - kepentingan
lain, dengan kode etik yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan “unsur-
unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi selalu
ada kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum penegak
hukum dan professional. dan kelompok-kelompok masyarakat yang
menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut.Perlu
pula dikemukakan bahwa kejahatan ini seringkali mengandung elemen-
elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation),
penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran
kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan
peraturan (ilegal circumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat
secara luas.
Selain itu, menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi
merupakan bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh
Shutherland berikut ini: “…is a violation of criminal law by the person of the
upper socio economic class in the course of his occupational activities” yang
mana kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang
berhubungan dengan jabatannya).
Terkait dengan korporasi sebagai pembuat tindak pidana, ketika korporasi
melakukan suatu tindak pidana, maka korporasi tersebut seharusnya dapat
dimintakan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya
baik yang ditunjukan langsung kepada korporasi yang bersangkutan ataupun
yang ditunjukan kepada pengurus-pengurusnya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai
subjek hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
Membahas masalah pertanggungjawaban pidana korporasi tentu tidak
bisa dilepaskan dari tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana terdapat dua
aliran yang membahas antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban
pidana. Aliran pertama adalah aliran monoistis yang memandang bahwa di
dalam tindak pidana terkandung juga pertanggungjawaban. Aliran kedua
adalah aliran dualistis. Penganut aliran dualistis memahami bahwa dalam
pengertian tindak pidana tidak termasuk di dalamnya masalah
pertanggunggjawaban, karena tindak pidana hanya merujuk pada dilarangnya
suatu perbuatan.
Dalam hukum pidana yang tersebar di luar KUHP diatur bahwa
korporasi dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi tanggung jawab untuk
itu dibebankan kepada pengurusnya. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 35 UU
No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Pasal 35 ayat (1)
menegaskan:
“Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal 32, 33 dan
34 Undang-undang ini dilakukan oleh suatu badan hukum, penuntutan pidana
dikenakan dan pidana dijatuhkan terhadap pengurus atau pemegang kuasa
dari badan hukum itu.”
UU No. 3 Tahun 1982 ini secara tegas membebankan tanggung jawab
pidana yang dilakukan oleh korporasi kepada para pengurus/pemegang
kuasa dari badan hukum, dengan demikian pengurus yang tidak ikut sertapun
harus bertanggungjawab atas semua tindak pidana yang dilakukan oleh
Korporasi. Selain pengurus, yang dapat mempertanggungjawabkan pidana
yang dilakukan oleh korporasi adalah mereka yang memberi perintah dan
atau mereka yang bertindak sebagai pimpinan.
Kemudian dikuatkan dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 2020 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, telah dijelaskan mengenai peraturan bagaimana sebuah
korporasi bisa bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh salah
satu fungsionarisnya atau pengendali dari korporasi tersebut. Pasal 6 ayat (1)
dan (2) UU No 8 Tahun 20210 tentang pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang berbunyi :
1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3, pasal 4, pasal 5 dilakukan oleh korporasi pidana dijatuhkan terhadap
korporasi dan/atau personil pengendali korporasi.
2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian
uang :
a. Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;
b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
dan dilakukan dengan maksud untuk memberikan manfaat bagi korporasi.
Di dalam teori identifikasi atau Alter Ego Theory, merupakan salah satu
dari doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, teori ini menyatakan
bahwa tindak pidana dilakukan korporasi jika dilakukan oleh orang – orang
yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi,
yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan
korporasi berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain,
dalam lingkup usaha korporasi tersebut baik sendiri – sendiri maupun
bersama – sama. Meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat
sendiri dan tidak memiliki sikap batin jahat mens rea.
Sehingga apabila dikaitkan dengan teori – teori yang telah dikemukakan
diatas, sudah sepatutnya dalam hal ini patut untuk dijatuhkan pidana
korporasi. Karena, dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh Vicky Alvian
untuk kepentingan korporasi terlihat niat dari Vicky Alvian yang berusaha
untuk memenangkan PT Adhi Rizki Prathama di dalam pemenangan tender
proyek peningkatan dan pemeliharaan jalan di Kabupaten Jember.

2. Apakah dalam tindak pidana pencucian uang pihak korporasi


dapat di gantikan oleh perorangan?
Jika suatu koorporasi di jadikan media atau alat pencucian uang maka
pertanggungjawaban di bebankan kepada pengurus, sesuai dengan pendapat
dari Mardjono Reksodiputro yaitu bahwa dalam perkembangan hukum pidana
di Indonesia ada 5 sistem mertanggungjawaban korporasi sebagai subyek
tindak pidana, yaitu :
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat
2) penguruslah yang bertanggungjawab
3) korporasi sebagai pembuat
4) pengurus yang bertanggungjawab dan
5) korporasi sebagai pembuatan yang bertanggungjawab.
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban
tertentu.
Sistem pertanggungjawaban yang di lakukan pengurus korporasi di
tandai dengan pengakuan timbul dalam perumusan undang-undang bahwa
suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha
(korporasi), tapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan
hukum (korporasi). Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi bisa
menjadi pembuat tindak pidana, tapi yang bertanggungjawab adalah para
anggota pengurus.
Pengurus korporasi dapat dikatakan bertindak mewakili korporasi,
yang sebagaimana diatur dalam undang–undang ini, apabila:
1) Dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
2) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
3) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah;
4) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Jika melihat di Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab
pidana korporasinya, tetapi kepada pengurusnya atau komisarisnya, hal
serupa juga terdapat dalam ketentuan Pasal 399 KUHP, yaitu merupakan
tindak pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris perseroan terbatas
dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Ketentuan dalam KUHP tersebut jelas menganut subyek dalam hukum pidana
adalah orang, hal tersebut sebagaimana ditegaskan juga dalam ketentuan
Pasal 59 KUHP yang menegaskan bahwa bahwa pengurus, atau anggota-
anggota badan pengurus maupun komisaris-komisaris yang melakukan
pelanggaran dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korporasi yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana korporasi dibebankan kepada pengurusnya.
Dalam beberapa putusan pengadilan yang seharusnya korporasi dapat
dituntut, tetapi dituntut dan dipidana adalah pengurus dari korporasi tersebut.
Hal ini membawa konsekuensi sulitnya ditemukan yurisprudensi tentang
korporasi sebagai subyek tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam ketentuan Pasal 6
sampai Pasal 9 UU TPPU, Pasal 6 ayat (1) menentukan “Dalam hal Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap
Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi . Personil Pengendali
Korporasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU TPPU
adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai
penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari
atasannya. Korporasi sebagai subjek hukum artinya membawa hak dan
kewajiban, sehingga apabila korporasi melanggar kewajiban atau berbuat
tanpa hak maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
Dari penjelasan di atas, maka sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi pada tindak pidana pencucian uang dapat dibagi menjadi empat
sistem pertanggungjawaban pidana yaitu:
Korporasi yang bertindak sebagai pelaku tindak pidana maka korporasi
sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
1. Korporasi sebagai pelaku maka personil pengendali korporasi
(pengurus korpoasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2. Korporasi bersama dengan personil pengendali korporasi sebagai
pelaku dan keduanya harus memikul pertanggungjawaban pidana.
3. Pengurus korporasi berperan sebagai pelaku tindak pidana pencucian
uang maka beban pertanggungjawaban pidananya hanya dibebankan
kepada pengurus korporasi saja.

IV. KESIMPULAN

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah
dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum dikemukakan bahwa yang
dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Disebutkan dalam teori identifikasi atau Alter Ego Theory, merupakan salah satu
dari doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, teori ini menyatakan bahwa
tindak pidana dilakukan korporasi jika dilakukan oleh orang – orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha
korporasi tersebut baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama. Meskipun
korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri dan tidak memiliki sikap
batin jahat mens rea.
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana pencucian
uang dapat dibagi menjadi empat sistem pertanggungjawaban pidana yaitu:
1) Korporasi yang bertindak sebagai pelaku tindak pidana maka korporasi
sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2) Korporasi sebagai pelaku maka personil pengendali korporasi (pengurus
korpoasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
3) Korporasi bersama dengan personil pengendali korporasi sebagai pelaku dan
keduanya harus memikul pertanggungjawaban pidana.
4) Pengurus korporasi berperan sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang
maka beban pertanggungjawaban pidananya hanya dibebankan kepada
pengurus korporasi saja.

Anda mungkin juga menyukai