Tim Pelaksana
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan pengabdian kepada masyarakat ini dengan
baik. Tak lupa penulis sampaikan solawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah memberikan suri tauladan kepada kita semua.
Laporan ini berjudul “BANTUAN ANALISIS MEKANISME PEMBIAYAAN
PRODUK MURABAHAH PADA BPRS BUMI RINJANI KEPANJEN KANTOR KAS
SINGOSARI”. Di dalamnya berisi penjelasan terkait BPRS, Mekanisme Pembiayaan Produk
Murabahah dan Analisis Mekanisme Pembiayaan Produk Murabahah Pada BPRS Bumi Rinjani
Kepanjen Kantor Kas Singosari.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan seluruh pihak. Oleh karena itu,
penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada
seluruh pihak yang telah membantu. Terakhir, penulis membuka pintu bagi para pembaca
yang ingin memberikan kritik maupun saran untuk perkembangan laporan pengabdian
penulis kedepannya.
Secara umum bank dikatakan sebagai lembaga keuangan karena bank menjadi
pihak perantara bagi sektor rumah tangga dan sektor industri, khususnya di dalam
menyerap dana dari sektor rumah tangga dalam bentuk tabungan dan menyalurkannya
kepada sektor industri sebagai kredit investasi. Sekarang ini bank adalah institusi yang
memegang lisensi bank. Lisensi bank diberikan oleh otoritas supervisi keuangan dan
memberikan hak untuk melakukan jasa perbankan dasar, seperti menerima tabungan
dan memberikan pinjaman. Terdapat beberapa jenis bank diantaranya adalah Bank
Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Keberadaan lembaga perbankan syari’ah di Indonesia didorong oleh adanya
desakan yang kuat dari penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, hal ini
dikarenakan mereka ingin terhindar dari transaksi bank yang dipandang mengandung
unsur riba yang bertentangan dengan syariat Islam. Kehadiran perbankan syari’ah
ditengah-tengah perbankan konvensional adalah untuk menawarkan sistem perbankan
alternatif bagi umat Islam yang membutuhkan atau memperoleh jasa perbankan tanpa
harus melanggar riba.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank syari’ah yang
diidentikan dengan Bank yang berurusan dengan sektor usaha kecil. Banyak sektor
usaha kecil yang sebenarnya layak dibiayai oleh BPRS namun namun karena tidak
memiliki jaminan, maka sektor usaha kecil tersebut tidak mendapatkan pembiayaan
dari bank syari’ah. Pada UU No 21 Tahun 2010 pasal 1 ayat 9 dinyatakan bank
pembiayaan rakyat syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dari sisi ekonomi, masyarakat akan berusaha untuk memperoleh pendapatan.
Pendapatan digunakan untuk konsumsi atau memenuhi kebutuhan atau selebihnya
digunakan untuk menabung. Dalam aktivitas menabung masyarakat dapat
menggunakan jasa lembaga keuangan yaitu bank untuk menyimpan dananya. Dengan
diterapkannya dual banking system berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008
yang berisi bahwa perbankan syariah adalah sesuatu yang menyangkut tentang bank
syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya maka bank syariah mempunyai
kesempatan besar untuk memperbesar pangsa pasarnya apalagi ditambah dengan
Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 yang menyatakan bunga di bank konvensional
adalah termasuk riba dan haram bagi umat Islam. Hal tersebut keterkaitannya dengan
adanya kesadaran umat Islam dalam bermuamalah, sehingga mereka terhindar dari
riba.
Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip syari’ah tertuang
pada surat direksi bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/ tentang bank perkreditan
rakyat berdasarkan prinsip syari’ah pada tanggal 12 Mei 1999. Dalam hal ini pada
teknisnya BPR Syari’ah beroperasi layaknya BPR konvensional namun menggunakan
prinsip syari’ah.
Pembiayaan murabahah merupakan salah satu pembiayaan dimana pembelian
suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Kodifikasi produk perbankan syari’ah memberikan definisi akad murabahah dari segi
transaksi murabahah, sedangkan UU Perbankan Syari’ah memberikan definisi akad
murabahah dari pengertian produk pembiayaan sebagai salah satu bentuk kegiatan
usaha bank syari’ah.
Dalam pembiayaan murabahah, bank dapat meminta nasabah untuk
menyediakan jaminan yang dapat dipegang. Karena barang yang dijual oleh bank
kepada nasabah sejak akad sudah menjadi milik nasabah dan dapat di balik nama atas
nasabah yang bersangkutan. Produk pembiayaan murabahah pada BPRS Bumi
Rinjani Kantor Kas Singosari merupakan produk yang banyak diambil oleh nasabah.
Volume transaksi dengan akad murabahah yang dominan menjadikan produk ini
menjadi salah satu preferensi dalam aktivitas pembiayaan nasabah BPRS Bumi
Rinjani Kantor Kas Singosari, sehingga pertimbangan aspek security, Flexibilitas
sistem alur layanan serta Transaparansi dan akuntabilitas dalam sistem operasional
produk layanan tersebut sangat mutlak diperlukan. Untuk itu diperlukan analisis
terkait mekanisme pembiayaan pada produk murabahah Pmg Di BPRS Bumi Rinjani
Kepanjen Kantor Kas Singosari.
V. TINJAUAN PUSTAKA
Kata wa’ad yang berasal dari bahasa Arab mempunyai arti yaitu
janji. Menurut istilah, yang dimaksud dengan wa’ad adalah keinginan yang
dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan
maupun ucapanan dalam rangka memberi harapan/keuntungan bagi pihak
lain. Karena itu janji bersifat penyampaian suatu keinginan. Karena
merupakan suatu keinginan maka wa’ad tidak mengikat secara hukum
melainkan hanya mengikat secara moral. Apabila orang yang memberikan
wa’ad menjalankan janji tersebut, hal itu merupakan suatu kebajikan.
Dalam pandangan para ahli hukum Islam, janji tidak hanya mengikat secara
moral tetapi juga secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab, baik
sebab itu disebutkan dalam pernyataan janji itu sendiri atau tidak
disebutkan.
Akad yang sah mempunyai akibat hukum pada objek akad setiap
transaksi memiliki akibat hukum masing-masing sesuai dengan jenis dan
bentuknya. Dalam transaksi jual beli (murabahah), akibat hukumnya adalah
terjadinya pemindahan kepemilikan dari 1 pihak (yang melakukan Ijab)
kepada pihak lain (yang menyatakan kabul). Sedangkan dalam transaksi sewa-
menyewa (ijarah) akibat hukumnya adalah terjadinya pengalihan kemanfaatan
dari suatu barang atau jasa dari pemilik sewa kepada pengguna sewa. Dan
begitu seterusnya dalam transaksi-transaksi lain.
Kata akad bersifat umum, yaitu meliputi segala hubungan hukum yang
menimbulkan adanya hak dan kewajiban di antara para pihak yang
membuatnya, baik objeknya menyangkut masalah harta maupun bukan
harta. Dengan demikian an-nasr dalam pandangan Islam merupakan
hubungan hukum yang mencangkup semua objek akad dan tidak membedakan
asal-usul akar selama akad tersebut dibenarkan oleh hukum Islam. karena itu,
istilah akan dapat mencangkup pengertian perikatan dan juga perjanjian.
Suatu akad yang dibuat secara sah akan menimbulkan hubungan
hukum yang mengikat serta memberikan hak dan menimbulkan kewajiban
kepada para pihak yang membuatnya. Karena itu, akad yang dibuat secara sah
harus memenuhi syarat dan rukun. Syarat adalah sesuatu yang harus ada
sebelum akad tersebut dilakukan. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus
ada pada waktu aku itu dilangsungkan.
Menurut ahli ahli hukum islam kontemporer (jumhur ulama khususnya
yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili), rukun yang membentuk akad itu ada 4
yaitu:
1) Adanya para pihak yang membuat akad (Al muta'aqidain/aqidan)
2) Pernyataan kehendak para pihak untuk mengikatkan diri (shigatul al-
aqad)
3) Objek akad (al-ma’qud alaid/mahal al-aqd)
4) Tujuan akad (maudhu’al-aqad).
Menurut mazhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah
unsur-unsur pokok yang membentuk akad, yaitu pernyataan kehendak
masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Az-Zarqa’ menyebutkan empat
unsur akan, yaitu para pihak, objek akad, tujuan akad dan rukun akad rukun
akad adalah pernyataan kehendak para pihak, yaitu ijab kabul.
Terkait dengan rukun dan syarat Akad tersebut. maka secara umum
syarat sahnya suatu akad adalah:
1) Rukun pertama, yaitu adanya para pihak yang harus memenuhi syarat
kecakapan (ahliyah) untuk melakukan akad atau karena kewenangan
(wilayah) atau karena perwakilan (wakalah).
2) Rukun kedua, berupa pernyataan kehendak para pihak harus memenuhi
syarat, yaitu adanya ijab dan kabul yang merupakan kesepakatan para
pihak.
3) Rukun ketiga, yaitu mengenai objek akad harus memenuhi syarat,
harus telah ada ketika akan berlangsung, dapat ditransaksikan
(mutaqawwim), dapat diserahterimakan, harus jelas dan diketahui oleh
para pihak, harus suci dan tidak najis.
4) Rukun keempat, berupa tujuan akad harus diiizinkan oleh syarak atau
tidak bertentangan dengannya.
c. Asas-Asas Akad
Dalam menjalankan kegiatan usaha, perbankan syari’ah yang
merupakan subsistem dari sistem ekonomi syari’ah wajib memenuhi asas-
asas yang sesuai dengan prinsip syari’ah terdapat beberapa nilai dasar/asas
yang merupakan pilar utama dari akad akad atau perjanjian berdasarkan
prinsip syari’ah. saat ini asas-asas tersebut telah diakomodasi dalam
peraturan perundang-undangan antara lain dalam UU Perbankan Syariah,
Peraturan Bank Indonesia, dan Surat Edaran Bank Indonesia. dengan
dimasukkannya prinsip-prinsip syari’ah tersebut dalam peraturan
perundang-undangan, maka prinsip syari’ah tersebut telah menjadi bagian
dari hukum positif di Indonesia.
Sampai saat ini belum ada standar baku mengenai komposisi suatu
akad pembiayaan titik dalam praktik, pada umumnya komposisi akad
pembiayaan mengacu pada format akta notaris dengan penyesuaian
seperlunya sesuai dengan kebijakan pada masing-masing bank syari’ah.
Berdasarkan ketentuan pasal 38 undang-undang No 30 Tahun 2004 tentang
jabatan notaris, setiap akta notaris terdiri dari tiga bagian yaitu:
3) Isi Akad
Bagian isi akad merupakan bagian yang didalamnya memuat
klausul-klausul yang dengan tegas mengatur hal-hal yang diperjanjikan
dan disepakati oleh para pihak. Pasal 1339 KUH Perdata menegaskan
bahwa persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatuhan
kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Unsur-unsur kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang pada
dasarnya juga terdapat dalam asas-asas kesetaraan keadilan, kejujuran,
kemaslahatan, dan amanah dalam akad akad syari’ah sebagaimana
telah diuraikan terdahulu. Misalnya dalam pasal 1338 KUH Perdata,
persetujuan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, begitu
juga berdasarkan asas amanah para pihak harus beritikad baik dalam
melakukan transaksi. Itikad baik ini harus sudah ada dalam setiap akad
perjanjian atau transaksi karena sudah menjadi kepatutan dan
kebiasaan, karena itu tidak perlu lagi dicantumkan sebagai klausul
dalam akad atau perjanjian.
Dalam suatu perjanjian perlu diperhatikan unsur-unsur:
a) Unsur Esensialia, yaitu unsur pokok yang mutlak harus ada dan
harus dimuat dalam suatu perjanjian agar perjanjian tersebut
sah. Misalnya persetujuan para pihak dan objek perjanjian
harus sesuatu yang pasti atau dapat dipastikan. Seperti objek
perjanjian pembiayaan adalah penyediaan dana dengan
maksimum tertentu.
b) Unsur Naturalia, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara
khusus tetapi dengan sendirinya dianggap sudah melekat dalam
perjanjian yang merupakan sifat bawaan (nature). Misalnya
perjanjian pembiayaan dilakukan dengan itikad baik.
c) Unsur Aksidentalia, yaitu unsur tambahan yang telah disepakati
oleh para pihak unsur ini harus disebutkan secara tegas apabila
tidak dipertunjukkan secara tegas maka kedua pihak tidak
terkait oleh hal tersebut. Misalnya cara penyelesaian sengketa
atau pilihan hukum.
B. Pembiayaan Murabahah
1. Definisi Akad Murabahah
Akad murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga
perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, di
mana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
Dalam penyaluran pembiayaan berdasarkan akad murabahah, Undang-
Undang Perbankan Syari’ah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan
harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Kodifikasi produk perbankan syari’ah memberikan definisi akad
murabahah dari segi transaksi murabahah, sedangkan UU Perbankan Syari’ah
memberikan definisi akad murabahah dari pengertian produk pembiayaan
sebagai salah satu bentuk kegiatan usaha bank syari’ah.
2. Fitur dan Mekanisme Pembiayaan Berdasarkan Akad Murabahah
Antonio, M. Syafi’I, 2000, Bank Syari’ah : Suatu Pengenalan Umum, Edisi Khusus, Jakarta :
Tazkia Institute
Anwar, Syamsul, 2007, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih
Muamalat, Jakarta : PT Raja Grafindo Prasaja
Dewi, Gemala 2004, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, Jakarta: Kencana
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana
Kasmir, 2002, Bank dan lembaga keuangan Lainnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Kasmir. 2014. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT Intermasa
Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor Kep/38/MK/IV/1972, tentang Lembaga
Keuangan, yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
562/KMK/011/1982
Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan
Wiwoho, Jamal, 2011, Hukum Perbankan Indonesia, Surakarta: UNS Press.
Wiwoho, Jamal. 2011.2012. Peran Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan
Bank Dalam memberikan Distribusi Keadilan Bagi Masyarakat. MMH, Jilid 43 No.
1.
Zuhaili, Wahbah, 1999, Al-Fikih al-Islam Wa Adilatuh, Jakarta : Kapita Selecta