Syariah
1. PENGERTIAN
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga keuangan
perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun
muamalah islam.
BPRS berdiri berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pada
pasal 1 (butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal ini, secara teknis
BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang
operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah terutama bagi hasil.
2. SEJARAH PERKEMBANGAN
Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dikenalkan pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia
(BRI) pada akhir tahun 1977, ketika BRI mulai menjalankan tugasnya sebagai Bank pembina
lumbung desa, bank pasar, bank desa, bank pegawai dan bank-bank sejenis lainnya. Pada
masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI, seluruh bank tersebut diberi nama Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
Menurut Keppres No. 38 tahun 1988 yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
adalah jenis bank yang tercantum dalam ayat (1) pasal 4 UU. No. 14 tahun 1967 yang
meliputi bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai dan bank lainnya.
Status hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pertama kali diakui dalam pakto tanggal 27
Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan perbankan.
Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari beberapa lembaga keuangan, seperti Bank Desa,
Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit
Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Desa
(BKPD) dan atau lembaga lainnya yang dapat disamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya
UU No. 7 tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan
tersebut status hukumnya diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan BPR yang tumbuh semakin banyak dengan
menggunakan prosedur-prosedur Hukum Islam sebagai dasar pelaksanaannya serta diberi
nama BPR Syariah. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah adalah PT. BPR Dana
Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang,
Bandung dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Pada tanggal 8
Oktober 1990, ketiga BPR Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Menteri
Keuangan RI dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991.
Selain itu, latar belakang didirikannya BPR Syariah adalah sebagai langkah aktif dalam
rangka restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket
kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum.
Secara khusus mengisi peluang terhadap kebijakan bank dalam penetapan tingkat suku bunga
(rate of interest) yang selanjutnya secara luas dikenal sebagai sistem perbankan bagi hasil
atau sistem perbankan Islam dalam skala outlet retail banking (rural bank).
UU No.10 Tahun 1998 yang merubah UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan nampak lebih
jelas dan tegas mengenal status perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13,
Usaha Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 13 huruf C berbunyi : Menyediakan pembiayaan dan
penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
BI.
Keberadaan BPRS secara khusus dijabarkan dalam bentuk SK Direksi BI No. 32/34/Kep/Dir,
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan SK Direksi BI
No. 32/36/Kep/Dir, tertanggal 12 Mei 1999 dan Surat Edaran BI No. 32/4/KPPB tanggal 12
Mei 1999 tentang Bamk Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Perkembangan bank syariah dari awal keberadaannya hingga November 2001 terdapat 81
BPRS. BPRS tersebut distribusi jaringan kantor tersebar pada 18 provinsi yang beradadi
Indonesia.
3. PENDIRIAN BPRS
1. Persyaratan Umum
4
1. Usaha meliputi tabungan dan deposito berjangka dan memberikan kredit kepada
pengusaha kecil
2. Modal disetor minimal Rp 50.000.000,-
3. Penanaman modal aktiva tidak boleh melebihi 50% dari modal sendiri
4. Mayoritas direksi harus berpengalaman dalam operasional bank minimal satu tahun
1. BPRS berbentuk PT
1. Siapkan modal disetor minimal Rp 15.000.000,- atau 30% dari total modal
disetor
2. Siapkan minimal dua nama yang akan dipakai BPRS dan selanjutnya minta
persetujuan ke Departemen Kehakiman
3. BPRS tidak berbentuk PT
Menyesuaikan diri dengan ketentuan yang telah digariskan oleh departemen terkait.
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 35.000.000,- pada rekening Menkeu pada bank
pemerintah
Copy AD BPRS yang telah disahkan Menteri Kehakiman RI
BPRS yang telah memperoleh izin usaha harus ke Pemda setempat untuk memperoleh WDP (
Wajib Daftar Perusahaan) dan SITU ( Surat Izin tempat Usaha), serta harus telah melakukan
kegiatan operasionalnya selambat – lambatnya tiga bulan sejak dikeluarkannya izin
dimaksud. BPRS pun harus melakukan market development serta membuat brosur produk
bank dan mempersiapkan logo bank.
1. e. Laporan Pembukuan
Laporan pembukuan BPRS pada hari pertama operasi harus dilaporkan kepada BI setempat
dengan melampirkan Neraca Awal.
Terdapat beberapa tujuan yang dikehendaki dari berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS). Di bawah ini disampaikan tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya
menyebutkan butir-butirnya saja (Sudarsono, 2004:85; Sumitro, 1997:111), keterangan tiap-
tiap butir ditambahkan oleh penulis.
Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga tujuan diatas menjadi lima tujuan, yaitu (Djazuli,
2002: 108)
1. Mengurangi urbanisasi.
2. Membina semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan operasionalnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
tersebut diperlukan strategi operasional. Pertama, Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan
bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang
berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis
yang baik. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) memiliki jenis usaha
yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala
menengah dan kecil. Terakhir, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mengkaji
pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi
pembiayaan.
5. KEGIATAN USAHA
Sebagai lembaga keuangan syariah pada dasarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun
demikian, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut:
8
6. KEGIATAN YANG DILARANG (Berdasarkan pasal 14 UU No.17 tahun 1992)
1. Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
2. Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
3. Melakukan penyertaan modal
4. Melakukan usaha perasuransian
5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan
usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS
Bank akan mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan
wadi’ah, adanya fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan
untuk menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji (ONH), dll.
Bank menerima titipan amanah berupa dana infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan
titipan ini adalah wadi’ah yakni titipan yang tidak menanggung resiko. Bank akan
memberikan kadar profit dari bagi hasil yang didapat melalui pembiayaan kepada nasabah.
Bank menerima tabungan pribadi maupun badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad
penerimaan yang digunakan sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada
nasabah yang dihitung harian dan dibayar setiap bulan.
Bank menerima deposito berjangka pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya
wadi’ah atau mudharabah, dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan
sementara dalam jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan
akad wadi’ah mendapat nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil
yang diterima dalam pembiayaan nasabah setiap bulan.
1. b. Penyaluran Dana
- Pembiayaan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha) dengan pengelola dana (bank) yang
keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian
maka pengusaha menanggung kerugian dana, sedangkan bank menanggung pelayanan
materiil dan kehilangan imbalan kerja.
Perjanjian antara pengusaha dengan bank, dimana modal kedua pihak digabungkan untuk
sebuah usaha yang dikelola bersama-sama. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama
sesuai kesepakatan awal.
Proses jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian suatu
barang oleh nasabah, kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang dan keuntungan
yang disepakati bersama.
10
Perjanjian antara bank dan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian
bahan baku atau modal kerja yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh
nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh tempo).
Perjanjian antara bank dan nasabah yang layak menerima pembiayaan kebajikan, dimana
nasabah yang menerima hanya membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan ZIS.
- Pembiayaan Istishna’
Pembiayaan dengan prinsip jual beli, dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan
nasabah sesuai kriteria yang telah ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah
dengan harga jual sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu serta
mekanisme pembayaran/pengembalian disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.
11
Secara bertahap bank akan menyediakan jasa untuk memperlancar pembayaran berupa proses
transfer dan inkaso, pembayaran rekening air, listrik, telepon, angsuran KPR, dll.
Bank juga mempersiapkan bentuk pelayanan berupa dana talang berdasarkan pembiayaan bai
salam.
Dalam rangka meningkatkan dan mengembankan kegiatam dan pelaksanaan yang ada dalam
badan usaha BPR syariah maka suatu badan dari BPR syariah menyelengarakan dan
membentuk suatu kegiatan yang dapat meningkatkan BPR syariah yakni dengan memberikan
pelatihan, pendidikan dan tehnical asissistance untuk BPR syariah yang akan tumbuh.
Hingga saat ini minimal sudah terbentuk 2 yayasan yang turut serta dalam pengembangan
kegiatan BPR syariah anatara lain :
Dalam hal ini secara bebrkesinambungan IESD akan terus melakanakan program pendirian/
pemberian bantuan teknis kepada BPR syariah di Indonesia khsusunya daerah potensial umat
islam. Dan ada beberapa program yang yang telah dilaksanakan yakni berupa teknis bagi
pendirian BPR syariah diberbagai tempat di Indonesia.
1. Badan yang yang membantu dalam kegiatan yayasan pendidikan dan pengembangan
bank syariah (YPBS)
Merupakan suatu bentuk kerja sama antara bank muamalat Indonesia dengan ICMI. Yayasan
ini dibentuk dalam rangka membantu perkembangan dan mengembangkan BPR syariah di
seluruh tanah air. Kegiatan – kegiatan YPBS antara lain :
12
pendidikan baik basic untuk para sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi,
maupun intermediate bagi para praktisi yang telah memiliki minimal 2 tahun
pengalaman di sector perbankan.
Membantu proses pendirian.
Memberikan technical assistance.
Selain dari beberapa usaha yang telah dilakukan diatas ada hal lain yang di usahakan untuk
meningkatkan kegiatan operasional dalam BPR syariah yang berkaitan dengan pendidikan
yakni berupa pengembangan inkubasi bisnis (INBIS)
b. Mewujudkan sinergi potensi perguruan tinggi dengan potensi dunia usaha sehingga
dapat menumbuhkembangkan IPTEK sesuai kebutuhan.
c. Mendorong pemanfaatan potensi bisnis akademik dan nonakademik yang bernilai
komersial.
13
1. BPRS Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan Bulanan
serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia.
berisi :
- Fasilitas kredit kepada peminjam dan kelompok peminjam yang melampaui BMPK
- Seluruh fasilitas kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan BPR.
b. Laporan Berkala
Laporan Bulanan
Adalah laporan keuangan dan hasil usaha yang terdiri dari neraca, laba rugi, rekening-
rekening administratif dan daftar rincian pos-pos neraca dimaksud.
Laporan Bulanan BPR wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas)
setelah berakhirnya bulan laporan, sementara Laporan Bulanan Gabungan bagi BPR yang
memiliki Kantor Cabang selambat-lambatnya tanggal 16 (enam belas) setelah berakhirnya
bulan laporan yang bersangkutan.
14
Laporan Bulanan BPRS yang selanjutnya disebut Laporan Bulanan adalah laporan keuangan
yang disusun oleh BPRS untuk kepentingan Bank Indonesia, yang disajikan menurut
sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam
serta dilaporkan dengan menggunakan sandi-sandi dan angka.
Laporan Bulanan yang mencakup seluruh aspek keuangan dalam BPRS antara lain :
a. Neraca
b. Daftar Rincian Laba Rugi
d. Daftar Rincian dari pos-pos dalam neraca dan pos-pos tertentu dari rekening administratif
serta rincian informasi penting lainnya.
c. Proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi yang dirinci dalam 2 (dua) semester
e. Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan kinerja bank dan upaya untuk
menyelesaikan perrmasalahan yang ada
BPR wajib menyampaikan Rencana Kerja Tahunan kepada Bank Indonesia, selambat-
lambatnya pada akhir bulan Januari tahun yang bersangkutan dan BPRS pelapor adalah
kantor pusat BPRS.
Dalam laporan berkala ini masih ada hal lain yang harus di parhatikan antara lain :
BPRS pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konvensi yang di tuangkan dalam suatu
pedoman tertulis dan wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk, menyusun dan
menyampaikan laporan bulanan.
15
Dalam hal BPRS masih dalam proses akuisisi dan sudah tidak beroperasilagi, BPRS Pelapor
tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan ke BankIndonesia.
Hal ini dirasakan seperti dalam penerapan produk piutang murabahah, dimana perjanjian
antara bank dengan nasabah terkait dengan perjanjian jual beli atas sesuatu barang untuk
nasabah. Pihak bank telah mempelajari dengan seksama pengajuan permintaan kebutuhan
barang untuk mendukung kegiatan nasabah, menyetujui permintaan nasabah untuk membeli
barang dan menjual kepada nasabah dengan harga sesuai dengan harga pokok penjualan
ditambah margim keuntungan yang diminta pihak bank.
Dalam pelaksanaannya, BPRS mengalami kesulitan dalam memenuhi ketentuan fatwa DSN
ketika dalam transaksi piutang murabahah pihak bank masih memberikan uang bukan barang,
lalu mempercayakan kepada nasabah untuk membeli barang yang dikehendaki sesuai jenis
dan spesifikasi yang telah disepakati.
16
Hal ini masih terkesan bahwa BPRS memberikan pinjaman uang dan bukan membelikan
barang. Kesulitan teknis pada transaksi pembelian barang sesuai kebutuhan nasabah yang
melibatkan pihak ketiga/supplier diharapkan dapat diminimalisir dengan terjalinnya
kerjasama dengan pihak ketiga/supplier sebagai mitra usaha BPRS dalam menyediakan
barang-barang kebutuhan nasabah. Namun, kendala dan permasalahan tersebut diharapkan
dapat teratasi manakala ada komitmen yang kuat dari stakeholders pengurus bank untuk
secara konsisten dan istiqamah menjalankan kegiatan usaha dan perjanjian sesuai syariah
Islam dan sesuai fatwa DSN.
Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS secara kaffah sesuai syariah Islam mutlak dilakukan,
karena justru dengan demikian kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah akan
semakin meningkat, bukan sebaliknya. Menganggap pelaksanaan kegiatan usaha bank
syariah sama dengan kegiatan usaha bank konvensional.
Sangat tepat jika cetak biru perkembangan perbankan syariah yang disiapkan oleh biro
Perbankan Syariah Bank Indonesia telah menggariskan kebijakan stategis dan objektif sampai
tahun 2004, yakni mendorong perbankan syariah untuk mematuhi dan melaksanakan kegiatan
operasional sesuai syariah secara konsisten.
Dalam presefktif syariah, jika kegiatan usaha perbankan syariah dilaksanakan semata-mata
sesuai ketentuan syariah, maka diharapkan usaha tersebut akan memperoleh ridho dari Allah
SWT dan memberikan kemaslahatan bagi seluluh umat.
Selain itu dalam pertumbuhannya juga, operasionalisasi perbankan syariah masih bertumpu
pada aturan-aturan yang diterapkan dalam bank konvensional karena industri perbankan
konvensional telah berkembang selama 3 abad dan perbankan syariah baru tumbuh dalam
tiga dekade terakhir. Walaupun disadari bahwa perbankan syariah berbeda secara sistem dari
bank konvensional, baik menyangkut sistem operasional dan beberapa produk perbankan
yang sangat spesifik terkait dengan syariah Islam. Dalam perbankan konvensional
peminjaman uang dalam bentuk kredit dengan mengambil bunga tertentu diperbolehkan,
namun untuk bank syariah peminjaman uang tidak boleh ada nilai lebih.
17
Artinya jika nasabah diberi pinjaman seribu rupiah maka harus kembali seribu rupiah, tidak
boleh ada lebih, karena kelebihan pembayaran tersebut dikategorikan riba. Hal-hal semacam
ini menunjukkan perlakukan yang berbeda sekaligus membutuhkan pemahaman atas
pengawasan yang berbeda.
Regulasi sistem pengawasan atas bank syariah masih banyak mendasarkan pada pola bank
konvensional. Kondisi ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena perkembangan bank
syariah tidak mulus. Bank Syariah pertama dimulai di Mesir pada tahun 1963 dalam bentuk
bank tabungan pedesaan dan ditutup tahun 1973 karena alasan politis. Di Pakistan didirikan
bank koperasi dengan dasar syariah namun pada bulan Juni 1965 bank tersebut ditutup
disebabkan karena salah dalam pengelolaan dan kurangnya supervisi resmi. Baru pada tahun
1975, Dubai Islamic Bank menjadi pelopor dalam peletakan awal sendi-sendi perbankan
syariah di dunia. Setelah pendirian tersebut, tercatat sampai akhir tahun 1996 telah didirikan
lebih dari 166 lembaga keuangan syariah atas prakarsa swasta maupun pemerintah
(Chapra,2001:228-229). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga tidak terlepas
dari perkembangan perbankan syariah internasional. Sejak adanya perbaikan dalam undang-
undang perbankan pasca Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menunjukkan peningkatan yang
sangat pesat. Hal tersebut ditunjukkan dengan asset bank syariah pada tahun 1993 sebesar
Rp460 miliar, tahun 1998 sebesar Rp600 miliar dan pada September 2004 telah menjadi
Rp12 triliun (Idat:2005).
Sejarah pengaturan dan pengawasan perbankan di Indonesia tidak terlepas dari adanya
keinginan untuk mengembangkan perbankan nasional sekaligus untuk menanggulangi
kejahatan perbankan yang menyertainya.
18
Pengawasan bank melalui audit terhadap bank pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Kantor Akuntan Publik termasuk oleh Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun, mengapa
dengan berbagai upaya tersebut, pembobolan yang mencolok mata tetap terjadi.
Pembobolan Bank BNI melalui transaksi L/C fiktif, yang nilainya mencapai di atas Rp1
triliun, terjadinya permainan atau pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate
Document) di Bank Mandiri, merefleksikan pengawasan bank yang belum berjalan
sebagaimana mestinya (Bisnis Indonesia, 27/10/2003).
Fakta-fakta di atas menimbulkan pertanyaan apakah Bank Indonesia sebagai pengatur bank di
Indonesia mampu melakukan pengaturan yang efektif terhadap perbankan syariah. Kasus-
kasus kejahatan perbankan seperti di atas, bukan tidak mungkin dapat menimpa perbankan
syariah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penelitian dan kajian manajemen risiko bukan
hanya untuk BI tetapi juga untuk manajemen bank itu sendiri. Perlu usaha bersama dari
berbagai pihak agar di dapatkan model manajemen risiko yang lebih sesuai dengan bank
syariah.
Sosialisasi produk perbankan syariah masih dirasakan sangat kurang. Merujuk hasil
penelitian kinerja industry BPRS di Indonesia yang diselenggarakan oleh biro perbankan
syariah Bank Indonesia tahun 2002, diperoleh gambaran bahwa pemahaman masyarakat
terhadap kegiatan operasional bank syariah khususnya dan konsep keuamgam syariah pada
umunya masih perlu ditingkatkan.
19
Media promosi produk dan kegiatan operasional perbankan syariah pada umumnya baru
sebatas penyediaan brosur, melalui pelayanan dan pemasaran langsung petugas bank dengan
pelayanan jemput bola, dan memanfaatkan peran alim ulama serta tokoh masyarakat dalam
memasarkan produk perbankan syariah. Penggunaan medis cetak dan elektronik tampaknya
belum menjadi alternative promosi bagi BPRS. Dana promosi yang terbatas yang
dialokasikan dalam anggaran belanja BPRS terkait dengan masih kecilnya skala operasional
BPRS itu sendiri.
Perlu kiranya dipikirkan kegiatan promosi bersana yang diselenggarakan atas partisipasi
segenap unsure perbankan syariah, industry keuangan syariah, lembaga penunjang lainnya
dan semua pihak agar perbankan syariah dan kegiatan investasi sesuai syariah lainnya dikenal
luas oleh masyarakat.
Pada tahun 1988, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pembiayaan likuiditas bagi BPRS
dalam bentuk pembiayaan Modal Kerja (PMK-BPRS) dan pembiayaan bagi Pengusa Kecil
dan Mikro (PPMK) dengan plafon sebesar maksimal satu kali jumlah modal disetor BPRS
untuk kategori BPRS yang berturut-turut sehat selama dua tahun terakhir. Tetapi dengan
diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999, maka Bank Indonesia tidak diperkenankan
menyalurkan pembiayaan likuiditas kepada perbankan, dan mengalihkannya kepada lembaga
lain yang dirujuk oleh pemerintah dan Bank Indonesia.
Fasiliatas pembiayaan modal kerja bagi perkembangan BRPS dan fasilitas pembiayaan
likuiditas Bank Indonesia tersebut betul-betul dirasakan manfaatnya bagi BPRS, terutama
untuk memenuhi permintaan pembiayaan mudal kerja dari nasabah pengusaha kecil dan
mikro, sesuai arah dan sasaran yang hendak dicapai untuk pengembangan usaha ekonoi
produktif yang dikembangkan pengusaha kecil dan mikro di pedesaan.
20
Sejak dialihkannya penyediaan fasilitas pembiayaan tesebut dari Bank Indonesia kepada
lembaga lain, akses BPRS untuk memperoleh sumber pendanaan selain dari penghimpunan
dana dari masyarakat lebih banyak diperoleh dari kerjasama pembiayaan dengan bank umum
syariah untuk membiayai kebutuhan modal kerja nasabah BPRS lemahnya sumber pendanaan
BPRS juga karena kesulitan BPRS itu sendiri untuk mengakses sumber pendanaan dari
lembaga dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membatasi penempatan investasinya
hanya di bank umum atau bank pemerintah lainnya.
Sementara itu kemampuan para pemegang saham dalam meningkatkan struktur permodalan
bank terutama dalam rangka mengimbangi peningkatan dan perkembagan usaha bank juga
masih belum diharapkan. Keadaan ini mungkin sejalan dengan keadaan perekonomian
nasional secara makro pada saat ini yang belum pulih sesuai yang diharapkan. Kesulitan
sumber pendanaan bagi BPRS ini dapat dibantu dengan melonggarkan kewajiban investasi
dari badan usaha milik pemerintah dan swasta dan memberikan peluang berinvestasi d BPRS,
dengan tetap memperhatikan prinsp-prisip dan kaidah investasi yang aman dan
menguntungkan.
Kebijakan penyaluran pembiayaan usaha kecilm s\dari penyisihan 5% dari laba Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi dalam rangka
pengembangan usahanya, kiranya dapat disalurkan melalui BPRS sebagai dana bergulir.
Dengan demikian efektivitas penyaluran pembiayaan tersebut diharapkan lebih meningkat.
Keterbatasan banker syariah yang handal dan menguasai operasional perbankan syariah serta
menjalankan secra konsukeun prinsip-prisip syariah merupakan masalah yang mendasar bagi
perbaikan BPRS dan pengembangan di masa mendatang.
21
Lembaga pendidikan non formal yang khusus memberikan pelatihan (training) tentang
produk dan ajsa perbankan syariah masih terbatas. Maka diharapkan akan tumbuh lembaga-
lembaga baru sebagai pendukung pengembangan BPRS, termasuk antaranya
lembaga/konsultan perbankan syariah.