Anda di halaman 1dari 15

BANK PEMBIAYAAN

RAKYAT SYARIAH
1. Yanda Eka Agustina (1114000026)
2. Feni Fairani (1114000018)
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (BPRS)
Apa itu BPR Syariah?

Sejarah Perkembangan BPR Syariah di Indonesia

Status hukum BPR diakui pertama kali


dalam Pakto tanggal 27 Oktober 1988, Dikeluarkannya UU No.7 tahun 1992 tentang Pokok Perbankan
sebagai Paket Kebijakan Keuangan, melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Moneter, dan Perbankan.
Bank syariah yang dimaksud adalah Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri Sebagai langkah awal, ditetapkan tiga lokasi berdirinya BPR
tahun 1992. syariah. Ketiga BPR syariah tersebut adalah:
1) PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung.
2) PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung.
3) PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung.

Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR syariah tersebut telah mendapatkan ijin prinsip dari Menteri keuangan RI.

Untuk mempercepat proses berdirinya BPR-BPR syariah yang lain dibentuklah lembaga-lembaga penunjang,
antara lain:
1) Institute for Syariah Economic Development (ISED)
2) Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS)
Perbedaan antara bank Syariah dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS)
Menurut UU 21 2008,

Bank Umum Syariah

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Perbedaan Bank Umum Syariah (BUS) dengan BPRS adalah yang mana BUS adalah bank yang melakukan atau
memberikan jasa lalu lintas pembayaran, sedangkan BPRS adalah bank yang tidak dapat menjalankan lalu lintas
pembayaran.
Perbedaan Bank Umum Syariah dengan BPR Syariah dalam Perijinan

Bank Syariah BPR Syariah

1. Memperoleh izin dari Bank Indonesia 1. Milik WNI 100% saham milik WNI

2. Modal utama minimal 1 triliun 2. Milik WNI dan pemerintah daerah

3. Milik WNI/Badan hukum Indonesia 3. Pemerintah daerah

4. WNI bekerjasama dengan WNA atau WNA 4. Modal minimal, 2 milyar Daerah Khusus Ibukota
menjalin kemitraan dengan maksimal saham 99%. Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi. 1 milyar diluar kota provinsi
yang dicantumkan diatas. 500 juta di wilayah diluar
yang disebutkan diatas.

5. Pemerintah daerah
Tujuan dan Fungsi Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

Ada tujuan yang dikehendaki dengan BPR Syariah adalah :


1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada
umumnya berada di pedesaan.
2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
3. Membina semangat Ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan
perkapita menuju kualitas hidup yang memadai.

Strategi oprasional sebagai berikut :


a. BPR Syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan
melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang bersekala kecil yang perlu dibantu tambahan modal,
sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
b. BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uanganya jangka pendek dengan mengutamakan usaha
skala menengah dan kecil.
c. BPR Syariah mengkaji pangasa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi
pembiayaan
FUNGSI

1. Memberikan pelayanan jasa


Bank perkreditan rakyat 2. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah
mempunyai banyak fungsi berdasarkan prinsip bagi hasil.
bagi perkembangan 3. Mengurangi praktik ijon dan pelepas uang atau
perekonomian nasional lintah darat.
dan utamanya bagi rakyat 4. Menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi
pengusaha kecil. Adapun pedesaan.
fungsi bank perkreditan
rakyat yaitu :
Sistem Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Kegiatan usaha yang boleh dilakukan BPR meliputi:


1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan deposito berjangka, tabungan dan bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan pendanaan atau pembiayaan yang berlandaskan prinsip syariah serta sesuai dengan
ketentuan yang Bank Indonesia telah tetapkan.
4. Menempatkan dana dalam bentuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI).

Kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-Undang
Perbankan No.7 tahun 1992, meliputi:
1. Menerima simpanan yang berupa giro dan ikut serta dalam penyediaan lalu lintas pembayaran.
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing terkecuali sebagai pedagang valuta asing (dengan izin
Bank Indonesia).
3. Melakukan penyertaan modal.
4. Melaksanakan kegiatan usaha dalam bidang asuransi.
Produk dan Jasa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Produk-produk yang ditawarkan oleh BPR Syariah secara garis besar adalah sebagai berikut
(Rodoni dan Hamid : 45)
A. Mobilisasi Dana Masyarakat
1) Simpanan Amanah
2) Tabungan Wadiah
3) Deposito Wadiah atau Deposito Mudharabah
B. Penyaluran dana BPR syariah (Rodoni dan Hamid : 46) sebagai berikut:
1) Pembiayan Mudharabah
2) Pembiayan Musyarakah
3) Pembiayan Bai’bitsaman Ajil
4) Pembiayaan Murabahah
5) Pembiayaan Qardhul Hasan
C. Jasa Perbankan Lainnya
Ketentuan dalam pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
1. Syarat Pendirian
Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR syariah yang telah ditentukan dalam UU
Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 2, bentuk hukum suatu BPR syarat dapat
berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah

Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR syariah adalah sebagai berikut:


a. BPR syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan ijin
Dirreksi Bank Indonesia.
b. BPR syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
1) Warga Negara Indonesia
2) Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya oleh warga Negara Indonesia
3) Pemerintah Daerah, dan
4) Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.

Pendirian ijin pendirian BPR syariah, sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan dengan dua tahap:
a. Persetujuan prinsip
b. Ijin usaha
SK DIR BI No. 32/36/1999 tidak memberikan kemungkinan bagi pihak asing untuk
mendirikan BPR syariah. Menurut ketentuan pasal 15 SK DIR tersebut, yang dapat
menjadi pemilik BPR syariah adalah pihak-pihak yang:

a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik,
antara lain:
1) Memiliki akhlak dan moral yang baik.
2) Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Bersedia mengembangkan pembiayaan rakyat syariah yang sehat.
2. Modal
Modal yang harus disetor untuk mendirikan BPR syariah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a. Rp2.000.000.000,- (dua milliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta Raya dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Karawang.
b. Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Ibu Kota Propinsi di luar
wilayah seperti tersebut pada butir a di atas.
c. Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di luar wilayah yang disebut pada
butir a dan b di atas.

Modal yang disetor tersebut, digunakan untuk modal kerja bagi BPR syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah
50% (lima puluh persen). Dengan kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR syariah itu tidak boleh
melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan
dilarang:
a. Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan atau pihak lain di
Indonesia.
b. Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk kegiatan-kegiatan yang melanggar
hukum.
Kendala dan strategi dalam pengembangan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS)
Dalam prakteknya BPR syariah mengalami berbagai kendala, kendala tersebut diantaranya
adalah:
1. Kiprah BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah,
bahkan beberpa pihak menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional.
2. Upaya untuk meningkatkan profesionalitas kadang terhalang rendahnya sumber daya yang
dimiliki oleh BPR syariah sehingga sehingga proses BPR syariah dalam melakukan
aktivitasnya cenderung lambat dan respon terhadap permasalahan ekonomi rendah.
3. Kurang adanya koordinasi di antara BPR syariah, demikian juga dengan bank syariah dan
BMT, sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syiar Islam tentunya langkah
koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang terpadu dapat dilakukan guna
mengangkat ekonomi masyarakat.
4. Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertanggung jjawab
terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR syariah tersebut.
5. Nama Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, masih menyisakan kesan sistem BPR syariah
menggunakan sistem BPR konvensional. Kata “perkreditan” tidak ada dalam terminology
bank dan lembaga kaeuangan syariah.
Adapun strategi pengembangan BPR syariah yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut:
1. Langkah-langkah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah, bukan saja
produknya tetapi sistem yang digunakannya perlu diperhatikan.
2. Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-
pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan yang
mempengaruhinya.
3. Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui berapa besar
kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain dalam mengelola
sumber-sumber ekonomi yang ada.
4. BPR syariah bertanggung jawab terhadap masalah keislaman masyarakat dimana
BPR syariah tersebut berada.

Anda mungkin juga menyukai