Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“ANALISIS KASUS PENCEMARAN


LINGKUNGAN HIDUP”

Dosen Pembimbing: Dr. Ratna Riyanti, S.H, M.H

Disusun Oleh:
MUHAMMAD YUSUF
2074201035

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAHLAWAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada Saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
Analisis Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang Analisis Kasus Pencemaran
Lingkungan Hidup ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bangkinang, 16 Juni 2022

MUHAMMAD YUSUF
   

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

ANALISA KASUS...................................................................................................................2

OPERASIONALISASI THEORY/ PENERAPAN PASAL UU 32 TAHUN 2009.............2

KESIMPULAN.........................................................................................................................6

ii
PENDAHULUAN

Menurut Fredrik J. Pinakunary berjudul Penerapan Tanggung Jawab Pidana Mutlak


Pada Perkara Pencemaran Lingkungan,konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak ini
berbeda dengan sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya
kesengajaan atau kealpaan. Dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan
pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut,
apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain,
maka kedaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan
adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang telah
mengakibatkan pencemaran (Frances Russell & Christine Locke, “English Law and
Language, Cassed, 1992).

Konsep strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara lain
melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang selanjutnya
diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (“UUPPLH”). Dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan secara tegas mengenai konsep
strict liability:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan


Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Penjelasan umum atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa penegakan hukum pidana lingkungan
tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap
tidak berhasil. Namun, asas ultimum remedium tersebut hanya berlaku bagi tindak pidana
formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan
gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU PPLH. Dengan demikian, untuk tindak
pidana lainnya (selain dalam Pasal 100) tidak berlaku asas ultimum remedium. Artinya,
penegakan hukum terhadap tindak pidana selain dalam Pasal 100 berlaku asas premium
remedium (mendahulukan penegakan hukum melalui sarana hukum pidana).

1
ANALISA KASUS

Locus : Perkara terjadi di daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung


Tempus : Pada tanggal 22 Maret 2010 sampai 27 Desember 2010
(kurang lebih 9 bulan)
Kasus : Pencemaran Limbah B3 Terhadap Media Lingkungan Hidup

OPERASIONALISASI THEORY/ PENERAPAN PASAL UU 32 TAHUN 2009

PT. A, B dan C diduga telah melakukan pelanggaran pada BAB 7 tentang pengelolaan
limbah B3 sebagaimana yang tercantum pada Pasal 59 ayat (1) “bahwa setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolan limbah B3 yang dihasilkannya”

Pasal 59 ayat (4) “pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri,
gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya”, pasal 59 ayat (7) “ketentuan lebih
lanjut mengenai limbah B3 diatur dalam peraturan pemerintah”, oleh karena PT. A, B dan C
tidak memiliki izin baik pengelolaan limbah B3 maupun dumping (pembuangan) maka
penerapan sanksi terhadap ketiga PT dimaksud adalah sanksi Pidana

Dari aspek hukum administrasi Mengenai perizinan yang dimiliki oleh PT D sesuai
dengan izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, namun diduga telah
melakukan penyalahgunaan izin lingkungan baik berupa kelalaian maupun kesalahan
sehingga limbah yang telah diolah masih mengandung limbah B3 dan saat dumping
(pembuangan) masih mengandung limbah B3 mengakibatkan terjadinya pencemaran
lingkungan pada media lingkungan hidup yaitu Sungai Ciliwung dapat dijatuhkan sanksi
administrative Pada Pasal 76 :

1. Menteri, gubernur atau bupati/walikota menerapkan sanksi administrative kepada


penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.

2
2. Sanksi administrative terdiri atas :
a. Teguran tertulis
b. Paksaan pemerintah
c. Pembekuan izin lingkungan
d. Pencabutan izin lingkungan

Pelaksanaan sanksi administrasi di atas pada PT.D sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 78 Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana penerapan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 tidak serta merta membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari
tanggung jawab pemulihan dan pidana sebagai konsekuensi pencemaran yang telah
dilakukannya.

Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan dan pencabutan izin lingkungan


berdasarkan pasal 79 dapat dilakukan manakala pelaku usaha tidak melaksanakan perintah
paksaan pemerintah, dimana paksaan pemerintah itu dimaksudkan untuk mencegah dan/atau
mengakhiri terjadinya pelanggaran dalam upaya penyelamatan, penanggulangan serta
pemulihan lingkungan hidup sebagai akibat dari pencemaran dan dampak dari kegiatan usaha
dan/atau kegiatan.

Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud diatas sesuai dengan pasal 80 Undang


Undang RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang antara lain adalah sebagai berikut :

Ayat (1)
 Penghentian sementara kegiatan produksi;
 Pemindahan sarana produksi;
 Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
 Pembongkaran;
 Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
 Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
 Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.

3
Ayat (2)

Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila


pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
 Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
 Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya; dan/atau
 Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

Ancaman sebagaimana dimaksud pasal 80, ayat (2), UU 32/2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah dimana suatu keadaan berupa
ancaman yang terjadi atau akan yang terjadi dipandang sangat serius yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat berpotensi sangat membahayakan kehidupan, keselamatan dan
kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda.

Dari aspek hukum pidana, Maka PT. A,B dan C dalam hal melakukan kegiatan
usaha yang menghasilkan limbah B3 dengan tidak memiliki izin pengelolaan limbah B3
diduga telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 103
“setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun” dab denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah).

Juga aspek pidana dari PT A B dan C yang tidak memiliki izin PT A B dan C diduga
juga melakukan pelanggaran pada Pasal 109 yang berisikan :

“Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat 1 dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling
banyak tiga miliar rupiahin”

Selanjutnya PT. A,B, dan C juga diduga telah melakukan kegiatan dumping
(pembuangan) limbah B3 pada media lingkungan hidup yaitu sungai ciliwung, sebagaimana

4
hal mengenai dumping (pembuangan) limbah B3 yakni Pasal 60 yang berisikan “setiap
orang dilarang melakukan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin” Juncto Pasal 104 yang berisikan “setiap orang yang melakukan dumping limbah
dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.
3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah).

Dalam kegiatan usaha PT. A,B, C dan D selaku perusahaan atau korporasi (badan
hukum) , PT A B C dan D patut diduga telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana uraian diatas, dapat dijatuhkan sanksi pidana sebagaimana yang termaktub
dalam Pasal 116 ayat (1) yang berbunyi “apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh untuk atau atas nama badan usaha tuntutan pidana dan sanksi dijatuhkan kepada:
1. Badan usaha; dan atau
2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.

Contoh kasus pencemaran lingkungan hidup adalah putusan MA: 574 K/Pid.Sus
LH/2017 dalam perkara PT Indobarat yang melakukan pencemaran lingkungan pada sungai
kali mati. Divonis melakukan tindak pidana pencemaraan lingkungan sebagaimana diatur
dalam pasal 103 juncto pasal 116 Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto Pasal 64 KUH Pidana dengan denda sebesar Rp
2Miliar dan biaya perkara Rp.2500

5
KESIMPULAN

PT A, B dan C bertanggung jawab mutlak atas dugaan tindak pidana pencemaran


lingkungan hidup yang terjadi di Sungai Ciliwung. Sedangkan PT D bertanggung jawab atas
sanksi administrasi , namun apabila pelanggaran kembali terjadi dalam Paksaan Pemerintah
dapat diupayakan dengan sanksi pidana dengan penggunakan Asas Ultimum Remendium
untuk mengutamakan perbaikan lingkungan yang rusak akibat kegiatan orang/badan usaha
tersebut dengan menempuh jalur pidana terhadap lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai