Anda di halaman 1dari 15

1

UNIVERSITAS INDONESIA

Efektivitas Pelaksanaan Sanksi Paksaan Pemerintah Menurut UUPPLH Terhadap


Tingkat Ketaatan Perusahaan
Diajukan sebagai salah satu tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Lingkungan

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 PARALEL


Rafi Rahmat Ghozali (1906386742)
Samudra Putra Wibowo (1906386465)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM SARJANA
DEPOK
2022

Universitas Indonesia
2

Abstrak
Lingkungan hidup merupakan aspek yang penting dalam kelangsungan hidup manusia
serta makhluk lain. Bahwa lingkungan hidup baik dan sehat merupakan hak asasi dan
konstitusional setiap warga Indonesia. Oleh atas hak mendasar itu kesehatan dan mutu
lingkungan hidup sekitar kita tidak bisa diabaikan dan wajib untuk dilindungi.
Perlindungan lingkungan hidup tidak akan dimungkinkan jika tidak ada sanksi atau
hukuman yang menjatuhkan beban bagi siapapun yang mencemari lingkungan hidup
sebagai alat untuk mencegah dan memperbaiki mutu lingkungan hidup.

Abstract
The environment is an essential part in the growth, prosperity and survival of the
human race and all other species we depend on. It is for such a reason why the health
and quality of the environment is a necessity we cannot afford to ignore. However the
safety and health of the planet could feasibly be achieved without laws and sanctions
enacted by governments to deter anyone who in their interest would cause harm to the
environment knowingly or unknowingly and to provide not only deterrence but also
reparation.

I. Pendahuluan
Keberadaan lingkungan hidup merupakan bagian dari aspek kehidupan manusia
yang menjaga kelangsungan hidup kita. Namun dalam prakteknya kesehatan dan
kualitas dari lingkungan hidup di sekitar kita seringkali diabaikan sehingga terjadilah
pencemaran yang tidak hanya berbahaya bagi kualitas hidup akan tetapi kelangsungan
hidup manusia serta makhluk lainnya. Berbagai kegiatan masyarakat yang
memanfaatkan sumber daya alam sementara disisi lain kegiatan tersebut justru
cenderung merusak lingkungan, bahkan merugikan pihak lain secara langsung. Korelasi
terhadap kualitas lingkungan hidup dan aktivitas serta kelalaian manusia merupakan
masalah yang tidak lagi bisa diabaikan. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin
kesehatan lingkungan hidup sebagai salah satu hak mendasar dari seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945. Korporasi dalam masa ini

Universitas Indonesia
3

dan masa yang akan datang bertanggung jawab untuk sebagian besar dari pencemaran
lingkungan yang terjadi serta dampak dari pencemaran tersebut terhadap kualitas hidup
serta bencana alam yang timbul Dalam menjalankan kewajibannya pemerintah untuk
menjaga kualitas lingkungan hidup, pemerintah menerapkan salah satu instrumen
penegakan hukum bagi korporasi atau siapapun yang mengancam mutu lingkungan
hidup yakni Sanksi Administratif berupa paksaan.1

Sanksi Administratif merupakan inti dari penegakan hukum administratif yang


digunakan oleh penguasa sebagai reaksi pada ketidakpatuhan pada norma hukum yang
berlaku serta kewajiban yang termuat pada undang-undang. Sanksi administratif
memuat unsur alat kekuasaan, bersifat hukum publik dan digunakan oleh penguasa.
Prajudi Atmosudirjo menjelaskan pengertian administrasi negara sebagai administrasi
yang secara khas tercapainya tujuan yang bersifat kenegaraan (publik), artinya tujuan-
tujuan yang ditetapkan Undang-undang secara “dwingend recht” (hukum yang
memaksa). Selanjutnya dijelaskan oleh Prajudi Atmosudirjo secara umum
“administration” dirumuskan sebagai “the overall management or control of
organization”. Salah satu bentuk dari Sanksi Administratif yang digunakan oleh
pemerintah guna untuk menjaga kualitas serta mencegah terjadinya pencemaran
terhadap lingkungan hidup adalah Sanksi Paksaan.2

Sanksi Paksaan merupakan sanksi dari pemerintah yang menjadi salah satu dari
4 (empat) sanksi administrasi yang disebutkan dalam Pasal 76 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”).
Sanksi Administrasi berupa Sanksi Paksaan ini akan diberikan kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan apabila dalam pengawasan ternyata ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan. Paksaan pemerintah adalah sanksi administratif
berupa tindakan nyata untuk menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan dalam
keadaan semula. Sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah dapat dijatuhkan
1
Mukhlish. “Konsep Hukum Administrasi Lingkungan Dalam Mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan.” Wacana Hukum dan Konstitusi Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 2 (April 2010). Hlm. 67-
98.
2
Wibisana, Andri Gunawan. “Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin Terintegrasi dan Berantai:
Sebuah Perbandingan Atas Perizinan Lingkungan di Berbagai Negara.” Jurnal Hukum dan Pembangunan
48 No. 2 (2018). Hlm. 222-255.

Universitas Indonesia
4

kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dengan terlebih dahulu memberikan
teguran tertulis.3
Adapun beberapa pengecualian terhadap Sanksi Paksaan yakni tidak
diperlukannya teguran tertulis sebagai pendahuluan yang disebutkan dalam Pasal 80
ayat (2) UUPPLH, yaitu terhadap pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
(a) ancaman serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
(b) dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya; dan/atau
(c) kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

Membahas mengenai bentuk-bentuk dari hukuman dari paksaan pemerintah dapat


berupa beberapa bentuk yang dalam hal ini diatur melalui Pasal 80 ayat (1) UUPPLH:
(a) penghentian sementara kegiatan produksi;
(b) pemindahan sarana produksi;
(c) penutupan saluran pembuangan air limbah dan emisi;
(d) pembongkaran;
(e) penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
(f) penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
(g) tindakan lain yang bertujuan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup

Adapun bentuk pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administrasi yaitu


paksaan pemerintah di luar ketentuan Pasal 80 ayat (1) UUPPLH apabila terdapat
ketidaksesuaian antara persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin
lingkungan dan peraturan perundang-undangan lingkungan dan terkait lingkungan,
dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Dicontohkan apabila pelaku usaha tidak
membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), tidak memiliki Tempat
Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3, tidak memiliki alat pengukur laju alir air
limbah (flow meter), tidak memasang tangga pengaman pada cerobong emisi, tidak

3
Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup. Permen LH tentang Pedoman Penerapan Sanksi,
Permen No. 2 Tahun 2013, Lampiran I hlm. 12.

Universitas Indonesia
5

membuat lubang sampling pada cerobong emisi, membuang atau melepaskan limbah ke
media lingkungan melebihi baku mutu air limbah, tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana yang tertuang dalam izin, tidak mengoptimalkan kinerja IPAL, tidak
memisahkan saluran air limbah dengan limpasan air hujan, tidak membuat saluran air
limbah yang kedap air, tidak mengoptimalkan kinerja fasilitas pengendalian pencemaran
udara, tidak memasang alat scrubber, tidak memiliki fasilitas sampling udara, membuah
limbah B3 di luar TPS limbah B3, tidak memiliki saluran dan bak untuk menampung
tumpahan limbah B3.

II. Rumusan Masalah


Atas uraian terhadap pengertian sanksi administratif dan sanksi paksaan, terdapat 2
(dua) pertanyaan yang diajukan untuk melihat permasalah efektivitas sanksi paksaan di
Indonesia;
1. Bagaimana pelaksanaan sanksi paksaan lingkungan hidup negara Indonesia
terhadap tingkat ketaatan perusahaan?
2. Bagaimana analisis efektivitas pelaksanaan sanksi paksaan lingkungan hidup
terhadap badan usaha di Indonesia?

III. Pelaksanaan Sanksi Administratif dan Ketaatan serta Keperluannya


Transparansi
Dalam halnya paksaan yang dapat dijatuhkan oleh pemerintah terhadap
pelanggaran pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha diatur dalam
Pasal 511 Ayat (3) Peraturan pemerintah No. 22 Tahun 2021 meliputi;
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau Emisi;
d. pembongkaran:
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f. penghentian sementara sebagian atau seluruh Usaha dan/atau Kegiatan;
g. kewajiban menyusun DELH atau DPLH; dan/atau

Universitas Indonesia
6

h. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan


memulihkan fungsi Lingkungan Hidup.

Apabila penanggung jawab usaha tidak melaksanakan sanksi paksaan tersebut


sebagaimana diatur diatas dalam jangka waktu tertentu maka penanggung jawab serta
badan usaha tersebut diberi denda (pasal 513 ayat (1) PP 22/2021). Dalam ketentuan
Pasal 114 UUPPLH bagi penanggung jawab usaha yang tidak melaksanakan paksaan
dapat dikenakan hukuman pidana berupa penjara minimal 1 Tahun serta denda sejumlah
1 milliar rupiah. Terkait ketaatan korporasi dalam pelaksanaan sanksi paksaan dalam
penerapannya pada landmark cases susah untuk dinilai. hal ini dikarenakan masih
banyak permasalahan terkait transparansi oleh korporasi-korporasi yang dijatuhkan
sanksi paksaan khususnya apabila sanksi yang dijatuhkan berupa pemulihan.
Permasalah yang timbul dengan Ketaatan badan usaha atas sanksi administratif berupa
masalah sosial ekonomi yang akan muncul. apabila sanksi yang dijatuhkan terlalu berat
maka yang terjadi adalah permasalahan sosial seperti putusnya hubungan kerja apabila
perusahan tidak dapat melaksanakan sanksi tersebut.

Penggunaan sanksi administratif untuk menegakkan hukum lingkungan hidup di


Indonesia diatur dalam UU PPLH Pasal 76 sampai dengan 83. 4 Ini merupakan peraturan
pelaksanaan, yang selanjutnya mengatur penerapan sanksi administratif di bidang
lingkungan hidup. UU PPLH mengatur dalam pasal 76 empat jenis sanksi administratif
yang dapat digunakan untuk menegakkan hukum lingkungan peringatan, penegakan
negara, pembekuan izin lingkungan, penghormatan terhadap pencabutan izin
lingkungan5, yaitu legalitas kewenangan. tentang hak dan wewenang Penerapan sanksi,
kepastian penerapan sanksi bebas dari cacat hukum, asas kelestarian dan keberlanjutan,
serta prosedur yang tepat.6

Tata cara pengenaan sanksi administratif secara lengkap dan lengkap diatur
dalam Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013, dan
4
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32
Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 76-83.
5
Ibid., Ps.76 ayat (2).
6
Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup. Permen LH tentang Pedoman Penerapan Sanksi,
Permen No. 2 Tahun 2013, Ps. 5 ayat (1).

Universitas Indonesia
7

diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2021 tentang
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Bukan Pajak
Yang Berasal Dari Denda Administratif Bidang Kehutanan. Lampiran menyatakan
bahwa pengenaan sanksi akan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan prinsip-prinsip umum bisnis yang bertanggung jawab. perilaku (“AUPB”) dan
kewenangan untuk menerapkan sanksi administratif menurut undang-undang. Ini
termasuk:7

a. Ketepatan bentuk hukum yaitu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara


(“KTUN”);
b. Ketepatan isi yaitu adanya kejelasan tentang peraturan yang dilanggar, sanksi
yang dijatuhkan, jangka waktu pelaksanaan perintah, akibat dan hal-hal lain
yang relevan;
c. Jaminan bahwa penerapan sanksi bebas dari cacat hukum; yaitu Prinsip
Keberlanjutan dan Kelestarian.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013, Pasal 5 Ayat
2, disposisi administratif adalah sebagai berikut: dapat diimplementasikan melalui tiga
mekanisme yaitu inkremental/bertahap, bebas, dan/atau kumulatif. Lampiran I Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 menyebutkan bahwa pengenaan
sanksi dapat dilakukan secara bertahap. Ini berarti bahwa sanksi mulai dari yang paling
ringan sampai yang paling berat. Kegagalan untuk mematuhi sanksi yang lebih ringan
akan mengakibatkan sanksi yang lebih berat dijatuhkan.8 Hal ini berbeda dengan sanksi
yang memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada petugas dalam menentukan
sanksi berdasarkan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Kemudian mengenai penerapan
sanksi administratif secara kumulatif, antara lain kumulatif internal dan eksternal.
Mengakumulasikan beberapa jenis sanksi merupakan metode kumulatif internal,

7
Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup. Permen LH tentang Pedoman Penerapan Sanksi,
Permen No. 2 Tahun 2013, Lampiran I hlm.6.
8
Andrew Korompis Ngala, “Sanksi Administratif Dalam Hukum Lingkungan Menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Lex Crimen
7 (Januari-Maret 2018), hlm. 39.

Universitas Indonesia
8

sedangkan menggabungkan sanksi administratif dengan sanksi lainnya, merupakan


metode kumulatif eksternal.9

Menurut Lampiran I Permen Lingkungan Hidup No.2 Tahun 2013, KTUN


haruslah memuat nama dan alamat pengurus yang berwenang, nama penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan, jenis dan kaidah yang dilanggar, serta kewajiban yang harus
dipenuhi. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 55 UU No.5 Tahun 1986
tentang PTUN beserta perubahannya yang mewajibkan menyampaikan KTUN
maksimal dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari.10

IV. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Sanksi Paksaan Lingkungan Hidup


Terhadap Badan Usaha Di Indonesia
Dalam melakukan analisis sanksi paksaan pemerintah terhadap ketaatan
perusahaan, dicontohkan terhadap kasus gugatan yang dilayangkan oleh PT Kaswari
Unggul kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
(“KLHK”) terhadap objek sengketa yang mensyaratkan melakukan sanksi paksaan oleh
pemerintah. Terhadap kasus ini menjadi objek sengketa adalah Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. SK. 4551/Menlhk-
PHLHK/PPSA/2015 tanggal 19 Oktober 2015 tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah kepada PT. Kaswari Unggul. Lebih lanjut terhadap objek sengketa
ini juga diperbaharui melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik
Indonesia No. SK. 3982/MenlhkPHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus
2016. Melalui objek sengketa ini terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dinyatakan
oleh KLHK yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal ini adalah PT Kaswari Unggul
yaitu
a. Kebakaran lahan pada areal kerja PT. Kaswari Unggul di Divisi II Blok D12,
D13, D14, E12, E15, dan F15;
b. Tidak melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran lahan;
9
Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup. Permen LH tentang Pedoman Penerapan Sanksi,
Permen No. 2 Tahun 2013, Lampiran I hlm. 7.
10
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986, LN
No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344, Ps. 55.

Universitas Indonesia
9

c. Tidak melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis;


d. Tidak memiliki izin Penyimpanan Sementara Limbah B3; dan
e. Tidak memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Terhadap beberapa pelanggaran tersebut, telah dilayangkan sanksi paksaan
administrasi oleh KLHK diantaranya melakukan pengembalian lahan eks area
kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul kepada Negara sesuai peraturan
perundang-undangan, dalam jangka waktu paling lama 60 hari kalender. Kemudian
perusahaan juga harus melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran
hutan dan lahan di Distrik Sungai Beyuku, serta TPS Limbah B3 sesuai persyaratan
teknis paling lama 30 hari kalender. Selain itu perusahaan juga harus memiliki izin
Penyimpanan Sementara Limbah B3, paling lama 60 hari kalender serta diakhiri dengan
melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media massa nasional, paling lama
14 hari kalender.

Terhadap saksi paksaan pemerintah yang dilakukan oleh KLHK melalui


UUPPLH, dinyatakan oleh PT Kaswari Unggul bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (“AAUPB”). 11 Hal
ini dikarenakan pada pengembalian lahan areal kerja PT Kaswari Unggul telah memilki
Hak Guna Usaha (“HGU”), sehingga tidak mudah untuk dilakukan pencabutan tanpa
prosedur serta kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal yang
sama juga berlaku terhadap permintaan maaf ke publik yang sepatutnya tidak dilakukan
dikarenakan KLHK tidak dapat membuktikan penyebab dari kebakaran lahan. Hal ini
diperkuat pada Berita Acara Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup tanggal 5
Oktober 2015 yang dibuat oleh KLHK dan Balai Konservasi SDA Jambi, dinyatakan
bahwa sumber titik api berasal dari areal hutan produksi yang berada di luar area
perkebunan Penggugat. Dalam hal ini dapat diketahui PT Kaswari Unggul sebagai
perusahaan merupakan korban dan tidak sebanding dengan tindakan yang dilakukan
oleh KLHK yaitu dengan memberikan sanksi administrasi ditambah tidak ada
peringatan sama sekali.
11
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun 2014, Ps. 10
ayat (2).

Universitas Indonesia
10

Selain beberapa permasalahan yang ada, masih terdapat kekeliruan lokasi


dengan menyebutkan lahan yang tidak dimiliki oleh perusahaan serta adanya
pembaharuan terhadap objek sengketa yang membuat terlanggarnya Asas Kesamaan
dalam melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu dari segi administratif KLHK juga menyatakan gugatan PT Kaswari Unggul
sudah kadaluarsa karena sudah lewat dari 90 hari merujuk pada Pasal 55 UU PTUN. 12
Secara kronologis sejak objek sengketa di umumkan pada 19 Oktober 2015, sementara
gugatan Penggugat pada tanggal 12 Mei 2017. Lebih lanjut hal ini dikarenakan PT
Kaswari Unggul diketahui tidak menerima objek sengketa sejak diterbitkan. Diketahui
Majelis Hakim akhirnya memutuskan mengabulkan eksepsi KLHK perihal daluwarsa
waktu sehingga tidak perlu dilakukan pertimbangan hukum secara nyata dan
menyatakan gugatan PT Kaswari Unggul Niet Ontvankelijke Nerklaard (NO) atau
gugatan tidak dapat diterima karena cacat formil dan PT Kaswari Unggul juga harus
membayar biaya perkara sebesar Rp 302.500,00. (tiga ratus dua juta lima ratus rupiah).

Dapat diketahui melalui kasus ini apabila gugatan tidak diputuskan NO maka
adapun beberapa hal yang dapat diketahui tidak sesuai dengan ketaatan perusahaan
namun juga dapat ditelaah lebih lanjut dari sisi perusahaan. Pertama mengenai objek
sengketa sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 1 angka 9 UU PTUN dengan penjabaran
sebagai berikut:
a. Objek sengketa dikeluarkan oleh Pejabat TUN yang berwenang, yaitu Menteri
Lingkungan Hidup;
b. Objek sengketa bersifat konkret karena adanya sanksi administratif; dan
c. Objek sengketa bersifat individual karena ditujukan kepada PT Kaswari Unggul
secara spesifik dan final.13
Lebih lanjut objek sengketa juga memuat sanksi administratif dan menurut Pasal
76 UUPPLH merupakan suatu sanksi yang ditujukan kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan. Bentuk-bentuk dari sanksi administratif diatur pada Pasal 76 Ayat (2) UU
12
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor. 5 Tahun
1986, Ps. 55.
13
Ibid., Ps. 1 angka 9.

Universitas Indonesia
11

PPLH diantaranya adalah teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin


lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Terhadap sanksi administratif disini
diikuti dengan sanksi paksaan pemerintah yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam
kasus ini diketahui dalih PT Kaswari Unggul objek sengketa memuat substansi yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta AAUPB
terkhusus pada sanksi paksaan pemerintah berupa mengembalikan lahan dan melakukan
permintaan maaf ditambah tidak adanya pemberitahuan berupa teguran tertulis.

Secara spesifik terhadap pengembalian lahan eks areal kebakaran, merujuk pada
Pasal 80 Ayat (1) UUPPLH, sanksi administratif yang berbentuk paksaan pemerintah
berupa penghentian sementara kegiatan produksi, pemindahan sarana produksi,
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi, pembongkaran penyitaan
terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran, penghentian
sementara seluruh kegiatan, atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan
pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. 14 Tidak dapat
dikatakan pengembalian lahan termasuk ke dalam salah satu sanksi paksaan pemerintah.
Hal ini dikarenakan tindakan berupa sanksi pengembalian lahan tidak memberikan
jaminan bahwa fungsi lingkungan hidup akan pulih, karena kejadian berupa kebakaran
tidak dapat berhenti begitu saja dan telah terjadi. Terhadap lahan areal kebakaran
tersebut juga diperoleh PT Kaswari Unggul berdasarkan Hak Guna Usaha yang
didasarkan pada Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Kepala Badan Pertanahan
Nasional) Nomor: 58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 Tanggal 11 Juni 2015. Sehingga
sebagaimana diatur dalam undang-undang secara khusus pada Pasal 18 dan Pasal 34
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 15
Lebih lanjut permintaan maaf bukanlah termasuk ke dalam hal-hal yang merupakan
paksaan pemerintah. Selain itu, paksaan pemerintah sendiri memiliki fungsi untuk
memulihkan fungsi lingkungan hidup. Akan tetapi, dalam hal ini permintaan maaf tidak
berfungsi memulihkan keadaan fungsi lingkungan hidup melainkan memulihkan

14
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32
Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 80 ayat (1).
15
Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960,
LN No. 140 Tahun 1960, Ps. 18.

Universitas Indonesia
12

keadaan masyarakat yang telah dirugikan karena rusaknya lingkungan hidup tersebut.
Maka dari itu, permintaan maaf bukan termasuk sanksi administratif paksaan
pemerintah. Penerapan lain dapat dilihat juga pada kasus oil spill yang terjadi di
Kalimantan Timur pada tahun 2018. Pertamina selaku badan usaha yang bertanggung
jawab atas kelalaian tumpahnya oli dari saluran di dasar laut yang terjadi akibat
tersangkut jangkar kapal. Dalam halnya Sanksi Paksaan yang dijatuhkan kepada
Pertamina tercantum dalam Surat Keputusan Nomor 2631 Tahun 2018 yang mencakup;

1. pemulihan lingkungan terdampak tumpahan minyak. Ada 12 lokasi tersebar di


pantai, kawasan mangrove dan lain-lain. Sanksi ini perlu dilaksanakan
pemulihan selama 180 hari.
2. perubahan izin lingkungan agar dampak operasional single point monitoring itu
terhadap alur pelayaran umum masuk dalam dampak penting hipotetik pada
kajian analisa mengenai dampak lingkungan (180 hari).
3. dampak lalu lintas kapal pada keamanan penyaluran pipa bawah laut (180 hari).
4. audit lingkungan terhadap seluruh operasional kegiatan dengan memasukkan
risiko terhadap seluruh pipa kilang dan proses produksi (180 hari).
5. membuat sistem penanganan dini tumpahan minyak, dengan membuat SOP (30
hari) dan membuat sistem pemantauan otomatis pengiriman minyak mentah dari
terminal Lawe-Lawe menuju Pertamina Balikpapan (90 hari).
6. inspeksi pipa secara berkala setahun sekali (30 hari). Ketujuh, tata kerja
penggunaan alat pengoperasian pompa (transfer crude oil) dalam keadaan
darurat (30 hari).
Ketaatan Pertamina dalam pelaksanaan sanksi susah untuk dikaji akibat tidak adanya
upaya dari KLKH untuk memaksakan Pertamina untuk bertransparan dalam upaya
pemulihan. Transaparansi tersebut merupakan hal yang esensial dalam halnya
accountability dari suatu badan usaha yang dengan sengaja maupun lalai dalam
mempergunakan sumber daya alam.

Dapat disimpulkan apabila mengaitkan pada sanksi paksaan pemerintah dengan


ketaatan perusahaan, ternyata pada praktiknya untuk menjatuhkan sanksi administrasi
berupa sanksi paksaan pemerintah masih bisa dan terdapat kekeliruan ataupun sengketa

Universitas Indonesia
13

oleh kedua belah pihak. Hal ini diperlukan adanya pemahaman dan konsep yang sama
antara regulator dengan pelaku usaha. Diluar apakah ternyata sengketa antar kedua
belah pihak pada akhirnya kadaluarsa atau NO, diperlukan adanya keselarasan
klasifikasi sanksi paksaan supaya dapat sesuai dengan ketaatan yang dilakukan oleh
perusahaan. Sehingga setelah dilakukan analisis terhadap salah satu kasus yang dapat
menjadi acuan hingga landmark case, masih terdapat kekeliruan baik dari segi
pemahaman hingga praktik yang dilakukan oleh kedua pihak yaitu regulator dan pelaku
usaha. Selain kekeliruan permasalahan lain yang timbul juga masalah transparansi
Dapat dilakukan spesifikasi dari adanya bentuk-bentuk sanksi paksaan pemerintah
menurut Pasal 80 ayat (1) UUPPLH dengan kemungkinan-kemungkinan pelanggaran
yang lebih spesifik dan kondisional lagi mengacu pada kasus PT Kaswari Unggul.

V. Penutup
Dari uraian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan beberapa hal bahwa
penerapan sanksi paksaan pemerintah lingkungan hidup dari adanya penerapan sanksi
administratif semata-mata hanya untuk menjalankan keberlangsungan lingkungan hidup
serta menjaga dari pencemaran yang dapat terjadi. Hal ini sebagai tidak lanjut dari izin
lingkungan di Indonesia menjadi syarat yang wajib dimiliki oleh setiap usaha atau
kegiatan guna mengendalikan perbuatan konkret suatu individu atau usaha agar tidak
terjadi kerusakan lingkungan.
Spesifik terhadap sanksi administratif sebagai bentuk dari tindakan nyata untuk
menghentikan pelanggaran dan/atau kesalahan untuk memperbaiki dan/atau
memulihkan dengan mengembalikan dalam keadaan semula. Salah satu sanksi
administratif adalah paksaan pemerintah, paksaan ini hanya diberikan apabila terjadi
pelanggaran, yang tidak hanya sebatas pada kesengajaan, akan tetapi kelalaian dari
warga masyarakat termasuk badan hukum perdata juga dapat dikenakan sanksi. Setelah
pemerintah memberikan izin, maka pemerintah harus mengawasinya, dan ketika dalam
pengawasan tersebut terjadi pelanggaran maka pemerintah dengan kewenangannya
dapat memberikan sanksi pada pelanggar, sehingga sanksi dan pengawasan erat
kaitannya dan merupakan konsep dari Hukum Administrasi negara.

Universitas Indonesia
14

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penerapan sanksi


paksaan pemerintah tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan
yang ada di regulasi. Hal ini dapat dibuktikan melalui analisis lebih lanjut terhadap
kasus yang dialami oleh berbagai badan usaha di Indonesia seperti PT Kaswari Unggul
dan PT Pertamina (Persero) terhadap oil spill. Masih adanya ketidaksamaan serta hal-
hal yang dinilai kurang relevan terhadap sanksi paksaan pemerintah menurut UUPPLH
apabila disandingkan dengan ketaatan perusahaan. Hal ini dapat dilihat melalui dua sisi
yaitu dari segi regulator sebagai pihak yang menetapkan peraturan, serta pelaku usaha
yang masih harus melakukan beberapa penyesuaian.

Peranan izin lingkungan dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia


sangatlah penting untuk membatasi tindakan masyarakat dan para pengusaha agar tidak
semena-mena, selain itu dengan ditetapkannya peraturan terkait izin lingkungan, maka
dapat mencegah pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah pabrik, sehingga
ekosistem dan lingkungan sekitar tetap memiliki manfaat yang dapat diwarisi oleh
generasi selanjutnya. Melalui sanksi paksaan, sebagai upaya sanksi administrasi dari
pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan.

Universitas Indonesia
15

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Andrew Korompis Ngala, “Sanksi Administratif Dalam Hukum Lingkungan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Lex Crimen 7 (Januari-Maret 2018), hlm. 39.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009.
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Ps. 10 ayat (2),
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara.
Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Artikel
Mukhlish. “Konsep Hukum Administrasi Lingkungan Dalam Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan.” Wacana Hukum dan Konstitusi Jurnal
Konstitusi, Vol. 7 No. 2 (April 2010).
Wibisana, Andri Gunawan. “Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin Terintegrasi
dan Berantai: Sebuah Perbandingan Atas Perizinan Lingkungan di Berbagai
Negara.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 48 No. 2 (2018).

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai