Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 3

Fiqih prahara al faris


(2008203118)
1. Perkembngan Regulasi Bank Syariah
Perkembangan perbankan syariah di kancah internasional ditandai dengan
mulainya sidang menteri luar negeri yang diselenggarakan oleh organisasi islam di
pakistan pada bulan Desember 1970. Dalam sistem perbankan, perkembanga awal
perbankan syariah direspon dengan cepat dan baik oleh pemerintah. Lalu pada
tanggal 25 Maret 1992, disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang
berisi tentang perbankan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967
yang didalamnya membahas tentang pokok-pokok perbankan untuk mengakomodir
perbankan syariah yang tersebar di Indonesia. Dengan adanya perkembangan
perbankan syariah, pada tanggal 16 Juli 2008 disahkannya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 yang didalamnya membahas tentang Perbankan Syariah sebagai
hukum bank syariah yang ada di Indonesia.
Regulasi mengenai perbankan
syariah dari masa kemasa
• Undang-undang No. 14 Tahun 1967
• Deregulasi 1 Juni 1983
• Pakto 1988
• Undang-undang No. 7 Tahun 1992
• Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
• Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
ini terdiri dari XIII Bab dan 70 pasal. Undang-
undang ini mengatur mengenai:

• Jenis usaha bank syariah;


• Ketentuan pelaksanaan syariah;
• Kelayakan usaha;
• Penyaluran dana bank syariah;
• Larangan bagi bank syariah dan Unit
Usaha Syariah;
• Kepatuhan Syariah.
Undang-undanng ini menegaskan bahwa kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah
ialah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) dalam transaksi pertukaran
barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl). Atau
dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah untuk mengembalikan
dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat
untung-untungan;
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, ataupun tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan;
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariat;
e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Hal-hal yang membuka peluang besar
bagi perbankan syariah sesuai UU
tersebut adalah:

• Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat


dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional
dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);
• Penggabungan atau peleburan antara Bank Syariah dan Bank non
Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);
• Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS)
harus melakukan pemisahan, apabila UUS mencapai asset paling
sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak
berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1);
• Kemungkinan warga negara asing/badan hukum asing yang tergabung
secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan/
memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b);
• UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang aktivitas usaha bank
syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional.
Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh bank umum syariah dan
tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (Pasal 19 s.d 21). Dengan
demikian perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang
ditawarkan oleh investment banking. Karena jasa-jasa bank syariah
merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank,
finance company, dan merchant bank;
• Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Umum Syariah lebih luas
dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah dari sebuah bank konvensional;
• Selain usaha komersial, bank syariah dapat juga menjalankan fungsi sosiall
dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infaq, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana
sosial dari wakaf uang lalu menyalurkannya kepada lembaga pengelola
wakaf sesuai kehendak wakaf (Pasal 4 ayat 3).

Anda mungkin juga menyukai