Anda di halaman 1dari 17

HUKUM BISNIS

Tanggung Jawab Perusahaan Dagang, Persekutuan Perdata dan

Firma atas Kepailitan

Oleh Kelompok I

Nama Anggota Kelompok :

1. Kadek Diah Listiyani Putri (1907531131) (KETUA)


2. Ida Ayu Putu Renita Sri Naravika (1907531163)
3. Komang Ayu Wulandari (1907531165)
4. Ni Made Ria Paramita Wiraningsih (1907531175)
5. I Dewa Agung Ayu Dharmayuni (1907531197)
6. Luh De Leony Agustini (1907531275)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi di suatu negara tidak terlepas dari semakin bertambahnya


pelaku usaha serta perkembangan kegiatan bisnis (perniagaan). Dalam menjalankan
kehidupan, setiap manusia berhak mendapatkan penghidupan yang layak, hal ini jelas diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu cara
mendapatkan penghidupan yang layak adalah melakukan usaha dengan cara mendirikan suatu
badan usaha guna menyelenggarakan kegiatan perekonomian. Beberapa bentuk badan usaha
dalam pandangan hukum dagang yang berlaku di Indonesia ialah:

a. Badan usaha dengan status badan hukum meliputi perseroan terbatas, yayasan dan
koperasi;
b. Badan usaha dengan status bukan badan hukum meliputi perusahaan dagang,
persekutuan perdata, persekutuan firma, dan persekutuan komanditer

Dalam hukum positif Indonesia, belum ditemukan satupun aturan hukum yang
mengatur secara khusus tentang badan usaha perseorangan. Perusahaan perseorangan menurut
UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UU Daftar Perusahaan) termasuk
perusahaan yang wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Perusahaan, kecuali (1) Jika
perusahaan tersebut diurus, dijalankan, atau dikelola pribadi pemiliknya, dengan hanya
mempekerjakan anggota keluarga; (2) Benar-benar hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
nafkah sehari-hari pemiliknya; (3) Bukan merupakan badan hukum atau persekutuan.

Dasar Hukum Maatschap ada pada Pasal 1618 sampai Pasal 1652 Bab VIII Bagian Satu
Buku III KUHPerdata). Maatschap atau Persekutuan merupakan suatu perjanjian dengan mana
dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan
maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya (Pasal 1618 KUHPerdata).

Dalam KUHPerdata tidak diatur bagaimana cara pendirian maatschap, karena


hubungan pada maatschap terjadi hanya bersifat intern diantara para sekutu. Dengan demikian
tidak relevan untuk didaftarkan dan diumumkan. Meskipun tidak relevan untuk didaftarkan
dan diumumkan, tetapi dalam praktek, maatschap didirikan sampai dengan penandatanganan
akta pendiriannya dihadapan Notaris, demikian mengingat bahwa maatschap adalah suatu
perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu
dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya (Pasal
1618 KUHPerdata).

Dasar Hukum Firma (Fa) diatur dalam Pasal 15 sampai 35 Bab III Bagian I Buku I
KUHD, segala yang menjadi dasar hukum Maatschap, dan Perjanjain-perjanjian antara para
pihak. Firma (Fa) merupakan suatu perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha
dibawah suatu nama bersama (Pasal 16 KUHD). Tata cara pendirian Firma diatur dalam pasal
22, 23, 28, dan 29 KUHD. Pasal 22 KUHD menyebutkan bahwa Firma harus didirikan dengan
akta otentik. Pasal 23 KUHD menyebutkan bahwa Firma harus didirikan dengan akta
persekutuan yang memuat Anggaran Dasar persekutuan harus didaftarkan pada Kepaniteraan
PN yang berwenang. Pasal 28 KUHD menyebutkan bahwa akta pendirian yang membuat
Anggatan Dasar harus diumumkan dalam BNRI. Akan tetapi pada prakteknya pendirian Firma
hanya sampai pada pendaftaran di PN saja, tidak ada yang sampai pengumuman dalam BNRI.

Dalam menjalankan kegiatan usaha tidak jarang sebuah perusahaan melakukan


peminjaman uang yang digunakan untuk kepentingan usahanya, dan tentu saja dengan adanya
peminjaman uang tersebut menimbulkan kewajiban atau utang. Pihak yang memiliki piutang
terhadap perusahaan dagang, patnership dan firma tersebut dapat melakukan upaya hukum
dalam menagih pemenuhan piutangnya tersebut, salah satu caranya adalah melalui lembaga
kepailitan. Ketika terjadi permohonan pernyataan pailit yang ditujukan kepada sebuah
perusahaan dagang, patnership dan firma, maka akan berdampak secara langsung terhadap para
pemilik usaha.

Pengertian Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang) dalam Pasal 1 angka 1 adalah sita umum atas semua kekayaan
Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan


perdagangan sehingga muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul
dalam rangka meningkatkan modal ataupun kinerja perusahaan. Pada dunia bisnis dapat terjadi
salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar utang-utangnya kepada pihak
lain sehingga mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi
utang tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke pengadilan
dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan (debitur).

Persekutuan firma, persekutuan perdata dan perusahaan dagang sebagai bentuk usaha
non-badan hukum memiliki dasar hukum yang berbeda, yaitu persekutuan firma diatur dalam
KUHD, persekutuan perdata diatur dalam KUHP dan perusahaan dagang tidak memiliki dasar
hukum yang pasti. Namun, persamaan dari ketiga bentuk usaha tersebut yaitu tidak terdapat
pemisahan harta kekayaan dengan perusahaan yang didirikan, sehingga jika terjadi kepailitian
usaha akan berpengaruh terhadap para pemilik. Berdasarkan uraian masalah tersebut, maka
paper ini akan membahas mengenai tanggung jawab perusahaan dagang, persekutuan perdata,
dan firma atas kepailitan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun hal yang dapat menjadi rumusan masalah
adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana tanggung jawab pemilik perusahaan dagang atas kepailitan ?

2. Bagaimana tanggung jawab sekutu perusahaan perdata (patnership) atas kepailitan ?

3. Bagaimana tanggung jawab sekutu firma atas kepailitan ?

1.3 Ruang Lingkup

Agar pembahasan dalam makalah ini tidak jauh keluar dari cakupan permasalahan yang
akan dibahas, maka ruang lingkup masalah dalam penulisan makalah ini dibatasi pada pada
tanggung jawab pemilik atau sekutu pada bentuk usaha non-badan hukum yang berfokus pada
perusahaan dagang, perusahaan perdata (patnership) dan firma. Tanggung jawab
pemilik/sekutu meliputi pada saat pendirian dan pada saat terjadi kepailitian usaha.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Hukum Kepailitian


Dasar hukum kepailitan yang belaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Adanya UU ini, dapat memberikan keseimbangan pemenuhan hak antara debitur dan kreditur.
Dengan adanya lembaga hukum kepailitan ini diharapkan agar orang yang berpiutang dapat
memperoleh pemenuhan atas pelunasan piutang miliknya dari debitur yang dinyatakan dalam
keadaan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
memberikan pengertian kepailitan, yaitu:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, Gunawan Widjaja
menyatakan bahwa syarat kepailitan adalah sebagai berikut :
a. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur, dan
b. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih
Selanjutnya akibat dijatuhkannya pernyataan pailit, antara lain :
a. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta
bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
b. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.
c. Untuk melindungi kepentingan kreditor, selama putusan atas permohonan pernyataan
pailit belum diucapkan, kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk :
− Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur.
− Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usah debitur,
menerima pembayaran kepada kreditur, dan pengalihan atau pengagunan kekayaan
dibutur (Pasal 10)
− Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat (4))
Adapun pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain:
a. Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun
belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur
perorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara suami-isteri tersebut tidak ada
percampuran harta;
b. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum
lainnya. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan
tempat kediaman masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk
seluruh utang firma;
c. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang
berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai kewenangan masing-
masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.
d. Harta peninggalan yang belum dibagikan kepada para ahli warisnya sebagai suatu
kesatuan kumpulan harta kekayaan tersendiri
Berdasarkan hal tersebut, maka firma dan Patnership yang merupakan badan usaha bukan
badan hukum serta Perusahaan dagang yang merupakan orang perseorangan, dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yakni: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum
dalam likuidasi”.

2.2 Tanggung Jawab Pemilik Usaha Perusahaan Dagang atas Kepailitan

2.2.1 Definisi dan Pendirian

Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD) merupakan perusahaan


perseorangan yang biasanya dilakukan atau dijalankan oleh satu orang pengusaha.
Perusahaan perseorangan ini modalnya dimiliki oleh satu orang. Pengusahanya langsung
bertindak sebagai pengelola yang biasanya dibantu oleh beberapa orang pekerja. Pekerja
tersebut bukan termasuk pemilik tetapi berstatus sebagai pembantu pengusaha dalam
mengelola perusahaannya berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa. Perusahaan
Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD) berbeda dengan vennootschap (persekutuan) pada
umumnya. KUHD sendiri tidak mengatur secara khusus mengenai perusahaan
perseorangan, akan tetapi dalam praktek (hukum kebiasaan) diakui sebagai pelaku usaha
yang disebut Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD).

Tidak ada persyaratan khusus atau standar yang harus dipenuhi guna mendirikan
Perusahaan Dagang. Dalam prakteknya, umumnya pendirian PD ini dibuat dengan akta
notaris, kemudian diikuti dengan permohonan “izin usaha” kepada kepala Kantor
Perdagangan dan permohonan “izin tempat usaha” kapada Pemerintah Daerah setempat.
Perlu diketahui bahwa ada atau tidak ada akta notaris, PD (usaha dagang) ini tetap bisa
didirikan. Keberadaan akta hanya sebagai alat bukti semata, bukan sebagai syarat bahwa
perusahaan dagang adalah badan hukum.

2.2.2 Tanggung Jawab Pemilik Usaha

Tanggung jawab dalam Hukum Perdata artinya setiap pihak terikat dan
bertanggungjawab pada ketentuan-ketentuan yang mengatut hubungan hukum diantara
mereka. Hal tersebut belaku juga pada hubungan hukum antara Usaha Dagang (UD) dengan
para krediturnya. Ketika suatu Usaha Dagang (UD) dalam operasional usahanya mengalami
pailit misalnya, maka pemilik usaha harus bertanggungjawab. Veronica Komalawati
menegaskan bahwa pada umumnya setiap orang harus bertanggungjawab (aanspraklijke)
atas semua perbuatannya.

Berdasarkan peraturan hukum, tanggung jawab Usaha Dagang kepada para kreditur
dapat di dasarkan pada ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Mengacu pada pasal ini,
tanggungjawab Usaha Dagang (UD) adalah penuh dan tidak terbatas kepada para kreditur.
Pengusaha yang mendirikan UD bertanggungjawab secara pribadi dan sepenuhnya terhadap
risiko usaha terhadap para kreditur perusahaan. Tanggunngjawab pribadi terhadap segala
perikatan perusahaan tersebut melibatkan seluruh harta kekayaan (hak milik) yang ada pada
pengusaha tersebut. Disini tidak ada pemisahan antara harta kekayaan pribadi dengan
kekayaan perusahaan. Dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang
berbunyi;

“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan. Berdasarkan ketentuan pasal diatas, maka
tanggungjawab UD penuh dan tidak terbatas, dalam arti tanggungjawab UD itu sampai
melibatkan harta kekayaan dari pemilik Usaha Dagang tersebut. Apabila harta kekayaan
Usaha Dagang tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya terhadap para kreditur,
maka kekurangannya akan diambil dari harta kekayaan pribadi milik UD tersebut.”

2.3 Tanggung Jawab Sekutu Persekutuan Perdata (Patnership) atas Kepailitan

2.3.1 Definisi dan Dasar Hukum Persekutuan Perdata

Persekutuan Perdata diatur dalam ketentuan pasal 1618 – pasal 1652 KUHPerdata,
Buku III, Bab VIII . Batasan yuridis maatschap dimuat dalam Pasal 1618 KUHPerdata,
yang dirumuskan sebagai berikut:

“Persekutuan perdata adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) dalam persekutuan dengan maksud
untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.”

Dalam Pasal 1618 dikatakan bahwa tiap peserta harus memasukkan sesuatu ke
dalam persekutuan. Hal yang dimaksud dengan “pemasukan” (inbreng) bisa berwujud
barang, uang atau tenaga, baik tenaga badaniah maupun tenaga kejiwaan (pikiran). Adapun
hasil dari adanya pemasukan itu tidak hanya keuntungan saja, tetapi mungkin pula
“kemanfaatan”. Sehingga persekutuan perdata mempunyai unsur-unsur mutlak sebagai
berikut :

a. Adanya pemasukan sesuatu ke dalam perserikatan

b. Pembagian keuntungan, atau kemanfaatan yang didapat dengan adanya


pemasukan tersebut.

Maatschap termasuk salah satu jenis permitraan (partnership) yang dikenal dalam
hukum Perusahaan di Indonesia. Maatschap merupakan bentuk usaha yang biasa
dipergunakan oleh para Konsultan, Ahli Hukum, Notaris, Dokter, Arsitek dan profesi-
profesi sejenis lainnya.

2.3.2 Pembagian Keuntungan dan Kerugian

Menurut Pasal 1633 KUHPerdata cara membagi keuntungan dan kerugian itu
sebaiknya diatur dalam perjanjian pendirian maatschap. Bila dalam perjanjian pendirian
tidak diatur maka bagian tiap sekutu dihitung menurut perbandingan besarnya sumbangan
modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu. Sekutu yang inbreng-nya hanya
berupa tenaga, maka bagian keuntungan/rugi yang diperolehnya sama dengan bagian
sekutu yang memasukkan inbreng berupa uang atau barang yang paling sedikit.

Menurut Pasal 1635 KUHPerdata, para sekutu dilarang memperjanjian akan


memberikan keuntungan saja kepada salah seorang sekutu, tetapi harus mencakup dua-
duanya, yakni keuntungan (laba) dan kerugian. Bila hal itu diperjanjikan juga maka hal itu
dianggap batal. Namun sebaliknya, para sekutu diperbolehkan memperjanjikan bahwa
semua kerugian akan ditanggung oleh salah seorang sekutu saja.

2.3.3 Tanggungjawab Sekutu Maatschap dengan Pihak Ketiga

Menurut Pasal 1642 s/d 1645 KUHPerdata, pertanggungjawaban sekutu maatschap


adalah sebagai berikut:

a. Pada asasnya, bila seorang sekutu maatschap mengadakan hubungan hukum dengan
pihak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun dia
mengatakan bahwa dia berbuat untuk kepentingan persekutuan.

b. Perbuatan sekutu baru mengikat sekutu-sekutu lainnya apabila :

− sekutu tersebut diangkat sebagai pengurus secara gerant statutaire

− nyata-nyata ada surat kuasa dari sekutu-sekutu lain;

− hasil perbuatannya atau keuntungannya telah nyata-nyata dinikmati oleh


persekutuan

c. Bila beberapa orang sekutu maatschap mengadakan hubungan hukum dengan pihak
ketiga, maka para sekutu itu dapat dipertanggungjawabkan sama rata, meskipun
inbreng mereka tidak sama, kecuali bila dalam perjanjian yang dibuatnya dengan pihak
ketiga itu dengan tegas ditetapkan imbangan pertanggungjawaban masingmasing
sekutu yang turut mengadakan perjanjian itu.

d. Bila seorang sekutu mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga atas nama
persekutuan (Pasal 1645 KUHPerdata), maka persekutuan dapat langsung menggugat
pihak ketiga itu. Disini tidak diperlukan adanya pemberian kuasa dari sekutu-sekutu
lain.
2.4 Persekutuan Firma

2.4.1 Definisi dan Dasar Hukum Firma

Firma merupakan bentuk permitraan yang umumnya digunakan dalam bidang


komersial seperti usaha perdagangan. Landasan hukum firma dapat ditemukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) pada Pasal 16 sampai
dengan Pasal 35 KUHD. Firma adalah tiap perusahaan yang didirikan untuk menjalankan
suatu perusahaan di bawah nama bersama atau Firma. Mengenai sumber hukum firma
selain dapat ditemukan di dalam KUHD, serta dalam ketentuan yang terdapat pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BurgerlijkeWetboek) yakni pada Pasal 1618-1652
KUHPerdata. Mengenai pemberlakuan ketentuan KUHPerdata sebagai sumber hukum
firma ditegaskan dalam Pasal 15 KUHD, yang menyatakan: “Persekutuan-persekutuan
yang disebut di dalam titel ini diatur oleh perjanjian - perjanjian antara pihak-pihak oleh
kitab undang-undang ini dan oleh hukum perdata”. Sehingga dapat diketahui bahwa selain
KUHD sebagai sumber hukum bagi firma, terdapat pula KUHPerdata, dimana ketentuan
di dalam KUHPerdata berlaku sebagai lex generalis sedangkan KUHD berlaku sebagai lex
specialis. yang didirikan akan dianggap sebagai persekutuan pedata biasa yang bersifat
umum. Selanjutnya sebagai sebuah badan usaha, firma dapat dibubarkan atau berakhir,
adapun empat macam cara berakhirnya firma sebagaimana diatur dalam Pasal 1646
KUHPerdata, yaitu :

a. Dengan lewatnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian persekutuan.

b. Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadai pokok


persekutuan.

c. Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu.

d. Apabila salah seorang sekutu meningga atau ditaruh pengampuan atau dinyatakan pailit.

2.4.2 Tanggung Jawab Sekutu Firma

Pada prinsipnya, para sekutu Firma memiliki hubungan yang setara (sederajat) satu
sama lain. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama atas Firma. Dengan
kata lain, semua sekutu Firma merupakan pengurus Firma dan bisa melakukan hubungan
hukum keluar untuk dan atas nama Firma. Hal ini disebabkan Firma memiliki sifat
kebersamaan (nama bersama). Perbuatan hukum salah seorang sekutu Firma dengan pihak
ketiga akan mengikat sekutu-sekutu lainnya. Oleh sebab itulah tanggung jawab para sekutu
dalam Firma bersifat pribadi untuk keseluruhan (tanggung renteng; solider; tidak terbatas).

Dengan adanya hubungan yang dilakukan oleh sekutu firma dengan pihak ketiga
tentunya akan menimbulkan hubungan hukum yang diikuti dengan lahirnya kewajiban
kepada pihak ketiga. Pertanggungjawaban atas kewajiban yang timbul dengan adanya
hubungan yang dilakukan antara firma dengan pihak ketiga yang diatur dalam Pasal 18
KUHD, yang menyatakan: “Dalam perseroan firma, tiap-tiap persero bertanggung jawab
secara tanggung renteng untuk seluruhnya atas segala perikatan dari perseroannya”. Lebih
lanjut mengenai tanggung jawab secara tanggung renteng, KUHPerdata mengaturnya
dalam Pasal 1280 KUHPerdata, yang menyatakan: “Adalah terjadi suatu perikatan
tanggungmenanggung di pihaknya orang-orang yang berutang, manakala mereka
kesemuanya diwajibkan melakukan suatu hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu
dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan orang-
orang berutang yang lainnya terhadap si berpiutang”.

Ketentuan mengenai tanggung jawab sekutu (anggota) firma secara tanggung


renteng tersebut mengatur bahwa utang ataupun segala kewajiban yang dimiliki oleh firma
menjadi tanggungan secara bersama para sekutu firma. Hal ini memperlihatkan, bahwa
firma sebagai sebuah badan usaha bukan badan hukum didalamnya tidak terdapat
pemisahaan harta dan kewajiban antara firma dengan para sekutu firma.

2.4.3 Contoh Kasus Permohonan Pernyataan Pailit

Permasalahan pokok yang saat ini dihadapi yaitu perbedaan keputusan Hakim
dalam hal mengadili Termohon Pailit (Debitor) yang merupakan Perusahaan bukan Badan
Hukum yaitu Perusahaan Persekutuan Firma. Kasus yang dialami Firma Litha & Co.,
diawali dari Firma Litha & Co sebagai Termohon Pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Kemudian Hakim menghukum Pailit dan PKPU Firma Litha & Co.,
karena telah memenuhi syarat Pailit dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Dalam Putusan Nomor
01/PKPU/2012/PN.Niaga.MKS. Firma Litha & Co dihukum untuk membayar utang
kepada para kreditornya atau Pemohon PKPU. Tetapi Firma Litha & Co tetap tidak
membayar utang secara tunai dan menyeluruh kepada para kreditornya atau Pemohon
PKPU, meskipun Firma Litha & Co telah mendapat teguran dari kreditornya atau Pemohon
PKPU.
Hal ini menyebabkan Termohon PKPU mempunyai utang kepada Pemohon PKPU
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Selain itu Firma Litha & Co juga telah menerima
kredit dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk wilayah Makasar, dan mengalami
kesulitan atas pembayaran cicilan dalam penyelesaian kreditnya. Kemudian Pemohon
PKPU lain yaitu pihak PT. Sumber Indo Celuler yang menyatakan ada barang hilang
berkenaan dengan pengiriman yang dilakukan oleh Firma Litha & Co, sehingga ini
menyebabkan timbulnya utang yang harus dibayar.

Dari penjelasan tersebut menyatakan bahwa Firma Litha & Co telah memenuhi
syarat debitor yang dapat dinyatakan Pailit yaitu Debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. Dengan demikian permohonan PKPU yang diajukan haruslah diterima atau
dikabulkan, yang kemudian membuat Firma Litha & Co dalam keadaan Pailit dan PKPU.

Kepailitan mengakibatkan Debitor yang dinyatakan Pailit kehilangan segala hak


perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam
harta Pailit. Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan Pailit di ucapkan, Debitor Pailit
tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya yang telah
dinyatakan Pailit. Serta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah ditetapkan
oleh Pengadilan mengakibatkan diberhentikannya untuk sementara kewajiban pembayaran
utang Debitor yang telah jatuh tempo sampai dengan dicapainya kesepakatan baru antara
Kreditor dan Debitor mengenai syarat-syarat dan tata cara pembayaran baru yang disetujui
bersama.

Kemudian setelah Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas permohoanan


pernyataan Pailit, maka upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut adalah
Kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang berisi :

“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan
pailit adalah Kasasi ke Mahkamah Agung”

Untuk melihat penerapan hal tersebut dapat dilihat dalam putuasan Mahkamah
Agung RI No. 156 PK/Pdt.Sus/201221, dalam perkara antara :
a. FIRMA LITHA & CO., di wakili oleh Litha Brent, S.E., selaku Direktur dan Ribka
Ruru, selaku wakil direktur sebagai Pemohon Peninjauan Kebali terhadap;

b. Heryanto Wijaya selaku Termohon Peninjauan Kembali dan PT. Bank Negara
Indonesia (PERSERO) Tbk., selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali I ; PT.
Sumber Indo Celluler, selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali II.

Dalam perkara ini, Mahkamah Agung RI dalam tingkat peninjauan kembali


berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 156 PK/Pdt.Sus/2012 memutuskan sebagai
berikut :

a. Mengadili :

1) Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan


Kembali : FIRMA LITHA & CO. tersebut;

2) Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri


MakassarNomor 01/PKPU/2012/ PN. NIAGA.MKS. tanggal 03 September
2012;

b. Mengadili kembali :

1) Menyatakan permohonan PKPU dari Pemohon PKPU: Heryanto Wijaya tidak


dapat diterima;

2) Menyatakan Termohon PKPU: FIRMA LITHA & CO. tidak berada dalam
keadaan pailit;

3) Menghukum Termohon Peninjauan Kembali/Termohon Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang (PKPU) untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan dan pemeriksaan peninjauan kembali, yang dalam
pemeriksaan peninjauan kembali ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah Rupiah);

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam


tingkat peninjauan kembali dalam perkara ini, antara lain :

a. Bahwa, sebagai Termohon PKPU adalah FIRMA LITHA & CO., yang tidak
mempunyai legal standing karena FIRMA LITHA & CO., tidak berstatus badan
hukum, sehingga tidak dapat dijadikan subjek hukum, sebagai Termohon PKPU;
b. Bahwa, seharusnya yang dapat dijadikan Termohon PKPU adalah pengurus aktif dari
FIRMA LITHA & CO. tersebut;

c. Bahwa, atas dasar hal-hal tersebut dengan tidak mempertimbangkan alasan lainnya dari
Pemohon Peninjauan Kembali, maka Permohonan Peninjauan Kembali dapat
dikabulkan dan Putusan Judex Facti harus dibatalkan; Mahkamah Agung yang
menangani perkara tersebut di dalam putusannya memperlihatkan bahwa firma sebagai
sebuah badan usaha yang bukan badan hukum tidak dapat dinyatakan dalam keadaan
pailit dengan dasar pertimbangan bahwa firma bukanlah sebuah subjek hukum karena
bukan merupakan badan hukum.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Tanggung jawab pemilik usaha atas perusahaan dagang adalah penuh dan tidak
terbatas. Sehingga apabila Usaha Dagang (UD) dalam operasional usahanya
mengalami pailit atau membawa kerugian kepada pihak ketiga atau para kreditur,
maka yang bertanggungjawab adalah pemilik dari Usaha Dagang tersebut. Apabila
harta kekayaan perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya
terhadap kreditur, maka kekurangannya akan diambil dari harta kekayaan pribadi
dari pemilik Usaha Dagang (UD) itu sendiri karena tidak ada pemisahan antara harta
kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan.

3.1.2 Tanggung jawab sekutu perusahaan perdata atas kepailitan secara tidak langsung
tertuang pada pasal 1642 sampai dengan pasal 1645 KUHPerdata, yaitu anggota para
sekutu tidak terikat dan tidak bertanggung jawab untuk seluruh utang persekutuan,
dan masing-masing anggota sekutu tidak dapat mengikat anggota sekutu yang lain,
jika mereka tidak diberikan kuasa untuk melakukan hal itu. Dalam hal persekutuan
perdata (patnership) terjadi pailit, yang pailit adalah sekutunya, karena Persekutuan
perdata bukan badan hukum. Dengan demikian sesuai dengan prinsip umum ini,
yang bertanggung jawab kepada pihak ketiga, hanya anggota sekutu yang
melakukan tindakan hukum itu, dan tanggung jawab ini bersifat pribadi; dan apabila
para anggota sekutu bersama-sama melakukan tindakan hukum dengan pihak ketiga,
maka pihak ketiga dapat menuntut mereka masing-masing untuk jumlah dan bagian
yang sama meskipun bagian anggota sekutu yang satu kurang dari bagian anggota
sekutu yang lain.

3.1.3 Firma sebagai sebuah bentuk badan usaha tidak dapat dinyatakan dalam keadaan
pailit, dengan dasar bahwa firma bukan sebuah badan hukum dan firma bukan pula
perseorangan sehingga firma bukan merupakan subjek hukum. Namun demikian
dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur bahwa terhadap sebuh
firma dapat dimohonkan pernyataan pailit dengan persyaratan harus memuat
identitas para sekutu firma secara jelas dan para sekutu firma tersebutlah yang akan
bertanggung jawab atas putusan dari pengadilan niaga tersebut apabila terpenuhi
syarat pailit karena para sekutu firma bertanggung jawab atas seluruh kewajiban
yang dimiliki firma secara tanggung renteng, dengan kata lain sebuah firma tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi karena bukan merupakan
entitas yang mandiri sehingga yang dinyatakan pailit bukanlah firma melainkan para
sekutu firma. Dalam pemeriksaan perkara kepailitan dimana terjadi permohonan
pailit yang ditujukan kepada sebuah firma haruslah secara jelas dilihat kedudukan
hukum sebuah firma bukan merupakan subjek hukum, sehingga secara jelas harus
dilihat bahwa segala utang atas nama firma tersebut merupakan tanggung jawab para
sekutu firma secara tanggung renteng dan seharusnya yang dinyatakan dalam
keadaan pailit bukanlah firma melainkan para sekutu firma.

3.2 Saran

Dari kesimpulan diatas, dapat diambil poin bahwa sebaiknya masyarakat dan
pihak yang bersangkutan dapat membaca dan memahami lebih lanjut isi dari kitab
undang-undang hukum perdata dan hukum dagang mengenai tanggung jawab dari
perusahaan dagang, partnership, dan firma sebelum membuat/melontarkan isu yang
menyebabkan pergunjingan dan kesalah pahaman diantara masyarakat luas. Selain
itu, sudah dijelaskan bahwa penerbitan peraturan ini bermaksud baik yaitu untuk
mempertegas peraturan sebelumnya dan juga untuk meningkatkan nilai
perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya makalah ini
dapat membantu wawasan pembaca dan disarankan juga kepada pembaca untuk
memberikan kritik ataupun saran yang membangkit terkait makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443).

Jurnal
Mayasari, I. D. A. 2017. Tanggungjawab Usaha Dagang Sebagai Perusahaan Perseorangan
Terhadap Para Kreditur. Universitas Udayana

Safitri, Novita D. dan Made Mahartayasa. 2015. Pertanggungjawaban Sekutu dalam


Persekutuan yang Mengalami Kepailitan. Universitas Udayana

Yohana. 2015. Tanggung Jawab Hukum atas Bentuk usaha Badan Hukum dan Usaha Non
Badan hukum. Jurnal Mercaoria.

Buku :
Farida Hasyim. 2014. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika
Gunawan Widjaja. 2009. Risiko Hukum dan Bisnis Bila Perusahaan Pailit. Jakarta: Forum
Sahabat
Sunarmi. 2010. Hukum Kepailitan : Edisi 2. Jakarta: PT. Sofmedia
Susanto, dkk. 2019. Pengantar Hukum Bisnis. Banten : Universitas Pamulang
Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan (Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia), Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia

Internet :

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310002/pendidikan/BENTUKBENTUK+PERUSAHAA
N.pdf, diakses tanggal 21 Maret 2021
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/28267/Chapter%20II.pdf?sequence=3
&isAllowed=y, diakses tanggal 21 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai