(ISLAMIC MICROFINANCE)
Maulidia Amri
1. Pendahuluan
1 Adalah mahasiswa Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam untuk peminatan Ekonomi dan Keuangan
Syariah. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Lembaga Keuangan
Syariah.
1
- Pasal 58 UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo. UU No 10 Tahun 1998,
yang berbunyi “Lembaga Dana Kredit Pedesaan (Bank Desa, Lumbung Desa),
Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, dan/atau lembaga-
lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu) diberikan status sebagai
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-undang ini dengan memenuhi
persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
lain
Pembinaan OJK Kemenkop UKM OJK Kemendes
Pengawasan OJK Pengawas internal OJK Kemendes
Nasabah Masyarakat Anggota Masyarakat Masyarakat
umum umum umum
Tabel 1. Perbandingan Lembaga Keuangan Formal
Sumber : OJK, 2015
2
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
Berikut bagan kegiatan di Lembaga Keuangan Mikro.
Siu (2001) menjelaskan bahwa Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga yang
menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat miskin dan keluarga berpendapatan
rendah (serta kegiatan usaha mikro mereka), memungkinkan mereka mengelola
dengan lebh baik resikonya. Grameen Bank di Bangladesh yang didirikan oleh
Muhammad Yunus merupakan contoh sukses LKM dalam meningkatkan ekonomi
dan memberdayakan masyarakat miskin.
3
Dan berikut ini adalah bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro di
Indonesia.
Pertimbangan sisi agama dari masyarakat juga menjadi kelemahan dari keuangan
mikro konvensional. Institusi keuangan mikro konvensional menerapkan bunga bank
sebagai dasar perhitungan keuntungan bagi institusinya. Penerapan ini bertentangan
dengan ajaran Islam yang melarang adanya perhitungan bunga dalam transaksi
keuangan. Dengan julah masyarakat muslim lebih dari 90% jumlah penduduk serta
4
mulai tumbuhnya kesadaran beragama pada masyarakat, maka masyarakat mulai
memerlukan sistem ekonomi yang Islami. Tujuan utama dari keuangan mikro untuk
mengurangi kemiskinan dan membuat masyarakat miskin mampu memberdayakan
dirinya sendiri sebetulnya sudah sejalan dengan prinsip keadilan dalam ekonomi
Islam (Rahman, 2007).
2.1 c
Selama ini LKM konvensional maupun LKMS dikenal dengan kredit mikro
(micro-credit). Namun, Lembaga Keuangan Mikro sebenarnya tidak hanya berupa
micro-credit, namun juga menyediakan produk dan skema mikro lainnya, seperti
micro-savings, micro-lease, dan micro-insurance (Abdelkader, 2013).
1. Micro-saving
Orang miskin yang ingin menyimpan tabungan mereka dikategorikan
sebagai investasi untuk LKMS. Mereka berinvestasi melalui deposito yang
berdasarkan prinsip hukum Islam (Syariah). Keuntungan dan Kerugian akan
dibagi antara LKMS dan nasabah bila skema produknya mudarobah. Selain
itu, deposito juga diinvestasikan dalam skema musyarkah atau takaful.
5
2. Micro-credit
Kredit mikro dalam LKMS merupakan alternatif dari kredit mikro yang
ditawarkan oleh LKM konvensional. Berbeda dengan LKM konvensional
yang mnerapkan sistem bunga dan memiliki unsur riba, LMKS menggunakan
skema yang sesuai dengan aturan syariah seperti qard hasan, murabahah
dengan baibithaman-ajil, ijarah, bai-salam dan lain-lain.
3. Micro-lease
Leasing atau sewa usaha memiliki beberapa pengertian, menurut
Financial Accounting Standard Board yang menyatakan bahwa “sewa guna
adalah suatu perjanjian penyediaan barang-barang modal yang digunakan
untuk suatu jangka waktu tertentu”. Dalam Islam leasing merupakan suatu
akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu, proses sewa
menyewa barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya,
sedangkan barangnya itu sendiri merupakan milik bagi pemberi sewa.
4. Micro-takaful
1. Pembiayaan
Musyarakah: adalah suatu perjanjian usaha antara LKMS dengan
anggotanya untuk menyertakan modalnya pada suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan ataupun
menggugurkan haknya dalam manajemen usaha tersebut. Keuntungan atas
produk ini akan dibagikan berdasarkan kesepakatan perjanjian kedua belah
pihak. Jika terjadi kerugian maka masing-masing pihak akan menanggung
6
kerugian sebatas besarnya modal masing-masing kedudukan dalam produk
LKMS dan nasabah adalah mitra usaha (partner).
Mudharabah: Adalah suatu perjanjian antara LKMS dengan anggotanya,
dimana LKMS menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak
pengusaha melakukan pengelolaan usaha. Transaksi pembiayaan ini dilakukan
berlandaskan kepercayaan (trust). LKMS bertindak sebagai shahibul mal
tidak diperkenankan untuk ikut campur dalam proyek atau usaha tersebut.
Keuntungan pembiyaan ini dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil. Jika terjadi
kerugian karena konsekuensi bisnis semata, maka LKMS akan menanggung
kerugian keuangan (modal yang hilang).
2. Simpanan
Wadiah: simpanan yang bisa ditarik kapan saja. Dana nasabah dititipkan
di lembaga keuangan mikro syariah dan boleh dikelola. Setiap saat nasabah
berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan
pemanfaatan dana giro oleh lembaga keuangan mikro syariah yang
bersangkutan. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tapi benar-benar
merupakan kebijaksanaan LKMS. Sungguhpun demikian nominalnya
diupayakan sedemikan rupa untuk senantiasa kompetitif (Fatwa DSN-MUI
No. 01/DSN-MUI/IV/2000).
7
3. Jual Beli
8
Model/instrumen Berbasis bunga Instrumen kuangan Islam
pembiayaan
2 Dr. H. Hamdan, SH., MH, “Baitulmal wattamwil dan BPR”, Makalah yang disampaikan pada
Dilkat
III Program PPC Terpadu Angkatan VI Peradilan Agama Seluruh Indonesia di Pusdiklat
Balitbang Diklat Kumdil MA-RI Megamendung – Bogor tanggal 31 Agustus 2012.
9
mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti "rumah", dan al-mal yang berarti
"harta". Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.
BMT merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan
berlandaskan system syariah yang kegiatannya mengembangkan usaha produktif
dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan (Raharjo, 1999). Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk
memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh pelayann bank Islam
atau BPR Islam (Huda, 2010).
Istilah Baitul Mal sesungguhnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW,
meski saat itu belum terbentuk lembaga yang mandiri dan terpisah. Baitul Maal
baru berdiri sebagai lembaga ekonomi tersendiri pada masa Khalifah ‘Umar bin
Khaththab atas usulan seorang ahli fiqih yang bernama Walid bin Hisyam. Sejak
masa itu dan masa-masa selanjutnya (Dinasti ‘Abbasiyah dan Umawiyah), Baitul
Maal telah menjadi lembaga yang penting bagi negara.3
Dalam operasionalnya, BMT secara sederhana mempunyai dua tugas utama,
yaitu pertama Baitul Maal yang memiliki visi dan misi sosial (non komersial) atau
lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non
profit, seperti zakat, infaq, dan sedekah. Sehingga, tidak boleh mengambil profit
apapun dari operasinya. Sedangkan pembiayaan operasi diambil 12,5% dari total
zakat yang diterima. Kedua, Baitul Tamwil yang memiliki visi dan misi ekonomi
sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Dan juga sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial
Hal yang menarik untuk dicermati adalah fenomena pendirian dan
pengembangan BMT, ternyata tidak hanya terbatas oleh pertimbangan ekonomis.
Namun, karena adanya motivasi untuk mendirikan lembaga keuangan yang
menjalankan nilai-nilai Islam. Selain itu, sebagian BMT memang lahir dan
berkembang dari komunitas keislaman, seperi jamaah masjid, jamaah pengajian,
pesantren, organisasi kemasyarakatan Islam, atau sejenisnya (Rizky, 2007 dalam
3 Apit Farid, SHI, “Eksistensi Lembaga Keuangan Syariah dalam Memberdayakan Ekonomi
Masyarakat Kecil Menengah”.
10
Amalia, 2009). Di Indonesia sendiri pertumbuhan dan perkembangan semakin
bertambah pesat. Salah satu BMT yang sukses dalam mengembangkan usahanya
adalah BMT UG Sidogiri, Jawa Timur, yang pada tahun 2016 ini anggotanya
mencapai 16.010 orang dengan jumlah simpanan anggota mencapai Rp
384.158.780.000.45
11
memperoleh pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU). Hal ini berdasarkan Pasal 20
ayat 2 dalam Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor 91/Kep/IV/KUKM/IX/2004, yaitu
“pembagian dan penggunaan SHU dilakukan dengan memasukkan komponen
kewajiban (potongan) zakat atas Badan Usaha Koperasi dan zakat atas
perseorangan sebelum dibagikan kepada anggota yang bersangkutan.” Dalam
pasal tersebut zakat dikeluarkan atas nama badan hukum (institusi) dalam hal ini
koperasi dan zakat atas perseorangan dalam hal ini adalah anggota koperasi yang
menerima SHU. Inilah ciri utama ekonomi syariah yang dalam institusi
konvensional persoalan zakat tidak diatur secara eksplisit (Amalia, 2009).
Dari jenis Bank Konvensional, terdapat bank umum dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). BPR sendiri dapat dipahami sebagai Bank Konvensional yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 7
Sedangkan, Dalam hal ini, secara teknis BPRS bisa diartikan sebagai lembaga
keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasionalnya mengikuti
prinsipprinsip ekonomi Islam (Sjahdeini, 1999). Sama seperti halnya BPR, BPRS
dilarang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran seperti menerima dana
simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dengan prinsip wadi’ah.
Kegiatan BPRS dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI No.
32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999. Menurut surat keputusan ini, kegiatan
operasional BPRS adalah:
12
2. Melakukukan penyaluran dana melalui:
b) Istishna
c) Ijarah
d) Salam
a) Mudharobah
b) Musyarakah
c) Rhn
d) Qardh
3. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPRS sepanjang disetujui oleh
Dewan Syariah Nasional.
Menurut Sumitro (2002) tujuan operasionalisasi BPRS, meliputi:
Berbagai produk dan jasa yang disediakan oleh lembaga keuangan mikro
syariah berdasarkan prinsip-prinsip Islam diharapkan dapat menjadi suatu cara
untuk membangun ekonomi umat Islam di Indonesia. Berikut ini peran-peran
LKMS dalam membangun ekonomi umat Islam.
13
5.1 Mengurangi kemiskinan
Ini merupakan tujuan utama dari lembaga keuangan mikro, baik konvensional
maupun syariah, yaitu untuk menjadi agen sosial dalam mengurangi kemiskinan.
Namun, pada kenyataannya lembaga keuangan mikro sering disamakan dengan
rentenir karena memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Hal itu justru
akan membuat masalah kemiskinan bertambah bukannya berkurang. Oleh karena
itu, lembaga keuangan mikro yang berlandaskan prinsip syariah merupakan
solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan hadirnya LKMS maka
diharapkan dapat melepaskan ketergantungan rentenir dalam memenuhi dana
dengan segera (Huda, 2013).
14
memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan diri dan lembaga
masyarakat lokal.
Daftar Referensi
Amalia, Euis. (2009). Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran
LKM dan UKM di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Ben Abdelkader, Ines dan Asma Ben Salem. (2013). Islamic vs Conventional
Microfinance Institutions: Performance analysis in MENA countries.
International Journal of Business and Social Research (IJBSR), Vol. 3, No. 5,
219-233.
15
https://docs.google.com/document/export?format=docx&id=1bFXYKHLUxhu5
KFsnCEIp2fNWxok1xfl7S2mjavIOmc&token=AC4w5Vh3cG1jsARrqamzrwH
zZypxyC32zA%3A1460213020547, diakses pada 9 April 2016, pk. 09:46.
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. (2010). Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan
Teoritis dan Praktik. Jakarta: Prenada Kencana Media Group.
Otoritas Jasa Keuangan. (2015). Peranan OJK dalam Pembinaan dan Pengawasan
Lembaga Keuangan Mikro. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
Sjahdeini, Sutan Remy. (1999). Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sumitro, Warkum. (2002). Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait (BMI
dan Takaful di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
16
Syafii Antonio, Muhammad. (2011). Islamic Microfinance Initiatives to Enhance
Small and Medium Enterprises in Indonesia. Journal of Indonesia Islam, Vol. 5,
No. 2, 313-334.
17