Anda di halaman 1dari 17

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH

(ISLAMIC MICROFINANCE)

Maulidia Amri

Nur Azizah Widyaningsih1

1. Pendahuluan

Melihat perkembangan lembaga keuangan mikro di Indonesia, sudah banyak


kemajuan yang cukup pesat. Dikarenakan lembaga keuangan mikro adalah salah
penopang ekonomi tesbesar di Indonesia selain lembaga keuangan formal atau
Bank. Lembaga keuangan mikro sendiri hadir karena pengusaha kecil, mikro serta
berpenghasilan rendah yang tidak dapat menjangkau lembaga keuangan formil,
guna melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan. Lembaga keuangan mikro
juga hadir demi memenuhi kebutuhan masyarakat miskin atau berpenghasilan
rendah guna melakukan pinjaman dan sebagai salah satu cara guna mengentaskan
kemiskinan di Indonesia.

Dasar hukum LKM adalah UU LKM, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan


OJK. Undang-undang yang melatarbelakangi Lembaga Keuangan Mikro adalah:

- Pasal 16 Ayat (1) UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo. UU No 10


Tahun 1998, yang berbunyi “Setiap pihak yang melakukan kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat dari pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat diatur dengan Undang-undang tersendiri.”

1 Adalah mahasiswa Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam untuk peminatan Ekonomi dan Keuangan
Syariah. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Lembaga Keuangan
Syariah.

1
- Pasal 58 UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan jo. UU No 10 Tahun 1998,
yang berbunyi “Lembaga Dana Kredit Pedesaan (Bank Desa, Lumbung Desa),
Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, dan/atau lembaga-
lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu) diberikan status sebagai
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-undang ini dengan memenuhi
persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

- Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang BPR yang


berbunyi “Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 yang
belum memperoleh izin usaha sebagai BPR wajib mengajukan izin usaha
selambatlambatnya tanggal 30 Oktober 1997.”

- Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas beroperasinya


LKM yang belum berbadan hukum, pada tanggal 8 Januari 2013 telah
diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.

Terdapat beberapa opsi lembaga keuangan informal yang menghimpun dana


masyarakat untuk menjadi lembaga keuangan formal dan memperoleh status
hukum sesuai ketentuan perundangan. Berikut tabel yang menyajikan beberapa
alternatif dan perbandingan dari opsi tersebut:
BPR Koperasi LKM Bumdes
Simpan Pinjam
Izin usaha OJK Kemenkop UKM OJK Kemendes
Badan PD, Koperasi, Koperasi PT atau Tidak wajib
hukum PT, atau bentuk Koperasi berbadan hukum

lain
Pembinaan OJK Kemenkop UKM OJK Kemendes
Pengawasan OJK Pengawas internal OJK Kemendes
Nasabah Masyarakat Anggota Masyarakat Masyarakat
umum umum umum
Tabel 1. Perbandingan Lembaga Keuangan Formal
Sumber : OJK, 2015

2
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
Berikut bagan kegiatan di Lembaga Keuangan Mikro.

Sumber : OJK, 2015

Siu (2001) menjelaskan bahwa Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga yang
menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat miskin dan keluarga berpendapatan
rendah (serta kegiatan usaha mikro mereka), memungkinkan mereka mengelola
dengan lebh baik resikonya. Grameen Bank di Bangladesh yang didirikan oleh
Muhammad Yunus merupakan contoh sukses LKM dalam meningkatkan ekonomi
dan memberdayakan masyarakat miskin.

3
Dan berikut ini adalah bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro di
Indonesia.

Sumber : OJK, 2015

Beberapa paparan diatas menjelaskan mengenai lembaga keuangan mikro secara


umum atau secara konvensional. Lembaga keuangan mikro juga telah berkembang
hingga ada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Pada dasarnya, lembaga
keuangan mikro syariah memiliki sistem yang hampir mirip, akan tetapi produk dan
jasa serta perjanjian (akad) yang digunakan berbeda. Kesesuaian dengan hukum
syariah Islam untuk lembaga keuangan mikro meliputi tidak adanya riba, maisir,
gharar, dharar, dan tadlis.

Pertimbangan sisi agama dari masyarakat juga menjadi kelemahan dari keuangan
mikro konvensional. Institusi keuangan mikro konvensional menerapkan bunga bank
sebagai dasar perhitungan keuntungan bagi institusinya. Penerapan ini bertentangan
dengan ajaran Islam yang melarang adanya perhitungan bunga dalam transaksi
keuangan. Dengan julah masyarakat muslim lebih dari 90% jumlah penduduk serta

4
mulai tumbuhnya kesadaran beragama pada masyarakat, maka masyarakat mulai
memerlukan sistem ekonomi yang Islami. Tujuan utama dari keuangan mikro untuk
mengurangi kemiskinan dan membuat masyarakat miskin mampu memberdayakan
dirinya sendiri sebetulnya sudah sejalan dengan prinsip keadilan dalam ekonomi
Islam (Rahman, 2007).

2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Saat ini, berkat semakin berkembangnya ekonomi syariah di Indonesia, maka


lembaga keuangan mikro berbasis syariah juga semakin meningkat baik dalam
jumlah maupun kinerja. Selama ini, ekonomi syariah lebih banyak terfokuskan
pada lembaga keuangan perbankan syariah. Padahal lembaga keuangan mikro
syariah juga memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan dan
membangun ekonomi umat Islam di Indonesia, terutama dalam pengentasan
kemiskinan. Hal ini mengingat masih banyak masyarakat miskin yang tidak dapat
mengakses jasa keuangan karena kurangnya literasi informasi mengenai lembaga
keuangan.

2.1 c

Selama ini LKM konvensional maupun LKMS dikenal dengan kredit mikro
(micro-credit). Namun, Lembaga Keuangan Mikro sebenarnya tidak hanya berupa
micro-credit, namun juga menyediakan produk dan skema mikro lainnya, seperti
micro-savings, micro-lease, dan micro-insurance (Abdelkader, 2013).

1. Micro-saving
Orang miskin yang ingin menyimpan tabungan mereka dikategorikan
sebagai investasi untuk LKMS. Mereka berinvestasi melalui deposito yang
berdasarkan prinsip hukum Islam (Syariah). Keuntungan dan Kerugian akan
dibagi antara LKMS dan nasabah bila skema produknya mudarobah. Selain
itu, deposito juga diinvestasikan dalam skema musyarkah atau takaful.

5
2. Micro-credit
Kredit mikro dalam LKMS merupakan alternatif dari kredit mikro yang
ditawarkan oleh LKM konvensional. Berbeda dengan LKM konvensional
yang mnerapkan sistem bunga dan memiliki unsur riba, LMKS menggunakan
skema yang sesuai dengan aturan syariah seperti qard hasan, murabahah
dengan baibithaman-ajil, ijarah, bai-salam dan lain-lain.

3. Micro-lease
Leasing atau sewa usaha memiliki beberapa pengertian, menurut
Financial Accounting Standard Board yang menyatakan bahwa “sewa guna
adalah suatu perjanjian penyediaan barang-barang modal yang digunakan
untuk suatu jangka waktu tertentu”. Dalam Islam leasing merupakan suatu
akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu, proses sewa
menyewa barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya,
sedangkan barangnya itu sendiri merupakan milik bagi pemberi sewa.

4. Micro-takaful

2.2 Akad LKMS


Akad yang digunakan dalam produk atau jasa LKMS didasari oleh prinsip
syariah yang umumnya juga ada dalam perbankan syariah. Berikut ini jenis-jenis
akad yang umum digunakan dalam operasional LKMS.

1. Pembiayaan
Musyarakah: adalah suatu perjanjian usaha antara LKMS dengan
anggotanya untuk menyertakan modalnya pada suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan ataupun
menggugurkan haknya dalam manajemen usaha tersebut. Keuntungan atas
produk ini akan dibagikan berdasarkan kesepakatan perjanjian kedua belah
pihak. Jika terjadi kerugian maka masing-masing pihak akan menanggung

6
kerugian sebatas besarnya modal masing-masing kedudukan dalam produk
LKMS dan nasabah adalah mitra usaha (partner).
Mudharabah: Adalah suatu perjanjian antara LKMS dengan anggotanya,
dimana LKMS menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak
pengusaha melakukan pengelolaan usaha. Transaksi pembiayaan ini dilakukan
berlandaskan kepercayaan (trust). LKMS bertindak sebagai shahibul mal
tidak diperkenankan untuk ikut campur dalam proyek atau usaha tersebut.
Keuntungan pembiyaan ini dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil. Jika terjadi
kerugian karena konsekuensi bisnis semata, maka LKMS akan menanggung
kerugian keuangan (modal yang hilang).

2. Simpanan

Wadiah: simpanan yang bisa ditarik kapan saja. Dana nasabah dititipkan
di lembaga keuangan mikro syariah dan boleh dikelola. Setiap saat nasabah
berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan
pemanfaatan dana giro oleh lembaga keuangan mikro syariah yang
bersangkutan. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tapi benar-benar
merupakan kebijaksanaan LKMS. Sungguhpun demikian nominalnya
diupayakan sedemikan rupa untuk senantiasa kompetitif (Fatwa DSN-MUI
No. 01/DSN-MUI/IV/2000).

Mudharabah: dana yang disimpan nasabah akan dikelola oleh LKMS,


untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah
berdasarkan kesepakatan nasabah. Nasabah bertindak sebagai shahibul mal
dan lembaga keuangan Islam bertindak sebagai mudharib (Fatwa DSN-MUI
No.
01/DSN-MUI/IV/2000).

7
3. Jual Beli

Murabahah: adalah transaksi penjualan barang dengan menyertakan


harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah
penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang
dijualnya serta jumlahnya keuntungan yang diperoleh.

3. Lembaga Keuangan Mikro Syariah VS Konvensional


Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan sampel dari tiga Lembaga
Keuangan Mikro Syariah di Bangladesh, Ahmed (2002) dalam Abdulkader
(2013:222) menemukan bahwa LKM Syariah memiliki kinerja yang lebih baik
daripada LKM konvensional. Zakat dan sedekah menjadi instrumen penting
dalam pengurangan kemiskinan. Aturan syariah dengan jelas membedakan orang
yang wajib membayar zakat dan yang berhak menerima zakat. Kategori utama
yang dapat menerima manfaatnya adalah orang fakir dan miskin (Obaidullah &
Khan, 2008). Oleh karena itu, LKM Syariah seharusnya dapat memanfaatkan
sumber daya secara lebih optimal, baik melalui penerimaan tabungan ataupun
pemerolehan dana sosial.
Secara garis besar, ada beberapa karakteristik yang membedakan LKM
konvensional dengan LKM Syariah (Ahmed dalam Abdulkader, 2013). Berikut
ini tabel yang menjelaskan perbedaan antara LKM Syariah dan konvensional
berdasarkan karakteristik masing-masing.
Hal LKM Konvensional LKM Syariah
Sumber pendanaan Dana eksternal, tabungan Dana ekternal, tabungan
nasabah
nasabah, sumber
pendanaan sosial (charity)
Islam (Zakat, Wakaf)

8
Model/instrumen Berbasis bunga Instrumen kuangan Islam
pembiayaan

Pentransferan dana Diberikan cash Goods transferred


Pemotongan pada Sebagian dana dipotong di Tidak ada pemotongan di
awal kontrak awal awal

Kelompok target Wanita Keluarga


Insentif kerja Moneter Moneter dan religius
karyawan
Perlakuan terhadap Tekanan dan ancaman Group center, jaminan
kredit macet kelompok/pusat dari pasangan, dan etika
Islam
Program Sekuler, perilaku, etika, Religius (termasuk
Pengembangan Sosial pengembangan sosial perilaku, etika, dan sosial)
Tabel 2. Perbandingan antara LKM Syariah dan Konvensional
Sumber : Ahmed (2002) dalam Abdelkader (2013)

4. Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Indonesia


Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Indonesia diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori berdasarkan karakteristiknya masing-masing, seperti jumlah
modal dan kredit, sumber pendanaan, badan hukum, izin usaha, dan nasabahnya.
Berikut ini tiga kategori Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.

4.1 BMT (Baitul Maal Wattamwil)


Secara etimologi diambil dari kosa kata al-Maal dan at-Tamwil. Al-Maal
bermakna harta kekayaan, sedangkan at-Tamwil berarti pertumbuhan harta itu
sendiri yang sama-sama berasal dari asal kata maal.2 Pengertian lain bahwa baitul

2 Dr. H. Hamdan, SH., MH, “Baitulmal wattamwil dan BPR”, Makalah yang disampaikan pada
Dilkat
III Program PPC Terpadu Angkatan VI Peradilan Agama Seluruh Indonesia di Pusdiklat
Balitbang Diklat Kumdil MA-RI Megamendung – Bogor tanggal 31 Agustus 2012.

9
mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti "rumah", dan al-mal yang berarti
"harta". Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.
BMT merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan
berlandaskan system syariah yang kegiatannya mengembangkan usaha produktif
dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan (Raharjo, 1999). Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk
memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh pelayann bank Islam
atau BPR Islam (Huda, 2010).
Istilah Baitul Mal sesungguhnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW,
meski saat itu belum terbentuk lembaga yang mandiri dan terpisah. Baitul Maal
baru berdiri sebagai lembaga ekonomi tersendiri pada masa Khalifah ‘Umar bin
Khaththab atas usulan seorang ahli fiqih yang bernama Walid bin Hisyam. Sejak
masa itu dan masa-masa selanjutnya (Dinasti ‘Abbasiyah dan Umawiyah), Baitul
Maal telah menjadi lembaga yang penting bagi negara.3
Dalam operasionalnya, BMT secara sederhana mempunyai dua tugas utama,
yaitu pertama Baitul Maal yang memiliki visi dan misi sosial (non komersial) atau
lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non
profit, seperti zakat, infaq, dan sedekah. Sehingga, tidak boleh mengambil profit
apapun dari operasinya. Sedangkan pembiayaan operasi diambil 12,5% dari total
zakat yang diterima. Kedua, Baitul Tamwil yang memiliki visi dan misi ekonomi
sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Dan juga sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial
Hal yang menarik untuk dicermati adalah fenomena pendirian dan
pengembangan BMT, ternyata tidak hanya terbatas oleh pertimbangan ekonomis.
Namun, karena adanya motivasi untuk mendirikan lembaga keuangan yang
menjalankan nilai-nilai Islam. Selain itu, sebagian BMT memang lahir dan
berkembang dari komunitas keislaman, seperi jamaah masjid, jamaah pengajian,
pesantren, organisasi kemasyarakatan Islam, atau sejenisnya (Rizky, 2007 dalam

3 Apit Farid, SHI, “Eksistensi Lembaga Keuangan Syariah dalam Memberdayakan Ekonomi
Masyarakat Kecil Menengah”.

10
Amalia, 2009). Di Indonesia sendiri pertumbuhan dan perkembangan semakin
bertambah pesat. Salah satu BMT yang sukses dalam mengembangkan usahanya
adalah BMT UG Sidogiri, Jawa Timur, yang pada tahun 2016 ini anggotanya
mencapai 16.010 orang dengan jumlah simpanan anggota mencapai Rp
384.158.780.000.45

4.2 Koperasi Syariah


Menurut Undang Undang No.25 tahun 1992, Koperasi adalah “badan usaha
yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum, koperasi, dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”
Koperasi Syariah biasa disebut Koperasi Simpan Pinjam Syariah (KSPS) atau
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) memiliki dimensi yang berbeda dengan
koperasi konvensional maupun BMT. Menurut Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor
91/Kep/IV/KUKM/IX/2004, KJKS adalah “koperasi yang kegiatan usahanya
bergerak d bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil
(syariah).”
Pada dasarnya KJKS dan BMT sama saja karena juga memiliki payung hukum
yang sama, namun tetap terdapat perbedaan antara Koperasi Syariah dan BMT.
BMT berfungsi sebagai dua lembaga yaitu Baitul Maal (Lembaga Zakat) dan
Baitul Tamwil (Lembaga Keuangan), maka KJKS yang juga menjalankan dua
fungsi lembaga tersebut disebut BMT. Namun, KJKS hanya menjalankan fungsi
sebagai lembaga keuangan tanpa berperan sebagai lembaga zakat, maka disebut
KJKS atau Koperasi Syariah saja.6
Meskipun KJKS tidak menjalankan fungsi sebagai lembaga zakat, namun
KJKS dan anggotanya tetap memiliki kewajiban untuk membayar zakat saat
4 Mokh. Syaiful Bakhri, “Anggota BMT UGT Capai 16.010”, http://bmtugtsidogiri.co.id/berita-
5 .html diakses 12 April 2016 pk. 07:41
6 “Koperasi Simpan Pinjam Syariah”, http://www.koperasi.net/2015/09/koperasi-simpan-
pinjamsyariah.html diakses pada 12 April 2016, pk 10.45

11
memperoleh pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU). Hal ini berdasarkan Pasal 20
ayat 2 dalam Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor 91/Kep/IV/KUKM/IX/2004, yaitu
“pembagian dan penggunaan SHU dilakukan dengan memasukkan komponen
kewajiban (potongan) zakat atas Badan Usaha Koperasi dan zakat atas
perseorangan sebelum dibagikan kepada anggota yang bersangkutan.” Dalam
pasal tersebut zakat dikeluarkan atas nama badan hukum (institusi) dalam hal ini
koperasi dan zakat atas perseorangan dalam hal ini adalah anggota koperasi yang
menerima SHU. Inilah ciri utama ekonomi syariah yang dalam institusi
konvensional persoalan zakat tidak diatur secara eksplisit (Amalia, 2009).

4.3 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah)

Dari jenis Bank Konvensional, terdapat bank umum dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). BPR sendiri dapat dipahami sebagai Bank Konvensional yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 7

Sedangkan, Dalam hal ini, secara teknis BPRS bisa diartikan sebagai lembaga
keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasionalnya mengikuti
prinsipprinsip ekonomi Islam (Sjahdeini, 1999). Sama seperti halnya BPR, BPRS
dilarang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran seperti menerima dana
simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dengan prinsip wadi’ah.
Kegiatan BPRS dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI No.
32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999. Menurut surat keputusan ini, kegiatan
operasional BPRS adalah:

1. Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan meliputi:

a. Tabungan wadiah dan mudharobah

b. Deposito berjangka mudharobah

c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah dan mudharobah

7 Annonimus. Undang-Undang RI tentang Perbankan syariah, 2011, Yogjakarta: Pustaka Mahardika,


Hal. 3.

12
2. Melakukukan penyaluran dana melalui:

a. Transaksi jual beli:


a) Murabahah

b) Istishna

c) Ijarah

d) Salam

e) Jual beli lainnya

b. Pembiayaan bagi hasil berdarkan prinsip:

a) Mudharobah

b) Musyarakah

c) Rhn

d) Qardh

3. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPRS sepanjang disetujui oleh
Dewan Syariah Nasional.
Menurut Sumitro (2002) tujuan operasionalisasi BPRS, meliputi:

1. Meningkatkan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat ekonomi


lemah yang umumnya berada di daerah perdesaan.

2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga arus


urbanisasi.

3. Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka


peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.

5. Peran Lembaga Keuangan Mikro Syariah

Berbagai produk dan jasa yang disediakan oleh lembaga keuangan mikro
syariah berdasarkan prinsip-prinsip Islam diharapkan dapat menjadi suatu cara
untuk membangun ekonomi umat Islam di Indonesia. Berikut ini peran-peran
LKMS dalam membangun ekonomi umat Islam.

13
5.1 Mengurangi kemiskinan
Ini merupakan tujuan utama dari lembaga keuangan mikro, baik konvensional
maupun syariah, yaitu untuk menjadi agen sosial dalam mengurangi kemiskinan.
Namun, pada kenyataannya lembaga keuangan mikro sering disamakan dengan
rentenir karena memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Hal itu justru
akan membuat masalah kemiskinan bertambah bukannya berkurang. Oleh karena
itu, lembaga keuangan mikro yang berlandaskan prinsip syariah merupakan
solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan hadirnya LKMS maka
diharapkan dapat melepaskan ketergantungan rentenir dalam memenuhi dana
dengan segera (Huda, 2013).

5.2 Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata


Dengan terbukanya akses keuangan untuk masyarakat miskin, maka secara
tidak langsung menjadi suatu cara untuk mencapai pemerataan ekonomi, terutama
di pedesaan yang menyumbang jumlah masyarakat miskin terbanyak. LKMS
diyakini dapat menjadi alternatif untuk bisa memberikan keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat miskin. Sehingga, LKMS dapat menjadi
penghubung antara kaum kaya dan kaum miskin atau dhuafa. Namun, tentunya
evaluasi terhadap skala prioritas harus diperhatikan oleh LKMS agar tidak salah
sasaran, seperti kelayakan nasabah dan jenis pembiayaan yang dilakukan.

5.3 Memberdayakan masyarakat


Lembaga keuangan mikro syariah tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk
memberikan akses keuangan yang baik kepada masyarakat miskin, namun yang
terpenting juga melakukan pemberdayaan masyarakat. LKMS harus bersikap aktif
menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan
pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-usaha
nasabah atau anggotanya. Untuk dapat berjalan dengan baik maka keberlanjutan
(sustainability) LKMS harus diperhatikan agar dapat secara konsisten

14
memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan diri dan lembaga
masyarakat lokal.

5.4 Mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)


UMKM memiliki kemampuan produktif dan memberikan kontribusi besar
bagi ekonomi nasional. Hal ini dibuktikan ketika terjadi krisis ekonomi tahun
1998, UMKM berperan dalam pemulihan ekonomi dan juga mengurangi
penganguran. Namun, dibalik kesuksesannya UMKM memiliki kesulitan dalam
memperoleh jasa keuangan dari lembaga keuangan formal, seperti bank (Amalia,
2009). Oleh karena itu, Potensi LKMS dalam mengembangkan UMKM di
Indonesia sangat besar, mengingat 97% usaha kecil adalah usaha mikro yang
belum terjangkau pelayanan perbankan. Kendala permodalan yang dihadapi oleh
UMKM dapat diatasi dengan mengoptimalkan peran LKMS dalam memberikan
akses permodalan sesuai dengan prinsip dan skema ekonomi Islam.

Daftar Referensi

Amalia, Euis. (2009). Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran
LKM dan UKM di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Ben Abdelkader, Ines dan Asma Ben Salem. (2013). Islamic vs Conventional
Microfinance Institutions: Performance analysis in MENA countries.
International Journal of Business and Social Research (IJBSR), Vol. 3, No. 5,
219-233.

Farid, Apit. Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam Memberdayakan


Ekonomi Msyarkat Kecil Menengah.

15
https://docs.google.com/document/export?format=docx&id=1bFXYKHLUxhu5
KFsnCEIp2fNWxok1xfl7S2mjavIOmc&token=AC4w5Vh3cG1jsARrqamzrwH
zZypxyC32zA%3A1460213020547, diakses pada 9 April 2016, pk. 09:46.

Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. (2010). Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan
Teoritis dan Praktik. Jakarta: Prenada Kencana Media Group.

Otoritas Jasa Keuangan. (2015). Roadmap IKNB Syariah 2015-2019. Jakarta:


Otoritas Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan. (2015). Peranan OJK dalam Pembinaan dan Pengawasan
Lembaga Keuangan Mikro. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.

Raharjo, M. Darmawan. (1999). Islam dan Tantangan Transformasi Sosial Ekonomi.


Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafah.

Rahman, Abdul and Rahim, Abdul. (2007). Islamic Microfinance: A missing


component in Islamic Banking. Kyoto Bulletin of Islamic Area Study 1-2: 38-
53.

Siu, Peter. Increasing Access to Microfinance Using Information and


Communications Technologies. Chemonics International.

Sjahdeini, Sutan Remy. (1999). Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sumitro, Warkum. (2002). Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait (BMI
dan Takaful di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

16
Syafii Antonio, Muhammad. (2011). Islamic Microfinance Initiatives to Enhance
Small and Medium Enterprises in Indonesia. Journal of Indonesia Islam, Vol. 5,
No. 2, 313-334.

17

Anda mungkin juga menyukai