Anda di halaman 1dari 9

KOMPETENSI PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA EKONOMI SYARIAH (Sebelum dan Sesudah Putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012)

Daffa Albari Naufal


Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rvlkaffa@gmail.com
daffa.albari14@mhs.uinjkt.ac.id

Abstract
This study aims to determine the validity of the settlement of Islamic
economic disputes through litigation, namely the Religious Court in the
Constitutional Court Decision Number 93 / PUU-X / 2012, the dualism of the
settlement of sharia economic disputes at that time made legal uncertainty in the
settlement of sharia economic disputes. Law Number 3 of 2006 concerning Religious
Courts (which currently has been revised into Law Number 5 of 2009 concerning
Religious Courts) gives full authority to the Religious Courts in the settlement of
sharia economic disputes but in Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking
provides flexibility to the General Courts in resolving disputes which can be carried
out as long as the contract states that the General Courts are the place to resolve
sharia economic disputes.

Keywords : Authority, Dispute Settlement, Religious Courts, Islamic Economy,


Constitutional Court.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semakin luas dan beragamnya pola bisnis berbasis ekonomi syariah, maka
aspek perlindungan dan kepastian hukum dalam penerapan asas perjanjian dalam
akad atau kontrak di setiap lembaga dan transaksi ekonomi syariah menjadi
semakin urgen diupayakan implementasinya. Karena pada tataran pelaksanaan
transaksi bisnis ekonomi syariah tidak menutup kemungkinan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua
belah pihak. Sehingga dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat
dihindari munculnya perilaku saling tuntut menuntut satu sama lain, yang
mengakibatkan kuantitas dan kompleksitas perkara-perkara bisnis akan sangat
tinggi dan beragam.
Konflik yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan berkembang menjadi
sengketa apabila pihak yang mengalami kerugian menyatakan tidak puas hati atau
prihatin, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab kerugian. Secara prinsip dalam hal penegakan hukum
di Indonesia hanyalah dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power) yang
dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif sesuai
dengan pasal 24 UUD 1945. Dengan demikian yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanyalah badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam bidang bisnis menurut Hukum
Islam bisa dilakukan dengan dua cara yaitu secara litigasi di Pengadilan dan
secara Non Litigasi yaitu dengan model mediasi syariah (ash shulhu) ataupun
arbitrase (at tahkim) yaitu melalui jalur Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah
Nasional). Penyelesaian sengketa secara litigasi terjadi sejak dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 memberikan kewenangan
mutlak kepada Peradilan Agama. Hal tersebut berkaitan dengan penyelesaian
sengketa ekonomi syariah secara litigasi di Peradilan Agama. Peradilan Agama
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bertugas menyelenggarakan
penegakaan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu,
antar orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Landasan hukum positif
penerapan hukum Islam diharapkan lebih kokoh dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 ini, karena telah menghapus permasalahan pilihan hukum.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang telah penulis paparkan diatas,
maka penulis akan membahas masalah ini dengan mengangkat judul penelitian
“KOMPETENSI PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI SYARIAH (sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Batasan Masalah
Di sini penulis hanya akan membahas kompetensi dan penyelesaian
sengketa ekonomi syariah dalam Pengadilan Agama sebelum dan sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah?
2) Apa dampak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis ini adalah menjawab seluruh pertanyaan yang penulis uraikan
di dalam rumusan masalah.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah :
a. Bagi akademisi yaitu diajukan pedoman atau refrensi untuk bahan
perkuliahan atau sebagaimana perbandingan penelitian selanjutnya.
b. Secara teoretis, mengetahui perbedaan penyelesaian sengketa sebelum dan
sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
c. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memperluas
khazanah keilmuan khususnya dibidang hukum ekonomi Islam.

KOMPETENSI PERADILAN AGAMA


Kompetensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau
daerah. Kewenangan Pengadilan Agama sesuai tempat dan kedudukannya Pengadilan
Agama berkedudukan di kota atau di ibu kota Kabupaten dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kota atau Kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di
ibu kota Provinsi dan daerah hukunya meliputi wilayah Provinsi.
Kompetensi (wewenang) peradilan agama terdiri atas kompetensi relatif dan
kompetensi absolut. Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materi). Kompetensi relatif peradilan
agama merujuk pada 118 HIR atau Pasal 142 RBg jo. 66 dan Pasal 73 Undang-
Undang No. 50 tahun 2009, yaitu acara yang berlaku pada lingkungan peradilan
agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum.
Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei (bahwa yang
berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat). Namun, ada beberapa
pengecualian, yaitu tercantum dalam Pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yaitu
sebagai berikut:
a. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang dapat diajukan kepada
pengadilan di tempat tinggal Penggugat.
b. Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada
pengadilan di tempat tinggal penggugat.
c. Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada
peradilan di wilayah hukum di mana barang itu terletak
d. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan seuatu akta, maka gugatan dapat
diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, bahwa
pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan,
b. Waris,
c. Wasiat,
d. Hibah,
e. Wakaf,
f. Zakat,
g. Infak,
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi syariah
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ditentukan, bahwa
pengadilan agama berwenang untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau
keperdataan lain uang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49
apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini
menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa
karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat
oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama.
Sebaliknya, apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan
lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama ditunda
untuk menunggu ke pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penangguhan
dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke
pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap
objek sengketa yang sama di pengadilan agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari
satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya,
peradilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa
yang tidak terkait dimaksud.
Pengadilan agama juga mempunyai kewenangan memberikan keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat serta
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal bulan setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal
tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara rasional
untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.

PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH


KONTISTUSI NOMOR 93/PUU-X/2012
Berdasarkan uraian jalannya persidangan dan putusan Majelis Mahkamah
Konstitusi tersebut, analisis hukum yang dapat diberikan sebagai berikut:
“Bahwa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama pada tahun 2006
mendapatkan tambahan kewenangan, yakni dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasca Undang-Undang
dimaksud efektif pengadilan agama tidak hanya berwenang dalam menerima,
memeriksa, memutus, mengadili dan menyelesaikan sengketa di bidang
perkawinan dan kewarisan, melainkan juga di bidang ekonomi syariah. Dalam
bagian penjelasan Pasal 49 huruf I disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“ekonomi syariah” adalah prbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga
keuangan mikro syari’ah; c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksa
dana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah
syari;ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j.
dana pension lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah”.
Berdasarkan pada Pasal 49 ayat (i) tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut dalam perkara bidang ekonomi
syariah, antara lain yakni sengketa di bidang perbankan syariah. Kompetensi absolut
berarti berbicara mengenai kewenangan lingkungan peradilan tertentu terhadap suatu
jenis sengketa.
Kompetensi sebagaimana dimaksud menurut “sebagian besar” ahli menjadi
tidak lagi absolut, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. Permasalahannya Pasal 55 Undang-Undang
dimaksud memberikan pengaturan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
ditegaskan bahwa:
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad;
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2)
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengeketa dilakukan
sesuai dengan isi akad” adalah upaya melalui: a. musyawarah; b. mediasi
perbankan; c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau lembaha
arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi, antara lain: pertama, merujuk
sengketa yang dialamai oleh pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengekta
ekonomi syariah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha
syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apabila kepastian dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang
kompeten menangani sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian
hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 juga tidak
akan pernah terwujud; kedua, hak nasabah dan juga unit usaha syariah untuk
mendapatkan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI 1945. Mahkamah menilai ketentua Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang a quo tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan hilangnya hak
konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
konstitusi.

IMPLIKASI HUKUM DARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


NOMOR 93/PUU-X/2012
Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang
menjelaskan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No.21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekutan hukum mengikat, maka para pihak baik bank syariah dan
nasabah tidak lagi harus mengikuti penjelasan pasal 55 ayat (2) dalam memilih
penyelesaian sengketa secara non-litigasi, walaupun demikian musyawarah masih
tetap menjadi pilihan alternatif utama penyelesaian sengketa perbankan syariah
sebelum membawa sengketa ke tingkat selanjutnya.
Musyawarah menjadi opsi awal bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah
dikarenakan musyawarah merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan
yang sama maupun yang berbeda. Musyawarah merupakan sarana bagi pihak-pihak
yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiaan tanpa keterlibatan pihak ketiga
sebagai penengah baik yang tidak berwenang mengambil keputusan.
Selain musyawarah, selanjutnya ada forum penyelesiaan alternatif secara
mediasi perbankan. Dasar hukum mediasi perbankan adalah PB No.10/1/2008 tanggal
30 Januari 2008 tentang perubahan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan.
Dalam melaksanakan fungsi mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak memberikan
keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan bank.
Dalam hal ini, pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi
perbankan independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan. Proses mediasi dapat
dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili nasabah.
Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk
sementara waktu sampai saat pembentukan lembaga mediasi perbankan independen
oleh asosiasi perbankan.
Begitu mengenai eksistentsi Basyarnas sebagai salah satu forum penyelesaian
sengketa perbankan syariah secara alternatif, putusan Mahkamah Konstitusi No.
93/PUU-X/2012 tidak ada menyinggung atau mengecilkan, kewenangan Basyarnas,
namun hanya kembali mempertegas jika para pihak sepakat ingin membawa sengketa
ekonomi syariah ke forum penyelesaian Basyarnas maka harus jelas
mencantumkannya pada akad pembiayaan syariah yang dibuat dihapadan notaris.
Namun kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
(Pengadilan Negeri) telah secara tegas diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui
putusan Mahmakah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum wajib menolak untuk menangani
perkara ekonomi syariah, karena bertetnangan dengan Pasal 25 Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara kompetensi Pengadilan
Negeri sama sekali tidak berwenang memeriksa bahkan mengadili sengketa ekonomi
syariah.
Terbitnya putusan Mahmakah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 memunculkan
norma baru dan juga jaminan kepastian hukum sebagaimana yang diamanahkan oleh
Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 terutama dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi
syariah itu sendiri, pilihan forum penyelesaian sengketa yang dibuk oleh penjelasan
Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
dalam beberapa kasus telah nyata menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat
merugikan bukan hanya nasabah tetpai juga pihak bank yang akhirnya akan
menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili karena ada dua
peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan
syariah sedangkan dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
secara tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan sengekta perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah,
padahal hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan bank
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagaimana amanah Pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945.
Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 bersifat final and biding, maka sudah seharusnya pihak-
pihak terkait menaati putusan dimaksud. Artinya dalam hal terdapat klausul yang
menunjuk pengadilan di lingkungan Peradilan Umum di suatu wilayah, apabila
sengketa benar-benar terjadi dan diajukan kepadanya, maka Majelis Hakim
Pengadilan Negeri wajib menyatakan tidak berwenang sehingga dictum putusannya
adalah tidak menerima gugatan dari penggugat. Apabila dalam praktinya nanti,
Majelis Hakim pengadilan di lingkungan Peradilan Umum menerima sengketa yang
menunjuknya sebagai forum penyelesaian sengketa, maka pihak yang merasa
dirugikan dapat menjadikannya sebagai alasan melakukan upaya hukum, khususnya
berupa kasasi. Hal ini sangat dimungkinkan karena dengan menerima sengketa atas
dasar penunjukkan forum, maka judex factie (Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Tinggi) telah salah dalam menerapkan hukum.

PENUTUP
Pertimbangan hukum Hakim Konstitusi sehingga putusannya bersifat ultra
petita sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
lebih mendasarkan pada keterangan ahli dari Mahkamah Konstitusi yang intinya
menegaskan bahwa hanya bagian Penjelasan Pasal 55 ayat (2) saja yang berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingungan hukum, sementara Pasal 55
secara keseluruhan tetap sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itu, Majelis Hakim
memutuskan untuk membatalkan bagian Penjelasan dimaksud walaupun tidak
dimintakan pembatalannya oleh Pemohon.
Implikasi yuridis dan peluang implementasi dari putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atas sengketa bisnis dan lembaga keuangan Syariah,
yaitu Majelis Hakim Pengadilan Negeri wajib menyatakan tidak berwenang atas
sengketa yang terjadi dalam kasus yang berhubungan dengan perbankan syariah. Hal
ini dipertegas dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and
binding, serta mengikat semuar warga Negara (erga omnes). Sehingga dapat
memberikan kepastian hukum terkait dengan lingkungan peradilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi serta memberikan kekuatan hukum
kepada BASYARNAS dalam penyelesaian sengketa jalur non-litigasi.

Daftar Pustaka
Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum
Nasional. Jakarta: Kencana Preneda Media Group. 2009.
Afdol. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
2006.
Ah. Azharudin Latif dan Nahrowi. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum
Positif & Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009.
Arifin, Muhammad. Arbitrase Syariah Sebagai Pilihan Forum Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2016.
Asyhadie, Zaeni dan Sudiarto. Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
1996.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Aditya Bakti.
2000.
Djamil, Faturrahman. Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam. Jakarta: Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia Bekerja Sama dengan Bank Muamalat
Indonesia. 1994.
Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Mandar Maju. 1989.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung: PT
CitraAditya Bakti. 2002.
Pertaatmadja, Karmaen, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Jakarta: Usaha
Kami. 1999.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Andi Tenri Soraya dkk. Basyarnas Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis Syariah. Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Desember 2014.
Fauzi, Yuslam. Seminar Nasional Ekonomi Syariah. Jakarta: ABFII perbanas, 20
Februari 2013.
Sofiani, Triana. Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Jurnal Jurusan
Syariah dan Ekonomi. 2 Desember 2015.
Sufriadi. Memberdayakan Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
dalamPenyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Luar Pengadilan. Jurnal
Ekonomi Islam La_Riba. 2 Desember 2007.
Rahmi, Diani. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili
Sengketa Ekonomi Syariah. Jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN
Antasari. Tanpa Tahun.

Anda mungkin juga menyukai