Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSEP DASAR AKAD


Diajukan untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Fikih Muamalah Jinayah

Dosen Pengampu:
Ahmad Nasrullah, M.Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 3
Wanda Nurul Faidah 1212020271
Winada Mutiara 1212020273
Yuni Rahmawati 1212020275

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai Konsep Dasar Akad
sebaik mungkin. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Nasrullah, M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Fiqih Muamalah.

Dalam makalah ini tentunya kami menyadari masih ada kekurangan, baik dalam isi materi
pembahasan maupun dalam teknik penulisan. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kekurangan, karena sejatinya kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman
bagi pembaca dalam memahami Konsep Dasar Akad. Oleh karena itu masukan berupa saran, kritik
maupun pendapat yang sehat dan membangun sangatlah kami harapkan.

Bandung, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1

C. Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

A. Konsep Dasar Akad ............................................................................................................. 3

B. Rukun Dan Syarat Akad ...................................................................................................... 5

C. Para Pihak Dalam Akad ..................................................................................................... 10

D. Pernyataan Kehendak Dalam Akad ................................................................................... 10

E. Tujuan Akad....................................................................................................................... 11

F. Batal dan Sah nya............................................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 13

B. Saran .................................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan
oranglain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia
sangatberagam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk
memenuhinya,dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia
denganmanusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang
menjelaskanhak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat
kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses
untuk berakad atau melakukan kontrak.
Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia
merupakan kebutuhan sosial sejakmanusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai
agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad
untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Dalam pembahasan fiqih, akad atau
kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik
dan spesifikasi kebutuhan yang ada.Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian
atau macam-macam akadsecara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang
nantinya akandijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus .
Makadari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menguraikan
mengenaiberbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam
kehidupan kita sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar akad?
2. Apa saja rukun dan syarat akad?
3. Apa saja para pihak dalam akad?
4. Bagaimana pernyataan kehendak dalam akad?
5. Bagaimana tujuan akad?
6. Bagaimana batal dan sah nya suatu akad?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar akad
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat akad
3. Untuk mengetahui para pihak dalam akad
4. Untuk mengetahui pernyataan kehendak dalam akad
5. Untuk mengetahui tujuan akad
6. Untuk mengetahui batal dan sah nya suatu akad

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Akad

Menurut bahasa Aqad mempunyai beberapa arti, antara lain:

1. Mengikat, yaitu:

‫لا فيصبحا كقطعة واحدة‬


ً ‫جمع طرفي حبلين ويشد أحدهما باألخر حتى يتصـ‬

“Mengumpulkanً duaً ujungً taliً danً mengikatً salahً satunyaً denganً yangً lainً sehinggaً
bersambung,ًkemudianًkeduanyaًmenjadiًsebagaiًsepotongًbenda.”

2. Sambungan, yaitu:

3. ً‫الموصل الذي يمسكهما ويوثقهما‬

“Sambunganًyangًmemegangًkeduaًujungًituًdanًmengikatnya.”

Janji (Al ahdu) sebagaimana dijelaskan dalam Alquran:

‫بلى من أوفى بعـــده واتّقى فـإن هللا يجـب المتقيـن‬

“Ya, siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesung guhnya Allah mengasihi
orang-orang yang taqwa” (OS Ali Imran: 76).

1:‫ياأيها الذين امنوا أوفوا بالعقود (المائدة‬

“Hai orang orang yang beriman tepatilah janji-janjimu” (QS AlMaidah: 1).

Istilah 'ahdu dalam Alquran mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan
sesuatu atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut-pautnya dengan orang
lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju
maupun tidak, tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut, seperti yang
dijelaskan dalam surat Ali Imran: 76 bahwa janji tetap mengikat orang yang membuatnya.

3
Perkataanً ‘aqduً mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang
mengadakan janji ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu
janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji
(‘ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut
perikatanًkatًsalahًsatunً(‘agad).

Dariًuraianًdiًatasًdapatًdipahamiًbahwaًsetiapً‘aqdiً(persetujuan)ًmencakupًtigaًtahap,ً
yaitu:

a. Perjanjian (‘ahdu),
b. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih, dan
c. Perikatan (‘aqdu).

Secara bahasa akad diambil dari kata ‘aqada(‫)عقذ‬yang berarti (ّ‫)شذ‬yaitu mengencangkan
(ikatan). Akad juga dapat berarti jaminan dan janji. Arti ini dapat diaplikasi dalam obyek yang
bersifat materil seperti menghubungkan ikatan tali dan juga obyek yang bersifat abstrak seperti
hubungan perkawinan. Akad juga dapat terjadi hanya dari satu pihak seperti akad cerai atau
dari beberapa pihak seperti akad jual beli.

Arti bahasa dari kata akad ini memiliki korelasi yang kuat dengan arti akad secara istilah.
Secara istilah, akad memiliki dua pengertian, pengertian luas dan pengertian khusus atau
sempit. Menurut pengertian akad secara umum, akad adalah setiap yang ingin diperbuat oleh
seseorang, baik keinginan ini muncul dari satu pihak seperti wakaf, talak, sumpah atau
keinginan yang muncul dari berbagai pihak seperti jual beli, penanaman saham dan lain
sebagainya. Pengertian ini sejalan dengan apa yang disebut dengan iltijam (keterikatan)
sehingga akad dalam arti luas mengatur segala keterikatan pihak-pihak yang ada di dalamnya.
Secara khusus, akad berarti ikatan atau jalinan ijab dan qabul sesuai dengan apa yang
disyariatkan yang berimplikasi tetap terhadap obyek akad.

Dengan ungkapan lain, akad merupakan keterkaitan ucapan (pernyataan) dari satu pihak
kepada pihak yang lain yang menimbulkan efek tertentu terhadap obyek akad. Pengertian ini
adalahًpengertianًyangًlebihًdikenalًolehًparaًfuqaha.ًKetikaًpenjualًmengatakan:ً“Sayaًjualً
bukuًini”!ًmakaًiniًdinamakanًdenganًijab.ًSedangkanًketikaًpembeliً mengakatan:ً “Sayaً
beliًbukuًini‟!ًmakaًperkataanًiniًdisebutًdenganًqabul.ًKetikaًijabًdanًqabulًbertemuًdanً

4
diucapkan oleh orang yang dibenarkan secara syariat untuk melakukan akad maka ini
berimplikasi terhadap obyek akad yaitu buku dan harga. Implikasi di sini adalah pindahnya
kepemilikan barang dari penjual kepada si pembeli disertai kewajiban pembayaran dari
pembeli. Esensi dari ijab dan qabul adalah adanya indikasi kerelaan dari pihak-pihak yang
berakad. Akad yang dilaksanakan harus sesuai dengan aturan syariat. Akad yang bertentangan
dengan syariat seperti kesepakatan membunuh seseorang, merusak hasil kebun, mencuri harta
dan lain sebagainya merupakan akad tidak sah dalam pandangan hukum islam. Akad juga
harus memberikan dampak tertentu terhadap obyek akad. Sesuatu yang tidak berdampak
terhadap obyek akad seperti membeli barang milik sendiri, atau menceraikan wanita yang
bukan istrinya tidak dapat dikatakan sebagai akad. (Hidayat : 2020).

Dasar hukum tentamg akad dijelaskan dalam Al-Quran sebagaimana Allah SWT berfirman
dalam QS. Al-Maidah (5:1) QS. Al-Isra (17:34).

Suatu akad dalam Islam dibagi menjadi beberapa macam, yaitu dari segi keabsahannya
menurut syariat dan dari segi penamaannya. Dari segi keabsahannya menurut syariat, dibagi
menjadi dua:

1. Akad shahih, yaitu yang telah memenuhi rukun dan syaratnya.


2. Akad yang tidak shahih, yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya.

Adapun dari segi penamaannya, dibagi menjadi dua:

1. Akad-akad yang namanya telah ditentukan sesuai syariat dan telah dijelaskan hukum-
hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikatan, hibah, al-wakalah, wakaf,
hiwalah,ًji’alah,ًwasiat,ًdanًperkawinan.ً
2. Akad-akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat, sesuai dengan kebutuhan
sepanjang zaman dan tempat, seperti istisna dan bai al-wafa’ (Yunus,Shofia : 2018).
B. Rukun Dan Syarat Akad

Dalam ajaran Islam suatu akad akan menjadi sah apabila terpenuhi syarat dan rukun akad
itu sendiri. Rukun dalam bahasa Arab berarti bagian yang kukuh yang memungkinkan
tegaknya sesuatu. Menurut fuqaha rukun berarti apa yang merupakan unsur asasi wujudnya
sesuatu dan menjadi esensinya. Sedangkan Syamsul Anwar berpendapat bahwa rukun adalah
unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-

5
unsur tersebut yang membentuknya. Dengan demikian, rukun merupakan sesuatu yang harus
ada dalam suatu akad karena rukun merupakan sesuatu yang menjadikan sah secara hukum
dalam Islam. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan kabul. Menurut
ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat, yaitu :

a. Para pihak yang membuat akad (al-aqidain)


b. Pernyataan khendak para pihak (shigat aqad)
c. Objek akad (mahallul aqad )
d. Tujuan akad (maudhu aqad).

Hendi Suhendi mengatakan bahwa rukun akad adalah:

a. Aqidain ialah orang yang berakad


a. Ma’qudًalaihًialah benda-benda yang diakadkan
b. Maudhu al-aqd tujuan atau maksud pokok mengadakan akad
c. Shigat al-aqd ijab dan kabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad,
sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari yang berakad pula yang diucapkan
setelah adanya ijab. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shigat al-aqd ialah :
1. Shigat al-aqd harus jelas pengertiannya, kata-kata dalam ijab dan kabul harus jelas dan
tidak memiliki banyak pengertiannya;
2. Harus bersesuaian antara ijab dan kabul, tidak boleh antara yang berijab dan yang
menerima berbeda Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau karena ditakut takuti oleh
orang lain karena dalam tijarah harus saling ridha.

Sedangkan Syarat secara bahasa berarti tanda yang dapat membedakan dari yang lain.
Dalam konteks kontrak, para fuqaha mengartikan syarat dengan semua hal yang mengikuti
yang lain baik ada maupun tidak diluar isi pokonya. Dengan demikian, syarat merupakan
sesuatu yang harus ada sebelum dan ketika kontrak berlangsung. Posisi syarat berada diluar
esensi kontrak itu karena yang menjadi esensi kontrak adalah rukun. Syamsul Anwar
menyebutkan bahwa syarat dalam akad adalah sebagai berikut :

1) Syarat terbentuknya akad (Syuruth al-In’iqad)ً

6
Masing-masing yang membentuk akad memerlukan syarat-syarat agar rukun itu dapat
berfungsi membentuk akad, tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat
membentuk akad. Dalam hukum Islam, syarat-syarat dimaksud dinamakan syarat-syarat
terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad). Rukun pertama yaitu para pihak harus memenuhi
dua syarat terbentuknya akad yaitu :
a. Tamyiz;
b. Terbilang Pihak

Rukun yang kedua yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat yaitu:

a. Adanya persesuaian ijab dan kabul dengan kata lain tercapainya kata sepakat;

b. Kesatuan majlis akad.

Rukun ketiga yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat yaitu :

a. Objek itu dapat diserahkan;

b. Objek akad tertentu atau dapat ditentukan;

c. Objek akad dapat ditransaksikan, artinya berupa benda bernilai dan dimiliki/
mutaqawwim dan mamluk.

Adiwarman A. Karim menyebutkan syarat pada objek akad adalah sebagai berikut:

a.ًBarangًyangًmasyru’ً(legal);ً

b. Objek akad bisa diserahterimakan waktu akad;

c. Objek akad jelas diketahui oleh para pihak akad;

d. Objek akad harus ada pada waktu akad.

Rukun keempat yaitu tujuan akad dengan satu syaratnya yaitu :

a. Tujuan akad tidak bertentangan dengan syarak

2) Syarat-syarat keabsahan akad (Syuruth ash-Shihhah)

Rukun dan syarat–syarat terbentuknya akad yang disebutkan di atas memerlukan kualitas
tambahan sebagai unsur penyempurna. Perlu ditegaskan bahwa dengan memenuhi syarat

7
terbentuknya,ًsuatuًakadًmemangًsudahًterbentukًdanًmempunyaiًwujudًyuridisًsyar’i,ً
namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat
terbentuknya akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurna yang menjadikan suatu
akad sah. Unsur-unsur penyempurna ini disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan
akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu syarat-syarat keabsahan umum yang berlaku
terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap kebanyakan akad, syarat-syarat
keabsahan khusus yang berlaku bagi masing-masing aneka akad khusus.

Rukun pertama yaitu para pihak dengan dua syarat terbentuknya, yaitu tamyiz dan
berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua yaitu, pernyataan
kehendak, dengan kedua syaratnya juga tidak memerlukan sifat penyempurna. Namun
menurut jumhur ahli hukum Islam syarat kedua dari rukun kedua ini memerlukan
penyempurna yaitu persetujuan ijab dan kabul itu harus secara bebas tanpa adanya paksaan.
Bilamana terjadi dengan paksaan, maka akadnya fasid. Akan tetapi, ahli hukum Hanafi
Zufar (w. 158/775), berpendapat bahwa bebas dari paksaan bukan syarat keabsahan,
melainkan adalah syarat berlakunya akibat hukum (syart an-nafadz). Artinya, menurut Zufar
akad yang dibuat dengan paksaan adalah sah, hanya saja akibat hukumnya belum dapat
dilaksanakan (masih tergantung, maukuf), menunggu ratifikasi dari pihak yang dipaksa
apabila paksaan tersebut telah berlaku.

Rukun akad yang ketiga yaitu objek akad, dengan ketiga syaratnya memerlukan sifat-
sifatً sebagaiً unsurً penyempurna.ً Syaratً “dapatً diserahkan”ً memerlukanً unsurً
penyempurna, yaitu bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (dharar) dan
apabila menimbulkan kerugian, makaً akadnyaً fasid.ً Syaratً “objekً harusً tertentu”ً
memerukan kualifikasi penyempurna, yaitu tidak boleh mengandung gharar, dan apabila
mengandungً unsurً ghararً akadnyaً menjadiً fasid.ً Begituً pulaً syaratً “objekً harusً dapat
ditransaksikan”ًmemerlukanًunsurًpenyempurna, yaitu harus bebas dari syarat fasid dan
bagi akad atas beban harus bebas dari riba. Dengan demikian, secara keseluruhan ada empat
sebab yang menjadikan fasid suatu akad meskipun telah memenuhi rukun dan syarat
terbentuknya, yaitu:

a. Penyerahan yang menimbulkan kerugian;


b. Gharar;

8
c. Syarat-syarat fasid
d. Riba

Bebas dari keempat faktor ini merupakan syarat keabsahan akad. Akad yang telah
memenuhi rukunnya, syarat terbentuknya, dan syarat keabsahannya dinyatakan sebagai
akad sah.

3) Syarat berlakunya akibat hukum (Syuruth an-Nafadz)

Apabila telah memenuhi rukun-rukunya, syarat-syarat terbentuknya, dan syarat-syarat


keabsahanya, maka suatu akad dinyatakan sah. Akan tetapi, meskipun sudah sah, ada
kemungkinan bahwa akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Akad
yang belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah, disebut akad
maukuf (terhenti atau tergantung). Untuk dapat dilaksanakan akibat hukumnya, akad yang
sudah sah itu harus memenuhi dua syarat akibat hukum yaitu :

a. Adanya kewenangan sempurna atas objek akad;

b. Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan.

Kewenangan sempurna atas objek akad terpenuhi dengan para pihak mempunyai
kepemilikan atas objek bersangkutan, atau mendapat kuasa dari pemilik, dan pada objek
tersebut tidak tersangkut hak orang lain seperti objek yang sedang digadaikan atau di
sewakan. Kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi dengan para pihak telah mencapai
tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan bagi tindakan hukum yang
dilakukannya.

4) Syarat mengikatnya akad (Syartul-Luzum)

Pada asasnya, akad yang sah telah memenuhi rukunnya, serta syarat terbentuknya, syarat
keabsahannya, dan syarat berlakunya akibat hukum yang karena itu akad tersebut sah dan
dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah mengikat para pihak dan tidak boleh dari salah
satu pihak menarik kembali persetujuanya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain.
(Romli : 2022).

Ulama fikih telah menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad
yaitu:

9
a. Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap untuk bertidak hukum/mukallaf, atau
apabila obyek akad merupakan kepunyaan orang yang tidak atau belum cakap bertindak
hukum, maka yang berhak bertindak adalah walinya.
b. Objek akad tersebut diakui oleh syariat. Benda yang menjadi objek adalah bukan barang
najis, akan tetapi bermanfaat, bisa diserah terimakan, kepunyaan orang yang menjualnya
atau orang yang menjualnya dikuasakan untuk menjualnya.
c. Akad tersebut tidak dilarang oleh nas syariat.
d. Akad yang dilakukan memenui syarat-syarat khusus.
e. Akad itu bermanfaat.
f. Ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya kabul.
g. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan
suatu transaksi.
h. Tujuan akad jelas dan diakui oleh syariat.
C. Para Pihak Dalam Akad

Al-Aqid adalah al-ismulً fa’ilً (isimً Fa’il)ً dariً aqodaً danً artinyaً adalahً orangً yangً
melaksanakan aqad ( ‫)عاقد فھو عقد‬. Keberadaan Al-Aqid sangat penting dalam sebuah akad.
Akad tidak akan terjadi dan memiliki kekuatan hukum bila tidak ada al-Akid, sama seperti
tidak akan terjadi akad bila tidak ada shighoh ijab-qobul. Al-Akid secara umum disyaratkan
harus ahli (cakap) dan mempunyai kemampuan untuk melakukan akad. .(Arifin : 2016)

D. Pernyataan Kehendak Dalam Akad

Shighoh ( ‫ الصیغھ‬,(yaitu shighoh ijab dan qobul ( ‫ ) والقبول االیجاب‬adalah ucapan/lafadz yang
diucapkan oleh pihak berakad bahwa ia telah melepas/menjual barangnya dan ridlo
menyerahkanًkepadaًpihakًyangًmenerimanyaًyangًdalemikianًijabًnamanya,ًmisal;ً“sayaً
telah menjual barang ini kepadamu”ً atauً “sayaً serahkanً barangً iniً untukmu”.ً Danً qobulً
adalah ucapan orang yang menerima barang dengan ridlo menggantikannya dengan senilai
barangً yangً diikatً janjikanً bersama,ً misal;ً “sayaً beliً barangmu”ً atauً “sayaً terimaً
barangmu”.

Shighoh aqad (ijab-kabul) dapat diungkapkan melalui;

10
a. Ucapan akad. Dalam hal ini lafadz aqad cukup dengan diucapkan oleh kedua pihak, dan
akad dengan ucapan sangat mudah sifatnya dan banyak dilakukan karena sangat umum dan
mudah, asal kedua belah pihak saling memahami dan mengerti bahasa yang diucapkannya
dengan tetap menunjukkan kerelaannya masing-masing.
b. Perbuatan akad, yakni akad tidak lagi diucapkan tetapi digantikan dengan sebuah perbuatan
yang mempunyai arti bahwa mereka saling meridloinya, dimana penjual menyerahkan
barangnya dan si pembeli menerima barang dengan memberikan uangnya.
c. Isyarat. Dikandung maksud bahwa akad tidak diujudkan dalam bentuk ucapan atau
perbuatan sebagaimana diatas, tetapi digantikan dengan isyarat. Hal ini berlaku bagi orang
yang tidak mampu berbicara (sejak lahir), sedang bagi yang mampu berbicara tidak
dibenarkan merealisir akad dengan isyarat, melainkan harus dengan lisan atau tulisan,
begitu juga bagi orang tidak mampu berbicara dianjurkan untuk menggunakan tulisan
lebih-lebih bila tulisannya baik dan mudah dibaca.
d. Tulisan. Akad dengan tulisah sah dan boleh hukumnya baik bagi yang mampu dan atau
yang tidak mampu bicara, asal tulisannya baik, jelas dan dapat/mudah dibaca untuk
dipahami bersama.(Arifin : 2016)
E. Tujuan Akad

Maudhu al-aqd (tujuan akad) adalah harus merupakan tujuan yang sesuai dengan hukum
Islamً(syari’at)ًdanًtidakًmelanggarًsyara’.ًMaksudnyaًadalahًbahwaًtujuanًakadًpadaًsemuaً
transaksi syariah adalah sesuai dan tidak melanggar atau melawan syariah, misalnya dalam akad
jual beli yang mempunyai tujuan saling memberi manfaat (a gain), si penjual dapat
memanfaatkan uang hasil penjualannya dan si pembeli dapat mengambil manfaat atas barang
yang dibelinya. Atau dalam akad Ijaroh, dimana masing-masing pihak saling mendapatkan
keuntungan, dan berbagai macam akad lainnya.

Berbedaً denganً obyekً akadً yangً dilarangً syara’,ً sepertiً akadً jualً beliً ribaً atauً yangً
mengantarkan riba, makanan dan minuman keras atau menjual senjata untuk memusuhi orang
Islam. (Arifin : 2016)

Menurut tujuannya, akad dibagi menjadi:

a. AkadًTabarru’ً:ًAkadًtabarru’ًadalahًsegalaًmacamًperjanjianًyangًmenyangkutًtransaksiً
yangًtidakًmengejarًkeuntunganً(nonًprofitًtransaction).ًAkadًtabarru’ًdilakukan dengan

11
tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat
kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya.
Imbalanًdariًakadًtabarru’ًadalahًdariًAllah,ًbukanًdariًmanusia.ًNamunًdemikian, pihak
yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar
menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba
dariًtabarru’ًtersebut.ً
b. Akad Tijarah: Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi
yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari
keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas 25 kaidah bisnis bahwa
bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan. (Suhendi, 2003)

Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan:

a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.


b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) Seperti syirkah dan
mudharabah.
c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti Rahn dan kafalah.
d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
e. Bertujuanًmengadakanًpemeliharaan,ًsepertiًida’ًatauًtitipan. (Pasaribu, 2004)
F. Batal dan Sah nya

Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua :

a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik syarat yang khusus
maupun syarat yang umum.
b. Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah satu syarat
syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa wali. (Ghufron A,
2002)

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Secara bahasa akad diambil dari kata ‘aqada(‫)عقذ‬yang berarti (ّ‫)شذ‬yaitu mengencangkan
(ikatan). Akad juga dapat berarti jaminan dan janji. Arti ini dapat diaplikasi dalam obyek yang
bersifat materil seperti menghubungkan ikatan tali dan juga obyek yang bersifat abstrak seperti
hubungan perkawinan. Akad juga dapat terjadi hanya dari satu pihak seperti akad cerai atau
dari beberapa pihak seperti akad jual beli.

Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat,
yaitu Para pihak yang membuat akad (al-aqidain), Pernyataan khendak para pihak (shigat
aqad), Objek akad (mahallul aqad ) dan Tujuan akad (maudhu aqad).

Shighoh ( ‫ الصیغھ‬,(yaitu shighoh ijab dan qobul ( ‫ ) والقبول االیجاب‬adalah ucapan/lafadz yang
diucapkan oleh pihak berakad bahwa ia telah melepas/menjual barangnya dan ridlo
menyerahkanًkepadaًpihakًyangًmenerimanyaًyangًdalemikianًijabًnamanya,ًmisal;ً“sayaً
telah menjual barang ini kepadamu”ً atauً “sayaً serahkanً barangً iniً untukmu”.ً Danً qobulً
adalah ucapan orang yang menerima barang dengan ridlo menggantikannya dengan senilai
barangً yangً diikatً janjikanً bersama,ً misal;ً “sayaً beliً barangmu”ً atauً “sayaً terimaً
barangmu”.

Tujuan akad pada semua transaksi syariah adalah sesuai dan tidak melanggar atau melawan
syariah, misalnya dalam akad jual beli yang mempunyai tujuan saling memberi manfaat (a
gain), si penjual dapat memanfaatkan uang hasil penjualannya dan si pembeli dapat mengambil
manfaat atas barang yang dibelinya. Atau dalam akad Ijaroh, dimana masing-masing pihak
saling mendapatkan keuntungan, dan berbagai macam akad lainnya.

B. Saran
Demikianlah makalah tentang Konsep Dasar Akad yang telah kami paparkan. Kami
menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kami. Harapan kami, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru serta bermanfaat bagi para pembaca

13
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, R. (2020). Pengantar Fikih Muamalah.

Yunus, M., Hamdani, F. F. R. S., & Shofia, G. K. (2018). Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap
Akad Jual Beli Dalam Transaksi Online Pada Aplikasi Go-Food. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Syariah, 2(1), 135-146.

Romli, M. (2022). KONSEP SYARAT SAH AKAD DALAM HUKUM ISLAM DAN SYARAT
SAH PERJANJIAN DALAM PASAL 1320 KUH PERDATA. TAHKIM, 17(2)

Arifin, J. (2016). Substansi Akad Dalam Transaksi Syariah. Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syari'ah, 6(1).

Ghufron A, M. (2002). Fiqh Muamalah Kontekstual. Raja Grafindo Persada.

Pasaribu, chairuman. (2004). Hukum Perjanjian Dalam Islam. sinar grafika.

Suhendi, H. (2003). Fiqh Muamalah. Remaja Rosda Karya.

14

Anda mungkin juga menyukai