Anda di halaman 1dari 18

AKAD

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah “Fiqih
Muamalah dan Jinayah.”

Dosen Pengampu:

Dr. Hariman Surya Siregar M.Ag

Koko Khoerudin, M. Pd. I

Disusun oleh: Kelompok 1

AZHAR ALHUZAIPI 1212020042

DAFFA MAHARANI PITALOKA 1212020053

DEDE NURUL AISYAH 1212020058

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022

i
KATA PENGANTAR

Pertama, kita panjatkan segala puji syukur kepada kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat-Nya sehingga kami sekelompok dapat menyelesaikan makalah Fiqih Muamalah dan
Jinayah dengan judul “Akad” dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang selalu
kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.

Kedua, kami sekelompok mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr.Hariman


Surya Siregar M.Ag serta kepada bapak Koko Khoerudin, M. Pd. I selaku dosen pengampu
dari mata kuliah Fiqih Muamalah dan Jinayah, yang telah banyak memberi arahan, petunjuk,
dan berbagai pengetahuan. Sehingga, memudahkan kelompok kami untuk menyelesaikan
tugas makalah ini.

Kelompok kami menyadari bahwa makalah yang dibuat ini, jauh dari kata
sempurna baik dalam hal persiapan, kesalahan dan kekeliruan dalam pemaparan materi, dan
tutur kata atau bahasa yang kurang berkenan. Jika ada sebuah kesalahan kelompok kami
meminta maaf yang sebesar-besarnya. Walaupun demikian dalam hal persiapan kami telah
melakukan dan mengerjakan dengan sebaik mungkin. Sehingga kami juga mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Bandung, 12 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB 1 ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................. 2
C. Tujuan Pembelajaran ........................................................................................................ 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
1. Pemahaman Tentang Akad ............................................................................................. 3
2. Konsep dasar Akad ......................................................................................................... 4
3. Pembentukan Hukum Akad ............................................................................................ 4
a. Rukun dan Syarat Akad .................................................................................................. 4
b. Pernyataan Kehendak Dalam Akad ................................................................................ 7
c. Objek Akad ..................................................................................................................... 9
d. Batal Dan Sahnya Akad ................................................................................................ 11
e. Tujuan Akad ................................................................................................................. 12
BAB III.................................................................................................................................... 14
PENUTUP ............................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 15

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akad menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.


Akad merupakan salah satu pondasi dari banyak aktivitas manusia sehari-hari.
Berbagai kegiatan komersial, dan manusia dapat melakukannya melalui akad. Akad
membantu setiap orang memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka karena akad
membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam bisnis dan akan mengikat
hubungan saat ini dan dimasa depan.

Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat akad, maka akan
semakin baik dan semakin sedikit adanya konflik diantara para pihak di masa yang
akan datang. Akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan
kabul dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan adanya akibat hukum
pada obyeknya. Seiring dengan berkembangnya kegiatan ekonomi dalam kehidupan
bermasyarakat, perkembangan tersebut harus mendapat perhatian khusus agar tidak ada
pihak yang merasa dirugikan, tidak menimbulkan ketidak adilan, atau mendapat
tekanan dari pihak tertentu.

Hubungan antar manusia dengan manusia lainnya dalam memenuhi


kebutuhannya harus mempunyai aturan-aturan yang menyatakan tentang hak dan
kewajiban, diantara mereka berdasarkan kesepakatan. Kesepakatan tersebut dalam
rangka memenuhi hak dan kewajiban yang disebut dengan proses untuk berakad. Akad
yang digunakan untuk transaksi juga sangat bervariasi, diantaranya tergantung dengan
kepentingan dan karakteristik, serta tujuan antara para pihak. Akad atau perjanjian tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa akad
merupakan sarana sosial bagi manusia untuk menopang kehidupannya sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemahaman tentang Akad ?


2. Bagaimana konsep dasar Akad ?
3. Apa saja uraian dari pembentukan Hukum Akad ?

C. Tujuan Pembelajaran

1. Untuk mengetahui dan memahami suatu pengertian dari Akad


2. Untuk mengetahui apa saja konsep – konsep dari dasar Akad
3. Untuk mengidentifikasi apa saja uraian dari pembentukan Hukum Akad

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pemahaman Tentang Akad

Dalam bahasa Arab, akad berasal dari kata ‘aqada yang berarti mengikat.
Dimana menghimpun suatu pengumpulan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya
pada yang lainnya sehingga keduanya tersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Kata ‘aqada juga berarti mengeras atau membeku. Kata akad dalam bahasa Arab juga
sering disebut dengan suatu jaminan atau perjanjian. Sedangkan akad dalam Bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah perjanjian yang berarti suatu peristiwa yang dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau pihak lain (perorangan maupun badan hukum)
atau suatu peristiwa yang melibatkan dua orang atau pihak saling berjanji untuk
melakukan suatu hal. (Muhammad Abdul Wahab, 2019)

Akad dalam pengertian umum ini bisa kita temukan dalam literatur-literatur
fiqih klasik, seperti apa yang ditulis oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah
wa an-Nazhair ketika menjelaskan klasifikasi akad bahwa dari aspek kebutuhan
terhadap adanya ijab kabul, akad dibagi menjadi lima: (1) akad yang tidak
membutuhkan ijab kabul dalam bentuk ucapan seperti hadiah, shadaqah dan hibah; (2)
Akad yang membutuhkan ijab kabul dalam bentuk ucapan seperti jual-beli, sharf dan
salam; (3) Akad yang hanya membutuhkan ijab tanpa harus ada kabul dalam bentuk
ucapan seperti wakalah, wadi’ah dan ‘ariyah; (4) Akad yang tidak membutuhkan ijab
kabul sama sekali, tetapi dengan syarat tidak ada penolakan dari pihak kedua seperti
wakaf; (5) Akad yang tidak membutuhkan ijab kabul dan tidak bisa ditolak walaupun
ada penolakan dari pihak kedua seperti dhaman dan ibra’.

Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya dalam literatur fiqih klasik
bisa kita simpulkan bahwa akad dalam pengertian umum adalah segala bentuk perikatan
yang menimbulkan dampak hukum syar’i. Dengan pengertian ini maka akad-akad
seperti talak, pembebasan budak, nazar dan akad-akad tabarru’ masuk ke dalam
kategori akad dalam pengertian umum. (Muhammad Abdul Wahab, 2018)

3
2. Konsep dasar Akad

Istilah dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan konsep perjanjian (akad),


adalah kata al-aqdu (akad) dan al-ahdu (perjanjian). Istilah ‘aqdu yang dijelaskan pada
surat al-Maidah ayat 1 mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila
seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut,
serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka
terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara
yang satu dengan yang lain. Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu pada kenyataan
seseorang untuk tidak mengerjakan sesuatu atau tidak ada sangkut pautnya dengan
orang lain. (Hilmi Ahmad, 2020)

3. Pembentukan Hukum Akad

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan
syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Dalam sebuah
akad ada aturan atau ada uraian - uraian yang membentuk hukum akad menjadi lebih
terperinci, diantaranya sebagai berikut:

a. Rukun dan Syarat Akad

Akad melahirkan konsekuensi kewajiban melakukan atau tidak melakukan


sesuatu, sebagai akibat logis dari adanya hubungan kontraktual, namun meskipun
demikian untuk adanya kekuatan mengikat tersebut, ada beberapa persyaratan yang
harus terpenuhi. Para ulama telah menetapkan beberapa persyaratan sahnya akad,
sehingga manakala akad yang telah dibuat tidak memenuhi persyaratan, maka akad
tersebut dianggap tidak sah atau dapat dimintakan pembatalan ke pengadilan.
Rukun akad adalah unsur yang mutlak harus ada dalam sesuatu hal,
peristiwa atau tindakan. Rukun menentukan sah dan tidaknya suatu perbuatan
hukum tertentu. Suatu akad akan menjadi sah jika akad tersebut memenuhi rukun-
rukun akad. Adapun rukun-rukun akad itu adalah sebagai berikut:
 ‘Aqid
‘Aqid adalah orang yang berakad. Terkadang masing-masing pihak
yang berakad terdiri dari satu orang atau terdiri dari beberapa pihak

4
orang. Seseorang yang berakad terkadang merupakan orang yang
memiliki hak ataupun wakil dari yang memiliki hak.
 Ma’qud ‘alaih
Ma’qud’alaih adalah benda-benda yang diakadkan benda yang
diakadkan seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli dalam
hibah (pemberian) dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang
dalam akad kafalah.
 Maudhu’ al-’aqd
Maudhu’ al-’aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan
akad. Berbeda akad, maka berbeda pula tujuan pokok akad. Misalnya,
tujuan pokok akad jual beli adalah memindahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah adalah
memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk
dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwad). (Muhammad Abdul Wahab,
2019)

Syarat Akad sesuatu yang kepadanya bergantung sesuatu yang lain, dan sesuatu
itu keluar dari hakikat sesuatu yang lain itu.
1. Syarat umum akad, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad,
syarat ini meliputi:
 Syarat ‘aqid, syarat-syarat ‘aqid harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut : ‘Aqid harus memenuhi kriteria ahliyah
Maksudnya, orang yang bertransaksi atau berakad harus cakap
dan mempunyai kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya,
orang yang telah memiliki ahliyah adalah orang yang sudah
baligh dan orang yang berakal
 ‘Aqid yang harus memenuhi kriteria wilayah, maksudnya, hak
atau kewenangan seseorang yang memiliki legalitas secara syar’i
untuk melakukan objek akad. Artinya, orang tersebut memang
merupakan pemilik asli, wali atau wakil atau suatu objek
transaksi, sehingga ia memiliki hak otoritas untuk
mentransaksikannya. Syarat seseorang untuk mendapatkan
wilayah akad adalah orang yang cakap ber-tasarruf secara

5
sempurna. Seseorang yang kecakapan bertindaknya tidak
sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya sendiri
maupun orang lain untuk melakukan tas’arruf. Bagi seseorang
yang tidak memiliki wilayah, maka segala transaksinya
dilakukan oleh walinya. Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh wali dalam mendapatkan wilayah. (Li, 2021)
2. Syarat objek akad Objek akad adalah benda-benda yang menjadi objek
akad. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa objek akad harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut: (Az-Zuhaili, 1985)
 Objek transaksi harus ada ketika akad atau transaksi sedang
dilakukan. Tidak dibolehkan melakukan transaksi terhadap
objek akad yang belum jelas dan tidak ada waktu akad, karena
akan menimbulkan masalah saat serah terima.
 Objek transaksi merupakan barang yang diperbolehkan syariah
untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Tidak
boleh bertransaksi atas bangkai, darah, babi dan lainnya. Begitu
pula barang yang belum berada dalam genggaman pemiliknya,
seperti ikan masih dalam laut, burung dalam angkasa.
 Objek akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad atau
dimungkinkan dikemudian hari. Walaupun barang itu ada dan
dimiliki akid, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad itu
akan batal.
 Adanya kejelasan tentang objek transaksi. Artinya, barang
tersebut diketahui secara detail oleh kedua belah pihak, hal ini
untuk menghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari.
Objek transaksi tidak bersifat tidak diketahui dan mengandung
unsur gharar.
 Objek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang
najis. Syarat ini diajukan oleh ulama selain mazhab Hanafiyah.

6
b. Pernyataan Kehendak Dalam Akad
Pernyataan kehendak yang biasa disebut sebagai sighat akad, yakni suatu
ungkapan para pihak yang melakukan akad dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
suatu pernyataan janji atau tawaran dari pihak pertama untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan. Kabul adalah pernyataan menerima dari pihak kedua atas
penawaran yang diajukan dari pihak pertama. Ijab dan qabul ini merupakan sebuah
lisensi yang (ridha, persetujuan) yang menyatakan kesepakatan dan niat kedua belah
pihak untuk hak dan kewajiban mereka berdasarkan akad. Agar ijab dan qabul ini
menimbulkan akibat hukum, maka diperlukan dua hal. Pertama, adanya persesuaian
(tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai bahwa adanya persesuaian
kehendak sehingga terciptanya kata sepakat. Kedua, kesesuaian harus diajukan
dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis). (Az-Zarqa,1986)
a. Persesuaian Ijab dan Qabul
Pernyataan kabul disayaratkan akan adanya keselarasan atau
kesesuaian terhadap ijab dalam banyak hal. Pernyataan jawaban yang
tidak sesuai dengan ijab tidak disebut sebagai qabul. Ijab dan qabul adalah
merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kemauan
batin, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang
lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara
lain yang memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan kehendak
batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan ketika
berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata yang tidak jelas, barulah
kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Kata-kata atau hal lain yang
digunakan untuk mengekspresikan kehendak batin inilah yang dikenal
sebagai sighat akad.
Dalam hukum perjanjian Islam, pernyataan kehendak sebagai
manifestasi eksternal ini, dapat diekspresikan dengan berbagai cara, yaitu:
(Azhar Basyir,2000)
1) Pernyataan kehendak secara perkataan, di mana para pihak
berniat mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk
perkataan yang jelas. Pada hal ini akan sangat jelas bentuk ijab
dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan niat
secara lisan itu harus jelas maksudnya dan tegas isinya.

7
2) Pernyataan akad dilakukan secara tertulis. Selain melalui
perkataan lisan, akad juga dilakukan melalui tulisan. Dalam
fungsinya itu sebagai pernyataan kehendak, tulisan memiliki
fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan.
Akad dalam bentuk ini sangat cocok untuk akad yang
dilaksanakan dari jarak jauh dan berbeda tempat. Akad ini
dapat juga digunakan untuk perikatan yang lebih sulit seperti
perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
3) Penyampaian ijab secara tertulis, suatu bentuk bahwa
seseorang mengutus orang lain ke pihak kedua untuk
menyampaikan penawarannya secara lisan dengan apa
adanya. Hal ini berbeda dengan penerima kuasa, di mana ia
tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa
(al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum
berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa,di
mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak
pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan
tindakan hukum menurut kehendaknya sendiri atas nama
pemberi kuasa,
4) Pernyataan Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak
hanya dapat dilakukan oleh orang yang normal, tetapi bisa
saja dilakukan oleh orang yang cacat juga, melalui isyarat
dengan syarat yang jelas maksudnya dan tegas menunjukkan
kesediaan untuk membuat perjanjian Jika yg berakad
merupakan orang yg sanggup untuk berakad secara lisan,
maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia wajib
memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan,
karena isyarat meskipun diperlihatkan kehendaknya, ia tidak
menaruh keyakinan jika dibandingkan menggunakan
keyakinan yg didapatkan berdasarkan akad secara lisan atau
tulisan.
5) Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring
dengan perkembangannya kebutuhan masyarakat, akad bisa
juga dilakukan secara langsung, tanpa memakai kata-kata,

8
goresan pena atau isyarat untuk menyatakan niatnya.
Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima
menurut para pihak yg sudah memahami perbuatan perjanjian
tersebut dengan segala dampak hukumnya

b. Kesatuan Majelis Akad


Para fuqaha menyatakan bahwa salah satu syarat akad wajib
dilaksanakan pada satu majelis akad. Tempat dan waktu dimana kedua belah
pihak sedang bernegosiasi yang dimulai pada saat diajukannya ijab dan
berlangsung selama mereka tetap fokus dalam masalah perundingan
perjanjian dan berakhir dengan berpalingnya mereka dari negosiasi tersebut,
inilah yang disebut dengan majelis akad. Teori majelis akad ini secara umum
dimaksudkan untuk memilih kapan dan di mana akad terjadi dan secara
khusus untuk memilih kapan qabul bisa diberikan dan untuk memberikan
kesempatan pada kedua belah pihak guna mempertimbangkan akad
itu.Sebagai konsekuensi berdasarkan teori majelis akad ini adalah lahirnya
khiyar qabul, khiyar penarikan (khiyar ar-ruju’) & khiyar majelis (khiyar al-
majelis).
Kesatuan majelis tidaklah dimaksudkan menggunakan kesatuan
tempat dan waktu, lantaran hal ini akan sulit diterapkan pada realitas
kehidupan kontemporer, dimana transaksi bisa saja terjadi melalui alat
komunikasi yang menempatkan para pihak tidak dalam kesatuan tempat.
Akan tetapi yang dimaksudkan adalah dengan kesatuan majelis akad
merupakan kesatuan waktu,bukan kesatuan tempat secara fisik, di mana para
pihak yang berakad masih fokus dengan perjanjian yang dibuat.

c. Objek Akad

Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa, pekerjaan atau suatu
hal lainnya yang tidak menentang syariat. Tidak semua benda dapat dijadikan
objek akad. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan
beberapa syarat, yaitu:

9
 Objek akad harus ada ketika berlangsungnya akad. Barang yang belum ada
tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab
hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum
terwujud. Di kalangan para fuqaha, syarat ini masih diperdebatkan tentang
keabsahannya. Misal seperti Imam Malik memandang sah akad yang
sifatnya melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’) terhadap benda-
benda yang mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu akad
masih belum eksis, seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya. Meskipun
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha tentang syarat ini,
secara umum adanya persyaratan bahwa objek harus telah eksis pada waktu
akad terjadi, memang sangat diperlukan bagi akad-akad yang memerlukan
kepastian. (Ibn Rusydi,1981)
 Objek akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad
yang tidak diakui oleh hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam
hal akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan
benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman
keras bukan merupakan benda bernilai bagi para kaum muslimin. Oleh
karena itu keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual
beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak adalah seorang
muslim.
 Objek akad harus ditentukan dan diketahui. Objek akad harus ditentukan dan
diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan
objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari, sehingga
tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan bagi para pihak
dalam melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama.
Ketidakjelasan tidak mesti berkaitan dengan semua satuan barang yang akan
menjadi objek akad, tetapi cukup sebagian saja, apabila barang tersebut
merupakan suatu jenis yang dapat diketahui contohnya atau keterangan yang
jelas tentang sifat-sifatnya.
 Untuk dapat diserahkan, maka objek akad harus memenuhi kriteria
berikut:
a. Tujuan objek akad tidak bertentangan dengan transaksi. Dengan kata
lain, sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila transaksi bertentangan

10
dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Misalnya wakaf,
karena barangnya ini sudah dilembagakan untuk digunakan untuk
kepentingan agama atau umum, maka milik individu atas benda tersebut
sudah berubah menjadi milik umum (milik Allah). Ada aturan bahwa
benda wakaf dilarang untuk dijual. Akan tetapi aturan umum ini dapat
disimpangkan dengan adanya alasan syar’i. misalnya, gedung sekolah
yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi pendidikan seperti yang
disebutkan dalam ikrar wakaf, maka benda tersebut boleh dijual dan
diganti di tempat lain. (Anwar,2010)
b. Sifat objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain
sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu
tidak memungkinkan untuk diadakan transaksi.
c. Objek akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak
sah akad terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban
umum.

d. Batal Dan Sahnya Akad

a. Batalnya Akad (Akad Batil)


Dalam bahasa aslinya, batal dan batil mempunyai arti yang berbeda.
Batal adalah bentuk masdar yang berarti membatalkan, sedangkan batil
adalah kata sifat yang berarti tidak sah, tidak berlaku. Hukum akad batil,
yaitu akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat terbentuknya akad,
dapat diringkas sebagai berikut :
1) Tidak adanya akad dalam bentuk syar`i (secara syar’i tidak dianggap
ada), ada dan karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Para
pihak dalam akad tidak dapat menuntut pelaksanaan kontrak oleh pihak
yang lain. Pembeli tidak dapat menuntut penyerahan barang dan penjual
tidak dapat menuntut harga.
2) Akad batil tidak berlaku pembenaran dengan cara memberikan izin.
Misalnya, karena transaksi tersebut didasarkan kepada akad yang
sebenarnya tidak ada secara syar’I dan juga karena pembenaran hanya
berlaku untuk akad maukuf.
3) Akad batil tidak perlu di-fasakh (dibatalkan) karena akad ini sejak semula
sudah batal dan tidak pernah ada. Setiap pihak yang berkepentingan dapat

11
berpegang kepada kebatalan itu, pembeli menyatakan batal terhadap
Penjual, dan Penjual menyatakan batal terhadap Pembeli, sehingga pihak
manapun yang terlibat dapat mempertahankan kebatalan itu.
4) Ketentuan lewat waktu (at-taqadum) tidak berlaku terhadap kebatalan.
Misalnya, jika seseorang melakukan akad jual beli tanah, maka akad
tersebut adalah akad batil, dan penjual tidak menyerahkan tanah itu
kepada pembeli, dan pembeli menuntut penjual untuk menyerahkan harta
itu beberapa tahun kemudian, maka penjual dapat berpegang kepada
kebatalan akad berapapun lamanya karena tidak ada lewat waktu
terhadap kebatalan.
b. Sahnya Akad
Ada tiga tingkatan akad yang sah, yaitu akad mauquf, akad nafidz gair
lazim (akad yang dapat ditegakkan secara hukum tetapi tidak mengikat
sepenuhnya karena dapat diakhiri secara sepihak oleh salah satu atau kedua
belah pihak) dan akad nafidz lazim (akad yang sudah dapat dilaksanakan
akibat hukumnya dan telah mengikat penuh).Suatu akad tidak berlaku jika
tidak memenuhi beberapa persyaratan lebih lanjut yang berkaitan dengan
keabsahan kontrak, yaitu:
1) Bebas dari gharar
2) Bebas dari kerugian yang menyertai penyerahan
3) Bebas dari syarat-syarat fasid
4) Bebas dari riba untuk akad atas beban

e. Tujuan Akad
Tujuan akad ditandai dengan beberapa karakteristik, Sebagai berikut:
1. Bersifat objektif, dalam arti akad sendiri, tidak akan berubah dari satu
akad pada akad yang lain sejenis dan oleh karena itu terlepas dari
kehendak para pihak karena tujuan akad ditetapkan oleh para pembuat
hukum.
2. Menentukan jenis tindakan hukum, yang dimaksud adalah tujuan akad
ini membedakan sau jenis akad dari jenis akad yang lainnya.
3. Tujuan akad adalah fungsi hukum dari tindakan hukum pada pengertian
bahwa ia menciptakan sasaran hukum, baik ditinjau dari sudut pandang

12
ekonomi juga sudut pandang sosial, yang hendak diwujudkan oleh
tindakan hukum yang bersangkutan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam bahasa Arab, Akad berasal dari kata ‘aqada yang berarti mengikat. Dimana
menghimpun suatu pengumpulan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya sehingga keduanya tersambung dan menjadi seutas tali yang satu. Kata ‘aqada
juga berarti mengeras atau membeku. Kata akad dalam bahasa arab juga sering disebut
dengan suatu jaminan atau perjanjian

Istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan konsep perjanjian (akad),


adalah kata al-aqdu (akad) dan al-ahdu (perjanjian). Istilah aqdu yang dijelaskan pada surat
Al-Maidah ayat 1. Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Dalam
sebuah akad ada aturan atau ada uraian-uraian yang membentuk hukum akad menjadi lebih
terperinci, diantaranya sebagai berikut:

a. Rukun dan Syarat Akad


b. Pernyataan Kehendak dalam Akad
c. Objek Akad
d. Batal dan Sahnya Akad
e. Tujuan Akad

B. Saran
Demikianlah makalah "Fiqih Muamalah dan Jinayah" yang dapat kami sampaikan.
kami sebagai penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
positif dalam makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan hikmah,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, S. (2010). Hukum perjanjian syariah: studi tentang teori akad dalam fikih muamalat.

Az-Zarqa, M. A. (1968). al-Madkhal al-Fiqh al’Am. Beirut: Dār al-Fikr, tt.

Az-Zuhaili, W. (1985). DR., al Fiqh al Islami wa Adillatuhu.

Azhar Basyir, A. (2000). Asas-asas Hukum Muamalah.

Hilmi Ahmad, L. M. (2020). Beribadah Sesuai Fiqih Bagaimana Bersyariat Dalam Menjalani Ibadah
dan Muamalah . Paper Knowledge.

Li, B. A. (2021). Pemakaman Akad.

Muhammad Abdul Wahab, L. (2019). Teori Akad dalam Fiqih Muamalah. Kuningan Stiabudi Jakarta
Selatan: Rumah Fiqih Publishing .

Rusydi, I. (1981). Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Ma'rifah II:324.

Wahab, M. A. (2018). Pengantar Fikih Muamalah. Setia Budi, Kuningan Jakarta Selatan : Rumah Fikih
Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 .

Suhendri, A., Suyatno, F. H., & Lestari, T. R. (2017). KONSEP DASAR AKAD. Jurnal Studi Islam, 18 (1),
84.

Muslich, H. A. W. (2022). Fiqh muamalat. Amzah.

15

Anda mungkin juga menyukai