Tim Penyusun
2019
MEWUJUDKAN PERADILAN AGAMA YANG AGUNG
Cetakan Pertama, Juli 2019
15x23 cm; xv + 349 halaman
ISBN: 978-602-0713-54-0
Tim Penyusun
Editor:
Dr. Drs. Aco Nur, S.H., M.H.
Koordinator Tim Penulis:
Candra Boy Seroza
Arief Hidayat
Arief Gunawansyah
Tim Penulis:
Abdul Halim
Abu Jahid Darso Atmodjo
Achmad Cholil
Ade Firman Fathoni
Agung Darul Fadli
Ahmad Zainul Anam
Edi Hudiata
Erfani
Ilman Hasjim
M. Natsir Asnawi
Rahmat Arijaya
Penata letak:
Abdul Halim, M. Natsir Asnawi
Perancang sampul:
Bayu Hidayat
Phoenix Publisher
Jl. Wonosari Km. 7 Kalangan RT 7 No. 197 Yogyakarta 55197
Hak Cipta © 2019 pada Tim Penyusun Ditjen Badilag MA‐RI, dilindungi Undang‐Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Tim
Penyusun Ditjen Badilag MA‐RI
ii
KATA PENGANTAR
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung RI
“Mewujudkan Peradilan Agama Yang Agung”
Reformasi peradilan Indonesia telah digagas jauh sebelum
era reformasi dimulai. Dari sejak adanya gagasan penyatuapan
lembaga peradilan, reformasi peradilan menemukan
momentumnya. Namun demikian, sebelum era reformasi,
momentum tersebut belum dimanfaatkan sedemikian rupa,
sehingga praktis reformasi peradilan masih berada pada fase
gagasan tanpa implementasi yang signifikan.
Pascareformasi, gagasan pembaruan institusi peradilan
akhirnya menemukan pijakan yang lebih jelas, di antaranya
dengan disahkannya Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang‐Undang ini menjadi dasar bagi upaya penyatuatapan
lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung dengan memberi
waktu bagi stakeholders untuk mewujudkan hal dimaksud pada
kurun waktu selambat‐lambatnya 5 (lima) tahun pasca
disahkannya Undang‐Undang tersebut.
Pada akhirnya, tahun 2004 atau 5 (lima) tahun setelah
lahirnya Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut,
penyatuatapan lembaga peradilan (one roof judiciary system)
benar‐benar terwujud. Peradilan Umum yang semula berada di
bawah otoritas Kementerian Kehakiman dan Peradilan Agama di
bawah Kementerian Agama sepenuhnya berada di bawah otoritas
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi negara.
Keseluruhan administrasi peradilan, baik administrasi umum
maupun administrasi yustisial diatur dan dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung.
Namun demikian, penyatuatapan tidak serta merta
menjadikan pekerjaan mereformasi peradilan selesai. Justeru,
iii
dengan penyatuatapan tersebut, Mahkamah Agung memiliki
tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa kebijakan
penyatuatapan merupakan patron terbaik dalam reformasi
peradilan. Setumpuk pekerjaan rumah menanti, khususnya dalam
mengembalikan kredibilitas lembaga peradilan, meningkatkan
kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, dan mewujudkan
lembaga peradilan Indonesia yang modern nan agung.
Karenanya, dimulailah pencanangan sejumlah strategi
pembaruan yang terpadu dan sistemik. Strategi pembaruan
tersebut tergambar secara sangat lengkap dalam Cetak Biru
Pembaruan Peradilan 2010 – 2035. Esensi dari cetak biru dimaksud
adalah rancang bangun visi dan misi dalam mewujudkan peradilan
Indonesia yang bermartabat, dipercaya publik, dan menjadi garda
terdepan yang andal dalam mewujudkan tri gatra hukum
(keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum).
Peradilan Agama dalam hal ini punya peran signifikan, Tim
Lindsey dan Cate Sumner dalam risetnya Courting Reform:
Indonesia’s Islamic Courts and Justice For The Poor, mengafirmasi
peran strategis yang telah diimplementasikan Peradilan Agama
dalam mendorong terwujudnya reformasi peradilan, termasuk
pemberdayaan masyarakat. Penerapan layanan pembebasan
biaya perkara (fee waiver) dan sidang keliling di daerah terpencil
(circuit court in remote areas) diakui sebagai kebijakan strategis
dalam meningkatkan aksesibilitas lembaga peradilan.
Peradilan Agama juga telah menunjukkan tekad kuatnya
dalam mendukung pemerintah mewujudkan tata kelola lembaga
peradilan yang responsif, transparan, dan akuntabel. Dikatakan
responsif karena Peradilan Agama menyadari benar
perkembangan kebutuhan dalam praksis penegakan hukum yang
menghendaki sistem peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan serta berlandasarkan pada pemanfaatan teknologi
informasi.
Sementara itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi acuan
dalam performansi lembaga peradilan agama. Stakeholders
Peradilan Agama berupaya mewujudkan tata kelola manajemen
keperkaraan yang benar‐benar transparan melalui penentuan
iv
biaya‐biaya beperkara yang terjangkau, meningkatkan perhatian
terhadap masyarakat termarjinalkan dan lemah secara ekonomi
melalui pembebasan biaya perkara, serta menutup celah‐celah
yang memungkinkan terjadinya praktik‐praktik koruptif yang
mendegenerasi upaya reformasi peradilan.
Sejak menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal badan
Peradilan Agama, saya berupaya melanjutkan kebijakan‐kebijakan
sebelumnya sembari mengupayakan sejumlah pembaruan dan
penyesuaian di sana‐sini untuk mengakomodir perkembangan
kebutuhan praksis penegakan hukum di Indonesia serta
perkembangan paradigma lembaga peradilan di dunia
internasional. Kebijakan‐kebijakan yang dibuat selalu berpijak
pada patron “harmonisasi kebijakan Peradilan Agama dengan
kebijakan makro Mahkamah Agung”. Patron ini penting, agar
upaya‐upaya pembaruan yang dilaksanakan oleh Peradilan Agama
selaras dengan kebijakan Mahkamah Agung, sekaligus pula
menghindari munculnya lain‐lain hal yang dapat menghambat
upaya mewujudkan badan peradilan yang agung.
Penting untuk dikemukakan pula bahwa perumusan
kebijakan‐kebijakan Ditjen Badilag didasarkan pada temuan‐
temuan di lapangan. Di sinilah saya melihat lembaga peradilan
perlu lebih responsif dalam menjawab tantangan dan harapan
publik agar layanan peradilan lebih cepat, efisien, dan efektif.
Penulisan buku ini melibatkan hakim‐hakim peradilan agama
yang tersebar di berbagai daerah, dengan harapan bahwa gagasan
dan pemikiran yang berkembang selama ini dalam tema‐tema
pembaruan peradilan mempunyai wadah untuk berdialektika.
Selain itu dari pengalaman praktis hakim‐hakim bisa
memunculkan sudut pandang akan kebutuhan praksis penegakan
hukum yang berkembang yang akan menjadi modal bagus bagi
Ditjend Badilag dalam merumuskan, menetapkan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijkan‐kebijakan
strategis dalam kerangka pembaruan peradilan.
Pada akhirnya, selaku Dirjen Badan Peradilan Agama, saya
sangat berharap gagasan dan pemikiran yang telah disikusikan
v
dalam buku ini menjadi sumbangsih yang berharga bagi upaya kita
untuk mencari format ideal badan peradilan yang agung.
Jakarta, April 2019
Dr. Drs. H. Aco Nur, SH., MH.
Dirjen Badilag MA RI
vi
KATA PENGANTAR
TIM PENYUSUN
Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu
(pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu, sehingga orang
yang mulia (memiliki kekuasaan) tidak tamak terhadap tipu
dayamu dan orang yang lemah tidak berputus asa dari
keadilanmu..
‐ Umar ibn al Khattab ‐
Poros ungkapan syukur senantiasa tercurah kehadirat Ilahi
Rabbi karena hidayah dan inayahnya‐Nya lah sehingga Tim
Penyusun dapat merampungkan penyusunan buku ini. Salawat
dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda
Rasulullah SAW, khatm al anbiya wa al mursalin, Nabi dan Rasul
penutup, suri tauladan dan rahmat bagi semesta alam.
Menjadi suatu aksioma umum bahwa pembangunan suatu
negara menuju terwujudnya masyarakat madani dapat mencapai
keberhasilan jika ditopang dengan, salah satunya, lembaga
peradilan yang kredibel. Keberadaan lembaga peradilan, sekalipun
tidak secara langsung menyentuh dimensi penentuan kebijakan
publik oleh eksekutif dan yudikatif, memberi andil bagi
terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Lembaga peradilan, dalam fungsi paling primordial,
diarahkan untuk dapat mengontrol kinerja dan arah kebijakan
lembaga eksekutif dan legislatif dalam tata laksana pemerintahan
dan pemberdayaan masyarakat (civil society). Lebih lanjut, pada
tataran lebih mikro, lembaga peradilan ‐melalui putusannya‐
berfungsi mewujudkan tata hukum yang ajeg, mewujudkan tertib
sosial, dan mendorong pembaruan paradigm yang lebih
konstruktif.
Sedemikian penting fungsi lembaga peradilan, hingga
keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan perlu untuk dijaga,
baik independensinya maupun struktur kelembagaannya. Ada
vii
tanggung jawab besar, tidak hanya bagi orang‐orang di dalam
institusi peradilan, namun juga external stakeholders harus
mengambil bagian dalam “merawat” dan “mendukung tumbuh
kembang” lembaga peradilan.
George Washington, Presiden pertama Amerika Serikat,
pada salah satu pernyataannya menyatakan: “The due
administration of justice is the firmest pillar of good government, I
have considered the first arrangement of the judicial department as
essential to the happiness of the country, and to the stability of its
political system”. Sebagai salah satu peletak dasar konstitusi dan
sistem ketatanegaraan Amerika, George Washington menyadari
benar arti penting dari eksistensi lembaga peradilan dalam
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik untuk
mewujudkan masyarakat madani.
Bahkan, ia menyadari benar urgensi lembaga peradilan yang
independen dan kredibel dalam mendukung terwujudnya
stabilitas sistem politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan
suatu negara. Karena itu, adalah penting bagi stakeholders dalam
memastikan terwujudnya administrasi lembaga peradilan yang
kukuh, transparan, dan akuntabel (firmest administration of
justice).
Buku ini, disusun sebagai upaya mendeskripsikan secara
signifikan upaya‐upaya pembaruan peradilan di Indonesia,
khususnya pada lingkungan Peradilan Agama. Pembaruan
peradilan sebagai bagian dari reformasi birokrasi telah
dicanangkan sejak mula terbentuknya Mahkamah Agung dan
semakin intensif pasca penyatuatapan lembaga peradilan.
Pelbagai upaya mereformasi lembaga peradilan dirumuskan,
ditetapkan, dan diimplementasikan secara masif. Tujuannya
adalah mewujudkan lembaga peradilan Indonesia yang agung,
sebagaimana tergambar secara komprehensif dalam cetak biru
pembaruan peradilan 2010‐2035.
Peradilan Agama, sebagai salah satu lingkungan peradilan di
bawah Mahkamah Agung telah melaksanakan pelbagai upaya
masif dan terstruktur dalam mereformasi administrasi peradilan,
termasuk namun tidak terbatas pada, upaya meremajakan sistem
viii
administrasi keperkaraan, menerapkan secara inklusif teknologi
informasi dalam tata kelola manajemen peradilan, serta
mengupayakan sinergitas multi‐instansi dalam mendukung
peningkatan kinerja dan akuntabilitas lembaga peradilan.
Bahwa rekognisi terhadap pentingnya modernisasi
manajemen peradilan telah menjadi kesepakatan internasional,
Peradilan Agama menjadikannya sebagai landasan pada
pembaruan pada hampir seluruh aspek manajemen lembaga
peradilan. Buku ini mengungkap demikian, sehingga diharapkan
publik lebih mengenal dan mengapresiasi upaya‐upaya sistemik
Peradilan Agama pada khususnya dan Mahkamah Agung pada
umumnya dalam mereformasi lembaga peradilan.
Peradilan Agama, melalui afirmasi kebijakan‐kebijakan
strategis menekankan pembaruan pada setidaknya beberapa
aspek mendasar. Pertama, meningkatkan aksesibilitas lembaga
peradilan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu serta kaum
perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. Kedua,
peningkatan transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan
melalui implementasi administrasi peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Tergambar pada akhirnya bahwa upaya‐upaya mereformasi
lembaga peradilan bermuara pada kehendak luhur untuk
mewujudkan akuntabilitas lembaga peradilan. Maka sungguh
tepat Umar ibn al Khattab dalam Risalatul Qadha‐nya yang salah
satunya menitip pesan kepada peradilan dan khususnya Hakim
agar memutus seadil‐adilnya, menghindari hal‐hal yang
meruntuhkan martabat lembaga peradilan, dan menumbuhkan
harapan kepada seluruh pencari keadilan (khususnya bagi kaum
lemah dan tertindas) bahwa keadilan itu masih ada dan lembaga
peradilan adalah institusi dan benteng terakhir bagi tegaknya
keadilan.
Akhirnya, tim penyusun berharap kehadiran buku ini dapat
memberi manfaat bagi publik, khususnya stakeholders terkait
dalam memahami kebijakan‐kebijakan pembaruan peradilan
terbaru, khususnya di lingkungan Peradilan Agama. Diharapkan
pula, kehadiran buku ini dapat menjadi patronase bagi para
ix
pengambil kebijakan strategis terkait dengan penegakan hukum
dan sinergitas antar instansi dalam perwujudan tata kelola
pemerintahan yang baik.
Terhadap kekurangan dalam penyusunan buku ini, tim
penyusun memohon saran dan kritik guna penyempurnaan pada
penyusunan‐penyusunan selanjutnya.
Wassalam.
Jakarta, April 2019
Tim Penyusun
x
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Dirjen Badilag MA RI ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ iii
Kata Pengantar Tim Penyusun ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ vii
Daftar Isi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ xi
Bab I Lembaga Peradilan: Realita dan Problematikanya ‐‐ 1
A. Isu Kemandirian Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1
1. Makna Kekuasaan Kehakiman ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 2
2. Kontrol Kemandirian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 5
3. Persoalan Klasik Tentang Kemandirian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 6
4. Jaminan Jabatan Hakim Dalam Undang‐Undang ‐‐‐‐ 10
B. Peradilan Melawan Korupsi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 14
1. Menepis Istilah Mafia Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 14
2. Klasifikasi Penyebab Korupsi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 17
C. Rasio Beban Kerja Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 22
1. Defisit Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 24
2. Tarik Ulur Perekrutan Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 26
3. Potret ideal ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 27
D. Meningkatkan Kualitas Putusan Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 30
1. Kemandirian Hakim Dalam Memutus ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 32
2. Putusan Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 35
3. Teori‐Teori Penjatuhan Putusan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 38
E. Kepuasan Masyarakat Terhadap Lembaga
Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 40
1. Kekuasaan Kehakiman dan Pelayanan Publik ‐‐‐‐‐‐ 40
2. Kualitas Pelayanan dan Proteksi Hukum Acara ‐‐‐‐‐ 42
Bab II Menjaga Nilai‐Nilai Peradilan yang Agung ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 47
A. Nilai Utama dan Kinerja Pengadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 47
B. Nilai‐Nilai Utama Pengadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 50
1. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 50
2. Integritas dan Kejujuran ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 51
3. Akuntabilitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 52
4. Responsibilitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 55
5. Keterbukaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 56
6. Ketidakberpihakan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 57
7. Perlakuan yang sama di hadapan hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 58
xi
8. Transparansi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 60
9. Aksesibilitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 62
C. Tujuh Area Pembaruan Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 65
1. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2003 ‐‐‐‐ 65
2. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2010‐2035 67
3. Tujuh Area Pembaruan Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 68
Bab III Ikhtiar Mewujudkan Peradilan yang Agung ‐‐‐‐‐‐‐‐ 89
A. Mewujudkan Peradilan yang Agung dalam Blueprint
Mahkamah Agung 2010 – 2035 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 89
1. Pendahuluan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 89
2. Pokok‐pokok Pembaruan Peradilan dalam
Blueprint Mahkamah Agung 2010 – 2035 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 93
B. Access to Justice terhadap Seluruh Lapisan
Masyarakat Pencari Keadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 111
1. Esensi Access to Justice ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 115
2. Cakupan Access to Justice ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 117
3. Kendala Implementasi Access to Justice ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 129
C. Digitalisasi Sistem Pengadministrasian Perkara ‐‐‐‐‐‐‐ 132
1. Definisi Administrasi Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 132
2. Sistem Informasi dan Administrasi Perkara
Peradilan Agama (SIADPA) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 136
3. Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) ‐‐‐‐‐‐‐ 140
D. Modernisasi Manajemen Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 152
1. Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 152
2. Dari ISO ke Akreditasi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 174
Bab IV Proyeksi Badan Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 187
A. Penguatan Sistem Satu Atap ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 187
1. Independensi Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 188
2. One Roof System ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 189
3. Akuntabilitas Yudisial ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 190
4. Shared Responsibility ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 193
5. Kelemahan gagasan shared responsibility ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 194
B. Perlindungan Prima Terhadap Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201
1. Definisi Perlindungan Prima terhadap Hakim ‐‐‐‐‐‐ 203
2. Risiko Tinggi Profesi Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 204
xii
3. Perlindungan Hakim untuk Independensi
Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 207
4. Perlindungan Hakim: Pekerjaan Negara yang Belum
Selesai ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 211
5. Mewujudkan Perlindungan Prima terhadap Hakim ‐ 213
6. Kesimpulan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 218
C. Media dan Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 219
1. Kemerdekaan Pers dan Kemandirian Kekuasaan
Kehakiman ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 222
2. Kesejahteraan Adalah Dasar Kemerdekaan (Pers) ‐‐ 224
3. Pers, Hukum, dan Kekuasaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 234
4. Kebebasan Pers dan Contempt of Court ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 241
5. Pers dan Kemerdekaan Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 245
D. Gagasan Undang‐Undang Contempt of Court ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 251
1. Definisi dan Tipologi Contempt of Court ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 253
2. Independensi Lembaga Peradilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 259
3. Politik Hukum Contempt of Court di Indonesia (Ius
Constituendum) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 272
4. Pengaturan Norma Contempt of Court Dalam
Peraturan Perundang‐Undangan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 281
E. Implementasi Nilai‐Nilai Pelayanan Publik dalam
SAPM dan IFCE ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 290
1. Definisi dan Asas Pelayanan Publik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 290
2. Kebijakan Mahkamah Agung dalam Pelayanan
Publik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 292
3. Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu (SAPM) ‐‐‐‐ 298
4. International Framework for Court Excellence ‐‐‐‐‐‐‐ 301
5. Implementasi Nilai‐Nilai Pelayanan Publik dalam
SAPM dan IFCE ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 305
6. Penutup ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 315
F. Manajemen Perkara Komprehensif (Active Case
Management) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 317
1. Definisi dan Konsepsi Active Case Management‐‐‐‐‐‐ 318
2. Perbandingan Case Management di Beberapa
Negara ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 320
xiii
3. Gagasan Penerapan Active Case Management di
Peradilan Agama ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 332
Daftar Pustaka ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 335
Profil Tim Penyusun ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 347
xiv
BAB I
LEMBAGA PERADILAN:
REALITA DAN
PROBLEMATIKANYA
A. Isu Kemandirian Peradilan
Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena
itu, seorang hakim harus menjaga segala tingkah lakunya dan
menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan yang menjatuhkan
martabatnya sebagai hakim, tidak boleh terpengaruh dengan
keadaan sekelilingnya atau tekanan dari siapa pun dan harus
memiliki kemerdekaan dalam menjalankan profesinya.
Akan tetapi, ambil contoh, salah satu asas hukum dasar res
judicata pro veritate habetur (putusan hakim dianggap benar) yang
berarti bahwa suatu masalah yang telah diselesaikan di
pengadilan tidak dapat diangkat atau dipersoalkan kembali pun
sepertinya tidak dipahami dan dihormati oleh semua pihak.
Sebastian Pompe menyatakan bahwa sejarah Mahkamah
Agung (dunia peradilan) pada dasarnya adalah sejarah
pertarungan politik untuk mempertahankan, bahkan meraih
kembali, otonomi pengadilan dari campur tangan politik agar
proses peradilan bebas dan tidak memihak.
Setelah Indonesia merdeka, lembaga peradilan justru resmi
tidak lagi independen. Peradilan dihancurkan bukan oleh
kelalaian, melainkan oleh suatu proses yang disengaja, termasuk
oleh peradilan sendiri. Sampai saat ini, para hakim tidak pernah
benar‐benar merdeka dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan
keniscayaan bagi sebuah negara hukum. Kekuasaan kehakiman
yang merdeka sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi adalah
sebuah independensi peradilan yang integral atas segala aspek
institusional, manajerial, maupun personal (Hakim). Oleh
karenanya independensi tersebut harus diartikan secara
komprehensif dan tidak parsial, sebagaimana Ahmad Kamil 1
membagi pengertian independensi kekuasaan kehakiman dalam
2 (dua) aspek yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Independensi kekuasaan kehakiman dalam arti sempit
berarti “independensi institusional” atau dalam istilah lain disebut
juga “independensi struktural” atau “independensi eksternal”
atau “independensi kolektif”. Sedangkan independensi kekuasaan
kehakiman dalam arti luas meliputi juga “independensi individual”
atau “independensi internal” atau “independensi fungsional” atau
“independensi normatif”. Pengertian independensi personal
dapat diartikan juga dari setidak‐tidaknya 2 (dua) sudut, yaitu:
independensi personal, yaitu independensi seorang Hakim
terhadap pengaruh sesama Hakim atau koleganya; independensi
substantif, yaitu independensi Hakim terhadap kekuasaan mana
pun baik ketika memutuskan suatu perkara maupun ketika
menjalankan tugas dan kedudukan sebagai Hakim.
1. Makna Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
dijalankan secara independen, profesional, dan bergerak pada
asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Karenanya,
kekuasaan kehakiman perlu diatur secara cermat dan
sistematis dalam suatu perundang‐undangan khusus
(exceptional acts).2
1
Ahmad Kamil. 2012. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Kencana. Hlm. 221.
2
M. Natsir Asnawi. 2013. Kekuasaan Kehakiman Dalam Perspektif Politik Hukum: Studi
Tentang Kebijakan Hukum Dalam UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, artikel
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan edisi Juli 2013, hlm. 3.
2
Independensi kekuasaan kehakiman merupakan bagian
dari prinsip negara hukum yang demokratis. Prinsip demikian
diperlukan untuk melindungi kekuasaan kehakiman dari
intervensi, bujukan, rayuan, paksaan maupun pengaruh
lembaga, teman sejawat, atasan atau pihak‐pihak lain,
sehingga hakim dalam memutus perkara benar‐benar berdasar
pada keadilan hukum, rasa keadilan dan hati nurani. Prinsip
independensi kekuasaan kehakiman telah diakui secara global,
beberapa instrumen hukum internasional mengakui
pentingnya independensi peradilan, antara lain Universal
Declaration of Human Rights (article 10), International
Convenant on Civil dan Political Rights (ICCPR) (article 14),
Vienna Declaration on Program for Action 1993 (paragraph 27),
International Bar Association Code of Minimum Standards of
Judicial Independence, New Delhi 1982, dan Universal
Declaration on the Independence of Justice, Montreal 19833. Luu
Tien Dung mengemukakan beberapa statuta internasional
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
yaitu:
a. The United Nations Basic Principles on the Independence of
the Judiciary (hereafter called Basic Principles), endorsed
by General Assembly in 1985;
b. The Syracuse Draft Principle on Independence of the
Judiciary which was prepared by a Committee of Jurists
and the International Commission of Jurists at Syracuse,
Sicily on 25th – 29th May, 1981 (hereafter called the
Syracuse Principles);
c. The International Bar Association Minimum Standards of
Judicial Independence (1982)(8) (hereafter called IBA
Standards).4
Dalam Pasal 2 Statute of the International Court of Justice
dinyatakan bahwa peradilan harus ditopang oleh hakim‐hakim
3
Ibid. Lihat:
http://www.reformasihukum.org/file/kajian/Reformasi%20Kebebasan%20Kekuasaan%20Kehakim
an.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2018.
4
Luu Tien Dung. 2003. Judicial Independence In Transitional Countries. UNDP Democratic
Governance Fellowship Programme. Hlm. 10.
3
yang independen, yaitu mereka yang dipilih karena memiliki
integritas tinggi dan moral yang baik. Mereka yang diangkat
menjadi hakim adalah yang memiliki keinginan (obsesi) yang
tinggi untuk mewujudkan supremasi lembaga peradilan
sebagai representasi kekuasaan kehakiman. Selain itu, hakim
juga harus memiliki kualifikasi yang cukup dalam hal
pengetahuan dan kemampuan dalam bidang hukum. Demikian
yang merupakan parameter yang secara internasional diakui;
bahwa hakim merupakan individu yang memiliki kualitas dan
kapasitas, tidak hanya dalam hal intelektualitas, tetapi juga
moralitas dan dedikasi tinggi pada tercapainya tujuan hukum,
yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.5
Kekuasaan kehakiman yang independen dimaksudkan
agar penyelenggaraan peradilan berjalan sesuai dengan
koridor hukum (fair trial). Dalam rangka mewujudkan itulah,
kekuasaan kehakiman yang terejawantah dalam lembaga
peradilan harus ditopang oleh aparat‐aparat yang memiliki
kapabilitas, integritas, dan kualitas pribadi yang tinggi,
khususnya hakim.
Dalam struktur masyarakat yang cenderung liberal
(leissuz faire), dibutuhkan regulasi yang ketat dan ditopang
oleh lembaga peradilan yang berwibawa. Kewibawaan ini
dapat diciptakan melalui independensi kekuasaan kehakiman.
Ini pulalah yang dikemukakan oleh Daniel C. Prefontaine QC
and Joanne Lee: “There is increasing acknowledgement that an
independent judiciary is the key to upholding the rule of law in a
free society. This independence may take a variety of forms
across different jurisdictions and systems of law. But the same
principle always applies, namely the protection of human rights
is dependent on the guarantee that judges will be free and will
reasonably be perceived to be free to make impartial decisions
based on the facts and the law in each case, and to exercise their
role as protectors of the constitution, without any pressure or
5
M. Natsir Asnawi, Kekuasaan Kehakiman Dalam Perspektif Politik Hukum. Hlm. 4.
4
interference from other sources, especially government. This
basic premise is crucial to the maintenance of the rule of law.6
2. Kontrol Kemandirian
Sebelum tahun 2004, penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dipecah‐pecah untuk mempermudah kontrol dan
intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Kehakiman secara
teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung, tetapi
secara teknis administrasi berada di bawah departemen.
Setelah proses satu atap empat badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung pada tahun 2004, bahkan setelah
Undang‐undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman disahkan, independensi tidak serta‐merta diraih.
Eksekutif dan legislatif masih memegang ekor kekuasaan
kehakiman, lewat hak anggaran yang dikuasai mutlak oleh
eksekutif dan dengan persetujuan legislatif.
Dalam International Commission of Jurists (Bangkok,
1965), dinyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman
adalah salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintahan
yang demokratis di bawah rule of law. Jika independensi
kekuasaan sudah tidak terpenuhi, kita tidak bisa berbicara lagi
tentang negara hukum.
Di sisi lain, kebebasan dan independensi kekuasaan
kehakiman terikat dengan pertanggungjawaban dan
akuntabilitas (judicial accountability). Pengawasan atau kontrol
terhadap kinerja badan‐badan peradilan adalah hal mutlak
agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak
disalahgunakan.
Kebebasan hakim tidaklah superior, tetapi dibatasi oleh
akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan
pengawasan (kontrol). Jika kekuasaan kehakiman di atas
dikaitkan dengan hakim, independensi itu harus
disempurnakan dengan imparsialitas dan profesionalisme
seorang hakim. Asas res judicata memiliki konsekuensi: hakim
6
Daniel C. Prefontaine QC and Joanne Lee. 1998. The Rule of Law and The Independence of
The Judiciary. Paper prepared for World Conference on The Universal Declaration of Human Rights.
Montreal.
5
dituntut untuk profesional, adil, dan tidak memihak dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara yang
diterimanya.
Putusan pengadilan bersifat memaksa dan executable,
apa pun isi dari putusan, dan itu adalah satu hal,
sedangkan unprofessional conduct hakim yang bersangkutan
dalam proses pemeriksaan dan penjatuhan putusan adalah hal
lain. Kita sekarang berada pada sebuah masa di mana
penjatuhan sanksi dan pemecatan terhadap hakim
karena unprofessional conduct adalah hal yang mudah
dilakukan.
3. Persoalan Klasik Tentang Kemandirian
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk
kekuasaan tertinggi di Indonesia (prime power). Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang‐Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.7
Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh
lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang
membawahi empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Peradilan Militer dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kekuasaan kehakiman, secara global diakui sebagai kekuasaan
yang harus independen (merdeka) dari berbagai anasir,
intervensi, maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat
mengganggu proses hukum yang sedang berjalan (undue
process of law).
Argumentasi tersebut sejalan dengan cita‐cita untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
mandiri merupakan cita‐cita universal. Hal tersebut dapat
7
Dadan Muttaqien. Mimbar Hukum dan Peradilan No. 70, Januari 2010. Politik Hukum
Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perbankan Syariah Pasca Disahkannya Undang‐Undang No.
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jakarta: PPHIMM, Imam Syaukani dan A Ahsin Thohari.
Hlm. 30‐31.
6
dilihat dalam Basic Principles On Independence of The Judiciary,
yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal
29 Nopember 1985 dan resolusi 40/146 tanggal 13 Desember
1985). Juga dapat dilihat pada Beijing Statement Of Principles
Of The Independence The Law Asia Region Of The Judiciary di
Manila tanggal 28 Agustus 1997, di mana di dalamnya
ditegaskan bahwa:
a. Kekuasaan kehakiman merupakan institusi nilai yang
tertinggi pada setiap masyarakat;
b. Kemerdekaan hakim mensyaratkan bahwa hukum
memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar
pemahaman undang‐undang dan terbebas dari pengaruh
dari mana pun, baik langsung maupun tidak langsung,
hakim memiliki yurisdiksi atas segala isu yang
memerlukan keadilan.8
Aidul Fitriciada mengemukakan bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab adalah
perwujudan dari asas kedaulatan rakyat, negara hukum, dan
pemisahan kekuasaan. Namun demikian, terdapat perbedaan
diametral antara konsep ‘merdeka’ dan ‘bertanggung‐jawab’
dari kekuasaan kehakiman. Makna ‘merdeka’ menunjukkan
tidak adanya ikatan dan tidak tunduk pada kekuatan apapun,
sedangkan makna ‘bertanggung‐jawab’ menunjuk pada makna
sebaliknya. Dalam perkataan lain, ‘kekuasaan kehakiman yang
merdeka’ bermakna kekuasaan yang tidak terikat, lepas, dan
tunduk pada kekuasaan yang lain, sedangkan ‘kekuasaan
kehakiman yang bertanggung‐jawab’ justru bermakna
kekuasaan kehakiman berada dalam kaitan dengan dan
tunduk pada kekuasaan yang lain.9
Kekuasaan kehakiman yang merdeka terbangun dari
beberapa elemen dasar yang saling bertalian. Elemen‐elemen
tersebut adalah:
8
Ahmad Zaenal Fanani. 2009. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Masa Depan
Peradilan Agama: Analisis UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No. 50 Tahun 2009. Makalah. Hlm. 5.
9
Aidul Fitriciada Azhari. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di
Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Kesimbangan. Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret
2005. Hlm 89‐118.
7
a. Lembaga peradilan yang mandiri, terpisah dari struktur
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam pada itu,
lembaga peradilan tersebut terstruktur secara hirarkis
(vertikal), terintegrasi dalam pola dan teknis administrasi
dan yudisial yang unifikatif.
b. Hakim dan aparat peradilan yang jujur, kompeten,
berintegritas tinggi, dan visi yang kuat pada tercapainya
keadilan bagi sekalian pencari keadilan (equality before
the law).
c. Perundang‐undangan yang mendukung terwujudnya
kekuasaan kehakiman yang merdeka.
d. Budaya hukum masyarakat sebagai unsur extra judicial
yang memegang peranan signifikan, terutama dalam
mengawal dan mengontrol proses peradilan. Budaya
hukum dimaksud termasuk di dalamnya tata nilai,
paradigma, perilaku, dan diskresi hukum masyarakat
(masyarakat awam, penstudi hukum, aktivis, NGO, dan
elemen masyarakat lainnya).10
Justine LeDain mengemukakan tiga karakteristik utama
kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu:11
a. Security of tenure. Security of tenure (jaminan masa kerja)
adalah kepastian tentang lamanya seseorang menduduki
suatu jabatan, khususnya jabatan hakim. Dalam sistem
hukum Amerika, dapat menduduki jabatan hakim
seumur hidup sepanjang menunjukkan kinerja positif dan
memiliki kepribadian dan moralitas yang baik. Hal ini
dinyatakan dalam Constitution Act, 1867 Section 99:
“…the Judges of Superior Courts, shall hold office during
good behaviour, but shall be removable by the Governor
General on address of the Senate and the House of
Commons”.
Jaminan masa kerja demikian, sebagai bagian dari upaya
menjaga integritas hakim sekaligus sebagai motivasi bagi
10
M. Natsir Asnawi, Kekuasaan Kehakiman Dalam Perspektif Politik Hukum. Hlm. 9.
11
Daniel C. Prefontaine QC and Joanne Lee, The Rule of Law and The Independence of The
Judiciary. Hlm. 11‐13.
8
para hakim untuk senantiasa meningkatkan
kemampuannya demi kinerja yang progresif sekaligus
sebagai implementasi dari adagium “Ius curia novit”.
b. Financial security. Financial security (jaminan pendapatan)
bagi para hakim merupakan salah satu unsur yang
mendapat perhatian luas pada hampir seluruh sistem
hukum negara‐negara di dunia. Di amerika misalnya, The
Constitution Act, 1867 Section 110 mengamanatkan
penyesuaian pendapatan bagi para hakim untuk
menunjang peningkatan kinerja dan kemandirian hakim.
Demikian dimaksudkan untuk membentengi para hakim
dari kemungkinan atau kecenderungan untuk melakukan
hal‐hal yang melanggar kode etik profesi maupun yang
bertentangan dengan undang‐undang.
c. Administrative independence. Administrative
independence merupakan kontrol yang dilakukan oleh
lembaga peradilan terhadap penyelenggaraan
administrasi peradilan. Demikian dimaksudkan untuk
menunjang terlaksananya fungsi peradilan secara
signifikan.
Jimly Ashshiddieqy mengonsepsikan independensi
kekuasaan kehakiman ke dalam tiga pengertian dasar, yaitu:
a. Structural independence, yaitu independensi
kelembagaan yang terlihat dari bagan organisasi yang
terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan
yudikatif.
b. Functional independence, yaitu independensi dilihat dari
segi jaminan pelaksanaan fungsi‐fungsi kekuasaan
kehakiman dari intervensi ekstra yudisial.
c. Financial independence, yaitu independensi dilihat dari
segi kemandiriannya dalam menentukan sendiri
anggaran yang dapat menjamin kemandiriannya dalam
menjalankan fungsi.12
12
Ahmad Zaenal Fanani. 2009. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka. Hlm. 8.
9
4. Jaminan Jabatan Hakim Dalam Undang‐Undang
Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini,
kedudukan Hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias
dan belum tertegaskan secara integral. Bilamana Hakim Agung
pada Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi pada
Mahkamah Konstitusi telah jelas penetapannya sebagai
pejabat negara dengan segala implementasinya. Tidak
demikian dengan Hakim karier yang bertugas di lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, kedudukan dan
perlakuan terhadapnya baik dari segi normatif maupun
implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan
layaknya pejabat negara. Pada satu sisi ditegaskan sebagai
pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberapa
aspek yang mengenainya masih terikat dengan sistem
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam konteks ini secara simultan
Hakim memiliki status sebagai PNS. Oleh karenanya jabatan
Hakim sering dikatakan berstatus ganda yaitu sebagai pejabat
negara dan PNS.
Jabatan Hakim ini diibaratkan satu kakinya berada di
wilayah eksekutif sedangkan satu kaki yang lain berada di
wilayah yudikatif. Atas penetapan status jabatan yang
demikian, senyatanya negara telah bersikap inkonsisten dalam
penerapan pemisahan atau pembagian kekuasaan secara
konstitusionalism. Selain itu secara fungsional, status dan
kedudukan antara sebagai pejabat negara dengan sebagai
pegawai negeri sipil memiliki berbagai perbedaan yang sangat
mendasar. Perbedaannya antara lain terletak pada sistem dan
pola rekrutmen, pengangkatan, gaji dan tunjangan, hak dan
kewajiban, pembinaan, promosi dan mutasi, maupun
protokolernya.
Momentum penerbitan UU ASN telah memberikan angin
segar bagi kalangan Hakim khususnya dan lingkungan
peradilan pada umumnya. Kedudukan jabatan Hakim dalam
“pejabat negara” tertegaskan secara eksplisit dalam UU ASN
(Pasal 121 dan pasal 122 huruf (e)). Namun selain didefinisikan
pejabat negara, dalam beberapa Undang‐Undang yang berlaku
10
lainnya jabatan Hakim didefinisikan secara berbeda Undang‐
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
mengkategorikan Hakim sebagai penyelenggara negara (Pasal
1 ayat (1) dan Pasal 2). Sedangkan Undang‐Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan
jabatan Hakim sebagai pejabat negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman (Pasal 19).
Perkembangan hukum positif terkini yang menempatkan
Hakim sebagai pejabat negara, jika dibandingkan dengan
konstruksi jabatan Hakim di masa lalu yang notabene Hakim
ditempatkan sebagai pegawai pemerintah (eksekutif), telah
senapas dengan konsepsi pemisahan atau pembagian
kekuasaan negara dan independensi peradilan. Meskipun
demikian, konstruksi sistem manajemen Hakim seperti saat ini,
walau status sebagai pejabat negara telah lima belas tahun
ditetapkan, namun penyesuaian terhadap peraturan turunan
terkait fungsi‐fungsi manajemennya belum secara holistik dan
integral diselaraskan. Akibat dari hal ini terjadi kekosongan
dan overlapping peraturan yang terkait dengan manajemen
Hakim. Upaya untuk mengatur proses manajemen Hakim
secara menyeluruh sehingga independensi Hakim dalam
menjalankan tugasnya dapat terjamin perlu ditata ulang.13
Upaya redefinisi jabatan Hakim ini tentu tidak mudah.
Sebagai konsekuensi dari adanya pengaturan status dan
kedudukan hakim yaitu pejabat negara, maka ke depannya
akan memerlukan pengaturan tersendiri yang menyangkut
tentang pola rekrutmen, sistem kepangkatan, penilaian
kinerja, promosi dan mutasi (serta demosi) yang tidak lagi
mengacu persis sebagaimana sistem dan pola pembinaan karir
pegawai negeri sipil pada umumnya. Selanjutnya dari redefinisi
jabatan Hakim tersebut juga akan berdampak pada
13
Jaja Ahmad Jayus. 2014. Hakim Sebagai Pejabat Negara: Pandangan Komisi Yudisial RI.
Makalah. Disampaikan dalam diskusi publik ‘Desain Status Hakim” yang diselenggerakan oleh
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bertempat di Hotel Century
Park Jakarta pada tanggal 5 Desember 2014. Hlm.1.
11
rekonstruksi manajemen jabatan Hakim melalui sebuah proses
inpassing.
Jaja Ahmad Jayus menyatakan proses inpassing dari
kedudukan Hakim saat ini menjadi seorang pejabat Negara ini
perlu diatur, penyesuaian ini sangat dibutuhkan terkait
keberadaan hakim yang telah ada saat ini. Hakim adalah
jabatan mulia, menempatkan hakim sebagai pejabat negara
merupakan marwah di mana hakim seharusnya berada. Status
Hakim sebagai pejabat negara tidak bisa diartikan hanya
berujung pada hak keuangan dan fasilitas semata, tetapi juga
kualifikasi serta perlakuan yang outstanding untuk menjadikan
profesi Hakim benar‐benar layak disebut sebagai pejabat
negara. Salah satu contohnya dalam hal evaluasi kinerja,
dimana posisi Hakim sebagai pejabat negara juga membawa
konsekuensi serius pada hasil penilaian kinerjanya. Pada
umumnya masa jabatan pejabat negara diatur secara periodik
lima tahunan, maka seharusnya perlakuan yang sama juga
dituntut terhadap para hakim dimana performanya dalam
menjalankan tugas menjadi sangat penting untuk dievaluasi
secara periodik.14
Kerangka hukum yang ada pada saat ini belum
sepenuhnya mampu mengatur secara tepat, lengkap dan
implementatif menyangkut status hakim sebagai pejabat
negara. Misalnya terkait sistem kepangkatan dan
penggolongan bagi hakim ke depan nantinya akan berkaitan
dengan masalah rekrutmen, pengangkatan, pembinaan,
sistem dan pola promosi dan mutasi hakim dalam kaitannya
dengan menentukan kelas‐kelas pengadilan‐pengadilan yang
ada. Tidak harus ditetapkan sama persis dengan sistem dan
pola kepangkatan pada pegawai negeri sipil, namun sistem
dan pola kepangkatan yang spesifik bagi hakim tetap perlu
untuk dirumuskan tersendiri di kemudian hari. Kalau hal
tersebut tidak segera dilakukan, jelas akan menimbulkan
kekacauan dalam menjalankan sistem dan pola promosi dan
14
Ibid.
12
mutasi bagi hakim dari pengadilan kelas yang satu ke kelas
yang lain, serta dari pengadilan tingkat pertama ke pengadilan
tingkat banding, belum lagi bagaimana menentukan gradasi
diantara para hakim yang masing‐masing memiliki masa kerja
dan pengalaman yang berbeda beda antara satu dengan yang
lain.
Karena itu perlu kiranya dipikirkan ke depan perumusan
peraturan Perundang‐undangan baru yang mengatur sesuai
dengan karakteristik jabatan Hakim sebagai pejabat negara
sehingga daripadanya dapat menjamin pelaksanaan
independensi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi yudisial.
RUU jabatan Hakim menjadi momentum yang tepat untuk
mendukung pengaturan sistem manajemen jabatan Hakim
yang integral dan komprehensif hingga independensi
kekuasaan kehakiman terjaga dan terpelihara dari segala
potensi campur tangan pihak intra maupun ekstra yudisial.
Mekanisme pengawasan insan peradilan oleh Komisi
Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah
membuka kemudahan akses pelaporan penyelewengan
seorang hakim dari peradilan tingkat pertama hingga tingkat
Mahkamah Agung.
Hakim berbicara lewat putusan. Hakim tidak
menjelaskan perkara yang akan, sedang, dan telah ia periksa
lewat konferensi pers, pernyataan, atau cara apa pun.
Pertimbangan hakim dalam sebuah putusan memuat
semua aspek sosial yuridis, di sanalah hakim berbicara. Hal ini
menimbulkan sebuah tantangan baru bagi Mahkamah Agung:
transparansi putusan, dari sejak tingkat pertama, banding,
kasasi, hingga peninjauan kembali.
Putusan‐putusan level kasasi dan peninjauan mudah
dicari dalam portal putusan Mahkamah Agung. Namun,
mencari putusan‐putusan tingkat pertama pengadilan se‐
Indonesia memerlukan usaha ekstra dan sedikit
keberuntungan untuk menemukannya.
Publikasi putusan adalah judicial accountability, sebagai
salah satu tanggung jawab dari kebebasan dan independensi
13
kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, intervensi terhadap
independensi kekuasaan kehakiman mutlak tidak boleh
dilakukan.
B. Peradilan Melawan Korupsi
1. Menepis Istilah Mafia Peradilan
Istilah mafia ini mulai dikenal sekurang‐kurangnya sejak
abad pertengahan di Italia dan Amerika Serikat. Mafia merupakan
panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia, terutama di
wilayah Sisilia, Italia Selatan. Mereka juga kerap menggunakan
sebutan La Cosa Nostra, yang pada awalnya merupakan nama
sebuah konfederasi yang didirikan oleh orang‐orang dari Sisilia.
Konfederasi ini bertujuan memberikan perlindungan ilegal,
pengorganisasian kejahatan berupa kesepakatan dan transaksi
secara ilegal, arbitrase perselisihan antar kriminal, dan penegakan
hukum sendiri. Konfederasi ini kerapkali terlibat dalam kegiatan
perjudian, penipuan, perdagangan narkoba, dan penggelapan
dana.15
Secara personal, anggota kelompok ini disebut mafioso
yang dalam bahasa Italianya berarti pria ‘terhormat’. Sebutan ini
tentu dilatarbelakangi oleh prestasi pengorganisasian kejahatan
yang dicapainya. Oleh karena itu, dilihat dari sifat kerjanya, maka
mafioso sekalipun tetaplah merupakan sebutan yang berkonotasi
negatif.
Dalam spektrum yang lebih umum, Satjipto Raharjo
mengatakan, kosakata mafia hukum ada di Indonesia sejak tahun
1970‐an, yakni skandal dalam peradilan korupsi yang menyeret
Budiaji (petinggi Depot Urusan Logistik Kalimantan Timur),
berikut pengacaranya, Sunarto Surodibroto (Ketua Peradin DPC
Jakarta). Ia bahkan dipecat sementara dari Peradin lantaran
dituding melakukan praktik mafia hukum, dengan
mengumpulkan dana untuk dibagi kepada aparat peradilan, demi
memengaruhi putusan pengadilan.16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mafia
diartikan sebagai perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang
15 Sumber: https://www.merriam‐webster.com/dictionary/Mafia
16
Satgas Mafia Hukum, Mafia Hukum, Satgas Mafia Hukum dan UNDP, 2010.
14
kejahatan (kriminal). Bahkan dalam KBBI, telah pula dibakukan
padanan kata mafia peradilan dengan pengertian persekongkolan
di antara para penegak hukum dengan pencari keadilan, atau
proses penyelesaian perkara melalui pengadilan yang
dikendalikan oleh pihak yang ingin memenangi perkara.17
Jika dilihat dari beberapa penggunaan dan pengertiannya,
maka istilah mafia ini merupakan sebutan untuk suatu kelompok
(kolektif) bukan perorangan (individual), yang bidang kerjanya
adalah kejahatan yang bersifat rahasia. Dengan demikian, istilah
mafia berbeda dengan istilah oknum yang meskipun sama dalam
sifat rahasia dan bidang kejahatan, namun tetap berbeda dari segi
sifat individualitasnya.
Beberapa pengamat hukum memberikan arti yang berbeda
mengenai mafia peradilan. Mantan Ketua Mahkamah Agung RI,
Bagir Manan, mengartikan mafia peradilan itu sebagai behavior,
yaitu tingkah laku yang tidak terpuji (criminal behavior).18 Dalam
penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW)
pertengahan tahun 2002, mafia peradilan diartikan sebagai
korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku yang
berhubungan atau berkaitan dengan lembaga peradilan mulai
dari polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim sampai petugas di
lembaga pemasyarakatan.
Hasrul Halili, Peneliti pada Pusat Kajian (Pukat) Korupsi FH
UGM, menyimpulkan bahwa praktik mafia hukum (peradilan)
memiliki watak terorganisasi dan sistematis sebagaimana
layaknya ciri kejahatan mafioso, informasi mengenai modus yang
sophisticated, keterlibatan multi‐aktor penegak hukum, dan
rentang terjadinya dari proses hulu sampai hilir peradilan.19
Berbeda dari itu, Widiada Gunakaya, menepis terminologi
mafia peradilan dalam pengertian yang luas sedemikian itu.
Menurutnya, mafia peradilan lebih bersifat sosiologis‐
17
Sumber: https://www.kbbi.web.id/mafia, lihat pula Tim Penyusun, Kamus Bahasa
Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 962.
18
Kompas, 20 Mei 2001.
19
Hasrul Halili, Mengupayakan Peradilan Bersih: Dari Kajian Hingga Program Pemantauan
yang Melibatkan Perguruan Tinggi, Makalah, Disampaikan Pada Seminar Jurnal Integritas KPK di FH
UGM pada tanggal 27 September 2017.
15
kriminologis dengan spektrum yang khusus. Secara sosiologis
dimaknai bahwa istilah mafia peradilan ini diwacanakan oleh
masyarakat, karena keberadaannya ada di dalam masyarakat.
Adapun secara kriminologis, dapat dijelaskan dengan tiga hal:
Pertama, mafia peradilan merupakan refleksi dari suatu realitas
yang unsur‐unsur keberadaannya bersifat melawan hukum formal
dan materiil. Kedua, terminologi “mafia” dalam kata mafia
peradilan, diambil dari sebutan orang Italia terhadap sekelompok
orang yang melakukan kejahatan sebagai profesinya. Orang‐
orang yang tergabung dalam kelompok itu yang disebut dengan
mafioso, terorganisasi dengan rapi, memiliki soliditas dan loyalitas
tinggi kepada pimpinan dan organisasinya, melakukan
pekerjaannya secara profesional, serta patuh pada aturan‐aturan
organisasi. Ketiga, kata “peradilan” pada terminologi mafia
peradilan agar tidak dimaknai sempit hanya meliputi badan
pengadilan saja. Badan peradilan, di samping meliputi badan
pengadilan, juga kepolisian dan kejaksaan. Di dalam sistem
peradilan pidana mencakup pula lembaga pemasyarakatan dan
pengacara. Bahkan kenyataan menunjukkan, terjadinya mafia
peradilan juga karena para pengacara mengambil posisi sebagai
“dirigen” pengatur rekayasa peradilan.20
Atas dasar ini, Widiada menyimpulkan, penggunaan
terminologi mafia peradilan sebetulnya sangat berlebihan jika
ditinjau dari sisi keberadaan dan makna yang dikandungnya. Dari
sisi keberadaan, walaupun realitas mafia peradilan benar‐benar
ada, tetapi keberadaannya tidak seperti mafia‐mafia yang ada di
Itali atau di negara‐negara lain yang memang terbentuk dalam
suatu wadah organisasi. Sedangkan di Indonesia, walaupun
namanya mafia peradilan, dan perbuatan yang dilakukannya pun
adalah kejahatan, tetapi orang‐orangnya tidak tergabung dalam
suatu wadah organisasi. Sedangkan ditinjau dari sisi makna, oleh
karena terminologi mafia peradilan hanya diartikan sebagai
perbuatan melakukan suap dan penyalahgunaan kekuasaan,
20
Widiada Gunakaya, Pemberantasan Mafia Peradilan dengan Pemberdayaan “Gaya
Sentrifugal” dan “Sentripetal” dalam Penegakan Supremasi Hukum (Suatu Kontemplasi Refleksif),
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02 September 2010, hlm. 169.
16
kewenangan, jabatan atau kesempatan yang dimiliki oleh aparat
penegak hukum yang bersangkutan, dengan tujuan untuk
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, maka,
lebih baik istilah yang digunakan adalah “korupsi peradilan”
(judicial corruption).21
Terlepas dari berbagai sudut pandang mengenai
terminologi ideal tentang kejahatan yang melibatkan aparatur
peradilan, yang jelas, dalam perkembangannya, mafia peradilan
dapat digambarkan sebagai perilaku, baik terorganisasi ataupun
tidak, yang dilakukan di antara aparatur peradilan dengan para
pihak pencari keadilan dan/atau advokat, dan penegak hukum
lainnya, guna mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil secara ilegal. Besar atau kecil keuntungan yang
diperoleh dari tindakan kemafiaan ini, atau luas atau sempit sifat
keorganisasiannya, tetaplah merupakan suatu bentuk kejahatan
yang harus diberantas. Terlebih, jika mafia peradilan dimaksud
adalah dalam pengertian kolektif yang melibatkan proses dari
hulu hingga ke hilir penegakan hukum, maka mafia peradilan
apapun bentuk dan sifatnya, menjadi musuh bersama bangsa
Indonesia yang telah sepakat dengan konsep negara hukum.
2. Klasifikasi Penyebab Korupsi
a. Designed by System
Munculnya perilaku kemafiaan di tubuh peradilan tak
dapat dilepaskan dari rancang bangun sistem yang dijalankan.
Sekurang‐kurangnya ada 2 (dua) klasifikasi sistem dalam
pengertian ini, pertama sistem hukum yang diterapkan, dan
kedua, sistem pemberdayaan aparatur.
Kemafiaan yang muncul dari celah sistem hukum
dimaksud antara lain adalah adanya ketentuan hukum acara
(H.I.R/R.Bg) yang melegalisasi pemberian bantuan (beracara)
kepada para pihak baik oleh ketua pengadilan/hakim, maupun
oleh panitera pengadilan. Meskipun ada batasan baik
normatif‐legalistik maupun batasan normatif‐etik, namun tak
21
Ibid. hlm. 170.
17
dapat ditampik terbukanya potensi conflict of interest, antara
pemberi dan penerima bantuan.
Menurut Lawrence M. Friedman, segala bentuk reaksi
yang timbul dari sebuah tatabangun sistem hukum yang
diterapkan, baik yang berupa obey (ketaatan) atau disobey
(ketidaktaatan) terhadap aturan hukum, atau berupa use
(menggunakan) atau not use (tidak menggunakan) suatu
aturan hukum, merupakan cakupan dari legal behavior
(perilaku hukum). Friedman menguraikan arti legal behavior
sebagai seluruh perilaku yang dipengaruhi oleh aturan,
keputusan, perintah, atau undang‐undang, yang dikeluarkan
oleh pejabat dengan wewenang hukum.22
Hal ini berarti, kewenangan dalam menerapkan aturan
hukum dan/atau membuat suatu peraturan atau keputusan,
mengandung konsekuensi timbulnya legal behavior dari subjek
hukum. 23 Terutama subjek hukum berupa ‘orang’,
mengandung konsekuensi persentuhan dengan banyak sisi
kemanusiaan yang asasi. Sebab sisi inilah yang paling
mempengaruhi bentuk atau reaksi legal behavior yang muncul.
Sehingga perhatian akan sisi kemanusiaan ini jelas menjadi
sesuatu yang fundamental dalam mengambil kebijakan
institusional.
b. Designed by Mental
Perilaku menyimpang penegak hukum pun dapat muncul
dari aspek mentalitas yang tergerus. Tak peduli situasi yang
sedang melingkupinya, penyimpangan dalam melakukan tugas
seakan sudah menjadi candu yang tak mungkin ia lepaskan.
Dalam teori psikologi dan filsafat moral, Bentham,
menyebutkan bahwa manusia itu pada dasarnya dikuasai oleh
dua kekuasaan yang berdaulat, yaitu kesenangan (pleasure)
dan penderitaan (pain).24 Dalam perjalanannya, manusia itu
selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan
22
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, dalam Ahmad Ali, Menguak Teori
Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 143‐144.
23
Bandingkan dengan kesimpulan Achmad Ali, Menguak Teori Hukum…, hlm. 160
24
Jeremy Bentham, An Introduction to The Morals and Legislation, Batoche Book,
Kitcherner, 2000, hlm. 14.
18
menghindari penderitaan (pain). Esensi yang sama
sesungguhnya telah pula disampaikan baginda Nabi saw,
dengan mengidentifikasi syahawat (hal‐hal yang disukai;
pleasure) sebagai selimut neraka, dan makarih (hal‐hal yang
dibenci; pain) sebagai selimut surga.25 Hadits ini pada dasarnya
merupakan informasi tentang pentingnya manusia untuk
waspada terhadap kecenderungan untuk memperturutkan
kesenangan (syahawat; pleasure) karena yang sedemikian itu
akan membawanya kepada penderitaan yang sesungguhnya di
akhirat. Sebaliknya, bagi manusia yang berjuang untuk
bersabar melawan penderitaan (makarih; pain) tanpa terbuai
untuk menghalalkan cara‐cara yang menyimpang, maka
sesungguhnya ia sedang menapaki jalan menuju kebahagiaan
sejati di akhirat.
Mafhum lain dari teori ini, adalah bahwa mentalitas
mencari jalan kesenangan (tetapi salah) dengan menghindari
penderitaan (padahal benar), akan tumbuh dalam diri manusia
sebagai sesuatu yang potensial. Memperkaya diri sendiri untuk
dapat hidup mewah akan selalu bergelora secara potensial
dalam diri aparatur hukum dan peradilan, sehingga potensi ini
jika terus‐menerus dituruti, akan terpatri menjadi pola pikir
dan pola tindak (mentalitas) yang mengakar. Dari sini proses
rasionalisasi korupsi terjadi dalam diri aparatur hukum. Proses
mana mengantarkannya pada legitimasi korupsi sebagai jalan
hidup yang benar.
Dalam ranah perilaku mafia peradilan terutama praktik
korupsi, bentuk‐bentuk rasionalisasi yang sering ditemukan
antara lain, pertama, menolak tanggung jawab, pelaku
menganggap bahwa tindakan korupsi dilakukan karena tidak
ada pilihan lain. Tindakan korupsi dirasionalisasi dengan alasan
gaji terlalu kecil. Kedua, penyangkalan terhadap dampak yang
dimunculkan. Pada bentuk rasionalisasi ini, pelaku
menganggap bahwa tindak korupsi yang dilakukan tidak akan
terlalu berdampak kerugian pada orang lain ataupun negara,
25
HR. Bukhari.
19
misalnya menganggap bahwa korupsi yang dilakukan kecil
apabila dibandingkan dengan pejabat‐pejabat lain. Ketiga,
mempunyai tujuan yang ideal. Pada rasionalisasi ini, pelaku
menganggap bahwa tindakan korupsi yang dilakukan dalam
rangka tujuan yang lebih baik. Para pelaku membenarkan
tindakan korupsi karena mempunyai tujuan lain di baliknya,
misalnya dalam rangka memenuhi desakan, memenuhi
kepentingan lembaga, dan lain‐lain.26
Pada tahapan berikutnya yang lebih akut, akan terbentuk
apa yang disebut sebagai moral disengagement27, yaitu sikap di
mana individu tertentu dapat melakukan tindakan‐tindakan
salah dan tidak manusiawi tanpa merasa bersalah. Proses ini
dapat muncul dari proses rasionalisasi yang terus dilakukan
berulang‐ulang, sehingga terbentuk norma tersendiri yang
pada akhirnya mengubah sikapnya. Pelaku tindakan korupsi
pada titik ini tidak akan merasa bersalah atas tindakan yang
dilakukan. Dalam bahasa agama, keadaan ini sama dengan apa
yang disebut sebagai kondisi hati dan telinga yang telah
terkunci mati, sementara mata pun telah tertutup, yang pada
akhirnya mematenkan siksa pedih kelak di akhirat.28 Dapat
dikatakan, inilah level akut mafia peradilan.
c. Designed by Environment
Secara teoritis, perilaku hukum dapat dipengaruhi oleh
sekurang‐kurangnya dua hal, yaitu komunikasi hukum
(communication of the law) dan pengetahuan hukum
(knowledge of the law). 29 Artinya untuk sampai pada
efektivitas hukum sebagai perilaku yang positif, maka hukum
itu harus terlebih dahulu dikomunikasikan agar kemudian ia
menjadi sebentuk pengetahuan, sehingga perilaku yang
kemudian muncul sesuai dengan apa yang diharapkan.
26
Lihat lebih lanjut dalam Adang Budiman, dkk, Rationalizing Ideologies, Social Identities
and Corruption among Civil Servants in Indonesia during the Suharto Era. Dalam Journal of Business
Ethics, Vol. 116, 2013, hlm. 139‐149.
27
Lihat lebih lanjut dalam Albert Bandura, Moral Disengagement in the Perpetuation of
Inhumanities, dalam Journal of Personality and Social Psychology, 3, 1999, hlm193‐209.
28
QS. Al Baqarah (2); 7.
29
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum…, hlm. 163.
20
Tetapi rupanya, upaya‐upaya guna mempengaruhi
perilaku hukum itu, kemudian dapat mentah di permukaan
lantaran subjek hukum berada pada situasi dan lingkungan
yang telah terlebih dahulu berafiliasi dengan jaring‐jaring
mafia peradilan. Sekalipun di semua lini kewenangan dan
tugas peradilan itu telah bersemi peraturan perundang‐
undangan bersamaan dengan terbentuknya lembaga‐lembaga
baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, hingga
Pengawasan Internal Mahkamah Agung, sebagai bentuk
kontrol terhadap sistem dan subjek hukum, namun ia menjadi
‘mandul’ karena berada di lingkungan yang buruk.
Jika diukur dengan unsur‐unsur rancang bangun sistem
hukum ala Lawrence M. Friedman30, yaitu struktur hukum
(legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya
hukum (legal culture), maka apa yang sudah berlaku selama ini
dari adanya undang‐undang dan lembaga‐lembaga hukum
kaitannya dengan upaya pemberantasan mafia hukum,
barulah menyentuh aspek struktur hukum. Sementara
substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap
budaya hukum. Budaya kerja yang di dalamnya termuat
prosedur administrasi dan pola birokrasi yang merupakan
bagian dari sebuah lingkungan kerja, masih membuka celah
‘basah’ sehingga praktik kemafiaan masih belum terkekang
ruang geraknya.
Keadaan buruknya lingkungan kerja ini melahirkan laqab
baru yang memprihatikan yaitu ketika peradilan disebut
menjadi habitat kehidupan lingkaran setan (the devil circle)
mafia. Lingkaran ini membentuk energi yang mengandaskan
upaya‐upaya mempengaruhi perilaku hukum yang positif.
Akibatnya tidak sedikit, mereka yang masih bertahan dengan
idealisme, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok
penguasa tertentu.
30
Lawrence M. Friedmen, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, Englewood
Gliffs, New Jersey, 1977, hlm. 6.
21
C. Rasio Beban Kerja Hakim
Pengadilan dituntut untuk menyediakan standar pelayanan
yang bermutu, pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan
dan kepuasan pengguna layanan pengadilan. Untuk
mencapainya, terdapat 7 kriteria penilaian yang ditetapkan dalam
menciptakan kinerja peradilan Indonesia yang unggul (Indonesia
Court Performance Excellent) yaitu 1. Kualitas Kepemimpinan, 2.
Rencana Strategis, 3. Kualitas Pelayanan, 4. Sistem dokumen
administrasi, 5. Manajemen Sumber Daya, 6. Manajemen Proses,
dan 7. Sistem Pengawasan.
Indeks Nilai Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung sejak
tahun 2013 selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2017 Nilai RB
Mahkamah Agung adalah 88,27, nilai tersebut mengalami
kenaikan dari tahun 2016 yang memperoleh nilai sebesar 74,42.
Hal ini menunjukan adanya perbaikan kinerja pada Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya terutama adanya
pencapaian di bidang manajemen sumberdaya manusia.
Salah satu pencapaian di bidang manajemen sumberdaya
manusia, Mahkamah Agung berhasil melaksanakan seleksi
CPNS/Calon Hakim tahun 2017, didasarkan pada Perma No. 2
Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim, berhasil menjaring
sebanyak 1.591 orang lulusan putra putri terbaik untuk menjadi
Hakim di masa yang akan datang. Proses seleksi dilakukan secara
transparan dan akuntabel. Proses seleksi melibatkan Panitia
Seleksi Nasional yang beranggotakan Kementerian PAN dan RB,
Badan Kepegawaian Negara, BPKP, BPPT dan Lembaga Sandi
Negara. Pelaksanaan Seleksi diawasi langsung oleh Tim
Pengawas serta dikontrol oleh Tim Quality Assurance yang
dibentuk oleh Panitia Seleksi Nasional.
Pencapaian lain, dalam hal promosi dan mutasi, Mahkamah
Agung juga telah menerbitkan SK KMA No. 48 Tahun 2017 yang
mengatur pola promosi dan mutasi Hakim pada empat
lingkungan peradilan. Dengan adanya pedoman tersebut, maka
promosi dan mutasi lebih terstruktur dan sistematis, yang
disingkronkan dengan mekanisme reward and punishment. Dalam
mengisi formasi pimpinan pengadilan, Mahkamah Agung telah
22
menjalankan mekanisme fit and proper test, untuk memastikan
bahwa orang‐orang yang memimpin pengadilan adalah mereka
yang qualified dan berintegritas.
Ketua Mahkamah Agung selalu menekankan, dalam
pelaksanaan fungsi teknis lembaga peradilan, kemandirian dan
integritas adalah modal utama untuk memperoleh kepercayaan
publik, di samping tentunya masalah kepastian hukum dan
kualitas serta konsistensi putusan sebagai core business peradilan.
Dalam mewujudkan integritas hakim dan aparatur peradilan
agama, terdapat dua aspek yang harus dipenuhi. Pertama, aspek
pengawasan. Peradilan yang bersih dan berwibawa harus
didukung oleh sumberdaya aparatur yang profesional dan
berintegritas sehingga perlu dilakukan revolusi mental. Oleh
karena itu, dalam bidang pengawasan, Mahkamah Agung
melakukan 3 upaya sistematis. Pertama, membangun sistem
pengawasan secara terpadu melalui penerbitan berbagai regulasi.
Kedua melakukan pembinaan aparatur peradilan secara intensif
dan berkesinambungan. Dan Ketiga, melakukan perubahan pola
pikir (mindset) sebagian aparatur peradilan yang masih minta
dilayani menjadi pelayan pencari keadilan. Mahkamah Agung
tidak akan memberikan toleransi bagi aparatur yang masih
melakukan penyimpangan terhadap kode etik dan pelanggaran
disiplin lainnya.
Upaya pertama dan kedua telah dilakukan Mahkamah
Agung sejak beberapa tahun yang lalu, yaitu dengan menerbitkan
3 regulasi di bidang pengawasan dan penegakan disiplin melalui
Perma Nomor 7, 8 dan 9 Tahun 2016. Pada Tahun 2017 lalu,
program‐program pembinaan dan pengawasan diarahkan untuk
memastikan kepatuhan terhadap ketiga paket kebijakan
tersebut.
Di tahun 2017 Mahkamah Agung giat melakukan upaya
pembinaan dan penindakan terhadap aparatur peradilan sebagai
implementasi dari upaya ketiga. Ketua Mahkamah Agung telah
menerbitkan Maklumat Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 yang
isinya penegasan kepada Pimpinan Mahkamah Agung atau
Pimpinan Badan Peradilan untuk melaksanakan proses
23
pengawasan dan pembinaan secara berkala dan
berkesinambungan, serta memastikan terlaksananya semua
kebijakan Mahkamah Agung di bidang pengawasan dan
pembinaan. Mahkamah Agung juga telah melatih beberapa orang
secara khusus untuk diterjunkan ke pengadilan‐pengadilan
sebagai agen penyamaran (mistery shopper) untuk memantau
perilaku aparatur peradilan di lapangan.
Kedua, aspek pembinaan hakim dan aparatur peradilan
agama. Mahkamah Agung juga telah menerbitkan SK KMA No.
48 Tahun 2017 yang mengatur pola promosi dan mutasi Hakim
pada empat lingkungan peradilan. Dengan adanya pedoman
tersebut, maka promosi dan mutasi lebih terstruktur dan
sistematis.
1. Defisit Hakim
Postur sumberdaya manusia di lingkungan Peradilan
lebih menekankan pada aspek penambahan jumlah hakim dan
pola promosi dan mutasi hakim, rasio antara penerimaan calon
hakim dan kebutuhan hakim di beberapa PA masih jauh dari
harapan.
Secara umum, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA)
Suhadi mengatakan saat ini hanya ada sekitar 7000 hakim
yang bertugas di seluruh Indonesia: "Dulu kita pernah punya
jumlah hakim 8000. Idealnya itu 11.000, kurang 4000 hakim
lagi. Sekarang ada yang 1.591 hakim lagi latihan,".(18/6/18).
Suhadi menerangkan sekitar 1500 lebih hakim yang
sedang pendidikan itu tidak bisa langsung bekerja. Mereka
harus menyelesaikan masa pendidikan selama kurang lebih 3
tahun untuk siap bertugas. Aparatur peradilan di daerah
perbatasan sangat susah untuk dicari. Bahkan, sempat ada
usulan agar standar penerimaan hakim diturunkan dan
diutamakan bagi putera daerah. Namun, MA tetap
menetapkan kompetensi hakim sesuai standar. Setiap hakim
juga diharuskan untuk siap mengabdi di seluruh pelosok
negeri.
Presiden telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13
Tahun 2016 tentang Pembentukan 86 pengadilan. Sebanyak
24
86 pengadilan baru dibentuk lantaran ada pemekaran daerah
di Indonesia. Hal ini semakin memperparah keadaan, dimana
sebelum pembentukan 86 pengadilan ini pun Mahkamah
Agung telah kekurangan jumlah Hakim. Jika dalam satu
pengadilan itu dibutuhkan 5 orang hakim, Ketua dengan Wakil,
dan 3 anggotanya, maka 86 pengadilan baru ini membutuhkan
sekitar 512 orang hakim.
Kekurangan hakim terjadi pada tingkatan pertama dan
tingkat banding. Jumlah hakim kian menyusut setiap tahunnya
karena ada banyak hakim yang memasuki masa pensiun atau
berhenti dengan berbagai alasan.
Saat ini, jumlah pengadilan tingkat pertama di seluruh
Indonesia mencapai 380 pengadilan. Adapun rata‐rata jumlah
perkara yang harus diselesaikan pengadilan tingkat pertama di
luar perkara pelanggaran lalu lintas sekitar 184.050 perkara per
tahun. Ratusan ribu perkara itu hanya ditangani 4.200 hakim di
tingkat pertama saat ini.
Kondisi kekurangan hakim ini terjadi merata di
pengadilan di seluruh wilayah di Indonesia, baik dalam maupun
luar Jawa. Jumlah hakim di Indonesia masih terlalu sedikit dan
tidak sebanding dengan tingginya pertumbuhan jumlah
perkara yang masuk ke pengadilan.
Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang‐undang untuk mengadili. Undang‐
Undang Kekuasaan Kehakiman memandatkan tugas hakim
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara. Dalam melaksanakan tugas
tersebut, baik lembaga peradilan maupun hakim dibekali
jaminan kemandirian atau independensi yang berlaku
universal, yaitu independensi kekuasaan kehakiman.
Dalam melaksanakan tugasnya, hakim dinilai kinerjanya
berdasarkan produktivitas penanganan perkara, kualitas
putusan, penilaian kinerja melalui instrumen Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan serta penilaian kinerja melalui
instrumen formulir pengawasan dan evaluasi pengawasan.
25
2. Tarik Ulur Perekrutan Hakim
Dalam kurun waktu lima tahun sejak 2011 hingga 2016,
keempat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
mengalami kekurangan hakim dalam jumlah yang cukup
signifikan. Salah satu eksesnya, pola mutasi dan promosi
hakim di empat lingkungan peradilan, juga mengalami
kendala. Hal ini karena, selama kurun waktu tersebut, belum
ada titik temu terkait proses seleksi hakim yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Yudisial.
Kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut bersama
Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim tingkat pertama
terdapat dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang‐Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang‐Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang‐Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A
ayat (2) dan (3) Undang‐ Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas U n d a n g ‐ U n d a n g Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam pasal‐pasal tersebut, terdapat kata “bersama” dan
frasa “dan Komisi Yudisial” yang diajukan Judicial Review oleh
Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sebagai Kuasa
Hukum dari Mahkamah Agung RI, karena bertentangan
dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D
ayat (1) Undang‐Undang Dasar 1945. Selain itu, pasal‐pasal
yang diajukan Judicial Review tersebut juga bertentangan
dengan dua asas Lex certa dan Lex superior derogate legi
inferiori.
Asas pertama menyatakan suatu materi dalam peraturan
perundang‐undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan
lain selain yang tertulis. Dan asas kedua menyatakan suatu
undang‐undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan undang‐undang yang lebih tinggi.
Keadaan tersebut berakhir setelah Mahkamah Konstitusi
pada 28 Oktober 2015 membacakan putusan Nomor 43/PUU‐
26
XII/2015 bahwa kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut
bersama Mahkamah Agung dalam seleksi hakim tingkat
pertama, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan
demikian, Mahkamah Agung menjadi otoritas tunggal
pelaksana seleksi hakim tingkat pertama. Adapun ketentuan
lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah
Agung.
3. Potret ideal
Pada Maret 2015 data hakim di lingkungan peradilan
agama seluruhnya berjumlah 3078 hakim dan tersebar di 359
pengadilan agama/mahkamah syar'iyah. Jumlah tersebut jauh
dari jumlah ideal yaitu 5539 hakim. Dengan demikian,
dibutuhkan tambahan 2461 hakim.31
Adapun jumlah 359 pengadilan tingkat pertama di
lingkungan peradilan agama tersebut terdiri dari 56 PA Kelas
IA, 100 PA Kelas IB dan 203 PA Kelas II. PA adalah versi singkat
dari pengadilan agama/mahkamah syar'iyah. Dengan
demikian, jumlah yang standar ialah 1400 hakim untuk 56 PA
Kelas IA, 1500 hakim untuk 100 PA Kelas IB dan 2639 untuk 203
PA Kelas II.
Faktanya, saat ini hanya ada 845 hakim di 56 PA Kelas IA,
yang berarti kurang 555 hakim. Di 100 PA Kelas IB, hanya ada
873 hakim, sehingga kurang 627 hakim. Di PA Kelas II, Cuma
terdapat 1414 hakim, sehingga kurang 1225 hakim.
Dengan adanya kendala dalam seleksi hakim tingkat
pertama, ditambah dengan semakin banyaknya jumlah hakim
yang memasuki masa purnabakti, maka kekurangan jumlah
hakim di lingkungan peradilan agama semakin tahun semakin
bertambah banyak. Untuk itu, pasca putusan MK Nomor
43/PUU‐XII/2015 perlu segera dibentuk peraturan khusus
terkait seleksi hakim tingkat pertama, agar persoalan defisit
Hakim sebanyak 4.858 orang bisa terselesaikan.
31
https://badilag.mahkamahagung.go.id/
27
Angka kebutuhan tersebut dihitung berdasarkan beban
kerja dan kebutuhan hakim untuk mengisi 86 satuan kerja baru
di lingkungan peradilan agama, peradilan umum, dan peradilan
tata usaha negara.
Upaya MA terus menerus dilakukan untuk mengisi
kekurangan tenaga teknis dan non teknis pada badan
peradilan di bawahnya, termasuk badan peradilan agama.
Salah satunya mengusulkan kepada pemerintah pada tahun
2017 ini, menyusul terbitnya SK KMA Nomor
37/KMA/SK/II/2017 tentang Peningkatan Kelas dari Dua Puluh
Sembilan Pengadilan Agama Kelas II Menjadi Kelas IB dan Dua
Puluh Satu Pengadilan Agama Kelas IB Menjadi Kelas IA, dan
SK KMA Nomor 38/SK/KMA/II/2017 tentang Peningkatan Kelas
pada Dua Mahkamah Syar’iyah Kelas II Menjadi Kelas IB, dan
Keppres Nomor 13, 15, 16 Tahun 2016 tentang Pembentukan
PA baru.32
Kenaikan kelas dan pembentukan PA baru tersebut,
paling tidak menjadi salah satu alasan MA mengusulkan
kebutuhan tenaga teknis dan non teknis kepada pemerintah.
Pelaksanaan reformasi birokrasi MA telah berjalan
simultan sebagai proses yang berkesinambungan untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Capaian
langkah strategis sesuai dengan yang diharapkan, para
pimpinan peradilan sepakat untuk berdaya guna dan berhasil
guna dalam setiap program kerja yang mereka rumuskan
sebelumnya.
Salah satu capaian dari langkah strategis yang telah
dirumuskan sebelumnya ialah pola promosi dan mutasi yang
terintegrasi dan sistematis.
Berdasarkan SK KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tanggal
17 Februari 2017, tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim Pada
Empat Lingkungan Peradilan, tujuan dilakukan promosi,
mutasi, dan demosi untuk mengisi kekosongan formasi suatu
32
SK KMA Nomor 37/KMA/SK/II/2017
28
pengadilan baik karena kekurangan tenaga hakim ataupun
pengangkatan ketua dan atau wakil ketua.
Mutasi hakim dan penempatan pada pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah kelas II adalah hakim dengan
golongan III/a dalam jabatan hakim pratama sampai dengan
III/d dalam jabatan hakim pratama utama, penempatan kedua
tetap ditempatkan di pengadilan agama/mahkamah syar’iyah
kelas II di luar Jawa.
Mutasi hakim dan penempatan pada pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah kelas IB di Jawa dan luar Jawa
adalah hakim dengan golongan minimal III/d dalam jabatan
hakim pratama utama. Bagi pengadilan agama/mahkamah
syar’iyah kelas IB di luar Jawa pada umumnya dapat
ditempatkan hakim‐hakim minimal golongan III/c dalam
jabatan hakim pratama madya.
Mutasi hakim dan penempatan pada pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah kelas IA diutamakan bagi hakim
golongan IV/a dalam jabatan hakim madya pratama sampai
dengan golongan IV/d dalam jabatan hakim utama muda.
Untuk pengadilan agama/mahkamah syar’iyah kelas IA dengan
jumlah beban perkara sedikit (di bawah 1000) dan kondisi
tertentu baik kerusuhan ataupun kondisi konflik dapat
ditempatkan hakim golongan III/d dari kelas IB dalam jabatan
hakim pratama utama berjalan selama 2 tahun.
Data Mahkamah Agung tahun 2017 lalu, penerimaan
calon hakim peradilan agama yang dinyatakan lulus seleksi
berjumlah 525 orang, berbeda dari formasi yang dibutuhkan
sebanyak 616 orang, tersisa 91 orang yang belum terisi.
Sedangkan jumlah pengadilan agama kelas II yang baru sesuai
Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2016, Keputusan
Presiden Nomor 15 Tahun 2016 dan Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pembentukan PA baru di
wilayah Timur, wilayah Barat dan Provinsi Aceh, masing‐
masing berjumlah 54 Pengadilan Agama kelas II yang baru.
Oleh sebab itu, Direktorat Badan Peradilan Agama
melakukan langkah‐langkah antara lain, Pertama, validasi
29
database jumlah hakim di seluruh PA di Indonesia. Hal itu
diperlukan untuk mengetahui jumlah hakim PA hingga saat ini
dan disesuaikan dengan jumlah pengadilan agama di
Indonesia. Kedua, pelaksanaan pengadilan agama yang baru
segera dioperasionalkan pada tahun ini, beberapa Peraturan
MA terkait yurisdiksi PA‐PA baru tersebut masih disusun oleh
tim yang ditunjuk. Setelah peraturan MA tersebut keluar akan
menjadi acuan bagi Kementerian PAN dan RB untuk
mengeluarkan izin operasionalisasi PA baru. Keempat,
pelaksanaan pola promosi dan mutasi hakim harus mengacu
pada SK KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tanggal 17 Februari
2017. Berdasarkan SK KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang
Pola Promosi dan Mutasi Hakim Pada Empat Lingkungan
Peradilan, tujuan dilakukan promosi, mutasi, dan demosi untuk
mengisi kekosongan formasi suatu pengadilan baik karena
kekurangan tenaga hakim ataupun pengangkatan ketua dan
atau wakil ketua.
D. Meningkatkan Kualitas Putusan Hakim
Pasal 1 ayat (3) Undang‐Undang Dasar (UUD) 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagai negara hukum, kemudian dipertegas kembali dalam
Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Menurut Pasal 1 Undang‐Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),
hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberikan wewenang
oleh undang‐undang untuk mengadili. Mengadili, diartikan
sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,
dan memutuskan perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan
tidak memihak di sidang pengadilan dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang‐undang.
Dari norma‐norma yang termuat dalam rumusan Undang‐
Undang Kekuasaan Kehakiman pula, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pembentuk undang‐undang menghendaki supaya hakim
menjadi manusia hukum (homo yuridicus) yang cinta keadilan dan
membenci ketidakadilan (homo ethicus). Serta berani mengambil
keputusan atas keyakinannya berdasarkan hati nurani, sehingga
30
tidak gentar menghadapi siapapun kecuali atas kebesaran Tuhan
(homo religiosus).33
Adies Kadir, dalam bukunya Menyelamatkan Wakil Tuhan,
Memperkuat Peran dan Kedudukan Hakim, mengatakan bahwa
Hakim merupakan ujung tombak bagi tegaknya hukum dan
keadilan. Hakim memiliki peran penting dalam menjaga sendi‐
sendi negara hukum.34 Itulah sebabnya UUD mengatur secara
khusus masalah kekuasaan kehakiman. Penjelasan Pasal 24 dan
Pasal 25 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
pemerintah. Sehubungan dengan itu, harus diadakan jaminan
dalam undang‐undang tentang kedudukan para hakim. Profesi
hakim menempati posisi yang berbeda dalam sistem hukum
walau disepakati bahwa hakim adalah penafsir utama norma
hukum yang general kedalam peristiwa konkrit yang terjadi.
Seperti telah disebutkan di muka, UUD menegaskan bahwa
negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas
hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka Indonesia
selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Senantiasa menjamin
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.35
Idealnya, sebagai negara hukum, Indonesia menganut
sistem kedaulatan hukum atas supremasi hukum yaitu hukum
mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara. Sebagai negara
hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).36 Asas yang
demikian selain ditemukan di dalam Undang‐Undang Nomor 8
Tahun 1981 (KUHAP), juga dapat disimak dalam undang‐undang
kekuasaan kehakiman yang terbit tahun 2009. Dinyatakan bahwa
setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
33
Arbijoto, Kebebasan Hakim; Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim Dalam Menjalankan
Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Diadit Media, 2010), hlm. 15.
34
Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan; Memperkuat Peran dan Kedudukan Hakim,
(Jakarta: MerdekaBook, 2018), Cet. Pertama, hlm. 7.
35
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Ed. I, Cet. 2,
hlm. 33.
36
Ibid, hlm. 34.
31
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.37
Jadi, putusan pengadilan akan berdimensi kemanusiaan
apabila berpijak kepada asas equality before the law dan
presumption of innocence, karena kedua asas ini mengandung
nilai‐nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan
diperhatikan oleh penegak hukum khususnya hakim. Putusan
pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan
keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan
pidana dan pemidanaan.
Bagi hakim, putusan adalah mahkota dan merupakan
barometer apakah pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili
perkara yang diajukan kepadanya telah menerapkan ketentuan
hukum yang berlaku dan apakah putusan tersebut telah sesuai
dengan rasa keadilan para pencari keadilan.
Penerapan hukum yang benar menjadi harapan semua
pihak, terutama mereka yang terlibat langsung dalam rumusan
putusan. Dengan harapan, keadilan yang diberikan oleh hakim
melalui putusannya, betul‐betul telah mencerminkan kondisi
yang seharusnya. Apalagi, publik saat ini mudah dan murah
mengakses putusan hakim. Kondisi media yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat, dan kemudian membandingkan
antara putusan yang satu dengan putusan yang lainnya.
1. Kemandirian Hakim Dalam Memutus
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
sebagaimana dikutip Adies Kadir38, kemandirian adalah suatu
sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas,
melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan untuk
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun
berpikir dan bertindak original / kreatif, dan penuh inisiatif,
mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya
diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya.
37
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2003), Cet. III, hlm. 19.
38
Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan..., op.cit. hlm. 207.
32
Kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman
merupakan salah satu syarat mutlak adanya negara hukum
(rechtstaat). Kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya
universal, yang terdapat di mana saja dan kapan saja. Asas ini
berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada
dasarnya bebas. Meskipun demikian, dalam menjalankan
tugasnya di ruang sidang, hakim terikat aturan hukum, seperti
halnya pada Pasal 158 KUHAP yang mengisyaratkan bahwa
hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan
pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau
tidaknya terdakwa.
Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu kasus yang
dihadapkan padanya, bebas untuk memilih dari beberapa
alternatif. Misalnya, dalam kasus perdata, apakah gugatan
atau permohonan dari pencari keadilan ditolak atau
dikabulkan. Dalam perkara pidana terdakwa dijatuhi pidana
atau dibebaskan. Namun dalam memilih beberapa alternatif
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan terutama
terhadap suara hati, terhadap masyarakat, orang p
perseorangan dan terhadap Tuhan. Dengan perkataan lain,
tidak boleh dalam memutus suatu kasus dengan begitu saja
mengikuti pendapat atau tuntutan dari luar. Melainkan harus
bertindak sesuai dengan kesadaran hakim itu sendiri.39
Menurut pemikiran Albert Camus sebagaimana dikutip
Arbijoto 40 , memilih kebebasan bukanlah memilih sesuatu
melawan keadilan. Sebaliknya, kebebasan dipilih karena
adanya orang‐orang yang menderita dan berjuang di mana‐
mana dan karenanya hanya kebebasan itulah yang patut
diperjuangkan. Kebebasan dipilih pada saat yang sama dengan
keadilan, dengan begitu tidak bisa memilih yang satu tanpa
yang lain.
Konsep kekuasaan yang mandiri merupakan konsep
kekuasaan kehakiman yang dianut pada banyak negara
internasional sejak konsep trias politica dicetuskan
39
Arbijoto, Kebebasan Hakim..., op.cit., hlm. 98.
40
Ibid., hlm. 100.
33
Montesquieu, dimana adanya sistem pemisahan kekuasaan
negara antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemikiran
awal Montesquieu agar kekuasaan kehakiman menjadi
kekuasaan yang mandiri, bebas dari intervensi dalam memutus
perkara.
Di Indonesia, konsep kemandirian kehakiman mengacu
pada konsep Bangalore Principle dan dituangkan dalam bentuk
peraturan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Dalam konstitusi Indonesia, prinsip kemandirian
hakim diterjemahkan sebagai kekuasaan yang merdeka, yaitu
dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945 sebelum amandemen,
yang menentukan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia
merupakan kekuasaan yang merdeka.41
Universalitas kemandirian hakim sudah dianut dalam
sistem peradilan hampir di semua negara manapun di dunia.
Universalitas kemandirian hakim juga tercermin di dalam The
International Bar Association Code of Minimum Standart of
Judicial Independence 1987, yang menyebutkan bahwa
batasan‐batasan dari kemerdekaan yudisial meliputi:
kemerdekaan personal dan kemerdekaan subtantif.42
Secara normatif kemandirian hakim‐hakim di Indonesia
sebenarnya telah dijamin oleh konstitusi maupun undang‐
undang organik yang mengaturnya. Seperti tersebut dalam
ketentuan Pasal 3 Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:
a. Dalam menjalan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
b. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak
lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal‐hal sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan.
41
Adies Kadir, Menyelematkan Wakil Tuhan..., op.cit. hlm. 205‐206.
42
Ibid, hlm. 212.
34
Dalam dunia profesi penegak hukum, hakim merupakan
profesi yang memiliki sebutan sebagai profesi yang mulia.
Sehingga jabatan hakim pantas apabila disebut sebagai
jabatan terhormat. Dalam bahasa latin, profesi hakim
merupakan salah satu profesi yang digolongkan sebagai
“oficium nobile”, yaitu sebagai jabatan yang mulia. Alasan yang
digunakan tidak lain karena salah satu profesi penyelenggara
fungsi negara yang menjalankan tugas sebagai pengadil bagi
masyarakat, khususnya yang sedang tersangkut masalah
hukum. Hakim dianggap sebagai orang yang berada di tengah‐
tengah para pihak yang berperkara.
Hakikat hakim pada dasarnya tidak hanya sekedar
menegakkan hukum. Akan tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana hakim dapat menegakkan keadilan, dan itulah
yang ditunggu masyarakat. Jadi, hakim merupakan penegak
hukum dan keadilan yang tidak hanya menerapkan aturan‐
aturan hukum formal semata atau mendeduksi norma pada
fakta, melainkan hakim harus benar‐benar dapat memenuhi
harapan masyarakat akan terwujudnya keadilan bagi
masyarakat pencari keadilan. Hukum formal hanya sekedar
sarana untuk mewujudkan keadilan masyarakat. Tetapi
bagaimana diimplementasikan dalam masyarakat, itulah yang
harus dijalankan oleh hakim.43
2. Putusan Hakim
Mukti Arto mendefinisikan putusan sebagai penyataan
hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil
dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Sedangkan
penetapan ialah juga pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang
terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
permohonan (voluntair).44
43
Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan..., op.cit., hlm. 224.
44
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 168.
35
Putusan adalah produk peradilan yang sesungguhnya
(jurisdictio contentiosa), di mana selalu memuat perintah dari
pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu,
atau untuk berbuat sesuatu, atau melepaskan sesuatu,
menghukum sesuatu. Jadi dalam diktum vonis selalu bersifat
condemnation (menghukum), atau bersifat constitutoir
(menciptakan). Perintah dari peradilan ini jika tidak
dilaksanakan dengan suka rela, maka dapat dilaksanakan
secara paksa yang bisa disebut eksekusi.45
Putusan hakim merupakan tindakan akhir dari hakim di
dalam persidangan. Putusan Hakim adalah pernyataan dari
seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam
persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Menurut
Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja
yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan
oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis)
tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum
diucapkan di persidangan oleh hakim.46
Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan
adalah untuk memperoleh putusan hakim.47 Putusan hakim
pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum. Yakni
menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum
dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam
suatu negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan hakim
adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat
45
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), hlm. 200.
46
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006)
Edisi ketujuh.
47Muh. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), cet.
Ke.III, hlm. 48.
36
dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam lapangan hukum pidana, Lilik Mulyadi
menyatakan bahwa Putusan yang diucapkan oleh hakim
karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang
terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural
hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar
pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum, dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
menyelesaikan perkara.48
Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang‐Undang Hukum
Acara Pidana 1 disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang‐undang ini.
Tentang putusan pengadilan diatur dalam Bab IX
Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Secara spesifik disebutkan bahwa:
a. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang‐undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.49
b. Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh
ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut
serta bersidang.50
c. Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita
acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua
majelis hakim dan panitera sidang.51
48
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Prakter Peradilan,
(Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 127.
49
Pasal 50 (1)
50
Pasal 50 (2)
51
Pasal 51
37
3. Teori‐Teori Penjatuhan Putusan
Menurut Mackenzie sebagaimana dikutip Ahmad Ripa’i52
ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan Putusan
dalam suatu perkara yaitu sebagai berikut:
a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah
keseimbangan antara syarat‐syarat yang ditentukan oleh
Undang‐Undang dan kepentingan pihak‐pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara
lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa
dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak
penggugat dan tergugat.
b. Teori Pendekatan Seni dan Instuisi
Penjatuhan Putusan oleh hakim merupakan diskresi atau
kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam
penjatuhan Putusan, hakim akan menyesuaikan dengan
keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku
tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan
melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat
dan tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa
atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan
seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu
Putusan, lebih ditentukan oleh insting atau instuisi
daripada pengetahuan dari hakim.
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses
penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan
penuh kehati‐hatian, kaitannya dengan Putusan‐Putusan
terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari
Putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan
semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu
perkara, hakim tidak boleh semata‐mata atas dasar
52
Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hlm. 105‐113.
38
instuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi
dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang
harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang
dapat membantunya dalam menghadapi perkara‐
perkara yang dihadapinya sehari‐hari, karena dengan
pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim dapat
mengetahuinya bagaimana dampak dari Putusan yang
dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, ataupun dampak
yang ditimbulkan dalam Putusan perkara perdata yang
berkaitan dengan pelaku, korban dan masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi
Teori didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar,
yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan
dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian
mencari Peraturan perUndang‐Undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan Putusan, serta pertimbangan
hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk
menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para
pihak yang berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan
Teori kebijaksanaan ini sebenarnya merupakan teori
yang berkenaan dengan Putusan hakim dalam perkara di
pengadilan anak. Landasan dari teori kebijaksanaan ini
menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan
bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam,
dipupuk dan dibina. Selanjutnya, aspek teori ini
menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga
dan orang tua, ikut bertanggung jawab membimbing,
membina, mendidik, dan melindungi anak agar kelak
menjadi manusia yang berguna bagi keluarga,
masyarakat dan bagi bangsanya.
39
Dari uraian yang telah dijabarkan di atas, maka dapat
dirumuskan kesimpulan, sebagaimana permasalahan yang
telah dikemukakan sebelumnya.
Bahwa setiap sengketa yang diajukan ke pengadilan,
yang kemudian diselesaikan oleh hakim di meja sidang,
kesimpulan akhir perkara diketahui setelah putusan dibacakan.
Antara satu kasus dengan lain bisa jadi memiliki kemiripan
fakta dan kejadian. Tetapi putusan yang dijatuhkan bisa jadi
sangat jauh berbeda. Terlebih dalam perkara pidana.
Sehingga, begitu mudah masyarakat atau mereka yang
berurusan langsung dengan putusan tersebut menilai apakah
ada keganjilan atau tidak. Apalagi jika disanding dengan
putusan yang lain.
E. Kepuasan Masyarakat Terhadap Lembaga Peradilan
1. Kekuasaan Kehakiman dan Pelayanan Publik
Prinsip‐prinsip memberikan layanan hukum yang maksimal
menuju meningkatnya kualitas dan kepuasan masyarakat pencari
keadilan terhadap penyelenggaraan peradilan, sesungguhnya
telah tertuang dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang‐Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam ketentuan
tersebut dinyatakan, “Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan”.
Dalam berbagai Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM),
prosedur yang sederhana, durasi waktu yang cepat, akurat dan
proporsional, serta biaya yang relatif ringan, pasti menjadi
indikator atau unsur paling penting dalam mengukur tingkat
kepuasan. Sebagai contoh, Pemerintah melalui Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
senantiasa membuat Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik.
Dalam Permenpan RB Nomor 14 Tahun 2017, disebutkan 9
(sembilan) unsur IKM, yaitu sebagai berikut:
a. Persyaratan. Persyaratan adalah syarat yang harus dipenuhi
dalam pengurusan suatu jenis pelayanan, baik persyaratan
teknis maupun administratif.
40
b. Sistem, Mekanisme, dan Prosedur. Prosedur adalah tata
cara pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima
pelayanan, termasuk pengaduan.
c. Waktu Penyelesaian. Waktu Penyelesaian adalah jangka
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses
pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
d. Biaya/Tarif. Biaya/Tarif adalah ongkos yang dikenakan
kepada penerima layanan dalam mengurus dan/atau
memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara
dan masyarakat.
e. Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan. Produk spesifikasi jenis
pelayanan adalah hasil pelayanan yang diberikan dan
diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Produk pelayanan ini merupakan hasil dari setiap spesifikasi
jenis pelayanan.
f. Kompetensi Pelaksana. Kompetensi Pelaksana adalah
kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi
pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman.
g. Perilaku Pelaksana. Perilaku Pelaksana adalah sikap petugas
dalam memberikan pelayanan.
h. Penanganan Pengaduan, Saran dan Masukan. Penanganan
pengaduan, saran dan masukan, adalah tata cara
pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut.
i. Sarana dan prasarana. Sarana adalah segala sesuatu yang
dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan
tujuan. Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha,
pembangunan, proyek). Sarana digunakan untuk benda
yang bergerak (komputer, mesin) dan prasarana untuk
benda yang tidak bergerak (gedung).
Dalam unsur IKM versi pemerintah yang juga menjadi
pedoman Survei Kepuasan Publik di lingkungan Mahkamah Agung
RI ini, prinsip dasar kepuasan masyarakat dan kualitas pelayanan
yang juga menjadi prinsip dasar penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, diakomodasi secara esensial. Hal ini pun menunjukkan,
41
bahwa secara umum, birokrasi negara ini sedang menuju kepada,
atau menyadari akan khittah hakiki sebuah konsep manajemen
kepemimpinan yaitu khidmah kepada umat (baca: rakyat).
Kepuasan sebagai domain rasa (emosional), pada dasarnya
sangat relatif untuk dinilai dengan sebuah rumusan. Meski
demikian, dari sudut pandang psikologi, kepuasan dapat diukur
dengan menggunakan standar‐standar tertentu dengan asumsi
keadaan jiwa manusia pada umumnya. Kepuasan kerap diartikan
sebagai respon emosional terhadap sebuah pengalaman berkaitan
dengan suatu produk atau jasa.53
Dengan demikian, kepuasan sangat tergantung kepada
kualitas suatu jasa atau pelayanan. Watak manusia yang selalu
ingin memperoleh sesuatu yang sesuai dengan harapan dalam
kaitan pelayanan publik, sesungguhnya telah diakomodasi secara
esensial dalam prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Dapatlah dikatakan, salah satu kunci meningkatkan kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan adalah sejauh mana kepekaan
aparatur peradilan terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat
pada suatu objek dan dimensi waktu tertentu.
Sebagai insan peradilan, seyogyanya kita bersyukur, karena
undang‐undang kekuasaan kehakiman sebagai salah satu dasar
utama menjalankan roda layanan hukum, justru telah mematenkan
prinsip‐prinsip dasar kepuasan publik, sebagai asas‐asas
fundamental dalam menyelenggarakan peradilan. Lebih jauh dari
pada itu, sesungguhnya Undang‐Undang Kekuasaan Kehakiman
sedang memastikan bahwa prinsip dasar keadilan benar‐benar
menjiwai setiap sudut pelayanan hukum di gedung‐gedung
pengadilan.
2. Kualitas Pelayanan dan Proteksi Hukum Acara
Berdasarkan pada beberapa survei tentang kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan hukum di lembaga peradilan,
maka terlihat persentase kepuasan yang cukup besar hampir pada
semua aspek atau unsur Indeks Kepuasan Masyarakat.
53
Bandingkan dengan Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, edisi kedua, Andi: Yogyakarta,
2004, hlm. 349.
42
Meski demikian, realita praktik peradilan selama ini masih
saja menyisakan celah bergeraknya oknum mafia peradilan.
Selain itu, adanya persentase ketidakpuasan yang cukup besar
terhadap fasilitas pengadilan terutama toilet, menunjukkan
bahwa perhatian besar selama ini lebih kepada pelayanan hukum,
sementara terhadap fasilitas sarana dan prasarana, cenderung
terabaikan.
Adanya upaya optimalisasi pelayanan hukum di pengadilan
tetap harus terus ditingkatkan. Hanya saja, kerapkali upaya
progresif dalam merancang pelayanan hukum itu mengandung
benturan dengan aspek hukum acara yang berlaku.
Sebagai solusi dari kondisi ini, maka segala bentuk upaya
optimalisasi pelayanan hukum harus memiliki dasar hukum yang
akurat dan valid. Mahkamah Agung kemudian mengambil sikap
dengan cara menerbitkan berbagai aturan hukum baik dalam
bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA), Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung, Surat Keputusan Panitera Mahkamah Agung RI ataupun
Keputusan Pejabat Eselon I lainnya.
Peraturan‐peraturan inilah yang kemudian dapat menjadi
pijakan legal‐formal optimalisasi pelayanan hukum kaitannya
dengan benturan terhadap ketentuan hukum acara yang telah
ada. Peran Peraturan Mahkamah Agung pun sangat dibutuhkan
untuk mengisi realita perkembangan masyarakat yang dinamis,
sementara hukum acara yang ada, belum memadai. Hal ini
pernah disampaikan Wakil Ketua MA RI Bidang Yudisial,
Muhammad Saleh, pada pembukaan acara Konferensi Nasional
Hukum Acara Perdata II, di Universitas Airlangga, Surabaya pada
tanggal 26 Agustus 2015.54 Sebab, secara teoritis, peraturan yang
dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat yang berwenang,
dapat berkualitas dan berkedudukan sebagai hukum acara
tersendiri.
Jika dilihat lebih jauh, adanya Peraturan Mahkamah Agung
ini merupakan bagian dari upaya pembaruan bidang teknis.
54
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd7d17d0e7d/perma‐masih‐
jadi‐solusi‐hukum‐acara‐perdata‐di‐indonesia
43
Pembaruan bidang teknis ini merupakan perwujudan fungsi
mengatur yang diatributkan kepada Mahkamah Agung oleh Pasal
7955 Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 1985. Berdasarkan fungsi
ini, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal‐hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal‐hal yang belum cukup diatur dalam undang‐undang
sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan
hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan.
Secara garis besar, ada dua bidang pembaruan yang
dilakukan Mahkamah Agung, yaitu pembaruan bidang teknis, dan
pembaruan bidang manajemen perkara.
Sebagai contoh, di tahun 2016, Mahkamah Agung telah
menerbitkan 10 (sepuluh) peraturan dalam kerangka peningkatan
kualitas penyelenggaraan peradilan di bidang teknis yaitu sebagai
berikut:56
a. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang
memberlakukan rumusan hasil pleno kamar MA tahun 2016
sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi Mahkamah
Agung dan pengadilan tingkat pertama dan banding.
b. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan (Berita Negara Tahun 2016
Nomor 175 tanggal 4 Februari 2016).
c. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan
Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di
Pengadilan.
d. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan
Tata Usaha Negara.
55
Pasal 79 UU 14/1985: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal‐hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal‐hal yang belum cukup
diatur dalam Undang‐undang ini”
56
Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2016, hlm. 4‐10
44
e. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang
Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke
Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
f. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
g. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Pemilihan dan Sengketa Pelanggaran Administrasi
Pemilihan.
h. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas.
i. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh
Korporasi.
j. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.
Selain melakukan pembaruan bidang teknis, dalam rangka
meningkatkan pemberian pelayanan hukum yang berkeadilan
kepada pencari keadilan dan meningkatkan kredibilitas dan
transparansi badan peradilan, Mahkamah Agung juga melakukan
pembaruan bidang manajemen perkara, meliputi:57
a. SEMA Nomor 5 Tahun 2005 tentang Syarat Tidak Sedang
Dinyatakan Pailit bagi Calon Kepada Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
b. Surat Keputusan Nomor 178/KMA/SK/XII/2015 tanggal 31
Desember 2015 tentang Penerbitan Salinan Putusan
Mahkamah Agung dengan Otentikasi Melalui Fitur
Pengamanan Pencetakan Dokumen.
c. Pembentukan Proyek Rintisan Sistem Komunikasi Data
Penyampaian Pemberitahuan Permohonan Kasasi Perkara
Pidana, Penetapan Perpanjangan Penahanan dan Petikan
Putusan antara Mahkamah Agung dan Ditjen
Pemasyarakatan.
57
Ibid. hlm. 11‐15
45
d. Penyempurnaan Document Management System Untuk
Mengakses Dokumen Elektronik dalam Pemeriksaan
Kasasi/Peninjauan Kembali.
e. SEMA Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penanganan Bantuan
Panggilan/Pemberitahuan telah mengakomodir
pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pengiriman
surat permintaan bantuan panggilan/pemberitahuan,
penyampaian relaas dan monitoring.
f. Peningkatan Publikasi Putusan Mahkamah Agung.
Dengan berbagai peraturan dan capaian dalam kerangka
pembaruan teknis dan manajemen perkara ini, maka
penyelenggaraan peradilan telah secara optimal berupaya
meningkatkan kualitas layanan hukum dan peradilan bagi
masyarakat, terutama dalam menjawab kebutuhan modernisasi
yang dinamis di tengah kehidupan masyarakat masa kini.
46
BAB II
MENJAGA NILAI‐NILAI
PERADILAN YANG
AGUNG
A. Nilai Utama dan Kinerja Pengadilan
Nilai‐nilai utama peradilan yang agung adalah sejumlah
nilai‐nilai yang menjadi dasar perilaku bagi pengadilan, hakim,
dan aparat pengadilan. Nilai‐nilai utama yang harus ada pada
setiap pengadilan memiliki beberapa fungsi yang sangat
signifikan. Pertama, nilai utama berfungsi menjamin proses
hukum yang standar dan baku. Proses hukum yang berlaku di
setiap pengadilan memiliki keseragaman yang terjaga. Kedua,
nilai utama berfungsi memberikan perlindungan hukum yang
sama bagi semua pencari keadilan dan pengguna pengadilan.
Ketiga, nilai utama tersebut juga menjadi fondasi dalam budaya
kerja pengadilan dan pejabat, dan pegawai pengadilan. Budaya
kerja yang berdasarkan nilai‐nilai utama ini menjadi panduan dan
arahan bagi semua semua hakim dan pegawai untuk menjalankan
tugas dan fungsi pengadilan dengan baik.
Salah satu nilai utama pengadilan adalah
ketidakberpihakan. Nilai ini memberikan panduan bagi
pengadilan agar bersikap netral terhadap pencari keadilan. Hanya
dengan bersikap netral, pencari keadilan merasa nyaman dan
hak‐haknya tidak terzalimi. Mereka yakin pengadilan akan
memberikan keadilan dan fairness kepada mereka.
47
Nilai utama lain adalah independensi dan kompetensi. Nilai
ini terutama terkait dengan kemampuan hakim dalam membuat
putusan hanya berdasarkan pada pemahaman menyeluruh
tentang hukum yang berlaku dan fakta‐fakta yang ia gali di
persidangan. Hakim tidak boleh dipengaruhi pihak luar dan juga
pimpinannya dalam memutus suatu perkara. Kompetensi hakim
berkaitan dengan kecakapan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara berdasarkan peraturan dan hukum yang
berlaku. Hakim akan dipandang tidak kompeten ketika ia
melanggar peraturan dan hukum dalam memeriksa dan memutus
perkara yang ia tangani.
Nilai utama yang juga harus dimiliki pengadilan adalah
integritas. Nilai ini mencakup transparansi dan kepatutan dari
pendaftaran perkara, pemeriksaan perkara, hingga produk
putusan pengadilan. Semua proses perkara dari hulu hingga hilir
harus transparan bagi pengguna pengadilan. Transparansi ini
sangat penting agar keadilan yang diberikan pengadilan kepada
pengguna pengadilan tidak hanya harus dilakukan tetapi terlihat
untuk dilakukan. Dengan demikian, kepercayaan terhadap
masyarakat terhadap pengadilan betul‐betul dirasakan.
Aksesibilitas adalah nilai pengadilan yang mencakup
kemudahan bagi pengguna pengadilan dalam mengakses
pengadilan. Ini berkaitan berbagai informasi tentang pengadilan
yang tersedia ketika mereka membutuhkan. Semua informasi
seperti profile pengadilan, biaya perkara, proses beperkara,
putusan, jadwal sidang dan sebagainya harus dengan mudah
diperoleh oleh pengguna pengadilan. Aksesibilitas ini juga
memungkinkan difable dan masyarakat yang berada di wilayah
terpencil dapat dengan mudah menjangkau pengadilan. Semua
fasilitas publik pengadilan seperti ruang tunggu yang nyaman,
toilet, tempat sholat harus tersedia dengan layak.
Konsorsium internasional telah membuat kerangka untuk
menciptakan pengadilan yang unggul. Serangkaian metodologi
dibuat untuk mengukur kinerja pengadilan. Kinerja pengadilan
didasarkan pada nilai‐nilai utama pengadilan yang diterima dan
disepakati secara internasional dan aplikasinya ke setiap area
48
kegiatan pengadilan. Ada hubungan yang mendasar dan jelas
antara nilai‐nilai pengadilan dan kinerja pengadilan. Kerangka
tersebut memberikan metode yang jelas bagi pengadilan untuk
menilai apakah nilai‐nilai yang telah diidentifikasi sebagai penting
pada kenyataannya membimbing peran dan fungsi pengadilan.
Perjalanan menuju keunggulan pengadilan adalah salah satu
perbaikan berkelanjutan yang dicapai melalui organisasi internal
yang optimal dari pengadilan, kepemimpinan yang kuat,
kebijakan pengadilan yang jelas, manajemen sumber daya yang
berkualitas, operasi pengadilan yang efektif dan efisien, data
pengadilan (kinerja) berkualitas tinggi dan dapat diandalkan serta
tingkat tinggi menghormati publik.58
Semua peran dan kegiatan ini harus dilakukan pada tingkat
kualitas tertinggi untuk pengadilan agar dianggap sebagai
pengadilan yang sangat baik. Untuk menyederhanakan proses
penilaian kinerja dan identifikasi bidang‐bidang untuk perbaikan,
Kerangka membagi bidang‐bidang kegiatan dan peran ini ke
dalam tujuh kategori terpisah yang secara kolektif disebut Tujuh
Bidang untuk Keunggulan Pengadilan. Masing‐masing daerah
dengan mudah menangkap fokus penting untuk pengadilan
dalam mengejar keunggulan. Setiap daerah memiliki dampak
penting pada kemampuan pengadilan untuk mematuhi nilai‐nilai
intinya dan untuk memberikan kinerja pengadilan yang sangat
baik.
Nilai‐nilai harus tercermin dalam pendekatan pengadilan
untuk masing‐masing bidang keunggulan pengadilan dan, melalui
proses kerangka penilaian dan peningkatan, pengadilan dapat
menyadari seberapa baik mempromosikan dan berpegang pada
nilai‐nilai yang didukungnya. Penting bagi pengadilan untuk tidak
hanya mempublikasikan nilai‐nilai yang memandu kinerja
pengadilan, tetapi juga untuk memastikan nilai‐nilai tersebut
dibangun ke dalam proses dan praktik pengadilan.
58
The International Framework for Court Excellence, edisi kedua. Lihat publikasi
Konsorsium Internasional tentang pengadilan yang unggul pada http://www.courtexcellence.com/.
Dokumen framework dapat didownload pada
www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/The%20International%20Framework%2
02E%202014%20V3.ashx.
49
B. Nilai‐Nilai Utama Pengadilan
Dalam Cetak Biru Mahkamah Agung RI Tahun 2010‐2035
telah ditetapkan visi dan misi pengadilan. Misi badan peradilan
adalah “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. 59
Visi Badan Peradilan tersebut di atas, dirumuskan dengan
merujuk pada Pembukaan UUD 1945, terutama alinea kedua dan
alinea keempat, sebagai tujuan Negara Republik Indonesia.
Adapun misi badan peradilan 2010‐2035 adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kemandirian badan peradilan
2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada
pencari keadilan
3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan
4. Meningkatkan kredibilitas dan tansparansi badan
peradilan60
Pada bagian ini dibahas tentang nilai‐nilai utama pengadilan
yang unggul sebagai berikut:
1. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman
Kemandirian kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan,
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”.
Kemandirian kekuasaan kehakiman bermakna
kemandirian institusional dan kemandirian fungsional.
a. Kemandirian Institusional
Badan Peradilan adalah lembaga mandiri dan harus
bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman (Pasal 3 ayat (2) Undang‐Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
b. b. Kemandirian Fungsional:
Setiap hakim wajib menjaga kemandirian dalam
menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2)
59
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010), hlm.
13.
60
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010), hlm.
15.
50
Undang‐Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Artinya, seorang Hakim dalam memutus
perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum
yang diketahuinya, serta bebas dari pengaruh, tekanan,
atau ancaman, baik langsung ataupun tak langsung, dari
manapun dan dengan alasan apapun juga.
2. Integritas dan Kejujuran
Kata integritas berasal dari bahasa Inggris integrity yang
berarti jujur, menyeluruh, dan memiliki prinsip moral yang
kuat.61 Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh,
berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Eman Suparman
mendefinisikan hakim yang berintegritas dengan sosok hakim
yang memiliki ciri‐ciri sebagai pribadi manusia yang jujur, lurus
hati, tidak curang, tulus, dan ikhlas dalam melakukan
pengabdiannya sebagai hakim. Di samping itu tentu sebagai
hakim dia juga harus pandai, memiliki keberanian, teguh
pendirian dalam kebenaran, arif, dan bijaksana.62
Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap
setia dan tangguh berpegang pada nilai‐nilai atau norma‐
norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani
menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas
dengan cara‐cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.63
Nilai utama integritas dan kejujuran merupakn salah satu
kode etik yang harus dimiliki oleh setiap hakim. Pasal 5 ayat (2)
Undang‐Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.”
61
https://en.oxforddictionaries.com/definition/integrity.
62
Eman Suparman, “Menolak Mafia Peradilan: Menjaga Integritas Hakim– Menyelaraskan
Perbuatan dan Nuraninya”, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan 47 No. 1 (2017), (Jakarta: ),
hlm. 67.
63
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial, Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
51
Penerapan dari nilai utama integritas ini di antaranya
adalah hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila
memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi
dan kekeluargaan, atau hubungan‐hubungan lain yang
beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik
kepentingan. Selain itu, hakim juga harus menghindari
hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan
advokat, penuntut dan pihak‐pihak dalam suatu perkara
tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan. Hubungan
akrab semacam itu juga tidak boleh ada antara hakim dengan
advokat yang sering berperkara di wilayah hukum pengadilan
tempat hakim tersebut menjabat.64
Perilaku hakim harus dapat menjadi teladan bagi
masyarakatnya. Perilaku hakim yang jujur dan adil dalam
menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan kepercayaan
masyarakat akan kredibilitas putusan yang kemudian
dibuatnya. Integritas dan kejujuran harus menjiwai
pelaksanaan tugas aparatur peradilan.
3. Akuntabilitas
Nilai utama akuntabilitas mengharuskan hakim
melaksanakan tugas yudisial secara professional dan penuh
tanggung jawab. Hal itu diamanatkan oleh Pasal 52 dan Pasal
53 Undang‐Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Hal ini antara lain diwujudkan dengan memperlakukan
pihak‐pihak yang berperkara secara profesional, membuat
putusan yang didasari dengan dasar alasan yang memadai,
serta usaha untuk selalu mengikuti perkembangan masalah‐
masalah hukum aktual. Begitu pula halnya dengan aparatur
peradilan, tugas‐tugas yang diemban juga harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
Akuntabilitas peradilan dapat dimaknai bahwa
penyelenggaraan fungsi peradilan harus dapat
dipertanggungjawabkan. Setiap putusan pengadilan didahului
64
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial, Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
52
dengan pernyataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Tentu pertama kali putusan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Selanjutnya sesuai
dengan tujuan diselenggarakannya peradilan, yaitu untuk
menegakkan hukum dan keadilan maka putusan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum untuk memenuhi rasa
keadilan. Putusan harus dipertanggungjawabkan kepada
publik sebagai pemilih kedaulatan. Meskipun kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, bukan berarti
kekuasaan ini tanpa akuntabilitas. Kekuasaan kehakiman
dibatasi oleh ketentuan‐ketentuan hukum dan prinsip
keadilan. Kebebasan hakim dibingkai oleh prosedur beracara,
asas‐asas umum peradilan, kepentingan para pihak, dan aturan
hukum materiil. Tujuan prinsip akuntabilitas memutus perkara,
tetapi justru untuk menjamin independensi.
Tanpa adanya independensi tidak akan terwujud
kebebasan hakim dalam memutus sebuah perkara. Model
akuntabilitas peradilan dijelaskan oleh Fajrul Falaakh dalam
beberapa tipe, diantara yaitu:
a. Political, constitutional accountability: peradilan
bertanggung jawab kepada lembaga politik termasuk
dimakzulkan (impecahment) oleh parlemen, dan tunduk
kepada konstitusi;
b. Societal accountability: kontrol masyarakat melalui media
massa, eksaminasi putusan hakim, kritik terhadap
putusan yang dipublikasikan, kemungkinan dissenting
opinion dalam putusan (ini juga merupakan bentuk
akuntabilitas profesional);
c. Legal (personal) accountability: hakim dapat
diberhentikan dari jabatannya melalui majelis
kehormatan hakim, hakim bertanggung jawab atas
kesalahan putusannya.Untuk itu tersedia upaya hukum
terhadap putusan hakim (Indonesia: dari banding hingga
kasasi dan peninjauan kembali);
d. Legal (vicarious) accountability: negara
bertanggungjawab (state liability) atas kekeliruan atau
53
kesalahan putusan hakim, negara dapat meminta hakim
untuk ikut bertanggungjawab bersama (concurrent
liability).
Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 53 ayat 1
mengatur bahwa: “dalam memeriksa dan memutus perkara,
hakim bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang
dibuatnya”. Pengaturan lebih lanjut dimuat dalam Pasal 53 ayat
2 yang mengharuskan hakim memuat pertimbangan hukum
yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan
benar. Melalui pertimbangan hukum itulah para pihak maupun
publik bisa mengetahui dasar yang digunakan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Sedangkan pertimbangan hukum
tersebut harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang
tepat. Publik bisa mengetahui dan mengukur melalui
pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim dalam
menghasilkan putusan. Sedangkan para pihak juga bisa
menggunakannya untuk menimbang langkah yang akan
diambil misalnya berupa upaya hukum setelah mengetahui
pertimbangan hukum yang dibuat hakim mendasari putusan
yang dijatuhkannya.
Penjelasan mengenai akuntabilitas dengan sangat jelas
disampaikan Paulus Effendi Lotulung yang menyatakan
bahwa: Batasan atau rambu‐rambu yang harus diingat dan
diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah
terutama aturan‐aturan hukum itu sendiri. Ketentuan‐
ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun
substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi
kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya
tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang‐wenang.
Hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat
bertindak contra legem. Selanjutnya, harus disadari bahwa
kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan
pertanggungjawaban atau akuntabilitas, yang kedua‐duanya
itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan
kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan
mutlak tanpa tanggung jawab. Penyelenggaraan kekuasaan
54
yang akuntabel akan semakin meningkatkan kepercayaan
publik. Akuntabilitas kekuasaan kehakiman sangat bertumpu
pada akuntabilitas hakim. Putusan yang dihasilkan oleh hakim
harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hakim
hanya memutus berdasarkan pembuktian dan mewujudkan
keadilan. Putusan yang akuntabel pertama kali hanya bisa
dihasilkan oleh hakim yang tidak memiliki benturan
kepentingan. Benturan kepentingan yang lebih mengancam
akuntabilitas putusan adalah judicial corruption. Hakim yang
terlibat suap misalnya, tidak akan bisa memutus secara bebas
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Akuntabilitas yudisial mengharuskan adanya
transparansi. Tanpa adanya transparansi, putusan yang
dihasilkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu
asas penyelenggaraan persidangan adalah asas keterbukaan.
Prinsip dasarnya semua persidangan terbuka dan dibuka untuk
umum sehingga publik dapat mengikuti jalannya persidangan.
Namun, hakim tidak boleh terpengaruh oleh anasir non hukum
yang meliputi suatu perkara, misalnya opini publik ataupun
pemberitaan media massa. Hakim tidak boleh tunduk pada
kuasa apapun. Hakim hanya berusaha menggali rasa keadilan
masyarakat yang otentik dengan segenap upaya dengan
penuh kehati‐hatian untuk menjadi pertimbangan putusan.
Hakim dalam menjalankan profesinya merdeka dari pengaruh
kekuasaan mana pun, baik internal pengadilan, seperti rekan
kerja ataupun atasan dan pengaruh kekuasaan eksternal
pengadilan. Hakim bebas dalam memutus perkara sekaligus
mempertanggungjawabkan putusannya kepada publik.
Sehingga putusan hakim harus selalu dapat dengan mudah
diakses oleh publik, baik oleh para pihak yang berperkara
maupun masyarakat luas.
4. Responsibilitas
Badan Peradilan harus tanggap atas kebutuhan pencari
keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat mencapai peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Selain itu, hakim juga harus menggali,
55
mengikuti, dan memahami nilai‐nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 5 Undang‐Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
5. Keterbukaan
Salah satu upaya badan peradilan untuk menjamin
adanya perlakuan sama di hadapan hukum, perlindungan
hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah dengan
memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu
perkara dan kejelasan mengenai hukum yang berlaku dan
penerapannya di Indonesia. Hal ini diatur pada Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945; Pasal 13 dan Pasal 52 Undang‐Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Keterbukaan informasi yang efektif dan efisien
merupakan bagian dari komitmen Mahkamah Agung dalam
rangka reformasi birokrasi, bahkan Mahkamah Agung telah
lebih dahulu merealiasikan jauh sebelum Undang undang
Keterbukaan Informasi Publik, sebagaimana dituangkan dalam
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :
144/KMA/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan. Setelah SK 144 ditetapkan, terbit peraturan
perundang‐undangan yang lain yang mengatur pelaksanaan
keterbukaan informasi yaitu Undang – Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Standar Layanan Informasi Publik yang harus dijadikan
pedoman pelayanan informasi oleh seluruh Badan
Publik, termasuk Pengadilan.
Mewujudkan pelaksanaan tugas dan pelayanan
informasi yang efektif dan efisien serta sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan peraturan perundang‐undangan,
diperlukan pedoman pelayanan informasi yang sesuai dengan
tugas, fungsi dan organisasi Pengadilan. Maka ditetapkan
pedoman pelayanan informasi yang sesuai dan tegas melalui
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 1‐
56
144/KMA/SK/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di
Pengadilan sebagai pengganti Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor: 144/KMA/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Pengadilan di Indonesia setidak‐tidaknya memiliki 2
(dua) media dalam menyediakan atau menyajikan informasi
kepada masyarakat, baik secara tidak langusung yaitu melalui
website resmi pengadilan maupun secara langsung yaitu
melalui Meja Informasi yang ada pada Pengadilan, yang
didukung ketersediaan perangkat berupa hard ware dan soft
ware dan tentu saja dengan sumber daya manusia yang baik,
disiplin dan terlatih.
6. Ketidakberpihakan
Ketidakberpihakan atau imparsialitas merupakan syarat
utama terselenggaranya proses peradilan yang jujur dan adil,
serta dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan
pendapat/kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, aparatur
peradilan harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak‐
pihak yang berperkara. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang‐Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda‐bedakan
orang.
Sikap imparsialitas ini harus ditunjukkan oleh hakim dan
semua aparat pengadilan dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Ketika terjadi konflik kepentingan dalam
penanganan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, hakim
dan aparat pengadilan harus mengundurkan diri dari
pemeriksaan perkara tersebut. Tujuan dari mencegah dari
konflik kepentingan adalah untuk menjaga kehormatan dan
kewibawaan pengadilan.
Ketidakberpihakan merupakan salah satu nilai utama
yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dan aparat pengadilan.
Pengaturan tegas tentang imparsialitas ini ditemukan pada
Pasal 17 ayat 5 Undang‐Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut dengan tegas
57
menyatakan bahwa “seorang hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai
kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara itu.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim juga menyatakan
bahwa hakim harus tidak memihak dalam sikap, ucapan,
perilaku, dan tindakan di dalam ataupun di luar sidang, baik
terhadap subyek maupun obyek hukum perkara.”65
7. Perlakuan yang sama di hadapan hukum
Setiap warga negara, khususnya pencari keadilan, berhak
mendapat perlakuan yang sama dari Badan Peradilan untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945; Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Teori dan konsep equality before the law seperti yang
dianut oleh Pasal 27 ayat ( 1 ) Amandemen Undang‐undang
Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga
Negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan
pemerintahan. Hal ini dimaksud, bahwa semua orang
diperlakukan sama di depan hukum.
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa
semua orang sama di depan hukum. Persamaan di hadapan
hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu
sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara‐
negara berkembang seperti Indonesia.
Kalau dapat disebutkan asas equality before the law ini
merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum
(rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap
orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).
Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna
65
Lihat Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Baca juga
artikel Suparman Marzuki, “Independensi dan Imparsialitas Hakim”, Harian Tempo, edisi 21 Juli
2017.
58
perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the
law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.
Perundang‐undangan Indonesia mengadopsi asas ini
sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata)
dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang)
pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa
kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena
politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi
hukum Islam dan hukum adat di samping hukum kolonial.
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan
asas dimana terdapatnya suatu kesetaraan dalam hukum pada
setiap individu tanpa ada suatu pengecualian. Asas persamaan
di hadapan hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk
mengafirmasi kelompok‐kelompok marjinal atau kelompok
minoritas. Namun di sisi lain, karena ketimpangan sumberdaya
(kekuasaan, modal dan informasi) asas tersebut sering
didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk
melindungi aset dan kekuasaannya.
Asas equality before the law bergerak dalam payung
hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal.
Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh di antara
dimensi sosial lain, misalnya terhadap ekonomi dan sosial.
Persamaan “hanya” di hadapan hukum seakan memberikan
sinyal di dalamnya, bahwa secara sosial dan ekonomi orang
boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan
“persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial
dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas equality
before the law tergerus di tengah dinamika sosial dan ekonomi.
Dalam konsep Negara Hukum (rechsstaat) itu, diidealkan
bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika
kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun
ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah
‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada
pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per
59
orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario
sistem yang mengaturnya.
Konsep negara hukum harus memiliki beberapa
komponen yang ada di dalamnya. Julius Stahl menjelaskan ada
empat elemen penting, diantaranya 1). Perlidungan hak asasi
manusia; 2). Pembagian kekuasaan;3). Pemerintahan
berdasarkan Undang‐Undang; dan 4). Peradilan Tata Usaha
Negara. A.V. Dicey menjelaskan ada tiga ciri negara hukum
yang ia istilahkan dengan Rule of Law, yakni: 1). Supremacy of
Law ; 2). Equality Before the Law ; dan 3). Due Process of Law.
Selanjutnya, The International Commision of Jurist
mengatakan bahwa prinsip‐prinsip negara hukum ditambah
dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
(Independence and Impartiality of Judiciary). 3. Salah satu
konsep negara hukum ialah adanya peradilan bebas dan tidak
memihak.
Adanya Mahkamah Agung sebagai supreme of court
pelaksana penegakan hukum oleh badan‐badan peradilan
dibawah Mahkamah Agung yang merupakan alat kekuasaan
kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (1)
Undang‐Undang Dasar 1945, bahwa :
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”.
Indonesia sebagai negara hukum juga harus menerapkan
asas equality before the law yaitu asas kesamaan di muka
hukum, hal ini juga dijelaskan dalam konstitusi bahwa segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 amandemen keempat). Dengan demikian, semua
warga negara Indonesia mendapat perlakuan yang sama di
mata hukum.
8. Transparansi
Transparansi peradilan sangat berkaitan dengan
keterbukaan informasi publik yang disediakan oleh pengadilan.
60
Salah satu prasyarat transparansi adalah keterbukaan
informasi. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
dunia peradilan termasuk karena minimnya informasi yang
bisa diperoleh dalam dunia peradilan.66
Begitu pentingnya informasi publik konstitusi menjamin
hak memperoleh informasi dalam UUD Tahun 1945 pasal 28F.
Artinya memperoleh informasi merupakan salah satu hak
konstitusional. Pada dasarnya, Mahkamah Agung telah
selangkah lebih maju karena memiliki aturan keterbukaan
informasi publik sebelum lahirnya Undang‐Undang
Keterbukaan Informasi Publik, yaitu dalam Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 144/KMA/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Menyesuaikan rezim Undang‐Undang Keterbukaan
Informasi Publik kemudian dikeluarkan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor 1‐144/KMA/SK/2011 tentang
Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan.
Transparansi di pengadilan harus memungkinkan publik
memperoleh informasi mengenai segala prosedur di peradilan,
biaya perkara, jadwal persidangan, sampai dengan putusan.
Saat ini Mahkamah Agung sudah memiliki seperangkat sistem
keterbukaan informasi seperti Sistem Informasi Penelusuran
Perkara yang memungkinkan publik melakukan penelusuran
perkara secara lengkap. Itikad yang sangat baik dari
Mahkamah Agung ini harus digunakan oleh publik untuk ikut
melakukan pengawasan terhadap peradilan.
Namun, belum semua pengadilan konsisten
menggunakan CTS secara baik sehingga terkadang tidak
terdapat informasi yang lengkap. Publikasi putusan melalui
website sebenarnya merupakan wujud transparansi
pelaksanaan kekuasaan kehahiman. Publik bisa dengan mudah
mengetahui suatu putusan secara utuh, termasuk kalangan
praktisi dan akademisi hukum. Putusan yang dapat diunduh
66
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM, “Sistem Peradilan yang Transparan dan Akuntabel
(Catatan Kecil Penguatan)”, dalam Problematika Hukum dan Peradilan di Indonesia, editor
Hermansyah dkk (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2014), hlm. 298.
61
seharusnya menjadi bahan kajian sekaligus pengawasan
masyarakat kepada peradilan, karena putusan tersebut bisa
dikaji dan dikritisi secara terbuka. Tujuan pengkajian tentu
sebagai bentuk control masyarakat, juga sebagai upaya
pengembangan ilmu hukum. Model transparansi di Mahkamah
Konstitusi dalam hal tertentu dapat menjadi referensi. Setiap
perkara yang diregister di Mahkamah Konstitusi dapat
diketahui oleh publik dengan mudah melalui website. Informasi
hari sidang diunggah, begitu juga risalah persidangan yang
memuat segala informasi berlangsungnya persidangan.
Putusan sidang Mahkamah Konstitusi diunggah pada hari yang
sama putusan itu dibacakan. Transparansi model Mahkamah
Konstitusi tentu tidak bisa serta‐merta diperbandingkan
dengan Mahkamah Agung beserta badan peradilan di
bawahnya mengingat banyaknya jumlah badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang tentu saja diikuti banyaknya
jumlah perkara yang ditangani. Langkah paling penting yang
perlu dilakukan adalah terus memperbaiki sumber daya
manusia baik dari sisi kualitas maupun kuantitas agar proses
peradilan yang transparan dan modern berbasis teknologi bisa
terwujud.
Kepentingan transparansi tidak dalam rangka
menggerus independensi peradilan, tetapi logikanya malah
harus dibalik yakni dalam kerangka mempertontonkan
independensi peradilan.
Transparansi adalah bentuk pelaksanaan dari
akuntabilitas peradilan. Hal yang dijelaskan Trebilcock dan
Daniels sebagai operasionalisasi dari transparansi peradilan
dan diistilahkan sebagai “operational accountability”, yakni
sesuatu yang berkaitan erat dengan the number of cases
handled and time spent per case.
9. Aksesibilitas
Dalam Strategi Nasional Akses Pada Keadilan 2016‐2019
yang dicanangkan oleh Bappenas, akses terhadap keadilan
diartikan sebagai keadaan dan proses dimana negara
menjamin terpenuhinya hak‐hak berdasarkan UUD 1945 dan
62
prinsip‐prinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin
akses bagi setiap bagi setiap warga negara agar dapat memiliki
kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan
menggunakan hak‐hak dasar tersebut melalui lembaga‐
lembaga formal maupun nonformal. Demi menjamin hal
tersebut dibutuhkan dukungan mekanisme keluhan publik
yang baik dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat
yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupannya
sendiri.67
Strategi Nasional Akses pada Keadilan 2016 – 2019
mendefinisikan akses terhadap keadilan tidak hanya soal
perlindungan dan kesamaan di depan hukum, namun lebih luas
dari itu. Dalam Stranas Akses pada Keadilan, keadilan diartikan
sebagai kesetaraan akses untuk mendapatkan layanan dasar,
kesetaraan akses untuk menikmati dan mengelola tanah dan
hasil‐hasil sumber daya alam, dan kesetaraan akses untuk
mendapatkan keadilan melalui mekanisme penyelesaian
sengketa non‐formal.68
Strategi Nasional Akses pada Keadilan 2016‐2019 ini
berfokus pada kelompok masyarakat miskin atau
terpinggirkan, yaitu:
a. Masyarakat, anak‐anak, dan perempuan yang hidup
dalam kemiskinan dan/atau daerah terpencil;
b. Masyarakat, anak‐anak, dan perempuan dengan
disabilitas; dan
c. Masyarakat, anak‐anak, dan perempuan yang
memerlukan perlindungan khusus seperti korban
kekerasan, kelompok minoritas, masyarakat hukum
adat, buruh tani, buruh perkebunan dan nelayan.69
Pengadilan yang baik adalah pengadilan yang terjangkau
dan mudah diakses untuk berperkara. Biaya pengadilan tidak
menghalangi anggota masyarakat untuk mengakses proses
peradilan; prosedur dan persyaratan yang rumit tidak
67
Bappenas, Strategi Nasional Akses pada Keadilan 2016‐2019, hlm. 2.
68
Bappenas, Strategi Nasional Akses pada Keadilan 2016‐2019, hlm. vi.
69
Bappenas, Strategi Nasional Akses pada Keadilan 2016‐2019, hlm. 4.
63
meningkatkan biaya litigasi; dan formulir dan informasi dasar
yang dapat dipahami tentang proses pengadilan sudah
tersedia. Akses fisik mudah dan nyaman. Pengguna pengadilan
dapat dengan mudah menjangkau area pengunjung umum di
ruang sidang; petunjuk di pengadilan ditampilkan dengan
jelas; dan titik informasi pusat memandu pengguna pengadilan
melalui pengadilan. Keamanan terjamin, tetapi tindakan
keamanan yang berlebihan tidak mencegah orang yang
berperkara merasa nyaman. Pengadilan menggunakan
teknologi informasi untuk memungkinkan pengguna
pengadilan yang diwakili sendiri untuk menavigasi pengadilan
(melalui informasi umum di pengadilan, proses pengadilan,
dan biaya pengadilan), pengarsipan elektronik, dan
penggunaan videoconference.
Dalam mendukung program Strategi Nasional Akses
pada Keadilan 2016‐2019 tersebut pengadilan di Indonesia
melakukan sejumlah program‐program yang bertujuan untuk
mendekatkan masyarakat yang rentan dan terpinggirkan
kepada keadilan. Mahkamah Agung pada tahun 2014 telah
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi
Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak
mampu di pengadilan meliputi layanan pembebasan biaya
perkara, sidang di luar gedung pengadilan, dan pos bantuan
hukum di pengadilan. Layanan pembebasan biaya perkara
berlaku pada pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi dan
peninjauan kembali. Sementara untuk layanan sidang di luar
gedung pengadilan dan pos bantuan hukum hanya berlaku
pada pengadilan tingkat pertama. 70
Tujuan utama dari layanan hukum bagi masyarakat yang
tidak mampu tersebut adalah untuk:
70
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
64
a. Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh
masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi di
pengadilan.
b. Meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat
yang sulit atau tidak mampu menjangkau gedung
pengadilan akibat keterbatasan biaya, fisik atau geografi.
c. Memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak
mampu mengakses konsultasi hukum untuk
memperoleh informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan
dokumen dalam menjalani proses hukum di pengadilan.
d. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat
tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan
perlindungan terhadap hak dan kewajiban.
e. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat
pencari keadilan.71
C. Tujuh Area Pembaruan Peradilan
1. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2003
Reformasi tahun 1998 merubah secara mendasar struktur
kenegaraan kita, pada waktu itu alasan yang mendasari arah
perubahan tersebut adalah mengeluarkan negara dari
cengkraman orde baru yang dikenal bersifat semi
otoriter.72Meskipun tetap mempertahankan sistem pemerintahan
presidensial, distribusi kekuasaan tidak lagi menjadi dominasi
presiden, parlemen didesain menjadi lebih kuat dan tidak hanya
bersifat “tukang stempel” sebagaimana masa pemerintahan
sebelumnya. Lembaga kekuasaan kehakiman juga mengalami hal
yang sama, kekuasaan yang dijalankan Mahkamah Agung, badan‐
badan peradilan (umum, agama, tata usaha negara dan militer)
dan lembaga peradilan hasil reformasi, Mahkamah Konstitusi
yang diarahkan menjadi lebih kuat dan mandiri agar berfungsi
sebagai penyeimbang dalam sistem kuasaan, selain itu, secara
sistemik komisi‐komisi negara dibentuk untuk mempertegas
71
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
72
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, hlm. 376.
65
pemisahan kekuasaan dan memperkuat gagasan check and
balance.73
Mahkamah Agung mengeluarkan upaya sistematik dan
jangka panjang mengenai pembenahan dan pembaruan di dunia
peradilan, beberapa tahun setelah reformasi, untuk menyambut
perubahan besar dalam sistem peradilan dan sekaligus berusaha
menjawab kritikan umum masyarakat terhadap lembaga
peradilan, bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti Lembaga
Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), The
Asia Foundation, United State Agency for International
Development (USAID), dan Partnership for Governance Reform In
Indonesia (Partnership), MA kemudian mengeluarkan Cetak Biru
Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2003 (Cetak
Biru MARI 2003).74
Cetak Biru MARI 2003 ini menyajikan analisa persoalan dan
sumber masalah yang dihadapi lembaga peradilan di Indonesia
pada saat itu, saran teknis perbaikan, jangka waktu dan indikator‐
indikator keberhasilan pelaksanaan pembaruan. Ruang lingkup
permasalahan tersebut meliputi kemandirian MA, struktur
organisasi MA, sumber daya manusia pada MA, manajemen
perkara pada MA, akuntabilitas, transparansi dan manajemen
informasi di MA, pengawasan dan pendisiplinan hakim dan hakim
agung, sumber daya keuangan dan fasilitas, manajemen
informasi dan mengelola perubahan (pembaruan) di MA.75
Sebagian besar Cetak Biru MA 2003 ini nampaknya lebih
berfokus pada pembenahan lembaga MA itu sendiri ketimbang
badan‐badan atau sistem peradilan secara keseluruhan. Bisa
didapati persoalan yang mengemuka dan menjadi fokus
pembaruan adalah persoalan‐persoalan yang ada di MA.
Persoalan kemandirian MA misalnya meyoroti beberapa
persoalan krusial yang telah ada bertahun‐tahun, misalnya
seperti: Pertama, jaminan independensi kekuasaan kehakiman,
73
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm. 166
74
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2003, Mahkamah Agung
RI.
75
Ibid.
66
khususnya MA dari cabang kekuasaan lainnya; Kedua, sistem
rekrutmen dan terutama pelaksanaan rekrutmen Hakim Agung
dan Pimpinan MA saat itu yang bersifat sangat politis dan
menafikan proses rekrutmen berdasarkan merit system; Ketiga,
tidak adanya jaminan sama sekali bahwa MA berhak atas suatu
anggaran yang memadai untuk menjalankan fungsinya yang
sangat berpotensi mengganggu independensinya; Keempat,
Rendahnya penghargaan negara pada hakim Agung dan adanya
ketidakseimbangan kedudukan kultural dan protokoler antara
Hakim Agung dan pejabat negara lainnya.76
Titik fokus pembaruan dalam Cetak Biru MARI 2003 yang
hanya memfokuskan perubahan pada lembaga MA itu sendiri
pada akhirnya membuat perubahan pada lembaga‐lembaga
peradilan di bawah MA menjadi tidak begitu jelas.77
Pada mulanya Cetak Biru MA 2003 ini memang dibuat untuk
menanggulangi persoalan yang di hadapi MA itu sendiri. Dalam
sebuah diskusi tentang pembaruan sistem peradilan pada tahun
2009, Koordinator Tim Pembaharuan Mahkamah Agung, Paulus
Effendy Lotulung menyatakan perlunya mendesain ulang Cetak
Biru MA 2003, karena sebagian isinya telah dilaksanakan atau
dicapai, sebagian lagi sedang dijalankan dan sebagian lagi sudah
tidak up to date. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa Cetak Biru
MA 2003 lebih berfokus kepada lembaga MA sendiri, sehingga
perlu Cetak Biru yang baru yang lebih fokus tidak hanya pada MA
tapi juga pada lembaga‐lembaga peradilan di bawah MA.78
2. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2010‐2035
Sebagaimana misi utama pembuatan Cetak Biru
sebelumnya, Cetak Biru MA 2010‐2035 mengusung agenda
menuju peradilan yang agung di tahun 2035. Definisi ini merujuk
pada semua aspek dari sistem yang terkait dalam struktur
pengadilan berjalan sebagaimana mestinya. Cetak Biru ini lebih
memfokuskan agenda pembaruan bagi pengadilan‐pengadilan di
76
Ibid. hlm.12.
77
Ibid, hlm. II.
78
“MA Rancang Ulang Cetak Biru Pembaharuan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21371/ma‐rancang‐ulang‐cetak‐biru‐pembaharuan,
diakses tanggal 17 November 2018.
67
bawah MA dan ini memuat perencanaan strategis untuk 25
(duapuluh lima tahun) mendatang yang dimaksudkan untuk lebih
mempertajam arah dan langkah dalam mencapai cita‐cita
pembaruan badan peradilan secara utuh.8
Beberapa hal dalam dalam Cetak Biru 2003 yang masih
dikembangkan dalam Cetak Biru 2010‐2035. Sebagai kerangka
acuan, tujuh area dikembangkan berdasarkan kerangka
Pengadilan yang Agung (court excellence framework) yang
merupakan kerangka pikir dan kerja bagi pengadilan yang ingin
meningkatkan kinerjanya. Kerangka ini telah dikembangkan dan
digunakan secara internasional. Berangkat dari hasil evaluasi dan
pengembangan Cetak Biru 2003, Cetak Biru 2010‐2035
menetapkan kerangka pengadilan yang unggul (The Framework of
Courts Excellence) yang terdiri dari 7 area pembaruan, aspek
pengarah dan pendorong (driver) yaitu: 1. Kepemimpinan dan
Manajemen, aspek sistem dan penggerak (system and enabler)
yaitu: 2. Perencanaan dan Kebijakan; 3. Sumber Daya Manusia,
Sarana‐Prasarana dan Keuangan; 4. Penyelenggaraan
Persidangan (sistem dan penggerak), dan hasil (result) yaitu: 5.
Kebutuhan dan Kepuasan Pengguna; 6. Akses ke Pengadilan; 7.
Kepercayaan Publik.79
Dalam Visi dan Misi Peradilan 2035, untuk mendapatkan
pengadilan yang mampu memberikan pelayanan keadilan yang
sebaik‐baiknya, maka di samping mendorong penyempurnaan
pelayanan pada ketujuh area perubahan, nilai‐nilai pengadilan
serta kualitas kinerja pun harus diperkuat, dan disempurnakan.
3. Tujuh Area Pembaruan Peradilan
a. Kepemimpinan dan Manajemen
Kepemimpinan yang inspiratif dan manajemen proaktif
dalam sebuah organisasi sangat penting untuk keberhasilan
pengadilan yang unggul, ini berlaku untuk semua tingkatan
dalam organisasi. Pimpinan adalah landasan penting untuk
79
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010‐2035, Mahkamah
Agung RI. hlm.4.
68
menggerakkan dan meningkatkan mutu, efektivitas, dan
efisiensi layanan.80
Lawrence M. Friedman mengemukakan ada tiga elemen
utama dari system hukum yang sangat penting, yaitu Struktur
Hukum (Legal Structure), yang terkait dengan sistem institusi
atau lembaga yang menopang berjalannya susatu sistem
hukum. Substansi Hukum (Legal Substance) yaitu yang terkait
dengan hukum materil dan Budaya Hukum (Legal Culture),
yang terkait dengan kesadaran mayarakat dalam merespon
penegakan hukum. Tiga unsur ini merupakan hal yang sangat
penting bagi tegaknya hukum dan keadilan di suatu negara,
namun demikian Ahmad Ali, menambahkan satu aspek yang
juga sangat krusial, yang tanpanya ketiga aspek yang lain itu
menjadi tidak maksimal, yaitu Kepemimpinan.81
Kepemimpinan yang baik memastikan pengadilan tidak
berjalan terpisah dari masyarakat dan instansi pemerintahan
lainnya. Hasil kinerja yang baik hanya bisa dapat direalisasikan
dengan kerjasama dengan organisasi lain dan mitra lembaga
yang terkait seperti kejaksaan, pemerintahan, profesi hukum
lokal, polisi, dan kelompok masyarakat sipil. Kepemimpinan
yang kuat membutuhkan kemampuan manajemen profesional
yang dapat mengantisipasi perubahan dalam masyarakat dan
menciptakan inovasi dalam kinerja pengadilan. Di berbagai
negara pada umumnya, pimpinan‐pimpinan pengadilan
dipegang oleh hakim‐hakim dengan kemampuan tekhnis
yudisial yang tinggi, namun hal ini tidak menjamin secara
otomatis bahwa mereka juga merupakan manajer terbaik
untuk pengadilan. Diperlukan dorongan kepada para
pemimpin pengadilan untuk mengasah kemapuan manajaerial
mereka dalam pelatihan‐pelatihan maupun kursus singkat.
Inovasi adalah hal yang sangat penting dalam mengelola
organisasi pengadilan, karena perubahan masyarakat adalah
80
The International Framework For Court Excellence, hlm. 6,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/The%20International%20Framew
ork%202E%202014%20V3.ashx
81 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 2009, Kencana,Jakarta.
69
hal yang tidak terhindarkan, meningkatnya jumlah penduduk,
persoalan demografis, kehidupan beragama, sosial politik,
kondisi politik internasional, perubahan iklim ekonomi serta
berbagai macam bentuk kejahatan dan modifikasi hukum.
Pimpinan pengadilan yang baik dapat mengantisipasi
perubahan dan secara aktif melibatkan semua unsur dalam
suatu sistem pengadilan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Mereka juga mampu menciptakan terobosan dalam proses
kerja pengadilan untuk meningkatkan kualitas layanan ke
tingkat yang lebih tinggi. Akuntabilas dan transparansi juga
merupakan suatu tolak ukur kuatnya sebuah kepemimpinan.
Ini berarti pengadilan secara rutin mempublikasikan hail kerja,
program, profil dan informasi yang dibutuhkan masyarakat.82
Randall T. Shepard dalam The Changing Nature of Judicial
Leadership menilai bahwa kepemimpinan pengadilan pada
masa modern ini harus dimaknai dalam konteks yang lebih
luas, kepemimpinan pengadilan tidak hanya dikonotasikan
pada bagaimana hakim memimpin persidangan dan
menyelesaikan kasus, namun juga bisa meletakkan kinerja
judicialnya dalam kontek pemerintahan yang lebih luas. Ada
beberapa hal yang perlu dicermati ketika membicarakan
kepemimpinan pengadilan, Pertama adalah bagaimana
meletakkan fungsi institusi pengadilan sebagai bagian dari
sistem cheks and balance dalam sebuah negara, sehingga
lembaga peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya
sebagai leading sector dalam menegakkan hukum,
karakteristik khasnya sebagai lembaga yudikatif adalah
kemandirian dan ketidak berpihakan, sehingga dalam
menjalankan fungsinya pengadilan harus melekat dengan citra
ini.
Kedua adalah membangun dan memperkuat institusi
pengadilan, perlu dicatat bahwa tugas‐tugas pimpinan
pengadilan yang juga sangat penting adalah membangun dan
memperkuat institusi, hal ini harus ditempuh dengan cara
82 The International Framework For Court Excellence, hlm. 6
70
memperjuangkan anggaran, memperbaiki hubungan
institusional dengan lembaga lain, memperbaiki sistem
administrasi agar lebih efektif dan efisien, sehingga dapat
menghasilkan lingkungan kerja yang baik dan menghasilkan
aparat peradilan yang bersih.
Ketiga, terlibat dalam tugas di luar tugas pokok dan
fungsinya, pemimpin pengadilan dimungkinkan untuk terlibat
dalah program‐program pemerintah yang tentu tidak
mengganggu kemandiriannya sebagai hakim, namun ia bisa
berperan secara lebih luas dalam membantu program kerja
pemerintah dan masyarakat. Keempat, pentingnya perhatian
atas kepemimpian pengadilan di tingkat lokal. Inovasi dan
perubahan di pengadilan‐pengadilan tingkat pertama
merupakan hal yang penting saat ini, karena berkaitan dan
berhadapan langsung dengan para pencari keadilan, hal ini
bisa berpengaruh signifikan jika perubahan dan inovasi itu bisa
diduplikasi dan diterapakan pula di pengadilan lainnya
sehingga bisa berdampak secara luas.83
Indikator jalannya kepemimpinan dan manajemen yang
baik dalam suatu pengadilan dapat dilihat dari beberapa hal
berikut:
1) Pimpinan pengadilan telah mengumumkan visi, misi
(tujuan), dan detil bagaimana memenuhi nilai dasar
(seperti : aksesibilitas, aktualitas, dan keadilan).
2) Pimpinan pengadilan aktif terlibat dalam pengaturan
waktu dan standar pelayanan, serta melakukan evaluasi
kinerja pengadilan dan pelayanan.
3) Pimpinan pengadilan mengadakan pertemuan secara
berkala dengan para pengguna pengadilan, untuk
memberikan informasi mengenai pelayanan pengadilan,
dan mendapat masukan serta aktif menginformasikan
kepada masyarakat dan pengguna pengadilan mengenai
layanan, standar dan kinerja, serta mencari masukan
untuk meningkatkan pelayanan.
83 Randall t. Shepard, The Changing Nature of Judicial Leadership, hlm.767‐772,
https://mckinneylaw.iu.edu/ilr/pdf/vol42p767.pdf, diakses tanggal 16 Desember 2018.
71
4) Data disimpan dan dipublikasikan sebagai bagian
penting dari pekerjaan pengadilan.
5) Pengadilan memiliki perencanaan ke depan, evaluasi
input dan kinerja, serta mengidentifikasi bagian‐bagian
yang memerlukan peningkatan.
6) Pengadilan dan pimpinan terbuka akan pembaharuan.84
b. Perencanaan dan Kebijakan
Perencanaan yang matang dan kebijakan yang tepat
sasaran merupakan hal yang paling mendasar dalam
membangun kepemimpinan yang kuat. Pengadilan harus bisa
menghitung kemampuan sumber daya, mengidentifikasi
perubahan sosial, memetakan kebutuhan dan keinginan
masyarakat untuk merumuskan suatu perencanaan yang
matang. Perencanaan ke depan merupakan hal mendasar
untuk menetapkan tujuan yang jelas, target serta rencana
perbaikan. Pemimpin yang baik akan melibatkan seluruh
elemen terkait dari hakim, pegawai pengadilan, instansi terkait
serta masyarakat untuk mengembangkan kebijakan dan
pendekatan baru mengenai perbaikan pengadilan.85
Perencanaan harus didasarkan pada komitmen
penggunaan data dan informasi yang akurat dan dapat
diandalkan untuk memastikan strategi, rencana dan kebijakan
didukung oleh yang kuat basis bukti. Proses perencanaan perlu
dipastikan nilai‐nilai pengadilan secara inheren dibangun ke
dalam rencana dan kebijakan. Pengadilan yang sangat baik
aktif menggunakan kebijakan pengadilan sebagai alat untuk
meningkatkan kinerja dan memastikan layanan berkualitas
tinggi.
Kebijakan peradilan harus berfokus pada penguatan
khusus nilai‐nilai atau pada realisasi tujuan yang direncanakan
dengan baik. Terkait soal aturan misalnya, ditujukan untuk
84
The International Framework For Court Excellence, hlm. 1,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/Framework%20for%20Court%20E
xcellence%20‐%20Indonesian.ashx
85
The International Framework For Court Excellence, hlm. 8,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/The%20International%20Framew
ork%202E%202014%20V3.ashx
72
kesamaan pemahaman demi kesatuan hukum dengan
membuat pedoman tekhnis untuk jenis‐jenis perkara tertentu.
Dalam perkara perdata, kebijakan misalnya dapat dibuat untuk
mendorong hakim agar aktif menerapkan dan menegakkan
standar pembuktian dan dalam proses pidana kebijakan
pencatatan atau penangguhan dapat digunakan untuk
membantu mengurangi jumlah penundaan sidang. Kebijakan
tentang pembebeasan biaya perkara juga dapat meningkatkan
aksesibilitas masyarakat ke pengadilan.
Perencanaan dan Kebijakan merupakan hal yang esensial
dalam jalannya sebuah organisasi, tak terkecuali institusi
pengadilan. Pengadilan yang baik dapat merumuskan
perencanaan secara tepat dan mengambil kebijakan untuk
merealisasikan tujuan dari perencaaan yang sudah ditetapkan
dengan tetap menjaga efisiensi dan kualitas yang telah
ditetapkan di awal.
Indikator sebuah perencaan dan kebijakan telah
dilaksanakan dengan baik di pengadilan adalah sebagi berikut:
1) Pengadilan memiliki strategi perencanaan dalam
mencapai tujuan, target, dan rencana peningkatan.
2) Pengadilan secara aktif melibatkan hakim dan pegawai
dalam perencanaan, dan penyelesaian masalah.
3) Pengadilan secara berkala meninjau perencanaan, dan
capaian pada target.
4) Pengadilan telah mengumumkan kebijakan, dan
mendukung nilai, target, dan perencanaannya.
5) Pengadilan secara teratur memeriksa kebijakan, untuk
memastikan keefektifan.
6) Pengadilan memiliki strategi pembaharuan, sebagai
bagian utuh dari strategi perencanaan.86
86
The International Framework For Court Excellence, hlm. 2,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/Framework%20for%20Court%20E
xcellence%20‐%20Indonesian.ashx
73
c. Sumber Daya Pengadilan (Manusia, Material dan
Keuangan)
Untuk mengidentifikasi kemandirian suatu pengadilan,
beberapa variable harus dipelajari, setidaknya tiga hal yang
perlu dipahami, yaitu; pertama, ada tidaknya tekanan baik
secara formal maupun informal terhadap hakim yang dapat
mempengaruhi putusannya, kedua,adanya jaminan personal
dan profesional terkait jabatan, dan yang ketiga adalah
metode seleksi hakim. 87
Untuk dapat mewujudkan kemandirian dalam suatu
pengadilan, manajemen sumber daya manusianya sangatlah
menentukan, khususnya hakim. Hakim harus menyadari tugas
pokok dan fungsinya dan tahu bagaimana cara mengatasi
tekanan yang datang untuk mempengaruhi putusannya. Selain
penguasaan terhadap hukum formil dan materil, penguasaan
dan penerapan kode etik juga sangat perlu untuk ditekankan,
pengadilan yang baik akan menciptakan sistem yang dapat
melindungi aparaturnya dari tekanan dan intervensi pihak‐
pihak yang datang dari internal maupun eksternal.
Pengadilan yang baik juga akan membuat jaminan
personal hakim terkait dengan kebutuhan tempat tinggal,
transportasi, kesehatan dan pengembangan diri, selain itu,
jaminan profesionalnya terkait penggajihan dan tunjangan,
masa jabatan dan prosedur protokoler. Hal ini dimaksudkan
agar semua kebutuhan hakim secara standar telah terpenuhi
sehingga ia bisa bekerja dengan baik dan tidak mudah
dipengaruhi dengan iming‐iming materi. Perlindungan jabatan
juga sangat penting untuk melindungi hakim dari upaya yang
sistematik yang mungkin datang dari dalam struktur
pengadilan sendiri maupun struktur pemerintahan.
Untuk mendapatkan hakim dan aparat peradilan yang
bagus, tidak bisa diciptakan hanya dari sumberdaya yang
87 Lihat Sanford Levinson, “Identifiying “Independence””, Boston University Law Review,
Vol.86:1297, 2006. http://www.bu.edu/law/journals‐
archive/bulr/volume86n5/documents/levinsonv.2.pdf. hlm.1299‐1302 diakses tanggal 17 Maret
2017.
74
sudah ada, prosesnya harus didesain sejak awal perekrutan.
Penting untuk menyusun kriteria yang tinggi untuk mengisi
posisi‐posisi penting di pengadilan, kriteria tersebut antara lain
terdiri dari data‐data administratif, kualifikasi akademik dan
juga rekam jejak. Proses rekrutmennya pun harus dilakukan
secara transparan dan akuntabel sehingga dapat
menumbuhkan kepercayaan masyarakat sejak awal.
Beberapa dekade terkahir perhatian kalangan
internasional seperti International Commission of Jurist dan
beberapa organisasi lain melahirkan beberapa deklarasi
tentang standar minimum tentang bagaimana kekuasaan
kehakiman dijalankan, diantara poin pentingnya adalah
memuat prinsip‐prinsip cara pengangkatan hakim yang harus
dipenuhi.
Principles On The Independence Of The Judiciary
(Syracuse Principles, 1981) mengariskan:
Art. 3. Applicants for judicial office should be individuals of
integrity and ability, well‐trained in the law and its
application;
Art. 4. Applicants qualified as set out in Art. 3 above should
have equality of access to judicial office.
Art.5. Selection for the appointment of judges should be
made without distinction of any kind such as race, colour,
sex, language or religion, political or other opinion, national
or social origin, property, birth or status.88
Untuk mendaftar menjadi hakim, seorang haruslah
memenuhi kualifikasi sebagai individu yang mampu dan
berintegritas baik serta menguasai dan bisa menerapkan
hukum. Seleksi pengangkatan hakim haruslah dilaksanakan
secara adil dan tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan warna
kulit, ras, sex, bahasa, agama,kelompok politik, status
kelahiran, asal muasal serta kekayaan.
Kemudian mengenai metode pengangkatan dan sistem
pendidikan draf ini menyatakan:
88
Principles On The Independence Of The Judiciary (Syracuse Principles, 1981)
75
Art 6. These principles apply whatever the method of
selection and appointment of judges.
Art 7. In‐service training should be made available to keep
judges informed of important developments, including
developing social trends, new technologies and their legal
consequences, studies into the causes of crime and
sentencing policies and their effects.89
Prinsip‐prinsip ini harus diterapkan apapun metode yang
digunakan dalam suatu negara dalam proses pengangkatan
hakim. Di beberapa negara, kandidat hakim berasal dari para
sarjana hukum yang baru lulus untuk kemudian mengikuti
pendidikan yang kurikulumnya dirancang secara khusus untuk
menjadi hakim. Di beberapa negara lain, hakim direkrut
melalaui ujian yang ketat dan pelatihan dengan datang ke
pengadilan dan belajar langsung dari para hakim, namun ada
juga negara yang menerapkan jabatan hakim diisi oleh lulusan
pasca sarjana dan telah berpraktek sebagai asisten hakim,
jaksa, pengacara maupun panitera, atau hakim‐hakim dipilih
oleh masyrakat atau dipilih dari para pengacara profesional
yang aktif dalam organisasi kepengacaraan. Pendidikan dan
pelatihan harus dirancang untuk membantu hakim
mendapatkan pengetahuan yang aktual, perkembangan sosial,
perkembangan tekhnologi dan akibat hukumnya, kajian
tentang sebab‐sebab kriminalitas, kebijakan pemidaan dan
pengaruhnya. 90
Pengadilan yang baik bisa mengelola semua sumber
daya yang tersedia dengan semestinya, efektif dan proaktif.
Bisa menentukan prioritas, dan mengambil bagian dalam
perubahan yang terjadi di masyarakat sehingga dapat
memahami kebutuhan pengguna pengadilan dan institusi
eksternal yang terkait. Pengadilan yang baik mempunyai
standar kerja yang baku dan memiliki ukuran terkait beban
kerja yang ideal yang dibutuhkan para hakim dan staf
pengadilan dalam menangani suatu perkara.
89
Ibid.
90
Syracuse Principles (1981). III. Qualification. Selection and Training of Judges:
76
Identifikasi terhadap jumlah perkara yang masuk dan sisa
perkara yang ada menjadi penting untuk menghitung
keperluan sumberdaya yang diperlukan pengadilan untuk
menyelesaikannya. Pengadilan harus berpegang teguh pada
dasar‐dasar profesionalisme dan menghormati nilai‐nilainya
dan membuka kesempatakan kepada semua aparaturnya
untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan yang
relevan terkait tugas pokok dan fungsinya.
Atmosfir dan iklim kerja yang sehat juga merupakan
prasayarat utama suatau pengadilan yang baik, perlunya
meningkatkan kepuasan hakim dan staf pengadilan dalam
standar kerja dan membuka kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan profesionalnya. Pengadilan yang baik memiliki
sumber daya material yang cukup untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkan, dan hati‐hati dalam mengelola dan
memelihara sumber daya ini. Kualitas ruang sidang yang
buruk, bangunan gedung yang tidak memadai, kurangnya
ruang untuk hakim, staf pengadilan, dan ruang arsip, materi
dan peralatan kantor yang tidak memadai, akan berdampak
negatif pada kinerja perngadilan dan kulitas layanan yang
disampaikan.
Manajemen sumber daya keuangan yang sehat dan
transparan membutuhkan penganggaran yang efektif,
manajemen fiskal dan audit independen yang rutin. Pengadilan
harus memastikan bahwa mereka memiliki keahlian dalam
mengelola keuangan dengan manajemen yang memadai,
fasilitas ruang kantor yang cukup, dan tekhnologi informasi
yang dapat menyokong kinerja administrasi dapat berjalan
dengan baik. Salah satu problem eksternal dalam pengelolaan
keuangan pengadilan saat ini adalah masih belum mandirinya
dalam pengelolaan sumberdaya keuangan. Faktor kemandiran
ini berdampak sangat besar sekali bagi organisasi pengadilan
secara keseluruhan menjalankan program‐program kerjanya.
Sedangkan persoalan internal adalah belum adanya Standard
Operating Procedure (SOP) yang baku terkait dengan
penerimaan dan belanja negara, dan adanya perangkapan
77
jabatan antara jabatan struktural dengan jabatan pengelola
keuangan di pengadilan‐pengadilan, selain itu banyaknya
satuan kerja di seluruh Indonesia juga menjadi persoalan
tersendiri yang harus dikelola secara benar.91
Beberapa indikator yang harus terpenuhi dalam
pengelolaan sumberdaya manusia, sarana prasarana dan
keuangan:
1) Pengadilan aktif mengatur sumber daya, untuk
menyeimbangkan beban kerja, dukungan dengan tepat
waktu, dan pengambilan keputusan yang berkualitas.
2) Pengadilan telah memenuhi kebutuhan pelatihan staf.
3) Pengadilan secara teratur mengadakan pembinaan
profesional untuk para hakim dan staf.
4) Pengadilan menyediakan akses informasi untuk
mendukung pengambilan putusan.
5) Pengadilan mengatur sumber material dengan efektif.
6) Fasilitas pengadilan memadai dan aman.
7) Pengadilan mengelola anggaran dengan tepat, dan
secara teratur memantau pengeluaran.
8) Pengadilan menyediakan pelatihan, serta dukungan
untuk inovasi.92
d. Proses Persidangan
Proses persidangan yang adil, efektif dan efisien adalah
indikator pengadilan yang baik. Pelaksanaan proses
persidangan tergantung pada kualitas aturan persidangan,
sistem pengawasan yudisial, penerapan aturan dan dukungan
tekhnologi informasi. Ketepatan waktu dan kehati‐hatian
menjadi sangat penting, durasi proses persidangan harus selalu
terpantau dan penundaan sidang harus bisa diantisipasi.
Langkah‐langkah yang tepat harus diambil dalam situasi di
mana durasi persidangan melebihi norma. Standar oprasional
kinerja pengadilan harus terdiri dari unsur unsur yang bisa
91 Cetak Biru Pembaruan MARI 2010‐2035, Hlm.10
92 The International Framework For Court Excellence, hlm. 3,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/Framework%20for%20Court%20E
xcellence%20‐%20Indonesian.ashx
78
memastikan bahwa durasi waktu, penjadwalan, daftar hakim
dan petugas pengadilan, panggilan dan penundaan sidang
harus tersistem dengan baik.93
Peradilan yang efisien dan efektif juga harus tegas
membedakan tugas dan fungsi personil pengadilan. Hakim
harus difokuskan pada tugas‐tugas adjudikasi sementara para
staf pengadilan difokuskan pada pekerjaan administratifnya.
Hakim harus diminimalkan dari tugas‐tugas administratif
selain mengadili perkara, namun harus dilibatkan terkait fungsi
non‐yudisial yang berkaitan dengan kebijakan‐kebijakan
strategis pengadilan. demikian pula, persoalan yang terkait
dengan hukum substantif dan keputusan prosedural tidak
diserahkan kepada staf pengadilan.
Pengadilan yang baik memiliki proses persidangan yang
adil dan tepat waktu. banyak perhatian yang harus diberikan
untuk memastikan ketepatan waktu dan menghilangkan
keluhan‐keluhan dalam persidangan. Pembagian secara efisien
antara tenaga tekhnis dan non tekhnis pengadilan akan
membantu pengadilan untuk lebih fokus dalam menjalankan
persidangan yang efektif dan efisien.
Pada pengadilan yang memiliki jumlah perkara yang
banyak, tidak mudah mengontrol penyelesaian perkara
dengan berbagai kompleksitasnya secara akurat. Oleh
karenanya metode evaluasi yang harus dilakukan secara
bertahap, mulai dengan indikator penilaian yang mendasar.
Penilaian dapat dilakukan terhadap tingkat penyelesaian
perkara dan minutasi, karena aspek ini merupakan aspek yang
paling krusial. Tahapan selanjutnya akan dinilai mengenai
aspek‐aspek pendukung lainnya secara lebih lengkap,
sehingga tahapan ini secara kuantitatif bisa dipertanggung
jawabkan. Setelah secara kuantitatif kinerja pengadilan secara
keseluruhan sudah baik, evaluasi kemudian akan masuk ke
ranah kualitatifnya.
94
The International Framework For Court Excellence, hlm. 4,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/Framework%20for%20Court%20E
xcellence%20‐%20Indonesian.ashx
80
e. Kebutuhan dan Kepuasan Pengguna Pengadilan
Untuk mengetahui kebutuhan masyarakat, setidaknya
harus diukur mengenai efek capaian apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat; seberapa efisien (value for money) yang diperoleh
para pembayar pajak dan masyarakat dari sistem peradilan;
siapa yang membutuhkan layanan dari sistem peradilan; apa
yang akan terjadi apabila tidak tersedia sistem peradilan; dan
apa nilai tambah yang disediakan sistem peradilan bagi
pengguna jasa peradilan dan masyarakat.
Penelitian telah secara konsisten menunjukkan bahwa
persepsi tentang mereka yang menggunakan pengadilan lebih
dipengaruhi oleh bagaimana mereka diperlakukan dan apakah
prosesnya administrasi dan proses sidangnya adil dan apakah
mereka menerima hasil yang menguntungkan atau tidak baik.
Dengan demikian, salah satu aspek penting dari pendekatan
kualitas dalam mencari bentuk yang terbaik adalah bahwa hal
itu membutuhkan pengetahuan tentang kebutuhan dan
persepsi para pengguna pengadilan.95
Pengguna pengadilan adalah masyarakat yang
mengajukan perkara maupun para pihak yang terlibat di
dalamnya serta profesi yang terkait seperti pengacara, jaksa,
polisi, akademisi maupun masyarakat sipil lainnya. Dengan
demikian, langkah‐langkah yang harus ditempuh untuk
mengetahui kebutuhan dan kepuasan pengguna pengadilan
tidak hanya ditujukan pada masyarakat yang berperkara tapi
juga profesi‐profesi terkait tersebut. Bagaimana respon
mereka terhadap prosedur administrasi pengadilan, maupun
proses persidangan dan respon mereka terhadap hakim dan
staf pengadilan menjalankan aturan‐aturan tersebut. Informasi
yang didapat harus bisa digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan proses yang ada di pengadilan.
95
The International Framework For Court Excellence, hlm. 10,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/The%20International%20Framew
ork%202E%202014%20V3.ashx
81
Adapun beberapa hal yang harus dilakukan untuk
mengetahui kebutuhan dan tingkat kepuasan pengguna
pengadilan asalah sebagi berikut:
1) Pengadilan mensurvei, dan meminta respon dari seluruh
pengguna pengadilan.
2) Pengadilan menerapkan perubahan yang diidentifikasi
dari hasil survei.
3) Pengadilan melaporkan secara terbuka dan teratur setiap
perubahan yang dibuat, sebagai tanggapan dari hasil
survei.
4) Pengadilan mensurvei kepuasan pengguna jasa
pengadilan terhadap proses, prosedur dan pelayanan.
5) Pengadilan menggunakan teknologi dan pembaharuan
untuk memberikan kualitas pelayanan terbaik kepada
seluruh pengguna jasa pengadilan.96
f. Akses ke Pengadilan
Pengadilan yang baik adalah pengadilan yang terjangkau
dan mudah diakses pengguna pengadilan. Biaya pengadilan
tidak memberatkan para pihak yang berperkara untuk
mengakses proses peradilan, prosedur dan persyaratan yang
rumit tidak mendorong pada proses litigasi dengan biaya yang
tinggi, dan informasi‐informasi dasar mengenai pengadilan
dapat diakses dengan mudah. Pengguna pengadilan dapat
dengan mudah menjangkau lokasi pengadilan, petunjuk‐
petunjuk di pengadilan ditampilkan dengan jelas; dan pusat
informasi memandu pengguna pengadilan melalui proses
administrasi dan proses persidangan di pengadilan. Keamanan
terjamin namun tidak berlebihan dengan tetap menjaga
kenyamanan pengunjung sehingga tidak menimbulkan rasa
enggan ke pengadilan.97
83
Pengadilan yang baik bisa meminimalisir kendala ini
dengan program‐program yang bertujuan membuka akses
yang lebih luas kepada masyarakat yang tidak mampu. Upaya
ini tentu bukan bermaksud mendorong masyarakat untuk
menyelesaikan semua persoalan hukumnya ke pengadilan,
namun untuk memberikan akses yang setara bagi semua
pengguna pengadilan meskipun ia berasal dari strata sosial
dengan penghasilan rendah. Pembebasan biaya perkara
maupun pembentukan pusat pelayanan dan konsultasi hukum
gratis bisa ditempatkan di sekitar wilayah pengadilan.
Pengadilan biasanya berada di pusat kota ataupun pusat
pemerintahan, beberapa daerah memiliki wilayah georafis
yang sangat luas, sehingga jarak antara pusat kota dan daerah
terjauh dari wilayah tersebut bisa memakan waktu yang sangat
lama. Hal ini tentu akan mempengaruhi akses masyarakat
yang berada di daerah yang jauh tersebut ke pengadilan.
Selain jarak yang jauh juga barang tentu akan membutuhkan
dana yang lebih besar untuk mencapai pengadilan, hal ini
berimplikasi pada terbengkalainya persoalan hukum yang
mereka mungkin hadapi. Pengadilan harus bisa berinisiatif
mengadakan persidangan‐persidangan yang mungkin bisa
dilakukan di luar gedung pengadilan sehingga bisa terlaksana
di tempat‐tempat yang sulit dijangkau.
Membuka akses yang luas dan mudah ke pengadilan
bermakna bahwa negara hadir dalam melayani kebutuhan
hukum yang terjadi di masyarakat.
Dalam implementasi perluasan akses ke pengadilan hal‐
hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Pengadilan menerapkan proses yang mendukung
jangkauan layanan.
2) Pengadilan mengumumkan informasi mengenai akses
dan pelayanan pengadilan.
3) Akses ke gedung Pengadilan mudah.
4) Pengadilan memfasilitasi orang‐orang berkebutuhan
khusus untuk menjamin dapat mengakses layanan
dengan mudah.
84
5) Pengadilan memiliki kebijakan untuk menjamin
kesetaraan perlakuan bagi semua pengguna jasa
pengadilan.
6) Pengadilan menyediakan informasi untuk membantu
mereka yang tidak terwakili.
7) Pengadilan menggunakan bahasa sederhana untuk
membantu semua pengguna jasa pengadilan.
8) Pengadilan memiliki perangkat elektronik, dan
tersedianya akses internet.
9) Pengadilan menggunakan teknologi dan pembaharuan
untuk.98
g. Kepercayaan Publik
Secara umum, tingkat kepercayaan publik yang tinggi
terhadap peradilan merupakan indikator keberhasilan
pengadilan paling penting. Tidak adanya korupsi, putusan
pengadilan yang berkualitas tinggi, rasa hormat untuk para
hakim, proses pengadilan yang tepat waktu dan transparan
akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.
Tingginya tingkat kepercayaan publik akan meningkatkan
kepatuhan masyarakat dengan akan putusan pengadilan,
memperkuat rasa hormat terhadap supremasi hukum dan
meningkatkan dukungan untuk penyediaan sumber daya
untuk memenuhi kebutuhan pengadilan.99
Pengadilan yang baik secara sistematis akan menukur
tingkat kepercayaan publik terhadap aparat pengadilan, tanpa
kepercayaan publik, sebuah pengadilan tidak akan berfungsi
secara efektif.
Beberapa dekade terakhir, serangan terhadap
independensi peradilan mencuat, tuntutan terhadap
akuntabilitas peradilan menjadi sesuatu yang ramai
98
The International Framework For Court Excellence, hlm. 5,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/Framework%20for%20Court%20E
xcellence%20‐%20Indonesian.ashx
99 The International Framework For Court Excellence, hlm. 10,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/The%20International%20Framew
ork%202E%202014%20V3.ashx
85
diperbincangkan. Kekhawatiran bahwa hakim akan berlaku
sebagai “aktivis pengadilan” yang memutus sesuatu
berdasarkan keinginannya dan tidak berdasarkan norma
hukum yang telah disepakati bersama tanpa rasa takut
menerima konsekuensi apapun. Bentuk tuntutan ini
menginginkan sanksi baik pidana maupun perdata terhadap
hakim yang salah dalam mengambil keputusan, pemilihan
ulang hakim, mereformasi sistem pemilihan hakim dan
menerapkan ketentuan retroaktif untuk pengurangan masa
jabatan hakim yang masih aktif. Dalam pandangan ini, hakim
adalah bagian dari pembuat kebijakan pemerintah dalam
negara demokrasi yang juga harus bertanggung jawab
langsung kepada publik dengan cara periodisasi masa jabatan,
meskipun ini dapat mempengaruhi kemandirian peradilan.100
Persoalan kepercayaan masyrakat ke pengadilan
kemudian merambah pada aspek manajerial pengadilan. Sejak
pertengahan tahun 1990‐an, beriringan dengan menggeliatnya
pendekatan baru tentang manajemen publik yang dituntut
untuk lebih efisien, pelayanan yang lebih baik, dan mekanisme
yang akuntabel, lembaga‐lembaga peradilan di eropa
mengalami tantangan baru untuk bisa menjawab tantangan
tersebut. Tradisi hukum yang cenderung tertutup dan berumur
sedemikian panjang harus beradaptasi dengan nilai‐nilai baru
yang menuntut keterbukaan dan efisiensi. Beberapa negara
merombak sejumlah desain prosedural, manajerial dan
struktural lembaga peradilan. Perubahan ini ditandai dengan
timbulnya gesekan antara nilai‐nilai profesional dari berbagai
macam latar belakang disiplin dan tegaknya nilai‐nilai sistem
peradilan, seperti nilai‐nilai kemandirian vs nilai‐nilai
produktifitas dalam manajemen. Perubahan ini tentu bagi
kalangan hakim dianggap merupakan suatu ancaman terhadap
kemandirian lembaga peradilan, namun di lain pihak,
100 Lihat misalnya contoh di Amerika dalam David C. Brody, “The Use of Judicial
Performance Evaluation to Enhance Judicial Accountability, Judicial Independence, and Public
Trust”, Denver University Law Review, 2008, hlm. 2. http://www.law.du.edu/documents/denver‐
university‐law‐review/v86_i1_brody.pdf. diakses 28 Mei 2017.
86
khususnya eksekutif dan legislatif merupakan kebutuhan untuk
membuat suatu sistem manajerial yang akuntabel.101
Setelah konflik konseptual ini mengemuka, perubahan
tentang konsep akuntabilitas khususya dalam diskursus
reformasi peradilan menjadi sangat cair. Definisi akuntabilitas
yang biasanya dipinggirkan dalam peran spesifik hakim dan
tradisi hukum diklarifikasi ulang.
Berangkat dari kontribusi administrasi publik, Francesco
Contini dan Richard Mohr, menawarkan konsep yang cocok
digunakan dalam sistem peradilan agar peran serta
masyarakat bisa diakomodir dalam sistem administrasi
peradilan, yaitu dengan menganalisa istilah‐istilah dalam
debat untuk menengarai konsepsi‐konsepsi yang berbeda
tentang akuntabilitas dalam bekerja. Kemudian mencoba
mengkonsepsi ulang akuntablitas dengan cara yang sesuai baik
itu dengan tradisi hukum maupun manajemen. Berdasarkan
penelitian di Spanyol, Finlandia dan Itali mereka menawarkan
suatu pendekatan baru untuk menjembatani nilai‐nilai
kemandirian dan akuntabilitas, atau akuntabilitas hukum dan
akuntabilitas manajerial, yang mereka sebut dengan istilah
“cooperative acountabilty” atau akuntabilitas kooperatif.102
Beberapa konsepsi menangani konflik konseptual antara
kemerdekaan peradilan dan akuntabilitas peradilan berbeda‐
beda di setiap negara, oleh karenannya penting untuk
merumuskan jalan tengah yang seimbang dan kontekstual
sesuai tradisi dan sistem hukum di Indonesia agar kepercayaan
masyarakat bisa pulih kembali terhadap lembaga peradilan.
Adapun beberapa mekanisme yang bisa ditempuh untuk
meningkatkan kepercayaan publik adalah sebagai berikut:
1) Pengadilan secara terbuka menjelaskan peranan dan
kinerja.
101
Lihat Francesco Contini & Richard Mohr, Reconciling Independence and Accountabilty
in Judicial Systems, Utrecht Law Review, Volume 3, Issue 2 (Desember) 2007, hal. 26,
http://www.utrechtlawreview.org/. diakses tanggal 7 Agustus 2017.
102
Lihat Francesco Contini & Richard Mohr, hlm. 26.
87
2) Pengadilan membuat informasi mengenai kinerja, waktu,
dan standar layanan yang tersedia.
3) Pengadilan memastikan seluruh pengguna jasa
pengadilan memahami proses, layanan, dan keputusan
yang dibuat.
4) Pengadilan memiliki kebijakan tentang pengaduan, dan
membuat laporan ketika menangani pengaduan.
5) Pengadilan melakukan audit tiap pengeluaran.103
103
The International Framework For Court Excellence, hlm. 6,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/ICCE/Framework%20for%20Court%20E
xcellence%20‐%20Indonesian.ashx
88
BAB III
IKHTIAR MEWUJUDKAN
PERADILAN YANG
AGUNG
A. Mewujudkan Peradilan yang Agung dalam Blueprint
Mahkamah Agung 2010 – 2035
1. Pendahuluan
Gaung reformasi peradilan sejatinya telah lama
didengungkan, tidak hanya oleh kalangan yuris (akademisi
maupun praktisi hukum), tetapi juga masyarakat pada tataran
akar rumput (grass root) menuntut adanya perubahan secara
radikal dan sistemik dalam penyelenggaraan peradilan di
Indonesia. Peradilan yang bersih (agung) adalah ekspektasi
komunal dari seluruh stakeholder penegakan hukum nasional.
Tuntutan ini didasarkan pada kenyataan bahwa lembaga
peradilan sebagai garda terdepan dalam mengawal dan
menegakkan hukum ternyata belum mampu mengemban
amanah dan tanggung jawab tersebut secara baik. Sekelebat
fakta terpampang di hadapan kita betapa penyelenggaraan fungsi
peradilan belum mampu memenuhi ekspektasi yang demikian
tinggi.
Transparansi, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta
aksentuasi pada keadilan ternyata belum sepenuhnya mampu
dijalankan dan diwujudkan oleh lembaga peradilan di Indonesia.
Masalah transparansi misalnya menjadi semacam “trending topic”
89
dalam pewacanaan lembaga peradilan sebagai lembaga yang
terbuka dan accessible (mudah diakses informasinya).
Keluhan mengenai transparansi dan masih sulitnya
mengakses berbagai informasi mengenai proses maupun teknis
yudisial di peradilan agaknya menjadi semacam preferensi untuk
menarik akar permasalahan kaitannya dengan transparansi ini.
Pun dengan aspek efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
teknis yudisial yang belum mencapai atau sekedar mendekati
ekspektasi masyarakat akan proses peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Begitu pentingnya aspek ini, hingga Chief Justice Warren E
Burger104 pernah mengemukakan:
“The obligation of our profession is, or long has been thought
to be, to serve as healers of human conflict. To fulfill our
traditional obligation means that we should provide
mechanisms that can produce an acceptable result in the
shortest possible time, with the least possible expense and
with a minimum of stress on the participants. That is what
justice is all about”105
Dari pandangan tersebut tergambar bahwa keadilan
sebagai tujuan utama dalam penyelesaian sengketa antara pihak‐
pihak yang beperkara akan tercapai jika dan hanya jika proses
adjudikasi (adjudication process) di pengadilan diselenggarakan
dengan mekanisme yang cepat, tepat, dan semaksimal mungkin
meminimalisir tekanan‐tekanan (fisik maupun psikologis) yang
dapat menghambat pengungkapan fakta secara massif di
pengadilan. Adversarial system (sistem penyelesaian sengketa
berbasis menang dan kalah) yang diimplementasikan di
pengadilan sudah cukup menjadi determinan bagi tingginya
eskalasi konflik dalam penyelesaian suatu kasus di pengadilan.
104
Warren Earl Burger adalah The 15th Chief Justice of The United States Supreme Court
sejak tahun 1969 sampai tahun 1986. Selama kepemimpinannya, The US Supreme Court berhasil
menelurkan beberapa putusan yang bersejarah terutama dalam hal abortion (aborsi), capital
punishment (hukuman mati), religious establishment (pembentukan agama), dan school
desegregation (desegregasi sekolah, penghapusan diskriminasi atas hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak bagi warga pribumi). Lihat (http://en.wikipedia.org/wiki/Warren_E._Burger)
105
(http://www.familydisputeresolution.com/, diakses 28 Oktober 2018).
90
Karena itu, sudah tidak tepat lagi jika pengadilan hanya
berpaku pada suatu pakem yang selama ini diterapkan karena
ternyata sangat tidak efisien (wasting time) dan masih jauh dari
ekspektasi akan terwujudnya keadilan bagi setiap pihak yang
beperkara di pengadilan. Dalam hal ini pula, Warren Earl Burger
mengemukakan:
“Our system is too costly, too painful, too destructive, too
inefficient for a truly civilized people. To rely on the adversary
process as the principal means of resolving conflicting claims
is a mistake that must be corrected”106
Sistem peradilan yang tidak efisien dan destruktif sangat
tidak sesuai diterapkan pada masyarakat yang pola pikir dan
perilakunya lebih egaliter, beradab, dan modern. Hal ini dipahami
karena masyarakat yang menanjak dalam pola pikir dan perilaku
menginginkan proses peradilan yang lebih cepat, efektif, dan
efisien serta yang terpenting mampu mewujudkan keadilan
substantif seperti yang diinginkan oleh masyarakat. Pengadilan
tidak boleh lagi dibiarkan mempertahankan sistem peradilan
yang hanya berpaku pada legalitas formil tetapi mengabaikan
aspek substansi dari keadilan itu sendiri.
Dunia peradilan Indonesia dalam kurun waktu yang cukup
lama sering diidentikkan atribut‐atribut negatif. Reputasi dunia
peradilan Indonesia bahkan sangat kental dengan presensi akan
korupsi yang laten, runtuhnya institusi dan kewibawaan
peradilan, serta kompetensi yang rendah pada tenaga‐tenaga
teknis maupun fungsional peradilan107.
Sekelebat paparan tersebut agaknya cukup
merepresentasikan kondisi peradilan di Indonesia bahwa ada
sesuatu yang “tidak berjalan” sebagaimana mestinya pada tubuh
peradilan itu sendiri. Kita mungkin dapat mengklaim yang tidak
berjalan itu adalah sistemnya, atau mungkin perangkat
perundang‐undangan yang menjadi patron pengadilan dalam
106
(Pendapat Warren E. Burger yang dikutip dalam Putusan perkara Hadley v. Board of
Trustees di PohnpeiSupreme Court Trial Division,
http://www.fsmlaw.org/fsm/decisions/vol3/3fsm015_017.htm, diakses 28 Oktober 2018).
107
Cate Sumner & Tim Lindsey, Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice for
The Poor, New South Wales: Lowy Institute, 2010, h. 12.
91
menyelenggarakan fungsinya. Tetapi apapun itu, kenyataan
menunjukkan jika permasalahan dalam peradilan di Indonesia
merupakan hal sifatnya “sistemik” dan perlu perubahan secara
serius dan radikal untuk mengembalikan wibawa lembaga
peradilan di Indonesia.
Beberapa agenda pembaharuan patut untuk dikedepankan
dalam upaya mengembalikan wibawa peradilan di Indonesia.
Pertama, pembaharuan yang elementer dapat dimulai dari
pembaharuan hukum acara yang selama ini mengacu pada
produk perundang‐undangan lama yang dalam banyak hal sudah
tidak sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Muatan hukum acara yang diimplementasikan saat ini memiliki
banyak kekurangan terutama ketika berhadapan dengan hal‐hal
baru yang pada awal terbentuknya undang‐undang dimaksud
belum atau tidak terpikirkan. Sebagai contoh, jenis‐jenis alat
bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR/284 R.Bg. hanya
mencakup lima, yaitu bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan,
pengakuan, dan sumpah. Sementara dalam perkembangannya,
pembuktian mengenai suatu hak, peristiwa dan/atau fakta hukum
lainnya tidak hanya terpaku pada kelima hal tersebut, tetapi telah
menjangkau data‐data dan/atau informasi elektronik, fotokopi,
dan sebagainya.
Kedua, penyusunan peraturan perundang‐undangan yang
lebih egaliter dan demokratis. Undang‐Undang yang baik adalah
undang‐undang yang menempatkan setiap warga negara pada
posisi yang sama; yang memberikan kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk mengakses keadilan,
memperjuangkan hak‐haknya, serta menjamin kehidupannya
agar lebih sejahtera dan makmur. Undang‐undang yang baik juga
memberi kesempatan kepada warga negara untuk
menyelenggarakan, baik sendiri‐sendiri maupun secara bersama,
ruang publik‐nya, guna menyampaikan aspirasi‐aspirasi serta
kritikan atas penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan
hukum yang telah dan sedang dijalankan.
Ketiga, dalam rangka mengembalikan wibawa pengadilan
sebagai benteng terakhir dalam mewujudkan keadilan, kualitas
92
sumber daya manusia aparatur pengadilan juga perlu untuk
ditingkatkan. Pelatihan‐pelatihan yang berkesinambungan dan
pendidikan moral secara massif diberikan kepada aparat untuk
meningkatkan hard skill dan soft skill mereka. Dengan demikian,
aparatur pengadilan tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi
juga matang dalam hal akhlak dan perilakunya.
Dalam konteks ini pulalah, pasca runtuhnya rezim Orde
Baru sebagai penanda bagi dimulainya era reformasi, pandangan
dan ekspektasi akan penyelenggaraan peradilan yang bersih,
jujur, dan bercirikan keadilan berubah. Perubahan itu ditandai
dengan tingginya tingkat partisipasi publik dalam mengawasi dan
menilai kinerja lembaga peradilan. Masyarakat perlahan mulai
bergerak ke arah pemikiran dan pandangan yang lebih kritis
mengenai penyelenggaraan tugas dan fungsi peradilan.
Blueprint reformasi peradilan yang digagas Mahkamah
Agung bekerja sama dengan Lembaga Independensi Peradilan
(LeIP) telah memberikan pemetaan secara jelas, sistemik, dan
terukur mengenai dari mana dan bagaimana memulai serta
melanjutkan reformasi peradilan 108 . Blueprint dimaksud telah
menyediakan setumpuk skema untuk menjadi panduan, tidak
hanya bagi warga peradilan, tetapi seluruh masyarakat Indonesia
untuk melanjutkan reformasi peradilan bagi terwujudnya badan
peradilan Indonesia yang agung.
2. Pokok‐pokok Pembaruan Peradilan dalam Blueprint
Mahkamah Agung 2010 – 2035
Pembaruan peradilan merupakan agenda besar dan utama
Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Dalam kedudukannya
tersebut, Mahkamah Agung memiliki sejumlah kewenangan yang
ditetapkan oleh konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Agung (berdasar konstitusi)
setidaknya mencakup beberapa hal. Pertama, mengadili pada
tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
108
Ibid, h.13.
93
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang‐undang
menentukan lain. Kedua, menguji peraturan perundang‐
undangan di bawah undang‐undang terhadap undang‐undang.
Ketiga, mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan undang‐
undang. Keempat, Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga
negara dan lembaga pemerintahan.
Selanjutnya, Mahkamah Agung juga berwenang dalam: i)
memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan
mengadili; ii) memeriksa permohonan peninjauan kembali
putusan Pengadilan yang telah memeroleh kekuatan hukum
tetap; dan iii) memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku
Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi.
Sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta
peradilan negara tertinggi, Mahkamah Agung mempunyai posisi
dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena tidak
hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan (dalam
konteks teknis yudisial) tetapi juga manajemen di bidang
administratif, personil dan finansial serta sarana dan prasarana.
Kebijakan “satu atap” (one roof system) memberikan
tanggungjawab dan tantangan lebih berat karena Mahkamah
Agung dituntut untuk menunjukkan kemampuannya
mewujudkan organisasi lembaga yang profesional, efektif,
efisien, transparan, dan akuntabel109.
Sebagai konsekuensi penyatuatapan, tanggung jawab
Mahkamah Agung termaktub dalam Undang‐Undang No. 35
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang‐Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan perubahan kedua dengan Undang‐Undang No.
4Tahun 2004. Selanjutnya, ketentuan mengenai pokok‐pokok
kekuasaan kehakiman diperbaiki kembali melalui Undang‐
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menggantikan perundang‐undangan sebelumnya. Justifikasi
tersebut juga termuat dalam berbagai undang‐undang, yaitu
109
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035, Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2010, hlm. 1
94
antara lain melalui: Undang‐Undang No. 5 Tahun 2004 jis.
Undang‐Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,
Undang‐Undang No. 8 Tahun 2004 jis. Undang‐Undang No. 46
Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang‐Undang No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua
dengan Undang‐Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama Undang‐Undang No. 9 Tahun 2004 jis. Undang‐
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara110.
Dalam konteks pelaksanaan kewenangan‐kewenangan
dimaksud, Mahkamah Agung dituntut untuk dapat
bertransformasi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
diharapkan masyarakat. Karenanya, menjawab hal dimaksud,
disusunlah suatu blueprint (cetak biru) Mahkamah Agung yang
berisi pedoman‐pedoman pelaksanaan pembaruan peradilan
secara komprehensif dalam kurun waktu 25 tahun ke depan (2010
– 2035).
Penyusunan cetak biru pembaruan peradilan dimaksudkan
untuk lebih menajamkan arah dan strategi dalam mewujudkan
badan peradilan yang agung. Penyusunan cetak biru ini sendiri
merujuk pada Organizational Diagnositc Assessment (ODA)
dengan pendekatan kerangka peradilan yang agung (The
International Framework for Court Excellence). Kerangka dimaksud
mencakup tujuh area pembaruan peradilan (the seven areas of
court excellences) dan terbagi ke dalam tiga kelompok pelaksana
pembaruan, yaitu driver (pengarah), system and enabler (sistem
dan penggerak), dan result (hasil dari pembaruan)111.
Setidaknya terdapat tiga acuan pembaruan dalam blueprint
Mahkamah Agung yang meliputi i) arahan pembaruan fungsi
teknis dan manajemen perkara; ii) arahan pembaruan fungsi
pendukung; dan iii) arahan pembaruan akuntabilitas. Tiga acuan
110
Ibid., hlm. 1 – 2.
111
Tim Penyusun Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin, Kerapatan Qadhi: Dari Kampung
Qadhi Menuju Peradilan Modern, Cet. II, Banjarmasin: Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin, 2015,
hlm. 348.
95
tersebut menjadi pedoman bagi Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya dalam mengimplementasikan pembaruan
peradilan untuk mewujudkan badan peradilan Indonesia yang
agung.
a. Arahan Pembaruan Fungsi Teknis dan Manajemen
Perkara
Pembaruan dalam bidang teknis dan manajemen perkara
dimaksudkan sebagai upaya sistematis dalam
menyederhanakan teknis beperkara dan penyederhanaan
manajemen perkara. Pembaruan ini bersandar pada asas
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (speedy
administration justice).
1) Arahan pembaruan fungsi teknis
Patronase pembaruan fungsi teknis diarahkan pada
upaya mewujudkan penyelenggaraan fungsi kekuasaan
kehakiman secara independen, efektif, dan berkeadilan.
Dengan demikian, pembaruan fungsi teknis kekuasaan
kehakiman harus merepresentasikan tiga nilai dimaksud.
Pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman secara
independen bermakna bahwa kekuasaan kehakiman
diselenggarakan tanpa adanya campur tangan, pengaruh,
dan/atau tekanan dari pihak‐pihak ekstra‐yudisial.
Penyelenggara kekuasaan kehakiman wajib memastikan
bahwa proses pelaksanaan fungsi teknis benar‐benar
selaras dengan prinsip due process of law dan bukan karena
adanya tekanan dari pihak tertentu. Independensi dalam hal
ini menjadi prasyarat utama bagi tegaknya supremasi
hukum.
Pelaksanaan fungsi teknis secara efektif bermakna
bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman harus
didasarkan pada mekanisme‐mekanisme yang tepat dan
terpadu sehingga setiap tahapan dalam pelaksanaannya
benar‐benar merepresentasikan upaya komprehensif
pencapaian tujuan proses peradilan yang dicitakan. Dalam
konteks ini, hal‐hal maupun tahapan dalam pelaksanaan
fungsi teknis sebelumnya yang tidak efektif dan bermanfaat
96
harus dieliminir dan secara sistemik ditata kembali
(reorganisasi).
Sementara itu, pelaksanaan fungsi teknis secara
berkeadilan bermakna bahwa seluruh proses peradilan
diselenggarakan dengan tujuan memberikan keadilan bagi
para pencari keadilan. Lembaga peradilan wajib
menampilkan dirinya sebagai gerbang akhir upaya
memeroleh keadilan serta memberikan rasa aman dan
tenang bagi masyarakat pencari keadilan. Secara makro,
proses peradilan harus dapat memberi suntikan semangat
kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa lembaga
peradilan merupakan lembaga yang kredibel untuk
memperjuangkan hak‐haknya dan memeroleh keadilan.
Terkait dengan pembaruan teknis dimaksud,
Mahkamah Agung menetapkan beberapa program prioritas
yang wajib diikuti dan diimplementasikan seluruh tingkatan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, sebagai berikut:
a) Pembatasan perkara kasasi dan peninjauan kembali
Program pembatasan perkara kasasi dan
peninjauan kembali bertujuan untuk112:
- Meningkatkan kualitas putusan;
- Memudahkan MA melakukan pemetaan
permasalahan hukum;
- Mengurangi jumlah perkara di tingkat kasasi yang
berarti mengurangi beban kerja MA.
Pembatasan perkara kasasi dan peninjauan
kembali bukanlah merupakan upaya mengurangi akses
para pihak beperkara dalam memeroleh keadilan.
Sebaliknya, upaya ini merupakan kehendak Mahkamah
Agung dalam meningkatkan kualitas putusan pada
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Upaya penting yang harus dilakukan dalam rangka
pembatasan perkara adalah dengan memperkuat fungsi
pengadilan tingkat bawah terutama Pengadilan Tingkat
112
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035, Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2010, hlm. 25.
97
Banding. Penguatan dilakukan dengan memberikan
kewenangan pada Pengadilan Tingkat Banding menjadi
pengadilan tingkat akhir bagi perkara‐perkara
tertentu113.
Pembatasan pengajuan kasasi dan peninjauan
kembali sejatinya merupakan upaya mengurangi
tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Pembatasan ini
dilakukan dengan memerhatikan kriteria‐kriteria
tertentu yang selaras atau tidak bertentangan dengan
jiwa dari Pasal 45A Undang‐Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam cetak biru, kriteria pembatasan perkara
mencakup hal‐hal berikut114:
- Perkara pidana
Kriteria dasar terhadap perkara yang final di
tingkat banding ditetapkan berdasar besaran ancaman
hukuman. Untuk perkara pidana dengan ancaman
hukuman 3 tahun ke bawah dapat dipertimbangkan
untuk tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
Selain acuan besaran ancaman hukum, pembatasan
dapat pula dilakukan berdasar pertimbangan jenis dan
kualifikasi perkara. Khusus untuk perkara militer
dengan ancaman hukuman 5 tahun namun memiliki
hukuman tambahan berupa pemecatan misalnya pada
tindak pidana kesusilaan, dapat dikecualikan dari
pembatasan perkara.
- Perkara perdata
Pembatasan perkara perdata mengacu pada
jenis dan kompleksitas perkara. Acuan yang
ditetapkan adalah:
1. Perkara dalam bidang hukum keluarga dan
hukum waris dapat dipertimbangkan untuk
diputus final dalam tingkat banding115;
113
Ibid.
114
Ibid, hlm. 26 – 27.
98
2. Perkara wali adhal direkomendasikan untuk
tidak perlu sampai ke tingkat kasasi116;
3. Perkara‐perkara adat untuk lingkup hukum
keluarga seharusnya dapat diselesaikan di
tingkat banding;
4. Perkara PHI direkomendasikan untuk selesai di
tingkat banding117;
5. Perkara perdata khusus yang dapat diajukan
upaya kasasi/PK juga perlu mempertimbangkan
kompleksitas perkara.
- Perkara tata usaha negara (hukum administrasi)
Pembatasan perkara kasasi dalam ranah hukum
administrasi (perkara tata usaha negara) ditetapkan
menurut kriteria berikut:
1. Terhadap perkara tata usaha negara dengan
objek sengketa (objectum litis) berupa keputusan
pejabat tata usaha negara (KTUN) yang daya
berlakunya di wilayah provinsi tertentu,
termasuk terhadap perkara yang ruang
115
Penerapan rekomendasi ini cukup sulit diterapkan mengingat tidak sedikit perkara
dalam bidang hukum keluarga yang memiliki kompleksitas tinggi. Sebagai misal, perkara
perceraian dengan kumulasi gugatan hak asuh, nafkah, dan mut’ah. Demikian pula, perkara‐
perkara harta bersama, gugatan hak asuh anak, pembatalan perkawinan, pencegahan perkawinan,
dan perkara dalam bidang hukum keluarga lainnya memiliki kompleksitas yang tidak sederhana.
Akan halnya dengan perkara dalam bidang hukum waris, secara umum memiliki tingkat kerumitan
yang tinggi, terlebih perkara‐perkara waris di wilayah hukum Nusa Tenggara Barat yang jumlah
pihaknya dapat mencapai puluhan orang. Perkara gugatan waris juga seringkali mencakup objek
dengan nilai puluhan milyar rupiah sehingga perlu kecermatan tinggi dalam memutus perkaranya.
Pembatasan perkara kasasi dan peninjauan kembali dalam hukum keluarga dan waris lebih tepat
diterapkan dalam perkara‐perkara permohonan (voluntair) yang sistem pemeriksaannya lebih
sederhana. Terhadap perkara perceraian murni (tanpa ada kumulasi gugatan), dapat
dipertimbangkan untuk diputus final dalam tingkat banding.
116
Salah satu kendala dalam pembatasan perkara kasasi dalm perkara voluntair adalah
belum adanya kesatuan hukum dalam penerapan hukum materil terhadap perkara‐perkara dengan
permasalahan yang identik. Terhadap hal ini, jikapun pada akhirnya dilakukan pembatasan perkara
kasasi atas perkara permohonan, Mahkamah Agung perlu memastikan terlebih dahulu atau
setidaknya menyiapkan kerangka penerapan hukum yang terpadu sehingga terwujud kesatuan
dalam penerapan hukum materilnya.
117
Pembatasan upaya kasasi terhadap perkara PHI perlu memerhatikan dengan cermat
mengenai objek perkara, misalnya jumlah pihak dan nilai gugatan. untuk perkara PHI dengan
jumlah pihak yang cukup banyak dan nilai gugatan yang tinggi tidak perlu dibatasi putusan final
pada tingkat banding. Ini untuk menghindari adanya gejolak ketidakpuasan para pihak yang
merasa tidak puas dengan putusan pengadilan.
99
lingkupnya tidak berimplikasi terhadap
perlindungan hak‐hak dasar warga negara,
perkara tersebut hanya dapat dimintakan upaya
hukum sampai pada tingkat banding;
2. Terhadap perkara tata usaha negara yang objek
sengketanya berdampak luas dan berimplikasi
terhadap perlindungan hak‐hak dasar warga
negara, serta keputusan pejabat tata usaha
negara(KTUN) yang obyek sengketa dan daya
berlakunya menjangkau provinsi lain atau
beberapa provinsi atau bersifat nasional, maka
dapat diajukan upaya hukum sampai di tingkat
kasasi pada Mahkamah Agung.
Selain pembatasan terhadap pengajuan perkara
kasasi, Mahkamah Agung juga menyadari pentingnya
pembatasan pengajuan perkara peninjauan kembali (PK).
Dalam banyak kasus, pengajuan PK hanya upaya atau
akal‐akalan pihak yang dikalahkan untuk, menunda
eksekusi misalnya. Pengajuan PK juga seringkali
merupakan trik pihak yang kalah untuk menemukan
celah pembenaran terhadap kesalahan yang
dilakukannya.
Karena itu, perlu dilakukan pembatasan upaya
peninjauan kembali. Peninjauan kembali hanya dapat
dibenarkan terhadap suatu alasan pengajuan yang
benar‐benar objektif dan komprehensif. Ada sejumlah
fakta menunjukkan bahwa pengajuan peninjauan
kembali sering didasari pada alasan‐alasan yang
merupakan pengulangan dalam memori kasasi, sehingga
tidak substantif.
Dalam cetak biru pembaruan peradilan, Mahkamah
Agung menetapkan kriteria pembatasan upaya
peninjauan kembali, sebagai berikut118:
118
Mahkamah Agung, Op.Cit., hlm. 27 – 28.
100
- Pengajuan peninjauan kembali atas putusan kasasi
karena kekhilafan hakim yang didasarkan pada
alasan substansi hukum (dan bukan karena alasan
kesalahan penerapan hukum formil), permohonan
tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat
diterima oleh Mahkamah Agung. Peninjauan
Kembali atas kekhilafan hakim dapat diterima
apabila disebabkan oleh kekhilafan hakim pada
pengadilan di tingkat bawah. Peninjauan Kembali
atas kasasi sebaiknya dibatasi hanya bila ada
novum atau bukti baru. Selain itu putusan bebas
yang dikeluarkan di Pengadilan Tingkat Banding
tidak dapat dimintakan upaya hukum kasasi. Dalam
konteks kecenderungan munculnya pengajuan
peninjauan kembali lebih dari satu kali, maka ke
depan seharusnya peninjauan kembali hanya dapat
dilakukan sebanyak satu kali;
- Untuk pengajuan peninjauan kembali dalam
perkara perdata, agama, dan tata usaha negara
atas dasar novum, maka perlu ada proses pada
Pengadilan Tingkat Pertama tempat
didaftarkannya peninjauan kembali untuk
memeriksa atau menelaah novum yang diajukan
berdasar kriteria yang telah ditentukan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari pengajuan
peninjauan kembali dengan alat bukti berupa surat
yang dinyatakan sebagai novum oleh para pihak
namun sesungguhnya bukan termasuk kriteria
novum. Sementara itu, terhadap perkara‐perkara
yang dapat langsung diajukan peninjauan kembali
juga perlu ditinjau lebih jauh urgensi dan dampak
pengajuan peninjauan kembali tersebut terhadap
pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde).
101
b) Penerapan sistem kamar secara konsisten
Sistem kamar (chamber system) merupakan
pembagian penanganan perkara oleh Hakim berdasar
klasifikasi perkara. penerapan sistem kamar telah lazim
di negara‐negara yang menganut sistem common law.
Sistem kamar menerapkan prinsip spesialisasi dalam
penanganan perkara, sehingga Hakim yang ditempatkan
di kamar tertentu dipandang memiliki spesialisasi atau
keahlian mumpuni dalam bidang tersebut.
Pada cetak biru pembaruan peradilan Mahkamah
Agung, penerapan sistem kamar (chamber system)
bertujuan untuk119:
- Menjaga kesatuan hukum;
- Mengurangi disparitas putusan;
- Memudahkan pengawasan putusan;
- Meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan
perkara;
- Mengembangkan kepakaran dan keahlian Hakim
dalam mengadili perkara.
Esensi penerapan sistem kamar adalah menjaga
kualitas putusan dan meningkatkan produktifitas
penyelesaian perkara. Dengan sistem kamar, masing‐
masing Hakim fokus mengadili perkara yang menjadi
keahliannya. Dengan demikian, curah intelektualitas
semakin komprehensif pada setiap putusan atas perkara
yang diadilinya.
Namun demikian, penerapan sistem kamar sejauh
ini masih dalam tingkat Mahkamah Agung. Jika pun
diterapkan dalam pengadilan‐pengadilan tingkat
banding dan tingkat pertama, penerapan sistem kamar
belum dilaksanakan sepenuhnya karena para Hakim
masih mengadili perkara dengan kategori berbeda.
Penerapan sistem kamar lebih kepada mengadili
119
Ibid, hlm. 28.
102
perkara‐perkara khusus, seperti kepailitan, PHI, tipikor,
dan ekonomi syariah.
Mahkamah Agung, saat ini, memiliki lima kamar
penyelesaian perkara, yaitu kamar pidana, perdata,
agama, TUN, dan militer. Pada kamar pidana, terbagi
lagi menjadi dua, yaitu kamar pidana umum dan pidana
khusus. Demikian pula dengan kamar perdata terbagi
menjadi perdata umum dan perdata khusus.
Masing‐masing Kamar akan dipimpin oleh seorang
Ketua Muda dan beberapa Hakim Agung sebagai
anggota Kamar. Hakim Agung berwenang memeriksa,
mengadili dan memutus perkara hanya di dalam masing‐
masing kamarnya. Dalam masing‐masing Kamar, apabila
dibutuhkan, dapat dibentuk sub‐sub Kamar, terutama
pada perkara‐perkara yang mensyaratkan adanya
spesialisasi dan atau hakim ad hoc, seperti Korupsi,
Pengadilan Hubungan Industrial, Hak Asasi Manusia dan
lain‐lain120.
Pada tahun‐tahun mendatang, sistem kamar
diupayakan diterapkan secara penuh pada Pengadilan
Tingkat Banding. Pada tingkat banding, akan dibentuk
kamar pada lingkungan peradilan umum yaitu Kamar
Perdata dan Kamar Pidana. Adapun pada tingkat
pertama, sistem kamar tidak diterapkan secara penuh,
namun akan diterapkan sistem spesialisasi Hakim, di
mana Hakim dapat menangani perkara tertentu dengan
sertifikasi yang membuktikan keahlian yang
bersangkutan terhadap suatu perkara. Sertifikasi ini
harus diperbarui secara berkala, misalnya 2 (dua)
tahun121.
c) Penyederhanaan proses beperkara
Penyederhanaan proses beperkara pada prinsipnya
merupakan upaya menyederhanakan mekanisme dan
tahapan‐tahapan dalam pemeriksaan perkara dari sejak
120
Ibid, hlm. 30.
121
Ibid.
103
perkara diterima, diadili, diputus, dan pelaksanaannya.
Penyederhanaan ini menekankan pada upaya memotong
jalur‐jalur birokrasi yang tidak begitu penting dan
menyederhanakan proses penyerahan berkas perkara
dan/atau berkas‐berkas lain yang berkaitan dengan
pemeriksaan perkara dimaksud yang lebih efisien dan
efektif.
Tujuan penyederhanaan proses beperkara antara
lain sebagai berikut:
- Meningkatkan akses keadilan pada masyarakat;
- Mempercepat proses penyelesaian perkara;
- Menekan biaya beperkara, baik yang dikeluarkan
para pihak maupun negara;
- Mengurangi arus perkara ke tingkat kasasi.
Salah satu kebijakan strategis terkait dengan
penyederhanaan proses beperkara adalah
pengelompokan jenis perkara (perdata dan agama) ke
dalam dua kategori, yaitu perkara yang diselesaikan
dengan acara biasa dan perkara yang diselesaikan
dengan cara sederhana (small claim court). Kebijakan ini
ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah.
Pada kedua Perma tersebut, perkara‐perkara
tertentu (perdata dan ekonomi syariah) yang dapat
diselesaikan dengan acara cepat dikategorikan sebagai
gugatan sederhana yang prosedur pemeriksaannya jauh
lebih cepat dibanding dengan pemeriksaan dengan acara
biasa. Kebijakan ini merupakan jawaban Mahkamah
Agung atas tuntutan penyelesaian perkara‐perkara
tertentu secara lebih cepat, efektif, dan efisien.
104
Cetak biru pembaruan peradilan menggariskan dua
pedoman menentukan sederhana tidaknya penyelesaian
suatu perkara, sebagai berikut122:
- Gugatan yang diajukan oleh personal dengan
jumlah minimal kerugian tertentu yang tidak terlalu
besar;
- Berbagai permasalahan (dengan memperhatikan
batasan jumlah kerugian) berkaitan dengan:
1. Perjanjian perburuhan;
2. Perjanjian kontrak;
3. Perjanjian sewa‐beli;
4. Masalah sewa‐menyewa rumah atau tanah.
Penggarisan tersebut kemudian dipertegas melalui
dua perma tadi. Adapun perkara‐perkara yang
dikategorikan sebagai gugatan sederhana (small claim
court) adalah123:
- Perkara mengenai gugatan cidera janji
(wanprestasi, breach of contract) dan/atau
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
yang nilai objeknya paling banyak dari Rp.
200.000.000,‐ (dua ratus juta rupiah);
- Pengecualian dari gugatan sederhana adalah
perkara‐perkara yang:
1. Penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan
khusus yang diatur oleh perundang‐undangan;
2. Menyangkut sengketa kepemilikan dan/atau
sengketa lain atas tanah.
Memerhatikan penggarisan tersebut di atas, dapat
dipahami bahwa pengategorian suatu perkara sebagai
perkara sederhana didasarkan pada proyeksi sederhana
tidaknya suatu pemeriksaan perkara. sederhana dalam
hal ini bermakna bahwa jika pembuktian suatu perkara
dapat dilaksanakan secara sederhana (tidak memerlukan
122
Ibid., hlm. 32.
123
Perhatikan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana
105
pembuktian yang rumit dan banyak alat bukti) maka
secara objektif dapat dikategorikan sebagai perkara
sederhana.
Dapat pula dipahami kemudian bahwa kebijakan
tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung ingin
menekan waktu penyelesaian perkara yang seharusnya
dapat diselesaikan dengan sederhana dan dalam waktu
yang singkat alih‐alih mengimplementasikan cara
penyelesaian biasa yang memakan waktu lama dan tidak
efisien. Kebijakan ini juga memberi manfaat langsung
bagi pihak beperkara yang tidak perlu membuang waktu
hanya untuk penyelesaian perkara yang seharusnya
dapat diselesaikan secara lebih cepat, efektif, dan efisien.
d) Penguatan akses pada pengadilan
Aksesibilitas pengadilan selama ini menjadi isu
hangat dalam pelbagai diskursus hukum mengenai
efektifitas dan maksimalisasi peran lembaga peradilan
dalam memberi layanan hukum kepada para pencari
keadilan (justice seeker). Aksesibilitas pengadilan
setidaknya mencakup dua isu utama, yaitu aksesibilitas
biaya beperkara (cost accessibility) dan aksesibilitas
terhadap kantor pengadilan (physical accessibility).
Faktanya, dalam beberapa hal, para pencari
keadilan sering mengeluhkan biaya beperkara yang
dianggap mahal. Akses ke lokasi kantor pengadilan juga
sering dikeluhkan oleh masyarakat pencari keadilan
dikarenakan jarak yang jauh dan/atau beratnya medan
yang harus dilalui sekadar untuk dapat sampai ke kantor
Pengadilan.
Karenanya, Mahkamah Agung dalam cetak biru
pembaruan peradilan mencanangkan program‐program
strategis untuk memperkuat aksesibilitas layanan
peradilan kepada masyarakat pencari keadilan. Beberapa
program dimaksud antara lain124:
124
Lihat Mahkamah Agung, Op.cit., hlm. 33 – 34.
106
- Peningkatan efektifitas sidang keliling (circuit court)
Penekanan sidang keliling adalah terhadap
Pengadilan tingkat pertama dengan yurisdiksi
(cakupan wilayah) yang luas dengan kondisi geografis
yang sulit, perlu mengefektifkan pelaksanaan sidang
keliling. Sidang keliling merupakan salah satu metode
pemeriksaan perkara pada Pengadilan Tingkat
Pertama. Sidang keliling dapat dilakukan terhadap
perkara sederhana dengan seorang hakim dan
panitera pengganti yang mencatat administrasi sidang
keliling. Sidang keliling dapat memeriksa berbagai
kasus perdata dengan batasan kriteria tertentu.
Sidang keliling dapat memeriksa perkara
sebagaimana halnya pada Peradilan Acara Cepat.
- Penyediaan bantuan hukum pro bono bagi
masyarakat yang memerlukannya (layanan
beperkara secara prodeo)
Negara memiliki tanggung jawab untuk
memastikan pemerataan akses terhadap lembaga
peradilan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu
(secara finansial). Karenanya, lembaga peradilan
sebagai representasi negara wajib menyediakan akses
dimaksud melalui kebijakan tertentu yang diatur
dalam perundang‐undangan. Hal‐hal yang dapat
dilakukan oleh pengadilan dalam mengefektifkan
penyaluran bantuan hukum bagi para pihak adalah
sebagai berikut:
1. Memperjelas kriteria pihak yang berhak
menerima bantuan pro bono untuk perkara
perdata (umum & agama) dan TUN;
2. Memperjelas mekanisme dan pengawasan
penggunaan anggaran pro bono;
3. Penyediaan anggaran untuk operasional
pengadilan dalam penanganan perkara pro bono.
107
2) Arahan pembaruan manajemen perkara
Manajemen keperkaraan merupakan core unit dari
keseluruhan proses bisnis di lembaga peradilan. Tata kelola
manajemen keperkaraan menjadi wajah depan (frontline)
bagi lembaga peradilan.
Periode sebelum penyatuatapan lembaga peradilan
(one roof judiciary system), manajemen keperkaraan masih
belum terintegrasi dengan baik ke dalam satu sistem
pengelolaan perkara. Sejak penyatuatapan yang resmi
diterapkan pada tahun 2004, manajemen keperkaraan
mulai dibenahi pada beberapa aspek untuk mendukung
perwujudan visi “mewujudkan badan peradilan Indonesia
yang agung”.
Dalam aspek peradilan internasional, telah ada
akseptasi atas konsepsi pembaruan manajemen
keperkaraan pada lembaga‐lembaga peradilan resmi
negara. The International Framework for Court Excellence
yang merupakan hasil kesepakatan lembaga‐lembaga
peradilan internasional dan lembaga non pemerintah yang
fokus pada upaya pembaruan peradilan telah
merekomendasikan pembaruan manajemen keperkaraan
yang lebih akuntabel, transparan, efisien, dan efektif.
Sasaran akhir dari pembaruan manajemen keperkaraan
adalah mewujudkan apa yang kita kenal dengan speedy
administration justice (administrasi peradilan yang cepat dan
efektif).
Mahkamah Agung sendiri menetapkan dua misi yang
harus dilaksanakan melalui pembaruan manajemen
keperkaraan ini. Pertama, memberikan pelayanan hukum
yang memiliki kepastian dan berkeadilan bagi pencari
keadilan. Kedua, meningkatkan kredibilitas dan transparansi
badan peradilan125.
Pelaksanaan misi dimaksud mencakup tiga bagian
besar pembenahan manajemen keperkaraan, yaitu126:
125
Ibid., hlm. 35.
126
Ibid., hlm. 36.
108
1. Modernisasi manajemen perkara
Modernisasi manajemen perkara diupayakan terwujud
secara penuh dalam kurun waktu 25 tahun ke depan
sejak tahun 2010. Mahkamah Agung menetapkan tiga
area pembenahan manajemen keperkaraan, yaitu i)
keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan; ii)
pembenahan manajemen peradilan untuk keperluan
internal dengan menyempurnakan Buku II dan Buku III
Pengadilan sehingga berorientasi pada pelayanan dan
memanfaatkan teknologi dan informasi; iii) pelayanan
pihak‐pihak terkait dalam proses perkara di
pengadilan.
2. Penataan ulang organisasi manajemen perkara;
Manajemen keperkaraan pada badan peradilan
dilaksanakan oleh unit kepaniteraan, baik di tingkat
Mahkamah Agung, pengadilan banding, hingga
pengadilan tingkat pertama. Pada cetak biru
Mahkamah Agung, arah penataan ulang organisasi
manajemen perkara mencakup dua aspek, yaitu: i)
penataan organisasi kepaniteraan berbasis fungsi; dan
ii) penataan ulang posisi asisten Hakim/Panitera.
3. Penataan ulang proses manajemen perkara.
Dalam cetak biru, digariskan bahwa proses
penyempurnaan manajemen keperkaraan dimulai
dengan upaya pemahaman masalah seluruh badan
peradilan, yaitu analisis beban kerja, analisis
kompetensi, dan inventarisasi masalah. Agenda
Reformasi Birokrasi sendiri hendaknya baru
dilaksanakan pada periode kedua, setelah
memperoleh masukan dari business process
reengineering127.
Selaras dengan tahapan dimaksud, Mahkamah Agung
akan memastikan bahwa sistem yang ada saat ini
berjalan secara optimal dan juga adanya kinerja yang
127
Ibid., hlm. 42.
109
baik dari seluruh pelaksana melalui peningkatan
kapasitas sumber daya manusia yang memadai,
optimalisasi perangkat teknologi dan informasi di
pengadilan128.
b. Arahan Pembaruan Fungsi Pendukung
Pembaruan fungsi pendukung peradilan merupakan
pembaruan dalam aspek‐aspek yang menopang kinerja unit
utama (core unit) peradilan, yaitu unit teknis yang terdiri atas
Hakim, Kepaniteraan, dan Kejurusitaan. Aspek‐aspek yang
menopang unit utama dikenal dengan istilah unit pendukung
(supporting unit).
Pada cetak biru, ditetapkan beberapa arahan mengenai
pembaruan fungsi pendukung peradilan, yang mencakup:
1) Pembaruan Fungsi Penelitian dan Pengembangan
(Litbang);
2) Pembaruan Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM);
3) Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan (Diklat);
4) Pembaruan Pengelolaan Anggaran;
5) Pembaruan Pengelolaan Aset; dan
6) Pembaruan Teknologi Informasi (TI).
c. Arahan Pembaruan Akuntabilitas
Pembaruan akuntabilitas mencakup keseluruhan upaya
untuk memastikan proses peradilan yang berjalan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan demikian,
pembaruan akuntabilitas diarahkan pada upaya‐upaya nyata
nan sistematis untuk mengontrol dan mengevaluasi proses
yang berjalan guna memastikan bahwa seluruh peradilan yang
dilaksanakan benar‐benar selaras dengan prinsip due process of
law.
Beberapa arahan dalam pembaruan akuntabilitas
sebagaimana digariskan dalam cetak biru pembaruan
peradilan mencakup:
1) Pembaruan sistem pengawasan, meliputi:
128
Ibid., hlm. 42 – 43.
110
a) Restrukturisasi Organisasi Pelaksana Fungsi
Pengawasan;
b) Penguatan Sumber Daya Manusia Pelaksana Fungsi
Pengawasan;
c) Penggunaan Parameter Obyektif dalam Pelaksanaan
Pengawasan;
d) Peningkatan Akuntabilitas & Kualitas Pelayanan
Pengaduan bagi Masyarakat; dan
e) Redefinisi Hubungan Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial sebagai Mitra dalam Pelaksanaan Fungsi
Pengawasan.
2) Pembaruan Sistem Keterbukaan Informasi, mencakup:
a) Membangun Kultur Keterbukaan di Pengadilan;
b) Mengembangkan Mekanisme Akses Informasi yang
Sederhana, Cepat, Tepat Waktu dan Biaya Ringan;
c) Membangun Struktur Organisasi dan
Mengembangkan Kebijakan Pendukung;
d) Mengembangkan Mekanisme Pengawasan,
Pengaduan dan Penyelesaian Keberatan, serta
Insentif dan Disinsentif sehubungan dengan
Pelaksanaan Pelayanan Informasi; dan
e) Meningkatkan Pemahaman Masyarakat akan
Kegunaan dan Kebutuhan Informasi Pengadilan.
B. Access to Justice terhadap Seluruh Lapisan Masyarakat
Pencari Keadilan
Lembaga peradilan merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Dalam
kedudukan dan perannya tersebut, lembaga peradilan memiliki
kewajiban untuk sedapat mungkin dapat diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini tersirat, setidaknya dari makna
pengaturan dalam Pasal 28D ayat 1 Undang‐Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di depan hukum”.
Tanggung jawab negara untuk memastikan pemenuhan
hak‐hak dasar di bidang hukum sebagaimana maksud Pasal 28D
111
ayat 1 tersebut di atas, wajib diimplementasikan oleh perangkat
hukum yang ada, yaitu lembaga peradilan. Terutama sekali
mengenai pemerataan akses terhadap layanan di bidang hukum,
negara wajib hadir melalui perangkatnya tersebut dalam
memastikan kemudahan dan keterjangkauan akses (aksesibilitas)
lembaga peradilan pada seluruh lapisan masyarakat.
Isu mengenai aksesibilitas lembaga peradilan bahkan telah
menjadi isu internasional. Aksesibilitas peradilan bahkan kian
mengemuka dalam pelbagai diskursus hukum kontemporer
mengingat, hingga saat ini, layanan pengadilan, tidak ternyata
sepenuhnya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat di
berbagai negara. Ada sejumlah permasalahan yang menjadi
penghambat bagi aksesibilitas lembaga peradilan.
Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) mencatat bahwa setidaknya 4 Milyar penduduk dunia
tidak memeroleh perlindungan hukum yang adekuat. Umumnya
disebabkan karena mereka tersisih oleh komunitasnya ataupun
karena faktor kemiskinan sehingga sulit atau tidak dapat
mengakses peradilan129.
Catatan mencengangkan lain dari data yang dihimpun
OECD tersebut adalah bahwa sebagian besar dari masyarakat
yang tidak memeroleh perlindungan hukum merupakan kaum
perempuan. Dikatakan bahwa “women, who often face multiple
forms of discrimination, violence and sexual harassment, are
particularly affected by legal exclusion”130.
Hasil riset tersebut di atas menunjukkan adanya kerentanan
dengan level yang lebih tinggi pada kaum perempuan, khususnya
bagi perempuan yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan
fisik, dan tindakan diskriminatif lainnya. Kerentanan ini, selain
dikarenakan asumsi inferioritas perempuan secara umum
dibanding kaum laki‐laki, sistem dan mekanisme hukum selama
129
OECD & Open Society Foundation, Leveraging The SDGs for Inclusive Growth: Delivering
Access to Justice for All, 2016, hlm. 2. (https://www.oecd.org/gov/delivering‐access‐to‐justice‐for‐
all.pdf, diakses 5 November 2018)
130
Ibid, hlm. 3.
112
ini cenderung lebih berkarakter maskulin sehingga memunculkan
resistensi tinggi terhadap kaum perempuan (legal exclusion).
Membicarakan akses terhadap lembaga peradilan dan
upaya memeroleh keadilan, tidak hanya berkutat pada upaya
meningkatkan aksesibilitas peradilan terhadap kaum yang
termarjinalkan maupun kaum perempuan yang mengalami
tindakan diskriminatif. Lebih dari itu, aksesibilitas terhadap
lembaga peradilan juga berkaitan dengan upaya menciptakan
sistem dan mekanisme peradilan yang responsif terhadap
kebutuhan bisnis saat ini.
British Council131 mengkritisi sistem dan mekanisme hukum
saat ini yang belum mampu menjawab kebutuhan dunia bisnis
yang terus berkembang. Dalam pengamatannya, British Council
menemukan suatu permasalahan mendasar bahwa:
“A critical aspect of doing business in any country is the
presence of justice systems that provide quick and inexpensive
mechanisms for dispute resolution, thus encouraging both
foreign and domestic investors”132
Tampak bahwa masalah aksesibilitas terhadap keadilan
tidak hanya terjadi pada negara‐negara berkembang, namun juga
pada negara‐negara maju. Artinya, pula bahwa masalah
aksesibilitas keadilan merupakan masalah global yang secara
umum terjadi karena faktor budaya hukum, sistem hukum yang
cenderung maskulin, sikap permisif atas tindakan diskriminatif
terhadap kaum termarjinalkan, serta kebijakan negara yang
belum berpihak pada upaya pemerataan akses terhadap
peradilan.
Peningkatan akses terhadap peradilan (the increasing of
access to justice) merupakan salah satu program global yang
terangkum dalam Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs
131
British Council merupakan organisasi internasional berbasis di Inggris yang khusus
mengaji mengenai hubungan antar budaya serta pemerataan akses pendidikan. Kegiatannya
merambah berbagai aspek, termasuk pula masalah investasi, pemberdayaan perempuan dan anak,
masyarakat madani, serta akses terhadap keadilan.
132
British Council, Access to Justice and The Rule of Law: The British Council Approach, 2015,
hlm. 5 (https://www.britishcouncil.org/sites/default/files/access_to_justice_ final_v3_web.pdf,
diakses 5 November 2018).
113
sendiri mencakup 17 area proyeksi pembangunan global.
Penegakan hukum dan keadilan sendiri merupakan salah satu
program pembangunan global dalam angka 16 (Peace, Justice,
and Strong Institutions)133.
Pada poin 16 SDGs, dipaparkan mengenai gambaran umum
upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan secara
global:
“How can a country develop—how can people eat and teach
and learn and work and raise families—without peace? And
how can a country have peace without justice, without human
rights, without government based on the rule of law? Some
parts of the world enjoy relative peace and justice, and may
come to take it for granted. Other parts seem to be plagued by
armed conflict, crime, torture and exploitation, all of which
hinders their development. The goal of peace and justice is
one for all countries to strive towards. The Sustainable
Development Goals aim to reduce all forms of violence and
propose that governments and communities find lasting
solutions to conflict and insecurity. That means strengthening
the rule of law, reducing the flow of illicit arms, and bringing
developing countries more into the center of institutions of
global governance”134
Kendala penegakan hukum dalam perspektif SDGs tersebut
di atas dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. Kendala terkait dengan masalah peperangan;
2. Kendala terkait dengan konflik horizontal;
3. Kendala terkait dengan tingkat kriminalitas yang tinggi;
4. Kendala terkait dengan eksploitasi manusia;
5. Kendala terkait dengan pemerintahan yang tidak
menjunjung prinsip the rule of law;
6. Kendala terkait mengenai preferensi hak asasi manusia
yang tidak memadai.
133
TheUnited Nations Development Programme (UNDP), Sustainable Development Goals
(Web Booklet), hlm. 19. (http://www.undp.org/content/dam/undp/library/
corporate/brochure/SDGs_Booklet_Web_En.pdf, diakses 5 November 2018).
134
Ibid.
114
Dari paparan‐paparan tersebut di atas, menjadi jelas bahwa
penegakan hukum yang berkeadilan secara umum dan
pemerataan akses terhadap keadilan pada khususnya, merupakan
permasalahan global yang perlu disikapi dengan bijaksana dan
komprehensif. Perlu perumusan suatu paket kebijakan yang
representatif dan merangkum setiap potensi‐potensi yang dapat
dimanfaatkan guna mewujudkan hal tersebut.
1. Esensi Access to Justice
Access to justice secara harfiah bermakna akses terhadap
peradilan, akses untuk memeroleh keadilan, dan akses untuk
memeroleh layanan hukum yang patut. Access to justice
merangkum segala hal terkait dengan upaya negara membuka
akses seluas‐luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat dalam
memperjuangkan hak‐hak hukumnya serta memeroleh
perlindungan hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Access to justice dalam peristilahannya sering pula
disebut dengan equal access to justice. Equal access to justice
sendiri dimaknai sebagai “a condition in which all people are
able to resolve conflicts and seek and obtain remedies for
grievances, through formal or informal institutions of justice, in
compliance with human rights standards” 135 (keadaan yang
ditandai dengan kemampuan setiap orang untuk
menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan negara
atau melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa sesuai
dengan standar hak asasi manusia).
Secara makro, access to justice berimplikasi – sekaligus
berkaitan satu dengan lainnya – terhadap upaya mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik dan upaya mengentaskan
kemiskinan (poverty), diskriminasi (discrimination), dan
kekerasan terhadap kaum termarjinalkan (violation toward
marginalized group). Konsepsi ini dikukuhkan dalam practice
note of access to justice yang dirilis oleh UNDP136, berikut:
135
Henrik Allfram, Equal Access to Justice: A Mapping of Experiences, Stockholm: Swedish
International Development Cooperation Agency, 2011, hlm. 35.
136
The United Nations Development Programme (UNDP), Access to Justice: Practice Note,
UNDP, 2004, hlm. 3.
115
“There are strong links between establishing democratic
governance, reducing poverty and securing access to
justice. Democratic governance is undermined where
access to justice for all citizens (irrespective of gender, race,
religion, age, class or creed) is absent. Access to justice is
also closely linked to poverty reduction since being poor
and marginalized means being deprived of choices,
opportunities, access to basic resources and a voice in
decision‐making. Lack of access to justice limits the
effectiveness of poverty reduction and democratic
governance programmes by limiting participation,
transparency and accountability”
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa access to
justice merupakan upaya sistematis dalam membuka akses
terhadap peradilan bagi setiap warga negara, khususnya bagi
kaum lemah dan termarginalkan, baik karena perbedaan jenis
kelamin (gender), perbedaan suku bangsa atau ras (race),
agama (religion), umur (age), maupun kelas sosial (social class).
Access to justice karenanya, menekankan perhatian terhadap
kaum‐kaum yang selama ini belum memeroleh akses keadilan
yang memadai.
Pada konteks makro – sebagaimana dikemukakan
tersebut di atas – access to justice memiliki keterkaitan erat
dengan upaya membentuk tata kelola pemerintahan yang baik
dan pemberantasan kemiskinan (pemerataan akses
sumberdaya‐sumberdaya ekonomi).
Dari sini, dapat kita pahami bahwa upaya meningkatkan
akses terhadap peradilan sejatinya bukan sekadar
permasalahan penegakan hukum dan pemenuhan hak‐hak
hukum masyarakat an sich, melainkan juga merupakan upaya
kolektif dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society)
melalui penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik dan
pengentasan kemiskinan.
Urgensi tersebut menjadikan access to justice sebagai
salah satu agenda utama dalam pembaruan peradilan di
Indonesia. Mahkamah Agung sebagai pucuk peradilan
116
tertinggi berusaha memaksimalkan access to justice dengan
meminimalisir setiap kendala yang dihadapi masyarakat
pencari keadilan. Pembaruan peradilan, pada akhirnya, tidak
hanya berkutat pada upaya meningkatkan kualitas putusan
yang mencerminkan tri gatra tujuan hukum (keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan hukum), namun bagaimana akses
terhadap peradilan ditingkatkan sedemikian rupa sehingga
seluruh lapisan masyarakat benar‐benar dapat memeroleh
keadilan yang layak bagi mereka.
2. Cakupan Access to Justice
Sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, access to
justice menekankan upaya komprehensif agar setiap orang,
khususnya masyarakat kurang mampu dan termarjinalkan,
dapat mengakses layanan peradilan. Dari pemahaman ini,
maka setidaknya ada dua isu utama dalam access to justice,
yaitu aksesibilitas biaya beperkara dan aksesibilitas terhadap
kantor pengadilan.
a. Aksesibilitas biaya beperkara
Kritik yang mengemuka terhadap proses beperkara di
Pengadilan, sejauh ini, banyak berkaitan dengan biaya
beperkara yang dianggap mahal oleh sebagian pencari
keadilan. Sekalipun terjangkau tidaknya biaya beperkara
merupakan hal yang bersifat relatif, namun patut untuk
diperhatikan kembali mengenai keterjangkauan biaya
beperkara oleh masyarakat, khususnya bagi mereka yang
tergolong dalam ekonomi lemah.
Untuk mengakses layanan Pengadilan, diperlukan
biaya beperkara. Biaya perkara di Pengadilan pada
prinsipnya telah ditetapkan melalui suatu standar biaya
beperkara (berdasar Surat Keputusan dari Ketua
Pengadilan) yang disebut dengan panjar biaya beperkara.
Permasalahan yang muncul dalam konteks ini adalah
sulitnya bagi masyarakat ekonomi lemah untuk mengakses
layanan Pengadilan dikarenakan keterbatasan biaya.
Pada konteks tertentu, ada calon pihak beperkara
yang tidak mampu membayar biaya perkara, sekalipun
117
mungkin biaya beperkara tidak begitu besar. Jangankan
untuk membayar panjar biaya perkara sejumlah tertentu
(misalnya Rp. 350.000,‐), untuk biaya makan sehari‐hari
saja, mereka kesulitan. Tidak sedikit keadaan‐keadaan
demikian menyebabkan masyarakat mengurungkan niat
beperkara di Pengadilan, padahal mereka sangat
memerlukan putusan dari Pengadilan untuk kepentingan
mereka ke depan.
Keterbatasan biaya untuk mengakses Pengadilan,
selain dikarenakan wajibnya mereka membayar sejumlah
panjar biaya beperkara, juga sejumlah biaya lain yang wajib
dikeluarkan seperti transportasi dari dan ke Pengadilan.
Biaya transportasi, bagi mereka yang berdomisili jauh dari
Pengadilan, tentunya menjadi hambatan tersendiri, di
tengah sulitnya keadaan ekonomi mereka.
Dengan demikian, dari sisi biaya beperkara,
masyarakat pencari keadilan tidak hanya dihadapkan pada
kewajiban membayar sejumlah panjar biaya beperkara,
namun juga wajib menyiapkan sejumlah dana di luar biaya
beperkara resmi, yaitu biaya transportasi dan biaya‐biaya
non teknis lainnya. Permasalahan demikian tentu
memerlukan intervensi negara (melalui lembaga
peradilannya) untuk mengatasi hambatan‐hambatan
ekonomis yang dihadapi oleh masyarakat kurang mampu.
Sejauh ini, Mahkamah Agung menetapkan sejumlah
kebijakan terkait dengan upaya menjaga aksesibilitas biaya
beperkara, khususnya bagi masyarakat kurang mampu.
Secara umum, kebijakan mengatasi kendala tersebut
dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, kebijakan
beperkara secara cuma‐cuma atau prodeo(pro bono) baik
prodeo murni maupun prodeo yang sebagian
pendanaannya telah ditetapkan dalam Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran pada satuan kerja Pengadilan.
Kedua, pengadaan pos bantuan hukum (legal aid board) bagi
masyarakat pencari keadilan yang tingkat ekonominya
lemah dan tidak dapat mengakses layanan bantuan hukum
118
professional (paid attorney). Ketiga, penetapan biaya
perkara seminimal mungkin sesuai dengan ketentuan yang
ada. Mahkamah Agung menginstruksikan agar setiap
satuan kerja Pengadilan menghindari adanya pembayaran‐
pembayaran di luar yang seharusnya dan tidak menolerir
segala bentuk praktik korup yang merugikan masyarakat
pencari keadilan.
Menilik sejarah pemberian bantuan hukum bagi
masyarakat pencari keadilan, terdapat beberapa peraturan
perundang‐undangan yang menjadi dasar pemberian
bantuan hukum, baik oleh Pengadilan maupun individu
dan/atau organisasi di luar Pengadilan, sebagai berikut:
1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR/Reglemen
Indonesia yang diperbaharui, Stb.1941 Nomor 44)
untuk daerah Jawa dan Madura;
2) Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg/Reglement
Daerah Seberang,S.1927 No.227) untuk daerah di luar
Jawa dan Madura;
3) Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4282);
4) Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076);
5) Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang‐undang
Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 158 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5077);
6) Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara
119
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83
Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara cuma‐cuma;
8) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses
Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada
di bawahnya;
9) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di
Pengadilan;
10) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
52/DJU/SK/HK.006/5/ Tahun 2014 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak
Mampu di Pengadilan;
11) Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Umum.
Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat
kurang mampu merupakan kewajiban negara. Dalam
konteks ini, negara bahkan wajib menjamin hak
konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana
perlindungan hak asasi manusia. Negara, oleh karenanya,
bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum
bagi masyarakat yang lemah secara finansial agar mereka
tetap dapat mengakses layanan Pengadilan.
Undang‐Undang Nomor 16 Tahun 2011 secara khusus
mengatur beberapa hal teknis sebagai panduan pemberian
bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu. Beberapa
120
penggarisan dalam undang‐undang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1) Pemberian bantuan hukum dilaksanakan berdasar
asas:
a) keadilan;
b) persamaan kedudukan di muka hukum
c) keterbukaan (transparency);
d) efisiensi;
e) efektivitas; dan
f) akuntabilitas.
2) Bantuan hukum diberikan kepada masyarakat yang
menghadapi permasalahan hukum, baik perdata,
pidana, maupun hukum administrasi namun tidak
mampu mengakses layanan Pengadilan dikarenakan
keterbatasan biaya. Selain itu, pemberian bantuan
hukum juga menjangkau upaya penyelesaian
sengketa di luar Pengadilan, yaitu melalui lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS);
3) Kategori masyarakat yang dianggap kurang mampu
secara finansial adalah mereka yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar harian secara layak dan
mandiri. Kebutuhan dasar dimaksud mencakup
kebutuhan atas pangan, sandang, layanan kesehatan,
layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha,
dan/atau perumahan;
4) Pelaksanaan bantuan hukum dikoordinir oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini Menteri
mengoordinir hal‐hal teknis yang mencakup:
a) Penyusunan dan penetapan kebijakan
penyelenggaraan Bantuan Hukum;
b) Penyusunan Standar Bantuan Hukum berdasar
asas‐asas pemberian Bantuan Hukum;
c) Penyusunan rencana anggaran Bantuan Hukum;
d) Pengelolaan anggaran Bantuan Hukum secara
efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan
121
e) Penyusunan dan penyampaian laporan
penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan
Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun
anggaran.
Pengaturan dalam Undang‐Undang Nomor 16 Tahun
2011 tersebut di atas merupakan umbrella law bagi
peraturan‐peraturan lanjutan yang diterbitkan oleh instansi‐
instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung. Keberadaan
Undang‐Undang tersebut menjadi patron bagi terbitnya
aturan‐aturan di bawah undang‐undang yang sifatnya
sebagai aturan pelaksanaan dan/atau petunjuk teknis
pemberian bantuan hukum di dalam maupun di luar
Pengadilan.
Mahkamah Agung, dalam upayanya meningkatkan
aksesibilitas lembaga peradilan, telah menetapkan dan
memberlakukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2014 Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi
Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Terbitnya Perma
ini dimaksudkan untuk memudahkan satuan kerja – satuan
kerja Pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan
Peradilan Tata Usaha Negara) dalam memberikan layanan
hukum bagi masyarakat tidak mampu.
Pada Perma tersebut, diatur beberapa hal mengenai
pemberian bantuan, sebagai berikut:
1) Pemberian layanan bantuan hukum bagi masyarakat
kurang mampu di Pengadilan mencakup:
a) Pembebasan biaya beperkara (beperkara secara
prodeo atau pro bono)
Pembebasan biaya beperkara dalam praktiknya
dapat berupa pembebasan biaya perkara murni
(prodeo murni) atau pembebanan biaya beperkara
kepada DIPA satuan kerja Pengadilan. Terhadap
pembebasan biaya beperkara dimaksud, segala
biaya yang timbul dari penyelesaian suatu perkara
ditanggung oleh negara. Dengan layanan ini, maka
setiap orang atau kelompok orang tertentu yang
122
kurang mampu dapat mengakses layanan peradilan
tanpa perlu terkendala biaya.
b) Pelaksanaan sidang keliling atau sidang di luar
gedung Pengadilan (circuit court);
Sidang di luar Pengadilan merupakan pelaksanaan
persidangan terhadap perkara‐perkara yang para
pihaknya berdomisili atau betempat tinggal jauh
dari lokasi kantor Pengadilan.
c) Pengadaan layanan Pos Bantuan Hukum
(Posbakum) di lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pos Bantuan Hukum dilaksanakan oleh Lembaga
Non Pemerintah yang terdaftar dan terakreditasi
oleh Kementerian Hukum dan HAM. Lembaga
yang menyelenggarakan Posbakum dimaksud
merupakan lembaga yang ditunjuk atau
memenangi lelang terbuka pelaksanaan Posbakum
oleh satuan kerja Pengadilan. Dalam
pelaksanaannya, lembaga dimaksud bertanggung
jawab penuh kepada Ketua Pengadilan dan wajib
melaporkan secara berkala pelaksanaan tersebut
kepada Ketua Pengadilan.
2) Pembebasan biaya beperkara di Pengadilan
mencakup pemeriksaan di tingkat pertama, banding,
hingga kasasi di Mahkamah Agung. Pembebasan
biaya beperkara mencakup:
a) Biaya meterai;
b) Biaya pemanggilan para pihak beperkara;
c) Biaya sita jaminan;
d) Biaya pemeriksaan setempat;
e) Biaya saksi/ahli;
f) Biaya eksekusi;
g) Biaya proses (alat tulis kantor);
h) Penggandaan berkas‐berkas perkara yang
diperlukan dalam pemeriksaan perkara;
123
i) Penggandaan salinan putusan;
j) Pengiriman pemberitahuan nomor register ke
Pengadilan pengaju dan para pihak, salinan
putusan, dan berkas‐berkas lain yang dianggap
perlu;
k) Pemberkasan dan penjilidan berkas perkara yang
telah diminutasi;
l) Pengadaan perlengkapan kerja kepaniteraan yang
habis pakai.
Pemberlakuan beberapa perundangan tersebut di atas
merepresentasikan upaya negara dalam memastikan
pemerataan akses terhadap peradilan. Sekalipun belum
sepenuhnya menciptakan pemerataan akses sebagaimana
diharapkan, namun setidaknya, sejak adanya Undang‐
Undang Nomor 16 Tahun 2011 yang diikuti dengan
beberapa aturan pelaksanaan, akses terhadap lembaga
peradilan meningkat secara signifikan.
Hingga saat ini, setiap tahunnya, Mahkamah Agung
melalui badan‐badan peradilan di bawahnya telah
mengimplementasikan layanan pembebasan biaya
beperkara kepada para pencari keadilan yang kurang
mampu. Belum sepenuhnya menjangkau seluruh
masyarakat kurang mampu memang, namun setidaknya ini
menjadi preseden baik bagi pemberian layanan dimaksud
kepada seluruh lapisan masyarakat pada tahun‐tahun yang
akan datang.
Patut dicatat pula bahwa pemerataan access to justice
tidak hanya berupa pemberian layanan pembebasan biaya
beperkara. Access to justice juga mencakup upaya
mengeliminir biaya‐biaya yang tidak perlu dikeluarkan para
pihak selama pemeriksaan perkaranya. Tegasnya, lembaga
peradilan berupaya menjamin transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan biaya beperkara semaksimal
mungkin, sehingga apa yang dibayarkan oleh para pihak
murni merupakan biaya faktual yang digunakan selama
pemeriksaan perkara.
124
Terkait dengan hal tersebut, Cate Sumner dan Tim
Lindsey dalam penelitiannya tentang aksesibilitas peradilan
di Indonesia menyimpulkan:
“…4) As surveyed, Religious Court users paid, on
average, 24% more as a down‐payment than the final
cost of the case as set out in the judgment. It was 79%
more in the General Courts. 5) A cycle of non‐legal
marriage and divorce exists for many PEKKA female
heads of household living below the poverty line. Failure
to obtain legal documentation in relation to marriage
and divorce is associated with 56% of children from
these marriages not obtaining birth certificates. 6) For
those Indonesians able to bring their family law cases to
the courts, there is a high satisfaction rate among court
clients 71% of Religious Court clients and 69% of
General Court clients said they would return to the court
in future if they had similar family law issues”137
Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan kepuasan terhadap layanan
Pengadilan. Baik di Peradilan Umum maupun di Peradilan
Agama, lebih dari 65% pencari keadilan puas dengan
pelayanan Pengadilan dan menyatakan akan kembali
mengajukan perkara di Pengadilan jika menghadapi
masalah hukum.
Dari aspek penggunaan panjar biaya beperkara di
Pengadilan, terdapat perbedaan serapan biaya beperkara.
Pada Peradilan Agama misalnya, dari sejumlah panjar biaya
beperkara yang dibayarkan pihak pada saat pendaftaran
perkara, rata‐rata biaya faktual yang terpakai adalah sekira
24% dari sejumlah panjar biaya perkara yang dibayarkan
sebelumnya. Artinya, bahwa ada pengembalian biaya rata‐
rata 76% dari panjar biaya perkara yang dibayarkan
sebelumnya. Sementara itu di Peradilan Umum, tingkat
serapan panjar biaya beperkara selama pemeriksaan
137
Cate Sumner & Tim Lindsey, Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice For
The Poor, International Journal For Court Administration, December 2011, hlm. 6
125
perkara hingga putusan mencapai 79% yang berarti bahwa
ada rata‐rata pengembalian biaya panjar perkara sejumlah
21%.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa saat ini, lembaga
peradilan telah melaksanakan upaya dalam menekan dan
mengeliminir pengeluaran yang tidak semestinya selama
pemeriksaan perkara. Lembaga‐lembaga peradilan di
bawah Mahkamah Agung ingin memastikan bahwa pihak‐
pihak beperkara hanya membayar apa yang seharusnya
mereka bayar dan tidak perlu dirisaukan lagi dengan
pembayaran‐pembayaran di luar yang telah ditetapkan.
Ekspektasi dari upaya‐upaya tersebut di atas adalah
meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan di Indonesia. Dengan semakin meningkat dan
meratanya aksesibilitas biaya beperkara, diharapkan kian
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang pada
akhirnya berdampak lebih jauh terhadap pemerataan
keadilan, pemanfaatan sumberdaya‐sumberdaya ekonomi,
dan perwujudan masyarakat madani.
b. Aksesibilitas kantor Pengadilan
Selain aksesibilitas biaya beperkara di Pengadilan,
aksesibilitas kantor Pengadilan juga menjadi perhatian
Mahkamah Agung. Hal ini dapat dimaklumi mengingat
Indonesia secara geografis terdiri atas banyak pulau dan
pada banyak daerah memiliki topografi yang kompleks dan
berimplikasi pada kesulitan para pihak mengakses kantor
Pengadilan.
Dengan luas wilayah 1.904.569 km2, Indonesia
termasuk ke dalam negara‐negara dengan wilayah terluas
di dunia. Banyaknya pulau yang tersebar, sebagian
topografi yang rumit, serta wilayah yang luas menjadi
kendala tersendiri bagi para pihak untuk dapat mengakses
kantor Pengadilan.
Secara faktual, Indonesia sendiri masih memiliki
beberapa suku terasing dan masyarakat yang tinggal di
pelosok dan berlokasi sangat jauh dari kantor Pengadilan.
126
Kenyataan ini menambah rumitnya permasalahan akses
masyarakat ke kantor Pengadilan, khususnya bagi mereka
yang tinggal di daerah terpencil dan jauh dari kantor
Pengadilan (remote area).
Menghadapi kenyataan demikian, perlu dirumuskan
suatu kebijakan yang memungkinkan masyarakat‐
masyarakat di daerah terpencil dan sulit tetap dapat
mengakses layanan Pengadilan. Dalam konteks ini,
Mahkamah Agung mengimplementasikan kebijakan
pelaksanaan sidang keliling atau sidang di luar Pengadilan
(circuit court).
Pelaksanaan sidang keliling atau sidang di luar
Pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2014 Pedoman Pemberian Layanan Hukum
bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Pelaksanaan
sidang keliling tersebut ditujukan terhadap perkara‐perkara
yang penyelesaiannya sederhana dan para pihak berada di
daerah terpencil dan/atau sulit dijangkau.
Secara khusus, dalam Perma tersebut, pelaksanaan
sidang keliling diatur dalam Bab IV Pasal 14 – 21.
Pengaturan mengenai sidang keliling atau sidang di luar
Pengadilan pada pokoknya mencakup hal‐hal sebagai
berikut:
a. Penerima layanan
Sidang di luar Pengadilan ditujukan terhadap
masyarakat pencari keadilan yang sulit menjangkau
kantor Pengadilan, baik karena permasalahan jarak,
topografi, maupun biaya transportasi.
b. Persyaratan pelaksanaan
Sidang di luar Pengadilan dilaksanakan menurut
karakteristik perkara dan keterjangkauan
(aksesibilitas) wilayah. Pelaksanaannya dapat
melibatkan pemerintah daerah setempat dan/atau
instansi lain yang terkait dan dapat mendukung
kelancarannya.
c. Jenis perkara yang dapat diimplementasikan
127
Sidang di luar Pengadilan hanya dapat
diimplementasikan terhadap perkara‐perkara yang
pembuktiannya sederhana. Sebagai misal, perkara
perceraian tanpa kumulasi, perkara wanprestasi
dengan nilai ganti rugi yang kecil, pengesahan nikah,
dan lain‐lain perkara yang secara objektif
pembuktiannya dinilai sederhana.
d. Tempat pelaksanaan sidang
Sidang di luar Pengadilan dapat dilaksanakan pada
satu tempat tetap, balai desa, kantor kecamatan,
kantor KUA, atau tempat lain yang representatif bagi
kelancaran pelaksanaan sidang dimaksud.
e. Pembiayaan
Pembiayaan sidang di luar Pengadilan mencakup
biaya‐biaya tempat persidangan, peralatan dan/atau
perlengkapan sidang, serta biaya perjalanan dinas
Hakim dan Panitera/Panitera Pengganti. Keseluruhan
biaya dimaksud dibebankan kepada DIPA satuan
kerja. Bila pelaksanaan sidang melibatkan petugas Pos
Bantuan Hukum (posbakum), maka biaya pelaksanaan
mencakup pula biaya perjalanan dinas petugas
posbakum tersebut.
Dari pelaksanaan sidang di luar Pengadilan sejauh ini,
masyarakat penerima layanan sidang tersebut merasa
sangat terbantu. Sulitnya mengakses lokasi kantor
Pengadilan – baik karena faktor letak yang jauh, topografi
yang sulit, dan/atau mahalnya biaya transportasi – dapat
teratasi dengan pelaksanaan sidang di luar Pengadilan yang
pembiayaannya dibebankan kepada anggaran satuan kerja.
Sekalipun diakui bahwa belum seluruh lapisan
masyarakat dapat menikmati layanan sidang di luar
Pengadilan, Mahkamah Agung hingga saat ini tetap
menjadikan “aksesibilitas fisik Pengadilan” sebagai salah
satu program prioritas dalam melayani masyarakat pencari
keadilan. Meski pada satu sisi masih terhambat oleh
minimnya anggaran, Mahkamah Agung dan badan
128
peradilan di bawahnya senantiasa mengupayakan
pemerataan akses fisik Pengadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat, khususnya terhadap mereka yang tinggal di
daerah terpencil dan sulit dijangkau.
3. Kendala Implementasi Access to Justice
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, mengakses layanan Pengadilan, pada beberapa
keadaan, tidak semudah yang dipikirkan. Masyarakat di
perkotaan pada umumnya tidak mengalami hambatan berarti
dalam mengakses layanan Pengadilan, baik dari sisi biaya
maupun dari sisi aksesibilitas lokasi atau kantor Pengadilan.
Ketersediaan sarana transportasi yang memadai dan
banyaknya pilihan mengakses informasi layanan Pengadilan
(i.e. via website atau media sosial Pengadilan) menjadi faktor
pendukung bagi masyarakat di perkotaan dalam mengakses
Pengadilan.
Akan berbeda hasilnya jika berbicara dalam konteks
masyarakat di pedesaan yang lokasinya jauh dari perkotaan
dengan akses informasi yang terbatas. OECD138 merangkum
faktor‐faktor penghambat masyarakat dalam mengakses
layanan Pengadilan melalui simpulan berikut:
“Many economic, structural, and institutional factors
hinder access to justice, including the complexity and cost
of legal processes, time, and geographical and physical
constraints. Importantly, many people — especially those
in vulnerable and marginalized groups — neither recognize
their problems as legal ones, nor identify the potential legal
remedies for those problems. Cost, including opportunity
cost, and trust in the justice system are also important
factors in determining whether or not people seek legal
assistance, or take action at all, to resolve their legal
problems”
138
OECD…, Op.Cit., hlm. 7.
129
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa kendala dalam
mewujudkan access to justice dapat diklasifikasi ke dalam tiga
kategori umum, yaitu139:
a. Kendala ekonomis (economic barriers)
Kendala ekonomis berkaitan dengan kendala yang
dihadapi masyarakat akibat biaya beperkara yang tidak
terjangkau. Tidak terjangkaunya biaya beperkara ini dapat
terjadi karena biaya beperkara yang memang mahal atau
karena persepsi masyarakat yang memandang biaya
mengakses layanan hukum yang tidak terjangkau (high cost
and the perceived high cost of accessing legal services).
Biaya mengakses layanan hukum di Pengadilan dapat
dikategorikan lagi menjadi dua bagian. Pertama, biaya yang
berkaitan langsung dengan beperkara di Pengadilan (direct
costs). Biaya ini mencakup komponen: i) biaya pendaftaran
dan administrasi beperkara di Pengadilan; dan ii) biaya sewa
jasa hukum (legal representation) Advokat. Kedua, biaya
tidak langsung atau biaya ekstra yang tidak berkaitan
langsung dengan hal beperkara di Pengadilan. Biaya‐biaya
ini mencakup komponen: i) biaya transportasi
(transportation costs); ii) biaya tak terduga seperti biaya
makan dan lain‐lainnya (opportunity costs); dan iii) biaya
perawatan anak yang dikeluarkan selama berada di kantor
Pengadilan dan/atau menghadiri sidang (childcare costs).
Secara khusus, keadaan topografi yang rumit dan
letak kantor Pengadilan yang jauh menjadi hambatan
terbesar bagi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
terpencil. Jika masyarakat tetap ingin mengakses layanan
Pengadilan dengan keadaan tersebut, dapat dipastikan
bahwa biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Cara‐cara
konvensional seperti inilah yang sangat menghambat
pemerataan akses layanan Pengadilan, sehingga diperlukan
terobosan atau upaya nyata dari pemangku kepentingan
dalam mengatasinya.
139
Lihat ibid, hlm. 8.
130
b. Kendala struktural (structural barriers)
Kendala struktural umumnya dihadapi oleh
masyarakat yang kurang mampu secara finansial, rentan
terhadap kekerasan, dan/atau termarjinalkan (vulnerable
and marginalized groups). Kendala dimaksud umumnya
berkenaan dengan ketidaktahuan mereka terhadap
permasalahan hukum yang sedang dihadapi dan upaya
hukum apa yang harus mereka tempuh dalam
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
Permasalahan struktural ini dapat disebabkan oleh
minimnya pengetahuan hukum masyarakat atau adanya
pembiaran oleh pemangku kepentingan terhadap keadaan
dimaksud dan tidak mengupayakan langkah‐langkah
edukasi hukum yang dianggap perlu untuk mengatasi
permasalahan dimaksud.
c. Kendala institusional (institutional barriers)
Kendala institusional berkenaan dengan kendala
dalam penanganan perkara di Pengadilan. Asumsi di
masyarakat pada umumnya menganggap proses peradilan
lambat, berbelit‐belit, dan memakan biaya yang mahal.
Asumsi‐asumsi demikian menyebabkan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan
belum sesuai dengan yang diharapkan.
Secara faktual, memang masih menjadi pekerjaan
rumah besar bagi lembaga peradilan kita dalam
menciptakan sistem pemeriksaan perkara yang lebih
sederhana, efisien, dan efektif. Bahwa memang telah ada
mekanisme penyelesaian beperkara secara sederhana
terhadap perkara dengan kualifikasi tertentu, namun
terhadap perkara biasa yang selama ini memakan waktu
lama dalam penyelesaiannya belum terbentuk suatu sistem
baru yang benar‐benar merepresentasikan konsepsi speedy
administration justice.
Gambaran mengenai kendala‐kendala tersebut di atas
cukup memberi masukan dalam upaya Mahkamah Agung
mengimplementasikan pemerataan akses terhadap
131
lembaga Peradilan. Tidak dapat dimungkiri, kendala‐
kendala yang ada selama ini – sebagaimana telah
dipaparkan secara gamblang tersebut di atas – bukanlah hal
mudah untuk segera di atas.
Namun demikian, proyeksi pembaruan peradilan
selama 25 tahun dari sejak 2010, didukung dengan
beberapa langkah strategis yang telah ditempuh
Mahkamah Agung selama ini membuka asa akan
terwujudnya pemerataan akses lembaga Peradilan pada
masa yang akan datang.
C. Digitalisasi Sistem Pengadministrasian Perkara
Digitalisasi sistem, saat ini, merupakan bagian yang tidak
bisa terpisahkan dari upaya membangun suatu peradilan modern
berbasis Teknologi Informasi, konsep peradilan modern sebagai
bagian lembaga yang berorientasi kepada pelayanan publik
dituntut agar berubah dengan mengikuti percepatan zaman
secara cepat, efektif dan efisien dengan didukung perangkat dan
sumber daya manusia meliputi kemampuan dalam
mengimplementasikan kecanggihan teknologi. Akan tetapi
tuntutan untuk berubah tidak hanya sebagai tuntutan masyarakat
akan tetapi merupakan kebutuhan suatu sistem yang mampu
mempercepat dan meminimalisir kesalahan data yang diperlukan
oleh peradilan agama dan untuk menunjang kinerja yang
berkaitan erat dengan tugas pokok peradilan. Program
pengadministrasian berbasis teknologi merupakan salah satu
program prioritas reformasi birokrasi di Mahkamah Agung RI dan
Pengadilan di bawahnya dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.
1. Definisi Administrasi Peradilan
Kata administrasi peradilan terdiri dari dua unsur kata,
yaitu administrasi dan peradilan. Kata “administrasi” berasal
dari kata bahasa latin ''ad” yang berarti “intensif” dan kata
“ministrare” yang berarti melayani, membantu, memenuhi.
Dengan demikian, secara etimologis, kata “administrasi”
bermakna“ melayani dan membantu secara intensif”.
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata administrasi berarti
usaha dan kegiatan yang meliputi: penetapan tujuan serta
132
penetapan cara‐cara penyelenggaraan pembinaan organisasi,
usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kebijakan untuk mencapai tujuan, kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan, kegiatan kantor dan
tata usaha seperti arsip pengumpulan, pengawetan dan
pengaturan bahan arsip untuk dapat digunakan, serta kajian
teori dan praktik mengenai tata cara itu, kearsipan manajemen
perlengkapan arsip, perpustakaan kegiatan pelengkap yang
berkaitan dengan rencana memajukan dan mengembangkan
perpustakaan. Administrasi adalah suatu proses
penyelenggaraan oleh seorang administrator secara teratur
dan diatur guna melakukan perencanaan pelaksanaan dan
pengawasan untuk mencapai tujuan pokok yang telah
ditetapkan semula.
Istilah Peradilan dan Pengadilan memiliki makna dan
pengertian yang berbeda, perbedaan tersebut adalah:
a. Peradilan dalam bahasa Inggris disebut judiciary dan
rechtspraak dalam bahasa Belanda yang maksudnya
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas
Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan;
b. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan
rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah
badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara.
Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang
sama yaitu “adil” yang memiliki pengertian:
a. Proses mengadili;
b. Upaya untuk mencari keadilan;
c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan
peradilan;
d. Berdasar hukum yang berlaku.
Administrasi peradilan yang dimaksud adalah segala
kegiatan perkantoran melaksanakan sebagian tugas negara
dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan cara
menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam
133
melaksanakan administrasi peradilan yang benar maka harus
benar‐benar dipahami petunjuk teknis administratif demi
tercapainya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
murah sebagaimana dijelaskan Pasal 4 ayat 2 UU No.48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman undang‐undang telah
mengaturnya yaitu dalam undang‐undang Nomor 3 Tahun
2006, Pasal 5 ayat 1 yang mengatakan bahwa pembinaan
teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial
pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung RI .
Berdasar pernyataan dalam undang‐undang ini dapat
disimpulkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman terletak pada keberhasilan penyelenggaraan teknis
peradilan dan administrasi perkara. Tentu keberhasilan
penyelenggaraan teknis peradilan harus ditunjang oleh tertib
administrasi perkara. Dalam melaksanakan tertib administrasi
perkara di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
Ketua Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat tertanggal 24
Januari 1991 nomor KMA/001/SK/1991 tentang Pola Bindalmin.
Kemudian Pola Bindalmin dijadikan sebagai pedoman dan
petunjuk teknis pelaksanaan pengelolaan administrasi perkara.
Program tersebut tidak hanya berhenti sampai di sini,
namun dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama MA RI memiliki peran yang sangat penting
dalam keberhasilan pelaksanaan Pola Bindalmin yang telah
ditetapkan oleh MA RI. Salah satunya adalah tugas Ditjen
Badilag dan dibantu oleh Sekretaris MA RI dalam merumuskan
dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis dalam
bidang pembinaan administrasi peradilan agama.
Berdasarkan perkembangan zaman dan teknologi dalam
segala lini kehidupan masyarakat maka Direktorat Pembinaan
Administrasi Peradilan Agama selaku penanggung jawab
pembinaan administrasi peradilan agama dituntut melakukan
inovasi dan terobosan untuk percepatan dan pencapaian
administrasi perkara di Pengadilan Agama secara digital.
Karenanya, Pengadilan Agama harus bisa memberikan
134
pelayanan sebaik mungkin sesuai standar waktu dan tenaga
dalam pelayanan, tentunya untuk mewujudkan peradilan yang
mandiri sesuai dengan peraturan yang berlaku,
penyelenggaraan tertib administrasi perkara merupakan
bagian dari Court of Law yang secara mutlak harus
dilaksanakan oleh seluruh aparat peradilan.
Dengan panduan yang dikeluarkan oleh Ditjen Badilag
MA RI dalam hal pengarsipan dengan baik dan benar serta tata
tertib dalam melaksanakan administrasi perkara dan putusan
dilaksanakan sendiri oleh pengadilan yang memutus perkara,
hal ini sangat penting dan perlunya ada kesamaan pola tindak
dalam pengarsipan (unified legal framework) dan pola pikir
(unified legal frame opinion)di seluruh peradilan di Indonesia
terkhusus peradilan agama.
Pola Pengadministrasian Perkara di Pengadilan Agama
yang telah berjalan cukup lama secara manual yang meliputi
penyelenggaraan administrasi perkara tingkat pertama,
banding, kasasi dan peninjauan kembali, register perkara,
keuangan perkara, pelaporan perkara, kearsipan perkara maka
saat ini harus berhijrah ke digitalisasi dengan sistem teknologi
demi menjawab tantangan zaman era digital.
Dalam rangka memaksimalkan transparansi dan
pelayanan prima peradilan perlu adanya tekad optimalisasi
pemanfaatan teknologi informasi. SIADPA dimanfaatkan
dalam rangka mendukung Pola Bindalmin dan peningkatan
kerja pengadilan serta pelayanan peradilan. Dasar Hukum
Pengarsipan Perkara adalah sebagai berikut:
a. RBg pasal 711/HIR pasal 383 yang menyatakan bahwa
segala putusan harus selalu tersimpan pada arsip
Pengadilan dan tidak boleh dipindahkan, terkecuali
dalam keadaan dan dengan cara yang ditentukan oleh
peraturan perundang‐undangan.
b. Pasal 101 UU No.7 Tahun 1989, yang pada pokoknya
menyatakan bahwa Panitera bertanggung jawab
terhadap kearsipan perkara yang harus tersimpan di
135
ruang kepaniteraan, serta tidak dapat dipindahkan
kecuali seizin Ketua PA/MS.
c. Keputusan Ketua MA RI. No. KMA/004/II/1992
menyatakan bahwa kepaniteraan Pengadilan Agama
mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis di
bidang administrasi perkara dan administrasi peradilan
lainnya berdasarkan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku.
Tugas pengarsipan tersebut berdasarkan pasal 6, 9, 12,
15 dan 21 UU No.7 Tahun 1989 menjadi tanggungjawab
Panmud Kepaniteraan Hukum. Bahkan produk pengadilan
yang berupa putusan atau penetapan tentu dalam
pengadministrasian di zaman saat ini juga harus disimpan
dalam bentuk digital demi mempermudah dalam
penyimpanan baik dari aspek keamanan data maupun
kemudahan dalam penelusuran data perkara (data retrieval).
2. Sistem Informasi dan Administrasi Perkara Peradilan
Agama (SIADPA)
Dalam rangka membantu penyelenggaraan Pola
Bindalmin, sejak tahun 1998, di lingkungan peradilan agama
telah memanfaatkan teknologi informasi yang
diimplementasikan melalui Sistem Informasi Administrasi
Perkara Peradilan Agama (SIADPA) yang digunakan oleh
pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama.
Sejak saat itu, proses penyelesaian perkara yang awalnya
dikerjakan secara manual, beralih ke elektronik. Produk
dokumen dan laporan terkait perkara yang pada awalnya
diselesaikan dengan ketikan komputer satu persatu, kini
dikerjakan menggunakan aplikasi SIADPA, sehingga lebih
menghemat waktu dan tenaga.
Mengingat pertumbuhan dan perkembangan teknologi
informasi yang begitu pesat maka Direktorat Badan Peradilan
Agama MA RI dituntut dengan cepat dalam penyelesaian
perkara dan akurat maka untuk mewujudkannya perlu adanya
dukungan sistem yang berbasis teknologi informasi.
136
Penggunaan teknologi informasi yang dibentuk dalam
sistem tertentu atau ke dalam aplikasi Sistem Informasi
Administrasi Perkara Peradilan Agama sering disebut dengan
Aplikasi SIADPA. Aplikasi ini merupakan gambaran atau
representatif secara otomatis dari pola Bindalmin yang
digunakan sebagai pedoman administrasi peradilan agama dan
dirancang sedemikian rupa secara elektronik guna
memberikan kemudahan dalam percepatan
pengadministrasian perkara.
Sistem SIADPA telah digunakan di peradilan agama
secara resmi sejak tahun 2005 sesuai dengan dasar Pola
Bindalmin dengan KMA/001/SK/1991 melalui tahapan dan
proses dan kajian mendalam sehingga menjadi aplikasi yang
compatible, user friendly, user easily, dan mampu memuat
seluruh bentuk dan jenis perkara yang ditangani di setiap
Pengadilan Agama. Aplikasi ini tidak hanya menyediakan
sistem mengolah dokumen akan tetapi aplikasi ini
menyediakan format‐format pelaporan perkara, namun
dengan berkembangnya waktu dan kebutuhan administrasi di
Pengadilan Agama maka sistem SIADPA oleh Direktorat
Jenderal Peradilan Agama dilakukan evaluasi dan modifikasi
untuk mempermudah jalannya proses administrasi perkara di
Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Mengingat kondisi SDM
di peradilan agama yang berada di satker Pengadilan Agama
beraneka ragam maka dipandang perlu untuk
mengimplementasikan program SIADPA melalui sosialisasi
kepada unsur pimpinan.
Pola Bindalmin yang telah dibentuk dalam sistem aplikasi
SIADPA secara bertahap bisa diterima oleh warga peradilan
agama karena cara kerja dan operasionalnya cukup mudah
dimengerti, mudah dalam implementasiannya dan
menggunakan bahasa indonesia serta sistem aplikasi SIADPA
sangat sistematis, efisien dan praktis di dalam pencarian data,
menyediakan dokumen perkara beserta jenisnya. Dengan
berjalannya waktu dan kebutuhan administrasi perkara di
Pengadilan Agama yang meningkat drastis maka harus
137
diselesaikan sesuai dengan kondisi yang ada, dan dengan
hadirnya aplikasi SIADPA telah mampu menjawab tantangan
tersebut dan telah memberikan solusi data dan dokumen.
Produk kegiatan kepaniteraan di Pengadilan Agama adalah
pengolahan dokumen‐dokumen perkara.
Dalam tataran praktis, sistem administrasi kepaniteraan
terdapat pekerjaan yang sangat banyak dan kompleks untuk
diselesaikan dengan cepat, apalagi mengingat perkara ‐
perkara di Pengadilan Agama tergolong perkara perdata yang
jumlah atau volumenya sangat tinggi. Sehingga untuk
mengatasi permasalahan seperti ini adalah harus dengan
tenaga teknologi informasi yaitu dengan komputer yang
mutakhir. Solusi yang ditawarkan melalui sistem aplikasi
SIADPA adalah bertujuan untuk mempermudah para petugas/
pegawai dalam membuat, mengolah dan mencetak data
dokumen perkara, dengan hadirnya sistem tersebut semua
data dan dokumen perkara yang ada di Pengadilan Agama bisa
terbantu dalam hal penyimpanan, pelaporan, dan
mencetaknya, akan tetapi masih diperlukan pengembangan
dalam solusi pengolahan data induk.
Produk Aplikasi SIADPA yang ditawarkan adalah
mencakup SIADPA Tingkat pertama yang digunakan untuk
mengolah dokumen perkara mulai dari penerimaan hingga
putusan dan penyelesaian perkara. SIADPA Tingkat Banding
digunakan untuk mengolah dokumen persiapan banding di
Pengadilan Agama termasuk di dalamnya adalah akta banding,
memori banding, hingga pemberitahuan isi putusan banding.
SIADPA Tingkat Kasasi, digunakan untuk mengolah dokumen
persiapan kasasi, memori kasasi, hingga pemberitahuan
putusan kasasi. SIADPA Tingkat Peninjauan kembali di
Pengadilan Agama mencakup persiapan peninjauan kembali,
memori peninjauan kembali hingga pemberitahuan isi putusan
Peninjauan Kembali (PK). Aplikasi SIADPA juga merupakan
solusi data dalam sistem Keuangan Perkara (SIADPA KIPA),
Aplikasi Sistem Register Perkara ( SIADPA REGISTER) Aplikasi
Sistem Laporan Perkara (SIADPA LIPA) Aplikasi Akta Cerai
138
(SIADPA AKTA CERAI) dan Aplikasi Jadwal Sidang (SIADPA
JADWAL SIDANG).
Aplikasi SIADPA Tingkat pertama sebagai Aplikasi utama
dengan menu‐menu yang bisa diklasifikasikan menjadi 5 (lima)
bagian yaitu: pertama, menu penerimaan. Menu ini terdiri dari
Pendaftaran, Surat Kuasa, Surat Kuasa untuk membayar
panjar biaya perkara yang telah dibayar Penggugat/Pemohon
saat mendaftarkan perkara. Kedua, Menu Persiapan
Persidangan, menu tersebut memuat dokumen‐dokumen yang
harus dibuat sebelum memasuki tahap persidangan yaitu
berbagai jenis penetapan, Majelis Hakim, Penetapan Panitera
Pengganti, Penetapan Juru sita/Juru sita pengganti, Penetapan
Hari Sidang dan Surat Panggilan Sidang kepada para pihak.
Ketiga, Menu persidangan yaitu menu tersebut terdiri dari
Berita Acara Sidang, Mediasi, Sita, Putusan, Pemberitahuan isi
Putusan, Pengembalian Sisa Panjar Perkara. Keempat, Menu
Penyelesaian Perkara , yaitu terdiri Ikrar Talak, Eksekusi, dan
pengiriman Salinan Putusan Kepada Kantor Urusan Agama.
Kelima adalah lain‐lain yang memuat riwayat penggunaan
User, Formulir pendukung, dan Sampul Minutasi.
Semua aktifitas penerimaan, persiapan persidangan,
persidangan dan penyelesaian perkara yang diproses dengan
aplikasi SIADPA akan tersimpan secara otomatis dalam
SIADPA Register. Dan format Siadpa Register dibuat sama
dengan format register pada Pola Bindalmin. Beberapa
register yang berkaitan dengan register perkara yaitu register
Induk Gugatan, Register Induk Permohonan, Register Surat
Kuasa Khusus, Register Eksekusi, Register Permohonan Kasasi,
Register Penyitaan Barang tidak bergerak, Register Penyitaan
Barang Bergerak, Register Akta Cerai, Aplikasi ini disebut
SIADPA Lipa.
Dalam percepatan pencatatan, pengendalian, dan
pencetakan Laporan Keuangan perkara memiliki tujuan untuk
membantu bagian kas dalam pencatatan, membuat
penghitungan dan pengendalian keuangan perkara serta
fungsi sebagai input awal sampai akhir proses keuangan
139
perkara sebagai sumber pembuatan buku‐buku keuangan dan
pelaporan. Dengan menggunakan Aplikasi ini tidak
memerlukan pencarian data yang rumit dan tidak berulang‐
ulang karena sejak awal sistem ini sudah mengotomatiskan
semenjak transaksi proses dan tahap perjalanan perkara.
Dilihat dari sistem dan cara kerja Aplikasi SIADPA LIPA
dapat mempermudah, mempercepat dan meminimalisir
kesalahan dalam proses pembuatan laporan perkara.
Pembuatan laporan keadaan perkara bulanan tidak
memerlukan waktu yang relatif lama dan tidak berbelit‐belit
dalam pencarian data. Sistem Aplikasi SIADPA
dioperasionalkan secara otomatis semenjak awal pendaftaran
perkara, tahap perjalanan perkara sampai dengan tahap
minutasi perkara, sehingga secara otomatis data yang telah
masuk akan muncul keadaan perkara setiap pelaporan perkara
sampai dengan tahap akhir yaitu minutasi dan pengarsipan.
Dalam pengoperasian Aplikasi SIADPA berlandaskan
kepada Landasan Yuridis Surat Ketua Muda Urusan
Lingkungan Peradilan Agama MA RI Nomor
12/TUADA/AG/IX/2007 tertanggal 17 September 2007 tentang
penggunaan Sistem Informasi Administrasi Perkara Peradilan
Agama. Dalam surat ini Tuada Uldilag menginstruksikan
kepada Ketua Mahkamah Syar'iyah se Propinsi Aceh, Ketua
Pengadilan Agama se Indonesia untuk menggunakan sistem
yang telah berjalan selama ini yaitu pola Bindalmin juga
menggunakan SIADPA dalam proses penanganan administrasi
perkara untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan terealisasinya Aplikasi SIDPA maka dikembangkan lagi
menjadi SIADPA PLUS demi mewujudkan peradilan agama
yang modern berbasis elektronik.
3. Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
a. Sejarah penerapan SIPP di Mahkamah Agung
Penyelesaian administrasi perkara di lingkungan
peradilan agama diatur dengan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI nomor KMA/001/SK/I/1991 tentang Pola‐
pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan
140
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, atau yang
disebut dengan istilah Pola Bindalmin. Di dalamnya diatur lima
pola, yaitu Pola Penyelenggaraan Administrasi Perkara, Pola
Register Perkara, Pola Keuangan Perkara, Pola Kearsipan
Perkara dan Pola Pelaporan Perkara.
Pola Prosedur Penyelenggaraan Administrasi Perkara
mengatur bagaimana proses penyelenggaraan administrasi
perkara pada pengadilan tingkat pertama yang meliputi
prosedur penerimaan perkara tingkat pertama, prosedur
penerimaan permohonan banding, prosedur penerimaan
permohonan kasasi dan prosedur penerimaan permohonan
peninjauan kembali. Selain itu juga mengatur bagaimana
penyelenggaraan administrasi perkara pada pengadilan
tingkat banding.
Sejak difungsikannya penggunaan di lingkungan
peradilan agama sampai sekarang, SIADPA telah mengalami
beberapa perubahan. Pertama, periode 1998‐2001, sistem
operasi SIADPA berbasis DOS yang diterapkan di pengadilan
agama Kabupaten Kabupaten Malang dan 11 pengadilan
agama lain di wilayah hukum pengadilan tinggi agama
Surabaya. Kedua, periode 2003‐2004, terjadi perubahan
system operasi dari DOS menjadi Windows, dan penambahan
menu dan fungsi. Pada periode ini, masih sebagian kecil satuan
kerja di lingkungan peradilan agama yang memanfaatkan
SIADPA. Ketiga, periode 2005‐2009, SIADPA berbasis windows
secara berangsur‐angsur mulai diterapkan di seluruh satuan
kerja di lingkungan peradilan agama. Keempat, periode 2011‐
2015, SIADPA kembali dilakukan perubahan/penambahan dan
menu dan fungsi yang lebih lengkap, atau yang lebih dikenal
dengan istilah SIADPA Plus. Kelima, periode 2015, SIADPA
Plus yang berbasis dekstop dengan menu dan fungsi yang
telah lengkap dikembangkan menjadi SIADPA Plus berbasis
Web.
Pada tahun 2015, SIADPA Plus berbasis Web telah selesai
dikembangkan dan diujicobakan di 8 pengadilan agama
mewakili 6 pengadilan tinggi agama. Tinggal tiga tahap lagi
141
menuju implementasi, yaitu tahap perbaikan permasalahan
teknis (bugs & error), tahap sosialisasi dan tahap implementasi.
Artinya Ditjen Badilag berencana mengimplementasikan
SIADPA Plus Berbasis Web ke seluruh satuan kerja di
lingkungan peradilan agama pada tahun 2016.
Pada tahun 2015, Mahkamah Agung bekerjasama
dengan EU‐UNDP melalui proyek SUSTAIN, sedang
membangun sistem manajemen perkara untuk seluruh
lingkungan peradilan, yang nantinya melahirkan aplikasi
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Versi 3.1.1. dalam
pembuatan SIPP Versi 3.1.1., ada beberapa tahap yang dilalui,
diawali dengan kunjungan Tim Pengembang SIPP MA yang
melakukan assessment ke satuan kerja pada empat lingkungan
peradilan pada bulan November sd Desember 2015, termasuk
lingkungan peradilan agama yaitu Mahkamah Syaríyah Aceh,
Pengadilan Agama Bandung dan Pengadilan Agama
Yogyakarta. Komposisi Tim Pengembang SIPP MA sendiri
merupakan para pegawai dari empat lingkungan peradilan
yang mempunyai kemampuan di bidang Teknologi Informasi,
khususnya bahasa pemrograman. Tahap kedua,
pengembangan SIPP di Malang, Jawa Timur selama 1 bulan
(November sd Desember 2015), salah satu bahannya adalah
hasil assessment tersebut. Tahap ketiga sosialisasi, dengan
menyelenggarakan Roll Out SIPP di 4 Lingkungan Peradilan di
tiga tempat yaitu Semarang, Palembang dan Balikpapan pada
bulan Februari sd Maret 2016. Tahap kelima
menyelenggarakan mentoring SIPP di 4 Lingkungan Peradilan
di Ambon dan Papua pada bulan Juli sd Agustus 2017.
Tujuan diterapkan SIPP adalah untuk: a) membantu
proses penyelesaian administrasi perkara; b) memonitor
kinerja satuan kerja dan aparatur peradilan; dan c) menjadi
sarana keterbukaan informasi publik. Secara teknis, SIPP
terbagi menjadi 4 aplikasi yaitu:
a. SIPP Lokal untuk Pengadilan Tingkat Pertama, yang
berfungsi membantu proses penyelesaian administrasi
perkara;
142
b. SIPP Web untuk Pengadilan Tingkat Pertama, yang
berfungsi menjadi sarana keterbukaan informasi publik;
c. SIPP Lokal Tingkat Banding, yang berfungsi membantu
proses penyelesaian administrasi perkara; dan
d. SIPP Mahkamah Agung, yang berfungsi untuk
memonitor kinerja satuan kerja dan aparatur peradilan.
Secara khusus Sekretaris Mahkamah Agung RI
memberikan arahan pada Rapat Koordinasi Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI dengan
para Pimpinan Mahkamah Syar’iyah Aceh/Pengadilan Tinggi
Agama seluruh Indonesia di Bandung pada tanggal 26 s.d. 29
Januari 2016, bahwa SIPP Versi 3.1.1 harus segera
diimplementasikan di empat lingkungan peradilan termasuk
lingkungan peradilan agama. Sebagai satuan kerja yang
berada di bawah Mahkamah Agung, Ditjen Badilag harus
melaksanakan kebijakan yang telah diamanahkan oleh
pimpinan Mahkamah Agung.
Pada bulan Februari 2016, Ditjen Badilag mengeluarkan
kebijakan agar mahkamah syaríyah/pengadilan agama seluruh
Indonesia segera melakukan sosialisasi dan
mengimplementasikan SIPP di satker masing‐masing. Hal
tersebut tertuang dalam surat Dirjen Badilag Nomor
Nomor 0458/DjA/HM.02.3/2/2016, tanggal 11 Februari 2016,
perihal Implementasi Aplikasi SIPP Versi 3.1.1 di Lingkungan
Peradilan Agama. Dengan keluarnya surat tersebut, secara
berangsur‐angsur, mahkamah syaríyah/pengadilan agama
mulai meninggalkan SIADPA Plus yang telah digunakan
selama 18 tahun lebih (tahun 1998 ‐ Februari 2016) dan beralih
ke SIPP. Secara khusus, unit kerja yang memegang kendali
SIPP pada empat lingkungan peradilan adalah Badan Urusan
Administrasi Mahkamah Agung RI.
Sejak pertama kali dirilis bulan Januari sampai bulan Mei,
SIPP telah mengalami 5 kali perubahan. Tepatnya pada
tanggal 9 Mei 2016, bertempat di Bali, Ketua Mahkamah
Agung meresmikan penggunaan SIPP Versi 3.1.2.
143
Setelah merilis SIPP untuk pengadilan tingkat pertama,
Mahkamah Agung kembali mengembangkan SIPP untuk
pengadilan tingkat banding selama beberapa bulan. Setelah
melalui tahap pengembangan, uji coba, dan perbaikan bugs &
error, akhirnya SIPP pengadilan tingkat banding telah siap
disosialisasikan dan diimplementasikan. Khusus untuk
lingkungan peradilan agama, pada bulan Juni 2016, Ditjen
Badilag mengeluarkan kebijakan pengimplementasian SIPP
Tingkat Banding Versi 3.1.2. Hal tersebut tertuang dalam surat
Dirjen Badilag Nomor 1352/DJA/HM.02.3/6/2016, tanggal 1 Juni
2016, tentang Implementasi Aplikasi SIPP Tingkat Banding
Versi 3.1.2 di Lingkungan Peradilan Agama.
b. Pengembangan SIPP di Lingkungan Peradilan Agama
Dalam rangka memetakan permasalahan dan solusi,
pengembangan, serta arah kebijakan terkait implementasi
SIPP di lingkungan peradilan agama, Ditjen Badilag telah
melakukan beberapa langkah meliputi:
1) Membuat Payung Hukum Implementasi SIPP
Sejak diterapkan SIPP pada awal bulan tahun 2016
hingga akhir tahun 2017, Ditjen Badilag telah mengeluarkan
13 surat terkait kebijakan pengimplementasian SIPP di
lingkungan peradilan agama.
Berikut detail rincian surat yang telah diterbitkan oleh
Ditjen Badilag terkait kebijakan implementasi SIPP di
lingkungan peradilan agama.
a) Tahun 2016 (11 Surat)
1) Surat Dirjen Badilag No. 458/DJA/HM.02.3/2/2016,
tanggal 11 Feb 2016, tentang Implementasi Aplikasi
SIPP Versi 3.1.1 di Lingkungan Peradilan Agama;
2) Surat Dirjen Badilag No.
0521/DjA.3/HM.00.3/2/2016, tanggal 22 Feb 2016,
tentang Pengisian Data Lokasi Pengadilan Tingkat
Pertama untuk SIPP;
3) Surat Dirjen Badilag No.
0684/DjA.3/HM.02.3/3/2016, tanggal 14 Maret
2016, tentang Penyampaian File Sinkronisasi,
144
Username dan Password SIPP Mahkamah Agung RI
untuk Lingkungan Peradilan Agama;
4) Surat Dirjen Badilag No. 1015/DA/HM.02.3/03/2016,
tanggal 19 April 2016, tentang Penambahan Menu,
Sub Menu, Template dan Aplikasi Turunan pada
SIPP Versi 3.1.1. Tahap I;
5) Surat Dirjen Badilag No.
1128/DjA.3/OT.01.4/5/2016, tanggal 9 Mei 2016,
tentang Penggunaan Blanko Akta Cerai Format
Baru;
6) Surat Dirjen Badilag No. 1352/DJA/HM.02.3/6/2016,
tanggal 1 Juni 2016, tentang Implementasi Aplikasi
SIPP Tingkat Banding Versi 3.1.2 di Lingkungan
PeradilanAgama;
7) Surat Dirjen Badilag No. 1406/DJA/HM.02.3/6/2016,
tanggal 20 Juni 2016, tentang Perkembangan
Implementasi Aplikasi SIPP Tingkat Pertama di
Lingkungan Peradilan Agama;
8) Surat Dirjen Badilag No.
1688/DjA.3/HM.02.3/8/2016, tanggal 1 Agustus
2016, tentang Usulan Penambahan Template
SKUM di Aplikasi SIPP Tingkat Pertama;
9) Surat Dirjen Badilag No.
1689/DjA.3/HM.02.3/8/2016, tanggal 1 Agustus
2016, tentang Penunjukan Petugas Untuk
Melakukan Penghapusan Data Perkara SIPP
Lingkungan Peradilan Agama di Server Mahkamah
Agung RI;
10)Surat Dirjen Badilag No.
2270/DjA/HM.02.3/10/2016, tanggal 7 Oktober
2016, tentang Peningkatan Prosentase
Penanganan Perkara di SIPP Mahkamah Agung RI;
11) Surat Dirjen Badilag No.
2954/DjA/HM.02.3/12/2016, tanggal 23 Desember
2016, tentang Rilis SIPP Versi 3.1.5.
b) Tahun 2017 (2 Surat)
145
1) Surat Dirjen Badilag No.
0020/DjA.3/HM.02.3/1/2016, tanggal 4 Januari 2017,
tentang Penunjukan Petugas Untuk Melakukan
Penghapusan Data Perkara SIPP Lingkungan
Peradilan Agama di Server Mahkamah Agung RI.
2) Surat Dirjen Badilag No.
3852/DjA/HM.02.3/10/2017, tanggal 25 Oktober
2017, tentang Survey Pengembangan,
Penyebarluasan dan Penggunaan SIPP.
2) Pembuatan Roadmap Pengembangan SIPP di
Lingkungan Peradilan Agama
Pada bulan Agustus 2016 Ditjen Badilag telah selesai
menyusun Roadmap Pengembangan dan
Pengimplementasian Sistem Informasi Penelusuran Perkara
di Lingkungan Peradilan Agama Tahun 2016‐2020. Dalam
roadmap tersebut terdapat 80 usulan pengembangan SIPP
yang telah diserahkan ke Badan Urusan Administrasi MA
untuk ditindaklanjuti.
3) Sosialisasi dan Pembekalan Ilmu Terkait SIPP melalui
Bimtek
Pada tahun 2016, belum ada anggaran khusus di
Ditjen Badilag yang diperuntukkan untuk melakukan
sosialisasi implementasi SIPP. Satu‐satunya kegiatan terkait
SIPP yang pernah diselenggarakan Ditjen Badilag hanyalah
Bimtek Administrasi Perkara Peradilan Agama pada 26‐29
April 2016 di Yogyakarta, bukan sosialisasi atau ToT SIPP.
Dan itulah satu‐satunya Bimtek Administrasi Perkara yang
diselenggarakan Ditjen Badilag tahun ini. Kegiatan tersebut
hanya diikuti oleh 50 peserta dari 17 satker, padahal secara
keseluruhan satker di lingkungan peradilan agama
berjumlah 388 yang terdiri dari 359 pengadilan tingkat
pertama dan 29 pengadilan tingkat banding.
Pada tahun 2017, Ditjen Badilag telah mengalokasikan
anggaran untuk Bimbingan Teknis untuk ToT SIPP
sebanyak dua tahap. Bimbingan Teknis untuk ToT SIPP
Tahap I diselenggarakan di Bekasi tanggal 21‐24 Maret 2017
146
sebanyak 30 peserta perwakilan dari 15 satker MS.
Aceh/PTA dan 15 satker MS/PA di wilayah Bimbingan I dan
Bimbingan Teknis untuk ToT SIPP Tahap II diselenggarakan
di Surabaya tanggal 25‐28 April 2018 sebanyak 26 peserta
perwakilan dari 14 satker PTA dan 16 satker PA di wilayah
Bimbingan II. Sehingga total peserta yang telah mengikuti
bimtek mulai tahun 2016‐2017 sebanyak 106 orang. Oleh
karena itu pada tahun 2017, Direktorat Pembinaan
Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag mengusulkan
dalam mata anggaran 2018 untuk kegiatan bimtek serupa
dan kegiatan mentoring SIPP.
4) Pembentukan Tim Satgas Implementasi SIPP
Dalam rangka membantu Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung RI untuk mempercepat
pengimplementasian Sistem Informasi Penelusuran Perkara
di lingkungan peradilan agama, pada pertengahan tahun
2017, Ditjen Badilag membentuk Satgas
Pengimplementasian SIPP di Lingkungan Peradilan Agama
yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Badilag Nomor
614/DJA/HM.02.3/SK/6/2017, tanggal 8 Juni 2017, tentang
Pembentukan Satuan Tugas Pengimplementasian Sistem
Informasi di Lingkungan Peradilan Agama.
Secara keseluruhan keanggotaan Tim Satgas ini
berjumlah 127 orang. Adapun susunan Tim Satgas terdiri
dari: Pelindung, Pengarah, Penanggungjawab, Tim Ahli,
Ketua, Sekretaris, Satgas Bidang Pengembangan, Satgas
Bidang Implementasi, Satgas Bidang Evaluasi dan
Pelaporan, Satgas Bidang Bimbingan dan Konsultasi (Pusat
dan Daerah). Dalam Keputusan Dirjen tersebut telah diatur
mengenai Struktur Organisasi, Uraian Tugas dan
Wewenang, dan Mekanisme Koordinasi dan Alur Kerja Tim
Satgas. Dari awal pembentukannya sampai sekarang,
keberadaan Tim Satgas sangat membantu dan hasilnya
telah dirasakan oleh satker di daerah dalam hal pemecahan
masalah teknis maupun Ditjen Badilag dalam hal
penyampaian informasi dan monitoring implementasi SIPP.
147
Dalam tim satgas ini terdapat beberapa anggotanya yang
merupakan Tim Pengembang SIPP MA.
5) Penghapusan dan Backup Database Bermasalah di
SIPP MA
Sejak SIPP diterapkan di lingkungan peradilan agama
pada bulan Februari 2016, terdapat beberapa masalah yang
timbul, salah satunya adalah tidak validnya data perkara
satuan kerja yang ada di SIPP MA, sehingga hal tersebut
akan menyebabkan kekeliruan pimpinan Ditjen Badilag
dalam mengambil kebijakan terkait implementasi SIPP.
Tidak validnya data perkara ditandai dengan rendahnya
prosentase penyelesaian perkara yang masih rendah.
Prosentase penyelesaian perkara sendiri terbagi menjadi
tiga: 1) 0‐50% (indikator warna merah); 2) 51‐90% (indikator
warna kuning); dan 3) 91‐100% (indikator warna hijau).
Berdasarkan hasil analisa data perkara di SIPP MA oleh Tim
Satgas SIPP dari Ditjen Badilag, disimpulkan bahwa apabila
satker rutin melakukan input data perkara secara tertib dan
rutin melakukan sinkronisasi ke SIPP MA, maka prosentase
penyelesaian perkara sekitar 75% ke atas, atau indicator
berwarna kuning, namun masih banyak satker yang
prosentase penyelesaian perkara berada di bawah 75%.
Salah satu yang menyebabkan rendahnya prosentase
penyelesaian perkara yaitu duplikat data nomor perkara
yang sama, sehingga solusi yang dilakukan adalah dengan
cara menghapusnya di server MA.
Sejak Februari hingga awal Agustus 2016,
penghapusan data perkara bermasalah dari satker di
lingkungan peradilan agama dilakukan oleh Tim
Pengembang SIPP dari lingkungan Ditjen Badan Peradilan
Umum, dikarenakan belum adanya petugas penghapusan
database dari Ditjen Badan Peradilan Agama dank arena
alasan keamanan sehingga tidak sembarangan orang yang
memiliki hak akses ke server MA. Oleh karena itu Ditjen
Badilag mengusulkan Tim Pengembang SIPP dari Ditjen
Badilag untuk diberikan hak akses ke server guna
148
melakukan penghapusan data perkara bermasalah.
Sehingga mulai pertengahan Agustus 2016 hingga
sekarang, usulan penghapusan telah dikerjakan oleh tim
yang berjumlah tiga orang dari Ditjen Badan Peradilan
Agama.
Selain melakukan penghapusan database bermasalah,
Tim dari Ditjen Badilag juga mempunyai kewenangan untuk
melakukan backup database perkara atas usulan satker
terkait. Alasan backup database beragam, diantaranya
kesalahan teknis penginstalan sehingga menyebabkan
seluruh database di SIPP lokal hilang, Database Error dan
Bad Sector Hardisk. Setelah tim mengunduh database
satker terkait di server MA, database tersebut diberikan ke
satker untuk dipulihkan kembali ke server SIPP lokal.
6) Survey Pengembangan, Penyebarluasan dan
Penggunaan SIPP
Satuan kerja di lingkungan peradilan agama turut
serta berpartisipasi dalam survey pengembangan,
penyebarluasan dan penggunaan SIPP yang dilakukan oleh
SUSTAIN EU‐UNDP terhadap seluruh satuan kerja pada
empat lingkungan peradilan, melalui surat nomor
91/CASE/SUSTAIN/X/2017, tanggal 17 Oktober 2017 yang
ditujukan kepada Sekretaris Mahkamah Agung. Selanjutnya
Sekretaris Mahkamah Agung mengeluarkan Memorandum
nomor 120/SEK/M/10/2017, tanggal 19 Oktober 2017, hal
Survey Pengembangan, Penyebarluasan dan Pelaksanaan
SIPP. Menindaklanjuti memorandum tersebut, Ditjen
Badilag mengeluarkan surat nomor
3852/DjA/HM.02.3/10/2017, tanggal 25 Oktober 2017,
tentang Survey Pengembangan, Penyebarluasan dan
Penggunaan SIPP. Menindaklanjuti yang meneruskan.
Dalam surat tersebut, seluruh satker tingkat pertama
dan tingkat banding di lingkungan peradilan agama
diwajibkan mengisi blangko survey yang telah disiapkan
dari pihak SUSTAIN EU‐UNDP. Adapun respondennya
adalah seluruh pegawai pengguna SIPP dan pegawai lain
149
yang memberikan supporting unit, meliputi pimpinan,
perwakilan hakim, panitera, perwakilan panitera muda,
perwakilan panitera pengganti, perwakilan juru sita,
petugas meja I, kasir, petugas meja II, petugas meja III,
administrator sipp dan sekretaris.
Dalam survey implementasi SIPP ini menggunakan
adalah metode PIECES. Dengan metode ini, variabel‐
variabel SIPP yang akan dipantau dan diukur meliputi
Performance, Information, Economics, Control, Efficiency dan
Service (PIECES). Jika ditelaah, secara sederhana, variabel
Performances digunakan untuk mengetahui dan mengukur
kinerja dan keandala SIPP beserta pelbagai infrastruktur
pendukungnya, seperti perangkat lunak, perangkat keras,
listrik, jaringan dan bandwith.
Variabel Information digunakan untuk mengetahui
dan mengukur informasi dan data yang berasal dari dan
dihasilkan oleh SIPP, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Hal‐hal yang digali mulai dari proses masukan
(input), keluaran (output), hingga penyimpanan data.
Variabel Economics digunakan untuk mengetahui dan
mengukur biaya (cost) yang dikeluarkan untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan SIPP, serta
manfaat (benefit) yang dihasilkan darinya.
Variabel Control digunakan untuk mengetahui dan
mengukur pengendalian dan keamanan SIPP. Kontrol di sini
bersifat berjenjang, mulai dari kontrol oleh pengguna (user),
pimpinan pengadilan, hingga pimpinan MA. Variabel
Efficiency digunakan untuk mengetahui dan mengukur
efisiensi SDM, biaya, dan infrastruktur saat pengadilan
menggunakan SIPP untuk alat kerja dan pelayanan. Adapun
variabel Service digunakan untuk mengetahui dan
mengukur layanan yang diberikan aplikasi SIPP dan layanan
yang diberikan person maupun unit kerja yang bertanggung
jawab terhadap pengembangan dan implementasi SIPP.
Tiap‐tiap variabel terdiri dari puluhan statemen dan
pada tiap‐tiap statemen tersedia lima skala opini: Sangat
150
setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju dan sangat tidak
setuju. Hasilnya akan dianalisis secara kuantitatif dan
kualitatif. Data statistik beserta uraiannya itu pada akhirnya
akan menjadi bahan baku untuk pengambilan kebijakan MA
dalam pengembangan dan pengimplementasian SIPP.
Sampai akhir bulan Desember 2017, pihak SUSTAIN
EU‐UNDP belum menyampaikan hasil survey kepada
Mahkamah Agung, sehingga Ditjen Badilag maupun
lingkungan peradilan lain belum mengetahui hasil survey
dimaksud.
7) Perkembangan Implementasi SIPP di lingkungan
Peradilan Agama
Sejak pertama kali diimplementasi, SIPP telah
mengalami 15 kali perubahan, dari awalnya versi 3.1.1 dan
terakhir versi 3.2.0 yang diluncurkan pada tanggal 11
Desember 2017. Hal tersebut didasarkan pada surat
Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor
1012/SEK/HM.02.3/12/2017, tanggal 08 Desember 2017,
perihal Implementasi SIPP Versi 3.2.0 di Empat Lingkungan
Peradilan.
Dengan cepatnya perubahan versi SIPP, tentu saja
banyak perubahan/penambahan menu dan fungsinya.
Untuk itu, harus dibarengi dengan kemampuan SDM di
lingkungan peradilan agama dalam menguasai dan
mengoperasikan SIPP dan terpenting dukungan dan
komitmen seluruh unsur di lingkungan peradilan agama.
Sebagaimana isi surat Sekretaris Mahkamah Agung RI
Nomor 1012/SEK/HM.02.3/12/2017, tanggal 08 Desember
2017, perihal Implementasi SIPP Versi 3.2.0 di Empat
Lingkungan Peradilan, bahwa setiap pengadilan wajib
melakukan upgrade dari SIPP versi lama (3.1.5‐5) ke SIPP
versi baru (3.2.0) sampai batas waktu 31 Desember 2017.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Tim Satgas SIPP
Ditjen Badilag per 20 Desember 2017 diperoleh hasil bahwa
sebagian besar satker di lingkungan peradilan agama telah
melakukan upgrade versi SIPP.
151
Pengadmisistrasian Perkara berbasis Teknologi
yang telah diterapkan Pengadilan Agama mampu
menjawab segala bentuk tantangan zaman sehingga
dengan sistem digitalisasi pengadministrasian perkara
menjadikan proses administrasi mudah, cepat, efisien,
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
D. Modernisasi Manajemen Peradilan
1. Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung
a. Gagasan Reformasi Birokrasi di Indonesia
Gagasan reformasi birokrasi di Indonesia yang muncul
pada tahun 1998 merupakan jawaban atas krisis multidimensi
yang dirasa sudah sangat akut. Saat itu, masyarakat harus
menelan pil pahit berupa chaos, ketidakpastian dan
ketidakadilan. Mahkamah Agung RI, sebagai lembaga
penegakan hukum, berdiri kokoh di garda depan dalam
reformasi birokrasi.
Ketentuan normatif yang mengatur mengenai reformasi
birokrasi diawali dengan adanya Tap MPR RI Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok‐Pokok Reformasi Pembangunan
dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional dan Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
Sekali lagi, latar belakang munculnya gagasan reformasi
birokrasi tidak lain karena krisis multidimensi yang dialami
Indonesia tahun 1997‐1998. Krisis tersebut menuntut
pemerintah segera mereformasi penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Masyarakat menuntut agar
pemerintah dapat mewujudkan sistem pemerintahan yang
demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan
rakyat. Sejak itu, berbagai perubahan penting terjadi sebagai
tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum,
ekonomi, dan birokrasi. Fase ini juga dikenal sebagai reformasi
gelombang pertama.
Kondisi Negara Indonesia yang terpuruk pada satu
dekade sebelum muncul gagasan reformasi birokrasi, menjadi
152
kendala sehingga agenda besar reformasi yang digaungkan
sejak tahun 1998 tersebut, tidak seperti yang diharapkan,
terkesan mandul dan bahkan dianggap mundur.
Keterpurukan tersebut tidak menyurutkan semangat
pemerintah dalam menghadirkan reformasi birokrasi.
Setidaknya, dalam interval waktu sejak tahun 1998 sampai
2010 terdapat beberapa peraturan yang dikhususkan untuk
reformasi birokrasi. Puncaknya, tahun 2010, Presiden RI
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010‐2025 (Perpres
81 Tahun 2010). Perpres ini kemudian direspon oleh Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010‐2014 (Permenpan RB 20 Tahun 2010), sebagai
pengejawantahan reformasi birokrasi pada berbagai
kementerian dan lembaga pemerintah.
b. Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung
Resonansi reformasi birokrasi yang digalakkan
pemerintah, juga sampai di Mahkamah Agung. Sejatinya,
Mahkamah Agung telah melangkah lebih dahulu dalam
melakukan reformasi birokrasi, dibanding beberapa lembaga
lainnya. Jauh sebelum lahirnya Perpres 81 Tahun 2010,
Mahkamah Agung sudah memiliki Cetak Biru Mahkamah
Agung 2003 yang sejalan dengan program pemerintah untuk
menegaskan kembali urgensi penerapan prinsip clean and good
governance. Prinsip ini secara universal diyakini menjadi prinsip
yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat.
Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung RI ini,
merupakan sebuah pedoman, arah dan pendekatan yang akan
ditempuh oleh Mahkamah Agung untuk mengembalikan citra
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang terhormat dan
dihormati oleh masyarakat dan Lembaga Negara lainnya.140
140
Bagir Manan, Kata Pengantar Cetak Biru (Blueprint) Pembaharuan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (RI), Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), The Asia Foundation, United
153
Sebagai langkah serius menjalankan program reformasi
birokrasi, pemerintah pada tahun 2007 menetapkan
Kementerian Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Pemeriksa
Keuangan dan Mahkamah Agung sebagai instansi
percontohan reformasi birokrasi. Masing‐masing lembaga
yang menjadi percontohan reformasi birokrasi tersebut
merumuskan program quick wins yang sesuai dengan
karakteristik lembaga dan terutama yang menyentuh pada
aspek‐aspek kebutuhan pelayanan publik.
Mahkamah Agung pada tahun 2009 meluncurkan
program quick wins sebagai program prioritas yaitu: 1)
Transparansi Putusan; 2) Pengembangan Teknologi Informasi;
3) Pengelolaan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak); 4)
Kode Perilaku Hakim; 5) Manajemen Sumber Daya Manusia,
khususnya analisa pekerjaan, evaluasi pekerjaan dan sistem
remunerasi (dalam hal ini yang dimaksud adalah tunjangan
kinerja). Kemudian dilanjutkan dengan program unggulan
(quick wins) Mahkamah Agung 2015‐2019 yang menyangkut: 1)
Revolusi Mental/Perubahan Mental Model/Perilaku Aparatur;
2) Restrukturisasi Organisasi Mahkamah Agung; 3)
Pengembangan Teknologi Informasi; 4) Penguatan
Pengawasan; 5) Sumber Daya Manusia Aparatur; 6)
Peningkatan Pelayanan Publik.141
Keenam program quick wins tersebut merupakan
program unggulan yang menjadi target terlaksananya Road
Map Mahkamah Agung 2015–2019 dalam rangka mewujudkan
tatanan perubahan sikap mental sumber daya manusia
menjadi sumber daya manusia yang profesional dan
mempunyai integritas yang tinggi, organisasi yang tepat
ukuran dan tepat fungsi, birokrasi yang efektif dan efisien, e‐
government, dalam rangka mewujudkan birokrasi yang bersih
State Agency for International Development (USAID), dan Partnership for Governance Reform In
Indonesia (Partnership), tahun 2003, hlm. 1.
141
Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung
Republik Indonesia 2015‐2019, Jakarta, Kepaniteraan MA RI, hlm. vi
154
dan akuntabel, birokrasi yang efektif dan efisien serta
pelayanan publik yang berkualitas.
Pada tahun 2010, Mahkamah Agung melakukan redesign
terhadap Cetak Biru Mahkamah Agung tahun 2003 yang
kemudian dikenal dengan Cetak Biru Pembaruan Peradilan
2010‐2035. Cetak biru yang merupakan respons terhadap
Perpres 81 Tahun 2010 dipandang sebagai perubahan besar
terhadap salah satu lembaga penyangga keadilan di negeri ini.
Visi Mahkamah Agung yang telah ditetapkan pada cetak biru
tahun 2003 tetap dipertahankan untuk mewujudkan peradilan
yang agung yang pengejawantahannya terdapat pada 4 misi
Mahkamah Agung. Reformasi birokrasi yang di tubuh
Mahkamah Agung RI, dilakukan secara terstruktur dan massive
oleh seluruh lembaga peradilan di bawahnya.
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035 disusun
berdasarkan sebuah proses yang partisipatif bersama para
perwakilan hakim dan staf dari Mahkamah Agung dan
pengadilan dari 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya,
serta pemangku kepentingan seperti Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi,
para pakar dari berbagai universitas, masyarakat madani (civil
society organization) dan lain‐lain, Mahkamah Agung berhasil
menyepakati visi serta misi yang akan dicapai dalam 25 (dua
puluh lima) tahun mendatang. “Mewujudkan Badan Peradilan
yang Agung” adalah visi Mahkamah Agung yang akan menjadi
arah dan tujuan bagi setiap pengembangan program dan
kegiatan yang akan dilakukan di area‐area fungsi teknis dan
fungsi pendukung serta fungsi akuntabilitas.142
Mahkamah Agung sendiri berharap Cetak Biru (Blueprint)
yang dirancang untuk jangka waktu yang panjang yaitu 25
tahun dapat menjadi langkah besar untuk meraih kembali
kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan kita.
Dengan adanya Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035 ini,
Mahkamah Agung berharap proses pembaruan yang saat ini
142
Harifin A Tumpa, Kata Pengantar Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, Jakarta,
Mahkamah Agung RI, 2010, hlm. iii‐iv.
155
tengah dilakukan akan dapat berjalan lebih baik lagi, lebih
terstruktur, lebih terukur dan tepat sasaran. Selain itu
Mahkamah Agung berharap agar pembaruan yang tengah dan
terus akan dilakukan ini mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak, terutama stakeholders lembaga peradilan dan lembaga‐
lembaga lainnya.
Pada tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L)
serta pemerintah daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki
komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi.
Pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan, K/L dan
Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses
tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan
yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.
Presiden menegaskan kembali tekad pemerintah untuk
melanjutkan misi sejarah bangsa Indonesia untuk lima tahun
mendatang, yaitu melaksanakan reformasi gelombang kedua,
termasuk reformasi birokrasi. Reformasi gelombang kedua
bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan
ekor krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pada tahun
2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar‐
benar bergerak menuju negara maju.143
Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi
bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma
dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi
birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi
bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke‐21.
Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi
akan mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya:
mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap
penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat; menjadikan
negara yang memiliki most‐improved bureaucracy;
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat;
meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan
kebijakan/program instansi; meningkatkan efisiensi (biaya dan
143
Disampaikan pada pidato kenegaraan tanggal 14 Agustus 2009dalam rangka
memperingati ulang tahun ke‐64 Kemerdekaan RI di depan Sidang DPR RI.
156
waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi;
menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif
dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan
lingkungan strategis.
Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi
hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam
menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial
di abad ke‐21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan
pencapaian pemerintahan yang baik (good governance),
bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional.
c. Reformasi Peradilan (Court Reform)
Adriaan Bedner seorang pakar hukum yang juga dosen
senior pada Van Vallenhoven Insitute for Law (Leiden Law
School, Leiden University), menuliskan bahwa upaya
pembaruan peradilan di seluruh dunia dilakukan dengan tiga
pendekatan. Pertama, pendekatan holistik (holistic approach),
yang mengasumsikan bahwa pembaruan peradilan itu tidak
mungkin dilakukan, jika tidak meliputi semua aspek dari sistem
hukum sekaligus. Sayangnya pendekatan ini secara praktis
dianggap sulit tercapai, meskipun assessmen terhadap semua
aspek sistem hukum sudah dilakukan.
Pendekatan yang kedua adalah pembaruan taktis
(tactical reforms). Pendekatan ini adalah upaya yang bersifat ad
hoc untuk memperbaiki kekurangan tertentu dari sistem
peradilan, minus kehati‐hatian dalam memandang
keterkaitannya dengan persoalan yang lain. Sayangnya
pendekatan ini juga kurang memberikan dampak perubahan
yang besar, bahkan terkesan menghambur‐hamburkan biaya.
Akhirnya, pendekatan reformasi peradilan menemukan
keseimbangannya (equilibrium) dengan menggabungkan
kedua pendekatan tersebut yang disebut reformasi strategis
(strategic reforms). Inilah pendekatan ketiga. Pada tataran
ruang lingkup, pendekatan ini menyerupai pembaruan taktis,
akan tetapi berangkat dari analisis yang hati‐hati terhadap
suatu permasalahan sehingga tidak melupakan persoalan‐
157
persoalan penting yang perlu dilibatkan untuk menguatkan
dampaknya terhadap perubahan.144
Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor : 033/KMA/SK/III/2011 tentang
Pembentukan Tim Pembaruan Peradilan, menegaskan bahwa
setiap kelompok kerja dalam Tim Pembaruan Peradilan
bertanggungjawab untuk melaksanakan dan menyelesaikan
program dan kegiatan reformasi birokrasi sesuai dengan
areanya.
Reformasi peradilan sebagai payung perubahan
Mahkamah Agung dan badan‐badan peradilan di bawahnya,
mencakup pembaruan dalam tugas pokoknya, yaitu
manajemen perkara. Bila dikaitkan dengan reformasi birokrasi,
manajemen perkara erat berhubungan dengan pelayanan
publik, utamanya pihak pencari keadilan dan pengguna
pengadilan. Manajemen perkara dalam hal ini berkaitan
dengan kecepatan memutus perkara dan kualitas putusan.
d. Reformasi Birokrasi dalam Bingkai Normatif
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang‐Undangan, jenis dan
hierarki Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas: a.
Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.
Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐
Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Terdapat beberapa peraturan perundangan terkait
dengan Reformasi Birokrasi antara lain sebagai berikut:
Tahun Peraturan
1998 1. Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok‐
Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
144
Adriaan Bedner, Court Reform: Law, Governance, And Development Research & Policy
Notes, Leiden, Leiden University Press, 2008, hlm. 5‐6.
158
Nasional;
2. Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
1999 1. Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
2001 1. Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa;
2. Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
2002 1. Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 yang
mengamanatkan percepatan pertumbuhan
ekonomi nasional termasuk reformasi birokrasi
dan membangun penyelenggaraan negara dan
dunia usaha yang bersih;
2. Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 yang
mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi,
dan nepotisme, penegakan dan kepastian hukum,
serta reformasi birokrasi dengan penekanan pada
kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih
dan bertanggungjawab, serta dapat menjadi
pelayan masyarakat dan abdi negara.
2003 1. Cetak Biru Mahkamah Agung 2003
2008 1. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
15/M.PAN/2008 tentang Pedoman Umum
Reformasi Birokrasi
2009 1. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan
Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di
Lingkungan/Lembaga/Pemerintah Daerah
2010 1. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010‐
159
2025
2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun
2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010‐2014
3. Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035
4. SK Sekretaris MA 012.A/SEK/SK/III/2010 tentang
Pembentukan Tim Pengembangan Laporan
Reformasi Birokrasi MA RI
2011 1. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 9 Tahun
2011 tentang Pedoman Penyusunan Road Map
Reformasi Birokrasi
2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun
2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Manajemen
Perubahan
3. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun
2011 tentang Penjaminan Kualitas (Quality
Assurance) Pedoman Monitoring Evaluasi dan
Reformasi Birokrasi
4. SK KMA 071/KMA/SK/V/2011 tentang Tim
Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI
2014 1. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun
2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi
Birokrasi
2015 1. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun
2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2015‐2019
2. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2015
tentang Pembentukan Komite Pengarah dan Tim
Reformasi Birokrasi Nasional
3. SK Sekretaris MA 41/SEK/SK/9/2015 tentang
160
Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung
RI 2015‐2019
2016 1. SK Sekretaris MA 23/SEK/SK/IV/2016 tentang Tim
Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI
Keberadaan Tap MPR dalam hierarki peraturan
perundang‐undangan diatur dalam hierarki peraturan
perundang‐undangan, diatur dalam Tap MPRS Nomo XX
Tahun 1996 dan Tap MPR Nomor III Tahun 2000. Namun tidak
demikian pada UU 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang‐Undangan. Pasal 7 ayat (1) UU 10 Tahun
2004 mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan hierarki peraturan
perundang‐undangan yang ada dalam hierarki.
Hal ini dapat dipahami sejalan dengan semangat zaman
yang dapat dirasakan pada awal reformasi, yang mengarah
pada penghilangan wewenang MPR sebagai lembaga tertinggi
menjadi lembaga tinggi sejajar dengan lembaga‐lembaga
negara utama lainnya. Kemudian, UU 12 Tahun 2011 sebagai
pengganti UU 10 Tahun 2004, memasukkan kembali Tap MPR
ke dalam jenis‐jenis peraturan perundang‐undangan yang ada
pada hierarki sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
e. Grand Design dan Roadmap
Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses
tumpang tindih (overlapping) antar fungsi‐fungsi
pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan
anggaran yang tidak sedikit. Selain itu, reformasi birokrasi
perlu menata ulang proses birokrasi dari tingkat (level)
tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru
(innovation breakthrough).
Oleh karena itu, reformasi birokrasi nasional perlu
merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan
berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat
dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi
pemerintah dengan paradigma dan peran baru. Upaya
tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map
reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan
161
penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi suatu living
document.
Grand Design Reformasi Birokrasi adalah rancangan
induk yang berisi arah kebijakan pelaksanaan reformasi
birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010‐2025. Sedangkan
Road Map Reformasi Birokrasi adalah bentuk operasionalisasi
Grand Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan
setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci
reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya
selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas.
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010‐2025 dan Road
Map Reformasi Birokrasi 2010‐2014 merupakan
penyempurnaan dari Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor:
PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi
Birokrasi dan Permenpan Nomor: PER/04/M.PAN/4/2009
tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi
Birokrasi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah
Daerah.
Jika Grand Desain Reformasi Birokrasi mengusung
rentang waktu (timeline) dari tahun 2010‐2025, maka
Mahkamah Agung melalui Cetak Biru Pembaruan Badan
Peradilan menghabiskan waktu yang lebih panjang dari tahun
2010‐2035. Bahkan di tahun 2015, sudah disiapkan Road Map
Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI 2015‐2019.145
Respons Mahkamah Agung terhadap upaya reformasi
birokrasi yang diusung oleh pemerintah salah satunya adalah
mengintegrasikannya dengan upaya pembaruan peradilan.
Penyikapan ini terbilang tepat, karena upaya pembaruan di
pengadilan telah terlebih dahulu dilakukan ketimbang gagasan
reformasi birokrasi.
145
Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI Tahun 2015‐2019 ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor 41/SEK/SK/20015 tentang
Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia 2015‐2019. SK Sekretaris
Mahkamah Agung RI ini merupakan respons terhadap Permenpan RB Nomor 11 Tahun 2015
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015‐2019.
162
Ditilik dari maksud dan tujuannya, kedua upaya tersebut
masih dalam aras yang sebangun, yakni mendorong fungsi
peradilan yang efektif sebagai lembaga penyelesaian sengketa
sekaligus memberikan pelayanan yang lebih akuntabel dan
transparan terhadap para pencari keadilan dan masyarakat
lainnya yang bersinggungan dengan dunia peradilan.
Efektifitas, akuntabilitas dan transparansi ini, menurut Adriaan
Bedner, akan terrefleksi dengan berfungsinya sistem peradilan
dengan layak (a properly working courtsystem).146
Pada sisi yang lebih makro, berfungsinya sistem
peradilan tersebut memberikan sumbangsih terhadap
perwujudan banyak tujuan pembangunan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi, antara lain dengan memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, penyelesaian konflik
sosial, dan perlindungan terhadap hak‐hak kebendaan.
f. Mahkamah Agung Lokomotif RB
Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman serta peradilan negara tertinggi mempunyai posisi
dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena
tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan tetapi
juga sebagai puncak manajemen di bidang administratif,
personil dan finansial serta sarana prasarana. Kebijakan “satu
atap”, memberikan tanggungjawab dan tantangan karena
Mahkamah Agung dituntut untuk menunjukkan
kemampuannya guna mewujudkan organisasi sebagai
lembaga yang profesional, efektif, efisien, transparan serta
akuntabel.
Berdasarkan penilaian Government Effectiveness Index
(Indeks Efektivitas Pemerintah) yang dilakukan Bank Dunia,
Indonesia memperoleh skor ‐0,2 pada tahun 2013, ‐0,04 pada
tahun 2014, dan ‐0,24 pada tahun 2015, dari skala ‐2.5
menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik.
Meskipun pada tahun 2014 mengalami peningkatan menjadi ‐
0,04, skor tersebut masih menunjukkan kapasitas
146
Adriaan Bedner, Court Reform: Law, Governance, And Development Research & Policy
Notes, Leiden, Leiden University Press, 2008, hlm. 5‐6
163
kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal
jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara‐
negara tetangga.147
Indeks Efektivitas Pemerintah merupakan suatu metode
penelitian yang bertujuan menangkap persepsi kualitas
layanan publik, kualitas layanan sipil dan tingkat
independensinya dari tekanan politik, kualitas formulasi
kebijakan dan implementasi, dan kredibilitas komitmen
pemerintah terhadap kebijakan tersebut.
g. Jalan Terbuka Menuju Court Excellence
Untuk mewujudkan cita‐cita menuju badan peradilan
yang agung (excellence court), tentu harus dikaitkan dengan
Cetak Biru Pembaruan Pengadilan 2010‐2035 yang memuat
perencanaan strategis untuk 25 (duapuluh lima tahun)
mendatang, dengan maksud untuk lebih mempertajam arah
dan langkah dalam mencapai cita‐cita pembaruan badan
peradilan secara utuh.
Selain bertolak dari evaluasi implementasi Cetak Biru
2003, penyusunan Cetak Biru 2010‐2035 ini juga dilakukan
berdasarkan Organizational Diagnostic Assessment (ODA) yang
dilakukan dengan pendekatan kerangka pengadilan yang
unggul (The Framework of Courts Excellence). Kerangka ini
terdiri dari 7 (tujuh) area “Peradilan yang Agung” yang dibagi
ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: driver
(pengarah/pengendali), system and enabler (sistem dan
penggerak), dan result (hasil).148
Proses ODA melibatkan seluruh pemangku kepentingan
Pengadilan (internal dan eksternal). Berdasarkan hasil ODA
ditemukan permasalahan yang mengemuka dari MA dan
badan‐badan peradilan di bawahnya terkait dengan 2 fungsi,
yaitu fungsi peradilan dan pengawasan. Sehubungan dengan
usaha perbaikan internal, fungsi administrasi dan pengaturan
menjadi sangat penting untuk membentuk organisasi yang
147
https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/wb_government_effectiveness/
148
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010, hlm.
4‐5
164
kuat. Dari semua itu, diperlukan adanya pemimpin yang
mampu menjadi model keteladanan.
Hasil ODA selanjutnya digunakan sebagai salah satu
bahan utama pada Sarasehan Pimpinan MA untuk
merumuskan Visi dan Misi Peradilan 2035. Untuk
mendapatkan pengadilan yang mampu memberikan
pelayanan keadilan yang sebaik‐baiknya, maka di samping
mendorong penyempurnaan pelayanan pada ketujuh area
perubahan, nilai‐nilai pengadilan serta kualitas kinerja pun
harus diperkuat, dan disempurnakan.
Excellence Court yang merupakan hasil dari konsorsium
Internasional ini memperkenalkan tujuh area vital yang harus
diterapkan untuk terwujudnya sebuah pengadilan yang agung
(excellent court).Adapun ketujuh area itu yaitu:
1) Kepemimpinan dan Manajemen Pengadilan.
Kepemimpinan yang kuat dan berkarakter dibarengi
dengan manajemen peradilan yang bagus adalah kunci
utama terwujudnya efektifitas dan efisiensi pelayanan.
2) Kebijakan Pengadilan.
Kepemimpinan yang kuat dan manajemen yang efektif
diaktualisasikan dalam bentuk kebijakan‐kebijakan yang
mengarah kepada evaluasi kinerja dan berusaha
mengantisipasi perubahan yang terjadi serta
mengakomodasi kebutuhan dan harapan masyarakat
akan pelayanan yang berkeadilan.
3) Proses Penanganan Perkara.
Proses penanganan perkara yang efektif dan efisien akan
terwujud jika ada sinergi yang baik antara hakim dan
staff pengadilan. Hakim memfokuskan diri pada proses
pemeriksaan perkara, sementara staf menangani aspek
administrasinya. Ketepatan Waktu dan durasi
penanganan perkara harus benar‐benar dimonitor.
Perkara‐perkara diperiksa dan diputus mengikuti
Standard Operating Procedures (SOP) yang telah
ditetapkan.
165
4) Kepercayaan Publik.
Pelayanan sebuah pengadilan dianggap sukses jika ada
tingkat kepuasan yang tinggi dari masyarakat pengguna
jasa pengadilan. Harus ada ukuran yang jelas mengenai
kepercayaan publik ini. Meski hasil survey LDF (Legal
Development Facilities‐AUSAID) tahun 2007 menyebut
tingkat kepuasan pengguna jasa PA mencapai level 70‐80
%, tetapi angka ini bisa jauh melorot jika warga Peradilan
Agama tidak selalu meningkatkan kualitas
pelayanannya.
5) Kepuasan Pengguna Pengadilan.
Kepuasan Pengguna Jasa Pengadilan ini berkaitan erat
dengan tingkat kepercayaan publik diatas. Tantangan
bagi sebuah pengadilan adalah bagaimana para pihak
bisa merasa puas meskipun mereka harus ‘kalah’ dalam
perkara yang diajukannya.
6) Sumber Daya Pengadilan.
Sumber Daya Pengadilan di sini termasuk Sumber Daya
Manusia, Infrastruktur dan dukungan finansial. SDM
memegang peranan vital dalam tercapainya court
excellence, terlebih jika di‐back‐up dengan infrastruktur
dan dana yang memadai. Usaha Peningkatan SDM di
kalangan Peradilan Agama ditambah dengan
peningkatan anggaran yang sangat signifikan sejak
diberlakukannya sistem satu atap dalam pembinaan
Mahkamah Agung RI seharusnya faktor penggerak
utama bagi Peradilan Agama untuk tampil sebagai
excellent courts. Oleh karenanya, tidak ada lagi alasan
bagi Peradilan Agama untuk tidak menerapkan prinsip‐
prinsip Court Excellence. SDM kita memadai, dukungan
infrastruktur dan finansial juga kita punya, meski
memang masih butuh ditingkatkan anggarannya.
7) Pelayanan Pengadilan yang Terjangkau.
Pengadilan yang excellent adalah pengadilan yang
terjangkau dan mudah diakses oleh siapa pun yang
membutuhkannya. Tidak hanya secara fisik bisa diakses
166
tetapi juga virtually accessible (dapat diakses secara
virtual). Fokus Badilag yang memprioritaskan Justice for
the Poor dan access to Justice bertali kelindan dengan
poin ketujuh dari Court excellence ini.
MA telah berupaya membangun citra positif peradilan
melalui berbagai program berdasarkan arahan dalam Cetak
Biru tahun 2003. Namun kenyataannya, berdasarkan hasil
evaluasi yang dilakukan MA pada tahun 2008, baru 30% yang
berhasil dilaksanakan. 149 Sedangkan hasil ODA pada tahun
2009 dengan menggunakan instrumen Court of Excellence
menunjukan bahwa secara umum lembaga peradilan Indonesia
baru mencapai kurang dari 50% untuk mewujudkan sebuah
Court of Excellence.
Visi Badan Peradilan yang berhasil dirumuskan oleh
Pimpinan MA pada tanggal 10 September 2009 adalah:
“TERWUJUDNYA BADAN PERADILAN INDONESIA YANG
AGUNG”. Visi Badan Peradilan tersebut di atas, dirumuskan
dengan merujuk pada Pembukaan UUD 1945, terutama alinea
kedua dan alinea keempat, sebagai tujuan Negara Republik
Indonesia.
Dalam cetak biru ini dituangkan usaha‐usaha perbaikan
untuk mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung.
Badan Peradilan Indonesia yang Agung, secara ideal dapat
diwujudkan sebagai sebuah Badan Peradilan yang:
1) Melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman secara
independen, efektif, dan berkeadilan;
2) Didukung pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara
mandiri yang dialokasikan secara proporsional dalam
APBN;
3) Memiliki struktur organisasi yang tepat dan manajemen
organisasi yang jelas dan terukur;
4) Menyelenggarakan manajemen dan administrasi proses
perkara yang sederhana, cepat, tepat waktu, biaya
ringan dan proporsional;
149
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010, hlm.
9‐10.
167
5) Mengelola sarana prasarana dalam rangka mendukung
lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan kondusif bagi
penyelenggaraan peradilan;
6) Mengelola dan membina sumber daya manusia yang
kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta
personil peradilan yang berintegritas dan profesional;
7) Didukung pengawasan secara efektif terhadap perilaku,
administrasi, dan jalannya peradilan;
8) Berorientasi pada pelayanan publik yang prima;
9) Memiliki manajemen informasi yang menjamin
akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi;
10) Modern dengan berbasis TI terpadu.
Adapun misi Badan Peradilan 2010‐2035, adalah: 1)
Menjaga kemandirian badan peradilan; 2) Memberikan
pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.
3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan; 4)
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Jika mengacu pada Road Map Reformasi Birokrasi MA
tahun 2015‐2019, maka Road Map Mahkamah Agung
berdasarkan Cetak Biru tahun 2010‐2035, memuat
perencanaan strategis untuk 25 (dua puluh lima tahun)
mendatang, yang dimaksudkan untuk lebih mempertajam
arah dan langkah dalam mencapai cita‐cita pembaruan badan
peradilan secara utuh. Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 telah disusun
strategi pembangunan melalui tiga dimensi pembangunan
yaitu dimensi pembangunan manusia, dimensi pembangunan
sektor unggulan, serta dimensi pemerataan dan kewilayahan.
Untuk menjamin terlaksananya ketiga dimensi tersebut
tentunya juga didukung dengan kepastian dan penegakan
hukum, keamanan, dan ketertiban, politik dan demokrasi serta
tata kelola reformasi birokrasi yang seharusnya berjalan
dengan baik.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung
terus mengiringi upaya pencapaian visi, misi, dan kinerja
168
Mahkamah Agung yang dilaksanakan dengan penuh semangat
dan melibatkan semua aspek yang mendukung.
Untuk mewujudkan aspek‐aspek keberhasilan tersebut,
diperlukan beberapa faktor pendukung sebagai kunci
keberhasilan yang dalam istilah Reformasi Birokrasi disebut
faktor kunci keberhasilan. Adapun faktor kunci keberhasilan
Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung antara lain: Pertama,
Komitmen semua level manajemen mengawal keberhasilan
Reformasi Birokrasi. Dalam seluruh tahap Reformasi Birokrasi
Mahkamah Agung, komitmen pimpinan selalu didapatkan,
ditandai dengan penandatanganan kesiapan pimpinan
Mahkamah Agung untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi,
serta pelaksanaan Reformasi Birokrasi menjadi fokus prioritas
kegiatan Mahkamah Agung sejak diterbitkannya cetak biru
Mahkamah Agung tahun 2003‐2009 dan Cetak Biru 2010‐2035.
Kedua, Internalisasi Reformasi Birokrasi melalui integrasi
kegiatan utamanya terkait revolusi mental pada aparatur
Mahkamah Agung. Pada hakikatnya, seluruh pelaksanaan
program dan kegiatan di Mahkamah Agung merupakan
program dan kegiatan yang mengalami proses perbaikan
secara terus menerus, dengan tujuan utama untuk
kepentingan masyarakat.
Ketiga, Mengerahkan seluruh sumber daya untuk
mendukung Reformasi Birokrasi. Keterlibatan seluruh
komponen organisasi, merupakan salah satu bentuk komitmen
pimpinan Mahkamah Agung untuk mensukseskan Reformasi
Birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung. Upaya pengerahan
seluruh sumber daya juga akan dijalankan seiring dengan
peningkatan efisiensi penggunaan anggaran dan efektifitas
pemanfaatan sarana dan prasarana.
Keempat, Pelaksanaan Reformasi Birokrasi secara
konsisten. Reformasi Birokrasi di lingkungan Mahkamah
Agung diupayakan menjadi kebutuhan Mahkamah Agung,
tidak hanya ketika Reformasi Birokrasi menjadi prioritas
pemerintah, tetapi sudah merupakan kebutuhan organisasi.
169
Kelima, Pencapaian dan peningkatan target secara
berkesinambungan. Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah
sesuatu yang dilakukan untuk tujuan birokrasi yang lebih baik.
Keenam, Upaya perbaikan dilakukan secara terus‐
menerus, holistik, terstruktur, dan berorientasi pada hasil.
Upaya perbaikan terus menerus akan dilakukan baik dari sisi
dokumen (akan menjadi living document) maupun pada tahap
implementasi serta monitoring dan evaluasinya.150
Meskipun demikian, ternyata masih banyak
permasalahan dalam area Reformasi Birokrasi dalam tubuh
Mahkamah Agung, antara lain perilaku negatif yang
ditunjukkan dan dipraktikkan oleh para birokrasi. Perilaku ini
mendorong terciptanya citra negatif birokrasi. Perilaku yang
sudah menjadi mental model birokrasi yang dipandang lambat,
berbelit‐belit, tidak inovatif, tidak peka, inkonsisten, malas,
feodal, dan lainnya. Karena itu, fokus perubahan reformasi
birokrasi ditujukan pada perubahan metal aparatur. Perubahan
mental model/perilaku aparatur diharapkan akan mendorong
terciptanya budaya kerja positif yang kondusif bagi
terciptanya birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif, dan
efisien serta mampu memberikan pelayanan yang berkualitas.
Kemudian, Mahkamah Agung memberikan beberapa
solusi dalam menindaklanjuti permasalahan perilaku aparatur
sebagai langkah melakukan revolusi mental birokrasi, yaitu :
(1) Penerapan sistem Manajemen SDM Aparatur yang berbasis
Sistem Informasi. (2) Penguatan kepemimpinan pada masing‐
masing instansi. (3) Pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi. (4) Transparansi pengelolaan pelayanan publik,
dan (5) Penguatan fungsi pengawasan.151
Pelayanan publik merupakan aspek lain yang selalu
menjadi sorotan masyarakat. Penerapan sistem manajemen
pelayanan belum sepenuhnya mampu mendorong
150
Mahkamah Agung, Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI Tahun 2015‐
2019, Jakarta, 2015, hlm. 20.
151
Mahkamah Agung, Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI Tahun 2015‐
2019, Jakarta, 2015, hlm. 78.
170
peningkatan kualitas pelayanan, yang lebih cepat, murah,
berkekuatan hukum, nyaman, aman, jelas, dan terjangkau
serta menjaga profesionalisme para petugas pelayanan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penguatan terhadap sistem
manajemen pelayanan publik agar mampu mendorong
perubahan profesionalisme para penyedia pelayanan serta
peningkatan kualitas pelayanan. Langkah yang ditempuh oleh
Mahkamah Agung ialah: (1) Meningkatnya sistem monitoring
dan evaluasi terhadap kinerja pelayanan publik; (2)
Meningkatnya kualitas pelayanan publik sesuai kebutuhan dan
harapan masyarakat; (3) Meningkatnya profesionalisme
aparatur.
Estafet pembaruan MA berlanjut dengan mendesain
peta jalan sesuai blue print MA 2010‐2035. MA telah
menetapkan beberapa program unggulan (quick wins) sebagai
akselerasi pengintegrasian reformasi birokrasi ke dalam
reformasi peradilan. Di antaranya transparansi peradilan,
pengembangan teknologi informasi, pengelolaan PNBP, kode
etik hakim, dan manajemen sumber daya manusia. Kemudian,
secara berkelanjutan MA menetapkan program unggulan
perlima tahunan, yakni quick wins 2015‐2019. Anasir program
unggulan tersebut meliputi revolusi mental aparatur peradilan,
restrukturisasi organisasi, pengembangan teknologi informasi,
penguatan pengawasan, peningkatan SDM, dan pelayanan
publik.
Pelaksanaan program unggulan tersebut terbukti
menjadi pengungkit bagi pembaruan proses peradilan di
seluruh Indonesia. Bahkan, kebijakan MA ibarat lompatan
quantum karena bergerak sebelum menjadi kebijakan masif
lembaga lainnya. Salah satu kebijakan yang dianggap sebagai
lompatan quantum ialah lahirnya Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor: 144/KMA/SK/VIII/2007 tanggal 28 Agustus 2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Kebijakan ini
lahir jauh sebelum DPR mengesahkan Undang‐Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang
baru berlaku sejak 1 Mei 2010.
171
Salah satu program unggulan MA yang memeroleh
respons positif dari masyarakat ialah ihwal
transparansi/keterbukaan informasi. Hal ini dikarenakan
pengadilan selalu lekat dengan stigma ketertutupan dan
kecurangan. Oleh karena itu, ikhtiar membuka kran informasi
di pengadilan adalah sebuah terobosan besar. Namun
demikian, keterbukaan informasi masih memerlukan piranti
teknologi informasi sebagai penunjangnya. Sebagai amsal,
untuk mengunggah putusan, MA membutuhkan peranti
teknologi (website). Karena itu, pengembangan teknologi
informasi juga menjadi salah satu program unggulan MA.
Jika ditilik dalam laman website kepaniteraan MA, tahun
2015 jumlah putusan di portal direktori putusan Mahkamah
Agung sebanyak 1.622.605 putusan. Jumlah itu meningkat
menjadi 2.061.320 putusan sampai dengan akhir Desember
2016. Melalui publikasi putusan publik dengan mudah
mengakses produk pengadilan. Publikasi putusan juga dapat
memacu peningkatan kualitas putusan hakim karena setiap
orang dapat menilai kualitas putusan pengadilan. Hakim akan
terpacu untuk membuat putusan yang lebih berkualitas karena
mahkota hakim terletak pada putusannya (Laporan Tahunan
MA Tahun 2016).
Telah menjadi keniscayaan, dalam menunjang kultur
keterbukaan dan otomasi pengadilan diperlukan kemahiran
penguasaan teknologi informasi. Arus informasi yang berderap
cepat, memerlukan agenda pengembangan sumber daya
manusia (SDM), sehingga aparat peradilan tidak tergilas oleh
perubahan. Apalagi pemanfaatan IT dalam proses birokrasi
sangat penting agar aparat peradilan terhindar dari pertemuan
langsung dengan pihak berperkara.
Otomasi pengadilan merupakan ikhtiar agar kinerja lebih
efisien, lebih zakelijk, juga menghindari kemungkinan adanya
pungutan‐pungutan liar oleh aparat peradilan maupun praktik
penyuapan yang dilakukan oleh oknum tertentu. Efek
kemajuan teknologi informasi dan tuntutan transparansi publik
tersebut berimplikasi pada beberapa kebijakan MA. Misalnya,
172
pembayaran voorschot bagi pencari keadilan melalui bank.
Tujuannya agar aparat peradilan steril dari permainan uang
perkara. Pengadilan hanya memberikan informasi terkait
prosedur beracara dan biaya perkara. Begitu perkara itu putus,
sisa uang perkara dikembalikan kepada pihak berperkara. Jika
dalam tempo enam bulan tidak diambil, uang tersebut
dikembalikan kepada kas negara sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Artinya, berlakunya kebijakan ini
merupakan bagian dari pengelolaan PNBP dan menghindari
praktik penumpukan uang tak bertuan untuk kepentingan
memperkaya diri.
Program unggulan MA lainnya yang menarik perhatian
ialah soal meja informasi dan pengaduan. Saat ini seluruh
pengadilan telah memiliki meja informasi dan pengaduan. Hal
ini sebagai kelanjutan dari program transparansi peradilan.
Meja Informasi merupakan garda utama dalam pelayanan di
setiap pengadilan. Prinsip dasar dari meja informasi adalah
sejauh mana pengadilan dapat memberikan informasi yang
diperlukan pencari keadilan dalam jangka waktu yang sesuai
standar prosedur. Sedangkan meja pengaduan digunakan
untuk menampung pengaduan masyarakat atas pelayanan
yang diberikan pihak pengadilan. Pelayanan informasi
pengadilan selain diberikan melalui fasilitas meja informasi,
juga disediakan melalui media elektronik yakni website resmi
pengadilan.
Saat ini seluruh pengadilan di Indonesia sudah memiliki
website resmi. Website pengadilan menampilkan informasi
seperti yang diatur dalam Undang‐Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan SK KMA
Nomor 1‐144/KMA/ SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan
Informasi Pengadilan. Begitu pula pengaduan masyarakat
dapat dilakukan dengan 8 model, yang salah satunya melalui
aplikasi SIWAS yang terkoneksi langsung dengan Badan
Pengawasan Mahkamah Agung.
Problem tunggakan perkara juga tak luput menjadi
prioritas penyelesaian MA. Jika dahulu penumpukan perkara
173
kerap jadi sorotan publik kini progresnya mencapai puncak
keemasan. Aturan tentang penyelesaian perkara tingkat kasasi
dan PK diberlakukan dengan mematok batas penyelesaian
maksimal tiga bulan setelah perkara diterima ketua majelis.
Hal ini termaktub dalam Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jangka Waktu Penyelesaian Perkara. Selain itu,
Ketua MA juga membatasi hakim agung melakukan kunjungan
ke luar negeri dan melarang hakim agung mengajar di
perguruan tinggi pada jam kerja. Kebijakan tersebut bertujuan
agar produktivitas penanganan perkara lebih maksimal. Alhasil
pada tahun 2016 produktivitas MA mampu mengikis tumpukan
perkara cukup signifikan. Jumlah perkara yang berhasil diputus
MA selama tahun 2016 sebanyak 16.223 dengan asumsi sisa
perkara tahu 2015 sebanyak 3.950 dan perkara diterima tahun
2016 sejumlah 14.630. Dengan demikian sisa tunggakan
perkara di MA sejumlah 2.357152
2. Dari ISO ke Akreditasi
a. Kebijakan Akreditasi di Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan di Bawahnya
Salah satu program unggulan Mahkamah Agung adalah
sejak tahun 2018 mendorong Pengadilan dibawahnya untuk
melaksanakan Akreditasi Penjaminan Mutu, dan hasilnya
berdasarkan rilis yang dimuat dalam Laporan Mahkamah Agung
RI Tahun 2018, untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan
Agama sudah dilaksanakan 100 %. Selanjutnya tahun 2018 baru 7
Pengadilan yang meraih predikat zona integritas menuju Wilayah
Bebas Korupsi (WBK), yaitu: Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,
Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam,
Pengadilan Agama Surabaya, Pengadilan Militer II – 08 Jakarta,
Pengadilan Militer II – 13 Madiun dan Pengadilan Tata Usaha
Negara Tanjung Pinang153.
152
Achmad Fauzi, Hatta Ali dan Reformasi Lembaga Peradilan, Jawa Pos, 15 Februari 2017.
153
“Mahkamah Agung Raih Penghargaan Zona Integritas”,
(https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/3339/mahkamah‐agung‐raih‐penghargaan‐zona‐
integritas‐wilayah‐bebas‐korupsi, diakses 28 Maret 2019).
174
Selanjutnya Program ini akan terus berjalan sampai
akhirnya seluruh lingkungan peradilan dibawah Mahkamah
Agung seluruhnya terakreditasi dan berpredikat Wilayah Bebas
Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. Seiring
dengan itu, pada tanggal 10 Desember 2018 lalu, Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Yang Mulia Prof. Dr. H.M.
Hatta Ali, S.H,M.H. telah dianugerahi Pemimpin Perubahan oleh
Pemerintah Republik Indonesia karena memiliki komitmen dalam
melakukan perubahan untuk menjaga tata kelola pemerintahan
yang lebih baik. Selain itu, penganugerahan tersebut diberikan
atas pertimbangan keberhasilan mereka mendorong
pembangunan zona integritas secara massif dan terkoordinir.
Untuk itu, baik program Akreditasi Penjaminan Mutu yang
harus konsisten dilaksanakan melalui kegiatan surveilan maupun
program Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas
Korupsi dan Wilayah Bersih Birokrasi dan Melayani wajib
dilaksanakan diseluruh lingkungan peradilan. Kedua program di
atas juga tidak lain dalam upaya percepatan terwujudnya
Reformasi Birokrasi sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor
81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 –
2025.
b. Akreditasi Penjaminan Mutu dan Pembangunan Zona
Integritas
Akreditasi Penjaminan Mutu (APM) dan pembangunan
Zona Integritas (ZI) merupakan dua program pembaruan
peradilan yang saling terkait dan berkesinambungan. Namun
demikian, keduanya memiliki beberapa persamaan dan
perbedaan.
Persamaan antara program Akreditasi Penjaminan Mutu
dan program Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah
Bebas Korupsi dan Wilayah Bersih Birokrasi dan Melayani, paling
tidak dalam hal sebagai berikut:
1) Mewujudkan Reformasi Birokrasi sehingga terciptanya good
governance dan clean government menuju aparatur
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya yang
bersih dan bebas dari KKN
175
2) Tujuannya yaitu upaya untuk melayani masyarakat secara
optimal dan maksimal oleh aparatur, sehingga
meminimalisir bahkan meniadakan keluhan dari masyarakat
terhadap pelayanan aparatur
3) Sumber data menggunakan standar yang telah ditetapkan
melalui Lembar Kerja Evaluasi (LKE) yang dibuktikan
dengan eviden‐eviden.
4) Metode penilaian dilakukan dengan cara telusur dokumen,
telaah dokumen dan observasi
Adapun perbedaan kedua program di atas, dapat dilihat
sebagai berikut:
PROGRAM KRITERIA POIN DASAR
PENILAIAN PENILAIAN HUKUM
Akreditasi 1. Leadership A = 100 % Program
Penjaminan 2. Costumer B = 50 % Unggulan
Mutu Fokus C = 0 Mahkamah
3. Process Agung RI
management Bobot =
4. Strategic 1000
Planning
5. Resources
Management
6. Dociment
System
7. Performance
Result
Pembangunan 1. Manajemen Nilai Permenpan
Zona Perubahan Pengungkit RB Nomor
Integritas (60 %) 52 Tahun
2. Penataan Nilai Hasil 2014
Tatalaksana (40 %)
3. Penataan
Sistem Bobot = 100
Manajemen
176
SDM
4. Penguatan
Akuntabilitas
Kinerja
5. Penguatan
Pengawasan
6. Penguatan
Kualitas
Pelayanan
Publik.
Implementasi program APM dan ZI tidak terbatas hanya
pada upaya satuan kerja memeroleh predikat dimaksud. Lebih
dari itu, keberhasilan program APM dan ZI dilihat dari
keberlanjutan penerapan prinsip‐prinsip birokrasi bersih dan
melayani dalam pelaksanaan fungsi lembaga peradilan.
Karenanya perlu ditetapkan sejumlah indikator tertentu dalam
menilai keberhasilan program APM dan ZI.
Indikator keberhasilan program Akreditasi Penjaminan
Mutu dan program Pembangunan Zona Integritas menuju
Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Bersih Birokrasi dan Melayani
bukan pada saat pengadilan mendapatkan predikat terbaik yang
dibuktikan dengan sehelai kertas penghargaan. Paling tidak ada
beberapa hal yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
1) Komitmen pimpinan dan seluruh aparatur untuk terus
berupaya meningkatkan kinerja dan memberikan pelayanan
yang terbaik kepada pengguna jasa pengadilan
2) Tidak ada lagi praktek gratifikasi, pungli, korupsi, kolusi dan
nepotisme
3) Perubahan pola pikir menuju kearah birokrasi bersih dan
melayani bukan birokrasi dilayani
4) Perubahan budaya kerja menuju Organisasi Berkinerja
Tinggi (High Performance Organization)
177
5) Pertanggungjawaban kinerja aparatur yang terukur
6) Kenyamanan, keamanan dan ketertiban lingkungan
pengadilan
7) Tidak ada lagi keluhan dan komplain pengguna jasa
pengadilan terhadap layanan yang diberikan
c. Perkembangan Instrumentasi Pembaruan Peradilan
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag)
kembali menggelar kegiatan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan
Mutu (SAPM) pada tahun 2018 ini, dengan berbagai
penyempurnaan. Agar proses dan hasil Sertifikasi Akreditasi
Penjaminan Mutu (SAPM) 2018 menjadi lebih baik, Ditjen Badilag
telah mengidentifikasi permasalahan secara komprehensif
sekaligus berupaya merumuskan solusi yang rinci. Hal ini dalam
rangka menyesuaikan konsep yang ditawarkan konsultan agar
sesuai dengan kebutuhan ril di pengadilan agama.
Secara garis besar, sebagaimana dikutip dari laman resmi
Ditjen Badilag, www.badilag.mahkamahagung.go.id, milestone
pelaksanaan SAPM 2018 dibagi dalam lima tahapan, sejak
Februari hingga Juli 2018. Pertama, merevisi pedoman SAPM
pengadilan tingkat pertama. Kedua, menyusun pedoman SAPM
tingkat banding. Ketiga, menyeleksi calon assessor eksternal.
Keempat, menyelenggarakan pelatihan calon assessor eksternal.
Dan kelima, mengadakan penilaian ke satker‐sakter.
Terkait dengan revisi pedoman SAPM, ada dua pedoman
yang sedang direvisi Badilag, yaitu pedoman standar penilaian
dan pedoman mekanisme penilaian. Dalam sistem penjaminan
mutu, pedoman yang pertama bersifat materiil, sedangkan
pedoman yang kedua bersifat formil. Di antara keduanya, Badilag
mendahulukan revisi pedoman standar penilaian. Revisi atau
penyempurnaan pedoman dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri
dari Ditjen Badilag, PTA, PA, dan hakim tinggi pada Badan
Pengawasan MA.
Program SAPM di lingkungan peradilan agama akan
diperluas, semula tahun 2017 SAPM hanya ditujukan untuk
pengadilan tingkat pertama, maka tahun 2018 ini program SAPM
ditujukan pula untuk pengadilan tingkat banding. Perluasan
178
cakupan ini merupakan suatu keniscayaan sebab tujuan akhir
proses akreditasi adalah meningkatnya pelayanan dan kepuasan
masyarakat.
SAPM tahun 2018 atau lebih familiar disebut SAPM jilid II,
merupakan sebuah penyempurnaan terhadap pola akreditasi dari
bentuk sebelumnya yaitu SAPM 2017. Perlu dilihat kembali
perihal perubahan SAPM 2018 yang disamakan dengan Peradilan
Umum.
Program ini merupakan sebuah konsep dan langkah
perubahan dalam peningkatan pelayanan di lingkungan peradilan
agama dengan memperhatikan isu eksternal dan internal,
kebutuhan pihak‐pihak berkepentingan (interested parties),
peningkatan kualitas pelayanan melalui inovasi, dan
pengembangan sumberdaya yang dimiliki (man, money, method,
machine and material).
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa SAPM
berorientasi pada pelayanan agar terwujud service excellent, dan
dalam historinya, SAPM merupakan pengejawantahan terhadap
standar ISO 9001:2015 yang telah diadopsi oleh Indonesia
menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) 19 9000. Standar ISO
9001:2015 merupakan standar manajemen mutu, sehingga tujuan
dari SAPM ini adalah mewujudkan hasil kinerja peradilan agama
yang unggul dan prima serta berstandar nasional dan
internasional melalui pencapaian dan pemenuhan kriteria (ISO
9001:2015).
Dengan memerhatikan SAPM jilid II sebagai bentuk
improvement (penyempurnaan), maka secara tidak langsung
terdapat beberapa unsur SAPM 2017 yang diubah dan
disempurnakan atau bahkan dihilangkan. Perubahan tersebut
antara lain meliputi ruang lingkup, konten dan prosentase
penilaian.
d. Pembaruan Konten
Ruang lingkup SAPM jilid II terdiri dari empat area, yaitu
administrasi manajemen, administrasi kesekretariatan,
administrasi kepaniteraan dan administrasi sarana dan prasarana.
Pada SAPM jilid II mempunyai ketegasan terhadap ruang lingkup
179
penilaian. Hal ini berbeda dengan SAPM tahun 2017, di mana
ketiga unsur pertama menjadi bagian terpenting dalam penilaian,
dan pada akhir penilaian (Komite Pusat), unsur yang terakhir yaitu
sarana prasarana menjadi bagian yang ikut dipertimbangkan
(bagian penilaian).
Pada SAPM jilid II, sarana prasarana menjadi bagian
penilaian yang ditetapkan sejak awal, sehingga pengadilan agama
mempunyai waktu yang cukup panjang untuk
mempersiapkannya.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara unsur‐unsur
penilaian yang terdapat pada SAPM 2017 dengan SAPM 2018 ini.
Pada SAPM 2017, standarisasi cenderung memperhatikan pola
administrasi manajemen dengan memperhatikan hukum acara,
pola bindalmin, buku II, ditambah dengan berbagai peraturan
yang menyangkut administrasi perkara dan administrasi
kesekretariatan.
Konsekuensinya, terjadi pemenuhan berbagai instrumen
perkara yang di beberapa tempat “mungkin” sudah ditinggalkan,
tetapi dengan SAPM jilid pertama tersebut, ditumbuhkan dan
dihidupkan kembali. Instrumen sebagai sarana komunikasi antara
komunikator dengan komunikan diterapkan kembali dalam case
flow di pengadilan agama.
Penerapan instrumen perkara didasarkan pada asumsi
bahwa setiap “transaksi” perkara harus diiringi dengan instrumen,
sebagai contoh seorang Ketua pengadilan agama yang telah
membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH), ia harus membuat
instrumen PMH untuk perkara tersebut, setelah itu Panitera akan
menunjuk Panitera pengganti dan Jurusita Pengganti. Pada saat
yang bersamaan Panitera membuat instrumen untuk
penunjukkan Panitera sidang dan instrumen penunjukkan Juru
Sita.
Kerumitan SAPM jilid I yang terdapat pada instrumen
perkara tersebut, tidak akan ditemukan lagi pada SAPM jilid II.
Pada SAPM tahun 2018, semua instrumen tidak lagi dipergunakan
karena mencukupkan diri dengan SIPP, kecuali menyangkut
dengan bukti penerimaan atau pengeluaran uang perkara.
180
Namun demikian, meskipun terjadi perubahan yang
signifikan, ternyata unsur penilaian pada SAPM 2018 tidak
menjadi berkurang. Pada Administrasi Manajemen (AM),
terdapat 10 (sepuluh) bentuk standar penilaian. Administrasi
Kesekretariatan (AS) terdapat 19 standar penilaian. Administrasi
Kepaniteraan (AP) terdpat 66 standar penilaian dan 81 untuk
mahkamah syar’iyah. Serta sarana prasarana kantor pengadilan
agama, terdiri dari 27 standar standard penilaian untuk
pengadilan agama dan 28 standar penilaian untuk mahkamah
syar’iyah.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara prosentasi
penilaian unsur‐unsur pada SAPM 2018 dengan SAPM 2017
sebelumnya. Dalam SAPM 2017, prosentase penilaian yang
tertinggi adalah administrasi kepaniteraan dengan jumlah 70%,
kemudian disusul dengan administrasi kesekretariatan 20%,
administrasi manajemen 5% dan sarana prasarana 5%.
Sementara secara garis besar prosentase penilaian dalam
SAPM 2018 dapat dikategorikan sebagai berikut: Administrasi
Manajemen (AM) mempunyai bobot penilaian 40%, Administrasi
Kesekretariatan (AS) mempunyai bobot penilaian 25%,
Administrasi Kepaniteraan (AP) mempunyai bobot penilaian 25%,
dan Sarana Prasarana Kantor (Sarpras) mempunyai bobot
penilaian 10% (Resume dari sosialisasi Bimtek SIPP di Semarang
8/03/2018).
Terlepas dari prosentase penilaian tersebut di atas, terdapat
beberapa hal yang harus menjadi perhatian bagi pengadilan‐
pengadilan yang akan mengikuti akreditasi. Langkah awal yang
harus diperhatikan adalah Manual Mutu, Survei Kepuasan
Masyarakat (SKM), Assessment Internal, dan Rapat Tinjauan
Manajemen (RTM).
Penilaian terhadap keempat unsur tersebut, menjadi
langkah awal untuk penilaian standar lainnya. Jika salah satu dari
keempat unsur tersebut tidak ditemukan pada saat assessor
melakukan assessment, temuan tersebut dipandang sebagai
kesalahan major, sehingga tidak dapat dilanjutkan pada penilaian
181
lainnya. Berikut ini secara sepintas akan dijelaskan mengenai
keempat unsur tersebut.
Pertama, Manual Mutu, yakni sebagai bukti terhadap
kebijakan top manajer untuk memberikan pelayanan terbaik bagi
masyarakat. Dalam naskah Manual Mutu terdiri dari 10 bab, yaitu
profil organisasi, acuan yang mengatur, istilah dan definisi,
konteks organisasi, kepemimpinan, perencanaan, dukungan,
operasi, evaluasi kinerja dan peningkatan.
Selain naskah tersebut, Manual Mutu mempunyai lampiran
yang terdiri dari proses bisnis (bussiness proccess) yang
merupakan bagian dari proses bisnis pengadilan agama,
administrasi manajemen, administrasi kepaniteraan, administrasi
kesekretariatan. Lampiran ketiga adalah sasaran mutu yaitu
target yang terukur sebagai indikator tingkat keberhasilan dari
tujuan yang telah ditetapkan selama waktu tertentu. Sasaran
mutu dapat disesuaikan dengan Indikator Kinerja Utama (IKU).
Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 192/KMA/SK/XI/2016, IKU merupakan acuan kinerja yang
digunakan oleh Mahkamah Agung RI, untuk menetapkan Renstra,
Rencana Kerja Tahunan, penetapan Perjanjian Kinerja dan
menyusun Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) serta
melakukan evaluasi pencapaian kinerja sesuai dengan dokumen
review Rencana Strategis Mahkamah Agung RI. Lampiran yang
terakhir adalah matrik korelasi, yakni beberapa persamaan
standar dalam SAPM dengan standar yang terdapat dalam ISO
9001:2015.
Lampiran Manual Mutu yang terdapat pada SAPM 2018
terlihat lebih sederhana dibandingkan dengan SAPM 2017. Hal ini
karena lampiran pada SAPM 2017 terdiri dari 8 (delapan) unsur
yaitu konteks organisasi, interested parties, proses bisnis, struktur
organisasi, visi dan misi, kebijakan mutu, sasaran mutu dan
matrik korelasi.
Kedua, Survei Kepuasan Masyarakat (SKM), yaitu data dan
informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh
dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif antara
pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari
182
pengadilan dengan membandingkan antara harapan dan
kebutuhan.
Survei Kepuasan Masyarakat ini mengacu pada Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14 tahun 2017
tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit
Penyelenggara Pelayanan Publik. Terdapat 9 (sembilan)
pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan
mempergunakan penelitian kuantitatif skala linkert. Responden
dipilih secara random dan acak sedangkan besaran sampel dan
populasi menggunakan sampel dari Krejcie dan Morgan, di mana
banyaknya jumlah perkara yang diterima sudah dapat
menentukan berapa banyaknya sampel.
Ketiga, Assessment Internal, yaitu suatu pengujian yang
sistematik dan independen untuk menentukan apakah kegiatan
mutu dan hasil yang sesuai dengan perencanaan diterapkan
secara efektif dan sesuai untuk mencapai tujuan. Asessmen
internal dilakukan oleh asesor dari pengadilan itu sendiri, dengan
terlebih dahulu membuat program, menyiapkan cek list
berdasarkan standar, dan mengacu pada Problem, Location,
Object dan Reference (PLOR).
Keempat, Rapat Tinjauan Manajemen (RTM), yaitu suatu
bentuk tinjauan atas implementasi sistem manajemen mutu yang
dipimpin oleh top manajer (Ketua Pengadilan Agama). Dalam
rapat tersebut, Ketua akan memberikan keputusan atas
permasalahan terkait implementasi sistem manajemen mutu.
RTM dilakukan secara berkala mengacu pada standar tertentu.
Pada Pengadilan Agama yang baru melaksanakan akreditasi,
RTM dilakukan setelah assessment internal, sedangkan pada
Pengadilan Agama yang telah mendapatkan akreditasi
(surveillance), RTM dilakukan sesegera mungkin (setelah
pemenuhan dokumen SAPM 2018) untuk menyatakan bahwa
sistem kerja Pengadilan Agama tersebut dilakukan sesuai dengan
SAPM tahun 2018.
Matriks Penyempurnaan SAPM 2018
No Elemen SAPM 2017 SAPM 2018
1 Obyek/cakupan Pengadilan Pengadilan
183
tingkat pertama tingkat pertama
dan pengadilan
tingkat banding
2 Bidang penilaian 3 bidang: 4 bidang:
1. Administrasi 1. Administrasi
Manajemen Manajemen
2. Administrasi 2. Administrasi
Kesekretariat Kesekretariata
an n
3. Administrasi 3. Administrasi
Kepaniteraan Kepaniteraan
4. Sarana
prasarana
3 Target 98 pengadilan 150 satker
tingkat pertama (include 140
pengadilan
tingkat pertama
dan 10 pengadilan
tingkat banding)
4 Formulir/Instrumen Hard copy Soft copy dalam
(instrumen atau SIPP, yang belum
formulir) ada dalam SIPP
dipertahankan
hard copy
5 Bobot Penilaian:
1. AM 1. 5% 1. 40%
2. AS 2. 20% 2. 25%
3. AP 3. 70% 3. 25%
4. Sarpras 4. 5% 4. 10%
e. Gagasan Integrasi APM dan ZI
Gagasan integrasi program Akreditasi Penjaminan Mutu
dan program Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah
Bebas Korupsi dan Wilayah Bersih Birokrasi dan Melayani, telah
dilontarkan oleh Sekretaris Mahkamah Agung RI A.S.
Pudjoharsoyo, menurut Sekretaris Mahkamah Agung secara
184
substansi program‐program tersebut memiliki kesamaan maksud,
tujuan, data dan sumber data, pengintegrasian ini perlu dilakukan
untuk mengefisienkan pengelolaan dan memudahkan satuan
kerja di daerah. Salah satu landasan integrasi dimaksud adalah
karena secara prinsip, datat‐data dukung dan indikator dari APM
dan ZI mirip sehingga patut untuk kemudian diintegrasikan. Ini
juga pada akhirnya memudahkan satuan kerja Pengadilan dalam
menyiapkan, melaksanakan, dan memertahankan reformasi
birokrasi yang telah dicanangkan Mahkamah Agung.
Program Akreditasi Penjaminan Mutu maupun program
Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi
dan Wilayah Bersih Birokrasi dan Melayani bermuara kepada
Program Reformasi Birokrasi. Untuk Program Reformasi Birokrasi
terdiri dari 8 area merupakan program Mahkamah Agung
ditingkat pusat, sementara untuk ditingkat satuan kerja
menggunakan program Pembangunan Zona Integritas terdiri dari
6 area.
Oleh karena terdapat kesamaan dalam hal tujuan dan
sumber data serta metode penilaian, maka sangat diperlukan
integrasi sehingga kedua program baik program Akreditasi
Penjaminan Mutu maupun program Pembangunan Zona
Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Bersih
Birokrasi dan Melayani dapat berjalan bersamaan di setiap
pengadilan. Hal ini akan membantu dan memudahkan satuan
kerja untuk melaksanakan program, karena tidak bekerja
berulang‐ulang. Yang paling memungkinkan dalam
pengintegrasian ini adalah dalam hal data yang memerlukan bukti
pendukung yaitu eviden. Hampir sebagian besar data‐data yang
digunakan secara bersamaan digunakan oleh kedua program
yang dilaksanakan.
Integrasi program Akreditasi Penjaminan Mutu dan
Pembangunan Zona Integritas tidak dilakukan secara parsial
masing‐masing lingkungan peradilan, tetapi integrasi ini harus
dilakukan secara menyeluruh diseluruh lingkungan peradilan.
Dengan demikian langkah yang harus dilakukan adalah
menyatukan konsep tentang Akreditasi Penjaminan Mutu
185
disemua lingkungan peradilan, sedangkan untuk pembangunan
zona integritas konsepnya sama karena dasarnya adalah
Permenpan RB Nomor 52 Tahun 2014.
Banyak hal yang dapat diintegrasikan pada dua program di
atas, terutama berkaitan dengan data dan sumber data yang
sdama‐sama digunakan dalam program Akreditasi penjaminan
Mutu maupun dalam program Zona Integritas, caranya adalah
melihat masing‐masing Lembar Kerja Evaluasi (LKE) yang ada
kesamaan dapat diintegrasikan, seperti:
1) Manual Mutu
2) Budaya Kerja 5R 3S
3) Dokumen Daftar hadir dan pulang kerja
4) Job Description
5) Informasi yang wajib ditayangkan dalam website
6) Pengukuran SKP secara periodik
7) Pelaporan LHKPN
8) Survey Kepuasan Masyarakat (Permenpan RB Nomor 14
Tahun 2017)
9) Eviden‐eviden kegiatan berupa daftar hadir dan notulensi
186
BAB IV
PROYEKSI BADAN
PERADILAN
A. Penguatan Sistem Satu Atap
Beberapa hari terakhir, khususnya setelah OTT KPK
terhadap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hampir
semua telunjuk diarahkan ke Mahkamah Agung (MA) yang dinilai
gagal dalam menjalankan tugas pengawasan sebagai bagian dari
tugas MA men‐drive kekuasaan kehakiman dalam konsep one roof
system. Bersamaan dengan itu, mencuat kembali gagasan
tentang shared responsibility yang digagas Komisi Yudisial (KY).
Mengemuka dua isu terkait peristiwa tersebut yaitu bahwa
one roof system, yang memberi kewenangan penuh kepada MA
dalam pengelolaan jabatan Hakim dan aparatur peradilan
dianggap gagal dan shared responsibility system, yang pada
intinya menghendaki pembagian kepada KY sebahagian dari
tanggungjawab MA dalam pengelolaan jabatan Hakim, adalah
solusinya.
Semua diskursus terkait one roof system dan shared
responsibility tidak bisa dilepaskan dari pergulatan pada wilayah
prinsipil yang sudah lebih dulu terjadi, yaitu antara prinsip
independensi peradilan dan prinsip akuntabilitas yudisial.
187
1. Independensi Peradilan
David S. Law dalam Encyclopedia Britannica secara
sederhana mengartikan Judicial independence sebagai the
ability of courts and judges to perform their duties free of
influence or control by other actors, whether governmental or
private.154
Begitu pentingnya independensi peradilan bagi
kehidupan hukum dan demokrasi suatu negara maka
Perserikatan Bangsa‐Bangsa pada poin pertama Basic
Principles on the Independence of the Judiciary155 menegaskan
bahwa kemerdekaan peradilan harus dijamin oleh negara dan
ditegaskan di dalam konstitusi atau setidaknya dalam suatu
Undang‐Undang. Merupakan kewajiban seluruh institusi
pemerintahan serta institusi lainnya untuk menghormati
kemerdekaan lembaga peradilan tersebut.156
Di Indonesia, jaminan terhadap independensi lembaga
peradilan secara tegas dimuat pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
yang menyebutkan “Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”. Frasa “kekuasaan yang
merdeka” pada ayat tersebut bersumber dari Penjelasan Pasal
24 dan 25 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi “Kekuasaan
Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus
diadakan jaminan dalam Undang‐undang tentang
kedudukannya para hakim”.
Esensi independensi peradilan terletak pada
independensi Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Salah satu turunannya adalah kemerdekaan dari segala bentuk
pengaruh apalagi tekanan dan ancaman cabang kekuasaan
154
https://www.britannica.com/topic/judicial‐independence terakhir diakses pada tanggal
3 Desember 2018, Pukul 15.55 Wib.
155
Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General
Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985
156
The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the
Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to
respect and observe the independence of the judiciary.
188
lain. Potensi tekanan dan ancaman bagi Hakim antara lain
berasal dari institusi yang menyelenggarakan manajemen
jabatan Hakim. Oleh karena itu, untuk mencegah masuknya
intervensi dari jalur kelembagaan tersebut, maka tanggung
jawab manajemen jabatan Hakim secara ideal harus
diserahkan kepada hakim itu sendiri. Dengan begitu maka
lembaga peradilan bukan hanya menangani persoalan yudisial,
namun juga menjalankan kewenangan dalam bidang non
yudisial, khususnya dalam urusan finansial, administrasi, dan
organisasi. Dari sinilah konsep one roof system, atau sistem
satu atap, terlahir.
2. One Roof System
Sejak zaman orde lama sampai zaman orde baru, urusan
finansial, administrasi, dan organisasi lembaga peradilan
berada di bawah kewenangan pemerintah. Meskipun
Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 (pra amandemen)
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang merdeka, namun independensi peradilan pada era
tersebut hanya berlaku dalam urusan teknis yudisial, tidak
berlaku dalam hal kewenangan terhadap organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan. Bahkan pada
zaman orde lama, demi kepentingan revolusi, kehormatan
negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat
mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam
soal‐soal pengadilan.157
Gelombang reformasi pada tahun 1998 akhirnya
mengidentifikasi hal tersebut sebagai akar permasalahan di
bidang hukum yang memerlukan perubahan secara mendasar.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Tap MPR Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok‐Pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Haluan Negara menyebutkan, bahwa
pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan
peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses
157
Pasal 19 Undang‐Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
189
peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik‐praktik
negatif pada proses pengadilan. Penegakan hukum belum
memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus‐kasus
yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan
rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.
Oleh karena itu, melalui ketetapan tersebut, MPR
menginstruksikan kepada Presiden RI yang saat itu dijabat oleh
Bpk. Prof. Dr. Ir. B. J. Habibie untuk menjalankan agenda
pemisahan secara tegas antar fungsi‐fungsi yudikatif dari
eksekutif.158
Menindaklanjuti Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tersebut, maka pada tahun 1999 terbitlah Undang‐
undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‐
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu
pertimbangan diterbitkannya adalah bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, dan oleh
karena itu, untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang
mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang
perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antar fungsi‐fungsi
yudikatif dari eksekutif.159 Melalui Undang‐Undang Nomor 35
Tahun 1999 inilah selanjutnya urusan finansial, administrasi,
dan organisasi lembaga peradilan diserahkan kepada
Mahkamah Agung RI. Maka sejak saat itu pula one roof system
secara de jure berlaku di republik ini.
3. Akuntabilitas Yudisial
Ila Sudame, dalam artikel berjudul Judicial Independence:
A Corollary Concept of Judicial Independence menyebutkan:
“Every right comes with a duty. Every power comes with
responsibility. Also, with every freedom, there comes
accountability. Therefore, every person bestowed with a
158
Bab II huruf C dan Bab IV huruf C angka 2 huruf a Lampiran Ketetapan MPR Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok‐Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
159
Konsideran Menimbang huruf a Undang‐undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
190
power is pledged with some accountability. No public
institution or functionary is exempt from this
accountability. …The need of democracy is that those who
exercise significant public power should hold themselves
open to account as accountability is the sine‐qua‐non or
the condition precedent of a democracy.160
Kutipan dari paparan Ila Sudame tersebut dapat
memberi gambaran bahwa akuntabilitas yudisial pada
khususnya merupakan harga yang wajar atas atribusi
kekuasaan oleh konstitusi kepada hakim (lembaga peradilan)
untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, yang disertai
dengan kewajiban negara untuk menjamin bahwa kekuasaan
tersebut diselenggarakan secara merdeka. Hakikat
akuntabilitas yudisial sendiri adalah keadaan dimana setiap
(ke)putusan dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.
Akuntabilitas yudisial pada garis besarnya meliputi aspek
substantif dan aspek manajemen kelembagaan.
Aspek substantif adalah tentang sejauh mana
profesionalitas Hakim dalam proses menangani perkara dan
menjatuhkan putusan. Aspek tersebut merupakan sisi paling
esensial dari independensi Hakim sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman, sehingga hukum melalui perangkat peraturan
perundang‐undangan menentukan bahwa parameter dan cara
pengujiannya hanya bersifat internal, yaitu melalui proses
yudisial itu sendiri, atau lebih dikenal dengan upaya hukum.
Aspek manajemen kelembagaan cakupannya cukup luas,
meliputi penyelenggaraan organisasi, administrasi, dan
keuangan lembaga peradilan. Termasuk pada bagian ini, yaitu
manajemen jabatan Hakim mulai dari penyelenggaraan
rekrutmen dan pembinaan sampai kepada pengawasan
integritas Hakim dan aparatur peradilan.
Pengelolaan organisasi, administrasi dan keuangan
lembaga peradilan setiap saat harus bisa diukur dan
160
https://www.academia.edu/12729674/Judicial_Accountability_A_Corollary_Concept_of_Judicial_In
dependence
191
selanjutnya harus bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan
secara terbuka, sebagaimana berlaku pada semua fungsi
pengelolaan institusi negara. Pemberlakuan konsep one roof
system pada satu sisi akan memberikan ruang yang cukup luas
dan bebas bagi Mahkamah Agung untuk menetapkan
kebijakan yang tepat dan komprehensif bagi lembaga
peradilan, yang sekaligus bisa menghapuskan trauma
intervensi cabang kekuasaan lain terhadap kekuasaan
kehakiman yang terselundupkan melalui kewenangan
pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan lembaga
peradilan. Namun demikian, ruang luas dan bebas tersebut
pada sisi lain harus dibatasi dengan kewajiban untuk
menyelenggarakannya secara akuntabel. Dalam proses untuk
mengoptimalkan perwujudan akuntabilitas itulah, terbuka
ruang bagi keterlibatan atau partisipasi lembaga lain untuk ikut
ambil bagian. Sebagai contoh sederhana yaitu keterlibatan
perguruan tinggi dalam menyusun standar kompetensi calon
Hakim, atau peran serta kekuatan civil society dalam
perumusan kebijakan pengawasan Hakim, atau partisipasi
Komisi Yudisial dalam melakukan pembinaan integritas Hakim.
Khusus mengenai integritas Hakim, karena termasuk
dalam cakupan akuntabilitas manajemen kelembagaan, maka
integritas Hakim baik dalam menangani perkara maupun
dalam kehidupan pribadinya harus bisa
dipertanggungjawabkan, dan karenanya terbuka ruang
pengawasan bahkan penindakan terhadap etika dan perilaku
Hakim. Di Indonesia, terdapat tiga jalur pengawasan terhadap
etika dan perilaku Hakim, yaitu melalui jalur pengawasan
melekat, pengawasan internal oleh Badan Pengawasan
Mahkamah Agung RI, dan pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial.
Sampai pada titik ini, Penulis menilai cukup sederhana
dan mudah diterima; (i) bahwa sebagai wujud penghormatan
terhadap independensi peradilan guna tegaknya hukum yang
berkeadilan, maka sudah seharusnya Hakim diberi dan dijamin
dengan kemerdekaan menjalankan profesinya; namun pada
192
sisi lain (ii) sebagai harga yang wajar atas kemerdekaan hakim
dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, maka
kepadanya diterapkan standar etika dan perilaku yang tinggi
serta pengawasan yang ketat yang boleh jadi terasa cukup
berat jika diterapkan kepada masyarakat bahkan pejabat
negara pada umumnya.
4. Shared Responsibility
Komisi Yudisial dalam 3 tahun terakhir cukup gencar
menyuarakan pentingnya pemberlakuan shared responsibility
dalam manajemen (jabatan) Hakim. Secara garis besarnya,
shared responsibility dimaksudkan sebagai koreksi terhadap
one roof system yang dipraktikkan dengan meletakkan seluruh
kekuasaan yudisial dan pengelolaan lembaga peradilan dalam
satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Konsep one roof system
seperti itu dipandang berpotensi melahirkan monopoli
kekuasaan, rentan berakibat terjadinya abuse of power, dan
dalam kenyataannya tidak menghilangkan esensi sistem
pengelolaan yang bersifat dualisme, melainkan hanya
mengubah bentuk intervensi terhadap Hakim, yang semula
intervensi pemerintah kemudian beralih menjadi intervensi
dari internal Mahkamah Agung sendiri.161
One roof system juga berdampak pada semakin besarnya
beban Hakim karena selain sebagai pemutus perkara juga
bertindak sebagai manajer. Beban kerja yang terlalu berat
akan berdampak pada menurunnya konsentrasi Hakim
sehingga dapat memicu pelemahan kualitas putusan.
Komisi Yudisial tidak menampik independensi peradilan
merupakan “harga mati”, oleh karena itu shared responsibility
tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kewenangan
Mahkamah Agung, melainkan sekadar turut serta atau turut
berperan dalam manajemen jabatan Hakim. Shared
responsibility tidak mengancam independensi MA dan tidak
mengurangi esensi one roof system, justru memberi
penguatan.
161
http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/734/hindari‐penyalahgunaan‐
wewenang‐terapkan‐konsep‐shared‐responsibility
193
Saat reformasi terdapat perubahan sistem peradilan dari
dua atap menjadi satu atap. Namun, sistem satu atap juga
menyisakan persoalan, seperti kekhawatiran munculnya
monopoli kekuasaan. "Oleh karenanya, rata‐rata sistem
peradilan dunia menyadari bahwa persoalan mengurus
pengadilan tidak bisa diserahkan hanya kepada satu entitas,
apalagi membebani para hakim sebagai pemutus sekaligus
manajer," ujar Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan
Layanan Informasi KY Farid Wajdi saat menjadi narasumber
dalam FGD Problematika Seleksi Hakim Agung dan Hakim
Konstitusi, Sabtu (1/9) di Ruang Sidang Lantai 3, FH UII,
Yogyakarta.
Menurutnya, One Roof System atau dalam bahasa
akademik disebut Judicial Self Government hanya bertahan di
negara Republik Ceko dan dibahasakan sebagai resep
kebijakan yang buruk. "Dikatakan buruk karena berpotensi
menimbulkan abuse of power lantaran kekuasaan yang
terpusat, serta menimbulkan sistem yang rentan karena
bergantung pada figur atau setidaknya menimbulkan
kelompok figur yang tidak sehat," tambah Juru Bicara KY ini.
Dalam praktik pengelolaan peradilan modern,
fakta yang paling jelas adalah bahwa peradilan tidak mungkin
diberikan beban lebih selain hanya fokus dalam perkara dan
kesatuan hukum untuk keadilan. KY menawarkan solusi yaitu
melalui konsep tanggung jawab bersama atau shared
responsibility. Hal ini lumrah telah dilakukan di beberapa
negara Civil Law seperti Austria, Belgia, Perancis, Jerman.
5. Kelemahan gagasan shared responsibility
1) Prematur sebagai sintesis, karena one roof system belum
pernah wujud
Kenapa dikatakan “secara de jure”?, jawabannya
karena secara de facto lembaga peradilan hingga saat ini
belum pernah menerima secara utuh peralihan kewenangan
administrasi dan keuangan dari pemerintah. Dengan kata
lain, Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya
belum mandiri atau otonom dalam mengelola administrasi
194
dan keuangannya. Semua masih dalam campur tangan
cabang kekuasaan eksekutif. Hal inilah yang banyak tidak
disadari, bukan hanya oleh masyarakat, namun juga oleh
pemerintah dan institusi‐institusi negara lainnya.
Salah satu dari sekian banyak contoh mengenai belum
mandirinya MA dalam urusan administrasi adalah persoalan
rekrutmen Hakim. Hingga tahun 2017, Mahkamah Agung
mengalami kebuntuan rekrutmen Calon Hakim selama 6
s.d. 7 tahun. Pada awalnya sebagai imbas kebijakan
presiden SBY melakukan moratorium pengangkatan PNS.
Kemudian ketika kondisi kekurangan Hakim dialami oleh
hampir seluruh pengadilan di Indonesia, kran pengangkatan
Calon Hakim pun akhirnya dibuka, namun terkendala lagi
karena dalam Undang‐Undang disebutkan bahwa Hakim
adalah pejabat negara, sedangkan belum ada peraturan
organik yang mengenal nomenklatur “calon pejabat
negara”, sehingga dengan sendirinya rekrutmen Calon
Hakim tidak bisa dilakukan. Mengatasi kebuntuan tersebut,
akhirnya MA mengalah dengan merelakan rekrutmen Calon
Hakim dilakukan melalui mekanisme rekrutmen CPNS yang
merupakan gawe Kementerian PAN‐RB. Jika rekrutmen
Calon Hakim pun masih bergantung pada kebijakan cabang
eksekutif, maka jangan tanya kemandirian MA dalam
rekrutmen aparatur peradilan non Hakim untuk mengisi pos
kepaniteraan dan kesekretariatan, jauh lebih tidak mandiri
lagi, sampai urusan menentukan formasi pun MA harus
“mengemis” pada cabang eksekutif.
Tidak berbeda dengan urusan administrasi, dalam
urusan finansial Mahkamah Agung juga sama sekali belum
mandiri meskipun amanat Undang‐Undang Kekuasaan
Kehakiman sudah sangat tegas. Contoh yang sangat terang,
ketika terjadi kekeliruan nyata pada lampiran III PP 74
Tahun 2016 tentang perubahan PP 94 Tahun 2012, dimana
besarnya tunjangan kemahalan untuk Hakim PN Ranai
diatur berbeda dengan besarnya tunjangan kemahalan bagi
Hakim PA Natuna, padahal Ranai dan Natuna merupakan
195
wilayah yang sama, gedung PN Ranai dan PA Natuna
bahkan berhadapan, MA tidak berdaya untuk melakukan
perubahan karena semua harus bergantung pada kekuasaan
cabang eksekutif, khususnya Kementerian Keuangan.
Padahal, di saat yang sama, Kementerian Keuangan secara
bebas bisa melakukan perubahan dan perbaikan terhadap
pengaturan keuangan bagi Hakim Peradilan Pajak yang
urusan finansial dan administrasinya masih berada di bawah
Kementerian Keuangan. Dalam keadaan demikian, tidak
heran jika Mahkamah Agung tidak berdaya melakukan
langkah perbaikan secara komprehensif guna mewujudkan
cita kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebab dalam
mengatasi permasalahan keuangan yang nyata‐nyata telah
keliru pun Mahkamah Agung masih “di bawah ketiak”
Kementerian Keuangan.
Berdasarkan kondisi de facto tersebut, setiap orang
yang berani berfikir dan bersikap fair, akan sepakat bahwa
tidak tepat mengatakan MA telah gagal men‐drive one roof
system, sebab ternyata, kewenangan finansial, administrasi,
dan organisasi belum pernah dialihkan sepenuhnya dari
tangan eksekutif ke bawah satu atap Mahkamah Agung.
Kalaupun one roof system dipandang gagal, maka letaknya
adalah pada kegagalan pemangku kewenangan legislasi dan
regulasi memenuhi amanat konstitusi untuk mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui perwujudan
otonomi MA dalam urusan finansial, administrasi, dan
organisasi.
Lalu apa hubungannya otonomi administrasi,
keuangan, dan organisasi MA dengan OTT KPK terhadap
Hakim? Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa OTT
KPK selalu dikaitkan dengan pelaksanaan tugas
pengawasan Hakim. Bukan salah, tapi pandangan tersebut
terlalu sempit dan sangat menyederhanakan persoalan.
Kenapa OTT KPK tidak dianggap sebagai kegagalan
pemangku kewenangan rekrutmen Hakim? Atau kegagalan
pemangku kewenangan pembinaan Hakim? Kekeliruan
196
selama ini dalam memahami persoalan profesionalitas dan
integritas Hakim adalah karena melihatnya sebatas pada
lingkaran tugas pengawasan. Padahal, untuk mendapatkan
Hakim yang profesional dan berintegritas, semuanya
bermula dari rekrutmen, lalu pembinaan administrasi,
profesionalitas, dan integritas, dan baru masuk ke
pengawasan. Jika kewenangan MA dibatasi sedemikian
rupa dalam urusan rekrutmen dan pembinaan Hakim, lalu
bagaimana mungkin meletakkan telunjuk “hanya” di
“hidung” Mahkamah Agung ketika terjadi OTT KPK. Kenapa
tidak satupun yang berfikir untuk mengarahkan telunjuknya
ke eksekutif, dalam hal ini departemen yang dulu
memangku kewenangan rekrutmen dan pembinaan Hakim?
2) A‐historis dan bertentangan dengan filosofi
independensi peradilan
Gagasan shared responsibility yang dikapteni Komisi
Yudisial memang bukan barang haram. Semangatnya untuk
mewujudkan akuntabilitas yudisial cukup mulia. Akan
tetapi, perlu berhati‐hati, agar gagasan tersebut tidak
menjadi penyimpangan terselubung terhadap cita konstitusi
untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka.
Alasan klasiknya adalah bahwa kekuasaan yang
merdeka tidak dapat dimaknai sebagai kekuasaan absolut,
yang bebas sebebas‐bebasnya. Batas kekuasaan tersebut
adalah akuntabilitas yudisial. Dengan demikian, meskipun
UUD 1945 menggariskan bahwa “kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”, dalam menjalankan
kekuasaan tersebut, MA, badan peradilan di bawahnya, dan
MK tetap dibatasi oleh kewajiban untuk menyelenggarakan
kekuasaannya secara akuntabel. Dalam mewujudkan
akuntabilitas itulah para pelaku kekuasaan kehakiman tidak
197
bisa menghindarkan adanya keterkaitan bahkan
keterlibatan lembaga lain, antara lain Komisi Yudisial.
Kekeliruan terbesar dari gagasan shared responsibility
adalah ketika memaknai keterkaitan dan keterlibatan
Komisi Yudisial dalam wujud pembagian (penyerahan)
sebagian kewenangan Mahkamah Agung kepada Komisi
Yudisial. Dalam konsep pelibatan, kewenangan tetap ada di
tangan Mahkamah Agung. Keberadaan lembaga lain hanya
sebagai akibat dari dibukanya kran partisipasi agar
penyelenggaraan kekuasaan oleh Mahkamah Agung tidak
bersifat absolut dan sekaligus untuk mewujudkan
akuntabilitas yudisial. Sedangkan shared responsibility
menghendaki sebagian kewenangan Mahkamah Agung
dilepaskan lalu diserahkan kepada Komisi Yudisial. Hal
tersebut jelas menyimpang dari prinsip awal yang
termaktub dalam konstitusi, yaitu bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka… yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya…, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Dalam banyak kesempatan, Komisi Yudisial dan para
pendukung gagasan shared responsibility selalu mengangkat
contoh kewenangan Komisi Yudisial di negara‐negara lain,
khususnya di Eropa. Memang benar bahwa di negara‐
negara Eropa seperti Prancis, Belanda, Swedia, Denmark,
Republik Ceko, Portugal, dan Italia, kewenangan
pengelolaan urusan non yudisial yang meliputi urusan
administrasi Hakim dan aparatur, anggaran, sarana dan
prasarana, pendidikan, serta pengawasan banyak
diserahkan kepada Komisi Yudisial. Namun demikian, satu
hal yang tidak pernah dibuka secara terang‐benderang oleh
Komisi Yudisial dan para pengusung gagasan shared
responsibility tersebut, yaitu bahwa Judicial Council di
negara‐negara tersebut pada hakikatnya adalah bagian dari
Mahkamah Agung itu sendiri, yang keanggotaannya selalu
diisi oleh mayoritas Hakim aktif, namun melibatkan unsur
198
dari luar Mahkamah Agung sebagai bentuk upaya menjaga
aspek akuntabilitasnya.
Pada saat menelusuri website resmi 20 negara Eropa,
yaitu Belgia, Bulgaria, Kroasia, Denmark, England and
wales, Prancis, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania,
Malta, belanda, Irlandia Utara, Portugal, Rumania,
Skotlandia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan Yunani, Penulis
menemukan bahwa pada 16 dari 20 negara tersebut
keanggotaan Komisi Yudisialnya diisi oleh mayoritas (lebih
dari 50%) Hakim aktif. 3 dari 4 negara tersisa diisi oleh 50%
Hakim aktif. Satu‐satunya negara yang jumlah Hakim aktif
dalam keanggotaan komisi yudisialnya kurang dari 50%
yaitu Portugal (47%). Lebih lanjut, Ketua Komisi Yudisial
pada 10 dari 20 negara tersebut dijabat oleh Ketua
Mahkamah Agung, 4 dari 10 negara yang tersisa dijabat
oleh Hakim aktif. 3 dari 6 negara yang tersisa ketua komisi
yudisialnya dijabat langsung oleh Presiden sebagai kepala
negara.
Dari data tersebut dapat dipetik kesimpulan bahwa
penyerahan kewenangan pengelolaan administrasi dan
finansial kepada Komisi Yudisial yang dilakukan di negara‐
negara Eropa tidak menimbulkan pertentangan dengan
prinsip dasar independensi peradilan, sebab keanggotaan
komisi yudisialnya diisi oleh mayoritas Hakim, bahkan
secara umum dinakhodai oleh Ketua Mahkamah Agung
atau Hakim aktif. Hal inilah yang menyebabkan
pemberlakuan shared responsibility di negara‐negara eropa
sama sekali tidak bisa diterapkan di Indonesia, karena tidak
satu pun komisioner Komisi Yudisial yang merupakan
Hakim Aktif. Artinya, Komisi Yudisial RI murni merupakan
lembaga eksternal, sehingga menyerahkan sebagian
apalagi seluruh kewenangan finansial, administrasi, dan
organisasi Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya kepada Komisi Yudisial secara prinsip
bertentangan dengan kehendak konstitusi, yaitu bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka…
199
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya…, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Para pengusung gagasan shared responsibility boleh
jadi berkilah dari data di negara‐negara eropa tersebut, lalu
mengangkat contoh keanggotaan pemangku kewenangan
pengawasan disiplin dan etika Hakim (Judicial Conduct
Commission) pada sejumlah negara‐negara bagian Amerika
Serikat yang memang mayoritas berasal dari eksternal
pengadilan, misalnya di negara bagian California, Hawaii,
Iowa, New Jersey, New Mexico, North Dakota, Washington,
and Wisconsin. Namun perlu digaribawahi bahwa hal
tersebut hanya dalam batas kewenangan pengawasan
disiplin dan etika Hakim, tidak mencakup urusan finansial,
administrasi, dan organisasi.
Urusan finansial dan administrasi lembaga peradilan
di negara‐negara bagian Amerika Serikat digawangi oleh
Judicial Conference, semacam lembaga legislatif‐nya
pengadilan yang seluruh anggotanya adalah Hakim, atau
beranggotakan sebagian besar Hakim ditambah sejumlah
ahli dari luar dalam jumlah yang lebih sedikit. Kebijakan
Judicial Conference itulah yang selanjutnya dijalankan oleh
Judicial Council, lembaga internal pengadilan semacam
sekretariat pengadilan.
Dengan demikian, baik di negara Eropa maupun di
USA, tidak ditemukan satu pun rujukan yang pas untuk
pemberlakuan shared responsibility bagi Komisi Yudisial RI
yang seluruh anggotanya berasal dari eksternal pengadilan
dan berwenang dalam mengelola administrasi dan finansial
lembaga peradilan. Karena itu, sudah saatnya Komisi
yudisial dan para pengusung shared responsibility berhenti
menyebarkan wacana yang justru secara tidak langsung
dapat mengancam cita konstitusi untuk kekuasan
kehakiman yang merdeka.
Solusinya adalah, pemangku kewenangan legislasi
dan regulasi agar menyegerakan otonomi pengelolaan
200
finansial, administrasi, dan organisasi Mahkamah Agung
dan Lembaga Peradilan di Bawahnya. Sebagai bentuk
menghindari kekuasaan absolut, maka tidak ada salahnya
membuka ruang partisipasi lembaga lain, termasuk Komisi
Yudisial untuk ikut dilibatkan dalam penyelenggaraannya,
namun sekali lagi, bukan dengan menyerahkan
kewenangan tersebut dari kekuasaan MA. Pelibatan atau
partisipasi unsur eksternal hanyalah bagian dari upaya
untuk mewujudkan akuntabilitas pengelolaan lembaga
peradilan. Dengan begitu, maka Mahkamah Agung akan
secara mandiri merancang khususnya mengenai
manajemen jabatan Hakim sejak dari urusan rekrutmen
sampai dengan pengawasan, sehingga standar kebijakan
rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan menjadi selaras
dan komprehensif. Adapun untuk kepentingan akuntabilitas
yudisial, khususnya aspek akuntabilitas manajerial, juga
semakin teroptimalkan karena dalam penyelenggaraannya
dibuka ruang partisipasi unsur eksternal, termasuk Komisi
Yudisial.
B. Perlindungan Prima Terhadap Hakim
Indonesia adalah negara hukum. Salah satu syarat utama
terselenggaranya sebuah negara hukum adalah adanya
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan mandiri.162 Di
negara hukum, independensi adalah kemewahan terakhir hakim.
Oleh sebab itu, negara harus hadir dan memberikan segala
bentuk garansi untuk menjamin kelestarian independensi ini.
Memastikan perlindungan terhadap hakim hakikatnya adalah
memberi jaminan keberlangsungan penyelenggaraan kekuasaan
162
Indonesia adalah negara hukum yang unik; berbeda dengan rechtsstaat sebagaimana
dikembangkan di negara‐negara yang memberlakukan sistem hukum Eropa Kontinental, juga
berbeda dengan the rule of law sebagaimana berlaku di negara‐negara Anglo Saxon. Imam Subechi
menyebut Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Namun demikian, pemahaman
negara hukum di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pemikiran rechtsstaat
dan the rule of law. Imam Subechi, Mewujudkan Negara Hukum Indonesia, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Volume 1 Nomor 3, November 2012, hlm. 341.
201
kehakiman yang merdeka, sebagaimana amanat UUD NRI
1945.163
Profesi hakim rentan intervensi. Intervensi sangat
bertentangan dengan nilai‐nilai integritas hakim yang
terkerucutkan dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim (KEPPH).
Intervensi juga berpotensi menggerus independensi. Sedangkan
independensi yang tergerus adalah momok terakbar bagi
keberlangsungan negara hukum.
Intervensi dapat berupa lobi (lobby), tekanan (pressure)
ataupun intimidasi (intimidation). Idealnya hakim harus aman
terlindungi dari ketiga jenis intervensi ini. Namun dalam
kenyataannya—karena belum optimalnya perlindungan—masih
saja terjadi peristiwa‐peristiwa yang mengancam dan
membahayakan independensi.164
Selain rawan intervensi, hakim adalah profesi yang sangat
berpotensi menimbulkan ketidakpuasan pihak lain. Setiap
putusan hakim, khususnya perkara kontensius, potensial
menimbulkan ketidakpuasan justiciabelen, terutama bagi pihak
yang dikalahkan. Bahkan, dalam perkara voluntair sekalipun celah
untuk memantik kekecewaan pihak berperkara juga masih
menganga; yaitu saat permohonan ditolak atau dinyatakan tidak
dapat diterima.
Memang telah terdapat beberapa mekanisme pengajuan
ketidakpuasan atas putusan hakim, baik berupa upaya hukum
biasa maupun luar biasa: verzet, banding, kasasi, derdenverzet dan
peninjauan kembali (request civil). Tetapi pada kenyataannya,
tetap ada saja pihak yang mengekspresikan ketidakpuasan
terhadap putusan hakim dengan tindakan‐tindakan amoral dan
163
Pasal 24 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan: “(1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan‐badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang‐undang.”
164
Tentang catatan peristiwa yang mengindikasikan belum optimalnya perlindungan
hakim akan akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
202
nonprosedural seperti mencaci‐maki, menciderai, bahkan
meraibkan nyawa hakim.165
Berdasarkan beberapa argumen tersebut, dapat ditarik
benang merah: hakim adalah profesi dengan tanggungjawab
besar dan berisiko tinggi. Di titik inilah jaminan perlindungan bagi
sang wakil Tuhan menemukan urgensinya.
Jaminan perlindungan hakim hingga saat ini masih menjadi
menara gading yang indah tetapi tidak mudah disentuh. Payung
konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 48 ayat (1) Undang‐
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Pasal 7 ayat (1,2, dan 3) Peraturan Pemerintah Nomor 94
tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang
Berada di Bawah Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak
Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah
Agung masih saja menjadi entitas norma yang belum sempurna
terejawantahkan dalam kehidupan bernegara.
1. Definisi Perlindungan Prima terhadap Hakim
Perlindungan terhadap hakim belum pernah dirumuskan
secara spesifik dan komprehensif dalam sebuah definisi.
Pembahasan perlindungan hakim masih terserak dalam
beberapa aturan perundang‐undangan. Itu pun masih sebatas
aturan jaminan keamanan, belum perlindungan secara
menyeluruh.
Perlindungan (protection) dapat didefinisikan sebagai
berikut: “Protection is any measure taken to guard a thing
against damage caused by outside forces. Protection can be
provided to physical objects, including organisms, to systems,
and to intangible things like civil and political rights. Although
the mechanisms for providing protection vary widely, the basic
meaning of the term remains the same”166. Perlindungan adalah
165
Rofiq Hidayat, Urgensi Jaminan Keamanan dan Kesehatan Sang Wakil Tuhan, diakses
dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt593852a5df6f7/urgensi‐jaminan‐keamanan‐dan‐
kesehatan‐sang‐wakil‐tuhan, pada tanggal 03 Oktober 2018, pukul 14.48.wib.
166
Wikipedia, Protection, diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Protection, tanggal 06
Oktober 2018, pukul 08.01 wib.
203
segala rumusan yang ditempuh untuk menjaga sesuatu dari
kerusakan yang disebabkan oleh kekuatan luar. Perlindungan
dapat diberikan kepada obyek fisik, termasuk organisme,
sistem, dan hal‐hal yang tidak terlihat seperti hak sipil dan hak
politik. Meskipun mekanisme untuk memberikan perlindungan
sangat bervariasi, makna dasar istilah ini tetap sama.
Selanjutnya, makna kata “prima” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia bermakna: pertama; sangat baik; utama.167
Dalam bahasa inggris, prima diidentikkan dengan prime;
excellent; superfine. Dalam bahasa arab dipadankan dengan
kamil; taam.
Sedangkan hakim dalam pembahasan ini adalah hakim
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 angka 5 Undang‐
Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi:
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim
pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut.”
Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, maka
perlindungan prima terhadap hakim dapat didefinisikan
sebagai segala bentuk upaya yang ditempuh untuk
memberikan perlindungan terbaik bagi hakim dari segala
bentuk intervensi, penghinaan, dan mara bahaya, baik berupa
perlindungan fisik dan psikis terhadap hakim sebagai person
ataupun perlindungan kehormatan hakim sebagai jabatan,
demi terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan merdeka.
2. Risiko Tinggi Profesi Hakim
Tuhan adalah Zat Yang Maha Menentukan Hukum dan
Keadilan. Dalam terminologi Islam, misalnya, Tuhan adalah al‐
204
Hakam (Maha Mengadili). Kewenangan menentukan hukum
pada dasarnya adalah hak Sang Pencipta Jagad. Namun,
dalam kadar‐kadar tertentu, ternyata sebagian kewenangan
Tuhan tersebut dibebankan kepada makhluknya di bumi:
hakim. Sehingga wajar dan masuk akal jika hakim disebut
sebagai wakil Tuhan.
Luhut M. P. Pangaribuan menyatakan bahwa hakim
dihormati karena berada pada somewhere between earth and
heaven.168Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak sebatas
menjadi corong undang‐undang—meminjam bahasa
Montesquieu bouche de lal loi. Aturan perundang‐undangan
tidaklah sempurna. Hukum selalu tertatih‐tatih berjalan di
belakang pesatnya zaman. Sehingga dalam batas tertentu,
hakim wajib menemukan hukum melalui rechtsvinding dan
rechtsvorming, kemudian mempertanggungjawabkan
penemuan hukum tersebut terhadap Tuhannya. Inilah tugas
besar hakim.
Sebagai wakil Tuhan dalam menetapkan sebuah hukum,
tentu hakim memikul tanggungjawab yang berat. Segala
putusan hakim harus diilhami dan dipertanggungjawabkan
kepada Sang Pemberi Delegasi Kewenangan. Oleh sebab
itulah semua putusan harus menggunakan irah‐irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.169 Selain
itu, mayoritas putusan hakim adalah sebuah penentuan hukum
terhadap kedua belah pihak yang bersengketa (perkara
kontensius). Putusan hakim sangat potensial berkonsekuensi
menimbulkan rentetan kekecewaan pihak yang dikalahkan.
Hal inilah yang kemudian memantik risiko profesi hakim.
Berdasarkan segi bentangan waktu, risiko profesi hakim
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: risiko sebelum
memutus dan setelah memutus perkara.
Risiko hakim sebelum memutus perkara adalah adanya
intervensi. Intervensi ini dapat berupa kegiatan apa saja yang
168
Luhut M. P. Pangaribuan, Catatan Hukum Luhut M.P. Pangaribuan, Pengadilan, Hakim,
dan Advokat, (Depok: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 111.
169
Pasal 2 ayat (2) Undang‐Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
205
tujuan puncaknya adalah mempengaruhi putusan hakim.
Intervensi dapat berupa pertama: lobi, intervensi jenis ini paling
sering dilakukan, catatan hitam deretan hakim yang menjadi
tersangka akibat menerima suap adalah bukti nyata adanya
intervensi jenis ini170. Kedua: tekanan, intervensi berbentuk
tekanan dapat saja hadir dalam berbagai variannya, salah
satunya adalah pengerahan massa, sebagaimana terjadi
beberapa kali di negeri ini. Ketiga: intimidasi, intervensi
intimidasi bermain di dua wilayah: fisik dan psikis. Sudah
menjadi fakta umum, bahwa acap kali terjadi hakim
mendapatkan ancaman‐ancaman atau intimidasi.171
Adapun risiko hakim pasca memutus perkara adalah
adanya reaksi kekecewaan dari pihak yang dikalahkan dengan
cara‐cara yang tercela. Berikut adalah beberapa data
terjadinya perlakuan yang membahayakan, bahkan
melenyapkan nyawa hakim:
a. Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita mengalami
kekerasan yang berujung hilangnya nyawa akibat
dibunuh pasca menjatuhkan putusan kasasi yang
menghukum Tommy Suharto dalam kasus PT Goro
Batara Sakti versus Perum Bulog (2001);
b. Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo M. Taufiq mengalami
kekerasan dengan ditusuk menggunakan sangkur oleh
Kolonel Laut M. Irfan. M. Taufik merupakan hakim
pengadilan agama Sidoarjo yang menyidangkan perkara
harta gono‐gini. Peristiwa itu terjadi setelah hakim
membacakan putusan sidang perdata atas gugatan
pembagian harta gono‐gini Kolonel Laut M. Irfan dan
istrinya Eka Suhartini (2015);
170
Sejak tahun 2004 hingga Mei 2018 terdapat 18 hakim yang ditetapkan tersangka oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi, Abba Gabirin, Daftar Panjang Korupsi Dunia Peradilan dan
Fenomena Hakim Tipikor diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/29/07241751/daftar‐panjang‐korupsi‐dunia‐peradilan‐
dan‐fenomena‐hakim‐tipikor, pada tanggal 05 Oktober 2018, pukul 06.12 wib.
171
Berdasarkan pengalaman penulis, selama tiga kali berpindah tugas, di setiap tempat
tugas pernah terjadi intimidasi terhadap hakim.
206
c. Rumah Hakim Royke Inkiriwang dan kantor PN
Gorontalo ditembak orang tak dikenal. Dua selongsong
peluru ditemukan di rumah hakim Royke dan satu
selongsong di kantor PN Gorontalo (2013);
d. Pengadilan Negeri Depok dirusak Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas). Insiden tersebut membuat
resah akibat faktor keamanan bagi para hakim di PN
Depok (2013).172
Catatan‐catatan tersebut adalah peristiwa yang dapat
terekam media. Sebenarnya, catatan tersebut adalah
penampakan gunung es; di luar yang tampak, masih banyak
peristiwa‐peristiwa yang membahayakan jiwa dan raga hakim,
baik saat menjalankan tugas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, ataupun di luar tugas, yang tidak mengemuka
pemberitaannya.
Risiko‐risiko sebagaimana telah dideskripsikan di atas
harus dijadikan pelajaran bagi negara ini. Betapa perlindungan
terhadap hakim, khususnya jaminan keamanan, sudah
mendesak untuk diwujudkan. Tidak perlu menunggu
bertambahnya catatan kelam lagi.
3. Perlindungan Hakim untuk Independensi Peradilan
Politik konstitusi negara kita mengokohkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945
menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 173
Imam Subechi menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) syarat
utama negara hukum Indonesia: (1) Pancasila, (2), supremasi
hukum, (3) demokratis, (4) pembatasan dan pemencaran
kekuasaan negara, (5) kekuasaan kehakiman yang bebas dan
mandiri, dan (6) perlindungan dan pengembangan hak asasi
manusia.174
172
Rofiq Hidayat, Loc. Cit.
173
Reformasi Mei 1998 telah meneguhkan Indonesia menjadi negara hukum dengan
melakukan perubahan atas UUD NRI 1945 sebanyak 4 (empat) kali perubahan. Ini telah menjadikan
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar keempat dunia, Zaherman Armadz Muabezi, Rule of
Law and Not Power State, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 06 nomor 3, November 2017,
hlm.442‐443.
174
Imam Subechi, Op. Cit. hlm. 345.
207
Kemerdekaan penyelenggaraan kekuasan kehakiman
merupakan syarat utama terselenggaranya pemerintahan
negara hukum Indonesia 175 . Pelaksanaan prinsip peradilan
yang merdeka dan bebas dari tekanan intervensi tidak terlepas
dari kemandirian badan peradilan dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya.176
Soedikno Mertokusumo mendefinisikan kemandirian
hakim adalah tidak adanya ketergantungan kepada siapa pun,
oleh karena itu hakim bebas dari pengaruh dari apa dan siapa
pun. Hakim atau peradilan yang merupakan tempat orang
mencari keadilan harus mandiri dan independen, dalam arti
tidak tergantung atau terikat pada siapa pun, agar putusannya
obyektif. Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat
dipisahkan dari kebebasan hakim; merupakan satu kesatuan.
Adapun yang dimaksud dengan kebebasan hakim adalah
bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut
keyakinannya serta bebas pula dari pihak ekstra yudisial.177
Kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana
dikehendaki UUD NRI 1945 hakikatnya adalah kekuasaan yang
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan siapa pun
termasuk pemerintah. Kemandirian dapat dipilah menjadi dua
bagian: institusional dan fungsional. Kemandirian institusional
adalah badan peradilan yang mandiri, terbebas dari tekanan
intervensi dari luar kekuasaan kehakiman. Sedangkan
kemandirian fungsional adalah kemerdekaan hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman.
175
Sedangakan menurut Paulus E. Lotulung, terdapat 6 (enam) syarat dasar untuk
terselenggaranya sebuah pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law: (1) perlindungan
konstitusional, (2) peradilan atau badan‐badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, (3)
pemilihan umum yang bebas, (4) kebebasan menyatakan pendapat, (5) kebebasan berserikat,
berorganisasi serta beroposisi, dan (6) pendidikan kewarganegaraan, Paulus E Lotulung,
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Makalah Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14 s.d. 18 Juli 2003.
176
Slamet Sarwo Edy, Independensi Sistem Peradilan Militer di Indonesia (Studi Tentang
Struktur Peradilan Militer), Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 06 Nomor 1, Maret 2017, hlm. 106.
177
Sebagaimana termaktub dalam Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan Memperkuat
Peran dan Kedudukan Hakim (Jakarta: Graha Pena, 2018) hlm. 253.
208
Rusli Muhammad menyatakan bahwa kemandirian
pengadilan tidak lain adalah kebebasan (independence), di
dalamnya terkandung kebebasan dalam menjalankan tugas
peradilan. Oleh karena itu—mengutip pendapat Oemar Seno
Aji, bahwa kebebasan lembaga peradilan merupakan
kebebasan hakim sebagai ketentuan konstitusionil yang
kemudian digariskan dalam undang‐undang organik, sebagai
salah satu aspek esensiil, bahkan sebagai unsur fundamental
dan condition qua non.178
Prinsip the independence of judiciary adalah ciri
terpenting negara hukum yang demokratis. Tidak ada negara
yang dapat disebut demokratis tanpa praktik kekuasaan
kehakiman yang independen. A. Mukti Arto mengatakan
bahwa keberadaan lembaga peradilan itu sangat vital karena
tiga alasan: 1) pengadilan merupakan pengawal konstitusi, 2)
pengadilan yang merdeka merupakan unsur pokok negara
hukum, dan 3) pengadilan merupakan akar negara hukum.179
Mengingat bahwa independensi memiliki urgensi tinggi
bagi keberlangsungan negara ini, maka hakim selaku ujung
tombak penyelenggara kekuasaan kehakiman harus menjaga
nilai tersebut.180 Segala bentuk intervensi dari pihak manapun
tidak dapat dibenarkan dan juga tidak boleh mempengaruhi
imparsialitas hakim. Fiat justitia ruat caelum (keadilan harus
ditegakkan walau langit runtuh). Hakim, sebagai manifestasi
dari pengadilan harus bersifat impartial (berimbang; tidak
memihak).
Perlindungan independensi kekuasaan kehakiman
merupakan garansi yang harus diberikan kepada hakim.
Aksentuasi independensi tersebut bukan hanya tertuju pada
tekanan dari luar terhadap diri (person) hakim, tetapi juga
independensi yang diperluas; yakni sebuah aturan yang
178
Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2010)
hlm. 35.
179
Slamet Sarwo Edy, Op. Cit. hlm. 107.
180
Pasal 3 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian badan peradilan”.
209
mengatur jabatan hakim itu sendiri. Hakim tidak dapat
disamakan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN), sebab
kedudukan hakim memanglah sangat berbeda. Penempatan
inilah yang belum diatur secara spesifik dalam konstelasi
hukum nasional. Cita‐cita independensi pengaturan jabatan
hakim tersebut masih menjadi hutang konstitusi.181
Hakim dengan segenap independensinya adalah aktor
utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Sebaik
apapun sebuah peraturan perundang‐undangan di suatu
negara hukum, jika hakimnya buruk dan tidak independen,
tentu akan menghasilkan output putusan yang buruk pula.
Akan tetapi sebaliknya, betapapun buruknya peraturan
perundang‐undangan, jika masih tersedia hakim yang
independen dan profesional, maka kesempatan mendapatkan
output putusan yang baik masih sangat terbuka lebar.
Untuk mendapatkan seorang hakim yang independen,
tentu memerlukan perhatian khusus berupa keberpihakan dan
kehadiran negara terhadap persoalan perlindungan hakim. Ini
adalah sebuah harga yang harus dibayar di sebuah negara
hukum. Negara harus menempuh segala upaya demi
terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman.
Independensi sangat terkait‐berkelindan dengan
perlindungan terhadap hakim. Pasal 3 ayat (2) Undang‐Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tegas
menyatakan “Segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal‐hal sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sebagai
konsekuensi logis dari larangan campur tangan pihak lain
dalam urusan peradilan sebagaimana dimaktub dalam pasal
tersebut, maka negara wajib mengupayakan langkah‐langkah
strategis untuk melindungi hakim dari segala bentuk
intervensi.
181
Akbar Faizal, Politik Hukum Perlindungan Hakim, Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Jakarta Vol.4 No.1, 2016, hlm. 1‐2.
210
Sampai di titik ini, maka dapat disimpulkan:
perlindungan hakim demi terwujudnya kemerdekaan
kekuasaan kehakiman adalah sebuah harga mati. Tidak dapat
ditawar lagi. Perlindungan tersebut bukan untuk kepentingan
hakim atau badan peradilan semata, tapi untuk keselamatan
negara hukum ini.
Soal perlindungan hakim, Mahkamah Agung, sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman (yudikatif) tentu tidak dapat
berjalan sendirian. Harus ada payung hukum berupa undang‐
undang yang komprehensif yang berorientasi pada
perlindungan hakim. Adapun Undang‐Undang dimaksud
merupakan produk Dewan Perwakilan Rakyat RI (legislatif) dan
dengan pengesahan Presiden RI (eksekutif). Oleh sebab itu,
baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus berjalan kompak
dan searah untuk mewujudkan perlindungan terhadap hakim.
Jika telah ada sinergitas antara ketiga unsur pokok
negara untuk melindungi hakim dari segala bentuk intervensi,
maka independensi—sebagai nilai primordial hakim—dapat
terjaga eksistensinya. Sehingga penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman akan berjalan sesuai fitrahnya: merdeka dan tidak
memihak.
4. Perlindungan Hakim: Pekerjaan Negara yang Belum
Selesai
Profesi hakim adalah officium nobile (profesi mulia).
Pelaksanaan tugas hakim membutuhkan kecakapan khusus
dan tanggungjawab khusus. Hakim adalah manifestasi negara
untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Oleh sebab
itulah hakim disebut sebagai pejabat negara.
Status hakim sebagai pejabat negara tertuang dalam
Pasal 19 Undang‐Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 122 Undang‐Undang Nomor 5
tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 11 ayat (3)
Undang‐Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok‐Pokok
Kepegawaian (PPK).
Norma umum perlindungan hakim sebagai pejabat
negara telah diatur dalam Pasal 48 ayat (1) Undang‐Undang
211
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: “Negara memberikan jaminan keamanan dan
kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman.” Selanjutnya, secara lebih mendetil, Pasal 2 dan 7
ayat (1,2, dan 3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012
tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di
Bawah Mahkamah Agung juga mengatur perlindungan
keamanan bagi hakim yang sebagai berikut:
Pasal 2
“Hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri atas:
a. gaji pokok;
b. tunjangan jabatan;
c. rumah negara;
d. fasilitas transportasi;
e. jaminan kesehatan;
f. jaminan keamanan;
g. dst…”
Pasal 7
(1) Hakim diberikan jaminan keamanan dalam
melaksanakan tugas;
(2) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1)
meliputi:
a) tindakan pengawalan; dan
b) perlindungan terhadap keluarga.
(3) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didapatkan dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau petugas keamanan lainnya;
Meski perlindungan keamanan terhadap hakim telah
memiliki payung hukum, bahkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung telah diatur
secara lebih mendetil, namun dalam realitasnya negara belum
dapat merealisasikan norma tersebut dalam kehidupan nyata.
Ini berarti ada pekerjaan negara yang belum selesai.
212
5. Mewujudkan Perlindungan Prima terhadap Hakim
Hakim adalah aktor utama pelaksana kekuasaan
kehakiman. Hakim harus memiliki karakter independen yang
merupakan derivasi dari karakter kekuasaan kehakiman.
Hakim memiliki tugas dan wewenang sangat luas dan
menentukan.182 Untuk menjaga fitrah karakter tersebut, tidak
berlebihan jika hakim harus mendapat perlindungan prima.
Negara wajib menyelesaikan pekerjaannya dalam melindungi
hakim.
Terdapat dua syarat utama agar perlindungan prima
terhadap hakim sebagaimana telah didefinisikan sebelumnya
dapat terwujud: pertama, terwujudnya aturan perundang‐
undangan yang komprehensif dan kedua, adanya kehendak
negara.
Pertama, aturan perundang‐undangan yang
komprehensif. Harus diakui, hingga saat ini pengaturan
jaminan perlindungan hakim belumlah komprehensif. Selain
terpencar, juga masih belum lengkap.
Telah dibahas sebelumnya, perlindungan hakim telah
diatur dalam dua aturan perundang‐undangan yang berbeda:
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak
Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah
Mahkamah Agung. Namun pengaturan tersebut belum
komprehensif menjangkau seluruh unsur pokok perlindungan
hakim. Setidaknya ada tiga ruang kosong konstitusi yang harus
diisi agar perlindungan hakim ini dapat terselenggara dengan
baik.
Ruang kosong yang pertama adalah belum terwujudnya
Undang‐Undang Jabatan Hakim (UUJH). Peraturan mengenai
hakim masih bersifat parsial, tersebar dalam berbagai
peraturan perundang‐undangan dan belum optimal dalam
mengatur hakim sebagai pejabat negara dengan pemenuhan
182
Marojahan J.S. Panjaitan, Membangun Badan Peradilan yang Beradab, Berbudaya, dan
Berkeadilan Menurut Teori, Praktik dan UUD 1945 (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2018), hlm.56.
213
hak dan jaminan integritas, akuntabilitas, dan profesionalitas
kinerja hakim.
UUJH adalah sebuah keniscayaan, cepat atau lambat
harus terwujud, sebab ia adalah amanat konstitusi (UUD NRI
1945) 183 . Entah bagaimana penjelasan rasionalnya, sejak
konstitusi negara ini terlahir, hingga saat ini undang‐undang
tentang jabatan hakim selaku pelaksana kekuasaan kehakiman
belum terwujud. Ini adalah sebentuk anomali.
Hakim perlu punya “rumah hukum” yang di dalamnya
terdapat ketentuan yang lengkap terkait pengangkatan,
pembinaan, pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian
Hakim. Jika dibanding aparat penegak hukum lainnya, profesi
hakim dapat dikategorikan sebagai barisan terabaikan oleh
konstitusi. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah adanya
payung hukum bagi aparat penegak hukum lain; polisi memiliki
Undang‐Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia; jaksa memiliki Undang‐Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
advokat memiliki Undang‐Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, dan notaris memiliki Undang‐Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang‐Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Rancangan Undang‐Undang Jabatan Hakim (RUUJH)
yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2015‐2019 DPR RI harus selalu dikawal. Rakyat bersama
Mahkamah Agung harus memastikan bahwa subtansi UUJH
nantinya benar‐benar dapat meningkatkan marwah hakim dan
berorientasi independensi kekuasaan kehakiman. Jangan
sampai terjadi sebaliknya.
183
Dalam UUD 1945, amanat itu termuat dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 yang berbunyi:
“Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang‐undang tentang
kedudukannya para hakim”, pasca amandemen, kemudian subtansi penjelasan pasal tersebut
melebur ke dalam Pasal 25 UUD NRI yang berbunyi “Syarat‐syarat untuk menjadi dan
untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang‐undang”.
214
Ruang kosong yang kedua adalah belum terwujudnya
Undang‐Undang Contempt of Court. Sejak negara ini berdiri
hingga detik ini, perlindungan dan pengamanan terhadap
hakim terutama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan
kehakiman masih belum optimal. Hukum positif Indonesia
belum mengatur contempt of court secara definitif, spesifik,
dan lengkap. Adapaun pengaturan yang dipadankan dalam
Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak
merepresentasikan pengertian dan ruang lingkup contempt of
court yang integral.184
Undang‐Undang Contempt of Court bertujuan untuk
menjaga dan melindungi aparat peradilan, khususnya hakim
dari segala ancaman ataupun intervensi yang dapat
mengganggu independensi penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman. Urgensi undang‐undang contempt of court telah
banyak diulas dan dikaji, bahkan pada tahun 2014 DPR RI telah
menginisiasi dibentuknya Rancangan Undang‐Undang tentang
Penghinaan dalam Persidangan (contempt of court).
Rancangan undang‐undang ini tercatat dalam daftar Prolegnas
jangka panjang 2015‐2019. Namun kenyataannya, sejak 2015
hingga 2018 tidak masuk dalam daftar Prolegnas prioritas
tahunan.
Selain rancangan undang‐undang, sebenarnya subtansi
pengaturan contempt of court juga telah disisipkan dalam
Rancangan Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana (RKUHP)
pada Pasal 328 dan 329, 185 namun ironisnya, rumusan pasal itu
184
Budi Suhariyanto, Contempt of Court dalam Perspektif Hukum Progresif, Jurnal Yudisial,
Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, hlm. 151.
185
Pasal 328 berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Pasal 329 berbunyi “Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap
orang yang secara melawan hukum: a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai pembuat atau
sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut
untuk orang lain; b. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan
proses peradilan; c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim
dalam sidang pengadilan; atau d. mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan
segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim
dalam sidang pengadilan.”
215
hingga saat ini belum disepakati karena masih menimbulkan
perbedaan pandangan antara Panja RKUHP dengan Tim
Pemerintah, dengan alasan ada kekhawatiran konten pasal
contempt of court akan membungkam kebebasan berekspresi
dalam berdemokrasi.
Membiarkan Rancangan Undang‐Undang Contempt of
Court mangkrak adalah tidakan tidak bijak. Seluruh elemen
rakyat bersama Mahkamah Agung sebaiknya terus mendorong
dan mengawal terwujudnya undang‐undang ini.
Ruang kosong yang ketiga adalah belum adanya aturan
turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012
tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di
Bawah Mahkamah Agung. Pasal 7 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 menyatakan “Ketentuan
lebih lanjut mengenai jaminan keamanan sebagaimana ayat (3)
diatur dengan keputusan Mahkamah Agung.”
Idealnya, harus ada aturan turunan lagi yang mengatur
tentang teknis perlindungan keamanan hakim dilaksanakan.
Bentuknya berupa Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Aturan turunan itulah yang akan mengatur serigid mungkin
tentang: 1) bentuk pengamanan hakim selama menjalankan
tugasnya menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, 2) bentuk
pengamanan hakim di luar tugas menjalankan tugasnya
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, 3) bentuk
pengamanan keluarga hakim, 4) penganggaran, 5)
penanggungjawab pengamanan, 6) pihak yang ditunjuk
sebagai pengaman, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan ruang kosong yang pertama dan kedua,
ruang kosong yang ketiga ini terjadi bukan karena keengganan
atau kealpaan Mahkamah Agung dalam mewujudkan aturan
tersebut. Belum terwujudnya aturan internal mengenai teknis
pengamanan hakim ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal: belum adanya ketersediaan anggaran dari negara
(baca: pemerintah) untuk pengamanan hakim.
Syarat utama yang kedua demi terwujudnya
perlindungan prima hakim adalah adanya kehendak atau
216
kemauan negara dalam memberikan perlindungan. Kemauan
negara untuk mewujudkan perlindungan hakim tampaknya
masih setengah hati. Alasan ketidakmampuan negara selalu
menjadi dalil klise dalam hal tidak terpenuhinya jaminan
keamanan bagi hakim. Realitas ini seharusnya menjadi
tantangan serius bagi negara, jika benar‐benar berkehendak
memberikan garansi perlindungan hakim, demi tercapainya
tujuan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Berulangnya alasan ketidakmampuan negara ini tentu
merupakan buah dari persoalan belum mandirinya anggaran
badan peradilan. Selama ini, untuk mengusulkan anggaran,
Mahkamah Agung diharuskan melalui serangkaian
pembahasan alot dengan Bappenas dan Kementerian
Keuangan, dan ironisnya, seringkali tidak mendapatkan alokasi
sesuai yang direncanakan.
Sebagai negara demokrasi yang menerapkan trias
politika, ketergantungan anggaran yudikatif seperti ini tentu
tidak ideal. Sebagaimana diketahui, trias politika adalah
pembagian kekuasaan menjadi tiga bidang yang memilki
kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut dalam pengertian
secara umum adalah:186
a. Legislatif, bertugas membuat undang‐undang;
b. Eksekutif, bertugas menerapkan atau melaksanakan
Undang‐ Undang;
c. Yudikatif, bertugas mempertahankan pelaksanaan
Undang‐ Undang.
Ketergantungan anggaran, dalam batas tertentu dapat
mengganggu fungsi cheks and balances (sistem pengawasan
dan keseimbangan). Ini tentu harus dihindari, atau setidaknya
diminimalisasi.
Blueprint Mahkamah Agung 2010‐2035 menginstruksi
beberapa langkah demi terwujudnya kemandirian anggaran:187
a. Menumbuhkan pemahaman bersama tentang
kemandirian anggaran badan peradilan;
186
Kaka Alvian Nasution, Lembaga‐ Lembaga Negara (Yogyakarta: Saufa, 2014), hlm. 8.
187
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, 2010, hlm. 56.
217
b. Mengkaji peraturan perundang‐undangan yang
berkaitan dengan kemandirian anggaran badan
peradilan;
c. Menentukan tingkat kemandirian anggaran badan
peradilan;
d. Mendorong dibentuknya undang‐undang yang berisi
kemandirian anggaran badan peradilan.
Menindaklanjuti rencana kemandirian anggaran badan
peradilan, Aco Nur, saat menjabat Kepala Badan Urusan
Administrasi Mahkamah Agung menyatakan:
“Kemandirian Anggaran Peradilan seharusnya tidaklah
terlalu berat diperjuangkan oleh Mahkamah Agung.
Kemandirian keuangan bagi peradilan telah diatur pada
Pasal 81 A Undang‐Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung yang mengatur bahwa Anggaran
Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran
tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN)”.188
Dengan segenap usaha maksimal—tentunya disertai
do’a, kemandirian anggaran badan peradilan tentu akan segera
terwujud. Kemandirian anggaran peradilan terkait erat dengan
jaminan perlindungan terhadap hakim, dan yang lebih besar
lagi terkait pencapaian misi Mahkamah Agung: menjaga
kemandirian badan peradilan.
6. Kesimpulan
Hakim adalah profesi mulia dengan tanggung jawab
besar dan risiko tinggi. Saat menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim adalah manifestasi negara dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu, perlindungan prima
terhadap hakim adalah sebuah kemutlakan (absoluteness).
Perlindungan prima terhadap hakim adalah segala
bentuk upaya yang ditempuh untuk memberikan perlindungan
terbaik bagi hakim dari segala bentuk intervensi, penghinaan,
188
PembaruanPeradilan.net, Kemandirian Anggaran Seharusnya Tak Sulit, diakses dari
http://www.pembaruanperadilan.net/v2/2013/10/kemandirian‐anggaran‐seharusnya‐tidak‐sulit/,
tanggal 06 Oktober 2018, pukul 04.35. wib.
218
dan mara bahaya, baik berupa perlindungan fisik dan psikis
terhadap hakim sebagai person ataupun perlindungan
kehormatan hakim sebagai jabatan, demi terwujudnya
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka.
Perlindungan prima terhadap hakim dapat terwujud
dengan dua syarat utama: 1) adanya aturan perundang‐
undangan yang komprehensif, dan 2) adanya kehendak atau
kemauan negara.
Selama ini perlindungan terhadap hakim di Republik
Indonesia belum optimal. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
pertama, belum terwujudnya aturan perundang‐undangan
terkait perlindungan hakim yang komprehensif. Dalam
konteks ini, setidaknya ada tiga ruang kosong konstitusi:
belum terwujudnya Undang‐Undang Jabatan Hakim, Undang‐
Undang Contempt of Court, dan aturan turunan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan
Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
Kedua masalah belum adanya ketersediaan anggaran dari
negara (pemerintah).
Solusi untuk mewujudkan perlindungan prima terhadap
hakim adalah dengan: 1) mendorong dan mengawal terbitnya
segala bentuk aturan perundang‐undangan yang berorientasi
pada perlindungan prima terhadap hakim, dan 2)
memperjuangkan kemandirian anggaran badan peradilan.
C. Media dan Peradilan
Apakah sebutan yang pas “pers” atau “media”? dewasa ini,
dalam buku‐buku, diskusi atau kegiatan ilmiah lainnya lebih
populer istilah media dari pada “pers”. Meskipun kalah populer,
istilah “pers” atau “press” tetap digunakan dalam keseharian,
Ketua Dewan Pers saat ini Prof. DR. Bagir Manan, SH., M.C.L.
yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia periode 2001‐2008, pun ternyata lebih gemar
menggunakan istilah pers ketimbang media karena dianggap
sebagai bentuk ketaatan normatif atas sebutan yang tertuang
dalam undang‐undang, dan sebutan “pers” juga lebih mengakar
219
secara sosial, dan publik pun tidak membedakan sebutan “pers”
atau “media”, alasan lainya lebih memilih menggunakan sebutan
“pers” bahwa di kalangan pelaku pers telah dikenal istilah pers
cetak dan pers elektronik.189
Pers secara bahasa (etimologi), pers yang dikenal dalam
kosa kata bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda (pers)
yang mempunyai arti sama dengan press dalam bahasa Inggris.
Sejarah kata Pers itu sendiri pada awalnya merupakan sebutan
bagi mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Guttenberg di
tahun 1456.190 Pengertian ini diambil dari bahasa Latin Pressare
yang berarti tekan atau cetak.191 Pengertian pers ini tentunya
dirasakan tidak sejalan dengan definisi pers sebagaimana
disebutkan. Sebutan “pers” kaitanya dengan sejarah dan definisi
secara kebahasaan (etimologi) memang berarti sangat sempit
yaitu hanya berkaitan dengan media cetak (drukkerij media,
printed media). Sementara dipihak lain, sebutan “media”
bermakna lebih luas, selain printed media, sekarang berkembang
semakin luas dengan adanya konvergensi teknologi informasi dan
komunikasi telah melahirkan apa yang disebut media elektronik
(electronic media) seperti TV, Radio, website, dan yang populer
disebut media sosial (medsos) seperti facebook, twitter dan lain
sebagainya berkembang semakin pesat dan mengembangkan
dirinya menjadi apa yang disebut “social media”, “citizen
journalism”.
Memaknai Pers, kita harus menyelami definisi pers dalam
Undang‐Undang. Pasal (1) Undang‐Undang Nomor 40 Tahun
1999 Tentang Pers yaitu; “Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
189
Manan, Bagir, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Dewan Pers: 2016), hal. 139.
190
Idri Shaffat, Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Penyimpangan Pers, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2008, cet. 1, hal. 3.
191
Obadja Voges, Stefan, Kemerdekaan Pers Dalam Perspektif Hukum Pers Indonesia, dalam
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/6386/5903, diakses
tanggal 5 Desember 2018
220
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran yang tersedia”. 192 Pasal tersebut dalam
Penjelasan dianggap cukup jelas yang menggambarkan bahwa
makna pers yang tertuang dalam Undang‐undang ini sudah
sangat jelas interpretasinya dan tidak ada lagi penjelasan
tambahan yang dibutuhkan untuk itu.
Prof. Oemar Seno Adji, SH juga menjelaskan; Pers dalam
arti yang sempit seperti diketahui mengandung penyiaran‐
penyiaran pikiran, gagasan ataupun berita‐berita dengan jalan
tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti yang luas memasukkan di
dalamnya semua media mass communications yang
memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata‐
kata tertulis maupun dengan kata‐kata lisan. 193 Makna Pers
secara luas akan semakin luas dengan pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi dirasakan semakin akseleratif
sehingga cara‐cara konvensional yang sebelumnya dilakukan
terpisah sekarang tergabung menjadi satu (konvergensi) dalam
genggaman, pemanfaatan konvergensi teknologi informasi dan
komunikasi merambah hampir dalam segala bidang dan
dimanfaatkan oleh semua golongan, sehingga siapapun dapat
mengkases informasi secara cepat dimanapun dan kapanpun
dengan sangat mudah. Muncul pertanyaan seberapa luas
jangkauan dan seberapa banyak jumlah pengguna internet di
Indonesia? Menurut survey Asosiasi Penyedia Jasa Internet
Indonesia (APJII) tahun 2016, jumlah pengguna internet di
Indonesia adalah 52 % dari jumlah total penduduk Indonesia
(132,7 Juta jiwa) dan meningkat di tahun 2017 sekitar 2% menjadi
54% (143,26 Juta jiwa). 194 Internet, merupakan kemajuan di
bidang teknologi informasi, yang membawa manusia ke dalam
dunia baru, yakni dunia siber (cyber world), yang menawarkan
dunia tanpa batas (borderless) yang efisien.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan
perkembangannya yang pesat tentu akan sangat mempengaruhi
192
Republik Indonesia, Undang‐Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
193
Oemar Seno Adji, Mass Media Dan Hukum, Erlangga, Jakarta, 1977, cet. 2, hal. 13.
194
https://apjii.or.id/survei2017/kirimlink, diakses tanggal 6 Desember 2018
221
kehidupan tidak terkecuali ranah hukum dan pers atau media
yang merupakan bagian dari bisnis penyiaran dan teknologi
informasi. Pada tahun 1990‐an istilah globalisasi terasa sangat
jauh, dan sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi (information and communication technology/ ICT),
globalisasi tersaji dalam genggaman tangan. Arus global ini sudah
pasti akan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat
termasuk pengaruhnya ke dalam bidang hukum dan penyiaran
berita (pers). Sisi positif konvergensi teknologi informasi dan
komunikasi adalah kemudahan dan kecepatan mendapatkan
informasi, namun juga ada sisi negatif antara lain penyebaran
hoak, penipuan dan salah satunya adalah publikasi oleh pers
(media) yang tanpa batas sehingga perlu adanya pembatasan
(restriksi) media dalam melakukan publikasi terhadap perkara
yang menyita perhatian publik.
Selain Undang‐undang nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers, sejalan dengan perkembangan pers itu sendiri yang tidak
hanya pers yang bersifat cetak (printed media) tetapi pers
elektronik atau dikenal dengan istilah media online, maka
pengaturan atas perihal tersebut dapat menggunakan Undang‐
undang nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang telah diubah (amandemen) dengan Undang‐
undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU
Nomor 11 tahun 2008 Tentang Imformasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), yang isi kandungan didalamnya telah
meratifikasi sebagian ketentuan konvensi tindak pidana siber
(cyber crime) Uni Eropa yang diadakan di Budavest pada tahun
2001.195
1. Kemerdekaan Pers dan Kemandirian Kekuasaan
Kehakiman
Kemerdekaan (freedom) akan senantiasa berisi
kebebasan (liberty).Tidak ada kemerdekaan tanpa kebebasan
dan tidak ada kebebasan tanpa kemerdekaan. Isi (substansi)
kemerdekaan pers adalah kebebasan pers. Wujud kebebasan
195
Modul 8 Mata Kuliah Hukum Telematika Universitas Terbuka, diakses dari Ruang Baca
Virtual tanggal 6 Desember 2018.
222
pers adalah kebebasan berkomunikasi, kebebasan
berpendapat dan menyebarkan pendapat, dan lain‐lain hal
yang bertalian dengan fungsi pers bebas. Kemerdekaan pers
merupakan salah satu wujud kemerdekaan (kebebasan)
berekspresi (freedom of expression).
Penulis, dalam tulisan ini menggunakan keduanya
kebebasan dan kemerdekaan pers, namun demikian bahwa
istilah kemerdekaan pers lebih mengakar dan bersifat
konstitutif dari pada kebebasan pers, sebagaimana terdapat
dalam konsideran Undang‐Undang nomor 40 tahun 1999
tentang Pers huruf (a) mengupas mengenai makna
kemerdekaan pers: “bahwa kemerdekaan pers merupakan salah
satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat
penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 Undang‐undang Dasar 1945 harus
dijamin”. 196 Sebutan “kemerdekaan pers” atau sebutan
“kemerdekaan pers” dalam tulisan ini akan digunakan silih
berganti, kemerdekaan tidak lain adalah kebebasan.197
Kemerdekaan pers tersebut adalah merupakan
keharusan bagi masyarakat yang demokratis dan menjunjung
tinggi nilai‐nilai hak asasi. Hal tersebut juga didambakan oleh
negara lain, seperti Indian Press Commision: “Democracy can
thrive not only under the vigilant eye of its legislature, but also
under the care and guidance of public opinion and the press is par
excellence, the vihicle through with opinion can become
articulate”. Tumbuh kembang demokrasi bukan hanya menjadi
tugas legislatif, tetapi demokrasi harus dirawat oleh pendapat
umum yang dapat diartikulasikan oleh kegiatan pers sebagai
media penyaluran pendapat umum tersebut. Di samping itu
bahwa kemerdekaan pers juga adalah bagian dari
perlindungan terhadap hak asasi manusia.198 Pers sebagai hak
196
Republik Indonesia, Undang‐Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
197
Manan, Bagir, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Dewan Pers: 2016), hal. 71
198
Manan, Bagir, Pers.. Ibid, h. 58
223
asasi sekaligus sebagai instrumen bagi setiap individu (baca:
masyarakat) untuk menuangkan gagasan dan menyalurkan
kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Pasal 28 Undang‐undang Dasar 1945 menjamin
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan.199 Pers yang meliputi media cetak,
media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu
sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
tersebut. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan
pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan
merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban
kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang
transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran
terwujud.200
2. Kesejahteraan Adalah Dasar Kemerdekaan (Pers)
Terminologi kebebasan (baca: kemerdekaan) pers dan
hukum selalu menjadi bahan penelitian dan kajian‐kajian
ilmiah. Hak atas kebebasan pribadi (the right of privacy)201 atau
disebut juga “hak kesendirian”202 sebagai bagian dari hak asasi
manusia yang meliputi hak‐hak pribadi, yang sesungguhnya
oleh insan pers dianggap sebagai wilayah abu‐abu yang
mempunyai ukuran namun sangat relatif. Mengenai
kebebasan dan hak pribadi itu sendiri telah lama dibahas
dalam konferensi‐konferensi tingkat internasional khususnya
yang membahas mengenai Hak Asasi Manusia. Dalam sejarah
hak asasi manusia, manusia menyadari bahwa hak atas
kebebasan pribadi merupakan hak fundamental (basic right)
paling pertama yang pemenuhannya paling diutamakan
dibandingkan dengan hak‐hak lain, konsep ini dilandasi
pemikiran bahwa tidak mungkin terjadi pemenuhan atas hak‐
199
Republik Indonesia, Undang‐Undang Dasar 1945.
200
Republik Indonesia, Penjelasan Undang‐Undang Nomor 40 tahun 1999.
201
Armada S.A, Wina, Menggugat Kebebasan Pers (Pustaka Sinar Harapan: 1993), hal. 61.
202
Wahidin, Syamsul, Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers, Op.Cit, hal 5.
224
hak lainnya jika tidak terpenuhinya hak atas kebebasan
pribadi. Dalam International Convenant on Civil and Political
Right (ICCRP), hak atas kebebasan pribadi disebut bersama‐
sama dengan hak atas keamanan pribadi, perpaduan dari
kebebasan pribadi dan keamanan pribadi adalah esensi dari
freedom yang diusung oleh Franklin D. Rosevelt (1941) yang
saat itu sebagai Presiden Amerika dengan mencetuskan 4
freedom:
a. Freedom of speech,
b. Freedom of religion,
c. Freedom of fear, and
d. Freedom of want.
Rosevelt mengemukakan pendapat yang masyhur pada
saat itu bahwa “orang berkekurangan bukanlah orang bebas”,
karena siapa yang mampu memberikan kesejahteraan
kepadanya maka dia akan tunduk dan menciptakan
kediktatoran orang lain atas orang tersebut”. Konsep freedom
yang ditawarkan Rosevelt pada tahun 1944 telah
mempengaruhi isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia/ Universal Declaration of Human Right) yang menyasar
berbagai sisi penting hak asasi termasuk di dalamnya bahwa
kesejahteraan adalah hak asasi, karena manusia yang tidak
sejahtera sangat rentan dan kebebasannya terancam. 203
Kebebasan (freedom) menjadi salah satu tuntutan pokok yang
diperjuangkan dalam perjuangan pada revolusi Prancis, lalu
PBB pada tahun 1946 mendeklarasikannya dan secara eksplisit
menyebutkan hak atas kebebasan pribadi. Dalam UU HAM
nomor 39 tahun 1999, termasuk dalam hak pribadi adalah hak
untuk mendapatkan ketentraman, ketenangan dalam
menjalani kehidupan dalam masyarakat, hak untuk bebas dan
menjaga rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk
komunikasi melalui sarana elektronik. Luar dari itu, hak pribadi
di atas, bahwa ada juga hak asasi lainnya, yaitu hak untuk
mendapatkan informasi yang benar.
203
Ifdhal Kasim (ed), Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Essai‐essai Pilihan buku‐2, (Jakarta:
Juli 2001), hal. 18
225
Dalam pidato 1 Juni 1945 (dikenal sebagai lahirnya
Pancasila), Bung Karno mengatakan tentang “prinsip
kesejahteraan, prinsip tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia
merdeka”. Di bagian lain Bung Karno menyatakan: “Kalau kita
mencari demokrasi, hendaklah bukan demokrasi Barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup yakni politiek‐
economische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial… bukan saja persamaan politik… tetapi pun
di lapangan ekonomi, kita harus mengadakan persamaan,
artinya kesejahteraan bersama yang sebaik‐baiknya….”204
Padangan yang sama merupakan dasar pendirian politik
Bung Hatta sejak masa perjuangan dan selalu diulang‐ulang
setelah kemerdekaan. Dalam “Demokrasi Kita” (1960) Bung
Hatta mengatakan: “Demokrasi politik saja tidak dapat
melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah
demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau
tidak, manusia belum merdeka. Persamaan dan persaudaraan
belum ada. Sebab itu cita‐cita demokrasi Indonesia ialah
demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang
menentukan nasib manusia. Cita‐cita keadilan yang terbangun di
muka dijadikan program untuk melaksanakan di dalam praktek
hidup nasional di kemudian hari.”205
Mendahului pemikiran‐pemikiran di atas, ada berbagai
pernyataan dari orang‐orang yang memiliki reputasi
mendunia, antara lain:
a. Frederick Engels dalam sambutan pemakaman Karl
Mark mengatakan: “….that human being must first of all
eat, drink, shelter and close themselves before they can
turn their attanetion to politics, science, art and religion”.
(Manusia itu pertama‐tama harus makan, minum ada
tempat tinggal, mempunyai baju sebelum mereka dapat
memberi perhatian pada politik, ilmu, seni, dan
agama”.)206
204
Manan, Bagir, Pers.. Op.Cit, h. 42
205
Manan, Bagir, Ibid.
206
Manan, Bagir, Ibid.
226
b. Adam Smith dalam Wealth of Nation, menyatakan: “No
society can surely be flourishing and happy, of which the
fargreater part of the members are poor and miserable.”
(Tidak seorangpun dapat sungguh‐sungguh sejahtera
dan bahagia, apabila bagian terbesar miskin dan
papa”.).207
c. Jawaharlal Nehru mengatakan: “Obviously, everybody
will agree, almost everybody, that we have to provide a
good life to all our citizens… a good life means certain basic
material things that everybody should have, like enough
food and clothing, a house to live in, education, health
services and word…”. (Sesungguhnya semua orang akan
atau hampir semuanya akan setuju, bahwa kita wajib
memberikan perikehidupan yang baik bagi semua
warga…. Perikehidupan yang baik maksudnya kebutuhan
dasar tertentu yang harus dimiliki setiap orang, seperti
cukup pangan dan sandang, rumah tempat tinggal,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan.” 208
Dalam pernyataan‐pernyataan di atas kita mengenal
pula ungkapan: “solus populi suprema lex” (kesejahteraan
rakyat adalah hukum tertinggi) atau “kemiskinan itu awal
kekafiran.”
Aspek lain dari adanya kebebasan berekspresi yang
terkandung dalam makna kebebasan adalah “kebebasan
berkompetisi atau bersaing”, dengan adanya kompetisi maka
akan ada persaingan untuk menyuguhkan yang terbaik, dalam
praktek lapangan, kemerdekaan pers yang berisi kebebasan
pers tidak dapat menghindari persaingan. Ajang kompetisi
akan sangat dipengaruhi oleh kuatnya modal, pengaruh
kekuasaan dan kompetensi. Dalam kompetisi yang paling
kuatlah yang menang, dari sisi modal pemilik modal besar
akan melibas pemilik modal kecil yang pada ujungnya akan
menciptakan berbagai bentuk monopoli. Di Indonesia “pers”
hanya dikuasai oleh 12 perusahaan besar yang masing‐masing
207
Manan, Bagir, Ibid.
208
Manan, Bagir, Op.Cit. h. 43
227
membuat grup usaha sampai ke daerah‐daerah209, lalu “pers”
asli daerah kehabisan ladang iklan, untuk mempertahankan
hidup, pers daerah berupaya bagaimana menempel dengan
kekuasaan di daerah. Pola hubungan yang sangat rentan, yang
kemudian akan saling menyandra dan mengancam
kemerdekaan pers, karena kebebasannya tersandra oleh
kesejahteraan. Apabila Pemerintah Daerah atau satuan lainnya
tidak memberikan “pelumas yang cukup”, pers akan membuat
berita yang tidak objektif, investigasi ruang private atau
bahkan memutar balikan fakta. Pers semacam ini akan
menimbulkan korban‐korban sosial yang tidak perlu. Praktek
jurnalisme investigasi menjadi senjata pewarta untuk
memasuki wilayah abu‐abu masyarakat, hal‐hal private
menjadi konsumsi publik dimana sesungguhnya tertuang
dalam KEJ (Kode Etik Jusnalistik) ada pembatasan‐
pembatasan yang harus dipatuhi sebagai bentuk karakter
insan pers yang berintegritas.
Aturan main (rule of game) mengatur kompetisi,
menentukan arena dan menunjuk siapa yang jadi peserta dan
siapa yang jadi wasitnya. Aturan main harus ada, karena tak
mungkin kelas bantam diadu di ring tinju dengan kelas berat.
Pembatasan‐pembatasan dalam persaingan adalah
kepentingan publik (keamanan, ketenteraman, kesejahteraan).
Sebagai negara dan masyarakat yang memilih demokrasi, kita
tidak dapat menghindari persaingan (kompetisi),
membolehkan setiap orang atau kelompok bersaing
memperjuangkan kepentingannya. Aturan dalam berkompetisi
sebagai pemandu agar persaingan itu bertujuan untuk
kepentingan publik, karena persaingan yang tanpa aturan dan
tanpa batas akan mempertontonkan praktek hukum rimba,
dalam ilmu politik atau ilmu hukum ada yang disebut dengan
“teori perjanjian”: Hobbes (Leviathan), Rousseau, (Contract
Social), Locke (Two Treatises of Civil Government).
209
Manan, Bagir, Op.Cit. h. 15
228
Menurut para penulis ini, asal mula negara adalah suatu
perjanjian sosial antar individu yang bebas (merdeka).
Termasuk kebebasan bersaing. Menurut Hobbes, sebelum ada
negara, manusia itu senantiasa bermusuhan satu sama lain
yang digambarkan sebagai serigala yang senantiasa bertarung
(homo homini lupus, bellum omnium contraomnes, all agaist all).
Demi kelangsungan, kedamaian, manusia yang berwatak
serigala itu membuat perjanjian dengan menunjuk seorang
penguasa tunggal yang berkuasa mutlak untuk memerintah
mereka. Sebaliknya Locke yang menggambarkan kehidupan
sebelum bernegara dengan individu yang serba bebas
sebetulnya penuh kedamaian (suasana surgawi). Locke
mengatakan, suasana damai meskipun bebas, karena ada
prinsip: “kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain”.
Tetapi suasana damai itu penuh potensi keributan, karena akan
senantiasa terjadi pergesekan kepentingan yang akan
menimbulkan perselisihan. Setiap orang akan berusaha
mempertahankan kepentingan, dan karena kecintaannya
kepada kelompoknya, maka akan terjadi pertarungan bukan
saja antar individu tetapi antar kelompok. Agar tidak terjadi
konflik sosial tersebut, mereka sepakat membuat perjanjian
membentuk negara. Bagaimana dengan Rousseau? Rousseau
lebih mengarahkan teori perjanjian untuk menemukan dasar
demokrasi. Menurut Rousseau, segala sesuatu itu (seperti
hukum) dibentuk sebagai wujud kehendak bersama (general
will). Jadi, menurut hipotesa teori perjanjian, negara terbentuk
sebagai cara meredakan persaingan yang tanpa batas.
Dalam kemerdekaannya, pers juga dimungkinkan untuk
dihambat dengan instrumen peraturan perundang‐undangan,
tindakan administratif bahkan melalui tindakan hakim (baca:
putusan). Mengenai tindakan hakim dalam peradilan dapat
menghambat kemerdekaan pers dapat melihat praktik di
negara‐negara yang menggunakan sarana contempt of court
sebagai sarana untuk melindungi (kemerdekaan) hakim dalam
melaksanakan atau sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Hakim adalah personifikasi negara dalam melaksanakan
229
fungsinya sebagai penegakan hukum (kekuasaan judikatif)
dengan sarana contempt of court dilindungi kemerdekaannya
termasuk dari adanya “campur tangan pers”, karena esensi dari
contempt of court itu bukan untuk melindungi pengadilan atau
hakim melainkan untuk menjaga keadilan (justice) itu sendiri,
dengan kata lain setiap tindakan contempt of court termasuk
yang dilakukan pers akan mempertaruhkan keadilan. Sejatinya
baik pers maupun kekuasaan kehakiman sudah semestinya
merdeka dan bebas. Untuk menjaga kemerdekaan kekuasaan
kehakiman dan kemerdekaan hakim terdapat beberapa
kendala atau persoalan yang harus dihadapi, antara lain:
Pertama; dalam negara yang menjalankan demokrasi
dan negara hukum, semua kekuasaan harus dapat dikontrol
agar selalu berjalan sesuai dengan kehendak rakyat (tunduk
pada kemauan rakyat).
Kedua; kekuasaan mengandung dorongan atau godaan
untuk disalahgunakan bahkan sewenang‐wenang (ajaran
Montesquieu dan Lord Acton).
Ketiga; kekhawatiran penyalahgunaan pranata contempt
of court yang dimanfaatkan sebagai pelindung
penyalahgunaan kekuasaan, perbuatan sewenang‐wenang
yang menghancurkan keadilan.
Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya hal‐hal
tersebut, perlu adanya kontrol terhadap pengadilan atau
hakim, selain menjamin pelaksanaan kemerdekaan pers, juga
untuk menjamin perwujudan keadilan.
Pers dan kekuasaan kehakiman sama‐sama memerlukan
kemerdekaan, namun dalam prakteknya akan saling
berhadapan satu sama lain karena kepentingan, tujuan akhir
dan manfaat yang hendak dicapai berbeda. Dalam negara
hukum demokratik (democratische rechtstaat, democracy under
the rule of law), kekuasaan kehakiman yang merdeka, hakim
yang merdeka (bebas) dan pers yang merdeka sama‐sama
merupakan suatu kemestian. Namun jika masing‐masing
dengan kemerdekaannya sendiri, maka akan merusak tujuan
kemerdekaan itu sendiri. Tujuan kemerdekaan pers itu
230
tertuang dalam konsideran Undang‐Undang nomor 40 tahun
1999 tentang Pers huruf (b): “bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis,
kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan
hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi
manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Huruf (d): “bahwa pers
nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social”. Pasal 2 UU Pers: “Kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip‐prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.210
Meskipun sampai sekarang Indonesia belum memiliki
Undang‐Undang yang mengatur secara khusus mengenai
contempt of court, tidak dapat diartikan bahwa pers dapat
memberitakan atau menyiarkan mengenai perkara atau
peradilan tanpa batas‐batas atau bahkan sampai melecehkan
atau menghina peradilan atau hakim. Tiadanya aturan, tetap
mengharuskan pers untuk berlaku: 211 Pertama; pers terikat
pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Menurut KEJ, wartawan (pers)
tidak membuat berita yang menghakimi, tidak menyiarkan
korban kejahatan kesusilaan, tidak menyebutkan identitas
anak yang menjadi pelaku kejahatan. Semestinya, wartawan
(pers) tidak dibenarkan memberitakan atau menyiarkan
penyelidikan dan penyidikan. Pada tingkat penyelidikan dan
penyidikan, wartawan tidak dibenarkan menulis nama lengkap
terperiksa atau identitas lain yang akan menjadi informasi
untuk mengenali yang bersangkutan. Juga, semestinya
wartawan (pers) tidak boleh memberitakan atau menyiarkan
wanita yang tersangkut tindakan asusila (baik sebagai korban
atau pelaku), dan perkara rumah tangga (domestic cases).
Kedua; wartawan (pers) wajib menghormati asas‐asas umum
keadilan (general principles of justice), kemerdekaan kekuasaan
210
Republik Indonesia, Undang‐Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
211
Manan, Bagir, Op.Cit. h. 60
231
kehakiman dan kebebasan hakim. Ketiga, wartawan (pers)
dibatasi oleh ketentuan‐ketentuan yang diatur hukum pidana
seperti pelanggaran privasi (privacy), perbuatan tidak
menyenangkan atau fitnah, dan lain‐lain.
Tidak jarang terjadi, pemberitaan atau siaran pers yang
melanggar prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman,
kebebasan hakim, tata cara pemberitaan atau penyiaran,
termasuk pelecehan terhadap badan peradilan (hakim), terjadi
karena: Pertama, akibat persaingan tidak sehat antar pers.
Masing‐masing berusaha seolah‐olah memuat berita atau
siaran “eksklusif’ untuk menarik perhatian pembaca atau
pemirsa. Kedua; tuntutan kecepatan menyampaikan informasi
kepada publik sehingga kurang memperhatikan prinsip‐prinsip
dan kaidah‐kaidah jurnalistik yang baku dan benar. Ketiga;
ketidaktahuan pers mengenai ketentuan‐ketentuan hukum
yang berlaku di lingkungan badan peradilan dan ketentuan
hukum pada umumnya. Keempat; kegiatan pers, termasuk di
lingkungan peradilan dijalankan oleh orang‐orang yang
sekedar menggunakan pers untuk kepentingan yang tidak
layak bahkan melanggar hukum dikenal sebutan: “pers abal‐
abal”. Kelima; putusan hakim dipersoalkan publik.
Sebutan pers abal‐abal ditujukan pada praktek yang
dilakukan oleh pelaku atau insan pers yang tidak taat pada
kode etik, 212 meminjam istilah Bung Hatta, perilaku tanpa
karakter. Identitas dari pers itu adalah karakteristiknya yang
ilmiah, lugas dan dapat dipertanggungjawabkan, jika tidak
berkarakter semacam itu, maka dapat dikategorikan abal‐abal
bahkan terbuka kemungkinan ada “hoax”. Pers berkarakter
merupakan tuntutan atas keberadaannya di tengah
penyalahgunaan kekuasaan, maraknya korupsi, turunnya
kepercayaan publik terhadap para penyelenggara kekuasaan.
Karenanya publik menuntut syarat integritas yang dipandang
sebagai sebuah obat atas berbagai penyalahgunaan kekuasaan
212
Bab I Kode Etik Jurnalistik berisi tentang Kepribadian dan Integritas, salah satu contoh
dalam KEJ, Pasal 3 Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang
menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan
232
yang merugikan rakyat banyak. Bung Hatta dalam tulisannya,
Demokrasi Kita, tahun 1960‐an 213 telah mengutarakan
pentingnya karakter; ilmu dapat dipelajari, tetapi karakter
didapat melalui proses latihan, demikian menurut Bung Hatta.
Karakter pers, tidak terlepas dari aspek politik, hukum
dan ekonomi214. Juga aspek lainnya yang lebih kompleks.
Membahas mengenai aspek politik, dalam prakteknya sangat
kental sekali terjadi politisasi media, sehingga keluar istilah
media partisan, hal itu wajar terjadi di arena politik,
kedewasaan politisi lah yang akan menentukan arah kemana
langkah berikutnya. Aspek politik yang mempengaruhi pers,
dewasa ini dapat kita perhatikan media apa berisi apa, dapat
kita lihat fenomenanya dalam tahun politik, ketika pers
dipolitisasi untuk tujuan‐tujuan politis, pencitraan dan
pemberitaan yang tidak cover both side, begitu juga dalam
aspek hukum pers tidak lepas dari aturan atau regulasi yang
mengatur lingkup pers baik formal atau regulasi non formal
yang dikenal dengan kode etik jurnalistik sebagai himpunan
aturan etika profesi kewartawananan. Pers juga sangat erat
kaitannya dengan aspek ekonomi, karena modal tentu menjadi
nyawa‐nya untuk menyampaikan gagasan yang tertuang
dalam berita kepada khlayak (publik), namun demikian sajian
berita yang komersial oriented menjadikan pers tidak sehat,
karena digunakan hanya untuk mengeruk keuntungan dengan
mengesampingkan faktor kode etik dan tujuan utamanya.
Pers itu berada di ranah sosial di mana masyarakat
menjadi subjek dan objeknya sekaligus; pers berasal dari
masyarakat, dikelola oleh masyarakat dan produknya
diperuntukkan atau disajikan kepada masyarakat. Terkait
dengan pengelolaan pers itulah dapat memunculkan peristiwa
yang memicu konflik sosial yang disebabkan karena sajian
yang merugikan dan banyak fator lainnya. Bahwa alas
213
Manan, Bagir, Op.Cit. h. 7
214
UU Pers, Pasal 3 ayat (1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Ayat (2) Disamping fungsi‐fungsi tersebut ayat (1), pers
nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
233
hidupnya pers adalah kebebasan yang menadi sumber mata
airnya (source)215 sekaligus sebagai legitimasi atas kinerja pers
itu sendiri. Asas kebebasan itu kemudian tertuang dalam
bentuk yang lebih filosofis, yaitu adanya hak untuk berbeda
pendapat yang secara konstitusional diatur dalam UUD 1945
dan dijabarkan dalam undang‐undang dan peraturan‐
peraturan lainnya.
3. Pers, Hukum, dan Kekuasaan
Menurut Frederick S. Siebert (1963), pers tidak hidup
dalam situasi yang hampa (vacuum), sejalan dengan pendapat
itu, Gebner berpendapat bahwa pers adalah institusi sosial,
sebagai lembaga kemasyarakatan—pers merupakan subsistem
kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem
lainnya, dengan kata lain bahwa pers tidaklah hidup secara
mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga kemasyarakatan
lainnya (Gebner, 1996). Realitasnya bahwa pers selalu
berkelindan dengan sebuah masyarakat yang dinamis dengan
pekembangan sosial, pers juga selalu brelasi dengan negara
dan atau dengan suatu sistem politik tertentu. Oleh karena itu
teori kebebasan pers sangat tergantung dengan keadaan
lingkungan di mana dia hidup, bermetamorfosa sesuai dengan
kebijakan suatu negara, politik dan hukum yang akan
menentukan arah pers—dalam makna kebebasannya.
Campur‐tangan kekuasaan negara dan politik dalam
kebebasan pers terjadi di hampir semua tempat dan sudah
terjadi sejak awal kemunculnya, dimasa lalu, ditemukan fakta
mengenai penerbitan berita melalui sebuah Buletin Berita Acta
Diurna yang terjadi di masa romawi kuno. Pada abad 1 SM,
Julius Caesar memerintahkan untuk memapangkan bulletin
berita yang ditulis dengan tangan ini di Forum, Alun alun besar
di kota Roma. Buletin berita yang disebarluaskan kepada
masyarakat ditemukan di Cina sekitar tahun 750 M. Abad ke
15, penyebarluasan berita dengan cepat dan luas
dimungkinkan dengan adanya mesin cetak hasil penemuan,
215
Wahidin, Syamsul, Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers, Ngastawa, I Ketut
(ed), (Pustaka Pelajar, 2012), hal. 5.
234
Johannes Gutenberg dari Jerman. Mula mula, surat kabar
hanya terdiri atas satu lembar saja dan seringkali hanya
memuat satu peristiwa saja. Dari bentuk inilah lambat laun
surat kabar menjadi bentuknya saat ini.216
Pers adalah lembaga sosial dan wadah untuk
menjalankan fungsi komunikasi massa. Pers setiap negara
berbeda‐berbeda, ada yang yang menjadi alat negara utuk
mencapai tujuan negara, ada juga yang menjadi alat kontrol
negara. Pers menurut Siebert yang meliputi semua media
komunikasi massa seperti radio, televisi, dan surat kabar.
Dalam pandangan Siebert, sistem kehidupan dalam pers dapat
dibedakan dalam empat teori yaitu teori otoritarium; teori
libertarian, teori soviet/komunis, dan teori tanggung jawab
sosial (the social responsibility theory). Dari keempat teori ini
dinamakan sebagai "Empat Teori Siebert" (Siebert's four
theories). Berikut uraian keempat teori‐teori tentang pers di
bawah ini. Teori Siebert berpandangan bahwa media massa
berfungsi dalam berbagai tipe di masyarakat. Asumsi mereka
ialah “Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial
dan politik di mana ia beroperasi. Berikut adalah keempat teori
yang dipaparkan Siebert, Peterson, dan Schramm dalam
buku Four Theories of the Press :
Pertama, Teori Pers Otoriter (Authoritarian Theory),
Kedua, Teori Pers Bebas (Libertarian Theory), Ketiga, Teori
Pers Komunis Soviet (The Soviet Communist Theory), dan
Keempat, Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility Theory), dalam sistem pers bebas libertarian
dianggap terlalu menyederhanakan persoalan seperti tidak
menentukan fakta‐fakta apa saja yang boleh diungkap dan
tidak diungkap kepada publik. Teori Pers Bertanggung Jawab
Sosial hadir untuk membenahi ini semua yaitu untuk
membatasi kebebasan dalam pers agar memiliki tanggung
jawab sosial. Teori pers ini merupakan respon terhadap
perusahaan pers swasta yang hanya mencari keuntungan
216
http://coretan‐berkelas.blogspot.com/2016/03/perkembangan‐pers‐di‐dunia‐dan‐
indonesia.html, diakses tanggal 30 Oktober 2018
235
sehingga pendapat publik dan kepentingan publik
dikesampingkan sehingga Lazarfeld dan Merton menyatakan
bahwa “Perusahaan besar membiayai produksi dan distribusi
media massa. Dan, diatas segala‐galanya, dia yang
menanggung dialah yang menentukan semuanya.”.217
Sejak jaman kolonial di Indonesia sudah ada semacam
pers meskipun masih terbatas pada publikasinya. Sejarah pers
Indonesia sudah berkembang sebelum Indonesia
diproklamirkan, karena pers juga menjadi alat perjuangan para
pendiri bangsa untuk memperoleh kemerdekaan. Pada masa
perjuangan penguasa kolonial jelas mengekang pertumbuhan
pers karena sadar bahwa pers dalam perjalanannya akan
merugikan kolonialisme, sejarah mencatat bahwa surat kabar
sebagai media massa selalu menjadi lawan nyata atau musuh
penguasa mapan. Suratkabar dan media massa seringkali
dilemakan dan ditundukkan oleh kekuasaan, maka kekuasaan
selalu mencari celah untuk melemahkan perjuangan, pelbagai
kegiatan suratkabar untuk memperjuangkan kemerdekaan,
demokrasi dan hak‐hak kelas pekerja, serta pers bawah tanah
di bawah penindasan kekuatan asing atau pemerintahan
diktator218, namun demikian di awal abad 19 dan seterusnya
dunia pers menjadi sarana pendidikan dan latihan bagi orang‐
orang Indonesia untuk memperoleh pekerjaan di dalamnya.219
Beberapa surat kabar pertama dalam sejarah Indonesia adalah
Bataviase Nouvelles (1744‐1746), Batavische Courant (1817),
Bataviasche Advertentieblad (1827), di Surakarta terbit surat
kabar Bromartani (1855) dalam bahasa Jawa, Surat Kabar
Bahasa Melajoe terbit di Surabaya pada tahun 1956, Soerat
Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860),
Bintang Timur (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta
1864), dan Bianglala (Jakarta 1867). Ternyata para cendikiawan
telah menyerap budaya pers dan memanfaatkannya untuk
217
Kusumaningrat, Hikmat. 2006. Jurnalistik : Teori dan Praktik. Bandung: Remaja
Rosdakarya
218
MacQuail, Denis, 1989, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Jakarta,
Airlangga: 10
219
Dinamika Sistem Pers...
236
menjadi sarana membangkitkan dan menggerakan kesadaran
bangsa (Surjomiharjo, 2002: 25‐31).
Tekanan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak
zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum. Pada
tahun 1712 VOC melarang suratkabar yang berisi berita‐berita
dagang, karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang
akibat berita‐berita tersebut. Selanjutnya pada tahun 1856
diberlakukan Drukpers Reglement dengan sensor preventif;
dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel
Ordonantie dengan sensor represif. Selama tiga setengah
tahun penjajahan Jepang, beberapa penerbitan pers “sengaja
dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur
Raya, akan tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang
sudah ada, mendapat pengawasan represif yang cukup ketat.
Pembatasan terhadap kebebasan pers pada era penjajahan
Jepang dilakukan melalui UU No.16 tahun 1942 dengan sensor
preventif, yang dikenal dengan “Osamu Serei”.220
Selama 60 tahun merdeka, Indonesia pernah mengalami
beberapa kali kebebasan pers, yaitu pada awal kemerdekaan,
selama Republik lndonesia menerapkan sistem pemerintahan
Kabinet Parlementer, pada awal Pemerintahan Orde Baru dan
para era Reformasi saat ini. Pada waktu‐waktu lainnya,
kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai tekanan.
Setidak‐tidaknya ada enam ketentuan hukum yang dapat
dicatat yang membatasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu: (1)
Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; (2)
Peperti Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengawasan Dan
Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor 307
tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit
Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pengaturan
Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang
Surat Izin Terbit, dan (6) Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun
1984 tentang SIUPP.221 Dari berbagai peraturan perundangan
220
Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (Terjemahan), Jakarta,
Pustaka Grafitti: 51
221
Anwar, Rosihan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999
237
tersebut, salah satu diantaranya yang mendapat sorotan
selama pemerintahan Orde Baru adalah Peraturan Menpen
Nomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP, karena ketentuan hukum
ini memberikan kekuasaan yang amat luas kepada pemerintah
dalam membatasi kebebasan pers melalui pembekuan
perusahaan penerbitan pers sewaktu‐waktu, yang sangat
bertentangan dengan UUD 1945.
Pers pada umumnya tunduk pada sistem pers yang
berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu
sendiri tunduk pada sistem politik pemerintahan yang ada.
Pers bersama dengan lembaga lainnya berada dalam
keterikatan organisasi yang bernama negara, oleh karena itu
pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem
politik negara di mana pers itu berada. Singkatnya
pertumbuhan pers berikut definisi kebebasan pers tidak dapat
terpisah dari lingkungan politik yang merupakan subsistem
politik yang ada (Suwardi, 1993: 23).222
Media massa di satu negara mencerminkan sistem
pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata, lain
perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat
berpengaruhi terhadap pertumbuhan media, terutama yang
berkaitan dengan kebebasan. Wiio (1975,1982) sebagaimana
dikutip Martin mengemukakan: “In anything, differences in
mass media roles and functions in different social system support
a contiugency view of communication”. Lebih lanjut Martin
menjelaskan: “According to this view the communication process
and outcomes are influenced by internal and external
contigencies (situation) as well as by the degree of freedom of the
work process of the system” 223 Menurut Siebert, untuk
mengetahui realitas pers di suatu negara secara mendalam,
terlebih dahulu harus dikaji asumsi‐asumsi filosofis (dasar dan
hakiki) yang diyakini dan digunakan oleh negara tersebut,
terutama menyangkut hakikat manusia, hakikat negara dan
222
Inge Hutagalung, Dinamika Sistem Pers tulisan dalam Jurnal Interaksi, Vol II No. 2, Juli
2013, hal. 53.
223
Martin, et al, 1983, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York: 86.
238
masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta hakikat
pengetahuan dan kebenaran.224 Hal ini adalah karena pers
selalu mengambil bentuk dan warna yang sesuai dengan
asumsi‐asumsi filosofis yang diyakini dan digunakan oleh
negara di mana pers tersebut berada.225
Hubungannya pers dengan subsistem lainnya dalam
suatu organisasi bernama Negara antara lain dengan law
enforcement (baca: hukum). Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara hukum (recht staat), dimana Negara
sebagai penyelenggara kekuasaan yang berdasar hukum, yang
didalamnya terdapat sistem hukum (konstitusi/undang‐
undang). Negara hukum terkandung di dalamnya 3 unsur yaitu
negara, masyarakat (rakyat) dan ada aturan, dimana aturan
(hukum) yang dibuat untuk mengatur hubungan, tingkah laku
baik rakyat dengan negara maupun dengan masing‐masing
sesama rakyat yang bersumber dari aturan (norma) yang hidup
di masyarakat, dalam ilmu perundang‐undangan ada istilah
norma hukum yang bermakna pedoman, dalam bahasa arab
disebut kaidah. Norma itu sendiri adalah tata‐cara berperilaku
seseorang atau lembaga kemasyarakatan terhadap orang lain
atau terhadap lembaga kemasyarakatan lainnya atau kepada
ligkungannya.
Dalam diskursus mengenai kebebasan pers, juga terikat
dengan norma hukum tertentu bekenaan dengan
hubungannya dengan lembaga kemasyarakatan lainnya,
termasuk hubungannya dengan lembaga yudikatif sebagai
bagian dari kekuasaan negara. Kebebasan pers dalam
kacamata hukum sejak orde lama sudah diatur, antara lain
dengan undang‐undang nomor 11 tahun 1966 tentang
ketentuan‐ketentuan pokok Pers, juncto Undang‐Undang
nomor 4 tahun 1967 tentang penambahan Undang‐undang
nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan‐ketentuan pokok Pers
juncto Undang‐undang nomor 21 tahun 1982 tentang
224
Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois,
London: 2
225
Abar, Akhmad Zaini, 1995, Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974, LkiS, Yogyakarta, 21.
239
Perubahan atas undang‐undang nomor 11 tahun 1966 Tentang
ketentuan‐ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah
dengan Undang‐Undang nomor 4 tahun 1967 juncto Undang‐
undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Jika menilik perubahan demi perubahan undang‐undang
tentang pers, ini membuktikan bahwa sesungguhnya benar
pendapat bahwa pers hidup bergantung pada lingkungannya
sebagai subsistem. Undang – undang pers yang dibentuk pada
masa era orde lama lalu diubah pada masa era orde baru dan
terakhir pada masa era reformasi mengandung definisi
mengenai kebebasan pers yang berbeda. Salah satu contoh
dalam suatu liputan media di Hari Pers Nasional (HPN) tanggal
9 Februari 2018, menyatakan bahwa pers dibanding hampir
dua dekade silam, dalam arti kebebasan pers di Indonesia kini
jauh lebih maju, bahwa kebebasan pers di Indonesia lahir
setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal
28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi,”
setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.” 226
Pemberitaan pun mengacu pada kesuksesan gerakan
reformasi, yang menurut pandangan umum bahwa kebebasan
pers lahir dari rahim reformasi, sehingga
pascareformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan
yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan
tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1
tahun 1984 tentang Ketentuan‐Ketentuan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969
tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok Wartawan, Surat
Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan
Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen
Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat
226
https://hukum.tempo.co/read/1059485/kebebasan‐pers‐di‐indonesia/full&view=ok,
diakses tanggal 30 Oktober 2018
240
Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu‐Satunya Organisasi
Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kenyataan perubahan aturan atau norma hukum
mengenai kebebasan pers menegaskan bahwa pers tetap
harus tunduk pada hukum suatu negara di mana pers itu
berada, termasuk perubahan makna kebebasan pers di
dalamnya. Mengacu pada undang‐undang pers yang terakhir,
pada Pasal 2 UU 40/1999 “kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip‐prinsip
demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Norma dalam
pasal tersebut tegas menyebutkan diksi hukum yaitu keadilan
dan supremasi hukum. Dua kata tersebut ada di wilayah sistem
lain yang tidak sejalan dengan makna kebebasan pers yang
tidak terbatas, tidak sejalan dengan makna bahwa masyarakat
mempunyai hak asasi untuk mendapatkan informasi. Di
wilayah keadilan dan supremasi hukum, aturan mainnya
berbeda. Untuk itu, maka perlu ada pembatasan makna
kebebasan pers dalam dunia peradilan.
4. Kebebasan Pers dan Contempt of Court
Independensi peradilan pada dasarnya menjadi sarana/
pembatas masyarakat yang bebas, dan berfungsinya peradilan
yang independen akan menempatkan kebebasan pers dalam
perspektif yang tepat. Untuk peradilan, peradilan tidak dapat
berfungsi dengan baik jika apa yang dilakukan pers berindikasi
dan berpotensi akan mengganggu penilaian hakim yang
mengadili dalam tugas dan kapasitasnya untuk bertindak
hanya atas dasar apa yang ada di hadapan pengadilan. Suatu
peradilan tidak independen kecuali proses peradilan benar‐
benar untuk menegakkan hukum dengan tidak adanya
tekanan dari luar, baik diberikan melalui bujukan imbalan atau
ancaman ketidaksenangan.227
Dalam kilasan sejarah, di beberapa negara menerapkan
aturan contempt of court, bentuk‐bentuk tindakanya beragam,
namun semua tindakan itu dikategorikan sebagai bentuk suatu
227
“The independence of the judiciary .....” (Bodenheimer, Jurisprudence, hlm 355).
241
penghinaan/ merendahkan peradilan. Penerapan aturan
tersebut juga menyasar praktek pers (contempt by publication)
yang secara langsung membatasi kemerdekaan/ kebebasan
pers jika berhadapan dengan kemerdekaan peradilan. Namun
setiap praktek berbeda‐beda dan senantiasa bermetamorfosa
dengan dinamika sosial‐politik di sekitarnya. Hukum
penghinaan terhadap peradilan (the law of contempt)
bertransformasi menjadi bentuk modernnya sebagai hasil dari
‘putusan’ Hakim Agung Wilmot dalam kasus R. V. Almon.228
Ketentuan mengenai contempt of court terus diberlakukan
sampai saat ini dalam tradisi hukum common law. Bahkan,
pada tahun 1981, Kerajaan Inggris menerbitkan UU yang
sangat kuat melindungi pengadilan dari pelbagai bentuk
perlakuan yang dinilai dapat merendahkan martabat dan
kehormatannya, yaitu Contempt of Court Act 1981. Dalam UU
ini ditentukan adanya aturan pertanggungjawaban mutlak
(strict liability rule), di mana suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai contempt of court yang dapat
mengganggu atau mempengaruhi proses peradilan, terlepas
dari ada tidaknya niat atau maksud pelaku untuk itu. UU ini
mengatur secara ketat mengenai “contempt in the face of the
court”, “contempt by the jurors”, dan yang terpenting adalah
“contempt by publication”. Karena itu, dalam penerapannya,
pemberlakuan Contempt of Court Act 1981 sangat berpengaruh
pada pelaksanaan prinsip kebebasan pers.229
Secara konseptual, istilah “contempt” dapat didefinisikan
sebagai “tindakan pembangkangan atau penghinaan terhadap
badan peradilan, atau mencampuri proses
penyelenggaraannya, yang biasanya dijatuhi hukuman.” 230
Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “contempt of court”
228
Rajeev Dhavan, Contempt of Court and the Press, (Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd,
1982), hlm. 22‐24.
229
Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang‐Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No.
2 (Juli 2015), hlm. 203.
230
Ronald Goldfarb, “The History of the Contempt Power”, Washington University Law
Quarterly, Vol. 1961, No. 1 (February, 1961), hlm. 1.
242
didefinisikan sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dapat
dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas
peradilan dari badan‐badan pengadilan, ataupun segala
tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau
martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang
dengan sengaja menentang atau melanggarkewibawaannya
atau menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh
seseorang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili, yang
dengan sengaja tidak mematuhi perintah pengadilan yang
sah.”231
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik suatu benang
merah bahwa pengertian contempt of court adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu
perkara maupun tidak, di dalam maupun di luar pengadilan,
dilakukan secara aktif ataupun pasif berupa tidak berbuat yang
bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses
penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (the due
administration of justice), merendahkan kewibawaan dan
martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan
dalam menjalankan peradilan. 232 Tindakan yang berpotensi
akan mempengaruhi hakim dalam memutus dan akan
mengancam tegaknya hukum dan keadilan, maka demi hukum
tindakan tersebut adalah tindakan yang dapat dikategorikan
sebagai contempt of court sebagaimana diungkapkan: “The
independence of the judiciary is no less a means to the end of a
free society, and the proper functioning of an independent
judiciary puts the freedom of the press in its proper perspective.
For the judiciary cannot function properly if what the press does
is reasonably calculated to disturb the judicial judgment in its
duty and capacity to act solely on the basis of what is before the
court. A judiciary is not independent unless courts of justice are
enabled to administer law by absence of pressure from without,
231
Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, (St. Paul. Minn: West Publishing Co,
1979), hlm. 390.
232
Lilik Mulyadi, “Urgensi dan Prospek Pengaturan (Ius Constituendum)
UU Tentang
Contempt of Court Untuk Menegakkan Martabat aan Wibawa Peradilan”, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 4, No. 2 (Juli 2015), hlm. 277.
243
whether exerted through the blandishments of reward or the
menace of disfavor” (Bodenheimer, Jurisprudence, hlm 355).
Disebutkan bahwa salah satu keberhasilan reformasi
adalah kebebasan Pers. Sejak reformasi, pers mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri atau otonom. Sesuai
dengan makna otonom, kebebasan atau kemerdekaan pers
tidak dalam makna lepas sama sekali dari perikehidupan
bernegara. Pers merdeka (bebas) tetap merupakan bagian
integral perikehidupan bernegara. Kemerdekaan pers serupa
dengan kemerdekaan badan peradilan sebagai unsur
organisasi negara. Itulah makna pers sebagai the fourth estate
(disamping legislatif, eksekutif, yudikatif dan alat‐alat
perlengkapan negara lainnya). Dalam otonomi berlaku
adigium: geen autonomie zonder toezicht (tidak ada otonomi
tanpa pengendalian/ pengawasan). Dengan demikian, paling
tidak ada tiga aspek yang perlu diperhatikan pers merdeka.
Pertama, mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.
Kedua, melaksanakan tanggung jawab sendiri. Ketiga, tetap
ada pengawasan atau kendali untuk menjaga hubungan
harmonis dengan unsur‐unsur organisasi negara lainnya dan
perikehidupan bernegara pada umumnya.233
Esensi demokrasi adalah adanya “kebebasan” (liberty).
Kebebasan akan melahirkan kemerdekaan (freedom),
termasuk kemerdekaan pers. Pers atau media akan berfungsi
sebagai sarana kepentingan kekuasaan atau sekurang‐
kurangnya tidak menjadi sarana kepentingan publik. Dalam
perkembangan, paham hak asasi senantiasa dilekatkan pada
demokrasi; Hak atas kebebasan (liberté), hak atas persamaan
(egalité), dan hak atas peri kehidupan yang harmonis dan
tenteram (fraternité), adalah hak asasi yang sekaligus
merupakan dasar demokrasi. Seperti diajarkan oleh John
Locke, dasar asasi eksistensi manusia adalah kebebasan (men
are created free). Kebebasan memerlukan persamaan. Bung
Hatta (Demokrasi Kita) menyebutkan, bukanlah ada
233
Manan, Bagir, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Dewan Pers: 2016), hal. 21
244
kebebasan tanpa persamaan (egalité), seperti persamaan
kesempatan (equal opportunity), persamaan di depan hukum
(equality before the law). Dalam kaitan dengan hak asasi, pers
sekaligus merupakan hak asasi (pers sebagai hak asasi), dan
pers sebagai sarana mewujudkan hak asasi. Sebagai hak asasi,
pers adalah subyek hak‐hak asasi, seperti hak berpendapat,
termasuk hak berbeda pendapat (the right to disent), hak
ekspresi. Sebagai sarana, pers adalah penyalur hak asasi publik
atau individu.234
5. Pers dan Kemerdekaan Peradilan
Pers adalah cerminan dari masyarakatnya. Produk pers
tidak lain adalah anak budaya dari zaman tempat pers itu lahir
dan dibesarkan. Pers bebas lahir dari masyarakat yang bebas
dan sebaliknya pers yang terkungkung sudah pasti ada dalam
cengkraman otoriter, demikian pula pers yang menjaga
keseimbangan antara daya kebebasan yang dimilikinya,
perlindungan terhadap reputasi pribadi dan supremasi hukum
lahir dari masyarakat yang seimbang dan taat hukum. 235
Kemerdekaan dan kebebasan pers harus seimbang dengan
lingkungan untuk tercapainya tujuan dari kemerdekaan pers
itu sendiri yaitu:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai‐nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia,
serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal‐hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;236
Lembaga Peradilan dalam melaksanakan tugas
mengenal Asas “praduga tidak bersalah” asas ini sesungguhnya
234
Manan, Bagir, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Dewan Pers: 2016), hal. 72
235
Armada SA, Wina, Menggugat Kebebasan Pers, (Pustaka Sinar Harapan: 1993). Hal. 158
236
Republik Indonesia, Pasal 6 UU 40 tahun 199 Tentang Pers
245
adalah implementasi dari bentuk dasar negara hukum
(rechtstaat), asas presumtion of innocence merupakan asas
hukum yang pada mulanya dibuat untuk melindungi hak tiap
orang dari kesewenang‐wenangan kekuasaan, yaitu aparat
negara dalam proses peradilan pidana. Tiap‐tiap orang yang
disangka dan kemudian didakwa dalam suatu perkara pidana
tidak bisa diasumsikan pasti bersalah dan karena itu sudah
dapat dihukum. Tersangka atau terdakwa baru bisa dinyatakan
bersalah bila nanti proses pengadilan membuktikannya dan
menjatuhkan hukuman yang bersifat tetap.237 Penerapan asas
ini adalah bagian perlindungan hak asasi warga negara
sebagaimana tertuang dalam Undang‐Undang Dasar 1945
Pasal 28D ayat (1): ”Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Sejauh ini pemahaman atas asas praduga tidak bersalah
ini hanya untuk dan berlaku bagi kegiatan di dalam masalah
yang berkaitan dengan proses peradilan pidana sehingga
masyarakat tidak mempedulikannya, 238 pada mulanya asas
tersebut ada di Pasal 8 Undang‐Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
amandemen terakhir dengan Undang‐Undang nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dan secara tidak langsung
tertuang dalam Pasal 66 UU 8/1981 tentang Kitab Undang‐
Undang Hukum Acara Pidana : “Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian”. Dalam penjelasannya Pasal 66
Ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas "praduga tak
bersalah".
237
https://istilahhukum.wordpress.com/2012/08/13/asas‐praduga‐tidak‐bersalah/ blog
harian pojok hukum harian Jambi Independen, diakses tanggal 7 Desember 2018.
238
Loqman, Loebby, Asas Praduga Tak Bersalah di dalam Pemberitaan oleh Media Massa,
(Jurnal Dewan Pers, Edisi II: 2010)
246
Sistem hukum di Amerika Serikat, mengatur secara
langsung hak yang berkaitan dengan hak terdakwa secara
eksplisit di dalam konstitusinya. Sehingga bukan saja tentang
hak warga secara menyeluruh, akan tetapi hak warga yang
disangka atau diduga telah melakukan kejahatan, diatur dalam
pasal‐pasal konstitusi. Dengan demikian merupakan ketentuan
yang amat mendasar dalam kehidupan hukum negara
tersebut. Dalam amandemen pertama dari konstitusi Amerika
mengatur tentang jaminan dalam kebebasan mengeluarkan
pendapat, ketentuan ini sangat berhubungan dengan
kebebasan pers.
Di lain pihak salah satu fungsi media massa adalah
menyajikan fakta yang terjadi di dalam masyarakat dengan
tujuan untuk memberikan informasi selengkap mungkin
kepada masyarakat. Meskipun diakui dampak yang terjadi di
dalam masyarakat dapat berupa dampak positif maupun
negatif. Di dalam penyajiannya acap kali madia massa, disadari
atau tidak, memberikan juga pendapat mereka berkenaan
dengan informasi yang disajikan. Hal demikian sering terjadi
penghakiman terhadap permasalahan yang disajikan (trial by
the press), karenanya menghindari hal demikian telah diatur
dalam UU nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers Pasal 5 ayat (1):
“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma‐norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.
Pada masa lalu dikenal delik pers, dan masa awal orde
baru pemerintah bermaksud membuat UU tentang ketentuan
pokok pers, namun dalam prakteknya menjadi paradoks
karena penyelesaian masalah pers dilaksanakan melalui
mekanisme politis (pemberedelan) tidak melalui mekanisme
hukum, hal ini membuat insan dan pelaku pers gelisah karena
kepastian hukum yang menyangkut pers itu justru samar atau
semu. Pada saat itu berharap agar penyelesaian permasalahan
hukum mengenai pers diselesaikan melalui proses hukum,
247
sebab dalam hukum dikenal asas praduga tidak bersalah,239
meskipun putusanya akan jauh lebih berat, namun ada asas
kepastian hukum yang kongkrit dan secara eksplisit disebutkan
pasal‐pasal mana yang dilanggarnya.
Kerinduan para pelaku dan insan pers pada masa orde‐
baru atas asas kepastian hukum sesungguhnya sudah
sewajarnya. Dalam negara hukum, asas praduga tidak bersalah
merupakan salah satu tiang asasi penegakan hukum. Ada
beberapa wujud asas praduga tidak bersalah. Pertama;
seseorang hanya dapat didakwa atau disidang atas dasar
ketentuan hukum pidana yang telah ada sebelum dakwaan
atau pidana dijatuhkan. Asas ini dikenal dengan sebutan:
nullum delictum nula poena praevia sine lege. Sesuatu asas yang
diciptakan oleh Feurbach. Kedua; seseorang hanya dapat
dipidana atas dasar kesalahan yang dapat dipidana: geen straf
zonder schuld. Ketiga; kesalahan wajib dibuktikan dalam satu
pengadilan yang terbuka untuk umum, jujur (fair), dapat
dipercaya, dan tidak berpihak (imparsial). Keempat; terdakwa
diberi kesempatan yang cukup sebagai hak yang dijamin oleh
hukum untuk memajukan pembelaan, baik oleh terdakwa
sendiri atau melalui pembela atau penasehat hukum (advocat).
Bahkan hak didampingi penasehat hukum telah ada sejak
pemeriksaan untuk kepentingan penyelidikan (oorsprong) dan
penyidikan (nasporing). Kehadiran penasehat hukum sangat
penting untuk menghindari tersangka atau terdakwa memberi
keterangan yang dapat memberatkan diri sendiri (asas self
incrimination).240
Perlunya adanya pembatasan terhadap aktivitas Pers
semata demi kepentingan umum, adanya persinggungan hak
pribadi, hak atas kesendirian, hak untuk menolak dan hak
untuk mendapatkan informasi. Disamping itu semua,
pembatasan juga adalah untuk menciptakan suatu tatanan
yang teratur, dalam suatu negara tatanan teratur dengan
239
Katopo, Aristides, dalam Pers Hukum dan Kekuasaan, Goenawan Mohamad (ed).
(Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta: 1994) hal. 31
240
Manan, Bagir, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Dewan Pers: 2016), hal. 66
248
sebuah konsep demokrasi, demokrasi diatur berdasarkan
hukum sehingga terbentuk suatu negara hukum (rechtstaat),
dalam suatu negara hukum tidak ada kemerdekaan atau
kebebasan yang tidak berbatas. Setidaknya pembatasnya
adalah adanya hak orang lain, adanya hak umum dan adanya
hak yang lebih luas cakupannya. Demikian pula dengan
kemerdekaan pers, Pembatasan kemerdekaan pers dapat dari
lingkungan pers sendiri (self sensorship), dan yang dari luar
lingkungan pers yang bersumber dari kekuasaan publik (public
authority). Pembatasan dari dalam lingkungan pers sendiri
adalah pembatasan yang bersifat self restraint atau self
censorship, baik atas dasar kode etik atau UU Pers.
Pembatasan yang bersumber dari kekuasaan publik
mencakup:
a. Pembatasan atas dasar ketertiban umum (public order).
b. Pembatasan atas dasar keamanan nasional (national
security).
c. Pembatasan untuk menjamin harmoni politik dan sosial.
d. Pembatasan atas dasar kewajiban menghormati privasi
(privacy).
e. Pembatasan atas dasar ketentuan pidana, ketentuan
perdata, dan ketentuan hukum administrasi, atau hukum
lainnya.241
Ada beberapa landasan sebagai pembenaran
pelaksanaan pembatasan:
a. Asas negara hukum. Salah satu batu patokan (corner
stone) ajaran negara hukum yaitu: “semua tindakan harus
berdasarkan atas hukum” (based on law). Maksudnya: (1)
Pelaku tindakan harus mempunyai wewenang (legal
authority). (2) Obyek yang menjadi sasaran tindakan juga
harus ditentukan oleh hukum. (3) Tata cara bertindak
diatur dan dijalankan sesuai hukum. Dengan demikian,
setiap perbatasan harus disertai aturan hukum yang
mengatur wewenang, obyek, dan tata cara melakukan
241
Manan, Bagir, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Dewan Pers: 2016), hal. 75
249
tindakan. Perlu ditambahkan, yang dimaksud hukum
dalam negara hukum, yaitu hukum yang mencerminkan
kepentingan rakyat banyak dan tidak mengandung serba
membenarkan tindakan penguasa (hukum sebagai alat
kekuasaan semata).
b. Asas ubi ius ibi remedium. Setiap hak berhak atas
pemulihan, terjaga dan dapat dipertahankan (remedy).
Pemulihan dapat berupa pemulihan hak yang hilang,
ganti rugi, menghentikan suatu tindakan dan lain‐lain.
Menghadapi kemungkinan pelanggaran hak akibat
pembatasan‐pembatasan, harus tersedia prosedur yang
terbuka (oppeness), fair (fairness), dan tidak berpihak
(imparsiality). Khusus untuk pers, harus dibedakan antara
pelanggaran pembatasan yang bersifat jurnalistik dan
non jurnalistik.
c. Asas tindakan tidak berlebihan (non excessive), rasional,
dan proporsional. Tidak dibenarkan, suatu pembatasan
dilaksanakan secara berlebihan, melampau batas‐batas
kepantasan, dan tidak proporsional.
Selain pembatasan‐pembatasan di atas, pers juga
membatasi diri sendiri melalui kode etik jurnalistik dan self
sencorship. Pembatasan kode etik adalah pembatasan‐
pembatasan dalam bentuk kewajiban memenuhi syarat‐syarat
jurnalistik. Self sencorship adalah pembatasan yang bertalian
dengan policy redaksi mengenai kebijakan pemberitaan,
pilihan pemberitaan dalam rangka mewujudkan fungsi‐fungsi
sosial pers, seperti menjaga harmoni sosial, dan lain‐lain.
Dalam keadaan tertentu, policy redaksi dapat berwujud
melepaskan (fettering) kebebasan atas kemauan sendiri demi
kepentingan yang lebih besar. Putusan hakim harus merdeka
dan bebas dari, sedangkan di sisi lain pers juga merdeka dan
bebas menyampaikan pendapat apalagi permasalahan hukum
untuk menjadi pelajaran masyarakat. Dua kutub yang
berlawanan yang memiliki kemerdekaan berdasarkan
konstitusi, namun keduanya ditemukan dalam tujuan yang
sama, bahwa kebebasan hakim adalah demi keadialan dan
250
kebebasan pers memiliki tujuan sebagaimana Pasal 2 UU Pers:
"Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat
yang berasaskan prinsip‐prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum.”242.
D. Gagasan Undang‐Undang Contempt of Court
Wacana tentang penghinaan dalam persidangan atau
disebut juga tindak pidana penyelenggaraan peradilan,
sesungguhnya sudah akrab di telinga dan mata kita, karena
seringnya hadir sebagai fakta yang terjadi dan menghiasi kolom‐
kolom berita di hadapan kita. Fenomena yang demikian adalah
res ipsa loquitur atau fakta yang telah berbicara sendiri bahwa ada
hal yang harus disikapi secara serius terkait dengan proses
peradilan di Indonesia. Bahkan pada tahun 2011 riset dari Komisi
Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menyatakan tingkat
penghinaan terhadap pengadilan sudah pada taraf
mengkhawatirkan.243 Beberapa kasus pelecehan dan penghinaan
terhadap peradilan tahun 2005 – 2018,:
1. Pada tanggal 21 September 2005, seorang Hakim di
Pengadilan Agama Sidoarjo ditusuk di ruang sidang hingga
meninggal dunia.244
2. Pada tanggal 22 September 2006, Pengadilan Negeri
Maumere dibakar massa yang tidak terima atas eksekusi 3
orang terpidana mati.245
3. Pada tanggal 29 Maret 2007, Hakim dikejar‐kejar sekitar 60
pekerja yang mengamuk, karenanya Majelis terpaksa
diselamatkan dari amukan massa. Hakim bahkan terpaksa
harus ‘melarikan diri’ lewat atap.246
242
Republik Indonesia, Undang‐Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
243
Hukumonline.com,”Penghinaan Terhadap Pengadilan Sudah Mengkhawatirkan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d64c326cccfa/penghinaan‐terhadap‐pengadilan‐
sudah‐mengkhawatirkan diakses pada hari Jumat, tanggal 07 Oktober 2018.
244
https://news.detik.com/berita/d‐446162/kolonel‐tusuk‐istri‐dan‐hakim‐pengadilan‐
agama‐hingga‐tewas‐ diakses tanggal 07 Oktober 2018.
245
https://news.detik.com/berita/d‐681251/maumere‐membara‐gedung‐pengadilan‐
dibakar diakses tanggal 07 Oktober 2018.
246
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16442/sidang‐great‐river‐rusuh‐hakim‐
diselamatkan‐dari‐ventilasi diakses tanggal 07 Oktober 2018.
251
4. Pada 06 April 2007, oknum Anggota Front Pembela Islam
(FPI) memburu hakim pemvonis bebas dari dakwaan
perkara kesusilaan yang dilakukan Pimred Playboy
Indonesia karena tak puas atas putusan.247
5. Pada tanggal 22 Oktober 2008, kembali terjadi
pembunuhan seorang pengunjung sidang di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, kericuhan terjadi usai persidangan
kasus pembunuhan Manajer Hotel Klasik, Didik Pontoh
dengan terdakwa James Venturi. 248
6. Pada tanggal 14 Juli 2010, sejumlah advokat dari Kongres
Advokat Indonesia (KAI) melakukan demonstrasi di Gedung
Mahkamah Agung untuk memprotes Surat Ketua MA.
Demonstrasi berlangsung panas dan anarkis, massa
berteriak‐teriak dan bahkan foto Ketua MA yang
terpampang di aula utama terjatuh dan rusak.249
7. Pada tanggal 29 September 2010, terjadi kerusuhan dalam
proses Pengadilan kasus pembunuhan di tempat hiburan
malam Blowsfish terhadap empat terdakwa. Kelompok
yang bertikai mensenjatai diri dengan pistol dan
parang. Akibat kerusuhan ini, enam saksi tak berani hadir ke
pengadilan karena ketakutan. Bahkan, PN Jaksel sempat
berencana memindahkan sidang ini ke kantor polisi, meski
akhirnya rencana itu tak terwujud.250
8. Pada tanggal 14 Nopember 2013, massa mengamuk dan
mengobrak‐abrik Ruang sidang utama Mahkamah
Konstitusi (MK) saat berlangsungnya pembacaan putusan
sengketa pemilihan gubernur Maluku.251
247
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16468/tidak‐gunakan‐uu‐pers‐dakwaan‐
jpu‐tidak‐diterima‐hakim dan https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16474/massa‐fpi‐
datangi‐pn‐dan‐kejari‐jaksel diakses tanggal 07 Oktober 2018.
248
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20336/pembunuhan‐kembali‐terjadi‐di‐
pengadilan diakses tanggal 07 Oktober 2018.
249
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c3de1a6580bc3/gelar‐unjuk‐
rasa‐kai‐minta‐ma‐revisi‐surat‐089 diakses tanggal 07 Oktober 2018.
250
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ca31a55049b2/akibat‐rusuh‐pn‐jakarta‐
selatan‐siap‐pindahkan‐sidang‐perkara‐iblowfishi diakses tanggal 07 Oktober 2018.
251
https://news.detik.com/berita/d‐2413189/ini‐sengketa‐pilkada‐maluku‐yang‐berujung‐
ricuh‐di‐mk c
252
9. Pada tanggal 17 September 2013, Pengadilan Negeri Depok
dirusak Ormas Pemuda Pancasila.252
10. Pada tanggal 14 Mei 2013, seorang Advokat bernama OC.
Kaligis melontarkan perkataan hinaan kepada Hakim yang
disampaikan di depan publik.253
11.Pada tanggal 16 Oktober 2017, terjadi aksi protes anarkis
oleh massa dengan mendatangi PN Tipikor – Jambi, cara
demo yang tidak tertib bahkan melempar kursi ke meja
informasi.254
12. Pada tanggal 28 Juni 2018, massa mengamuk usai
pembacaan vonis, hanya karena tidak puas atas putusan,
pengunjung sidang itu juga merusak fasilitas pengadilan.
Kaca pecah, TV monitor hancur, kursi berserakan, dan kaca
jendela pecah.255
Seluruh kejadian di atas terekam dalam jejak media,
sebagai sebuah bukti nyata (facta notoir) yang telah menjadi
pengetahuan umum mengenai prilaku dan ucapan keji berupa
penghinaan dan penistaan terhadap peradilan. Kenyataan pahit
itulah yang kemudian kita kenal dengan istilah contempt of court.
1. Definisi dan Tipologi Contempt of Court
Istilah “contempt of court” berasal dari tradisi hukum
Inggris dan negara‐negara yang menganut sistem common
law. Istilah ini berkaitan erat dengan paham dari abad
pertengahan yang menyatakan bahwa raja‐raja memerintah
dengan hak‐hak seperti Tuhan. Menurut paham ini, raja‐raja
yang terpilih mewakili Tuhan di dunia dan hanya bertanggung
jawab kepada Tuhan. Setiap perlawanan atau penghinaan
252
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52387b1beba08/pn‐depok‐dirusak‐ormas
diakses tanggal 07 Oktober 2018.
253
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/05/14/ky‐miliki‐bukti‐kaligis‐hina‐hakim‐
dilaporkan‐ke‐ky.html diakses tanggal 07 Oktober 2018.
254
https://law‐justice.co/ma‐sesalkan‐aksi‐anarkis‐di‐pn‐tipikor‐jambi.html diakses
tanggal 07 Oktober 2018.
255
http://krjogja.com/web/news/read/70397/Usai_Vonis_Massa_Mengamuk_di_PN_Bantul
dan https://news.detik.com/berita/4088156/pn‐bantul‐dirusak‐fasilitas‐pengadilan‐hancur diakses
tanggal 07 Oktober 2018.
253
secara terang‐terangan terhadap kekuasaan raja akan
mendapat hukuman dari raja. Oleh karena itu, contempt of
court dipandang identik dengan “contempt of the King”.256
Hukum penghinaan terhadap peradilan (the law of
contempt) bertransformasi menjadi bentuk modernnya sebagai
hasil dari ‘putusan’ Hakim Agung Wilmot dalam kasus R. V.
Almon. Putusan ini merupakan pendapat Hakim Agung Wilmot
atas kasus tersebut, yang kemudian diterbitkan pada tahun
1802 oleh putra Hakim Agung Wilmot sebagai bagian dari
berkas Opini‐nya. Publikasi ini memiliki efek yang menentukan
terhadap perkembangan hukum penghinaan terhadap
peradilan. Sejak saat itu, sistem hukum common law mulai
mengakui pelanggaran menghalangi proses penyelenggaraan
peradilan (offence of obstructing the due administration of
justice) sebagai tindak pidana.257
Ketentuan mengenai contempt of court terus
diberlakukan sampai saat ini dalam tradisi hukum common law.
Bahkan, pada tahun 1981, Kerajaan Inggris menerbitkan UU
yang sangat kuat melindungi pengadilan dari pelbagai bentuk
perlakuan yang dinilai dapat merendahkan martabat dan
kehormatannya, yaitu Contempt of Court Act 1981. Dalam UU
ini ditentukan adanya aturan pertanggungjawaban mutlak
(strict liability rule), di mana suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai contempt of court yang dapat
mengganggu atau mempengaruhi proses peradilan, terlepas
dari ada tidaknya niat atau maksud pelaku untuk itu. UU ini
mengatur secara ketat mengenai “contempt in the face of the
court”, “contempt by the jurors”, dan yang terpenting adalah
“contempt by publication”. Karena itu, dalam penerapannya,
256
Nico Keyzer, “Contempt of Court”, Bahan Ceramah di Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 17 Agustus 1987, hlm. 2.
257
Rajeev Dhavan, Contempt of Court and the Press, (Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd,
1982), hlm. 22‐24.
254
pemberlakuan Contempt of Court Act 1981 sangat berpengaruh
pada pelaksanaan prinsip kebebasan pers.258
Secara konseptual, istilah “contempt” dapat didefinisikan
sebagai “tindakan pembangkangan atau penghinaan terhadap
badan peradilan, atau mencampuri proses
penyelenggaraannya, yang biasanya dijatuhi hukuman.” 259
Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “contempt of court”
didefinisikan sebagai berikut:
“Setiap perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan,
menghalangi atau merintangi tugas peradilan dari badan‐
badan pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat
mengurangi kewibawaannya atau martabatnya.
Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dengan
sengaja menentang atau melanggar kewibawaannya atau
menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh
seseorang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili,
yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah pengadilan
yang sah.”260
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik suatu benang
merah bahwa pengertian contempt of court adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu
perkara maupun tidak, di dalam maupun di luar pengadilan,
dilakukan secara aktif ataupun pasif berupa tidak berbuat yang
bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses
penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (the due
administration of justice), merendahkan kewibawaan dan
martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan
dalam menjalankan peradilan.261
258
Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang‐Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No.
2 (Juli 2015), hlm. 203.
259
Ronald Goldfarb, “The History of the Contempt Power”, Washington University Law
Quarterly, Vol. 1961, No. 1 (February, 1961), hlm. 1.
260
Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, (St. Paul. Minn: West Publishing Co,
1979), hlm. 390.
261
Lilik Mulyadi, “Urgensi dan Prospek Pengaturan (Ius Constituendum)
UU Tentang
Contempt of Court Untuk Menegakkan Martabat aan Wibawa Peradilan”, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 4, No. 2 (Juli 2015), hlm. 277.
255
Dalam literatur hukum, konsep contempt of court telah
dikategorikan atau diklasifikasikan secara skolastik ke dalam
berbagai jenis yang bernuansa—masing‐masing mencakup
beberapa aspek tertentu dari kekuasaan umum dan diatur oleh
prosedur tertentu. Pada umumnya, literatur hukum membuat
pembedaan antara “retributive contempts/criminal contempts”
dan “coercive contempts/civil contempts.”262 Jenis penghinaan
yang pertama berkaitan dengan tindakan yang mengancam
administrasi peradilan dan memiliki konsekuensi hukuman,
sementara jenis penghinaan yang kedua berkaitan dengan
ketidaktaatan terhadap putusan peradilan dalam perkara
perdata.263
Istilah criminal contempt didefinisikan sebagai perbuatan
yang tidak menghormati pengadilan dan proses peradilannya
yang bertujuan untuk merintangi, menghalangi, mengganggu
jalannya peradilan atau cenderung untuk menyebabkan
pengadilan tidak dihormati. Dalam hal ini, criminal contempt
merupakan pelanggaran yang ditujukan terhadap pengadilan
dan proses peradilannya. Perbuatan tersebut dianggap
menentang lembaga yang sangat penting dalam
memperjuangkan kepentingan umum. Sanksi yang dapat
dijatuhkan terhadap pelaku criminal contempt adalah sanksi
yang bersifat menghukum. Di negara‐negara common law,
pelaku dapat dijatuhi pidana denda atau pidana penjara.264
Dalam literatur‐literatur common law, criminal contempt secara
singkat sering disebut sebagai “offences against the
administration of justice”.
Dalam konteks ini, Barda Nawawi Arief
mengklasifikasikan bentuk‐bentuk atau ruang lingkup criminal
contempt sebagai berikut:
262
Ronald Goldfarb, “The History of the Contempt Power”, Washington University Law
Quarterly, Vol. 1961, No. 1 (February, 1961), hlm. 1.
263
Joseph H. Beale, Jr., “Contempt of Court, Criminal and Civil”, Harvard Law Review, Vol.
21, No. 3 (January 1908), hlm. 161‐174.
264
Wahyu Wagiman, Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005), hlm. 9‐10.
256
a. Gangguan di muka atau di dalam ruang sidang
pengadilan.
b. Perbuatan‐perbuatan untuk mempengaruhi proses
peradilan yang tidak memihak.
c. Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan
skandal bagi pengadilan.
d. Mengganggu pejabat pengadilan.
e. Pembalasan terhadap perbuatan‐perbuatan yang
dilakukan selama proses peradilan berjalan.
f. Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan.
g. Pelanggaran oleh pengacara.265
Di lain pihak, civil contempt digunakan untuk
menggambarkan contempt yang disebabkan ketidakpatuhan
terhadap perintah yang diberikan oleh pengadilan perdata.
Pelanggaran dalam civil contempt ini disebabkan kegagalan
dari salah satu pihak yang berperkara untuk melakukan atau
melaksanakan perintah pengadilan guna manfaat atau
keuntungan pihak lainnya. Tindakan yang dilakukan bukan
melawan martabat pengadilan, tetapi merugikan pihak lain
dan atas permintaan pihak yang dirugikan, pengadilan
mengeluarkan suatu perintah atau penetapan supaya pihak
yang menolak melaksanakan perintah pengadilan tersebut
dapat melakukan kewajibannya. Sanksi yang diberikan
terhadap pelaku civil contempt adalah bersifat paksaan dengan
tujuan untuk melindungi hak‐hak dari pihak yang
memenangkan gugatan serta untuk melindungi efektifitas
penyelenggaraan administrasi peradilan dengan menunjukkan
bahwa perintah pengadilan akan dilaksanakan.266
Selain pembagian criminal contempt dan civil contempt,
konsep contempt of court dalam praktik sehari‐hari dapat
dibedakan menjadi “direct contempt” dan “constructive
(indirect) contempt”. Direct contempt merupakan jenis contempt
of court yang dilakukan para pihak yang hadir di pengadilan
265
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2000), hlm. 72.
266
Wahyu Wagiman, Op.cit., hlm. 10.
257
dan terjadi di muka pengadilan dan pada saat sidang
pengadilan sedang berlangsung dengan maksud untuk
merintangi atau mengganggu jalannya peradilan yang tertib.
Di lain pihak, constructive (indirect) contempt merupakan jenis
contempt of court yang terjadi di luar pengadilan dan ditujukan
untuk menentang administrasi peradilan dengan jalan
melakukan perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Jenis contempt of court ini biasanya dimaksudkan untuk
merintangi atau menggagalkan administrasi peradilan dan
biasanya berkenaan dengan kelalaian atau penolakan para
pihak untuk mematuhi perintah yang sah, keputusan atau
surat keputusan pengadilan yang diberikan pada para pihak
untuk melaksanakan kewajibannya atau untuk tidak
melakukan sesuatu.267
Selain itu, dikaji dari perspektif jenisnya, Oemar Seno
Adji menyebutkan beberapa jenis contempt of court, yaitu:
a. Sub judice rule, yaitu perbuatan penghinaan dengan cara
pemberitahuan/publikasi.
b. Disobeying court orders, yaitu tidak mentaati perintah‐
perintah pengadilan.
c. Obstructing justice, yaitu menghalang‐halangi
penyelenggaraan peradilan.
d. Misbehaving in court, yaitu berprilaku tercela dan tidak
pantas di pengadilan.
e. Scandalising the court, yaitu menyerang integritas dan
impartialitas pengadilan.268
Berdasarkan uraian mengenai definisi dan tipologi
contempt of court di atas, dapat dikatakan bahwa ide dasar
contempt of court pada dasarnya dimaksudkan untuk
melindungi lembaga peradilan agar tetap terhormat dan
berwibawa sebagai lembaga yang merdeka, mandiri dan
terlepas dari pengaruh‐pengaruh lembaga lain atau orang‐
orang yang hendak menjatuhkan kehormatan dan wibawa
lembaga peradilan.
267
Ibid, hlm. 14.
268
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 256.
258
2. Independensi Lembaga Peradilan
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.” Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam
Pasal 1 angka 1 Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.” Secara normatif, ketentuan pasal tersebut
mengandung arti bahwa kekuasaan kehakiman harus mandiri
dan terbebas dari campur‐tangan pihak manapun. Ketentuan
normatif ini didasarkan pada suatu pemahaman bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan pilar negara hukum
(rechtstaat) yang memiliki kekuasaan yang bersifat merdeka
dan tidak memihak demi tegaknya hukum dan keadilan.
Eksistensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu
karakteristik utama negara hukum modern. Tidak ada negara
hukum yang tidak memiliki lembaga kekuasaan kehakiman.
Bahkan, kualitas kekuasaan kehakiman dijadikan salah satu
indikator untuk menentukan seberapa demokratis suatu
negara hukum. Suatu negara disebut sebagai negara hukum
yang demokratis bilamana memiliki kekuasaan kehakiman
yang tidak saja independen, tetapi juga memiliki akuntabilitas
sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya
oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang
berwibawa. Dalam konteks negara demokratis, kekuasaan
kehakiman dituntut untuk menjadi cabang pemerintahan yang
merdeka dan bertanggung jawab sebagai perwujudan dari asas
kedaulatan rakyat, negara hukum, dan pemisahan kekuasaan.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (judicial
independence) dalam sistem negara konstitusional modern
berawal dari teori pemisahan kekuasaan (separation of powers),
259
di mana eksekutif, legislatif dan yudikatif membentuk tiga
cabang kekuasaan terpisah untuk menciptakan sistem checks
and balances dalam rangka mencegah penyalahgunaan
kekuasaan yang merugikan masyarakat bebas (free society).
Prinsip independensi peradilan mengandung pengertian
bahwa kekuasaan kehakiman baik sebagai institusi maupun
individu memutuskan kasus‐kasus tertentu berdasarkan
tanggung jawab profesional tanpa dipengaruhi oleh eksekutif,
legislatif atau sumber lain yang tidak pantas. Hanya peradilan
independen yang mampu membuat keadilan bersifat tidak
memihak (imparsial) atas dasar hukum, sehingga dapat
melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar individu.
Dengan demikian, prinsip independensi hakim tidak diciptakan
untuk kepentingan pribadi para hakim sendiri, tapi diciptakan
untuk melindungi manusia dari penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh karena itu, hakim tidak bisa bertindak sewenang‐wenang
dengan cara apapun dengan memutuskan kasus sesuai
preferensi pribadi mereka sendiri; tugas mereka adalah
menerapkan hukum.269
Menurut Harold See, secara umum terdapat dua
perspektif dalam memandang independensi yudisial. Pertama,
perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan
kelembagaan (institutional independence) kekuasaan
kehakiman dari cabang pemerintahan lainnya. Aspeknya
termasuk organisatoris, administrasi, personalia, dan finansial.
Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam
membuat putusan (decisional independence). Hal ini berkaitan
dengan kewajiban khusus dari pengadilan terhadap negara
hukum. Peradilan bukan hanya salah satu cabang
pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi
melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara
hukum. Di dalamnya terdapat perlindungan atas kemerdekaan
269
United Nations, Human Rights in the Administration of Justice: A Manual on Human
Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers, Office of The High Commissioner for Human Rights in
Cooperation with the International Bar Association, New York and Geneva, 2003, hlm. 115.
260
hakim dalam memutus dari pengaruh berbagai kepentingan.270
Kedua perspektif tersebut pada dasarnya berakar dari
pemahaman ortodoks tentang kebebasan yudisial yang
berasal dari Montesquieu. Dalam The Spirit of the Laws,
Montesquieu menyatakan sebagai berikut:
“There is no liberty if the judiciary power be not separated
from the legislative and executive. Were it joined with the
legislative, the life and liberty of the subject would be
exposed to arbitrary control; for the judge would be then
the legislator. Were it joined to the executive power, the
judge might behave with violence and oppression.”271
Menurut Ferejohn, diktum samar dari Montesquieu di
atas merefleksikan pemahaman ortodoks tentang prinsip
independensi peradilan, yang berperan melindungi proses
ajudikasi dari campur tangan pejabat politik yang bertanggung
jawab menulis atau menegakkan hukum. Gangguan dari para
pelaku ini dianggap dapat mengancam atau merusak
komitmen substantif yang terkandung dalam hukum melalui
aplikasi parsial—parsial baik dalam arti menjadi bias dan dalam
arti tidak mencakup keseluruhan. Pemisahan fungsi yudikatif
dari fungsi legislatif dan eksekutif serta penyerahan fungsi
tersebut ke dalam suatu badan yang independen dari cabang‐
cabang politik (political branches) dimaksudkan untuk
mempromosikan ketidakberpihakan, keadilan, dan
keteraturan dalam penafsiran dan penerapan hukum—sebuah
gagasan yang mencerminkan upaya pemenuhan kebajikan
kolektif (collective good). 272 Dalam tulisan lain, Ferejohn
mengartikulasikan gagasan ini dengan ungkapan sebagai
berikut:
“The collective good takes the form of creating a capacity
of the political system to commit to a future course of
270
Harold See, “Comment: Judicial Selection and Decisional Independence,” 61:3 Law and
Contemporary Problems (Summer 1998), hlm. 141‐142.
271
Baron de Montesquieu, The Spirit of the Laws, trans. Thomas Nugent, The Colonial
Press, New York, 1949, Vol. 1, Book XI, hlm. 152.
272
John A. Ferejohn & Larry D. Kramer, “Independent Judges, Dependent Judiciary:
Institutionalizing Judicial Restraint”, 77:4 New York University Law Review (October 2002), hlm. 967.
261
action—that is, to commit not to interfere with judicial
decisions, no matter what their content. Independent
judging makes it possible that substantive rules adopted
now will be reliably upheld in the future, even in the face of
strong temptations to do otherwise.”273
Di lain pihak, Alexander Hamilton berpendapat bahwa
independensi yudisial diperlukan karena di antara ketiga
cabang kekuasaan, lembaga peradilan adalah “the least
dangerous to the political rights of the Constitution”. Lembaga
peradilan tidak memiliki pengaruh baik kekuasaan (sword)
maupun keuangan (purse) bila dibandingkan dengan
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman
hanya memiliki kekuatan dalam bentuk ‘putusan’ (judgment)
semata. Hamilton menyatakan:
“Whoever attentively considers the different departments
of power must perceive, that, in a government in which
they are separated from each other, the judiciary, from the
nature of its functions, will always be the least dangerous
to the political rights of the Constitution; because it will be
least in a capacity to annoy or injure them. The Executive
not only dispenses the honors, but holds the sword of the
community. The legislature not only commands the purse,
but prescribes the rules by which the duties and rights of
every citizen are to be regulated. The judiciary, on the
contrary, has no influence over either the sword or the
purse; no direction either of the strength or of the wealth of
the society; and can take no active resolution whatever. It
may truly be said to have neither FORCE nor WILL, but
merely judgment; and must ultimately depend upon the aid
of the executive arm even for the efficacy of its
judgments.”274
Lubet menyebutkan bahwa independensi yudisial
273
John A. Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial
Independence”, 72:2‐3 Southern California Law Review (January, 1999), hlm. 367.
274
Alexander Hamilton, “The Federalist No. 78”, http://www.constitution.org/
fed/federa78.htm [diakses 15 Febuari 2016, pukul 11.24].
262
mengandung nilai‐nilai dasar seperti fairness, impartiality, dan
good faith. Hakim yang independen akan memberikan
kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk
didengar tanpa mengaitkannya dengan identitas atau
kedudukan sosial pihak‐pihak tersebut. Seorang hakim yang
independen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang
tak berhubungan dan kebal dari tekanan pihak luar. Seorang
hakim yang independen memutus berdasarkan kejujuran (good
faith), berdasarkan hukum sebagaimana yang diketahuinya,
tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis
ataupun finansial. 275 Ferejohn menyebutkan bahwa secara
prinsip, tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk
memfasilitasi tiga nilai tertentu. Pertama, kemerdekaan
yudisial merupakan kondisi yang diperlukan untuk memelihara
negara hukum. Kedua, dalam suatu pemerintahan
konstitusional, hanya hukum yang secara konstitusional
memiliki legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan
harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dalam
memutuskan hukum tersebut. Karena itu, terdapat kebutuhan
agar pengadilan memiliki kemerdekaan untuk membatalkan
aturan hukum yang melanggar nilai‐nilai tersebut. Ketiga,
dalam negara demokrasi, pengadilan harus memiliki otonomi
yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan
penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan
ekonomi atau politik.276
Menurut Ferejohn, independensi peradilan adalah suatu
gagasan yang memiliki aspek internal/normatif dan
eksternal/institusional. Dari sudut pandang normatif, hakim
harus menjadi agen moral otonom yang dapat diandalkan
untuk melaksanakan tugas publik mereka secara independen
dari pertimbangan‐pertimbangan korup atau ideologis.
Kemerdekaan dalam pengertian ini adalah aspek yang
275
Steven Lubet, “Judicial Dicipline and Judicial Independence”, 61:3 Law and
Contemporary Problems (Summer 1998), hlm. 61.
276
John Ferejohn, “Dynamics of Judicial Independence: Independent Judges, Dependent
Judiciary”, http://www.usc.edu/dept/law/symposia/judicial/pdf/ferejohn.pdf [diakses 12 Januari
2016, pukul 13.35].
263
diinginkan dari karakter seorang hakim. Tetapi hakim adalah
manusia dan hal‐hal yang diputuskan oleh hakim dapat
menjadi masalah besar bagi orang‐orang, sehingga hakim
perlu diberikan perisai institusional terhadap ancaman atau
godaan yang mungkin menghampirinya. Independensi
peradilan dalam pengertian institusional ini adalah ciri
pengaturan institusional di mana proses peradilan
berlangsung. Secara institusional, independensi peradilan
dapat dipahami baik secara sempit sebagai seperangkat
perlindungan bagi hakim atau secara luas sebagai jaminan bagi
integritas sistem peradilan. Independensi peradilan juga
merupakan sesuatu yang kompleks dalam hal bahwa ia tidak
dapat dilihat sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya
sendiri, tetapi merupakan instrumen untuk mengejar nilai‐nilai
lain seperti rule of law atau nilai‐nilai konstitusi.277
Menurut Franken, seorang ahli hukum Belanda, prinsip
independensi kekuasaan kehakiman dapat dibagi ke dalam
empat kategori, yaitu: (1) Independensi konstitusional
(constitutionele onafhankelijkheid); (2) Independensi fungsional
(zakelijke of functionele onafhankelijkheid); (3) Independensi
personal (persoonlijke of rechtpositionele onafhankelijkheid);
dan (4) Independensi praktis (practische of feitelijke
onafhankelijkheid).278 Oemar Seno Adji membagi independensi
kekuasaan kehakiman secara lebih sederhana ke dalam dua
kategori, yakni: (1) Independensi zakelijk atau fungsional; dan
(2) Independensi persoonlijk atau rechtpositionele.
Independensi personal berkaitan dengan kebebasan hakim
secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa.
Sedangkan independensi fungsional berkaitan dengan
pekerjaan hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan
memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti
bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya untuk
menafsirkan undang‐undang apabila undang‐undang tidak
277
Ibid.
278
H. Franken, Onafhankelijk en verantwoordelijk. Een paradox in de positie van de rechter?,
Gouda Quint, Deventer, 1997, hlm. 9‐10.
264
memberikan pengertian yang jelas.279
Pemahaman tentang independensi peradilan
sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya selaras dengan
intuisi kebanyakan orang yang, secara masuk akal, berasumsi
bahwa pelaku politik menghadapi tekanan untuk
meninggalkan atau mematahkan aturan hukum demi alasan‐
alasan yang secara hukum tidak pantas. Oleh karena itu,
dibutuhkan sebuah forum ajudikasi yang jauh dari hiruk pikuk
politik dan dipimpin oleh aktor yang kebal dari paksaan atau
bujukan politik. Kendati demikian, beberapa kalangan melihat
fenomena kekuasaan kehakiman yang besar sebagai ancaman
terhadap pemerintahan yang baik (good government) dan
demokrasi (democracy). Mereka melihat pengadilan sebagai
tidak demokratis. Hakim biasanya ditunjuk dan karenanya
tidak bertanggung jawab kepada pemilih sebagaimana politisi.
Akibatnya, hakim yang memasuki arena kebijakan dipandang
sebagai melampaui peran mereka. Tugas hakim, menurut
pandangan ini, adalah sekedar menerapkan dan menafsirkan
hukum. Pembentukan hukum oleh hakim (law‐making by
judges) dianggap melangkahi batas‐batas peradilan yang
sesungguhnya. Argumen ini dikemukakan secara ringkas oleh
Peter Russell. “Keputusan hukum,” kata Russell, “tidak mudah
berdamai dengan keyakinan normatif yang dipegang secara
luas dalam demokrasi liberal.” 280 Dalam perspektif Russell,
fenomena pembentukan hukum (law‐making) oleh hakim non‐
terpilih bertentangan dengan norma dasar sistem demokrasi.
Menurut Mclachlin, gagasan bahwa kekuasaan
kehakiman bersifat tidak demokratis pada dasarnya bertolak
dari konsepsi demokrasi yang semata‐mata diartikan sebagai
“aturan mayoritas” (the rule of the majority). Konsepsi tersebut
bersandar pada premis bahwa orang harus diatur hanya oleh
undang‐undang yang telah disetujui melalui mayoritas yang
279
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 252‐
253.
280
Peter Russell, “Corry Lecture on Law and Politics”, 12 Queen’s Law Journal (1987), hlm.
421.
265
direpresentasikan oleh wakil‐wakil terpilih (elected
representatives). Definisi demokrasi semacam ini tampaknya
tidak sesuai dengan gagasan bahwa hakim non‐terpilih
(unelected judges) harus mempengaruhi hukum yang mengatur
masyarakat. Oleh karena itu, setiap tindakan hukum di luar
penerapan hukum yang dibuat oleh legislatif adalah tidak sah.
Menurut Mclachlin, premis ini tidak memiliki pendasaran kuat
dalam kenyataan karena dua alasan.
Pertama, sebagian besar hukum di kebanyakan negara
tidak dibuat oleh badan legislatif. Misalnya, banyak dari hukum
di negara‐negara common law saat ini didasarkan pada hukum
yang dibuat oleh monarki otokratis dan hakim non‐terpilih di
abad yang lalu. Bahkan di negara‐negara demokrasi modern
sekalipun, banyak undang‐undang dibuat oleh administrator
yang ditunjuk (appointed administrators) yang membuat aturan
tentang jalan, menetapkan harga melalui papan pemasaran,
dan menentukan peraturan perikanan.
Kedua, sementara aturan mayoritas (the rule of the
majority) jelas merupakan elemen penting dalam susunan
semua negara demokrasi, elemen tersebut tidak membedakan
demokrasi dari bentuk‐bentuk pemerintahan lain; beberapa
ahli berpendapat bahwa aturan mayoritas adalah prinsip yang
juga dianut oleh fasisme, komunisme dan bentuk‐bentuk
populis lainnya dari pemerintahan totaliter. Sejarah
menunjukkan bahwa orang mungkin setuju untuk diatur oleh
hukum yang dibuat oleh diktator atau oleh perwakilan yang
dipilih secara demokratis. Jika demikian, maka memerintah
dengan persetujuan rakyat bukan merupakan karakteristik
utama yang membedakan demokrasi dari sistem
pemerintahan lain. Dalam terminologi para ahli logika,
pemerintahan oleh persetujuan populer adalah karakteristik
penting dari demokrasi, tetapi bukan satu‐satunya ciri yang
mencukupi. Demokrasi membutuhkan sesuatu yang lebih dari
sekedar aturan mayoritas atau persetujuan rakyat. Sesuatu
yang lebih itu adalah bahwa “kehendak mayoritas harus
tunduk pada batasan tertentu dan menghormati hak orang
266
lain.” Premis ini merupakan prinsip penting yang harus
dipegang jika suatu negara hendak menciptakan pemerintahan
yang benar‐benar demokratis dan bukan hanya sekedar aturan
massa (mob rule).281
Dalam negara demokrasi, fungsi pembentukan hukum
(law‐making) pertama‐tama memang direpresentasikan oleh
badan legislatif melalui mekanisme demokratis. Kendati
demikian, badan yudikatif juga memiliki peran penting dalam
pembentukan hukum, namun dengan cara berbeda. Dalam
hubungan semacam ini, pengadilan memainkan peran sebagai
pelengkap. Pertama, pengadilan memainkan peran penting
dalam menafsirkan undang‐undang dengan cara yang sedapat
mungkin memenuhi tujuan legislatif dan memastikan
penerapan hukum yang adil. Dalam kenyataannya, tidak
mungkin bagi legislatif untuk menyusun undang‐undang
umum yang berlaku untuk semua orang dan setiap situasi
dengan cara yang adil. Dengan kata lain, legislatif hanya
memberikan garis‐garis kebijakan umum. Pengadilan,
sebaliknya, adalah spesialis yang memahami bagaimana
hukum benar‐benar mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Hakim adalah orang yang memiliki kapasitas untuk
menangkap situasi di mana hukum, jika diterapkan dengan
cara tertentu, mungkin dapat menghasilkan ketidakadilan dan
meniadakan tujuan legislatif. Kemungkinan tersebut hanya
diketahui oleh hakim sebagai seorang spesialis. Kedua,
pengadilan memegang tanggung jawab untuk menemukan
hukum dan menciptakan hukum dalam rangka memenuhi
perubahan kebutuhan masyarakat dalam situasi konkret.
Legislasi bersifat luas dan umum, sehingga legislator tidak
mungkin melihat setiap penerapan hukum yang mungkin.
Ketika kasus‐kasus tak terduga datang ke pengadilan, hakim
harus menemukan hukum atau menciptakan hukum untuk
menangani kasus tersebut. Dalam ilmu hukum dikenal sebuah
adagium “het recht hinkt achter de feiten aan”; hukum selalu
281
Beverley Mclachlin, “Judicial Power and Democracy”, 12:2 Singapore Academy of Law
Journal (September 2000), hlm. 313‐314.
267
berjalan tertatih‐tatih di belakang peristiwa konkret. Oleh
sebab itu, cepat atau lambat, undang‐undang akan tertinggal
oleh fakta. Jurang ketertinggalan itu kian melebar seiring
perubahan tatanan sosial tempat hukum itu hidup di alam
kenyataan. Di sinilah terjadi legal gap antara hukum di atas
kertas (law in the books) dan hukum yang hidup dalam
kenyataan (law in action). Dalam praktik di ruang‐ruang
pengadilan, kesenjangan (gap) yang terjadi ini harus disiasati
oleh hakim. Hakikat dari tindakan untuk menyiasati
kesenjangan ini disebut dengan “penemuan hukum”
(rechtsvinding) dan “penciptaan hukum” (rechtsschepping).282
Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, penerapan
kebebasan hakim dalam peristiwa hukum konkrit tidak dapat
terwujud pada seorang hakim yang hanya bertindak sebagai
corong undang‐undang, “bounce de la loi”. Sebaliknya, hakim
harus menemukan hukum dengan metode interpretasi dan
argumentasi yang berpijak pada undang‐undang. Lebih dari
itu, hakim juga harus menemukan hukum melalui penemuan
hukum bebas. Penemuan hukum bebas dimaksud bukan
berarti peradilan tidak terikat pada undang‐undang. Dalam
penemuan hukum bebas, hakim tetap terikat pada undang‐
undang, namun undang‐undang tersebut tidak memainkan
peranan utama. Undang‐undang diposisikan sebagai alat
bantu untuk memperoleh pemecahan yang menurut hukum
tepat dan tidak perlu harus sama dengan penyelesaian sesuai
undang‐undang. Hakim, dengan demikian, mempunyai tugas
menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tidak
semata‐mata bertugas menerapkan undang‐undang, tetapi
282
Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah disampaikan dalam
Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia,
diselenggarakan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM‐UII) dan Norwegian Centre for Human Rights, Hotel Grand
Angkasa, Medan, 2‐5 Mei 2011, hlm. 1‐19; Wijayanto Setiawan, “Peran Hakim Agung dalam
Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) pada Era Reformasi
dan Transformasi”, 7:2 Perspektif Hukum (November 2007), hlm. 88‐98; Lintong O. Siahaan, “Peran
Hakim dalam Pembaruan Hukum di Indonesia: Hal‐hal Yang Harus Diketahui (Proses Berpikir)
Hakim Agar Dapat Menghasilkan Putusan Yang Berkualitas”, 36:1 Jurnal Hukum dan Pembangunan
(Januari‐Maret 2006), hlm. 27‐46.
268
menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit,
sehingga peristiwa‐peristiwa hukum berikutnya dapat
dipecahkan menurut kaidah yang telah diciptakan oleh hakim.
Dalam ungkapan Mertokusumo dan Pitlo, “seorang yang
menggunakan penemuan hukum bebas tidak akan
berpendirian saya harus memutuskan demikian karena bunyi
undang‐undangnya adalah demikian. Ia harus mendasarkan
pada pelbagai argumen antara lain undang‐undang.”283
Dengan demikian, peran hakim dan pengadilan dalam
pembentukan hukum (law‐making), meskipun bersifat
komplementer, harus dilihat sebagai sendi utama dalam
penegakkan supremasi hukum. Peran ini bertautan erat
dengan cita‐cita mewujudkan rule of law dalam konteks negara
demokrasi. Sebagaimana diamati oleh Friedrich Hayek, salah
satu tantangan besar dalam negara demokrasi adalah bahwa
aturan hukum (rule of law) berjumlah lebih sedikit daripada
aturan manusia (rule of men). Hayek menyatakan:
“Rule of Law is a doctrine concerning what the law ought
to be, concerning the general attributes that particular
laws should possess. This is important because today the
conception of rule of law is sometimes confused with the
requirement of mere legality in all government action. The
rule of law, of course, presupposes complete legality; but
this is not enough: if a law gave the government unlimited
power to act as it pleased, all its actions would be legal, but
it would certainly not be under the rule of law. The rule of
law, therefore, is also more than constitutionalism; it
requires that all laws conform to certain principles.”284
Rule of Law, dengan demikian, merupakan sebuah ideal
yang meniscayakan bahwa konstitusi, undang‐undang dan
keputusan peradilan yang diturunkan di bawah
kewenangannya harus menyesuaikan diri dengannya.
283
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab‐bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993, hlm. 30.
284
Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, University of Chicago Press, Chicago,
1960, hlm. 205.
269
Pencapaian Rule of Law tidak tergantung pada metode
demokratis, dengan asumsi bahwa segelintir kecil pejabat yang
ditunjuk melalui mekanisme non demokratis (unelected
officials) secara teoritis mampu membangun dan memelihara
sistem hukum yang mengabdi pada ideal Rule of Law.
Eksistensi Rule of Law tidak ditentukan oleh majelis populer
(popular assembly) yang telah memberlakukan undang‐
undang, tapi karena undang‐undang yang mengatur
masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang
memungkinkan orang untuk menjalani kebebasan, menikmati
manfaat dari kerja mereka, menggunakan pengetahuan
mereka, mengejar kebajikan, mengkomunikasikan pikiran
mereka, dan hidup di bawah keadilan.
Pengadilan adalah lembaga yang melaluinya hak‐hak
individu dilindungi dan keadilan dasar dijamin dalam
demokrasi. Untuk melakukan tugas ini, pengadilan harus
independen dari cabang legislatif dari eksekutif. Tanpa
independensi individu dan kelembagaan, hakim dan
pengadilan yang menegakkan hak‐hak individu dan keadilan
dasar tidak dapat benar‐benar memenuhi peran penting yang
dimilikinya. Pengadilan yang tunduk pada kehendak eksekutif
atau legislatif tidak dapat melindungi individu dan kelompok
minoritas dari ekses pemerintahan mayoritas. Pengadilan juga
harus memiliki keleluasaan (diskresi) untuk mengisi
kekosongan legislatif serta menyesuaikan dan membatasi
pengoperasian hukum. Hal ini diperlukan untuk menjamin
perlakuan yang adil dan menghormati hak‐hak individu di
mana demokrasi bersandar. Pembentukan hukum oleh
lembaga peradilan (judicial law‐making), dengan demikian,
bukan merupakan musuh pemerintahan demokratis, tetapi
merupakan ciri penting pemerintahan demokratis.
Sebagaimana dikemukakan McCormick:
“Democracy is not just about majoritarianism; it is also
about individual and minority rights, about limits to what
even a large and determined majority can do. Therefore,
there is a sense in which a strong and independent judiciary
270
is democratic—not because the Courts are overly
democratic in their organization or their selection or their
process (they are not), but because they are the mechanism
that serves this ‘other face’ of democracy.”285
Dengan demikian, pandangan bahwa hakim merupakan
ancaman bagi pemerintahan yang baik dan demokrasi pada
dasarnya bertumpu pada asumsi sederhana dan usang tentang
bagaimana negara demokrasi modern berfungsi. Demokrasi,
dalam kenyataannya, jauh lebih rumit daripada eksistensi
wakil‐wakil terpilih yang membuat hukum (making the law).
Legislator terpilih adalah elemen penting dalam negara
demokrasi, tapi begitu pula peradilan. Keduanya penting untuk
pemerintahan yang efektif dan adil. Negara membutuhkan
keduanya; legislator yang efektif dan bertanggung jawab dan
peradilan yang independen dan bertanggung jawab. Konsep
“bertanggung jawab” di sini berkaitan dengan akuntabilitas
atau pertanggungjawaban pemerintah kepada yang
diperintah. Akuntabilitas adalah tujuan dari semua
pemerintahan demokratis untuk menjamin agar mekanisme
pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat
dimintakan pertanggungjawaban oleh yang diperintah. 286
Kekuasaan kehakiman adalah salah satu cabang kekuasaan
pemerintahan dan, oleh karena itu, harus memiliki
akuntabilitas yudisial (judicial accountability). Dengan
demikian, selain harus memiliki independensi yudisial,
kekuasaan kehakiman juga harus memiliki akuntabilitas
yudisial. Konsep independensi dan akuntabilitas yudisial ini
bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama; keduanya
tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi dan
menguatkan satu sama lain.287
285
Peter McCormick, Supreme at Last: The Evolution of the Supreme Court of Canada,
James Lorimer & Company Ltd., Toronto, 2000, hlm. 173.
286
Roger K. Warren, “The Importance of Judicial Independence and Accountability”,
http://cdm16501.contentdm.oclc.org/cdm/ref/collection/judicial/id/207 [diakses 11 Febuari 2016,
pukul 11.45].
287
Stephen B. Burbank, “Judicial Independence, Judicial Accountability, and Interbranch
Relations”, 95 The Georgetown Law Journal (2007), 911‐912.
271
3. Politik Hukum Contempt of Court di Indonesia (Ius
Constituendum)
Wacana pembentukan UU Contempt of Court pertama
kali muncul dalam Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor
14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung pada butir ke‐4
sebagai berikut:
“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya
suasana yang sebaik‐baiknya bagi penyelenggaraan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu
undang‐undang yang mengatur penindakan terhadap
perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang
dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai Contempt of Court.”288
Menurut Padmo Wahjono, munculnya gagasan
pembentukan UU Contempt of Court dalam Undang‐Undang
Nomor 14 Tahun 1985, meskipun hanya dalam Penjelasan,
menunjukkan bahwa gagasan tersebut merupakan cerminan
dari amanat atau kehendak rakyat. Hal itu karena suatu
undang‐undang merupakan bentuk formal yang optimal
daripada aspirasi rakyat dalam suatu negara yang berdasar
atas hukum. Dengan rumusan tersebut, maka masalah
contempt of court menjadi suatu ius constituendum di
Indonesia, karena hal ini diinginkan untuk dituangkan dalam
suatu undang‐undang demi terciptanya suasana yang baik
dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia.289
Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), pada saat diundangkannya UU No. 14
Tahun 1985 terdapat situasi yang kurang kondusif dalam
praktek peradilan di Indonesia yang menuntut perlunya
ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses
288
Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
Penjelasan Umum.
289
Padmo Wahjono, “Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol. 16, No. 4 (1986), hlm. 365.
272
peradilan. Situasi ini ditanggapi oleh para hakim, dengan
mengajukan ide ataupun usulan mengenai perlunya dibentuk
suatu undang‐undang atau aturan khusus yang dapat
memberikan perlindungan terhadap para hakim dalam
menjalankan tugasnya. Sebagian kalangan mendukung usulan
para hakim ini dengan alasan bahwa dalam menjalankan
tugasnya para hakim ini perlu mendapat perlindungan yang
layak sehingga dapat menghasilkan kualitas yang baik.
Sedangkan yang lain menyatakan bahwa ketentuan mengenai
contempt of court ini sudah ada dalam peraturan perundangan‐
undangan Indonesia, walaupun tidak disebut sebagai contempt
of court.
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa keinginan
mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana
terhadap peradilan (contempt of court) dilatarbelakangi oleh
adanya kepentingan untuk melindungi hakim semata sebagai
salah satu pihak yang paling berperan dalam proses peradilan.
Kalangan ini berpendapat bahwa keinginan mengenai perlunya
ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan
ini merupakan reaksi atas kritik yang mengemuka terhadap
peradilan dan pejabat peradilan, di mana kritikan ini ditanggapi
oleh pejabat peradilan dengan “kemarahan”. Padahal, kritikan
dari kalangan ini didasari oleh bobroknya peradilan dan
pejabat peradilan di Indonesia, di mana menurut kalangan ini
sampai saat ini pun tidak ada perbaikan yang mendasar yang
dilakukan untuk memperbaiki bobroknya peradilan dan
pejabat peradilan ini.290
Dalam perkembangannya, urgensi atas aturan tentang
penindakan terhadap pelaku contempt of court telah direspon
oleh Mahkamah Agung dan Kementerian Kehakiman dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor:
KMA/005/SKB/VII/1987 dan Nomor: M.03‐PR.08.05 Tahun 1987
tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan
Diri Penasehat Hukum. Dengan diterbitkannya SKB ini,
290
Wahyu Wagiman, Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005), hlm. 19‐20.
273
maksud pembuat UU Mahkamah Agung pada dasarnya telah
dilaksanakan, tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan,
yakni tidak dibuat dalam bentuk UU. Karena tidak dituangkan
dalam bentuk UU, maka sebagai konsekuensinya bila ada
peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi, maka menurut asasnya peraturan yang lebih
rendah adalah batal demi hukum.291 Alhasil, ketentuan yang
diatur dalam SKB tersebut kurang efektif dalam
pelaksanannya.
Dalam KUHP pada dasarnya terdapat beberapa
ketentuan yang mengatur “contempt of court” di hadapan
pengadilan dan di luar pengadilan, yaitu pada Pasal 209, Pasal
210, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 216, Pasal 217, Pasal 220, Pasal
221, Pasal 222, Pasal 223, Pasal 224, Pasal 233, Pasal 242, Pasal
420, Pasal 422 dan Pasal 522. Berikut ini uraian beberapa
ketentuan yang terkait dengan contempt of court dalam pasal‐
pasal KUHP tersebut.292
No. Pasal Ketentuan
1. Pasal Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
209 seorang pejabat dengan maksud
menggerakkannya untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
2. Pasal Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
210 seorang hakim, penasihat atau adviseur.
3. Pasal Memaksa seorang pejabat untuk melakukan
211 perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan
perbuatan jabatan yang sah.
4. Pasal Melawan seorang pejabat yang sedang
212 menjalankan tugas yang sah.
5. Pasal Tidak menuruti perintah atau permintaan yang
291
Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, (Jakarta: Djambatan, 2002),
hlm. 18.
292
Wahyu Wagiman, Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005), hlm. 32‐33.
274
216 dilakukan menurut undang‐undang oleh pejabat
yang tugasnya mengawasi sesuatu .
6. Pasal Menimbulkan kegaduhan dalam sidang
217 pengadilan.
7. Pasal Pengaduan palsu.
220
8. Pasal Menyembunyikan orang yang melakukan tindak
221 pidana.
9. Pasal Mencegah, menghalang‐halangi atau
222 menggagalkan pemeriksaan mayat untuk
kepentingan pengadilan.
10. Pasal Melepaskan atau memberi pertolongan ketika
223 meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas
perintah penguasa umum, atas putusan atau
ketetapan hakim.
11. Pasal Sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
224 undang‐undang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban.
12. Pasal Merusak/menghilangkan barang bukti.
233
13. Pasal Keterangan palsu.
242
14. Pasal Seorang hakim yang menerima hadiah atau
420 janji.
15. Pasal Seorang pejabat yang dalam suatu perkara
422 pidana, menggunakan sarana paksaan baik
untuk memeras pengakuan maupun untuk
mendapatkan keterangan.
16. Pasal Saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara
522 melawan hukum.
Meskipun terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang
dapat digunakan untuk menjerat pelaku contempt of court, dan
adanya SKB yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dan
Kementerian Kehakiman di atas, namun pengaturan contempt
275
of court dalam KUHP dan SKB tersebut dianggap belum
memberikan kepastian hukum sehingga pelaksanaan
ketentuan contempt of court dalam praktik menjadi kurang
efektif. Oleh karena itu, pada tanggal 23‐27 September 2001,
Mahkamah Agung menyelenggarakan Rakernas dengan ketua‐
ketua Pengadilan Tinggi Banding se‐Indonesia, yang salah satu
hasilnya mengamanatkan agar segera menyusun Rancangan
Undang‐Undang (RUU) tentang Penghinaan Terhadap
Pengadilan (Contempt of Court) dan mengajukannya ke DPR
untuk disahkan menjadi UU demi terciptanya kepastian hukum
serta melindungi lembaga peradilan sebagai pelaksana
Kekuasaan Kehakiman. 293 Untuk itu, Puslitbang Mahkamah
Agung RI telah melakukan penelitian lebih lanjut tentang
relevansi pembentukan UU Penghinaan Terhadap Pengadilan
dalam rangka memberikan masukan kepada lembaga
pembuat undang‐undang dalam penyusunan UU tentang
Penghinaan terhadap Peradilan di Indonesia. Penelitian
tersebut dilakukan di wilayah yurisdiksi Pengadilan tingkat
banding Jawa Timur, Denpasar, Mataram, Ujungpandang,
Samarinda, Manado, Jakarta, Bandung, Batam dan Jambi
dengan jumlah responden 611 Hakim. Di antara hasil penelitian
tersebut adalah sebagai berikut:294
Pertama, 533 dari 611 responden menyatakan bahwa
contempt of court perlu dibuat dan diatur dalam Undang‐
undang khusus agar lebih jelas dan tegas mengatur sanksi dan
batasan‐batasannya serta mudah disosialisasikan. Karena
apabila merujuk pada peraturan contempt of court yang
tersebar dalam beberapa aturan seperti dalam Pasal 212, 216‐
218, 281, 310 dan 315 KUHP sanksi ancaman hukumannya
relatif sangat ringan, yaitu hanya dikeluarkan dari ruang
persidangan. Pengaturan secara khusus mengenai contempt of
court secara langsung menjawab bahwa ditataran kebijakan
293
Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court, (Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2002), hlm. iii.
294
Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court, (Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2002), hlm. 11‐21.
276
legislasi terdapat kekurang‐jelasan dan ketidaktegasan dalam
perumusan norma perbuatan contempt of court baik yang
terdapat hukum materiil maupun hukum formil. Aturan yang
belum memadai itu pada akhirnya akan berpengaruh pada
tataran aplikasi dalam penerapan dan implementasi perbuatan
contempt of court yang diadili pada praktik peradilan.
Kedua, 409 dari 611 responden menyatakan setuju agar
Hakim diberi kewenangan serta‐merta untuk menghukum
pelaku contempt of court tanpa melalui proses peradilan biasa.
Hal ini dikarenakan dalam aturan‐aturan yang ada, hukuman
bagi pelaku contempt of court sangat ringan, hal mana
disebabkan tidak adanya petunjuk dan norma yang jelas dan
tegas, maka suatu hal yang sangat mendesak agar ketentuan
tentang contempt of court segera diundangkan dengan
ketentuan yang jelas dan tegas. Sejalan dengan itu, sikap,
kepribadian dan moral Hakim harus diadakan pembinaan dan
pengawasan yang efektif oleh Mahkamah Agung RI.
Penelitian tersebut juga telah menggali suatu pengertian
contempt of court yang memiliki jangkauan lebih luas dalam
pemberlakuannya, yakni contempt of court baik dilakukan
seseorang atau setiap orang baik secara sendiri‐sendiri atau
bersama‐sama, tidak terbatas pada pencari keadilan,
terdakwa, pembela, saksi‐saksi, pers atau orang yang hadir di
persidangan tetapi termasuk pula perangkat penegak hukum
seperti Jaksa, Polisi, Hakim dan lain‐lainnya. Temuan‐temuan
dalam penelitian ini selanjutnya akan diajukan sebagai bahan
pengayaan dalam proses pembentukan Undang‐Undang
tentang Contempt of Court. 295 Termasuk bentuk‐bentuk
perbuatan yang masuk dalam pengertian contempt of court
meliputi:
a. Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan
(Misbehaving in court).
b. Tidak mentaati perintah‐perintah Pengadilan (Disobeying
court orders).
295
Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court, (Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2002), hlm. 9.
277
c. Menyerang integritas dan imparsialitas Pengadilan
(Scandalising in court).
d. Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan
(Obstructing Justice).
e. Perbuatan‐perbuatan penghinaan terhadap Pengadilan
(contempt of court) dilakukan dengan cara
pemberitahuan/ publikasi (Sub‐judice Rule).
Dalam perjalanannya, Rancangan Undang‐Undang
tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan atau
disebut juga sebagai Rancangan Undang‐Undang tentang
Penghinaan Dalam Persidangan (Contempt of Court) telah
masuk ke dalam program legislasi nasional 2015‐2019. 296
Kendati demikian, proses legislasi RUU tentang Contempt of
Court tersebut mengalami pasang‐surut. Pada tahun 2016,
RUU tentang Contempt of Court sempat menjadi prioritas.
Ketua Badan Legislasi DPR saat itu, Sareh Wiyono, memberi
penjelasan bahwa RUU tentang Contempt of Court ini
sebenarnya bermula dari usulan Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI). Kesamaan pandangan IKAHI dan DPR mengenai
urgensi pengaturan mengenai contempt of court ini
mendudukannya sebagai prioritas dalam Prolegnas.297 Namun
ternyata beberapa kalangan publik mengarah pada sikap
penolakan. 298 Penolakan oleh sebagian kalangan ini
sesungguhnya bukan hal yang aneh, karena di kalangan
internal peradilan pun masih muncul perdebatan mengenai
urgensi pengaturan contempt of court dalam suatu peraturan
296
DPR RI, “Prolegnas 2015‐2019”, http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas‐long‐list, diakses
tanggal 04 Oktober 2018. Dalam website resmi DPR tercatat di nomor urut 61 nama Rancangan
Undang‐Undang tentang Penghinaan Dalam Persidangan (Contempt of Court), draft yang beredar
di publik berjudul tentang Rancangan Undang‐Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan
Peradilan (Contempt of Court).
297
Tempo Online, “DPR Usul RUU Penghinaan Pengadilan di Prolegnas 2016”,
https://nasional.tempo.co/read/726747/dpr‐usul‐ruu‐penghinaan‐pengadilan‐di‐prolegnas‐2016,
diakses pada tanggal 27 Oktober 2017.
298
Detik Online, “Kekuasaan Hakim Jadi Tak Terkontrol, RUU Contempt of Court Harus
Disetop”, https://news.detik.com/berita/d‐3086663/kekuasaan‐hakim‐jadi‐tak‐terkontrol‐ruu‐
contempt‐of‐court‐harus‐disetop, diakses pada tanggal 30 Oktober 2017 dan Detik Online,
https://news.detik.com/berita/d‐3088088/bertentangan‐dengan‐konstitusi‐ruu‐contempt‐of‐
court‐harus‐ditolak, diakses pada tanggal 27 Oktober 2017.
278
perundang‐undangan secara khusus. Namun, meskipun masih
diperdebatkan mengenai pentingnya UU tentang Contempt of
Court ini, sebagian besar telah menyatakan bahwa
pengundangan RUU tentang Contempt of Court itu sangat
diperlukan dan bersifat urgen.
Pada saat bersamaan, DPR RI juga tengah membahas
Rancangan Undang‐undang Kitab Undang‐undang Hukum
Pidana (RKUHP), yang di dalamnya juga memuat beberapa
pasal yang mencerminkan usaha untuk melindungi kekuasaan
kehakiman yang merdeka dari usaha‐usaha untuk
mengganggu proses peradilan. Aturan tersebut terdapat dalam
Buku II RUU KUHP, pada Bab IV yang dirumuskan dengan judul
“Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan”. Bab IV ini dimulai
dari Pasal 325 sampai dengan Pasal 335 yang dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu (1) Bagian Kesatu,
tentang penyesatan proses peradilan; (2) Bagian Kedua,
tentang menghalang‐halangi proses peradilan; dan (3) Bagian
Ketiga, tentang perluasan perbuatan dan pemberatan
pidana.299 Dalam kajian ELSAM pada Lampiran I, terdapat 18
butir ketentuan mengenai tindak pidana terhadap peradilan
ini, yaitu pada Pasal 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 334, 335,
336, 337, 338, 339, 415, 420, 424, 436, dan Pasal 537 Rancangan
KUHP Baru.300
Dalam kajiannya mengenai pengaturan norma contempt
of court dalam RKUHP, ELSAM berkesimpulan bahwa
pengaturan secara khusus mengenai contempt of court dalam
RKUHP tampaknya tidak diperlukan. Hal ini disebabkan oleh
alasan sebagai berikut. Pertama, keberadaan pranata contempt
of court dalam sistem peradilan Indonesia sebenarnya telah
ada jauh sebelum adanya UU No. 14 Tahun 1985, namun
tersebar dalam berbagai bab dan pasal dalam KUHP yang saat
ini berlaku. Sehingga keberadaan ketentuan‐ketentuan
299
Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang‐Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No.
2 (Juli 2015), hlm. 221.
300
Wahyu Wagiman, Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005), hlm. 27‐31.
279
tersebut dapat dipergunakan untuk menjerat para pelaku
tindak pidana terhadap proses peradilan. Kedua, sistem
peradilan di Indonesia yang menganut sistem non adversarial
model tidak memungkinkan untuk adanya pranata contempt of
court. Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan yang
dianut di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat
besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana
terhadap proses peradilan (contempt of court) dalam RKUHP,
dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim
dalam proses peradilan. Akibatnya, tidak ada satu lembaga
atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap
kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya.301
Kesimpulan ELSAM di atas pada intinya hendak
menegaskan bahwa Indonesia yang menganut tradisi civil law
pada dasarnya tidak memerlukan UU Contempt of Court,
karena contempt of court merupakan tradisi common law.
Kendati demikian, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa
kesimpulan ini tidak sepenuhnya tepat. Menurut Jimly, harus
diakui memang banyak sarjana yang menyatakan bahwa
doktrin ‘contempt of court’ ini tidak dikenal dalam tradisi civil
law. John Henry Merryman dan Rogelio Pérez‐Perdomo,
misalnya, menyatakan sebagai berikut: “Civil law jurisdictions
have nothing comparable to the common law notion of civil
contempt of court.”302 Michael Chesterman juga berpendapat
bahwa doktrin ‘contempt of court’ dalam pengertian dan
kewenangannya yang luas memang tidak dikenal dalam tradisi
civil law.303 Kendati demikian, Jimly menegaskan bahwa di
banyak negara civil law juga ternyata diatur mengenai
larangan merendahkan martabat pejabat umum, mengkritik
301
Wahyu Wagiman, Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, (Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005), hlm. 25.
302
John Henry Merryman dan Rogelio Pérez‐Perdomo, The Civil Law Tradition: An
Introduction to the Legal Systems of Europe and Latin America, (California: Stanford University
Press, 2007), hlm. 123.
303
Michael Chesterman, “Contempt: In The Common Law, but Not the Civil Law”,
International and Comparative Law Quarterly, Vol. 46, No. 3 (1997), hlm. 521.
280
hakim dan lembaga peradilan. Misalnya, dalam KUHP, yang
berasal dari Wetboek van Strafrechts Belanda, juga diatur
larangan merendahkan martabat pengadilan mulai dari Pasal
207 sampai dengan 233. Bahkan, dalam kaitannya dengan
kebebasan berekspresi, ada juga doktrin dengan fungsi yang
sejenis yang juga diterapkan di negara‐negara civil law.
Misalnya, dalam Pasal 207 dan 208 KUHP dan dalam Artikel 9‐1
Civil Code Perancis, juga diatur mengenai asas praduga tidak
bersalah yang juga dikaitkan dengan publikasi. Demikian pula
di Belanda dan Jerman serta negara‐negara dengan tradisi civil
law di Eropa Barat, semua memiliki instrumen hukum untuk
melindungi kewibawaan dan kehormatan hakim dan lembaga
pengadilan.304
Terlepas dari kesimpulan ELSAM di atas, adanya
pengaturan mengenai contempt of court dalam RKUHP telah
menimbulkan permasalahan tersendiri dalam kaitannya
dengan kebaradaan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan
Peradilan (Contempt of Court) yang juga mengatur hal serupa.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah ketentuan
mengenai contempt of court itu sebaiknya dituangkan dalam
KUHP Baru atau harus dengan Undang‐Undang tersendiri,
yaitu UU tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan
(Contempt of Court).
4. Pengaturan Norma Contempt of Court Dalam Peraturan
Perundang‐Undangan (Ius Constituendum)
Pengaturan norma contempt of court di pelbagai negara
sangat bervariasi, ada yang mengaturnya dalam UU tersendiri,
ada pula yang mengaturnya dalam KUHP (Criminal Code).
Sebagai contoh, di Inggris, norma contempt of court diatur
dalam UU tersendiri, yakni Contempt of Court Act 1981. Di
India, norma contempt of court juga diatur dalam UU tersendiri,
yakni Contempt of Court Act of 1971. Di Amerika Serikat, norma
contempt of court diatur dalam pelbagai yurisprudensi dan
304
Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang‐Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No.
2 (Juli 2015), hlm. 209.
281
perundang‐undangan, termasuk Federal Rule of Criminal
Procedure 42 dan USC 18. Di Kanada, norma contempt of court
diatur dalam “Criminal Code of Canada” dan Undang‐Undang
Federal dan Provinsi lainnya mengenai hukum pidana.
Dalam konteks Indonesia, masalah pengaturan norma
contempt of court dalam peraturan perundang‐undangan
masih menimbulkan perdebatan, apakah diatur dalam KUHP
atau UU tersendiri. Sebagian berpendapat bahwa norma
contempt of court seharusnya diatur dalam KUHP, sementara
yang lain berpendapat bahwa norma contempt of court
seharusnya diatur dalam UU tersendiri. Menurut Bayu Dwi
Anggono, mengingat pertimbangan bahwa saat ini RUU KUHP
tengah dalam proses pembahasan di DPR, maka pilihan
kebijakan hukum yang paling memungkinkan adalah mengatur
tindak pidana proses peradilan dalam RUU KUHP dan bukan
dengan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan yang
berdiri sendiri. Adapun mengenai pengaturan non pidana yang
ada dalam RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan, jika
nanti pada akhirnya tidak menjadi UU tersendiri, maka
pengaturan mengenai ketertiban persidangan, kelancaran
persidangan, dan pengamanan persidangan dapat diatur
dengan Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi mengingat kedua lembaga peradilan
tersebut diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal‐
hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya.305
Di lain pihak, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa
norma contempt of court sebaiknya diatur dalam UU tersendiri.
Menurut Jimly, jika dipelajari apa yang dirumuskan dalam
RKUHP, jelas belum mencakup semua kebutuhan normatif
untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan peradilan. Lagi
pula RKUHP hanya memuat ketentuan mengenai tindak
305
Bayu Dwi Anggono, “Tinjauan Urgensi Rancangan Undang‐Undang Contempt of Court
(Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan) Dalam Sistem Perundang‐Undangan Nasional”, Kertha
Patrika: Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 38, No. 1 (Januari‐April 2016), hlm.
58.
282
pidana saja atau ‘criminal contempt’, belum mencakup
mengenai ‘civil contempt’ dan apalagi ‘ethical contempt’ yang
diusulkan oleh Jimly. Namun demikian, Rancangan KUHP
Baru, sepanjang menyangkut aspek perlindungan hukum
pidana (criminal contempt) terhadap peradilan, dapat
dikatakan sudah cukup memadai untuk segera dibahas oleh
DPR. Menurut Jimly, pemberlakuan UU tersendiri yang
mengatur norma contempt of court penting untuk memastikan
bahwa upaya membangun integritas, kepercayaan, dan
kewibawaan martabat peradilan harus diatur secara integral,
tidak hanya dari segi hukum pidana saja, tetapi juga dari segi
perdata dan bahkan dari segi etika. Karena itu, memang lebih
baik dibentuk satu Undang‐Undang yang tersendiri mengenai
hal itu, meskipun KUHP Baru sudah memuat beberapa aspek
mengenai hukum pidana yang berkenaan dengan “contempt of
court” secara terbatas.306
Jimly lebih lanjut menyatakan bahwa upaya menjaga
martabat dan kehormatan peradilan tidak saja didekati melalui
mekanisme hukum pidana yang tercermin dalam RKUHP,
tetapi juga melalui mekanisme civil contempt of court dan
ethical contempt of court secara terintegrasi. Oleh karena itu,
Jimly mendukung upaya Mahkamah Agung untuk
mengusulkan disusunnya Rancangan Undang‐Undang yang
dapat saja dinamakan Rancangan Undang‐Undang tentang
Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan. Di samping
untuk tujuan menjaga dan menegakkan martabat dan wibawa
hakim dan peradilan, Undang‐Undang ini dapat dimanfaatkan
pula untuk menyempurnakan kekurangan UU tentang Komisi
Yudisial, yang berkaitan langsung dengan upaya menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku
hakim, menyempurnakan kekurangan semua Undang‐Undang
yang berkaitan dengan profesi hukum yang dalam pelaksanaan
tugasnya mempunyai hubungan baik langsung atau pun tidak
306
Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang‐Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No.
2 (Juli 2015), hlm. 220‐221.
283
langsung dengan proses penegakan hukum dan proses
persidangan di pengadilan, seperti advokat, jaksa penuntut,
dan lain‐lain, terutama menyangkut sistem etika profesi
hukum itu masing‐masing, dan menyempurnakan kekurangan
UU tentang Penyiaran dan UU tentang Pers, sepanjang
menyangkut penegakan kode etika yang berhubungan dengan
pemberitaan dan publikasi mengenai peradilan.307
Di antara dua pendapat di atas, peneliti lebih sepakat
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie
bahwa norma contempt of court sebaiknya diatur dalam UU
tersendiri, dengan alasan bahwa RKUHP hanya memuat
ketentuan mengenai ‘criminal contempt’ dan belum mencakup
mengenai ‘civil contempt’ dan ‘ethical contempt’ yang diusulkan
oleh Jimly. Di samping itu, sebagaimana dikemukakan oleh
Sulasi Rongiyati, jika dilihat substansi contempt of court dalam
RKUHP, nampak jelas bahwa ketentuan tersebut diberlakukan
kepada masyarakat di luar aparat penegak hukum. RKUHP
tidak mengatur bagaimana jika penegak hukum di lingkungan
peradilan seperti hakim, penyidik, dan penyelidik melakukan
perbuatan yang merendahkan martabat, kewibawaan,
dan/atau kehormatan lembaga peradilan. Ketentuan yang
mengatur perlindungan hukum bagi aparat penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya sudah sangat memadai, namun
tidak dapat dipungkiri penegak hukum juga berpotensi untuk
melakukan tindakan‐tindakan yang dapat merendahkan
kehormatan dan kewibawaan lembaga peradilan, sehingga
sudah selayaknya ketentuan contempt of court berlaku juga
bagi aparat penegak hukum.308
Dalam konteks inilah tawaran Jimly tentang pengaturan
aspek ethical contempt of court dalam RUU Tindak Pidana
Penyelenggaraan Peradilan menjadi relevan. Menurut Jimly,
pengaturan ethical contempt of court tersebut dapat
307
Ibid, hlm. 221.
308
Sulasi Rongiyati, “Contempt of Court Dalam Persidangan MK”, Info Singkat, Vol. V, No.
22/II/P3DI/November/2013, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI, 2013, hlm. 4.
284
diberlakukan sepanjang perbuatan ‘contempt of court’
dimaksud dilakukan oleh (i) pejabat negara atau pemerintahan
yang terikat pada prinsp ‘rule of law’ dan ‘rule of ethics’ dalam
jabatannya, atau oleh (ii) penyandang status sebagai
profesional berdasarkan standar kompetensi dan etika profesi
yang resmi, seperti advokat, notaris, akuntan, wartawan dan
sebagainya, yang juga terikat oleh prinsip‐prinsip ‘rule of law’
and ‘rule of ethics’. Upaya penindakan hukum terhadap subjek
hukum yang termasuk ke dalam kategori ini sebaiknya hanya
dapat dilakukan setelah upaya yang bersifat etika dilakukan
sebagaimana mestinya, atau dengan kewenangannya hakim
memerintahkan untuk difungsikannya sistem sanksi etika
sebagaimana mestinya.309
Dengan demikian, subjek hukum yang dilarang dengan
pendekatan etik untuk menghina, melecehkan, atau
merendahkan martabat hakim dan pengadilan adalah: (1) Para
pihak dalam ruang sidang; (2) Pejabat negara atau
pemerintahan; (3) Profesional yang terikat kode etika profesi,
termasuk para advokat dan wartawan; (4) Industri pers sebagai
‘the fourth estate of democracy’, yaitu penanggungjawab
redaksi dan perusahaan pers. Sedangkan warga negara biasa
tidak terkena larangan contempt of court ini. Setiap warga
negara berhak untuk bebas dalam mengekspresikan pendapat
negatif atau positif mengenai hakim dan proses peradilan,
sepanjang (i) tidak di dalam ruang sidang, (ii) tidak di sekitar
gedung pengadilan, dan (iii) tidak dimuat di media massa, yang
apabila dimuat, maka penulis, penanggungjawab, dan/atau
pengelola media tersebut dapat diminta
pertanggungjawabannya secara etika atau hukum (secara
terbatas) sebagai contempt of court. Kriminalisasi terhadap
publikasi dibatasi hanya apabila suatu statemen kritis terbukti
309
Jimly Asshiddiqie, “Upaya Perancangan Undang‐Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No.
2 (Juli 2015), hlm. 217.
285
benar‐benar menimbulkan akibat timbulnya “clear and present,
real and imminent danger to the administration of justice.”310
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Lilik Mulyadi.
Menurutnya, pengaturan norma contempt of court dalam UU
Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court)
di masa mendatang (ius constituendum) harus lebih luas
cakupan dan dimensinya dibandingkan pandangan dari Oemar
Seno Adji dan Barda Nawawi Arief, karena juga mengatur
tentang aparat penegak hukum, advokat, petugas Rumah
Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak
mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, kemudian
tentang setiap orang membuka keterangan yang telah
disampaikan dalam penyelenggaraan peradilan dalam sidang
tertutup, atau membuka identitas orang yang harus dilindungi,
berikutnya tentang setiap orang yang mempublikasikan atau
memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan
yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap
upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi
kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, atau
melepaskan barang dari sitaan berdasarkan peraturan
perudang undangan atau dari simpanan atas perintah hakim
atau menyembunyikan barang tersebut, padahal diketahui
bahwa barang tersebut berada dalam sitaan atau simpanan,
dan lain sebagainya. Akan tetapi, ke depan yang perlu
dipikirkan secara lebih mendalam terhadap pelaku contempt of
court adalah tentang perumusan jenis sanksi pidana
(strafsoort), perumusan lamanya sanksi pidana (straafmaat),
dan perumusan pelaksanaan sanksi pidana (strafmodus). Jenis
perumusan jenis, lama dan pelaksanaan sanksi pidana tersebut
untuk masa kini dan mendatang memerlukan adanya
pembaharuan dan modifikasi.311
310
Ibid, hlm. 220.
311
Lilik Mulyadi, “Urgensi dan Prospek Pengaturan (Ius Constituendum)
UU Tentang
Contempt of Court Untuk Menegakkan Martabat aan Wibawa Peradilan”, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 4, No. 2 (Juli 2015), hlm. 296.
286
Selain pengaturan mengenai aspek‐aspek yang telah
disebutkan di atas, RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan
Peradilan (Contempt of Court) juga perlu memuat ketentuan
yang cukup rinci mengenai perbedaan antara unsur‐unsur civil
contempt dan criminal contempt serta mekanisme penyelesaian
perkara civil contempt dan criminal contempt. Sebagai contoh,
dalam sistem hukum kasus Virginia (Virginia case law), untuk
menetapkan kasus civil contempt, seorang penggugat harus
membuktikan unsur‐unsur sebagai berikut: adanya perintah
pengadilan yang melarang atau mengamanatkan suatu
tindakan oleh terdakwa; terdakwa memiliki pengetahuan
aktual atas perintah semacam itu; dan terdakwa melakukan
pelanggaran atas perintah tersebut. 312 Di sisi lain, untuk
menetapkan kasus criminal contempt, pengadilan harus
membuktikan tindakan yang disengaja (intentional or willful
act) oleh terdakwa. Tindakan semacam itu mungkin
merupakan pelanggaran terhadap perintah pengadilan atau
tindakan yang merongrong integritas pengadilan, termasuk
contoh‐contoh yang ditetapkan dalam Virginia Code Section
18.2‐456 seperti perilaku buruk di hadapan pengadilan,
kekerasan atau ancaman kepada hakim atau petugas
pengadilan, bahasa keji, perilaku buruk salah seorang petugas
pengadilan, ketidaktaatan atau penolakan terhadap proses
atau perintah pengadilan. Adapun mengenai standar
pembuktian, sebagaimana kasus pidana yang lain, harus tidak
dapat diragukan lagi.313
Sehubungan dengan mekanisme penyelesaian perkara,
terdapat dua jenis proses persidangan dalam kasus civil
contempt, yakni summary proceedings dan plenary proceedings.
Proses summary proceedings diselenggarakan ketika
penghinaan langsung (direct contempt) telah terjadi. Dalam
situasi ini, perilaku kontroversial telah terjadi di hadapan hakim
312
Laura A. Thornton, “Fines, Imprisonment or Both: Civil vs. Criminal Contempt”, Family
Law Section (February 2001), hlm. 35,
http://www.vsb.org/docs/valawyermagazine/feb01thornton.pdf, diakses tanggal 07 Oktober 2018.
313
Ibid, hlm. 36.
287
pengadilan dan hakim pengadilan dapat mengambil bukti dan
menghukum para penghina (contemnor) dalam persidangan
yang sama. Penghina, meskipun tidak berhak atas
pemberitahuan sebelumnya, berhak untuk diberi tahu
mengenai tuduhan khusus penghinaan dan harus diberikan
kesempatan untuk didengar dalam pembelaannya. Jika hakim
pengadilan memilih untuk menunda sidang penghinaan
(contempt hearing) sampai setelah persidangan di mana
perilaku penghinaan terjadi, maka penghina berhak atas
pemberitahuan dan hakim boleh memperkenankan hakim lain
untuk memimpin proses persidangan kasus civil contempt.314
Plenary proceedings dilakukan dalam kasus‐kasus
penghinaan tidak langsung (indirect contempt), yakni ketika
perilaku kontroversial telah terjadi, setidaknya sebagian, di luar
pengadilan. Plenary proceedings membutuhkan pemberitahuan
sebelumnya dan kesempatan untuk didengar oleh terdakwa.
Dalam kasus ini, penggugat bisanya mengajukan surat
permohonan kepada pengadilan yang memuat tuduhan bahwa
terdakwa telah melanggar perintah pengadilan dan meminta
agar pengadilan mengeluarkan surat panggilan kepada
terdakwa untuk menjelaskan kegagalannya mematuhi
perintah pengadilan tersebut. Dalam hal ini, penggugat harus
menandatangani surat permohonan di bawah sumpah dan
kemudian surat tersebut disampaikan kepada terdakwa.315
Di lain pihak, mayoritas proses persidangan dalam kasus
criminal contempt menuntut mekanisme plenary proceedings,
termasuk memberi tahu terdakwa bahwa persidangannya
bersifat pidana. Terdakwa dalam kasus semacam itu harus
memiliki pemberitahuan sebelum persidangan, dilayani secara
pribadi, dan diberitahu tentang rincian dari perilaku
penghinaan yang dituduhkan kepadanya. Pemberitahuan
semacam itu harus memberi tahu apakah terdakwa
menghadapi kemungkinan waktu kurungan atau penjara.316
314
Ibid, hlm. 36.
315
Ibid, hlm. 36.
316
Ibid, hlm. 37.
288
Uraian di atas menyisakan pertanyaan, apakah
pengaturan secara jelas mengenai perbuatan contempt of court
dan ketentuan pidananya berkorelasi erat dengan
independensi dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman? Bahwa
pendekatan pidana bukan satu‐satunya untuk memberikan
perlindungan terhadap penyelenggaraan peradilan, karena
terkadang penjatuhan pidana tidak selalu dapat
menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya malah
mendorong kecenderungan munculnya antipati publik, dalam
bahasa lain bahwa kewibawaan peradilan tidak dapat
ditegakkan hanya dengan undang‐undang pidana an sich,
karena pengaturan pidana itu diatur secara khusus dalam
aturan mengenai contempt of court, maka akan ada keperluan
lain yang mengatur bilamana Hakim dengan sengaja
menguntungkan salah satu pihak yang berperkara. Dalam
sistem perlindungan ini seharusnya contempt of court hanya
dijadikan sebagai ultimum remedium ketika langkah‐langkah
preventif sudah dilakukan secara maksimal dan serangan
terhadap penyelenggaraan peradilan begitu nyata dan
mendesak.
Perbuatan contempt of court dengan segala bentuknya
sudah menjadi facta notoir, selalu berulang dan sudah sampai
pada taraf memprihatinkan. Kenyataan tersebut, menegaskan
bahwa perlindungan terhadap proses peradilan sebagai suatu
wujud nyata perlindungan terhadap penyelenggaraan
peradilan dalam Kekuasaan Kehakiman merupakan sesuatu
yang mendesak untuk dilakukan, karenanya penting untuk
segera diwujudkan. Setidaknya untuk sementara dapat diatur
melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur
secara internal, aturan tersebut dapat disosialisasikan dengan
cara disiarkan, diumumkan dan dibacakan sebelum
persidangan sebagai tata tertib sidang. Selanjutnya untuk
memberikan perlindungan terhadap Hakim atas tindakan
penghinaan dan pelecehan diharapkan dalam PERMA tersebut
mengatur kewenangan tim advokasi Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) untuk berperan aktif memberikan perlindungan hukum
289
sekaligus melakukan proses hukum atas tindakan contempt of
court yang terjadi, IKAHI harus menjadi garda terdepan untuk
melindungi Hakim.
E. Implementasi Nilai‐Nilai Pelayanan Publik dalam SAPM dan
IFCE
Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state)317.
Pembukaan UUD NRI 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan
negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Mandat
tersirat dari Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut adalah
pemerintah wajib mewujudkan suatu sistem pemerintahan yang
berorientasi pada pelayanan publik dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar dan hak‐hak sipil setiap warga negara.
Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga negara juga
tidak luput dari tuntutan pelayanan publik yang baik. Salah satu
tuntutan konstitusi—yang bahkan telah menjadi asas—bagi
Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawahnya
adalah terselenggaranya peradilan yang dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan.318
Sebagai wujud keseriusan terhadap spirit pelayanan publik,
dalam beberapa tahun terakhir Mahkamah Agung mengeluarkan
beberapa paket kebijakan yang concern pada pelayanan publik,
antara lain: pemberlakuan Standar Pelayanan Peradilan, Direktori
Putusan, Gugatan Sederhana (Small Claim Court), Layanan
Pembebasan Biaya Perkara (Prodeo), Sidang di Luar Gedung
Pengadilan, Posbakum, Sistem Informasi Penelusuran Perkara
(SIPP), pemberlakuan e‐Court, Keterbukaan Informasi Pengadilan
melalui Website, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan
kebijakan yang akan menjadi tema inti pada sub bab ini:
Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu (SAPM) dan penerapan
International Framework for Court Excellence (IFCE).
1. Definisi dan Asas Pelayanan Publik (Public Service)
Tujuan tertinggi dibentuknya suatu pemerintahan adalah
untuk melayani rakyat. Untuk tujuan itu, diciptakanlah
317
Nuriyanto, Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia, Sudahkah Berlandaskan
Konsep “Welfare State”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014, hlm. 429.
318
Pasal 2 ayat (4) Undang‐Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
290
birokrasi sebagai instrumen untuk mewujudkan pelayanan
publik yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan
berkeadilan.
Sebelum lebih jauh mengulas tentang implementasi nilai
pelayanan publik dalam Sertifikasi Akreditasi Penjaminan
Mutu dan International Framework for Court Excellence, definisi
dan asas pelayanan publik perlu dikaji dan dideskripsikan
terlebih dahulu.
Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik memberikan definisi sebagai berikut:
“Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang‐
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.319
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: Kep/25/M.Pan/2/2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan
Instansi Pemerintah mendefinisikan pelayanan publik sebagai
berikut:
“Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang‐undangan”.
Menurut Sinambela, 320 pelayanan publik adalah
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan.
Dari berbagai definisi tersebut, secara lebih
komprehensif pelayanan publik dapat didefinisikan
319
Pasal 1 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
320
Lijan Poltak Sinambela, dkk, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan
Implementasi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006) hlm. 5.
291
sebagai segala jenis kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang‐undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk yang mempunyai kepentingan pada organisasi
pemberi layanan, atas barang, jasa, dan atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.
Asas‐asas yang diacu dalam pelayanan publik
sebagaimana dijelaskan Pasal 4 Undang‐Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu;
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Asas‐asas inilah yang harus menjadi tumpuan dalam
setiap penyusunan mekanisme pelayanan publik, termasuk
bagi Mahkamah Agung, selaku salah satu penyelenggara
pelayanan publik.
2. Kebijakan Mahkamah Agung dalam Pelayanan Publik
Visi Mahkamah Agung adalah Terwujudnya Badan
Peradilan Indonesia yang Agung. Untuk membumikan visi
tersebut, Mahkamah Agung mencanangkan misi‐misi:
a. Menjaga kemandirian badan peradilan;
b. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada
pencari keadilan;
c. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan;
292
d. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan
peradilan.321
Kemandirian badan peradilan (independency of judiciary)
harus diimbangi dengan akuntabilitas peradilan (judicial
accountability) dan pertanggungjawaban pada masyarakat
(social accountability).322 Peradilan Indonesia yang agung hanya
dapat terwujud jika independency of judiciary, judicial
accountability, dan social accountability telah simultan
terlaksana. Untuk perwujudan cita‐cita luhur itulah Mahkamah
Agung terus berusaha secara kontinu memberikan layanan
hukum terbaik.
Pelayanan hukum yang baik telah menjadi kebutuhan
internal bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya. Selain diilhami sebagai kebutuhan internal,
pelayanan publik yang baik dalam konteks reformasi birokrasi
juga didorong oleh tuntutan dari luar: Program Reformasi
Birokrasi, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),
Rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJP) serta aturan
perundang‐undangan yang baru.323
Luhut M. Pangaribuan memberikan catatan bahwa
desakan untuk melakukan reformasi birokrasi demi
terwujudnya pelayanan hukum yang baik dilakukan secara
bersamaan dengan desakan reformasi birokrasi terhadap
kekuasaan eksekutif dan legislatif. 324 Hal ini harus dapat
dimengerti dengan berbagai alasan. Salah satunya: cabang
kekuasaan sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 harus
berjalan menuju arah mensejahterakan rakyat, dengan
berbagai instrumen dan caranya masing‐masing.
Bertolak dari konstelasi pelayanan publik tersebut, dalam
rapat koordinasi perdananya sebagai Dirjen Badilag, Aco Nur
321
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, 2010, hlm. 13‐15.
322
Marojahan J.S. Panjaitan, Membangun Badan Peradilan yang Beradab, Berbudaya, dan
Berkeadilan Menurut Teori, Praktik dan UUD 1945 (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2018), hlm. 103.
323
Agus Zainal Muttaqien, dkk., Eksistensi dan Dinamika Pembaruan Kesekretariatan dan
Kepaniteraan Peradilan (Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2017) hlm.
29.
324
Luhut M.P. Pangaribuan, Catatan Hukum Luhut M.P. Pangaribuan, Pengadilan, Hakim,
dan Advokat, (Depok: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 71.
293
menekankan pentingnya optimalisasi segala potensi yang ada,
demi mewujudkan peradilan yang baik dan demi memberi
pelayanan kepada pencari keadilan dengan prima.325
Dalam catatan sejarahnya, Mahkamah Agung bersama
empat badan peradilan yang berada di bawahnya telah
berusaha menampilkan inovasi‐inovasi pelayanan publik. Ini
merupakan persembahan nyata lembaga yudikatif demi
terwujudnya pelayanan publik terbaik. Berikut ini adalah
beberapa inovasinya:
a. Standar Pelayanan Peradilan
Pada tahun 2012, Ketua Mahkamah Agung
menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar
Pelayanan Peradilan. Tujuan utama ditetapkannya standar
pelayanan ini adalah untuk: 1) meningkatkan kualitas
pelayanan pengadilan bagi pencari keadilan dan
masyarakat, dan 2) meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepada lembaga peradilan.326
Beleid ini memiliki kontribusi nyata dalam pelayanan
publik. Setidaknya ada empat manfaat besar diterbitkannya
aturan ini: 1) sebagai bagian dari komitmen pengadilan
kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang
berkualitas, 2) sebagai pedoman bagi masyarakat dalam
menilai kualitas pelayanan pengadilan, 3) sebagai tolok ukur
bagi setiap satuan kerja dalam penyelenggaraan pelayanan,
dan 4) sebagai pedoman bagi setiap satuan kerja dalam
menyusun standar pelayanan pada masing‐masing satuan
kerja.
b. Direktori Putusan
Direktori Putusan adalah sistem berbasis web sebagai
wadah publikasi putusan Mahkamah Agung dan empat
peradilan di bawahnya. Pengembangan Direktori Putusan
325
https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar‐ditjen‐badilag/seputar‐ditjen‐
badilag/usai‐dilantik‐sebagai‐dirjen‐badilag‐dr‐h‐aco‐nur‐lakukan‐rapat‐koordinasi‐29‐6 diakses
tanggal 18 Oktober 2018, pukul 15.04.
326
Konsideran Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan.
294
ini adalah salah satu pelaksanaan amanat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Tujuan utamanya
adalah untuk memastikan adanya informasi tentang
putusan secara cepat dan murah.327
c. Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Payung hukum Gugatan Sederhana adalah Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
Gugatan Sederhana didefinisikan sebagai pemeriksaan di
persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai
gugatan materiil paling banyak Rp. 200.000.000,‐ (dua ratus
juta rupiah), yang diselesaikan dengan tata cara dan
pembuktian sederhana.328
Tujuan penyelesaian perkara dengan gugatan
sederhana adalah untuk mewujudkan prosedur beracara—
khususnya bidang ekonomi—dengan cara yang lebih cepat,
sederhana, dan biaya ringan.
d. Layanan Pembebasan Biaya Perkara (Prodeo)
Layanan Pembebasan Biaya Perkara merupakan
wujud pelayanan Mahkamah Agung pada masyarakat tidak
mampu. Salah satu tujuan layanan ini adalah memberi akses
bagi masyarakat tidak mampu untuk mendapatkan keadilan
dengan cara membebaskan biaya perkara. Ketentuan
layanan ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
e. Sidang di Luar Gedung Pengadilan
Layanan Sidang di Luar Gedung Pengadilan ini
merupakan layanan satu paket dengan kebijakan layanan
prodeo. Keduanya diatur dalam payung hukum yang sama:
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang
327
https://putusan.mahkamahagung.go.id/tentang, diakses tanggal 12 Oktober 2018,
pukul 06.26. WIB.
328
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
295
Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat
Tidak Mampu di Pengadilan. Tujuan utama layanan ini
adalah memberi akses bagi masyarakat yang memiliki
kesulitan menjangkau gedung pengadilan karena
keterbatasan ekonomi, fisik, dan kondisi geografis.329
f. Posbakum
Serupa dengan prodeo dan sidang di luar gedung,
layanan Posbakum merupakan produk dari Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu
di Pengadilan. Tujuan pelayanan Posbakum ini adalah
memberi kesempatan kepada masyarakat tidak mampu
untuk mengakses konsultasi hukum, advis, dan pembuatan
dokumen dalam menjalani proses peradilan.
g. Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
SIPP adalah sebuah aplikasi terintegrasi berbasis web
yang digunakan untuk pengadministrasian dan penelusuran
data perkara. Aplikasi ini dapat mempermudah semua
pihak, baik bagi penyedia layanan maupun penerima
layanan untuk menelusuri perkara. Layanan ini merupakan
tindak lanjut dari beberapa surat edaran dirjen peradilan,
juga sebagai pembumian amanat Undang‐Undang Nomor
14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
h. e‐Court330
Pada tanggal 13 Juli 2018 Ketua Mahkamah Agung,
Prof. Dr. M. Hatta Ali S.H., M.H. meluncurkan aplikasi e‐
Court di Balikpapan. Peluncuran inovasi administrasi perkara
secara elektronik ini berpijak pada Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. E‐Court sangat
menguntungkan pihak penerima layanan, karena dapat
329
Pasal 3 huruf (b) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
330
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
296
mendaftarkan perkara dan beracara dengan lebih efektif
dan efisien.
i. Keterbukaan Informasi Pengadilan melalui Website
Website atau situs web adalah suatu halaman web
yang saling berhubungan yang umumnya berada pada
peladen yang sama berisikan kumpulan informasi yang
disediakan secara perorangan, kelompok, atau organisasi.331
Penggunaan website di seluruh pengadilan merupakan
bentuk sensitifitas terhadap keterbukaan informasi. Dalam
sebuah situs web pengadilan, disediakan fitur‐fitur lengkap
yang berupa informasi bagi publik, berupa: prosedur
berperkara, informasi perkara, kewenangan pengadilan,
yurisdiksi pengadilan, panjar biaya perkara, laporan
penggunaan anggaran, berita seputar pengadilan, dan lain‐
lain. Penggalakan website ini merupakan amanat dari Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan.332
j. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau yang dikenal
dengan One Gate Integrated Service pada mulanya adalah
layanan untuk mempermudah proses perizinan dalam
mendirikan suatu usaha yang selama ini dikeluhkan para
pelaku bisnis yang menganggap terlalu lama dalam
mengurus proses perizinan di Indonesia. Pelayanan Terpadu
Satu Pintu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 97 Tahun 2014 di bawah kendali Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM).
Dalam perkembangannya, Pelayanan Terpadu Satu
Pintu kemudian diterapkan oleh banyak kementerian dan
lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung. Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di lingkungan peradilan bertujuan untuk
mewujudkan pelayanan terstruktur dan terukur yang pada
331
https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_web, diakses pada 12 Oktober 2018, pukul 10.33 WIB.
332
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/SK/VII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
297
akhirnya akan menghasilkan perwujudan speedy justice dan
juga berfungsi menghilangkan stigma buruk lambatnya
pelayanan di pengadilan. Justice delayed is justice denied,
keadilan yang tertunda adalah ketiadaan keadilan.
3. Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu (SAPM)
Sertifikasi adalah keputusan Komite Pengambil
Keputusan Akreditasi atas penilaian hasil audit atau asessmen
pengadilan yang berbentuk pemberian sertifikat akreditasi.
Akreditasi adalah suatu penilaian menyeluruh yang dilakukan
oleh Tim Audit Penjaminan Mutu (TAPM) untuk menentukan
peringkat pengakuan terhadap kualitas penyelenggaraan
seluruh aktivitas penjaminan mutu pada pengadilan.
Sedangkan penjaminan mutu adalah serangkaian proses yang
saling berhubungan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan
melaporkan data mengenai kinerja dan pelayanan untuk
ditindaklanjuti dengan program peningkatan mutu secara
berkelanjutan.333
Secara lebih integral, Ainun Najib mendefinisikan
Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu sebagai sebuah konsep
dan langkah dalam mengakomodir segala isu‐isu yang
berkembang baik isu internal maupun isu eksternal, kebutuhan
pihak‐pihak berkepentingan, peningkatan kualitas pelayanan
melalui inovasi dan pengembangan seluruh sumber daya yang
dimiliki (man, money, methode, machine, material).334
Tujuan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu adalah
untuk mewujudkan Peradilan Indonesia yang Unggul
(Indonesia Court Performance Excellent‐(ICPE) dan berstandar
internasional melalui pencapaian dan pemenuhan kriteria ISO
9001:2015.335
333
Herri Swantoro, Kebijakan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Badan Peradilan di
Lingkungan Mahkamah Agung, materi presentasi SAPM Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum,
2017.
334
Ainun Najib, Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Peradilan Agama, bahan Rapat
Koordinasi SAPM Badan Peradilan Agama, Februari 2018.
335
Herri Swantoro, Kebijakan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Badan Peradilan di
Lingkungan Mahkamah Agung, Loc. Cit.
298
Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu terdiri dari
standar persyaratan yang sudah dipetakan oleh komite dengan
mengorelasikan Standar Internasional ISO 9001:2015,
sehingga pengadilan yang sudah dilakukan proses asesmen
dan dinyatakan berhasil dalam menerapkan sistem
manajemen mutu, siap untuk melanjutkan proses sertifikasi
international.
Standar Acuan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu
pada Direktorat Jenderal Peradilan di bawah Mahkamah
Agung adalah:336
a. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi;
b. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2017 tentang
Pedoman Survey Kepuasan Masyarakat;
c. Cetak Biru (Blueprint) Pembaruan Peradilan di
Mahkamah Agung;
d. ISO 9001: 2015 (Sistem Manajemen Mutu);
e. ISO 19011:2015 (Panduan Audit Sistem Manajemen
Mutu);
f. ISO 17021:2015 Penilaian Kesesuaian Persyaratan
Lembaga Penyelenggara Audit/Asesmen;
g. ISO 9004 Pedoman Peningkatan Kinerja;
h. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan;
i. Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Pedoman Penyusunan Standar
Operasional Prosedur di Lingkungan Mahkamah Agung
dan Badan Peradilan di bawahnya;
Manfaat yang diperoleh pengadilan dari
penyelenggaraan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu ini
adalah: 1) terjaminnya kebutuhan dan harapan pelanggan, 2)
336
Ainun Najib, Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Peradilan Agama, Loc, Cit.
299
tercipta manajemen yang baik, 3) terciptanya pola kerja yang
lebih efektif dan efisien, 4) setiap kegiatan terukur dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku, dan 5)
teridentifikasi dan teratasinya risiko organisasi.
Secara sederhana, peta tahapan Sertifikasi Akreditasi
Penjaminan Mutu adalah sebagai berikut:
a. Asesmen internal;
b. Evaluasi internal;
c. Pengusulan pengadilan yang akan mengikuti
assessment;
d. Asesmen oleh Komite SAPM;
e. Penetapan hasil;
f. Pengambilan keputusan;
g. Pengumuman hasil dan penyerahan Sertifikat Akreditasi.
Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu ini pada awalnya
diterapkan oleh pengadilan di bawah Direktorat Jenderal
Peradilan Umum pada tahun tahun 2014.337 Kemudian disusul
oleh Direktorat Jenderal Peradilan Agama (2017) dan
Direktorat Jenderal Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara
(2017). 338 Saat ini sebagian besar pengadilan telah
terakreditasi.
Mahkamah Agung terus mendorong bagi pengadilan
yang belum terakreditasi untuk segera dapat terakreditasi.
Sedangkan untuk pengadilan yang telah terakreditasi harus
meningkatkan kualitasnya guna persiapan surveillance dan
renewal yang akan diselenggarakan secara berkesinambungan,
never ending process. Lebih jauh lagi, bagi pengadilan yang
telah terakreditasi A (excellent), dihimbau untuk segara bersiap
dan mendaftar menjadi anggota International Consortium for
Court Excellence (ICCE).
Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu ini bukanlah
sebuah tujuan. Ia adalah sebentuk media, sarana, atau
337
Direktorat Jenderal Peradilan Umum, Pedoman Praktis Pemeliharaan Akreditasi
Penjaminan Mutu Badan Peradilan Umum, 2018. Hlm. V.
338
Komite Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Direktorat Jenderal Peradilan Agama,
Buku I Standar Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu, 2018. hlm. i.
300
washilah untuk mewujudkan peradilan yang unggul. Suatu saat
nanti, dapat saja Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu
bertransformasi menjadi bentuk lain, namun dengan spirit dan
tujuan yang sama.
4. International Framework for Court Excellence (IFCE)
Reformasi peradilan ditandai dengan diberlakukannya
Cetak Biru (Blueprint) Pembaruan Peradilan 2003. Mengacu
pada cetak biru tersebut, Mahkamah Agung telah melakukan
berbagai program: 1) Reformasi Birokrasi yang berfokus pada
penataan organisasi, perbaikan tata kerja, pengembangan
sumber daya manusia, perbaikan sistem remunerasi dan
manajemen dukungan teknologi dan informasi, 2)
pembentukan kelompok‐kelompok kerja, 3) pengikisan
tumpukan perkara, 4) upaya meningkatkan kualitas hakim dan
aparatur peradilan, 5) perbaikan sistem rekrutmen calon
hakim, 6) mendorong keterbukaan peradilan, 7) penguatan
sistem pengawasan internal dan penguatan hubungan dengan
Komisi Yudisial (KY).339
Dalam rentang waktu 2003 sampai tahun 2008, ternyata
program tersebut belum maksimal terlaksana; baru tercapai 30
persen. Kemudian, pada tahun 2009 Organizational Diagnostic
Assessment (ODA) merilis konklusi bahwa secara umum
peradilan di Indonesia belum mencapai 50 persen dalam
pemenuhan standar Court of Excellence. 340 Selanjutnya
disusunlah Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035.
Kegiatan yang direkomendasikan dalam Cetak Biru
Pembaruan Peradilan 2003 yang masih relevan tetap
dipertahankan dan dikembangkan dalam Cetak Biru Cetak Biru
Pembaruan Peradilan 2010‐2035 dengan pendekatan Kerangka
Pengadilan yang Unggul (The Framework of Court
Excellence).341
339
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035, Op. Cit., hlm. 3.
340
Ibid.
341
Irfan Fachruddin, Fungsi Pengawasan terhadap Aparatur Peradilan Untuk Mewujudkan
Peradilan yang Agung (Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2012) hlm.
3.
301
Kehendak terwujudnya peradilan yang unggul bukan saja
terjadi di Indonesia. Dunia internasional juga menghendaki
peningkatan kualitas sistem peradilan. Dorongan kehendak ini
semakin hari semakin kuat. Oleh sebab itu, peradilan‐peradilan
di belahan dunia ini harus bertemu, menyepakati, dan
menerapkan sebuah standar internasional untuk menerapkan
sistem peradilan. 342 International Framework for Court
Excellence adalah kulminasi dari kehendak tersebut.
International Framework for Court Excellence adalah
sistem manajemen mutu yang dirancang untuk membantu
pengadilan meningkatkan kinerjanya. Sistem ini merupakan
pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pengadilan
yang unggul. Kerangka ini terdiri dari tiga hal berikut:
a. Kerangka nilai‐nilai inti universal. Tujuh Area untuk
Pengadilan yang Unggul selaras dengan nilai‐nilai
tersebut;
b. Proses evaluasi diri menggunakan kuesioner penilaian
mandiri. Instrumen ini berguna untuk mengevaluasi
kinerja pengadilan dalam penerapan Tujuh Area untuk
Pengadilan yang Unggul serta memberikan panduan bagi
pengadilan untuk meningkatkan kinerjanya;
c. Rumusan global kinerja pengadilan. Rumusan ini
mencakup langkah‐langkah kinerja inti pengadilan yang
terfokus, jelas, dan dapat ditindaklanjuti.343
International Framework for Court Excellence merupakan
pengembangan dan pemeliharaan nilai, konsep, dan perangkat
agar pengadilan di seluruh dunia dapat menilai dan
meningkatkan kualitas keadilan dan administrasi pengadilan
yang mereka berikan. Landasan kerangka ini adalah
pernyataan yang jelas tentang nilai‐nilai fundamental yang
harus dipatuhi oleh pengadilan jika mereka berkehendak
mencapai keunggulan.
342
Inggrid K. Kabua, Judiciary Pushes to Meet Global Standards, The Marshall Islands
Journal, July 11, 2014, hlm. 9.
343
http://www.courtexcellence.com/, diakses tanggal 13 Oktober 2018 pukul 11.10 WIB.
302
Kerangka ini menyediakan metodologi untuk evaluasi
dan perbaikan berkelanjutan yang dirancang khusus untuk
pengadilan. Kerangka ini dibangun berdasarkan berbagai
metodologi peningkatan organisasi yang diakui, serta
mencerminkan kebutuhan khusus dan masalah yang dihadapi
pengadilan.
Selain itu, kerangka ini juga menyediakan metode untuk
peningkatan kualitas layanan pengadilan. Kerangka ini
menerapkan pendekatan yang holistik terhadap kinerja
pengadilan. Secara lebih luas, kerangka ini dapat diartikan
sebagai proses pendekatan secara menyeluruh untuk
mencapai pengadilan yang unggul.344
Kerangka kerja International Framework for Court
Excellence mencakup Tujuh Area untuk Pengadilan yang
Unggul: 1) Court Leadership and Management (Kepemimpinan
dan Manajemen Pengadilan), 2) Court Planning and Policies
(Perencanaan dan Kebijakan Pengadilan), 3) Court Resources:
Human, Material and Financial (Sumber Daya Pengadilan:
Manusia, Materi dan Keuangan), 4) Court Proceedings and
Processes (Cara Kerja dan Proses), 5) Client Needs and
Satisfaction (Kebutuhan dan Kepuasan Pelanggan), 6)
Affordable and Accessible Court Services (Layanan Pengadilan
yang Terjangkau dan Dapat Diakses), dan 7) Publik Trust and
Confidence (Keyakinan dan Kepercayaan Publik). 345
Penerapan kerangka ini memiliki banyak manfaat bagi
pengadilan, karena dapat digunakan untuk memandu
bagaimana pengadilan bekerja pada setiap titik waktu
tertentu. Adopsi Kerangka ini akan membantu pengadilan
untuk dapat memastikan memberikan layanan pengadilan
berkualitas.
Pengadilan yang adil, mudah diakses, dan efisien akan
menciptakan hubungan positif antara warga negara dengan
344
The International Framework For Court Excellence, 2nd Edition, March 2013. Hlm. 1‐2.
345
Ibid. hlm. 6‐11, lihat juga dalam, Tin Bunjevac, From Individual Judge to Judicial
Bureaucracy: The Emergence of Judicial Councils and the Changing Nature of Judicial Accountability in
Court Administration, University of New South Wales Law Journal 806, 2017.
303
negara. Sistem pengadilan yang efektif dan efisien dapat
meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik bahwa
pengadilan akan menyediakan proses yang mudah diakses,
adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kerangka ini mengakui ada kesepakatan internasional
yang luas mengenai nilai‐nilai inti yang diterapkan oleh
pengadilan dalam menjalankan peran mereka. Nilai‐nilai kunci
untuk keberhasilan fungsi pengadilan adalah: kesetaraan di
hadapan hukum; keadilan; ketidakberpihakan; kemandirian;
pengambilan keputusan; kompetensi; integritas; transparansi;
aksesibilitas; ketepatan waktu, dan; kepastian.346
Kerangka ini adalah metodologi peningkatan
berkelanjutan. Kerangka ini memandu perjalanan pengadilan
untuk menuju pengadilan yang unggul dengan memastikan
pengadilan secara aktif dan terus‐menerus meninjau
kinerjanya dan mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya.
Ada empat kegiatan primer dalam siklus kerangka ini dan
masing‐masing aspek akan diulang untuk setiap siklus:
a. Penilaian mandiri. Siklus ini adalah pemeriksaan kondisi
pengadilan dan melibatkan analisis kinerja di tujuh area;
b. Analisis mendalam atas penilaian mandiri untuk
menentukan bidang‐bidang kerja pengadilan apa saja
yang mampu ditingkatkan;
c. Rencana perbaikan dikembangkan dengan merinci area
yang diidentifikasi untuk perbaikan, tindakan yang
diusulkan untuk perbaikan, dan hasil yang ingin dicapai;
d. Pemantauan rencana peningkatan berdasarkan tinjauan
dan perbaikan.
Proses empat langkah ini dilakukan secara kontinu dan
berkala. Pengadilan harus berfokus untuk melakukan penilaian
mandiri tahunan. Penilaian mandiri secara kontinu dan berkala
memungkinkan pengadilan untuk: mengidentifikasi bidang‐
bidang; menentukan di area mana pengadilan akan
346
The International Framework For Court Excellence, Op. Cit. hlm. 3.
304
memfokuskan prioritas, dan menilai kemajuan yang dicapai
pengadilan terhadap perbaikan yang dibutuhkan.347
5. Implementasi Nilai‐Nilai Pelayanan Publik dalam SAPM
dan IFCE
Nilai adalah sifat‐sifat yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan atau sesuatu yang menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya. 348 Sehingga definisi nilai‐nilai
pelayanan publik adalah sifat‐sifat yang berguna bagi
kemanusiaan yang berupa segala jenis kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang‐undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk yang mempunyai kepentingan
pada organisasi pemberi layanan, atas barang, jasa, dan atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Pelayanan publik dapat dipilah menjadi dua bagian:
pelayanan internal dan pelayanan eksternal. Pelayanan
internal adalah pelayanan terhadap personil; bagian; atau unit
lain dalam suatu organisasi pengadilan. Sedangkan pelayanan
eksternal adalah pelayanan organisasi kepada masyarakat;
para pihak; justiciabelen di luar organisasi pengadilan. Namun
pada hakikatnya seluruh layanan, baik internal maupun
eksternal mempunyai muara tujuan sama. Perbedaannya
adalah pelayanan eksternal langsung bersinggungan dengan
pihak luar organisasi, sedangkan pelayanan internal tidak
bersinggungan langsung dengan pihak di luar organisasi,
namun dengan tujuan puncaknya yang sama: memberi
pelayanan yang berkeadilan.
a. Nilai Pelayanan Publik dalam SAPM
Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu sebagai
sebuah alat untuk mewujudkan visi Mahkamah Agung tentu
sarat dengan nilai‐nilai pelayanan publik, baik pelayanan
internal maupun eksternal. Seluruh standar‐standar yang
dicipta dan ditetapkan pasti berpuncak orientasi pada
347
Ibid, hlm. 13‐14.
348
https://kbbi.web.id/nilai, diakses pada tanggal 16 Oktober 2018, pukul 08.37 WIB.
305
pelayanan publik. Jadi, jika standar‐standar dalam
Akreditasi Penjaminan Mutu tersebut diterapkan dengan
baik, maka secara otomatis nilai‐nilai pelayanan publik
niscaya terimplementasikan dengan baik pula.
Terdapat empat bidang cakupan dalam Sertifikasi
Akreditasi Penjaminan Mutu:
1. Administrasi Manajemen Pengadilan;
2. Administrasi Kepaniteraan Pengadilan;
3. Administrasi Kesekretariatan Pengadilan;
4. Administrasi Sarana dan Prasarana Pengadilan;
Dalam bidang Administrasi Manajemen Pengadilan
terdapat sepuluh standar yang masing‐masing standar
mengandung nilai‐nilai pelayanan publik, sebagai berikut:
1. Konteks Organisasi. Poin‐poin pokok dalam Konteks
Organisasi adalah:
a) Identifikasi Konteks Organisasi pada Renstra. Ini
meliputi isu internal dan isu eksternal. 349
Identifikasi ini menggunakan analisis SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Treaths).
Segala bentuk kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman diidentifikasi dan kemudian dianalisis
dengan: 1) menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang, 2) menciptakan strategi yang
meminimalisasi kelemahan untuk memanfaatkan
peluang, 3) menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk mengatasi
ancaman, dan 4) menciptakan strategi yang
meminimalisasi kelemahan dan menghindari
ancaman.350
b) Program Kerja yang Jelas untuk Menindaklanjuti
Isu Internal dan Eksternal. Program kerja ini berupa
sejumlah kegiatan pelayanan yang mengacu pada
349
Komite Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Direktorat Jenderal Peradilan Agama,
Buku I Standar Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu, Op. Cit. hlm. 1‐2.
306
SNI ISO 9001:2015, Blueprint Mahkamah Agung,
dan Renstra Ditjen.351
c) Identifikasi Kebutuhan dan Harapan Pihak‐Pihak
Berkepentingan. 352 Identifikasi ini dilakukan
dengan penyebaran kuisioner kepada pihak‐pihak
berkepentingan meliputi: pencari keadilan,
pengadilan lain, pihak ekspedisi, pemerintah
daerah, kepolisian, dan pihak terkait lainnya.
d) Identifikasi Strategi Pemenuhan Kebutuhan dan
Harapan Pihak‐Pihak Berkepentingan. 353 Strategi
dalam upaya memenuhi kebutuhan dan harapan
stakeholder melalui upaya monitor risiko yang
dilakukan secara terus‐menerus, demi
mewujudkan harapan stakeholder. Ini merupakan
tindak lanjut dari identifikasi kebutuhan dan
harapan pihak‐pihak berkepentingan.
2. Kepemimpinan dan Komitmen. Poin‐poin pokok
dalam Kepemimpinan dan Komitmen adalah:
a) Bisnis Proses. Alur bisnis proses menggambarkan
keterkaitan serta interaksi antar proses yang
terkait dengan aktivitas operasional yang meliputi:
1) Bisnis Proses general SAPM, 2) Bisnis Proses
Administrasi Manajemen 3) Bisnis Proses
Administrasi Kesekretariatan 4) Bisnis Proses
Administrasi Kepaniteraan.354
b) Kejelasan identitas petugas yang memberikan
layanan, kejelasan sarana dan mekanisme
penyelesaian pengaduan, kejelasan mekanisme
pemantauan kepuasan pihak berkepentingan serta
evaluasi terhadap hasil dari evaluasi kepuasan
pihak berkepentingan. Ini bertujuan agar
pelayanan terukur dan terstruktur.
351
Ibid.
352
Ibid.
353
Ibid.
354
Komite Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Direktorat Jenderal Peradilan Agama,
Buku II Penjelasan Pedoman Standar Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu, Op. Cit. hlm. 2.
307
3. Perencanaan
Perencanaan diselenggarakan dengan
mempertimbangkan isu internal dan eksternal.
Pengadilan memperhatikan dan mempertimbangkan
segala risiko dalam setiap pengambilan keputusan
(risk based thinking) dengan mempertimbangkan
berbagai isu baik internal maupun eksternal,
memahami kebutuhan dan harapan pihak‐pihak
berkepentingan, serta menentukan risiko dan peluang
melalui analisa risiko yang ditujukan untuk: 1)
memberikan kepastian bahwa perencanaan strategis
dapat mencapai hasil yang diinginkan, 2)
meningkatkan pengaruh yang diinginkan, 3)
mencegah dan atau mengurangi pengaruh yang tidak
diinginkan, 4) mencapai improvement.
4. Dukungan
Poin penting dalam Dukungan adalah Prosedur Mutu
Komunikasi. Dalam Prosedur Mutu Komunikasi
diterapkan media dan alat komunikasi. Media
komunikasi dapat dilakukan melalui kegiatan training,
rapat, briefing, dan sosialisasi. Sedangkan alat
komunikasi berupa: telepon internal, papan
pengumuman, email, nota dinas, media sosial. 355
Pemenuhan media dan alat komunikasi ini lebih
terfokus pada pelayanan internal, namun tetap
dengan tujuan puncaknya adalah dapat membangun
pelayanan publik (eksternal) yang lebih baik.
5. Informasi Terdokumentasi.
Tujuan informasi terdokumentasi adalah untuk
tertibnya dokumen yang sudah ditetapkan sehingga
Dokumen Sistem Mutu Akreditasi digunakan dan
dikendalikan secara efektif. Adanya informasi
terdokumentasi ini akan memudahkan bagi user untuk
355
Ibid. hlm.6.
308
menggunakan dokumen yang dibutuhkan. Ini juga
lebih berfokus pada pelayanan internal.
6. Assessment Internal
Dalam rangka menguji dan menilai kesesuaian dan
keefektifan penerapan sistem manajemen akreditasi,
maka perlu dilakukan Assessment Internal pada
periode tertentu, baik untuk sebagian maupun
keseluruhan proses. Selain itu Assessment Internal
dilakukan sebagai bahan tinjauan manajemen dan
tindakan perbaikan. Assessment Internal bertujuan
mengukur efektifitas pelayanan internal dan
eksternal.356
7. Tinjauan Manajemen
Tinjauan Manajemen adalah suatu bentuk tinjauan
atas implementasi sistem manajemen mutu, pimpinan
tertinggi akan memberikan keputusan atas
permasalahan terkait implementasi sistem
manajemen mutu, demi peningkatan kualitas
pelayanan.
8. Evaluasi Kepuasan Para Pihak Beperkara.
Sebagai upaya untuk meningkatkan layanan kepada
masyarakat, khususnya kepada pihak berperkara,
maka harus dilakukan evaluasi melalui metode Survey
Kepuasan Masyarakat dengan merujuk kepada
Permenpan RB Nomor 14 Tahun 2017.357
9. Ketidaksesuaian dan Tindakan Perbaikan
Dalam menangani ketidaksesuaian pelaksanaan
dengan standar, maka perlu dilakukan upaya tindakan
perbaikan. Tujuan tindakan perbaikan ini digunakan
sebagai pedoman untuk: 1) menganalisis dan
memecahkan masalah, serta mencegah kesalahan
yang berulang dengan menghilangkan penyebab
ketidaksesuaian yang terjadi, 2) menetapkan langkah
yang sistematis dalam tindakan perbaikan yang
356
Ibid. hlm. 8.
357
Ibid. hlm. 9.
309
berhubungan dengan mutu, 3) sarana dalam
melakukan perbaikan berkelanjutan (continual
improvement).
10. Pengendalian Produk Tidak Sesuai
Produk Pengadilan terdiri dari layanan dan dokumen.
Dalam penerapannya, berisiko terjadinya
ketidaksesuaian dengan standar yang ditetapkan.
Sehingga produk yang tidak sesuai harus dikendalikan
dan dimasukkan dalam formulir perbaikan Corrective
Preventive Action Request. Ini demi perbaikan layanan
publik.
Dalam bidang Administrasi Kesekretariatan terdapat
19 (sembilan belas) standar yang masing‐masing standar
mengandung nilai‐nilai pelayanan publik yang harus
terimplementasikan dalam penyelenggaraan Sertifikasi
Akreditasi Penjaminan Mutu. Kesembilan belas standar
tersebut adalah:
1. Formasi Pegawai Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah;
2. Sosialisasi, Orientasi Pegawai, dan Komunikasi;
3. Pengembangan Pegawai;
4. Pengelolaan Pegawai;
5. Penilaian Pegawai dan Pendelegasian Wewenang;
6. Penghargaan Pegawai;
7. Pelaporan Harta Kekayaan Pegawai dan Pejabat
Negara;
8. Pengelolaan Tata Naskah Dinas;
9. Manajemen BMN;
10. Pemeliharaan Lingkungan dan Keamanan;
11. Kehumasan dan Keprotokolan;
12. Pengelolaan Perpustakaan;
13. Pelaksanaan Anggaran;
14. Pengelolaan PNBP;
15. Penyusunan Laporan Keuangan;
16. Penyusunan Rencana Program dan Anggaran;
17. Penyusunan SAKIP;
310
18. Penyusunan Laporan;
19. Pengelolaan Teknologi Informasi.
Hampir semua standar dalam Administrasi
Kesekretariatan terfokus dalam pelayanan internal. Tapi
perlu ditekankan sekali lagi: bahwa pelayanan internal
merupakan unsur penting yang mendukung (supporting)
terselenggaranya pelayanan eksternal yang baik.
Adapun Bidang Administrasi Kesekretariatan yang
bersinggungan langsung dengan pelayanan eksternal
adalah:
1. Pemeliharaan Lingkungan dan Keamanan.
Pemeliharaan lingkungan dan keamanan kantor
adalah rangkaian kegiatan dalam meningkatkan dan
mempertahankan sarana prasarana yang ada agar
tercipta suasana kantor yang nyaman, bersih, tertib
dan aman.
2. Kehumasan. Kehumasan merupakan fungsi
manajemen yang mengevaluasi sikap publik,
mengidentifikasikan kebijakan‐kebijakan organisasi
untuk kepentingan publik. Dengan demikian tugas
kehumasan adalah melaksanakan tugas dalam bidang
pembinaan dan komunikasi kepada masyarakat
mengenai kegiatan‐kegiatan organisasi.358
3. Pengelolaan Teknologi Informasi. Pengelolaan
Teknologi Informasi sangat terkait dengan pelayanan
eksternal. Website, SIPP, e‐Court, dan masih banyak
lagi kepentingan terkait teknologi informasi ini.
Dalam bidang Administrasi Kepaniteraan terdapat
jumlah standar berbeda‐beda antara satu jenis pengadilan
dengan pengadilan lainnya. Perbedaan jumlah ini
dipengaruhi oleh perbedaan kuantitas dan varian jenis
layanan. Pengadilan Negeri misalnya, tentu memiliki jumlah
standar layanan yang lebih banyak daripada pengadilan
lainnya.
358
Ibid, hlm. 34.
311
Administrasi Kepaniteraan merupakan garda terdepan
dalam pelayanan di pengadilan. Seluruh standar dalam
Administrasi Kepaniteraan merupakan kesatuan proses
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pengadilan
dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara. Standar pelayanan ini mencakup
keseluruhan proses layanan hukum; sejak pencari keadilan
memohon informasi; mendaftarkan perkara; beracara;
mengambil produk pengadilan; hingga layanan pengajuan
upaya hukum. Seluruh standar dalam Administrasi
Kepaniteraan merupakan rangkaian untuk mewujudkan
pelayanan hukum yang berkeadilan.
Selanjutnya bidang Administrasi Sarana dan
Prasarana. Pelayanan publik mustahil dapat terlaksana
dengan baik tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana.
Oleh karena itu pemenuhan standar dalam Administrasi
Sarana dan Prasarana juga merupakan suatu keharusan
demi terwujudnya pelayanan publik yang baik.
b. Nilai‐Nilai Pelayanan Publik dalam IFCE
International Framework for Court Excellence meliputi
Tujuh Area untuk Pengadilan yang Unggul. Tujuh area
tersebut kemudian dipilah menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Driver (pengarah), mencakup kepemimpinan dan
manajemen pengadilan;
2. System and enabler (sistem dan penggerak),
mencakup perencanaan dan kebijakan pengadilan,
sumber daya pengadilan (manusia, materi dan
keuangan), dan cara kerja dan proses (pelaksanaan
persidangan);
3. Result (hasil), mencakup kebutuhan dan kepuasan
pelanggan; layanan pengadilan yang terjangkau dan
dapat diakses, dan keyakinan dan kepercayaan
publik.359
359
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan, Op. Cit. hlm.4.
312
Kelompok pertama (driver) dan kelompok kedua
(system and enabler) merupakan “kemudi dan mesin” yang
bergerak kontinu‐simultan untuk menuju kelompok ketiga
(result). Result inilah yang kita sebut sebagai pelayanan
publik (eksternal).
Urgensi dan cakupan operasi tujuh area tersebut
secara sederhana dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan dan Manajemen Pengadilan
Kepemimpinan dan manajemen yang proaktif dalam
organisasi sangat penting untuk keberhasilan dan
pengadilan yang unggul. 360 Kepemimpinan dan
manajemen sangat berpengaruh dalam peningkatan
kualitas, efektifitas, dan efisiensi layanan.
2. Perencanaan dan Kebijakan Pengadilan
Pengadilan yang unggul menggunakan sistem
perencanaan dan kebijakan untuk merealisasikan
tujuan yang telah dirumuskan. Perencanaan adalah
dasar untuk menetapkan tujuan, sasaran, dan rencana
yang jelas untuk memastikan layanan berkualitas
tinggi.
3. Sumber Daya Pengadilan (Manusia, Materi dan
Keuangan)
Pengadilan yang unggul mengelola semua sumber
daya yang tersedia dengan baik, efektif, dan proaktif.
Pengadilan harus mendefinisikan prioritas dengan
mempertimbangkan perkembangan isu di masyarakat
dan perubahan kebutuhan pengguna pengadilan serta
mitra eksternal.
4. Cara Kerja dan Proses (Pelaksanaan Persidangan)
Proses pengadilan yang adil, efektif dan efisien adalah
indikator unggulnya sebuah pengadilan. Pelaksanaan
persidangan inilah wajah utama pengadilan.
Penerapan seluruh standar demi terciptanya peradilan
360
http://www.courtexcellence.com/, Loc. Cit.
313
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan serta
berkeadilan mutlak diperlukan dalam area ini.
5. Kebutuhan dan Kepuasan Pelanggan
Persepsi publik terhadap keadilan yang diberikan
pengadilan telah dimulai sejak bagaimana pencari
keadilan diperlakukan oleh pengadilan, mulai dari
pendaftaran perkara hingga pemberian produk
pengadilan. Jadi, salah satu aspek penting dari
pendekatan kualitas adalah dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan persepsi
pengguna pengadilan pada setiap jenis layanan.
6. Layanan Pengadilan yang Terjangkau dan Dapat
Diakses
Indikator pengadilan terjangkau adalah: mudah
diakses, biaya pengadilan tidak menghambat pencari
keadilan untuk mengakses proses peradilan, prosedur
dan persyaratan mudah dan murah, tersedia formulir
dan informasi yang dapat dipahami tentang proses
pengadilan; fisik pengadilan nyaman; keamanan
terjamin; menggunakan teknologi informasi, dan lain‐
lain.
7. Keyakinan dan Kepercayaan Publik
Secara umum, tingkat keyakinan dan kepercayaan
publik yang tinggi terhadap peradilan merupakan
indikator keberhasilan pengoperasian pengadilan.
Pengadilan harus mengukur tingkat keyakinan dan
kepercayaan publik terhadap pengadilan.
Itulah Tujuh Area untuk Pengadilan yang Unggul
dalam International Framework for Court Excellence. Saat
ketujuh area tersebut telah diselenggarakan sesuai standar
kerangka, saat itulah nilai‐nilai pelayanan publik
terimplementasikan. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung
terus mendorong seluruh pengadilan untuk menerapkan
standar ini dan pada gilirannya nanti dapat terdaftar sebagai
anggota International Consortium for Court Excellence (ICCE).
314
Hingga saat ini telah ada beberapa pengadilan di
lingkungan Direktorat Jenderal Peradilan Umum yang telah
diterima sebagai anggota ICCE, antara lain: Pengadilan
Negeri Batulicin, Pengadilan Negeri Cilacap, Pengadilan
Negeri Kepanjen, Pengadilan Negeri Karanganyar,
Pengadilan Negeri Klaten, Pengadilan Negeri Palembang,
Pengadilan Negeri Pekanbaru, Pengadilan Negeri Tarakan,
Pengadilan Negeri Sragen, Pengadilan Negeri Ungaran,
Pengadilan Negeri Temanggung, Pengadilan Negeri Jakarta
Barat dan Pengadilan Negeri Wonosobo. Sedangkan untuk
pengadilan di lingkungan Direktorat Jenderal Peradilan
Agama yang telah terdaftar sebagai anggota ICCE adalah
Pengadilan Agama Palu.361
6. Penutup
Pelayanan publik adalah keniscayaan pada sebuah
welfare state. Mahkamah Agung bersama empat badan
peradilan di bawahnya terus bergerak memperjuangkan
pelayanan publik yang baik. Paket kebijakan pelayanan publik
telah banyak diterbitkan. Dua dari sekian banyak kebijakan
tersebut adalah: Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu dan
penerapan International Framework for Court Excellence.
Terdapat empat bab dalam Sertifikasi Akreditasi
Penjaminan Mutu: 1) Administrasi Manajemen Pengadilan, 2)
Administrasi Kesekretariatan Pengadilan, 3) Administrasi
Kepaniteraan Pengadilan, dan 4) Administrasi Sarana dan
Prasarana Pengadilan). Setiap standar dalam empat bab
tersebut sangat kaya muatan nilai‐nilai pelayanan publik, baik
pelayanan internal (pelayanan terhadap personil; bagian; atau
unit lain dalam suatu organisasi) ataupun eksternal (pelayanan
pengadilan kepada masyarakat; para pihak; justiciabelen di luar
organisasi). Kedua jenis layanan tersebut—meski memiliki titik
singgung yang berbeda—namun keduanya saling berkait‐
berkelindan dan memiliki tujuan puncak sama: pelayanan
hukum yang berkeadilan.
361
Ibid.
315
Terdapat tujuh area dalam International Framework for
Court Excellence: 1) kepemimpinan dan manajemen
pengadilan, 2) perencanaan dan kebijakan pengadilan, 3)
sumber daya pengadilan (manusia, materi dan keuangan), 4)
cara kerja dan proses (pelaksanaan persidangan), 5) kebutuhan
dan kepuasan pelanggan, 6) layanan pengadilan yang
terjangkau dan dapat diakses, dan 7) keyakinan dan
kepercayaan publik. Tujuh area tersebut kemudian dipilah
menjadi tiga kelompok: pengarah, sistem dan penggerak, serta
hasil. Tiga kelompok ini merupakan satu kesatuan proses
menuju pengadilan yang unggul dan pelayanan hukum yang
berkeadilan.
Pada saat Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu dan
International Framework for Court Excellence terselenggara
dengan baik, maka pada saat itu jugalah nilai‐nilai pelayanan
publik dapat dipastikan terimplementasikan dengan baik pula.
Inilah kondisi ideal yang dituju oleh seluruh pengadilan di
dunia: Court Excellence.
Mahkamah Agung terus mendorong kepada pengadilan
yang belum terakreditasi, untuk dapat segera terakreditasi.
Sedangkan bagi pengadilan yang telah terakreditasi A
(excellent), dihimbau untuk segara bersiap dan mendaftar
menjadi anggota International Consortium for Court Excellence
(ICCE).
316
F. Manajemen Perkara Komprehensif (Active Case
Management)
Roscoe Pound pernah berujar: “Dissatisfaction with the
administration of justice is as old as the law itself”362. Pound seolah
menegaskan bahwa masalah administrasi peradilan yang selama
ini sering dikeluhkan telah ada sejak hukum itu lahir, disusun, dan
dilembagakan secara formal. Pandangan primordial ini, tentu saja
bukan untuk mereduksi semangat dalam mereformasi
administrasi peradilan. Pound hanya ingin mengingatkan bahwa
upaya mereformasi administrasi peradilan yang telah menjadi
permasalahan akut sejak hukum itu terlembaga harus melibatkan
segenap sumberdaya yang ada serta adanya kehendak bersama
antara aparatur Pengadilan dengan stakeholder dalam
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan reformasi
yang disepakati bersama.
Administration of Justice (AoJ) adalah keseluruhan proses
dalam penegakan hukum. AoJ merupakan terminologi umum
dalam mengkaji sistem peradilan, baik di sistem peradilan pidana,
sistem peradilan perdata, dan sistem peradilan tata usaha negara.
AoJ memiliki tiga elemen penting, yaitu aparatur, pembagian
tanggung jawab, dan struktur atau hirarki. Pada setiap lembaga
peradilan, ketiga elemen ini merupakan penopang dari
bekerjanya lembaga.
Active Case Management (ACM) merupakan salah satu
bagian dari konsepsi AoJ yang menekankan pentingnya tata
kelola perkara secara kompehensif dengan berbasis
pemberdayaan (empowerment) setiap unsur yang ada dan terlibat
aktif di dalam penanganan perkara. Karena sebagaimana nilai
dasar dalam reformasi AoJ, maka ACM juga menghendaki adanya
inklusivitas proses dan unsur dalam menggerakkan pembaruan
yang dikehendaki bersama.
362
Rebecca Love Kourlis & Brittany K.T. Kauffman, Rule Reform, Case Management, and
Culture Change: Making The Case for Real and Lasting Reform, Kan. J.L. & Pub. Pol’y, Vol.
XXIV:3,2015, hlm. 493.
317
1. Definisi dan Konsepsi Active Case Management
Dalam sistem hukum Amerika, active case management
(ACM) semula diintrodusir dalam ketentuan hukum acara
perdata. Pada tahun 1983, Rules 16 telah diamandemen yang
pada pokoknya mendorong peran aktif Hakim (Pengadilan)
dalam melakukan intervensi atau diskresi awal (early
intervention) terhadap manajemen penanganan perkara
(perdata)363.
Cakupan ACM meliputi: i) tindakan pendahuluan
(preliminary intervention) oleh Pengadilan (Hakim) dalam
mengatur rencana‐rencana dan/atau jadwal persidangan
(penanganan) perkara (timetable); dan ii) pengendalian dan
pengawasan (supervision) jalannya persidangan perkara sesuai
dengan rencana persidangan yang telah ditetapkan
sebelumnya (the progress of the law suit).
Tujuan dari penerapan ACM sendiri adalah untuk
mengifisienkan proses peradilan dengan menekan biaya
beperkara serta mencegah terjadinya penundaan‐penundaan
yang menghambat penyelesaian perkara. Ditegaskan Dave
Campbell364:
“When a trial judge intervenes personally at an early stage
to assume judicial control over a case and to schedule dates
for completion by the parties of the principal pretrial steps,
the case is disposed of by settlement or trial more
efficiently and with less cost and delay than when the
parties are left to their own devices”
Lawrence Dessem mengafirmasi pandangan Dave
Campbell dengan mengemukakan bahwa tujuan ACM adalah
“to reduce dilatory and inefficient litigation practices and to
363
Dave Campbell, Amendments to the Federal Rules of Practice and Procedure: Civil Rules
2015—Early and Active Case Management (Video Transcript), Federal Judicial Ceter, 2015, hlm. 1.
(https://www.fjc.gov/sites/default/files/2016/Active%20Judicial%
20Management%20(Campbell)_1.pdf, diakses 28 Desember 2018). Lihat juga Foo Chee Hock,
Eunice Chua, & Louis NG, Civil Case Management in Singapore: of Models, Measures and Justice,
ASEAN Law Journal 1‐2014, hlm. 3.
364
Dave Campbell, Op.Cit., hlm. 1.
318
promote fair, speedy, and inexpensive resolution of disputes”365.
Penerapan ACM dimaksudkan untuk mengurangi
perlambatan‐perlambatan (proses yang yang tidak efisien)
dalam penanganan perkara serta mendorong terwujudnya
penyelesaian sengketa secara adil, cepat, dan terjangkau dari
aspek biaya.
Karakteristik ACM, dengan menilik pendefinisian
tersebut, menuntut adanya peran aktif Pengadilan, khususnya
Hakim dalam merancang, melaksanakan, dan mengendalikan
tata kelola penanganan perkara dari sejak perkara terdaftar
hingga perkara tersebut diputus. Namun demikian, patut
diperhatikan, bahwa pelaksanannya, bukan hanya Hakim dan
aparatur Pengadilan yang dituntut peran aktifnya melainkan
juga para pihak beperkara (khususnya pada Advokat) dan juga
stakeholder lainnya yang secara langsung terlibat dalam
penanganan perkara.
Karena itu, Dave Campbell kemudian
merekomendasikan elemen‐elemen penting yang harus ada
dan dilibatkan secara aktif dalam tata kelola manajemen
perkara, sebagai berikut366:
a. Early court intervention (intervensi awal terhadap perkara
yang masuk guna melihat prospek penangangan perkara
secara cepat dan efektif);
b. The setting of a reasonable but firm litigation schedule
(penyusunan jadwal persidangan yang efektif dan
efisien);
c. Requiring parties to show good cause before making
changes to the litigation schedule (terhadap adanya
usulan perubahan jadwal sidang, para pihak harus
menyampaikan alasan yang dapat diterima);
d. Actively managing the scope of discovery (mengatur atau
menata daya jangkau pemeriksaan perkara);
365
Karen Blochlingert, Primus Inter Pares: Is The Singapore Judiciary First Among Equals?,
Pacific Rim Law & Policy Journal Vol. 9 No. 3, hlm. 596
366
Ibid., hlm. 4.
319
e. Promptly resolving discovery disputes and otherissues that
may delay the case (Hakim dan para pihak secara aktif
mengatasi kendala‐kendala yang dapat menghambat
penyelesaian perkara);
f. Holding a meaningful final pretrial conference (adanya
pemeriksaan pendahuluan yang memberi gambaran atau
proyeksi persidangan perkara dapat berjalan lebih efisien
dan efektif); dan
g. Setting firm and credible trial dates (penentuan jadwal
atau tanggal sidang yang tetap dan wajib dipatuhi para
pihak maupun Hakim dan aparatur Pengadilan lainnya).
Dapat dipahami kemudian, berdasar paparan tersebut,
esensi ACM adalah penerapan manajemen penanganan
perkara secara terpadu guna memastikan prediktabilitas
penanganan perkara, baik berkenaan dengan waktu, biaya,
maupun tahapan‐tahapan yang akan dilalui selama
penanganan perkara. Kredo ACM tersebut sangat relevan
dalam konteks mereformasi tata kelola penanganan perkara di
Indonesia yang sampai dengan saat ini masih dikeluhkan
penanganannya, baik karena dianggap lambat, bertele‐tele,
atau karena banyaknya biaya tambahan yang harus
dikeluarkan para pihak beperkara akibat prosedur yang
berbelit‐belit.
2. Perbandingan Case Management di Beberapa Negara
Beberapa negara telah menerapkan manajemen perkara
secara komprehensif dan dapat dikemukakan dalam bahasan
ini. Penekanan dalam bahasan ini adalah manajemen perkara
perdata (civil case) yang dipandang relevan dengan proyeksi
gagasan penerapannya di Peradilan Agama. Berikut
dipaparkan penerapan manajemen perkara dimaksud.
a. Case Management di Singapura
Penerapan case management di Singapura dimulai
pada tahun 1992. Chief Justice Yong Pung How
menginstruksikan para Hakim untuk lebih proaktif dalam
penanganan perkara di Pengadilan. Penerapan case
management ini sendiri, pada tahun 1992, dimaksudkan
320
untuk mengatasi banyaknya tunggakan perkara di
Pengadilan yang mencapai 2000 perkara dan belum
disidangkan. Bahkan, beberapa perkara di antaranya telah
terdaftar sejak 10 tahun sebelumnya dan tidak kunjung
disidangkan367.
Secara sederhana, case management melibatkan
intervensi langsung dan segera dari pejabat Pengadilan
terhadap penanganan perkara yang telah terdaftar
(managerial intervention by a judicial officer soon after a case
has been filed) 368 . Case management di Singapura
diproyeksikan untuk mengefektifkan pemanfaatan waktu
penanganan perkara melalui penekanan kepada para pihak
untuk mematuhi tertib beracara dan rundown jadwal
pemeriksaan perkara. Pada titik ini, case management
menyertakan sanksi bagi para pihak yang tidak memathui
tertib dan jadwal pelaksanaan pemeriksaan perkara yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Adapun elemen dan penerapan case management di
Singapura dapat diikhtisarkan sebagai berikut369:
1) Kewenangan Pengadilan untuk memerintahkan
para pihak menghadiri pre‐trial conferences yang
telah ditetapkan
Elemen ini merupakan bagian dari case
management yang bertujuan untuk mengefektifkan pre‐
trial conference atau dapat diistilahkan sebagai
pemeriksaan pendahuluan atas perkara (perdata) yang
telah terdaftar. Pemeriksaan pendahuluan bertujuan
untuk memetakan permasalahan dalam perkara, fakta‐
fakta hukum apa yang perlu diungkap, dan proyeksi
lamanya pemeriksaan perkara (persidangan) hingga
diputus oleh Hakim.
Hal menarik dalam tahapan ini adalah adanya
sanksi administratif maupun bentuk sanksi lain yang
367
Ibid., hlm. 597.
368
Ibid., hlm. 596.
369
Lihat Ibid., hlm. 597 – 599.
321
dipandang layak dan efektif untuk meningkatkan
kepatuhan para pihak terhadap perintah
hakim/Pengadilan menghadiri pemeriksaan pendahuluan
dan/atau setiap tahap dalam pemeriksaan perkara
hingga putus. Sebagai misal, jika Advokat, misalnya,
yang mewakili principal tidak menghadiri pre‐trial
tersebut, maka yang bersangkutan dapat dikenai sanksi
kurungan selama 7 (tujuh) hari. Sanksi terberat bagi
seorang Advokat yang mangkir dari persidangan atau
pemeriksaan adalah pencabutan lisensi untuk beperkara
di Pengadilan. Sanksi ini dijatuhkan oleh High Court of
Appeal jika yang bersangkutan terbukti tidak mematuhi
tertib pemeriksaan dan menyebabkan terlambatnya
penyelesaian perkara. Adapun bentuk sanksi langsung
lain yang dapat dikenakan adalah dibatalkannya
pendaftaran perkara (dismissal).
2) Kewajiban mengajukan izin penundaan
sidang/pemeriksaan
Sejak awal, case management menghendaki
perkara diselesaikan secara efisien dan efektif, dengan
tidak mengurangi esensi pemeriksaan itu sendiri, yaitu
menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan.
Karena itu, jika pihak‐pihak yang telah diperintahkan
menghadiri pemeriksaan namun berhalangan, maka ia
wajib mengajukan izin tertulis agar dilakukan
penjadwalan ulang pemeriksaan perkara.
Adapun terhadap perkara yang selama kurun
waktu tertentu tidak aktif, ditangguhkan, atau
terbengkalai perjalanan pemeriksaannya, maka pihak‐
pihak yang ingin agar perkara tersebut dibuka kembali
atau dilanjutkan pemeriksaannya harus mengajukan
permohonan kepada Pengadilan disertai komitmen
untuk menaati segala ketentuan dan jadwal yang telah
ditetapkan Pengadilan.
Penundaan pemeriksaan dari jadwal yang telah
ditetapkan sebelumnya hanya dapat diterima jika pihak
322
pengaju menyampaikan alasan‐alasan yang benar‐benar
mendesak (due to compelling reasons).
3) Manajemen persidangan secara proaktif
Hakim diberi kewenangan untuk secara aktif
memimpin dan mengarahkan persidangan agar berjalan
secara efektif dan efisien. Hakim, karenanya berwenang
mencegah dan mengeliminir segala bentuk tindakan
atau dinamika dlaam pemeriksaan yang dipandang tidak
relevan terhadap pengungkapan fakta‐fakta hukum atas
perkara yang disidangkan. Sebagai misal, jika
pemeriksaan saksi telah mengarah pada pengungkapan
hal‐hal yang tidak relevan dan bertele‐tele (long‐winded
and irrelevant cross‐examinations of witnesses), maka
Hakim berhak memberhentikan langsung proses
pemeriksaan Saksi tersebut (cut short) dan selanjutnya
beralih ke pemeriksaan Saksi lainnya atau melakukan
agenda sidang lanjutan sesuai ketentuan atau tertib
dalam hukum acara.
Salah satu bagian menarik dari penerapan case
management di Singapura adalah implementasi
“Technology Court”. Chief Justice Yong Pung How pada
pertengahan 1995 menginstruksikan penerapan
teknologi informasi agar seluruh perangkat komputer
Pengadilan terintegrasi atau tehubung satu sama lain.
Lebih lanjut, penerapan teknologi ini bertujuan untuk
meningkatkan keakuratan dan efisiensi pengungkapan
data di Pengadilan untuk kepentingan penyelesaian
perkara (to improve the accuracy and efficiency of
information flow in the judiciary)370.
Dalam penerapannya, Chief Justice Yong Pung How
menetapkan kerangka kerja (framework) penerapan
Technology Court, yaitu:
a) Teknologi harus dapat mendorong peningkatan
akses terhadap Pengadilan. Harus ada kepastian
370
Ibid., hlm. 602.
323
bahwa pemanfaatan teknologi memudahkan setiap
orang mengakses layanan Pengadilan. Selain itu, ia
harus mudah digunakan oleh siapapun masyarakat
pengguna layanan Pengadilan (technology should
foster greater access to the courts; there should be
easy access to justice via consumer‐friendly
technology that is comprehensible and requires little
or no training);
b) Teknologi harus mampu memperkukuh peranan
Pengadilan dalam melayani masyarakat
(technology should enhance the role of the court as a
service institution);
c) Teknologi harus dapat berkontribusi terhadap
peningkatan kualitas dari penyelenggaran
peradilan (technology should improve the quality of
justice);
d) Teknologi harus dapat meningkatkan kualitan
manajemen keperkaraan melalui peningkatakan
efisiensi proses dan pemanfaatan sumberdaya
yang ada (technology should enhance the
management of the justice system by increasing
efficiency);
e) Teknologi bukan untuk menggantikan kedudukan
Hakim sebagai Pengadil, namun sebagai
pendukung bagi peningkatan kinerja Hakim
(technology should not be used as a substitute for the
knowledge, skills and judgment of individuals. Rather
it should assist them in the exercise of their
knowledge, skills and judgment);
f) Teknologi harus dapat meningkatkan
produktivitas, mengurangi penundaan‐penundaan
yang tidak perlu, atau menekan biaya beperkara
(technology should enhance productivity, reduce
delay or otherwise be cost‐effective);
g) Teknologi harus dapat mendukung penyediaan
informasi yang lengkap dan akurat bagi Para Hakim
324
dalam mengambil keputusan (technology should
improve the decision‐making process by providing
complete and accurate information);
h) Teknologi harus dapat diterima dan nyaman serta
mudah digunakan oleh pengguna akhir informasi
atau layanan Pengadilan (technology should be
acceptable and convenient to end users);
i) Teknologi harus dapat memenuhi kebutuhan akan
integrasi data, kerahasiaan data, dna perlindungan
terhadap privasi para pihak dan/atau stakeholder
(technology should accommodate the need for data
integrity, confidentiality, and the protection of
privacy); dan
j) Teknologi harus benar‐benar bermanfaat terhadap
peningkatan akses dan pemenuhan hak‐hak hukum
masyarakat (technology should have a useful life).
Penerapan active case management di Singapura
mengombinasikan tiga nilai atau prinsip, yaitu proaktif,
bertanggung jawab, dan profesional 371 . Tiga nilai ini
mendasari keseluruhan proses manajemen perkara.
Dalam konteks penerapan active case management,
Singapura telah menerapkan empat instrumen yang
menjadi tolok ukur penerapan case management dalam
upaya mengurangi tumpukan perkara serta
mengefisienkan prosesnya. Keempat instrumen atau
barometer tersebut adalah372:
a) Keragaman instrumen manajemen keperkaraan
(Diversionary measures)
Diversionary measures adalah instrumen dalam
manajemen perkara yang bertujuan untuk
mendorong penarapan alternatif‐alternatif
penyelesaian sengketa selain litigasi, seperti
alternative dispute resolution, perundingan sebelum
proses litigasi (pre‐action protocols), atau bentuk
371
Foo Chee Hock, Eunice Chua, & Louis NG, Op.Cit., hlm. 28.
372
Ibid., hlm. 12 – 23.
325
penyelesiaan lain di luar Pengadilan seperti arbitrase
(extra‐judicial resources).
Implementasi dari instrumen ini cukup
sederhana. Saat calon pihak beperkara akan
mengajukan gugatan (filing a sue), Pengadilan
terlebih dahulu akan merekomendasikan cara
penyelesaian di luar litigasi yang represebtatif dengan
konstruksi perkaranya. Aparatur mungkin akan
memberikan beberapa pilihan penyelesiaan di luar
Pengadilan, seperti mediasi, negosiasi, atau konsiliasi.
Manfaat yang ingin dipetik dari penerapan
instrumen ini adalah mendorong para pihak
menyelesaikan sengketa dengan prinsip win‐win
solution (tercapai kesepakatan damai). Jikapun tidak
sleuruh objek sengketa disepakati, namun setidkanya,
dengan tercapainya kesepakatan pada sebagian objek
sengketa, hal tersebut akan memudahkan dalam
pengajuan gugatan atas sisa objek sengketa yang
belum disepakati.
b) Instrumen fasilitatif (facilitative measures)
Facilitative measures merupakan instrumen yang
mendukung percepatan dan efektivitas penyelesiaan
perkara melalui revitalisasi fungsi dan peranan dari
setiap aparatur Pengadilan. Selain itu, facilitative
measures juga memungkinkan Pengadilan untuk
merekrut atau menjalin kerjasama dengan pihak
eksternal seperti Advokat, trainer, Mediator, Psikolog,
Konsultan Keluarga, Konsultan Keuangan, dna lain‐
lain profesional yang dapat membantu para pihak
dalam mengenali akar permasalahan sengketa
mereka sehinggamemudahkan dalam menyusun
resolusi yang menguntungkan seluruh pihak.
Instrumen ini memungkinkan Pengadilan untuk
merduksi perkara yang pada akhirnya harus
diselesaikan melalui persidangan. Ini dikarenakan
adanya mekanisme pre‐trial conference atau
326
pemeriksaan pendahuluan yang melibatkan pelbagai
profesional selain Hakim, misalnya Mediator dan
Psikolog. Pre‐trial conference akan berupaya
mendudukkan para pihak dalam posisi yang sekalipun
berlawanan, namun diarahkan untuk dapat menjajagi
pelbagai kemungkinan dalam penyelesaian sengketa
mereka.
c) Instrumen pengawasan dan pengendalian
(Monitoring and control measures)
Monitoring and control measures adalah
instrumen yang dimaksudkan untuk memantau dan
mengendalikan proses‐proses dalam manajemen
perkara. Instrumen ini memungkinkan identifikasi
proses yang yang dipandang masih belum optimal
dan diupayakan untuk ditingkatkan efektivitasnya.
Untuk hal ini, maka digunakan satu tolok ukur yang
ajeg (benchmark) dan indikator penentu (key
performance indicators/KPI). Luaran (output) dari
instrumen ini adalah pengukuran terhadap
keberhasilan penerapan prosedur‐prosedur
pendukung dalam manajemen perkara atas
penyelesaian perkara yang efektif dan efisien.
Sebagai misal, jika tingkat keberhasilan pre‐trial
conference belum mencapai KPI, maka akan dilakukan
pembaruan terhadap mekanisme pelaksanaan pre‐
trial conference, termasuk mungkin menambah
profesional yang terlibat di dalamnya. Di sini, datat‐
data statistik menjadi bahan utama dalam analisis KPI
untuk merumuskan rekomendasi dan tindakan
lanjutannya.
d) Instrumen pendisposisi perkara (Dispositive
measures)
Dispositive measures adalah mekanisme yang
mendeteksi perkara‐perkara yang terlalu lama
penangannya atau mandeg selama sekian tahun.
Mekanisme ini menerapkan konsep automatic
327
discontinuance atau otomasi pembatalan perkara
yang terkatung‐katung selama sekian tahun.
Mekanisme ini juga memungkinkan untuk
mengontrol setiap perkara agar dapat terselsaikan
secara tepat waktu, misalnya maksimal enam bulan
perkara harus telah selesai. Jika melewati batas,
misalnya enma bulan tersebut, maka perkara akan
dibatalkan (dismissed), baik secara otomatis maupun
atas permintaan para pihak.
Sebenarnya mekanisme ini bertujuan untuk
mendorong para pihak bersungguh‐sungguh dalam
beperkara dan tidak melakukan tindakan‐tindakan
mengulur pemeriksaan, misal sering tidak menghadiri
persidangan yang telah dijadwalkan. Jika demikian,
maka konsekuensinya adalah perkara akan di‐dismiss
oleh Pengadilan.
b. Case Management di Amerika Serikat
Case Management di Amerika Serikat pada prinsipnya
mirip dengan yang diimplementasikan di Singapura.
Perbedaan hanya pada teknisnya semata. Secara
fungsional, Case Management di Amerika Serikat bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelesian
perkara tanpa mereduksi peranan Hakim dalam penemuan
hukum dan menegakkan keadilan.
Elizabeth A. Jenkins mengemukakan bahwa
penerapan active case management di Amerika Serikat
dimaksudkan untuk373:
1) Meningkatkan peranan dari manajemen perkara di
Pengadilan dari sejak perkara terdaftar hingga
putusan;
2) Mendorong peranan dari para Advokat yang menjadi
mitra Pengadilan (Pengacara yang ditempatkan di
373
Elizabeth A. Jenkins, Case Management Trends In The U.S. Federal Courts, paper on 13th
Annual Conference on Legal & Policy Issues in the Americas University of Buenos Aires Law School
Buenos Aires, Argentina, 2012, hlm. 1.
(https://www.law.ufl.edu/_pdf/academics/centers/cgr/13th_conference/Jenkins_CaseMgtPaperMa
y2012.pdf, diakses 30 Desember 2018).
328
kantor Pengadilan) dalam memastikan perkara
diselesaikan secara tepat waktu;
3) Memaksimalkan fungsi lembaga mediasi dan
alternatif penyelesaian sengketa lainnya selama
pemeriksaan perkara;
4) Memaksimalkan penggunaan teknologi informasi
guna mendukung perekaman data perkara serta
proses penanganan perkara dari sejak pendaftaran
hingga adnaya putusan Pengadilan.
Patronase active case management menurut Jenkins
adalah adanya peran aktif dari Hakim dalam memimpin
persidangan serta mengendalikan seluruh proses
pengadministrasian perkara (the expectation that the judge
presiding over the case will actively manage the case). Selain
Hakim, Advokat Pengadilan juga didorong untuk berperan
aktif dan menjadi mitra Hakim dlaam memastikan bahwa
keseluruhan administrasi perkara berjalan sesuai dengan
yang diharapkan dan tidak hanya fokus pada kepentingan
kliennya semata (the attorney…shares the responsibility for
the orderly administration of justice and is not merely a
surrogate for his or her client’s wishes).
Secara singkat implementasi dari masing‐masing
elemen active case management sebagai berikut:
1) Hakim sebagai pengendali administrasi perkara
Hakim dituntut untuk lebih proaktif dalam
mengendalikan administrasi dan penanganan perkara di
Pengadilan. Penjabaran dari sikap proaktif Hakim
mencakup fungsi‐fungsi berikut374:
a) Memastikan bahwa Pengadilan berwenang
mengadili pokok perkara tersebut serta subjek
hukum beperkara adalah subjek hukum di
Pengadilan penerima perkara (the court has
jurisdiction over the case and the parties);
374
Ibid., hlm. 9.
329
b) Memastikan jadwal sidang yang telah ditetapkan
terlaksana dengan sehingga menjamin kemajuan
penanganan perkara berjalan sesuai dengan yang
diharapkan (deadlines for the progress of the case
are set and enforced);
c) Mengupayakan identifikasi secara lengkap fakta‐
fakta dan isu hukum yang berkelindan dalam
perkara yang ditangani sedini mungkin (the
disputed factual and legal issues in the case are
identified as soon as possible);dan
d) Mendorong principal dan Advokat untuk
mengajukan resolusi terhadap kemungkinan
lambat atau terganggungnya kelancaran
penanganan perkara (assuring that alternatives to
the delay and expense of protracted litigation are
fully explored by the parties and their attorneys).
2) Advokat sebagai unsur pendukung administrasi
peradilan
Kedudukan Advokat yang dikehendaki dalam active
case management adalah tidak semata‐mata
memperjuangkan hak‐hak hukum kliennya. Lebih dari
itu, Advokat dituntut perannya menjadi mitra Hakim
dalam memastikan berjalannya proses penangann
perkara sesuai dengan yang diharapkan.
Jika Advokat terbukti melakukan tindakan‐tindakan
yang dengan sengaja menghambat persidangan atau
kelancaran pemeriksaan perkara, maka Pengadilan
(Hakim) dapat menjatuhkan sanksi kepada Advokat
tersebut.
Dalam konteks penerapan ini, peran Pengadilan
bukan satu‐satunya dalam mengefektifkan peran
Advokat dimaksud. Organisasi Advokat juga dituntut
untuk memiliki kesepahaman dengan Pengadilan dalam
menjamin kepatuhan Advokat terhadap aturan main
dalam penanganan perkara.
330
Karena itu, misalnya, pada tahun 2011 Florida
Supreme Court merevisi redaksi sumpah yang wajib
diucapkan calon Advokat sebelum menjalankan
profesinya: “To opposing parties and their counsel, I pledge
fairness, integrity, and civility, not only in court, but also in
all written and oral communications”375
3) Mendorong penerapan mediasi dan alternatif
penyelesaian sengketa lainnya
Tahun 1995, The Judicial Conference of the United
States menyepakati bahwa setiap Pengadilan wajib
mendorong para pihak yang beperkara, sebelum perkara
diputuskan hanya dapat diselesiakan melalui prose
litigasi, untuk menjajagi segala kemungkinan sengketa
diselesaikan dengan damai (win‐win solution).
Pada praktinya, pengadilan‐pengadilan federal di
Amerika menerapkan model penyelesaian sengketa
melalui mediasi atau model penyelesaian non litigasi
lainnya pada setiap tahap penangan perkara (sebelum
maupun saat persidangan perkara telah berjalan). Guna
memaksimalkan hal tersebut, maka Hakim berwenang
memerintahkan para pihak untuk menempuh proses
perdamaian, misalnya, dengan difasilitasi oleh Advokat,
Mediator atau profesional lainnya yang dipandang cakap
melaksanakan hal dimaksud. Tidak jarang, bahkan,
penyelesaian secara damai tercapai para pihak setelah
tahap‐tahap akhir persidangan376.
4) Penggunaan teknologi informasi
Penggunaan teknologi dalam administrasi perkara
mencakup keseluruhan tahap, mulai dari pengajuan
perkara hingga putusan. Pada tahap pengajuan perkara,
teknologi diterapkan untuk memudahkan pengajuan
perkara melalui e‐filing, sehingga dapat memangkas
waktu dan menghemat penggunaan instrumen‐
375
Lihat Ibid., hlm. 14.
376
Lihat Ibid., hlm. 15 – 16.
331
instrumen fisik dalam pendaftaran seperti kertas dan
buku register.
Sementara itu, dari sisi dokumentasi, penerapan
teknologi memungkinkan Pengadilan memiliki
dokumentasi perkara secara lengkap, akurat, realtime,
dan mendukung penyusunan statistik perkara untuk
kepentingan pengambilan kebijakan.
Hal yang paling menguntungkan dari penerapan
teknologi dalam manajemen perkara adalah
dimungkinkannya penerapan e‐litigation. Hakim,
misalnya dapat mengizinkan para Pihak atau Advokat
untuk melaksanakan persidangan (menyampaikan
jawaban dan lain‐lain tanggapan/pembuktian yang
diperlukan) melalui telepon maupun teleconference
(persidangan jarak jauh). Penerapan ini dimungkinkan
jika Pengadilan telah memiliki ruang sidang berbasis
elektronik (courtroom technology).
3. Gagasan Penerapan Active Case Management di
Peradilan Agama
Manajemen penanganan perkara di Peradilan Agama
saat ini, jika ditelaah secara mendalam, pada prinsipnya telah
menerapkan sebagian dari konsepsi active case management
(ACM). Hal ini terutama dapat dilihat dari penerapan teknologi
informasi yang semula berbentuk Sistem Informasi dan
Administrasi Perkara Peradilan Agama (SIADPA) kemudian
berubah menjadi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP).
Kemudian saat ini, e‐court juga telah efektif diterapkan yang
mencakup e‐filing, e‐payment, dan e‐summon.
Namun demikian, pada beberapa aspek lain seperti
penekanan peran aktif Hakim dalam mengelola administrasi
dan persidangan perkara, pengarusutamaan peran Advokat
untuk turut memikul tanggung jawab menjamin kelancaran
proses penanganan perkara, serta upaya mendorong
penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (sebelum perkara
akhirnya disidangkan atau diselesiakan secara litigatif) belum
diimplementasikan secara komprehensif. Bahwa benar, kita
332
memiliki Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
yang mendorong penyelesaian perkara secara damai melalui
forum mediasi, namun hal tersebut belum menjangkau
penyematan kewajiban pada para pihak untuk terlebih dahulu
menempuh penyelesaian non litigasi sebelum gugatan
diajukan ke Pengadilan.
Penanganan perkara di Peradilan Agama sendiri
sebenarnya sangat relevan menerapkan ACM. Namun, hal ini
harus didahului dengan penyusunan payung hukum yang
melegitimasi kewenangan Hakim dalam bersikap proaktif
mengendalikan administrasi dan penanganan perkara. Selain
itu, perlu reorientasi peranan Advokat agar tidak hanya fokus
pada upaya memenangkan kliennya, melainkan juga menjadi
katalisator dalam upaya menghadirkan penyelesaian sengketa
yang menguntungkan para pihak.
Perlu ditetapkan suatu regulasi yang mewajibkan
Advokat untuk turut aktif dalam membantu Hakim
menginisiasi para pihak menempuh penyelesaian‐penyelesaian
alternatif atas sengketa yang sedang dihadapi. Selain itu, perlu
pula adanya lembaga sanksi administratif bagi para Advokat
yang terbukti menghalang‐halangai, memperlambat, atau
berupaya mengaburkan pengungkapan fakta‐fakta hukum
atas perkara sehingga menyulitkan Hakim dalam menjalankan
perannya menegakkan hukum dan keadilan.
Untuk memaksimalkan luaran (output) atas kualitas
layanan Peradilan, dalam perkara perceraian misalnya,
Pengadilan perlu menjalin kerjasama secara intensif dan tetap
dengan lembaga profesional lain yang mendukung. Sebagai
misal, perlu adanya kerjasama tetap dengan lembaga mediasi,
konseling keluarga, psikolog, dan lain‐lain profesional yang
relevan dengan upaya meminimalisir angka perceraian serta
memaksimalkan tata kelola akibat‐akibat perceraian yang
bersentuhan langsung dengan kepentingan perempuan dan
anak.
Deskripsi tersebut di atas merupakan sebuah tawaran
konsepsi dalam merevitalisasi manajemen penanganan
333
perkara di Peradilan Agama agar lebih komprehensif. Jika
konsepsi dimaksud telah menjadi kebijakan yang disepakati
bersama, maka perlu pula ditindaklanjuti dengan pengayaan
(enhancement) aplikasi dasar pengadministrasian perkara
(SIPP) agar dapat mengakomodir implementasi active case
management.
334
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia. Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembar Negara RI tahun
2009, Nomor 157. Sekretariat Negara. Jakarta. 2009.
Republik Indonesia. Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Lembar Negara RI tahun 2009,
Nomor 112. Sekretariat Negara. Jakarta. 2009.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak
Mampu di Pengadilan. Berita Negara RI tahun 2014 Nomor
59. Sekretariat Negara. Jakarta. 2014.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana. Berita Negara RI tahun
2015 Nomor 1172. Sekretariat Negara. Jakarta. 2015.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Berita Negara RI
tahun 2018 Nomor 454. Sekretariat Negara. Jakarta. 2018.
Mahkamah Agung. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan. 2007.
Mahkamah Agung. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar
Pelayanan Peradilan. 2012.
Agus Zainal Muttaqien, dkk., Eksistensi dan Dinamika Pembaruan
Keskretariatan dan Kepaniteraan Peradilan, Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI,
2017.
Ainun Najib, Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Peradilan
Agama, bahan Rapat Koordinasi SAPM Badan Peradilan
Agama, Februari 2018.
Herri Swantoro, Kebijakan Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu
Badan Peradilan di Lingkungan Mahkamah Agung, materi
335
presentasi SAPM Direktur Jenderal Badan Peradilan
Umum, 2017.
Inggrid K. Kabua, Judiciary Pushes to Meet Global Standards, The
Marshall Islands Journal, July 11, 2014.
Irfan Fachruddin, Fungsi Pengawasan terhadap Aparatur Peradilan
untuk Mewujudkan Peradilan yang Agung, Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI,
2012.
Komite Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu Direktorat
Jenderal Peradilan Agama, Buku I Standar Sertifikasi
Akreditasi Penjaminan Mutu, 2018.
Lijan Poltak Sinambela, dkk, Reformasi Pelayanan Publik: Teori,
Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2006.
Luhut M. P. Pangaribuan, Catatan Hukum Luhut M.P.
Pangaribuan, Pengadilan, Hakim, dan Advokat, Depok:
Pustaka Kemang, 2016.
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035,
2010.
Marojahan J.S. Panjaitan, Membangun Badan Peradilan yang
Beradab, Berbudaya, dan Berkeadilan Menurut Teori,
Praktik dan UUD 1945, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2018.
Nuriyanto, Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia,
Sudahkah Berlandaskan Konsep “Welfare State”, Jurnal
Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014.
The International Framework For Court Excellence, 2nd Edition,
March 2013.
Tin Bunjevac, From Individual Judge to Judicial Bureaucracy: The
Emergence of Judicial Councils and the Changing Nature of
Judicial Accountability in Court Administration, University of
New South Wales Law Journal 806, 2017.
http://www.courtexcellence.com/, diakses tanggal 13 Oktober
2018.
https://kbbi.web.id/nilai, diakses pada tanggal 16 Oktober 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_web, diakses pada 12 Oktober
2018.
336
DAFTAR PUSTAKA (MAFIA PERADILAN)
Al Quran al Kariim
Shahih Bukhari
Adang Budiman, dkk, Rationalizing Ideologies, Social Identities and
Corruption among Civil Servants in Indonesia during the
Suharto Era. Dalam Journal of Business Ethics, Vol. 116,
2013
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta:
Kencana, 2010.
Albert Bandura, Moral Disengagement in the Perpetuation of
Inhumanities, dalam Journal of Personality and Social
Psychology, 3, 1999.
Artijdo Alkostar, Masalah Mafia Peradilan dan
Penanggulangannya, dalam Jurnal Hukum, No. 21, Vol. 9.
September 2002.
Hasrul Halili, Mengupayakan Peradilan Bersih: Dari Kajian Hingga
Program Pemantauan yang Melibatkan Perguruan Tinggi,
Makalah, Disampaikan Pada Seminar Jurnal Integritas KPK
di FH UGM pada tanggal 27 September 2017.
Jeremy Bentham, An Introduction to The Morals and Legislation,
Batoche Book, Kitcherner, 2000.
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, dalam
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan,
Jakarta: Kencana, 2010.
Lawrence M. Friedmen, Law and Society An Introduction, Prentice
Hall Inc, Englewood Gliffs, New Jersey, 1977.
Mark Constanzo, Pyschology Applied to Low, terjemah oleh Helly
Prajitno Soetjipto, Aplikasi Psikologi dalam Sisitem Hukum,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008.
Saeful Akbar, Gratifikasi Seksual sebagai Bentuk Tindak Pidana
Korupsi, Jurnal IUS, Vol. IV, Nomor 3, Desember 2016.
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008.
337
Widiada Gunakaya, Pemberantasan Mafia Peradilan dengan
Pemberdayaan “Gaya Sentrifugal” dan “Sentripetal” dalam
Penegakan Supremasi Hukum (Suatu Kontemplasi
Refleksif), Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 23 No. 02
September 2010.
Harian Kompas, 20 Mei 2001.
Satgas Mafia Hukum dan UNDP, Mafia Hukum, Jakarta, 2010.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mafia
https://www.kbbi.web.id/mafia
https://news.detik.com/berita/1653509/pola‐mafia‐peradilan‐di‐
pengadilan‐negeri‐‐tinggi, diakses tanggal 3 Oktober
2018.
DAFTAR PUSTAKA (RASIO HAKIM)
LAPTAH Mahkamah Agung RI Tahun 2015
LAPTAH Mahkamah Agung RI Tahun 2016
LAPTAH Mahkamah Agung RI Tahun 2017
Majalah Peradilan Agama Edisi 10 Desember 2016
Majalah Peradilan Agama Edisi 11 April 2017
Majalah Peradilan Agama Edisi 13 Juni 2018
https://beritagar.id/artikel/berita/menutupi‐kekurangan‐jumlah‐
hakim‐di‐indonesia
https://kumparan.com/@kumparannews/indonesia‐krisis‐hakim
https://www.msn.com/id‐id/berita/nasional/jubir‐ma‐indonesia‐
kekurangan‐4000‐hakim/ar‐AAAeDgz
DAFTAR PUSTAKA (PUTUSAN HAKIM)
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Disparitas Putusan Hakim;
Identifikasi dan Implikasi”, Jakarta, KYRI, 2014
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004, Ed. I, Cet. 2,
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2003, Cet. III
Tri Cahya Indra Permana, Disparitas Putusan Hakim, Jakarta, Varia
Peradilan, edisi XXXI No. 380 Juli 2017
338
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan,
Semarang, FH Unissula Semarang, 1982
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim dalam
Menangani Suatu Perkara Pidana, Jakarta, Aksara
Persada, 1987
Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan; Memperkuat Peran dan
Kedudukan Hakim, Jakarta, MerdekaBook, 2018
Arbijoto, Kebebasan Hakim; Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim
Dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta, Diadit
Media, 2010
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 1998.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Yogyakarta, Liberty, 2006, Edisi ketujuh.
Muh. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika
Offset, 2003, cet. Ke.III
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis
Dan Prakter Peradilan, Bandung
Mandar Maju, 2007
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafik, 2013
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, Jakarta, Sinar
Grafik, 2011
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama,
Bogor, Ghalia Indonesia, 2012
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2012.
M Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, Jakarta,
Sinar Grafika, 2005
Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif
Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2011
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981.
Indonesian Corruption Watch, Studi Atas Disparitas Putusan
Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, ICW,
2014
339
Balitbang Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kedudukan dan
Relevansi Jurisprudensi untuk mengurangi disparitas
putusan, Megamendung: Balitbang MA, 2010.
Kurnia Dewi Anggraeny, Disparitas pidana dalam putusan hakim
terhadap Tindak pidana psikotropika di pengadilan negeri
sleman, Jurnal Hukum Novelty, Vol. 7 No. 2 Agustus
2016.
DAFTAR PUSTAKA (KEPUASAN PUBLIK)
Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Peraturan Menteri Pendayaagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2017 tentang
Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik
Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, edisi kedua, Andi:
Yogyakarta, 2004
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2013
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2016
www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd7d17d0e7d/perma‐
masih‐jadi‐solusi‐hukum‐acara‐perdata‐di‐indonesia
www.cendananews.com/2018/08/ma‐kepuasan‐masyarakat‐
terhadap‐pengadilan‐meningkat.html
www.badilag.mahkamahagung.go.id/seputar‐ditjen
badilag/seputar‐ditjen‐badilag/ini‐hasil‐lengkap‐survei‐
kepuasan‐publik‐terhadap‐layanan‐administrasi‐pengadilan
DAFTAR PUSTAKA (7 AREA PEMBARUAN)
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia
2003, Mahkamah Agung RI.
340
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia
2010‐2035, Mahkamah Agung RI.
“MA Rancang Ulang Cetak Biru Pembaharuan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21371/ma‐
rancang‐ulang‐cetak‐biru‐pembaharuan, diakses tanggal
17 November 2018.
The International Framework For Court Excellence,
http://www.courtexcellence.com/~/media/Microsites/Files/
ICCE/The%20International%20Framework%202E%20201
4%20V3.ashx
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 2009,
Kencana,Jakarta.
Randall t. Shepard, The Changing Nature of Judicial Leadership,
hlm.767‐772,
https://mckinneylaw.iu.edu/ilr/pdf/vol42p767.pdf, diakses
tanggal 16 Desember 2018.
Sanford Levinson, “Identifiying “Independence””, Boston
University Law Review, Vol.86:1297, 2006.
http://www.bu.edu/law/journals‐
archive/bulr/volume86n5/documents/levinsonv.2.pdf.
hlm.1299‐1302 diakses tanggal 17 Maret 2017.
Principles On The Independence Of The Judiciary (Syracuse
Principles, 1981)
David C. Brody, “The Use of Judicial Performance Evaluation to
Enhance Judicial Accountability, Judicial Independence,
and Public Trust”, Denver University Law Review, 2008,
hlm. 2. http://www.law.du.edu/documents/denver‐
university‐law‐review/v86_i1_brody.pdf. diakses 28 Mei
2017.
Francesco Contini & Richard Mohr, Reconciling Independence and
Accountabilty in Judicial Systems, Utrecht Law Review,
Volume 3, Issue 2 (Desember) 2007, hal. 26,
http://www.utrechtlawreview.org/. diakses tanggal 7
Agustus 2017.
341
DAFTAR PUSTAKA (MODERNIASI PERADILAN)
Achmad Fauzi, Hatta Ali dan Reformasi Lembaga Peradilan, Jawa
Pos, 15 Februari 2017, didownload Hari Selasa tanggal 23
Mei 2017.
Adriaan Bedner, Court Reform: Law, Governance, And
Development Research & Policy Notes, Leiden, Leiden
University Press, 2008.
Buku I tentang Revisi Standar Sertifikasi Akreditasi Penjaminan
Mutu diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2018.
Buku I tentang Standar Sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017.
Cetak Biru dan Rencana Strategis Pembaruan Peradilan: Laporan
Hasil Organizational Diagnostic Assesment (ODA),
Sarasehan MARI, Rapat Konsinyasi Tim Perumus dan
Pendamping, PT Daya Dimensi Indonesia, 2009.
Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Road Map Reformasi Birokrasi
Mahkamah Agung Republik Indonesia 2015‐2019, Jakarta,
Kepaniteraan MA RI, 2015.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
192/KMA/SK/XI/2016 tentang
Penetapan Reviu Indikator Kinerja Utama Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010‐2025.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2016.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetak Biru (Blueprint)
Pembaharuan Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI),
Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia
bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan (LeIP), The Asia Foundation,
United State Agency for International Development
(USAID), dan Partnership for Governance Reform In
Indonesia (Partnership), tahun 2003.
342
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035,
Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010
Majalah Peradilan Agama Edisi 12 tentang RB.
Majalah Peradilan Agama Edisi 13 tentang SAPM.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14
tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Survei
Kepuasan Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan
Publik.
Pidato kenegaraan tanggal 14 Agustus 2009 dalam rangka
memperingati ulang tahun ke‐64 Kemerdekaan RI di
depan Sidang DPR RI.
Sosialisasi hasil Bimbingan Teknis Asesor PTA Se‐Indonesia di
Semarang 08/013/2018 disampaikan oleh Asesor PTA
Kalimantan Selatan, di aula PTA Kalimantan Selatan pada
tanggal 15‐16 Maret 2018.
http://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar‐ditjen‐
badilag/seputar‐ditjen‐badilag/hadapi‐apm‐jilid‐ii‐seperti‐
apa‐persiapan‐yang‐dilakukan‐badilag
http://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar‐ditjen‐
badilag/seputar‐ditjen‐badilag/badilag‐merevisi‐
pedoman‐akreditasi‐pengadilan‐agama‐5‐2
http://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar‐ditjen‐
badilag/seputar‐ditjen‐badilag/cakupan‐diperluas‐
akreditasi‐peradilan‐agama‐tahun‐ini‐dibagi‐lima‐tahap‐
30‐1
http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengumuman‐
elektronik/pengumuman‐elektronik/penyempurnaan‐
pedoman‐sertifikasi‐akreditasi‐penjaminan‐mutu‐sapm‐
peradilan‐agama‐5‐1
https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/wb_government_
effectiveness/
343
DAFTAR PUSTAKA (PERLINDUNGAN PRIMA BAGI HAKIM)
Republik Indonesia. Undang‐Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (Amandemen IV). Lembar Negara RI tahun
2006, Nomor 14. Sekretariat Negara. Jakarta. 1945.
Republik Indonesia. Undang‐Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembar Negara RI tahun
2009, Nomor 157. Sekretariat Negara. Jakarta. 2009.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012
tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di
Bawah Mahkamah Agung. Lembar Negara RI tahun 2012,
Nomor 213. Sekretariat Negara. Jakarta. 2012.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan
dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah
Agung. Lembar Negara RI tahun 2016, Nomor 237.
Sekretariat Negara. Jakarta. 2012.
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Peraturan Bersama
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim. Jakarta 27 September 2012.
Adies Kadir, Menyelamatkan Wakil Tuhan Memperkuat Peran dan
Kedudukan Hakim, Jakarta: Graha Pena, 2018.
Akbar Faizal, 2016, Politik Hukum Perlindungan Hakim, Jurnal Cita
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Vol.4
No.1 2016.
Budi Suhariyanto, Contempt of Court dalam Perspektif Hukum
Progresif, Jurnal Yudisial, Volume 9, Nomor 2, Agustus
2016.
Imam Subechi, Mewujudkan Negara Hukum Indonesia, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 1 Nomor 3, November
2012.
344
Kaka Alvian Nasution, Lembaga‐ Lembaga Negara, Yogyakarta:
Saufa, 2014.
Luhut M. P. Pangaribuan, Catatan Hukum Luhut M.P.
Pangaribuan, Pengadilan, Hakim, dan Advokat, Depok:
Pustaka Kemang, 2016.
Marojahan J.S. Panjaitan, Membangun Badan Peradilan yang
Beradab, Berbudaya, dan Berkeadilan Menurut Teori,
Praktik dan UUD 1945, Bandung: Pustaka Reka Cipta,
2018.
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010‐2035,
2010.
Paulus E Lotulung, Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan, Makalah Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14 s.d. 18 Juli
2003.
Rofiq Hidayat, Urgensi Jaminan Keamanan dan Kesehatan Sang
Wakil Tuhan, artikel pada https://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt593852a5df6f7/urgensi‐jaminan‐keamanan‐
dan‐kesehatan‐sang‐wakil‐tuhan, diakses pada tanggal 03
Oktober 2018.
Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia,
Yogyakarta: FH UII Press, 2010.
Slamet Sarwo Edy, Independensi Sistem Peradilan Militer di
Indonesia (Studi tentang Struktur Peradilan Militer), Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 06 Nomor 1, Maret 2017.
Wikipedia, Protection, diakses dari
https://en.wikipedia.org/wiki/Protection, tanggal 06
Oktober 2018.
Zaherman Armadz Muabezi, Rule of Law and Not Power State,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 06 nomor 3,
November 2017.
345
PROFIL TIM PENYUSUN
1. Aco Nur
Dr. Drs. H. Aco Nur, S.H., M.H. adalah
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung RI sejak bulan Juni 2018.
Beliau sebelumnya adalah Kepala Badan
Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI.
Menyelesaikan pendidikan S1 (Sarjana
Hukum) di Universitas Dr. Soetemo,
Surabaya, pendidikan S2 (Magister Hukum)
di Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Sementara itu, pendidikan S3 (Doktor Ilmu
Hukum) diselesaikan di Universitas
Jayabaya.
2. Candra Boy Seroza
Dr. Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag adalah
Direktur Pembinaan Tenaga Teknis
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung RI. Sebelumnya
beliau merupakan Hakim Yustisial/Asisten
Hakim Agung pada Kamar Agama
Mahkamah Agung RI. Menempuh
pendidikan S1 pada IAIN Imam Bonjol,
pendidikan S2 pada Pascasarjana di
almamater yang sama, dan S3 pada UIN
Sunan Gunung Djati.
3. Arief Hidayat
Drs. Arief Hidayat, S.H., M.M adalah
Sekretaris Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Sebelumnya menjabat Sekretaris
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Univ. Sang Bumi
Ruwa Jurai (Saburai) - Bandar Lampung, S1
pada Fakultas Syariah IAIN Raden Intan -
Bandar lampung, dan S2 bidang
Manajemen pada program Pascasarjana
Universitas Bandar lampung.
347
4. Arief Gunawansyah
Arief Gunawansyah, S.H., M.H. adalah Kepala Bagian
Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Umum
pada Ditjen Badilag MA RI. Menyelesaikan pendidikan
S1 (SH) pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan jenjang S2 (MH) pada
Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
IBLAM Jakarta.
5. Achmad Cholil
Achmad Cholil, S.Ag., S.H., LL.M, adalah Hakim
Yustisial Mahkamah Agung RI. Alumnus Melbourne
Law School, The University of Melbourne, Australia dan
kini sedang menyelesaikan program doktoral di
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Penulis juga
merupakan dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta dan pengajar pada Pusdiklat MA RI. Beberapa
artikelnya pernah terbit di thejakartapost.com dan
beberapa media online. Penulis bisa dihubungi melalui
surel: cholil.achmad@gmail.com.
6. Rahmat Arijaya
Rahmat Arijaya, S.Ag., M.Ag, adalah Wakil Ketua
Pengadilan Agama Pasir Pengaraian. Penulis
menyelesaikan pendidikan Strata 1 dan Strata 2
Institu Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta. Penulis juga merupakan pengajar pada
Pusdiklat MA RI. Beberapa artikelnya pernah terbit di
thejakartapost.com dan beberapa media online.
Penulis bisa dihubungi melalui e-mail:
rahmat.arijaya@gmail.com.
7. Abdul Halim
Abdul Halim, S.H.I., M.H., menyelesaikan pendidikan S1
di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
S2 di Pascasarjana UGM Yogyakarta, saat ini penulis
bertugas sebagai Hakim Yustisial di Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Artikelnya pernah terbit di hukumonline.com,
detik.com, varia peradilan dan majalah KY, serta
badilag.net, korespondensi di
halimborne83@gmail.com.
348
8. Ilman Hasjim
Ilman Hasjim, S.HI., MH. adalah Hakim Pengadilan
Kolaka. Saat ini tengah menyelesaikan Program Doktor
(S3) di UIN Alauddin Makassar. S1 dan S2 masing-
masing ditempuh di UIN Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Penulis juga merupakan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas
November (USN) Kolaka. Sejumlah artikel telah dimuat
di laman resmi Badilag, juga sejak 2014 aktif mengirim
Opini masalah hukum ke Harian Lokal dan Regional. E-
mail: ilmanhasjim83@gmail.com
9. Ade Firman Fathoni
Ade Firman Fathoni, S.HI., M.S.I., saat ini merupakan
Hakim di Pengadilan Agama Tanggamus, Lampung
(2014-sekarang). Pendidikan terakhir adalah S2 pada
Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas
Islam Indonesia. Penulis berhasil meraih berbagai
penghargaan nasional, mulai Pengadilan Percontohan
Otomasi Pengadilan (PA Kotabaru, 2013), hingga Juara
3 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Peradilan MA RI
Tahun 2015. Aktif menulis opini di media massa, juga di
blog pribadi. Penulis dapat dihubungi via email:
adefirmanfathony@gmail.com
10. Edi Hudiata
Edi Hudiata, Lc., MH. adalah Hakim Yustisial Mahkamah
Agung ditugaskan pada Asisten Wakil Ketua Mahkamah
Agung Bidang Non Yudisial. Pendidikan S1 diselesaikan
di Universitas Al-Azhar Cairo (Lc.) dan S2 ditempuh di
Universitas Lambung Magkurat Banjarmasin (MH).
Penikmat literasi ini telah menulis beberapa karya
berupa buku, jurnal, artikel, feature, dan sebagainya.
Penulis dapat dihubungi melalui korespondensi email:
edihudiata31122012@gmail.com
11. Darul Fadli
Darul Fadli, S.HI., MA., adalah Hakim Pengadilan
Agama Ketapang. Pendidikan S1 diselesaikan di
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Magister (MA) juga di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain sebagai Hakim, Penulis juga merupakan pengajar
(Tuton) di Universitas Terbuka.
349
12. Abu Jahid Darso Atmodjo
Abu Jahid Darso Atmojo, Lc., LL.M., Ph.D, penulis
menyelesaikan pendidikan strata 1 (Lc.) pada Al Azhar
University, Cairo, Mesir. Sementara itu gelar LL.M dan
Ph.D diraih dari dan Om Durman Islamic University,
Khartoum, Sudan. Penulis saat ini merupakan Hakim
Yustisial pada Ditjend Badilag MA RI. Sejumlah artikel
penulis dimuat di Suara Muhammadiyah yg terbit
bulanan. Selain itu, penulis juga menjadi Pengajar pada
Universitas Prof. HAMKA (UHAMKA) Jakarta. Korespondensi via e-mail:
abu_jahidda@yahoo.co.id.
13. M. Natsir Asnawi
M. Natsir Asnawi, S.HI., MH., adalah Hakim Pengadilan
Agama Gedong Tataan (2018–sekarang). Pendidikan
formal (S1) diselesaikan di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar dan Magister (S2) ditempuh di
Universitas Lambung Magkurat Banjarmasin. Penulis
telah menulis sejumlah buku dan artikel yang
diterbitkan di berbagai jurnal hukum nasional
terakreditasi, majalah hukum, dan media online.
Korespondensi dengan penulis dapat dilakukan via e-mail:
natsirasnawi@rocketmail.com.
14. Erfani
Erfani, S.HI., M.Esy., saat ini merupakan hakim PA
Kasongan. Ia menyandang gelar akademik Magister
Ekonomi Syariah dengan predikat cumnlaude, dari UIN
Raden Fatah Palembang. Menggunakan nama pena
Erfani Aljan Abdullah, ia telah menulis lima judul buku.
Hakim lulusan pesantren Tebuireng ini, juga aktif
menulis di berbagai media cetak dan online bertema
keislaman. Korespondensi dapat dilakukan melalui
email erfanielislamiy@yahoo.co.id.
15. Ahmad Zainul Anam
Ahmad Zainul Anam, S.HI., M.S.I, saat ini bertugas
sebagai Hakim Pengadilan Agama Mentok.
Menyelesaikan pendidikan Strata 1 (Jurusan al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah Fakultas Syariah) dan Strata 2 (Prodi
Hukum Islam Program Pascasarjana) di UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. Penulis adalah kontributor artikel
pada situs resmi badilag. Puluhan artikel penulis telah
dipublikasikan di media tersebut. Korespondensi via e-
mail: az.anam.judge@gmail.com.
350