Kepada Yth.
Pemimpin Redaksi Koran Kompas
Cq. Pengasuh Rubrik Opini
Di,
Jakarta
Dengan Hormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan samudera karunia yang tak pernah kering kepada kita
sekalian, sehingga kita dapat beraktivitas tanpa halangan apapun.
Dalam rangka merespon berbagai pendapat yang muncul pasca
putusan kartel komunikasi terhadap mantan Dirut Im2, maka saya mohon
kesediaannya untuk menerbitkan artikel dengan judul: “Asa Independensi
Kekuasaan Kehakiman” pada rubrik Opini.
Demikian surat pengantar ini saya ajukan dengan harapan artikel ini
dapat diterbitkan.
Pemohon
Salah satu asas hukum dasar res judicata pro veritate habetur (Putusan Hakim
dianggap benar) menyatakan bahwa sebuah masalah yang telah diselesaikan di
pengadilan, tidak dapat diangkat atau dipersoalkan kembali. Putusan pengadilan
tentang sebuah masalah merupakan akhir dari masalah. Akan tetapi, sepertinya tidak
semua pihak bisa menerima dengan lapang dada asas dasar tersebut.
Sampai saat ini, para Hakim tidak pernah benar-benar merdeka dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya. Sebelum tahun 2004,
penyelenggaran kekuasaan kehakiman dipecah-pecah dalam berbagai departemen,
untuk mempermudah kontrol dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman; Secara
teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung, namun secara teknis administrasi
berada di bawah wewenang mutlak departemen. Ini seperti melepas kepala, tapi
memegang erat ekor supaya tidak bisa kemana-mana.
Setelah proses satu atap 4 badan peradilan dibawah Mahkamah Agung pada
tahun 2004, indepensi tidak serta merta diraih. Eksekutif dan Legislatif masih
memegang ekor kekuasaan kehakiman, lewat hak anggaran yang dikuasai mutlak
oleh eksekutif, dengan persetujuan legislatif.
Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman juga tampak jelas dari cerita yang
terserak dari penjuru negeri, sebuah kisah miris tentang banyaknya Hakim yang
dipanggil oleh pihak yang berwajib untuk menjelaskan putusan yang telah diputus
tentang sebuah perkara.
Putusan pengadilan bersifat memaksa dan executable, apapun isi dari putusan,
dan itu adalah satu hal, sedangkan unprofessional conduct Hakim yang bersangkutan
dalam proses pemeriksaan dan penjatuhan putusan adalah hal lain.
Kita sekarang berada di sebuah masa di mana penjatuhan sanksi dan
pemecatan terhadap seorang Hakim karena unprofessional conduct adalah sebuah hal
yang sangat gampang dan mudah untuk dilakukan.
Hakim berbicara lewat putusan. Hakim tidak menjelaskan perkara yang akan,
sedang, dan telah ia periksa lewat konferensi pers, pernyataan, atau cara apapun.
Pertimbangan Hakim dalam sebuah putusan memuat semua aspek sosial yuridis,
disanalah Hakim berbicara. Hal ini menimbulkan sebuah tantangan baru bagi
Mahkamah Agung: Transparansi putusan, dari sejak tingkat pertama, banding, kasasi,
hingga Peninjuan Kembali.
Putusan-putusan level Kasasi dan Peninjuan akan mudah dicari dalam portal
putusan Mahkamah Agung, namun akan berbeda cerita jika mencari putusan-putusan
tingkat pertama pengadilan se-Indonesia, sangat memerlukan usaha ekstra dan sedikit
keberuntungan untuk menemukan putusan dimaksud. Bagi pengadilan tingkat
pertama dan banding, upload putusan menjadi sebuah “kerja 1 menit yang
terabaikan”, dan ini menjadi sebuah PR tersendiri bagi Mahkamah Agung.