Anda di halaman 1dari 6

Hal : Permohonan Penerbitan Kotabaru, 17 Juli 2013

Kepada Yth.
Pemimpin Redaksi Koran Kompas
Cq. Pengasuh Rubrik Opini
Di,
Jakarta

Dengan Hormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan samudera karunia yang tak pernah kering kepada kita
sekalian, sehingga kita dapat beraktivitas tanpa halangan apapun.
Dalam rangka merespon berbagai pendapat yang muncul pasca
putusan kartel komunikasi terhadap mantan Dirut Im2, maka saya mohon
kesediaannya untuk menerbitkan artikel dengan judul: “Asa Independensi
Kekuasaan Kehakiman” pada rubrik Opini.
Demikian surat pengantar ini saya ajukan dengan harapan artikel ini
dapat diterbitkan.

Pemohon

Ade Firman Fathony


Asa Independensi Kekuasaan Kehakiman
Oleh: Ade Firman Fathony
Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan

Menkominfo Tifatul Sembiring berencana akan menggelar dialog dengan


Mahkamah Agung (MA) untuk menjelaskan peraturan izin Frekuensi ke pengadilan
berkaitan dengan vonis 4 tahun eks Dirut IM2 Indar Atmanto.

Dan untuk yang kesekian kalinya, intervensi terhadap indepensi kekuasaan


kehakiman (yudikatif) dilakukan oleh pihak lain, entah itu eksekutif maupun
legislatif.

Di era reformasi, pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan


yudikatif kini berusaha diletakkan masing-masing pada tempatnya setelah sekian
lama porak poranda, tercampur aduk dan saling mempengaruhi, namun tetap tampak
seperti usaha setengah hati.

Salah satu asas hukum dasar res judicata pro veritate habetur (Putusan Hakim
dianggap benar) menyatakan bahwa sebuah masalah yang telah diselesaikan di
pengadilan, tidak dapat diangkat atau dipersoalkan kembali. Putusan pengadilan
tentang sebuah masalah merupakan akhir dari masalah. Akan tetapi, sepertinya tidak
semua pihak bisa menerima dengan lapang dada asas dasar tersebut.

Sebastian Pompee menyatakan bahwa sejarah Mahkamah Agung (Dunia


Peradilan) pada dasarnya adalah sejarah pertarungan politik untuk mempertahankan,
bahkan meraih kembali, otonomi pengadilan dari campur tangan politik, demi sebuah
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Setelah Indonesia merdeka, secara resmi lembaga peradilan tidak lagi


independen. Di Indonesia, peradilan dihancurkan bukan oleh kelalaian yang
sekonyong-konyong muncul, melainkan oleh suatu proses yang disengaja, termasuk
oleh peradilan sendiri.

Sampai saat ini, para Hakim tidak pernah benar-benar merdeka dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya. Sebelum tahun 2004,
penyelenggaran kekuasaan kehakiman dipecah-pecah dalam berbagai departemen,
untuk mempermudah kontrol dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman; Secara
teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung, namun secara teknis administrasi
berada di bawah wewenang mutlak departemen. Ini seperti melepas kepala, tapi
memegang erat ekor supaya tidak bisa kemana-mana.

Setelah proses satu atap 4 badan peradilan dibawah Mahkamah Agung pada
tahun 2004, indepensi tidak serta merta diraih. Eksekutif dan Legislatif masih
memegang ekor kekuasaan kehakiman, lewat hak anggaran yang dikuasai mutlak
oleh eksekutif, dengan persetujuan legislatif.

Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman juga tampak jelas dari cerita yang
terserak dari penjuru negeri, sebuah kisah miris tentang banyaknya Hakim yang
dipanggil oleh pihak yang berwajib untuk menjelaskan putusan yang telah diputus
tentang sebuah perkara.

Dalam International Commission of Jurists (Bangkok, 1965), dinyatakan


bahwa Independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law. Jika
Independensi Kekuasaan sudah tidak terpenuhi, maka kita tidak bisa berbicara lagi
tentang Negara Hukum.

Di sisi lain, kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman terikat dengan


pertanggunganjawaban dan akuntabilitas (judicial accountability). Pengawasan atau
kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan adalah hal mutlak agar kemandirian
dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan.

Kebebasan Hakim, yang merupakan penerapan dari kemandirian kekuasaan


Kehakiman, tidaklah berada sendiri superior, tetapi dibatasi oleh akuntabilitas,
Integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan (kontrol). Jika kekuasaan
kehakiman diatas dikaitkan dengan Hakim, maka independensi itu harus
disempurnakan dengan impartialitas dan profesionalisme seorang Hakim.

Asas res judicata memiliki sebuah konsekuensi: Hakim dituntut untuk


profesional, adil dan tidak memihak dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara yang diterimanya.

Putusan pengadilan bersifat memaksa dan executable, apapun isi dari putusan,
dan itu adalah satu hal, sedangkan unprofessional conduct Hakim yang bersangkutan
dalam proses pemeriksaan dan penjatuhan putusan adalah hal lain.
Kita sekarang berada di sebuah masa di mana penjatuhan sanksi dan
pemecatan terhadap seorang Hakim karena unprofessional conduct adalah sebuah hal
yang sangat gampang dan mudah untuk dilakukan.

Mekanisme pengawasan insan peradilan oleh Komisi Yudisial dan Badan


Pengawasan Mahkamah Agung telah membuka kemudahan akses pelaporan
penyelewengan seorang Hakim secara lebar dari peradilan tingkat pertama hingga
tingkat Mahkamah Agung.

Hakim berbicara lewat putusan. Hakim tidak menjelaskan perkara yang akan,
sedang, dan telah ia periksa lewat konferensi pers, pernyataan, atau cara apapun.
Pertimbangan Hakim dalam sebuah putusan memuat semua aspek sosial yuridis,
disanalah Hakim berbicara. Hal ini menimbulkan sebuah tantangan baru bagi
Mahkamah Agung: Transparansi putusan, dari sejak tingkat pertama, banding, kasasi,
hingga Peninjuan Kembali.

Putusan-putusan level Kasasi dan Peninjuan akan mudah dicari dalam portal
putusan Mahkamah Agung, namun akan berbeda cerita jika mencari putusan-putusan
tingkat pertama pengadilan se-Indonesia, sangat memerlukan usaha ekstra dan sedikit
keberuntungan untuk menemukan putusan dimaksud. Bagi pengadilan tingkat
pertama dan banding, upload putusan menjadi sebuah “kerja 1 menit yang
terabaikan”, dan ini menjadi sebuah PR tersendiri bagi Mahkamah Agung.

Publikasi putusan adalah sebuah judicial accountability, sebagai salah satu


tanggung jawab dari kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.

Intervensi terhadap independensi kekuasaan Kehakiman mutlak tidak boleh


dilakukan. Medio Februari 2011, semua Pengadilan di seluruh pelosok negara
Perancis tutup. Hakim-Hakim dan para juri Pengadilan melakukan demo mogok
sidang sebagai bentuk penolakan campurtangan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy
terhadap wewenang yudikatif: Sarkozy mencap seorang tersangka dianggap bersalah
sebelum dimulainya persidangan dalam kasus pembunuhan seorang perempuan.

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, beberapa Hakim juga berani


berbenturan langsung dengan Soekarno dalam mendukung kepentingan kelembagaan
pengadilan. Salah satu konfrontasi langsung semacam itu terjadi pada Januari tahun
1960 ketika Soekarno bertanya kepada para Hakim yang ketika itu berkumpul di
Istana Negara: “Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu mendapat perintah
langsung dari Presiden?”. Dengan lantang, seorang Hakim Suparni menjawab: “Oh,
bukankah kemandirian kehakiman melarang hal semacam itu?”
CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap : Ade Firman Fathony, SHI., MSI.


Tempat Tanggal Lahir : Yogyakarta, 29 November 1982
Alamat : Pengadilan Agama Kotabaru
d/a Jl. Raya Stagen km. 10
Kab. Kotabaru Kalimantan Selatan 72116
Pekerjaan : Hakim Pengadilan Agama Kotabaru
Telf HP : 081369500167
Email : vatonie@gmail.com
Nomor Rekening : 15201019362501 Bank BRI cab Wates
an. Ade Firman Fathony, SHI

Anda mungkin juga menyukai