Anda di halaman 1dari 5

Dalil-dalil Islam Nusantara

Senin, 31 Agustus 2015 20:01Opini

Bagikan
Oleh: M. Kholid Syeirazi
Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 telah usai. Tema Muktamar, “Meneguhkan
Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,” telah memantik pembicaraan hangat
dan, dalam beberapa hal, sengaja disalahpahami oleh mereka yang pahamnya salah. Mereka
membuat idiom tandingan: Mengislamkan Nusantara. Dalam struktur bahasa Indonesia,
<>menambahkan awalan ‘me’ dan akhiran ‘kan’ berfungsi, salah satunya, membentuk kata kerja
transitif bermakna “membuatnya jadi” seperti dalam kata “melebarkan,” artinya membuat sesuatu
jadi lebar. Dengan demikian, secara semantik, “mengislamkan Nusantara” berarti membuat
Nusantara menjadi Islam.

Sepintas kalimat ini tepat, karena tugas setiap Muslim adalah mendakwahkan Islam dan
menyampaikan risalah Nabi (ballighû ‘annî walaw âyat). Dulu, yang dilakukan Wali Songo juga
mengislamkan Nusantara. Namun, jika digali lebih dalam, idiom “Islam Nusantara” dan
“Mengislamkan Nusantara” berangkat dari dua pendekatan yang berbeda. Islam Nusantara
adalah pengakuan tentang basis sosial dan budaya pemeluk Islam di Nusantara. Islam
didakwahkan oleh para juru dakwah, kemudian diterima, diyakini, dan diamalkan dalam wadah
budaya pemeluknya yang khas. Budaya, sebagaimana dilakukan Wali Songo, dijadikan sebagai
instrumen dakwah dan sarana “menyusupkan” ajaran Islam secara bertahap. Kearifan dan
kesediaan Wali Songo menyampakan dakwah Islam dalam wadah budaya telah membuat
proses Islamisasi Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam
sejarah. Islam tidak datang melalui kampanye militer dan konflik kekerasan terhadap para
penganut agama dan budaya lokal. Islam tumbuh, tersebar, dan bersenyawa di bumi Nusantara
dengan karakter budayanya. Dengan cara seperti inilah dulu Islam berdialektika dengan budaya
Arab, tempat risalah Islam turun dan diajarkan Rasulullah. Beberapa bentuk tradisi Arab yang
baik dipertahakan, sebagian disyariatkan, sebagian diperbolehkan bukan sebagai syariat. Yang
tidak baik dikoreksi, digantikan dengan bentuk yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini
tercermin dari proses tasyri’ syariat shalat, puasa, haji, mu’âmalah, munâkahah, dll.

Para penolak Islam Nusantara, termasuk pengusung idiom “mengislamkan Nusantara,”


umumnya menolak dialektika Islam sebagai agama universal dengan budaya pemeluk Islam
yang partikular. Mereka ingin menjiplak persis apa yang berasal dari Rasulullah, baik agama
maupun budayanya. Islam sebagai agama dan tradisi Arab sebagai budaya hendak diboyong
semua sebagai ajaran yang berlaku universal. Cara pandang seperti ini cenderung ahistoris dan
anakronis.

Dalil-dalil Islam Nusantara

Pasti tidak cukup ruang untuk membeberkan semua dalil tentang kesahihan Islam Nusantara,
karena itu harus diringkas secara sederhana ke dalam tiga hal saja. Pertama, Islam Nusantara
lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya
manusia yang partikular. Ajaran tauhid, eskatologi, kenabian, akhlak, dan pokok-pokok syariat
adalah ajaran universal, tetapi pengamalannya selalu gabungan dari elemen universal dan
partikular. Universal karena Islam adalah agama samawi yang turun dari langit, partikular karena
pelaku agama adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang berbudaya. Untuk hal-hal
yang universal yang bersifat qath’i (kategoris), harus diterima apa adanya. Tetapi, untuk hal-hal
yang partikular yang bersifat dhonny (hipotetis), tidak harus dijiplak tanpa proses adaptasi.
Contoh, perintah shalat adalah universal, tetapi busana yang dikenakan adalah partikular. Shalat
mengenakan jubah plus sorban sama bobotnya dengan batik plus songkok, tergantung hati dan
kualitas khusyuknya. Perintah zakat adalah universal, tetapi jenis makanan pokok yang
dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah partikular. Korma atau gandum sama bobotnya dengan
beras, tergantung hati dan ikhlasnya. Perintah puasa adalah universal, tetapi soal menu buka
puasa adalah partikular. Berbuka dengan korma sama bobotnya dengan kolak pisang,
tergantung niat dan derajat halalnya. Haji adalah perintah universal, tetapi sarana menjalankan
ibadah haji adalah partikular. Berhaji mengendarai onta sama nilainya dengan naik pesawat atau
sarana transportasi lain, tergantung niat dan takwanya. Islam Nusantara memilah yang universal
(kulliyah) dengan yang partikular (juziyyah). Ajaran universal diterima apa adanya, sedangkan
yang partikular dikawinkan dengan ekspresi budaya lokal.

Kedua, ada sementara anggapan bahwa Islam adalah agama yang syumûl (komprehensif).
Semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam dan bisa dirujukkan kepada teks
Qur’an atau sunnah (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi). Karena itu, tidak usah menambah
atau mengurangi sebab tindakan itu berarti bid’ah. Asumsi ini tidak benar. Al-Qur’an adalah kitab
petunjuk yang bersifat umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat
teknis. Perintah shalat diulang berkali-kali, tetapi tata cara shalat tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Begitu juga tata cara puasa, zakat, dan haji. Lebih-lebih tata cara bernegara. Apa yang berasal
dari Nabi juga tidak semua berhubungan dengan agama. Hal-hal yang bersifat keseharian Nabi
seperti busana, pola makan, dan budaya Arab lain tidak mutlak diikuti. Yang wajib diikuti adalah
sunnah Nabi yang bersifat agama. Yang harus diteladani adalah akhlaknya, bukan ekspresi
budayanya. Hal-hal yang terkait urusan dunia, diserahkan kepada timbangan baik-buruk
umatnya.

Pedomannya jelas, yaitu hadis Nabi riwayat Muslim: “Saya ini manusia. Jika aku perintahkan
kalian dalam urusan agama, maka patuhilah! Namun, jika aku memerintahkan sesuatu
berdasarkan pendapatku, maka aku ini manusia biasa.” (HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudayj).
Dalam riwayat lain berbunyi: “Jika aku berasumsi, maka jangan kalian mengambilnya begitu
saja. Namun, jika aku berkata yang bersumber dari Allah swt, maka patuhilah karena aku tidak
pernah mendustakan Allah.” (HR. Muslim dari Abi Thalhah). Dalam riwayat lain berbunyi: “Kalian
lebih mengerti urusan dunia kalian.” (HR. Muslim dari Anas). Oleh Imam Nawâwi penulis Syarah
Muslim, rangkaian hadits ini dimasukkan dalam bab berjudul “Kewajiban mematuhi ucapan Nabi
yang bersifat syara’, bukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan dunia berdasarkan pendapat
pribadi” (lihat Sahîh Musim bi Syarh Nawâwi, juz 10, hal. 116-118).
Jika menyimak sîrah Nabi, akan banyak ditemukan fakta bahwa selain dalam urusan agama,
Nabi adalah pemimpin yang mendengar nasehat dan pendapat para sahabat. Pendapat Nabi
kadang dikritisi sahabatnya dan Nabi menerima kritik itu dan mengikutinya seperti dalam kasus
Hubâb ibn Mundzir terkait siasat Perang Badar (baca Sîrah Ibn Hisyâm, hal. 296). Ada juga
pendapat Nabi dikritisi sahabat, tetapi Nabi menolak kritik itu dan kemudian dikoreksi oleh Allah
yang membenarkan pendapat sahabat seperti dalam kasus Umar ibn Khattab RA dalam urusan
pampasan perang yang diabadikan dalam Surat al-Anfâl (ayat 67-68) dan dalam urusan
Abdullâh ibn Ubay ibn Salûl yang diabadikan dalam Surat at-Tawbah (ayat 84) dan Surat al-
Munâfiqûn (ayat 6)(lihat Tafsîr al-Qurthûby, juz 8, hal. 47 dan 200-201).

Dalil-dalil ini menegaskan, apa yang berasal dari Rasulullah ada yang bersifat agama ada yang
bersifat budaya, ada yang berdasarkan wahyu dan ada yang berdasarkan pendapat beliau
pribadi. Yang bersifat agama dan berdasarkan wahyu mutlak harus dipatuhi, yang bersifat
budaya dan pendapat pribadi tidak harus diikuti. Perspektif ini menjelaskan keharusan
membedakan agama dan budaya. Arabisasi tidak sama dengan Islamisasi, sebab Islam tidak
identik dengan Arab dan Arab tidak indikatif Islam. Mengenakan jubah, sorban, dan memelihara
jenggot kemudian merasa sudah lebih Islam ketimbang yang lain adalah keliru, karena hal itu
masuk rumpun budaya, bukan agama. Islam Nusantara mendukung pengamalan Islam dalam
ekspresi budaya lokal. Bid’ah hanya berlaku dalam lingkup ibadah mahdlah. Di luar
ibadah mahdlah, tidak ada bid’ah dalam pengertian kullu bid’atin dlalâlah (setiap bid’ah sesat).
Bid’ah dalam ibadah muthlaqah (ilmu, budaya, teknologi) justru harus digalakkan. Berdasarkan
hujjah ini, NU mengarifi slametan yang kemudian ditransformasi menjadi tahlilan. NU
mempertahankan bentuk, tetapi mengganti isi. Inilah cara dakwah Wali Songo, khususnya
Sunan Kalijogo, yang sangat canggih menjalankan substansialisasi Islam.

Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap kehadiran Islam di bumi
Nusantara melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Pendekatan
budaya ini membuat Islam bisa mendapat tempat dan proses Islamisasi berlangsung sangat
cepat. Pengaruh Hindu-Budha selama tiga setengah abad berhasil disisihkan dalam tempo
kurang dari sebad. Hasilnya, proses Islamisasi di Nusantara menjadi salah satu warisan
Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam yang datang dengan karakter damai ini,
yang mau bersanding dengan budaya lokal, melahirkan karakter Islam yang moderat, ramah,
dan toleran. Karakter ‘Islam ramah’ ini menjadi semakin relevan untuk disyukuri dan
dikembangkan di tengah ‘Islam marah’ yang sedang mengamuk Tunisia, mengoyak Mesir,
menghancurkan Libya, memecah Yaman, dan memporakporandakan Suriah, Irak, Palestina,
Afghanistan, Sudan, dan Somalia. Karena itu, tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia” semakin menemukan relevansi dan kesahihannya.

* Penulis adalah sekretaris jenderal PP ISNU


Oleh: M. Kholid Syeirazi
Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 telah usai. Tema Muktamar, “Meneguhkan
Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,” telah memantik pembicaraan hangat
dan, dalam beberapa hal, sengaja disalahpahami oleh mereka yang pahamnya salah. Mereka
membuat idiom tandingan: Mengislamkan Nusantara. Dalam struktur bahasa Indonesia,
<>menambahkan awalan ‘me’ dan akhiran ‘kan’ berfungsi, salah satunya, membentuk kata kerja
transitif bermakna “membuatnya jadi” seperti dalam kata “melebarkan,” artinya membuat sesuatu
jadi lebar. Dengan demikian, secara semantik, “mengislamkan Nusantara” berarti membuat
Nusantara menjadi Islam.

Sepintas kalimat ini tepat, karena tugas setiap Muslim adalah mendakwahkan Islam dan
menyampaikan risalah Nabi (ballighû ‘annî walaw âyat). Dulu, yang dilakukan Wali Songo juga
mengislamkan Nusantara. Namun, jika digali lebih dalam, idiom “Islam Nusantara” dan
“Mengislamkan Nusantara” berangkat dari dua pendekatan yang berbeda. Islam Nusantara
adalah pengakuan tentang basis sosial dan budaya pemeluk Islam di Nusantara. Islam
didakwahkan oleh para juru dakwah, kemudian diterima, diyakini, dan diamalkan dalam wadah
budaya pemeluknya yang khas. Budaya, sebagaimana dilakukan Wali Songo, dijadikan sebagai
instrumen dakwah dan sarana “menyusupkan” ajaran Islam secara bertahap. Kearifan dan
kesediaan Wali Songo menyampakan dakwah Islam dalam wadah budaya telah membuat
proses Islamisasi Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam
sejarah. Islam tidak datang melalui kampanye militer dan konflik kekerasan terhadap para
penganut agama dan budaya lokal. Islam tumbuh, tersebar, dan bersenyawa di bumi Nusantara
dengan karakter budayanya. Dengan cara seperti inilah dulu Islam berdialektika dengan budaya
Arab, tempat risalah Islam turun dan diajarkan Rasulullah. Beberapa bentuk tradisi Arab yang
baik dipertahakan, sebagian disyariatkan, sebagian diperbolehkan bukan sebagai syariat. Yang
tidak baik dikoreksi, digantikan dengan bentuk yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini
tercermin dari proses tasyri’ syariat shalat, puasa, haji, mu’âmalah, munâkahah, dll.

Para penolak Islam Nusantara, termasuk pengusung idiom “mengislamkan Nusantara,”


umumnya menolak dialektika Islam sebagai agama universal dengan budaya pemeluk Islam
yang partikular. Mereka ingin menjiplak persis apa yang berasal dari Rasulullah, baik agama
maupun budayanya. Islam sebagai agama dan tradisi Arab sebagai budaya hendak diboyong
semua sebagai ajaran yang berlaku universal. Cara pandang seperti ini cenderung ahistoris dan
anakronis.

Dalil-dalil Islam Nusantara

Pasti tidak cukup ruang untuk membeberkan semua dalil tentang kesahihan Islam Nusantara,
karena itu harus diringkas secara sederhana ke dalam tiga hal saja. Pertama, Islam Nusantara
lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya
manusia yang partikular. Ajaran tauhid, eskatologi, kenabian, akhlak, dan pokok-pokok syariat
adalah ajaran universal, tetapi pengamalannya selalu gabungan dari elemen universal dan
partikular. Universal karena Islam adalah agama samawi yang turun dari langit, partikular karena
pelaku agama adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang berbudaya. Untuk hal-hal
yang universal yang bersifat qath’i (kategoris), harus diterima apa adanya. Tetapi, untuk hal-hal
yang partikular yang bersifat dhonny (hipotetis), tidak harus dijiplak tanpa proses adaptasi.
Contoh, perintah shalat adalah universal, tetapi busana yang dikenakan adalah partikular. Shalat
mengenakan jubah plus sorban sama bobotnya dengan batik plus songkok, tergantung hati dan
kualitas khusyuknya. Perintah zakat adalah universal, tetapi jenis makanan pokok yang
dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah partikular. Korma atau gandum sama bobotnya dengan
beras, tergantung hati dan ikhlasnya. Perintah puasa adalah universal, tetapi soal menu buka
puasa adalah partikular. Berbuka dengan korma sama bobotnya dengan kolak pisang,
tergantung niat dan derajat halalnya. Haji adalah perintah universal, tetapi sarana menjalankan
ibadah haji adalah partikular. Berhaji mengendarai onta sama nilainya dengan naik pesawat atau
sarana transportasi lain, tergantung niat dan takwanya. Islam Nusantara memilah yang universal
(kulliyah) dengan yang partikular (juziyyah). Ajaran universal diterima apa adanya, sedangkan
yang partikular dikawinkan dengan ekspresi budaya lokal.

Kedua, ada sementara anggapan bahwa Islam adalah agama yang syumûl (komprehensif).
Semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam dan bisa dirujukkan kepada teks
Qur’an atau sunnah (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi). Karena itu, tidak usah menambah
atau mengurangi sebab tindakan itu berarti bid’ah. Asumsi ini tidak benar. Al-Qur’an adalah kitab
petunjuk yang bersifat umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat
teknis. Perintah shalat diulang berkali-kali, tetapi tata cara shalat tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Begitu juga tata cara puasa, zakat, dan haji. Lebih-lebih tata cara bernegara. Apa yang berasal
dari Nabi juga tidak semua berhubungan dengan agama. Hal-hal yang bersifat keseharian Nabi
seperti busana, pola makan, dan budaya Arab lain tidak mutlak diikuti. Yang wajib diikuti adalah
sunnah Nabi yang bersifat agama. Yang harus diteladani adalah akhlaknya, bukan ekspresi
budayanya. Hal-hal yang terkait urusan dunia, diserahkan kepada timbangan baik-buruk
umatnya.

Pedomannya jelas, yaitu hadis Nabi riwayat Muslim: “Saya ini manusia. Jika aku perintahkan
kalian dalam urusan agama, maka patuhilah! Namun, jika aku memerintahkan sesuatu
berdasarkan pendapatku, maka aku ini manusia biasa.” (HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudayj).
Dalam riwayat lain berbunyi: “Jika aku berasumsi, maka jangan kalian mengambilnya begitu
saja. Namun, jika aku berkata yang bersumber dari Allah swt, maka patuhilah karena aku tidak
pernah mendustakan Allah.” (HR. Muslim dari Abi Thalhah). Dalam riwayat lain berbunyi: “Kalian
lebih mengerti urusan dunia kalian.” (HR. Muslim dari Anas). Oleh Imam Nawâwi penulis Syarah
Muslim, rangkaian hadits ini dimasukkan dalam bab berjudul “Kewajiban mematuhi ucapan Nabi
yang bersifat syara’, bukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan dunia berdasarkan pendapat
pribadi” (lihat Sahîh Musim bi Syarh Nawâwi, juz 10, hal. 116-118).
Jika menyimak sîrah Nabi, akan banyak ditemukan fakta bahwa selain dalam urusan agama,
Nabi adalah pemimpin yang mendengar nasehat dan pendapat para sahabat. Pendapat Nabi
kadang dikritisi sahabatnya dan Nabi menerima kritik itu dan mengikutinya seperti dalam kasus
Hubâb ibn Mundzir terkait siasat Perang Badar (baca Sîrah Ibn Hisyâm, hal. 296). Ada juga
pendapat Nabi dikritisi sahabat, tetapi Nabi menolak kritik itu dan kemudian dikoreksi oleh Allah
yang membenarkan pendapat sahabat seperti dalam kasus Umar ibn Khattab RA dalam urusan
pampasan perang yang diabadikan dalam Surat al-Anfâl (ayat 67-68) dan dalam urusan
Abdullâh ibn Ubay ibn Salûl yang diabadikan dalam Surat at-Tawbah (ayat 84) dan Surat al-
Munâfiqûn (ayat 6)(lihat Tafsîr al-Qurthûby, juz 8, hal. 47 dan 200-201).

Dalil-dalil ini menegaskan, apa yang berasal dari Rasulullah ada yang bersifat agama ada yang
bersifat budaya, ada yang berdasarkan wahyu dan ada yang berdasarkan pendapat beliau
pribadi. Yang bersifat agama dan berdasarkan wahyu mutlak harus dipatuhi, yang bersifat
budaya dan pendapat pribadi tidak harus diikuti. Perspektif ini menjelaskan keharusan
membedakan agama dan budaya. Arabisasi tidak sama dengan Islamisasi, sebab Islam tidak
identik dengan Arab dan Arab tidak indikatif Islam. Mengenakan jubah, sorban, dan memelihara
jenggot kemudian merasa sudah lebih Islam ketimbang yang lain adalah keliru, karena hal itu
masuk rumpun budaya, bukan agama. Islam Nusantara mendukung pengamalan Islam dalam
ekspresi budaya lokal. Bid’ah hanya berlaku dalam lingkup ibadah mahdlah. Di luar
ibadah mahdlah, tidak ada bid’ah dalam pengertian kullu bid’atin dlalâlah (setiap bid’ah sesat).
Bid’ah dalam ibadah muthlaqah (ilmu, budaya, teknologi) justru harus digalakkan. Berdasarkan
hujjah ini, NU mengarifi slametan yang kemudian ditransformasi menjadi tahlilan. NU
mempertahankan bentuk, tetapi mengganti isi. Inilah cara dakwah Wali Songo, khususnya
Sunan Kalijogo, yang sangat canggih menjalankan substansialisasi Islam.

Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap kehadiran Islam di bumi
Nusantara melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Pendekatan
budaya ini membuat Islam bisa mendapat tempat dan proses Islamisasi berlangsung sangat
cepat. Pengaruh Hindu-Budha selama tiga setengah abad berhasil disisihkan dalam tempo
kurang dari sebad. Hasilnya, proses Islamisasi di Nusantara menjadi salah satu warisan
Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam yang datang dengan karakter damai ini,
yang mau bersanding dengan budaya lokal, melahirkan karakter Islam yang moderat, ramah,
dan toleran. Karakter ‘Islam ramah’ ini menjadi semakin relevan untuk disyukuri dan
dikembangkan di tengah ‘Islam marah’ yang sedang mengamuk Tunisia, mengoyak Mesir,
menghancurkan Libya, memecah Yaman, dan memporakporandakan Suriah, Irak, Palestina,
Afghanistan, Sudan, dan Somalia. Karena itu, tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia” semakin menemukan relevansi dan kesahihannya.

Anda mungkin juga menyukai