Anda di halaman 1dari 14

AKHLAK MENURUT KAUM SUFI

Dosen Pengampu : Hermansyah T , M.PD

Kelas : H / Semester 1

Kelompok 13

Di susun oleh :

Anisa Tri Cahyati 2011100268

Hady Pratama 2011100433

Yuliana 2011100

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI REDEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji tuhan kehadirat allah swt karena berkat rahmat dan hidayah nya kami dapat
menyelesaikan makalah kami mengenai “ Akhlak menurut kaum Sufi “ . Penulisan makalah
ini. Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak dan tasawuf .

Selain itu juga makalah ini bertujuan untuk menambah wawasam dan sebagai bahan
pembelajaran dalam perkuliahan, makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapat dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk
itu kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu membuat
penyusunan dalam menyelesaikan makalah ini.

Terlepas dari ini semua, kami menyadari sebagai manusia biasa umumnya dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, bersebrangan dengan hal
tersebut saran dan kritik sangat berharga demi kesempurnaan makalah ini.Sehingga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis.

Bandar Lampung, 19 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………. I

Daftar Isi….…………………………………………………………………. Ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang…………………………………………….………….. 1

1.2    Rumusan Masalah………………………………………………..…… 2

1.3    Tujuan………………………………………………………………… 2

BAB II ISI

2.1  Fungsi ………………………………………………………….………. 3

2.2  Budaya Nasional Indonesia ……………………………..................….. 4

2.3  IdentitasNasional……………………………….................…….…….. 5

BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan……..……………………………………………………… 6

Daftar Pustaka………………………………………………………………. 7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sikap istimewa kaum sufi adalah dalam memberikan makna terhadap institusi-institusi

Islam. Ajaran Islam mereka pandang dari dua aspek, aspek lahiriyah-seremonial dan

aspek batainiyah-spiritual, atau aspek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengalaman

aspek dalamnya yang paling utama tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasi

untuk membersihkan jiwa. Tanggapan peenungan mereka lebih berorientasi pada aspek

dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan pengaruh

Tuhan dan bebas dari egoisme.

Kultur spiritual itulah yang disebut dengan tasawuf yang ditempuh oleh kaum sufi

sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dan mengontrol diri, kesetiaan dan realisasi

kehadiran Tuhan yang tetap dalam segala perilaku dan perasaan seseorang.

Dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial

yang pelik. Banyak yang mengatakan bahwa dalam menghadapi materialisme yang

melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Di sini sufi melalui

jalan tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peran

penting. Tetapi yang perlu ditekankan thariqat dalam diri para pengikutnya adalah

penyucian diri dengan  pembentukan akhlak mulia di samping kerohanian dengan tidak

mengabaikan kehidupan keduniaan.


1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kaum sufi terhadap akhlak ?


2. Bagaimana akhlak akhlak kaum sufi ?

1.3 Tujuan Masalah

1.  Untuk mengetahui perhatian kaum sufi terhadap akhlak.

2. Untuk mengetahui akhlak-akhlak kaum sufi.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perngertian Kaum Sufi terhadap Akhlak

       Bisyr ibn al-Haris mengatakan: “Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah”.

Yang lain mengatakan: “Sufi adalah orang tulus terhadap Allah dan mendapat rahmat tulus

pula daripada-Nya[1]. 

       Nama Shufi berlaku kepada pria atau wanita yang telah menyucikan hatinya dengan

mengingat Allah (dzikrullah), menempuh jalan kembali pada Allah, dan sampai pada

pengetahuan hakiki (ma’rifah). Ada banyak pencari hikmah dan kebenaran, akan tetapi hanya

oorang-orang sadar yang mencari Allah semata yang pantas disebut shufi. Sebaliknya orang

yang pantas disebut dengan nama itu justru tak pernah memandang dirinya berhak beroleh

kehormatan demikian. Karena dia telah sampai pada tingkatan tinggi dalam pengetahuan

tentang Allah, maka dia tahu dengan yakin dan pasti bahwa “hamba tetaplah hamba dan
Tuhan tetaplah Tuhan”[2].

       Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat

antusias untuk meneladani  Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia. Kaum sufi merupakan golongan manusia yang paling

besar bagiannya dalam meneladani Rasulullah SAW. dan paling berkewajiban melestarikan

sunnah-sunnahnya serta berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah SAW. anakku, jika kau

mampu arungi pagi dan petang tanpa berbuat kecurangan dalam hatimu terhadap siapapun

maka lakukanlah. Ia kemudian berkata:”Anakku, itu termasuk sunnahku. Barangsiapa

melestarikan sunnah atau tradisiku berarti ia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku

maka ia akan bersamaku di surga[3].


2.2  Akhlak-akhlak Kaum Sufi

       Semua kaum sufi sependapat, bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan

seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Oleh karena itu jiwa manusia

merupakan refleksi atau pancaran dari zat Allah yang suci, maka segala sesuatu itu harus

sempurna (perfection) suci, sekalipun tingkat dan kesucian dan kesempurnaan itu beervariasi

menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya[11].

       Dalam pandangan kaum sufi, ternyata manusia cenderung kepada hawa nafsunya.

Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang

mengendalikan hawa nafsunya[12].

1.  Tawadhu

Salah satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu.

Mereka antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan
Rasulullah SAW. yang merupakan model utama kaum mukmin dalam masalah

tawadhu. Dalam menjalani perilaku tawadhu kaum sufi menerapkan adab-adab al-

Qur’an dan mengimplementasikan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung dalam

ayat:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-

orang yang beriman”[13]. (QS. Asy-Syuara/26: 215)


Rasulullah SAW. telah memberi arahan agar bersifat moderat dalam bertawadhu,

yaitu tidak berlebih-lebihan dalam merendahkan diri yang bisa membuat pelakunya

direndahkan atau dilecehkan. Beliau bersabda: ”Berbahagialah orang yang

merendahkan diri tanpa membuatnya  terlecehkan dan orang yang menghinakan diri

tanpa membuatnya sengsara.

2. Al-Mudarah (lemah lembut)

Al-mudarah berarti mengendalikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain dan

ketika disakiti oleh mereka. Dalam hal ini, kaum sufi meneladani Rasulullah SAW.

yang diriwayatkan tidak pernah menyakiti seorang pun.

Kaum sufi menerapkan perilaku lemah lembut dalam lkehidupan pribadi dan publik 

mereka, atau dalam hubungan mereka dengan keluarga dan masyarakat.

Dengan interaksi santun terhadap manusia, mereka berarti cenderung terlibat dalam

masyarakat dan tidak mengucilkan diri dari pergaulan sosial, meskipun harus

bersinggungan dengan sebagian orang yang buruk perangainya[15].

3. Pemaaf
Kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang

berbuat jahat terhadap mereka. Dalam hal ini, mereka terinspirasi oleh Rasulullah

SAW. yang mewartakan bahwa sikap pemaaf termasuk akhlak yang mulia.

Sikap pemaaf juga mereka aktualisasikan dengan membalas kejahatan orang dengan

berbuat baik kepadanya sebab itulah budi dalam arti yang sesungguhnya, sedangkan

jika tanpa itu maka ia merupakan bentuk interaksi yang mirip dengan praktik dagang

(almutaajarah)[16].
4.  Tobat

Tobat adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi.

Langkah pertama adalah tobat dari dosa kecil dan dosa besar. Tobat yang sebenarnya

dalam dunia tasawuf adalah lupa kepada segala hal kecuali kepada Allah[17].

5.  Zuhud

Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan

dunia. Ini merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual[18].

Untuk memantapkan tobat calon sufi memasuki station zuhud. Zuhud merupakan

langkah awal dalam perjalanan untuk menuju kehidupan seorang sufi.

6. Wara

Wara yaitu meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat subhat (keragu-

raguan) tentang halalnya sesuatu. Dalam dunia tasawuf, kalau seseorang telah

mencapai wara, maka tangannya tak bisa diulurkan untuk mengambil yang di

dalamnya terdapat subhat.

7. Kefakir

Kefakiran dalam istilah sufi adalah tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada
pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan

kewajiban, bahkan tidak meminta kendatipun tak ada pada diri kita

8. Sabar

Sabar dalam menjalankan perintah-perintah, dalam menjauhi larangan-larangan dan

menerima musibah, percobaan dan ujian yang ditimpakan-Nya seraya menunggu

datangnya pertolongan Allah.

9. Tawakal

Tawakal yaitu berserah diri pada Allah. Sikap tawakal kaum sufi ialah menerima

pemberian dengan rasa syukur, kalau tidak dapat apa-apa bersikap sabar dan

menyerah kepada kada dan kadar Allah.


10. Kerelaan

Ridha atau kerelaan yaitu tidak menentang terhadap kada dan kadar Allah, melainkan

menerima dengan senang hati. Karena itu seorang sufi akan merasa senang baik

ketika menerima nikmat maupun ketika menerima malapetaka.

11. Mahabbah (cinta)

Yang dimaksud di sini adalah cinta kepada Allah yang ditampilkan dalam bentuk

kepatuhan tanpa reserve, penyerahan diri secara total, dan pengosongan hati dari

segala sesuatu kecuali yang dikasihi, yaitu Allah.

Hati yang mahabbah dipenuhi dengan cinta sehingga tidak ada tempat untuk benci

kepada apa dan siapapun. Ia mencintai Tuhan dan segenap makhluk-Nya. Al-Asqalani

menjelaskan bahwa mahbbah (cinta kepada Allah) itu  dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu[19]:

a.   Mahabbah fardhu, yaitu mahabbah yang mendorong untuk melakukan perintah

perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

b. Mahabbah sunnah, yaitu mahabbah yang mendorong untuk membiasakan ibadah-


ibadah sunnah dan menjauhi perkara-perkara yang shubhat.

12. Makrifah

Makrifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat

Tuhan. Di station ini telah dekat sekali dengan Tuhan, tetapi ia belum puas dengan

berhadapan, ingin lebih dekat lagi dan bersatu  Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan

menurut kaum sufi ada tiga macam, yaitu:

a.  Pengetahuan awam, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan syahadat.

b. Pengetahuan ulama, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan akal.

c.  Pengetahuan sufi, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.


Ciri-ciri pengetahuan ma’rifat yang diperoleh seorang sufi antara lain[20]:

a.    Ilmu itu datang lewat cahaya Ilahi yang mengejawantah dalam diri manusia,

sehingga terbukalah segala hijab yang selama ini menutup, yang nampak adalah

kebenaran Ilahi;

b.   Ilmu ini tidak terjangkau oleh rasio, karena ilmu ini selain tidak rasional juga rasio

tidak mampu mengkajinya;

c.    Ilmu itu hanya datang pada hati yang telah bersih (qalbun salim), yang hanya

diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang terpilih;

d.   Tidak seperti pengetahuan spekulatif yang melahirkan kata-kata, ilmu ma’rifat

bersifat pasti dan haqq al-yaqin; dan

e.    Memiliki kemiripan dengan ilmu pengetahuan Tuhan karena ia mampu

menyingkap rahasia Tuhan.

Melalui ilmu ini para sufi memperoleh hakikat kesempurnaan ilmu tentang dirinya,

diri-Nya, dan hakikat alam semesta (hakikat makrokosmos dan mikrokosmos), dan

inilah citra sang insan kamil (manusia sempurna) yang diidealkan banyak orang.

13. Al-Fana wal Baqa

Sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan, terlebih dahulu ia harus menghancurkan

dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar

akan dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran itu

disebut fana. Penghancuran dalam istilah sufi selalu diiringi dengan baqa.

Fana yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya perasaan dan

kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau sufi telah mencapai fana an

nafs, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi),

maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu ia dapatlah bersama

dengan Tuhan.
14. Al-ittihad

Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggallah kesadaran tentang Tuhan, ia

pun sampai ke tingkat ittihad, yaitu satu tingkat tasawuf di mana seorang sufi telah

merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan

dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainnya

dengan kata-kata: wahai aku.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat antusias

untuk meneladani  Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk menyempurnakan

akhlak yang mulia.

2.  Akhlak-akhlak kaum sufi, di antaranya: tawadhu, al-mudarah (lemah lembut), pemaaf, tobat,

zuhud, wara, kefakir, sabar, tawakal, kerelaan, mahabbah (cinta), makrifah, al fana wal baqa,

dan al-ittihad

3.2 SARAN

       Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah. Untuk itu, sudah sepantasnya kita

semua menjadi orang yang memiliki akhlak-akhlak seperti kaum sufi agar dapat merasakan

kehadiran Allah serta merasakan kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat setelah  kembali

kepada-Nya.
Demikianlah Makalah Ini Kami Susun, Semoga Makalah Ini Bermanfaat Bagi Para Pembaca.
Dalam Penulisan Ini Kami Sadari Masih Banyak Kekurangan, Saran Dan Kritik Yang
Membangun Sangat Kami Harapkan Untuk Menyempurnakan Makalah Kami Ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://firmansyam22.blogspot.com/2015/11/makalah-akhlak-akhlak-kaum-
sufi.html

Anda mungkin juga menyukai