Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah “Sosiologi Dakwah”
Dosen Pengampu :
Ahmad Lukman Fahmi, LC, MA.
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah merupakan fardu kifayah jika dilakukan di negara-negara yang ada
para pendakwah telah menegakkannya. Karena setiap negara atau wilayah
membutuhkan dakwah secara kontinyu, maka dalam keadaan seperti ini, dakwah
menjadi fardu kifayah, yaitu apabila telah dilakukan oleh sekelompok orang, beban
kewajiban itu gugur dari yang lain. Pada saat itu, dakwah bagi yang lain menjadi sunah
muakadah dan merupakan amal saleh. Dakwah yang dilakukan oleh para pendakwah
memiliki tujuantujuan yang ingin dicapai sesuai dengan petunjuk al-Quran dan hadis.
Secara umum dakwah bertujuan agar manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan
di akhirat kelak.
Berdakwah tidak mesti disampaikan melalui mimbar, ada kalanya dakwah juga
memerhatikan kebutuhan sasaran dakwahnya (mad’u), dengan istilah lain selain
meningkatkan kualitas keimanan, dakwah juga diharapkan dapat memperbaiki kualitas
hidup umat yang didakwahi, karena sasaran dakwah memiliki problem yang beragam.
Dari sisi geografis, sasaran dakwah ada yang berdomisili di perkotaan maupun
pedesaan. Semisal berdakwah di pedesaan, maka para pendakwah/dai mesti
mengetahui budaya, adat istiadat, dan tradisi yang berlaku di tempat tersebut. maka dari
itu, makalah ini ditulis untuk membahas terkait dinamika dan karakteristik masyarakat
pedesaan, semarak dakwah di pedesaan dan pendekatan dakwah tradisional.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik budaya masyarakat pedesaan?
2. Bagaimana semarak dakwah di pedesaan?
3. Bagaimana pendekatan dakwah tradisional?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik budaya masyarakat pedesaan.
2. Untuk mengetahui semarak dakwah di pedesaan.
3. Untuk mengetahui pendekatan dakwah tradisional.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Adon Nasrullah Jamaludin, “Sosiologi Perdesaaan”, 25-26.
2
Ibid,26-27.
f. Keterbukaan dan keterlibatan yang sangat erat dengan permasalahan rohani
sangat kental.
g. Ada sebagian masyarakat yang sangat meyakini nilai-nilai yang bersifat
mistis sehingga tidak menerima hal-hal yang bersifat rasional dan kurang
kritis.
Selain yang telah dijelaskan di atas, masyarakat perdesaan khususnya para
orang tua memegang peranan penting dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Warga akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan
yang dihadapi. Kesukarannya adalah para golongan tua itu memiliki pandangan
yang didasarkan pada tradisi yang kuat sehingga sukar untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang nyata. Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat
kuat sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar untuk dilaksanakan. Itulah
sebabnya mengapa sulit sekali mengubah jalan pikiran yang sosial ke arah jalan
pikiran yang ekonomis.3
Masyarakat perdesaan mempunyai sifat yang kaku tetapi sangatlah ramah dan
biasanya adat dan kepercayaan masyarakat sekitar yang menyebabkan masyarakat
perdesaan masih kaku, namun asalkan tidak melanggar hukum adat dan
kepercayaan maka masyarakat perdesaan adalah masyarakat yang ramah.4 Pada
hakikatnya, masyarakat perdesaan adalah masyarakat pendukung seperti sebagai
petani yang menyiapkan bahan pangan, sebagai pekerjaan yang biasanya hanya
bersifat pendukung tetapi terlepas dari itu masyarakat perdesaan banyak juga yang
sudah berpikir maju dan keluar dari hakikat itu.
Karakteristik dan ciri khas masyarakat perdesaan tersebut menjadi tantangan
dan sekaligus menjadi bahan pemikiran bagi para pendakwah untuk memikirkan
metode yang tepat untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat ke arah
yang lebih berkualitas dan bermartabat. Memberdayakan masyarakat dengan aset
yang dimiliki tidak semudah yang dibayangkan. Diperlukan keseriusan, ketelatenan
dan kesabaran dalam memberikan pengarahan dan masukan. Para pendakwah mesti
mengidentifikasi permasalahan yang timbul dan dialami oleh para warga perdesaan
untuk kemudian mencarikan solusi yang tepat secara bermusyawarah dengan para
warga.
3
Soerjono Soekanto & Budi Sulistyowati,” Sosiologi Suatu Pengantar”, 137-138.
4
Syamsuddin, ”Pengantar Sosiologi Dakwah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), 226.
B. Semarak Dakwah Di Pedesaan.
Islam dalam pengertiannya yang esensial adalah sebuah sikap hidup yang
berpihak kepada kebenaran dan keluhuran budi pekerti (akhlak al-karimah).
Sebagai pengusung kebenaran dan nilai-nilai universal, Islam dengan sendirinya
berwatak inklusif dan terbuka, serta diharapkan menjadi milik semua komunitas
umat manusia di muka bumi. Inilah salah satu makna dari universalisme Islam yang
ternyata tak hanya bersifat keluar, tetapi juga ke dalam.5
Islam yang bersifat universal ini harus terus ditumbuhkan dan dikembangkan
dimanapun tempat dan waktunya, termasuk di pedesaan, yaitu melalui dakwah. Ada
tiga aspek pertumbuhan dakwah agar bisa menunaikan misi besar kekhalifahan di
muka bumi. Pertama, pertumbuhan kualitas. Yaitu bertambahnya jumlah aktivis
gerakan dakwah dengan berbagai potensi yang dimiliki. Kedua, pertumbuhan
kualitas personal maupun struktural gerakan dakwah. Dalam skala personal,
hendaknya setiap aktivis gerakan dakwah senantiasa mengupayakan peningkatan
berbagai segi kualitas pribadinya, seperti pertumbuhan kualitas spiritual, kualitas
moral, kualitas intelektual dan kualitas amal. Sedangkan dalam skala struktural
diharapkan adanya peningkatan soliditas struktur gerakan dan kualitas kinerja
organisatoris. Ketiga, pertumbuhan kapasitas. Yaitu pertumbuhan kemampuan
gerakan dakwah untuk menguasai basis sosial di masyarakat. Basis sosial ini harus
dibentuk dan dikuasai, justru karena dakwah mengemban misi untuk
membahasabumikan Islam. Dakwah dalam skala yang amat luas, tanpa terbatas
ruang-ruang dan dinding-dinding. Untuk itu berbagai potensi masyarakat perlu
mendapat sentuhan agar mereka pada akhirnya akan memberikan dukungan
terhadap dakwah Islam.6
Seperti diketahui bahwa masyarakat desa di Indonesia dapat dipandang sebagai
suatu bentuk masyarakat yang ekonomis terbelakang dan harus dikembangkan
dengan berbagai-bagai cara. Dalam hal ini mengadakan sistem-sistem perangsang
yang akan menarik aktivitas warga desa adalah amat perlu. Masyarakat desa tidak
usah ditarik atau didorong untuk bekerja keras, hanya cara-cara dan irama yang
harus dipelihara dengan disiplin yang tegang, agar tenaga yang dikeluarkan itu
dapat seirama dengan berjalannya mesin dengan memberi hasil seefektif-
efektifnya. Walaupun orang desa itu bisa dan biasa bekerja keras, tetapi kalau ia
5
A. Ilyas Ismail & Hotman Prio, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban
Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), 15.
6
Cahyadi Takariawan, Prinsip-Prinsip Dakwah, (Yogyakarta: Izzan Pustaka, 2005), 39-41.
harus bekerja dalam sistem-sistem produksi modern, ia harus banyak mengubah
adat dan kebiasaan cara bekerjanya. Dengan tradisi, adat istiadat dan karakteristik
yang dimiliki oleh pedesaan maka hal itu bisa dijadikan sebagai sarana dakwah bagi
para dai yang tinggal di pedesaan ataupun ingin berdakwah di lokasi tersebut. Para
dai sebaiknya melihat potensi yang dimiliki desa untuk kemudian dikembangkan
sesuai dengan kondisi yang ada. Masyarakat pedesaan penting untuk diberdayakan
melalui beragam metode pengembangan dakwah.7
Jadi ada beberapa karakteristik masyarakat pedesaan seperti masyarakatnya
hidup dalam suasana tolong-menolong, gotong-royong, musyawarah, memiliki
kepedulian terhadap sesama dan sebagainya. Dengan karakteristik yang dimilikinya
itu merupakan modal penting dalam melakukan dakwah di pedesaan. Disamping
karakteristik yang dimilikinya ada beberapa faktor yang menyebabkan pedesaan
dijadikan sebagai lokasi untuk pengembangan dakwah. Beberapa diantaranya
adalah alasan demografis, alasan sosio-kultural, alasan politis, dan alasan religius.
Adapun faktor-faktor yang menjadikan semarak dakwah di pedesaan dan desa
sebagai tempat pemberdayaan dan pengembangan dakwah diantaranya adalah:8
Pertama, alasan demografis (kependudukan). Rakyat Indonesia sebagian besar,
lebih kurang 80% hidup dan bertempat tinggal di pedesaan. Selebihnya berdomisili
di kota-kota yang jumlahnya lebih kurang 200 kota di seluruh Indonesia. Ditinjau
dari segi demografi ini maka desa merupakan “gudang” kekuatan yang perlu digali
dan dimobilisir untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan
masyarakat desa berarti berusaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
pedesaan dengan jumlah penduduk sekitar 80%.
Kedua, alasan sosio-kultural. Bagaimanapun juga desa masih dianggap sebagai
standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli
berupa gotong royong, tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, kesenian,
kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat, kehidupan moral susila dan lain-lain.
Kebudayaan baru yang datang dari luar (Barat) biasanya diperbandingkan dengan
kebudayaan asli yang pada umumnya masih berlaku di pedesaan, untuk mengkaji
madharat dan manfaatnya kebudayaan baru tersebut. Pemberdayaan masyarakat
7
Ansori Hidayat, “DAKWAH PADA MASYARAKAT PEDESAAN DALAM BINGKAI PSIKOLOGI
DAN STRATEGI DAKWAH,” Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam 1, no. 2 (December 22, 2019): 175,
https://doi.org/10.32332/jbpi.v1i2.1716.
8
Ahmad Zaini, “Upaya Pengembangan Metode Dakwah di Pedesaan,” COMMUNITY
DEVELOPMENT 1 (2016).
desa hendaknya menggali dan mengembangkan kebudayaan dan sistem pergaulan
hidup di pedesaan tersebut atau dengan istilah harus memerhatikan kearifan lokal
di desa yang bersangkutan.
Ketiga, alasan politis. Memberdayakan desa berarti berusaha memenuhi aspirasi
(harapan dan keinginan) masyarakat desa sehingga menjaga kestabilan dan
keutuhan iklim politik yang sehat. Bahwa masyarakat desa telah memegang
peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan negara. Di samping
itu, bagaimanapun juga desa adalah gudang kebutuhan hidup masyarakat kota,
terutama kebutuhan pangan. Pemberdayaan masyarakat desa berarti pula hasilnya
akan dinikmati oleh masyarakat kota.
Keempat, alasan religius. Surat al-A’raf ayat 96 mengisyaratkan pemberdayaan
masyarakat desa. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”. Di samping
itu patut dikemukakan untuk disadari bahwa penduduk pedesaan itu pada umumnya
beragama Islam.
9
Akhmad Sukardi, jurnal “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan”, Al-Munzir, 2015, vol. 8, no. 2, 137.
10
Akhmad Sukardi, jurnal “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan”, Al-Munzir, 2015, vol. 8, no. 2, 138.
1. Metode Kontak Langsung
Maksud metode ini adalah kontak langsung (direck contact), hubungan
yang langsung berhadapan (face to face relation) dengan orang-orang desa
secara individual maupun dalam kelompok. Kontak langsung ini
dilaksanakan agar dapat menimbulkan minat penduduk desa terhadap
problem-problem desa yang baru dan menjadikan mereka berfikir bahwa
adalah hal yang baik bila mereka mulai mencoba mengerjakan
pemecahannya.
Tujuan yang ingin dicapai dalam mempergunakan metode ini adalah:
pertama, menemukan kepada siapa orang-orang desa menganggap
pemimpin serta apa alasan dan tujuannya. Kedua, bertujuan untuk
menjelaskan program pembangunan masyarakat yang digariskan oleh
pemerintah. Ketiga, ia bertujuan menemukan minat orang-orang desa.
Keempat, bertujuan belajar dari orang-orang desa apa yang mereka anggap
sebagai masalah-masalahnya dan bagaimana perhatian mereka untuk
mengatasinya.11
2. Metode Demonstrasi
Secara sederhana dapat diartikan bahwa metode demonstrasi adalah
metode yang dilakukan dengan cara memperlihatkan suatu contoh, baik
berupa benda, peristiwa, perbuatan dan sebagainya. Artinya suatu metode
dakwah, di mana seorang da’i memperlihatkan sesuatu atau mementaskan
sesuatu terhadap sasarannya (massa), dalam rangka mencapai tujuan
dakwah yang ia inginkan.
Metode demonstrasi ini dianggap metode yang paling penting dan
ampuh di dalam merobah praktek-praktek tradisional orang desa yang
dalam beberapa hal mengenai demonstrasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dari sudut pandangan para muballigh hubungan kerja yang terus
menerus dengan orang-orang desa adalah sangat penting bagi
berhasilnya saran-saran yang dikemukakan petugas dakwah, karena
yang ditunjukkan dalam metode demonstrasi ini adalah hasil.
b. Metode demonstrasi dapat memperkuat penerimaan dan keyakinan,
karena apa yang didemonstrasikan adalah hasilnya.
11
Akhmad Sukardi, jurnal “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan”, Al-Munzir, 2015, vol. 8, no. 2, 138.
c. Para petugas dakwah bekerja sama dengan penduduk secara intensif
dalam melaksanakan demonstrasi. Dalam kerja sama itulah akan
menemukan perbaikan dan penesuaia yang diperlukan sebelum
memutuskan rekomendasi agar semua penduduk mengadopsi hasil dari
hasil kerja sama tersebut.
d. Bila petugas dakwah bekerja prosesnya secara step by step dengan
beberapa orang desa dalam mengorganisir dan melaksanakan apa yang
direkomendasikan, mereka akan mengetahui langkah-langkah program
pendidikan yang harus diselenggarakan sebagai bimbingan kepada
masyarakat dalam penerimaan rekomendasi.
12
Akhmad Sukardi, jurnal “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan”, Al-Munzir, 2015, vol. 8, no. 2, 139-
140.
13
Akhmad Sukardi, jurnal “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan”, Al-Munzir, 2015, vol. 8, no. 2, 140-
141.
beberapa hikmah diantaranya menambah dan menguatkan tali
persaudaraan, kadang-kadang bisa membicarakan masalah ekonomi.
b. Silaturrahmi adalah suatu kewajiban ummat Islam, sehingga metode
dakwah, sehingga metode dakwah ini di samping merupakan aktivitas
dakwah, sekaligus melaksanakan kewajiban.
c. Mudah dilaksanakan dan tidak memerlukan biaya banyak.
14
Akhmad Sukardi, jurnal “Dakwah Pada Masyarakat Pedesaan”, Al-Munzir, 2015, vol. 8, no. 2, 141-
142.
BAB 1V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Wilayah perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan perkotaan, baik
dari segi jumlah penduduk, adat istiadat, tradisi dan budaya yang melingkupinya.
Masyarakat perdesaan mempunyai sifat yang kaku tetapi sangatlah ramah dan biasanya
adat dan kepercayaan masyarakat sekitar yang menyebabkan masyarakat perdesaan
masih kaku, namun asalkan tidak melanggar hukum adat dan kepercayaan maka
masyarakat perdesaan adalah masyarakat yang ramah. Karakteristik dan ciri khas
masyarakat perdesaan tersebut menjadi tantangan dan sekaligus menjadi bahan
pemikiran bagi para pendakwah untuk memikirkan metode yang tepat untuk
mengembangkan dan memberdayakan masyarakat ke arah yang lebih berkualitas dan
bermartabat.
Islam yang bersifat universal ini harus terus ditumbuhkan dan dikembangkan
dimanapun tempat dan waktunya, termasuk di pedesaan, yaitu melalui dakwah. Ada
tiga aspek pertumbuhan dakwah agar bisa menunaikan misi besar kekhalifahan di muka
bumi. Pertama, pertumbuhan kualitas. Kedua, pertumbuhan kualitas personal maupun
struktural gerakan dakwah. Ketiga, pertumbuhan kapasitas.
Sebelum menentukan dan menggunakan metode dakwah, maka terlebih dahulu
petugas dakwah harus menyelidiki terlebih dahulu masyarakat yang kita akan hadapi
terutama pada karakter masyarakat pedesaan. Berdasarkan ciri dan karakter masyarakat
pedesaan tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa model metode pengembangan
dakwah di masyarakat pedesaan, yaitu sebagai berikut: a. metode kontak langsung, b.
metode demonstrasi, c. bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin desa, dan d.
mengunjungi rumah.
DAFTAR PUSTAKA