Anda di halaman 1dari 21

PENGENDALIAN INTERNAL, PENGAWASAN SYARIAH DAN AUDIT

SYARIAH

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

Dosen Pengampu:
Farida, S.E., M.Si.Ak, CA

Disusun Oleh :
Geulis Rahmawati P. 16.0102.0076
Susmita Zaen 16.0102.0096
Rahma Maarifah 16.0102.0126

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2019
PENGENDALIAN INTERNAL

Pengendalian dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus,
mengoreksi yang salah, dan membenarkan yang hak. Pengawasan (control) dalam ajaran
Islam terbagi menjadi dua hal. Pertama, control yang berasal dari diri sendiri, yang
bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Seorang yang yakin bahwa Allah
pasti mengawasi hamba-Nya, ia akan bertindak hati-hati.Kedua, pengawasan akan lebih
efektif jika sistem pengawasan itu dapat terdiri atas mekanisme pengawasan dari pemimpin
yang berkaitan dengan penyelesaian tugas yang telah didelegasikan, kesesuaian antara
penyelesaian tugas dan perencanaan tugas.
Pengendalian yang baik adalah yang telah built in ketika menyusun sebuah
program. Dalam menyusun program, harus ada control di dalamnya. Tujuannya adalah
seseorang yang melakukan sebuah pekerjaan merasa bahwa pekerjaanya itu diperhatikan
oleh atasan, bukan pekerjaan yang tidak diacuhkan atau yang dianggap enteng. Oleh karena
itu, pengawasan terbaik adalah pengawasan yang dibangun dari dalam diri orang yang
diawasi dan dari sistem pengawasan yang baik. Sistem pengendalian yang baik tidak lepas
dari punishment dan reward.

A. Pengendalian Internal dalam Organisasi

Paradigma audit intern yang fokus pada observasi dan hitungan


(reperformance). Paradigma kedua dikenalkan oleh Brink pada tahun 1941 (dalam
McNamee, 1998) bahwa auditor intern fokus pada kontral. Paradigma ketiga didasarkan
pada audit proses bisnis melalui focus pada risiko. Paradigma yang tidak cocok akan
menimbulkan ketidakefektifan audit intern dalam organisasi. Dari kedua hal yang
dinyatakan oleh McNamee dan COSO dapat disimpulkan bahwa pengendalian intern
merupakan proses yang melibatkan seluruh manajemen. Salah satu bagian manajemen
yang berperan memberikan masukan tentang jalannya pengendalian dalam perusahaan
adalah internal auditor.
1. Struktur organisasi dan control
Sebuah organisasi diciptakan untuk mencapai tujuan. Pendekatan
pencapaian tujuan (goal attainment approach) menyatakan bahwa keefektifan
sebuah organisasi harus dinilai sehubungan dengan pencapaian tujuan daripada
caranya. Bila dikaitkan dengan fungsi internal kontrol, maka fungsi internal auditor
adalah bagaimana dalam posisinya dalam organisasi dapat mencapai fungsi kontrol
yang efektif.
Internal auditor memainkan peran penting dalam membuat kesadaran yang
tinggi ata risiko dan kontrol dengan lebih memformalkan sistem manajemen risiko.
Perbedaan budaya perusahaan dipengaruhi oleh perbedaan bidang fungsional yang
ada dalam suatu perusahaan dan dengan adanya perbedaan posisi internal auditor
kemungkinan pula akan menimbulkan perbedaan dalam menyikapi aspek risiko
dalam internal kontrol.
2. Konflik peran (role conflict)
Dalam menjalankan tugasnya di lingkungan organisasi bank, internal auditor
akan berhubungan dengan bagian atau orang lain. Hubungan tersebut sangat
mungkin menimbulkan perbedaan-perbedaan mengarah pada konflik. Konflik yang
mungkin timbul dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi internal auditor adalah
konflik peran sendiri (Kahn, 1964 dalam Gibson, 1997). Konflik ini terja bila
persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan indvidu yang
menduduki posisi tersebut. Misalnya seorang auditor mengalami kesukaran untuk
bersikap apabila perusahaan menginginkan keutungan dengan menyogok lawan
bisnisnya. Karena dengan menyogok, perusahaan akan mendapatkan proyek.
Contoh konflik yang mungkin di bank adalah pemanfaatan dana bank yang
tidak semestinya. Definisi yane diberikan Arens (2002) mengenai kegiatan audit
intern adalah suatu kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan objektif
yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan memajukan kegiatan suatu
organisasi dengan membantu organisasi tersebut mencapai tujuannya. Kegiatan
audit intern meliputi penilalan dan peningkatan efektivitas manajemen risiko, dan
pengendalian perusahaan. Dalam pengelolaan bisnis terdapat tiga tujuan (Sawyer,
200S) yang meliputi operations, financial reporting dan compliance.
3. Proposisi
Hasil riset dari McNamee (1998) dan KPMG (2002, www.kpmg.com) di
delapan negara di eropa menunjukkan bahwa pemahaman atas risiko memberikan
dampak pada efektivitas fungsi auditor intern dan reputasi perusahaan. Peningkatan
reputasi dan efektivitas memerlukan pemahaman auditor intern yang baik tentang
manajemen risiko Melalui aktivitas-aktivitas pengawasan dan pengendalian risiko
bisnis, auditor intern berkontribusi berkontribusi pada efektivitas pelaksanaan
corporate governance dalam organisasi. Aktivitas tersebut melingkupi seluruh
manajemen yang teradministrasi dan prosedur-prosedur untuk mengontrol resiko
dan mengawasi pelaksanaan operasional organisasi.
B. Landasan Koreksi dalam Islam
Sebuah koreksi terhadap suatu kesalahan dalam Islam didasarkan atas tiga dasar, yaitu:
1. Tawa shaubil haqqi—saling menasihati atas dasar kebenaran dan norma yang jelas.
Tidak mungkin sebuah pengendalian akan berlangsung dengan baik, tanpa norma
yang jelas. Norma dan etika harus jelas, tidak bersifat individual, tetapi harus
disepakati bersama dengan aturan-aturan yang jelas.
2. Tawa shaubis shabri—saling enasihati atas dasar kesabaran. Pada umumnya
seorang manusia sering mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan. Oleh karena
itu perlu berwasiat dengan kesabaran.
3. Tawa shaubil marhamah—saling menasihati atas dasar kasih saying. Hal ini
ditetapkan dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Balad ayat 1, yang artinya adalah saling
berwasiat atas dasar kasing saying. Tujuan melakukan pengawasan, pengendalian
dan koreksi adalah mencegah seseorang terjerumus pada sesuatu yang salah. Tujuan
lainnya adalah agar kualitas kehidupan terus meningkat.
C. Pengawasan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen yaitu fungsi controlling
disamping fungsi perencanaan (planning), Pengorganisasian (organizing), pengarahan
(actuating). Pengawasan dilakukan untuk memastikan program – program yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan dengan rencana dan meminimalisir penyimpangan
yang dilakukan oleh personal di suatu organisasi atu perusahaan.
Di Indonesia pengawasan dan regulasi perbankan dan lembaga keuangan
dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaturan dan
pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
1. Kewenangan memberikan Izin ( Right to License)
2. Kewenangan untuk mengatur (Right to regulate)
3. Kewenangan untuk mengawasi (Right to Control)
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (Right to impose sanction)
Dalam menjaankan tugasnya, Bank Indonesia menggunkan 2 pendekatan yaitu
dengan berdasarkan kepatuhan dan dengan menggunakan berdasarkan risiko atau RBS.
Dengan adanya pendekatan RBS tersebut diharapkan dapat menyempurnakan kinerja
dari pengawasan bank Indonesia.
1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan
pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait
dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di
masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan
dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan
pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan
pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-
risiko yang melekat (inherent risk)pada aktivitas fungsional bank serta sistem
pengendalian risiko (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih
memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan
pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.
D. Dasar Keberadaan DPS

1. UU No.40 Tahun 2007 pasal 109


Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di lembaga keuangan bisnis, dan
ekonomi syariah telah diakui dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas Pasal 109 yang berbunyi :
a. Perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
selain memiliki Dewan Komisaris, wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
b. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri dari
seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh
Rapat Uumum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia, dan
c. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertugas
memberikan saran dan nasehat pada direksi serta mengawasi kegiatan
perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
2. UU No. 21 tahun 2008
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya
disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah.
3. Peraturan Bank Indonesia
Peraturan yang dikelurakan oleh bank Indonesia mengenai DPS tertuang
dalam PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang bank umum syariah. Dalam PBI tersebut
disebutkan bahwa DPS adalah dewan bertugas memberikan arahan kepada dewan
direksi dan melakukan pengawasan terhadap kinerja dari bank syariah.
1. Hak DPS
Dalam melaksanakan tugasnya, DPS memiliki hak :
a. Mengakses data dan informasi, serta klarifikasi ke manajemen.
Akses data dan informasi pada DPS harus objektif, transparan, dan
komperhensif. Tidak ada informasi yang disembunyikan, agar hasil
pengawasannya objektif dan akurat.
b. Memanggil dan meminta pertanggungjawaban.
Semua pihak yang diminta keterangan oleh DPS apapun jabatannya harus
memnuhinya sesuai kemampuan DPS. DPS tidak boleh bersekat dengan
jabatan-jabatan di struktur orgaisasi lembaga keuangan syariah, karena
pertanggung jawaban DPS adalah kepada Allah SWT dalam rangka
menegakkan syariah-Nya.
c. Mengeluarakan opini syariah atau bentuk keputusan lain.
Opini syariah yang dikeluarkan oleh DPS adalah opini objektif sesuai temuan
dan interprestasi DPS yag didasari ilmu dan kapabilitasnya sebagai DPS.
Dengan informasi yang transparan dan objektif, tidak disekat dengan jabatan
dan objektivitas pengwasan maka opini yang dikeluarkan oleh DPS adalah opini
yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan.
d. Memperoleh imbalan dan fasilitas
DPS bukanlah karyawan lembaga keuangan syariah yang tiap hari harus
berangkat ke kantor. Namun DPS punya tanggung jawb dan menjamin bahwa
operasional dan produk lembaga keuangan syariah telah berjalan sesuai dengan
prinsip syariah. Untuk itulah DPS berhak memperoleh fasilitas dan gaji atau
imbalan atas pekerjaan dan tugas-tugasnya. Besaran imbalan masing-masing
lembaga keuangan syariah pasti berbeda sesuai kinerja perusahaan dan kinerja
dari DPS sendiri, namun tidak boleh lembaga mengabaikan mengabaikan hal
imbalan dan fasilitas DPS.
2. Kewajiban DPS
a. Menigkatkan fatwa-fatwa DSN MUI
b. Mengawasi kegiatan usaha agar tidak menyimpang dari fatwa DSN-MUI
c. Mengeluarkan opini syariah
d. Menjaga kerahasiaan
e. Memberikan laporan rutin kepada DSN-MUI sekurang kurangnya dua kali
dalam setahun.
f. Memberikan masukan kesyariahan
g. Menghadiri rapat rutin DPS dan undangan relevan lainnya.
h. Menunaikan semua tanggung jawab DPS sebagaimana mestinya.
3. Hak Lembaga Syariah Terhadap DPS
a. Meminta farwa kepada DSN-MUI.
b. Meminta opini syariah kepada DPS.
c. Mengundang rapat atau pertemuan lainya.
d. Memberikan masukan ke DSN-MUI tentang kinerja DPS.
e. Menyampaikan kepada DSN-MUI tentang pengangkatan, perpanjangan atau
pemberhentian DPS
4. Kewajiban LKS terhadap DPS
Sebagai konsekuensi professional, LKS kepada DPS berkewajiban :
a. Melakukan fatwa-fatwa DSN-MUI.
b. Melaksanakan opini syariah dan keputusan lainnya yang sah dari DPS.
c. Memberikan akses data dan informasi secara akurat dan jujur.
d. Mematuhi penggilan dan memberikan pertanggungjawaban ke DPS.
e. Mneyediakan rauang kerja dan fasilitas lainnya yang memadai
f. Memantau kelancaran tugas DPS.
g. Memberikan imbalan yang wajar.
5. Wewenang dan tanggung jawab utama
DPS memiliki wewenang dan tanggung jawab utama, yaitu:
a. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan LKS terhadap fatwa DSN-
MUI.
b. Menilai terhadap pedoman operasional dan produk LKS.
c. Memberikan opini dari aspek syariah dalam publikasi laporan LKS (audit
syariah).
d. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa.
e. Menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya 6 ( enam) bulan
kepada Direksi, Komisaris, DSN-MUI, dan Bank Indonesia.
f. Memberikan Opini pada RUPS.
6. Kode Etik DPS
Pengawasan yang baik berimplikasi feed back yang baik pada lembagn
perusahaan/instansi. (Md Helal Uddin, 2013), menegaskan bahw DPS harus
memiliki sifat sifat berikut agar hasil pengawasan dan kinerjanya dapat
dipertanggung jawabkan, Sebaliknya pengawasan yang tidak baik akan berimplikasi
pada kinerja perusahaan/instansi dalam melakukan evaluasi dan perencanaan
kembali atas kinerja yang telah dicapai. Maka kode setiap kode etik memiliki dasar
dasar Kode Etik berikut:
a. Integritas, yang paling kurang mencakup:
1) Memiliki akhlak dan moral yang baik
2) Memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan perbankan syariah dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku
3) Memiliki komitmen terhadap pengembangan perbankan syariah yang sehat
dan tangguh (sustainable) dan
4) Tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak
Lulus) sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan
kepatuhan (fit and proper test) yang ditetapkan olch Bank Indonesia.
b. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di
bidang syariah mu'amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau
keuangan secara umum, dan
c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup
1) Tidak termasuk dalam daftar kredit /pembiayaan macet, dan
2) Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota
Dewan Komisaris, atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah
menyebabkan perseroan dinyalakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun
terakhir sebelum dicalonkan.
Kode Etik DPS, sebagaimana halnya kode etik pada profesi pengawasan
lain seperti internal audit dan eksternal audit bertumpu pada prinsip-prinsip Kode
Etik:
a. Dapat dipercaya
b. Legitimasi
c. Obyektivitas
d. Kompetensi
7. Jumlah anggota dan perangkapan keanggotaan DPS
Dalam rangka penerapan prinsip good corporate governance sesuai
ketentuan Bank Indonesia, maka ditetapkan jumlah anggota dan perangkapan
jabatan DPS dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Anggota DPS sekurang-kurangnya dua orang dan paling banyak tiga orang.
b. DPS dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk dari salah satu anggota DPS.
c. Anggota DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS sebanyak-
banyaknya pada dua bank lain dan dua lembaga keuangan syariah nonbank.
d. Sebanyak-banyaknya dua anggota DPS dapat merangkap Jabatan sebagai
anggota DSN-MUI.
8. Rapat DPS
a. Rapat DPS wajib diselenggarakan paling kurang satu kali dalam satu bulan.
b. Pengambilan keputusan rapat DPS dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
c. Dalam rangka pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada angka (2)
diatas, DPS dapat meminta pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia, apabila
diperlukan.
d. Seluruh keputusan DPS yang dituangkan dalam notulen rapat merupakan
keputusan bersama seluruh anggota DPS.
9. Masa Jabatan DPS
a. Penetapan masa jabatan anggota DPS diatur berdasarkan keputusan Direksi
tersendiri dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia atau OJK.
b. Apabila masa jabatan DPS telah berakhir, Direksi dapat memperpanjang masa
jabatan DPS sebagai “pejabat pengganti sementara” sampai dengan ditetapkannya
DPS definitive.
10. Larangan DPS
a. Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh BUS atau
yang dapat dipersamakan dengan itu, baik individu maupun perusahaan, termasuk
pemilik dari perusahaan yang memberikan jasa konsultasi bagi BUS dan LKS.
Yang dimaksud dengan “jasa konsultasi” adalah terbatas pada jasa konsultasi
terkait kegiatan usaha perbankan syariah.
b. Dalam hal DPS tidak melaksanakan tugas dengan baik sampai dengan izin usaha
LKS dicabut, maka anggota DPS dimaksud dapat dikenakan denda berupa
pelanggaran menjadi angggota DPS di perbankan syariah paling lama sepuluh
tahun sejak tanggal pencabutan izin usaha LKS oleh Bank Indonesia atau OJK.
Yang dimaksud dengan “DPS tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sampai
dengan izin usaha LKS dicabut” meliputi:
1) Tidak memberikan nasihat dan saran kepada direksi atau hasil pengawasan
yang dilakukan DPS.
2) Tidak menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atau pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan bank.
3) Tidak mengawasi proses pengembangan produk baru LKS agar sesuai
dengan fatwa DSN-MUI.
4) Tidak melakukan review secara berkala atau pemenuhan prinsip syariah
terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa LKS.
5) Tidak menyampaikan laporan hasil pengawasan DPS secara semesteran
yang mengakibatkan izin usaha LKS dicabut.

Opini Pengawasan

Sebagaimana audit yang dilakukan oleh para auditor atau akuntan publik selalu
memberikan opini atas hasil auditnya. Opini tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan
atas kewajaran laporan hasil audit yang telah dilakukannya. Audit syariah dilakukan DPS
da SKAI dapat memberikan opini atas kepatuhan syariah LKS. Menurut (IAI., 2002),
Stanndar Profesional Akuntan (PSA21), Opini terdiri dari Lima Jenis Yaitu:
a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)
1. Bukti Audit yang dibutuhkan telah terkumpul secara mencukupi dan auditor telah
menjalankannya sedemikian rupa, sehingga ia dapat memastikan kerja lapangan
telah ditaati.
2. Ketiga standar umum telah diikuti sepenuhnya dalam perikatan kerja.
3. Laporan keuangan yang diaudit disajikan dengan prinsip akuntansi yang lazim yang
berlaku di Indonesia yang ditetapkan secara konsisten pada laporan - laporan
sebelumnya.
4. Tidak terdapat ketidakpastian yang berarti mengenai perkembangan di masa yang
akan datang yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau dipecahkan secara
memuaskan.
b. Opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan
1. Karena belum adanya aturan yang jelas, maka laporan keuangan dibuat
menyimpang dari SAK
2. Laporan dipengaruhi oleh ketidakpastian peristiwa masa yang akan datang hasilnya
dapat diperkirakan pada tanggal laporan audit.
3. Terdapat keraguan yang besar terhadap kemampuan satuan usaha dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
4. Diantara dua periode akuntansi terdapat perubahan yang material dalam penerapan
prinsip akuntansi
5. Data keuangan tertentu yang diharuskan ada oleh BAPEPAM namun tidak
disajikan.
c. Opini Wajar dengan Pengecualian
1. Bukti kurang cukup.
2. Adanya pembatasan ruang lingkup.
3. Terdapat penyimpangan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum
(SAK).
d. Opini Tidak wajar
Adalah pendapat yang diverikan ketika laporan keseluruhan ini dapat terjadi apabila
auditor harus memberi tambahan paragraf untuk menjelaskan ketidak wajaran atas
laporan keuangan, disertai dengan dampak dari akibat ketidakwajaran tersebut, pada
laporan auditnya.
e. Opini tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)
Adalah pendapat yang diberikan ketika ruang lingkup pemeriksaan yang dibatasi,
sehingga auditor yidak melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang
ditetapkan IAI.

Materialitas
Dalam melakukan pengawasan, auditor melakukan pertimbangan awal tentang
tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya yang disebut materialitas perencanaan,
mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan
kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena keadaan yang melingkup
berubah dan informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya
audit. Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas (Mulyadi, 2002)
yaitu:
1. Auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dengan membuat
estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan
keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang
diperlukan untuk menyaakan kewajaran laporan keuangan.
2. Pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit.

AUDIT SYARIAH

Audit dalam Perspektif Islam


Sistem ekonomi Islam menurut Daridin sudah mulai dipraktikkan dan bukan hanya
menjadi bahan diskusi para ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor
perbankan, dan kemudian juga merambat pada sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan
pasar modal. Perkembangannya sangat pesat, saat ini tidak kurang dari 200 lembaga
keuangan Islam telah beroperasi menerapkan sistem ekonomi Islam yang terdapat di
berbagai belahan dunia bukan saja di negara Islam, tetapi juga di negara non-muslim.
Dengan munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti memiliki
perbedaan dengan lembaga konvensional karena ia dioperasikan dengan menggunakan
sistem nilai syariah yang didasarkan pada kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan
Tuhan yang terbatas. Dengan demikian, maka sistem yang berkaitan dengan eksistensi
lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai Islami jika kita ingin menerapkan nilai-nilai
Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami dalam
melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini.
Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh
Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI), yaitu :
1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan
tujuan ini sebagai bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran
akuntansi yang berlaku saat ini;
2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian
mengujinya menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum
Islam dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan syariah Islam.
Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah sebagai berikut :
1. Integritas—Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu
seluruh perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan
kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban.
2. Keikhlasan—bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan
pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk kepalsuan
lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau
tekanan luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan
fungsi profesinya. Tugas profesi harus bisa dikonversi menjadi tugas ibadah.
3. Ketakwaan—sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun
terang-terangan sebagai salah satu cara melindungi seseorang dari akibat negatif dari
perilaku yang bertentangan dari syariah khususnya dalam hal yang berkaitan dengan
perilaku terhadap penggunaan kekayaan atau transaksi yang cenderung pada
kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai dengan syariah Islam.
4. Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna—akuntan tidak harus membatasi dirinya
hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus
berjuang untuk mencari dan menegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas
profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan
sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa direalisir terkecuali
melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan pemahaman serta pengalaman
keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal ini ditegaskan
dalam firman Allah S.W.T dalam surat An-Nahl (16 : 90) Artinya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
5. Takut kepada Allah dalam Setiap Hal—Seorang muslim meyakini bahwa Allah
S.W.T selalu melihat dan menyaksikan semua tingkah laku hamba-Nya dan selalu
menyadari dan mempertimbangkan setiap tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini
berarti seorang akuntan / auditor harus berperilaku “takut” kepada Allah tanpa harus
menunggu dan mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju atau
menyukainya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus
menerus dari godaan yang berasal dari pekerjaan profesinya. Sikap ini ditegaskan
dalam firman Allah S.W.T surat An-Nisaa’ (4 : 1) Artinya : “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.”
6. Manusia Bertanggung jawab di Hadapan Allah S.W.T—akuntan muslim harus
meyakini bahwa Allah S.W.T selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan
mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada Allah S. W. T nanti di hari
akhirat baik tingkah laku yang kecil maupun yang besar. Sebagaimana firman Allah
S.W.T dalam surat Al-Zalzalah (99 : 7-8) Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seukuran berat biji dzarrahpun, maka kelak orang itu akan mendapati
(balasan)nya. sedangkan barangsiapa yang melakukan kejahatan seukuran besar biji
dzarrahpun, maka kelak orang itu akan melihat (balasan)nya tersebut.” Oleh karena
itu, akuntan / auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan
semua pekerjaannya di hadapan Allah S.W.T dan juga kepada publik, profesi, atasan
dan dirinya sendiri, dan perlu diingat bahwa auditing Islami sudah mulai berkembang
sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi Islam.

Audit Sistem Berlapis (Multilayer System Audit)


Kegiatan bank mempunyai risiko tinggi karena berurusan dengan uang dalam
jumlah yang sangat besar sehingga dapat menimbulkan niat orang-orang terlibat di
dalamnya untuk melakukan kecurangan. Kalau kekhawatiran itu terjadi tentu dapat
mengakibatkan kerugian bagi bank. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kontrolnya,
perlu diciptakan suatu sistem kontrol yang berlapis-lapis (multilyer audit system).
Bank syariah dalam melaksanakan fungsi auditnya dilandasi oleh lapisan audit
yang terdiri atas hal-hal berikut ini :
1. Pengendalian Diri Sendiri (Self Control)
Pengendalian atas diri sendiri (self control) merupakan lapisan pertama dan utama
dalam diri setiap karyawan bank syariah, sehingga peran bagian sumber daya insani
dalam memilih karyawan yang tepat merupakan syarat mutlak adanya peran lapisan
kontrol yang pertama ini secara optimal. Disamping itu, setiap sumber daya insani
harus meyakini dan mengimani bahwa semua perbuatannya selalu direkam secara
cermat (audit trail) oleh Allah SWT dan malaikat Kelak di akhirat, perbuatan itu
pasti akan diminta pertanggungjawabannya. Sejumlah nash dalam Al-Qur'an
menyatakan hal itu.
a. Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat daripada urat lehernya, yaitu)
ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan
dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir. (Qaaf: 16-18)
b. ... dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata. (Lauh Mahfuzh) (al-An'aam:
59).
c. Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan
apa yang lelah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tingalkan. Dan,
segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata. (Lauhud
Mahfuzh) (Yasin: 12).
d. Allah, tidakada Tuhan yang berhak disembah) melainkan Dioa, Yang hidup
kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk tidak
tidur.... (al-Baqarah: 255)
2. Pengendalian Menyatu (Built-in Control)
Selain self control, karyawan dalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak terlepas
dari prosedur dan aturan main yang telah ditetapkan. Dalam sistem dan prosedur
yang diciptakan, secara tidak disadari oleh setiap karyawan, di masukkan unsur-
unsur kontrol yang menyatu dengan prosedur tersebut (built-in control).

Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menciptakan pengendalian menyatu yang


baik adalah adanya dual control, dual custodian, maker checker approval,
limitation, segregation of duties, verifikasi, dan lain-lain.
3. Auditor Internal
Untuk dapat menyakinkan bahwa telah ada pengendalian diri dan pengen dalian
menyatu yang memadai, perlu adanya suatu ukuran dan penilaian dari pihak yang
tidak terkait dengan kegiatan tersebut (independen). Selain itu, manajemen juga
harus mempunyai kemampuan dalam menganalisis efektivitas fungsi-fungsi kontrol
yang ada melalui suatu auditor yang dibuat berlapis-lapis.
a. Bagian Pengawasan Data

Bagian ini sering juga disebut sebagai verificator, yaitu pemeriksa seluruh
transaksi yang terjadi, di mana salah satu produknya adalah program zero
defect, yaitu suatu program audit yang memberikan peringatan kepada
pelaksana atas kesalahan-kesalahan pembukuan yang terjadi. Dengan
demikian, secara bertahap, kesalahan yang ada dapat terus ditekan dan
mengarah pada kesalahan nol (tidak ada kesalahan lagi).
Di samping itu, bagian pengawasan data ini juga melaksanakan audit
keuangan atas laporan keuangan, khususnya melakukan pembuktian
kebenaran material setiap pos yang ada, yaitu dengan melakukan cash count,
stock opname, rekonsiliasi bank/RAK, proofing, dan lain-lain.
b. Auditor Wilayah (Resident Auditor) dan Inspektur Pengawasan
Kedua pengawas ini berfungsi melakukan operasional audit, di samping audit
keuangan. Titik berat audit yang dilakukan adalah pengujian secara menyeluruh
atas berjalannya SPIN (Sistem Pengendalian Internal) antara lain meliputi :
aspek organisasi, memadai tidaknya sumber daya insani, praktik bank yang
sehat, dan unsur SPIN lainnya.
4. Eksternal Audit
Pengauditan eksternal memberikan masukan kepada manajemen bank mengenai
kondisi bank yang bersangkutan. Dari audit eksternal diharapkan adanya suatu
penilaian yang sangat netral terhadap objek-objek yang diperiksa. Audit eksternal
yang melakukan pemeriksaan antara lain Bank Indonesia, akuntan publik, maupun
pihak lainnya.
Landasan Audit (Al-Qur’an dan Al Hadits)
1. Al-Qur’an
Banyak sekali pesan tentang audit dan kontrol dalam ajaran Islam. Berikut ini
adalah beberapa nash Al-Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan renungan oleh para
bankir dan praktisi keuangan.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil . . .” (Q.S. Al-
Maidah : 8)
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasihat-menasihati
supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-
Ashr : 1-3)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” (Al-Hujuraat : 6)
2. Al-Hadits
“Katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit.” (Al-Hadits)
“Barangsiapa di antaramu melihat kemungkinan, hendaklah ia mengubahnya dengan
tangan (kekuasaan)-Nya. Apabila tidak sanggup, dengan ucapannya apabila tidak
sanggup, dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (Al-Hadits).

Jenis, Teknik, dan Hal-hal khusus dalam Pemeriksaan


Jenis Audit dan Teknik Audit
Audit keuangan dan audit operasi (compliance test) juga dilaksanakan bank
syariah. dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor untuk bank syariah. Khusus
untuk pengujian kepatuhan, di samping peraturan-peraturan (internal dan eksternal),
fatwa-fatwa dan notulen Dewan Pengawas Syariah juga dijadikan acuan.
Teknik audit yang dilaksanakan oleh auditor untuk bank syariah secara audit
rekonsiliasi untuk memeriksa rekening bank lain, menggunakan cash umum sama dengan
teknik audit yang telah ada. Misalnya, penggunaan teknik stock opname untuk hal-hal
yang dapat dihitung secara fisik, seperti kas, inventaris, dan lain-lain.
Hal-hal Khusus atas Pemeriksaan Bank Syariah
Secara garis besar, beberapa hal yang secara khusus dilakukan dalam audit atas
bank syariah, dapat disampaikan sebagai berikut.
a. Di samping pengungkapan kewajaran penyajian laporan keuangan, juga ungkapan
unsur kepatuhan syariah.
b. Perbedaaan akuntansi yang menyangkut aspek produk, baik sumber dana maupun
pembiayaan.
c. Pemeriksaan distribusi profit.
d. Pengakuan pendapatan cash basis serta riil.
e. Pengakuan beban yang secara accrual basis.
f. Dalam hubungan dengan bank koresponden, khususnya koresponden depository,
pengakuan pendapatan tetap harus menggunakan prinsip bagi hasil. Jika tidak,
pendapatan atas bunga tidak boleh dicatat sebagai pendapatan.
g. Adanya pemeriksaan atas sumber dan penggunaan zakat.
h. Revaluasi atas valuta asing dapat diakui apabila posisi devisa neto dalam posisi
square. Dalam hal ini, harus ada ketentuan tentang suatu posisi PDN yang dianggap
square.
i. Ada-tidaknya transaksi yang mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan
syariah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Nana Herdiana. 2013. Manajemen Bisnis Syariah dan Kewirausahaan.


Bandung: Pustaka Setia.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Pers.

Susilo, Edi. 2018. Pengawasan Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN.

Anda mungkin juga menyukai