Anda di halaman 1dari 22

Memahami kedudukan dan fungsi al-Qur’an sebagai

sumber utama hukum Islam

1. Menjelasan pengertian al-Qur’an.


2. Menjelaskan kedudukan al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam yang utama
3. Menganalisis prinsip-prinsip al-Qur’an dalam
penetapan hukum Islam
4. Menyebutkan kandungan hukum dalam al-Qur’an

1. Pengertian al-Qur’an.
2. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam
yang utama
3. Prinsip-prinsip al-Qur’an dalam penetapan hukum
Islam
4. Kandungan hukum dalam al-Qur’an

1
URAIAN MATERI

A. Pengertian al-Qur'an
Menurut bahasa, kata al-Qur'an adalah bentuk isim masdar dari kata “qa-raa”
yang berarti membaca yaitu kata “qur-a-nan” yang berarti yang dibaca. Demikian
pendapat Imam Abu Hasan Ali bin Hazim. Penambahan huruf alif dan lam atau al,
pada awal kata menunjuk pada kekhususan tentang sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan
yang diyakini sebagai wahyu Allah swt. Sedang penambahan huruf alif dan nun pada
akhir kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang paling sempurna. Kekhususan
dan kesempurnaan suatu bacaan tersebut berdasar pada firman Allah swt. sendiri yang
terdapat dalam QS al-Qiyamah/75:17-18 dan QS Fushshilat/41: 3.
ُ‫ فَإِذَا قَ َرأْ ََنهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْرءَانَه‬. ُ‫إِ َّن َعلَْي نَا ََجْ َعهُ َوقُ ْرءَانَه‬
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah (Allah swt.) mengumpulkan di dadamu
dan membuatmu pandai membacanya, jika Kami (Allah swt.) telah selesai
membacanya, maka ikutilah (sistem) bacaan itu. (QS al-Qiyamah/75:17-18)
Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman:
‫ت ءَ َاَيتُهُ قُ ْرءَ ااَن َعَربِيًّا لَِق ْوٍم يَ ْعلَ ُمو َن‬ ِ ُ‫كِتَاب ف‬
ْ َ‫صل‬ ٌ
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab untuk
kaum yang mengetahui. (QS Fushshilat/41: 3)
Secara istilah (terminologi), para pakar al-Qur'an memberikan definisi di
antaranya:
1. Menurut Muhammad Ali al-Shabuni
Al-Qur'an adalah firman Allah swt. yang mengandung mukjizat yang diturunkan
kepada nabi dan rasul terakhir dengan perantaraan Jibril a.s. yang tertulis dalam
mushaf dan sampai kepada kita dengan mutawattir (bersambung).
2. Menurut Muhammad Musthofa al-Salabi
Al-Qur'an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammmad saw. untuk
memberi hidayah kepada manusia dan menjelaskan mana jalan yang benar dan harus
dijalani yang dibawa oleh Jibril a.s. dengan lafaz dan maknanya.
3. Menurut Khudhari Beik
Al-Qur'an adalah firman Allah swt. yang berbahasa Arab yang diturunkan kepa-
da Nabi Muhammad saw. untuk dipahami dan selalu diingat, disampaikan secara
mutawattir (bersambung), ditulis dalam satu mushaf yang diawali dengn surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas.
4. Menurut Ulama Ushul
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
dan kalau bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
maka tidak dinamakan al-Qur’an, melainkan Zabur, Taurat, atau Injil. Bukti bahwa al-
Qur’an sebagai kalam Allah swt. adalah kemukjizatan yang terkandung di dalamnya

2
dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah, dan informasi masa depan yang
diungkapkan semua bisa dibuktikan secara ilmiah.

B. Kedudukan al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam


Kedudukan al-Qur’an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling
utama dalam hukum Islam, sebelum sumber-sumber hukum yang lain. Sebab, al-
Qur’an merupakan undang-undang dasar tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua
hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Dasar al-
Qur’an sebagai sumber hukum yang utama dan pertama adalah firman Allah swt.
dalam QS al-Nisa/4: 59.
ِ‫ول وأُوِِل األَم ِر ِمن ُكم فَإِن تَنَازعتم ِِف َشي ٍء فَرُّدوه إِ ََل اّلل‬ ِ ‫َطيعواْ اّلل وأ‬
ِ ِ َّ
ُ ُ ْ ْ ُْ َ ْ ْ ْ َ َ ‫الر ُس‬
َّ ْ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُواْ أ‬ َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬
ِ ِ ‫الرسوِل إِن ُكنتم تُؤِمنو َن ِِبّللِ والْي وِم‬
‫َح َس ُن ََتْ ِويالا‬ْ ‫ك َخ ْْيٌ َوأ‬َ ‫اآلخ ِر ذَل‬ َْ َ ُ ْ ُْ ُ َّ ‫َو‬
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS al-Nisa/4: 59.)
Hal ini diperkuat dialog Nabi dengan Mu’az bin Jabal ketika diutus ke Yaman.
Kebanyakan hukum yang ada dalam al-Qur’an bersifat umum (kulli), tidak membica-
rakan soal-soal yang kecil-kecil (juz’i), artinya tidak satu persatu suatu masalah
dibicarakan. Karena itu, al-Qur’an memerlukan penjelasan lebih lanjut dan hadis
merupakan penjelasan utama bagi al-Qur’an. Adapun al-Qur’an hanya memuat pokok-
pokok yang meliputi semua persoalan yang berhubungan dengan urusan dunia dan
akhirat. Syari’at Islam telah sempurna dengan turunnya al-Qur’an. Allah berfirman
dalam QS al-Maidah/5: 3 sebagai berikut:
ْ ‫اْل ْس َال َم ِديناا فَ َم ِن‬
‫اضطَُّر ِِف‬ ِْ ‫يت لَ ُكم‬ ِ ِ
ُ ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض‬
ِ
ُ ‫ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم‬
ُ ْ‫اخ َش ْون الْيَ ْوَم أَ ْك َمل‬
ْ ‫َو‬
ِ ‫اّلل َغ ُف‬ ِ ٍِ ٍ ‫َمَْم‬
‫يم‬
ٌ ‫ور َرح‬ ٌ ََّ ‫صة َغ ْ َْي ُمتَ َجانف ِْل ٍْْث فَإِ َّن‬ َ َ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Maidah/5:
3).
Hukum-hukum mengenai salat, zakat, jihad dan urusan-urusan ibadah lainnya
yang terkandung dalam al-Qur’an masih bersifat umum, maka yang menjelaskannya
ialah hadis. Demikian pula untuk urusan muamalat seperti pernikahan, kisas, hudud,
dan lain-lain.
Menurut Imam Ghazali, ayat-ayat al-Qur’an yang berisi tentang hukum ada 500
ayat, dan terbagi kepada dua macam, yaitu: ayat yang bersifat ijmali (global) dan ayat
yang bersifat tafsili (detil). Ayat-ayat al-Qur’an yang berisi tentang hukum itu

3
disebut dengan ayat al-ahkam. Dasar bahwa kedudukan al-Qur’an merupakan satu-
satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum Islam adalah firman
Allah dalam QS al-Maidah/5: 49.
َ ‫اّللُ إِلَْي‬
‫ك‬ َ ُ‫اح َذ ْرُه ْم أَ ْن يَ ْفتِن‬
ِ ‫وك َع ْن بَ ْع‬
َّ ‫ض َما أَنْ َزَل‬ َّ ‫اح ُك ْم بَْي نَ ُه ْم ِِبَا أَنْ َزَل‬
ْ ‫اّللُ َوََل تَتَّبِ ْع أ َْه َواءَ ُه ْم َو‬
ِ
ْ ‫َوأَن‬
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS al-Maidah/5:
49).

C. Prinsip-prinsip al-Qur’an dalam Penetapan Hukum Islam


1. Tidak Menyulitkan atau Memberatkan ( ‘Adam al-Harj)
‫ْس‬ َ ْ ‫اّلل ِب ُ ُُك الْي‬
َ ْ ‫ُْس َو َال ُي ِريدُ ِب ُ ُُك الْ ُع‬ ُ ‫ُي ِريدُ ه‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.(QS al-Baqarah/2: 185).
2. Menyedikitkan Beban (Taqlil al-Takalif)
‫آمنُواْ َلَ تَ ْسأَلُواْ َع ْن أَ ْشيَاء إِن تُْب َد لَ ُك ْم تَ ُس ْؤُكم‬ ِ َّ
َ ‫ين‬
َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu (QS al-
Maidah/5:101).
3. Bertahap dalam Pelaksanaan (al-Tadrij fi al-Tasyri’)
Contoh kasus dalam cara ini adalah pengharaman khamr yang ditetapkan dalam
tiga proses:
a. Menjelaskan manfaat khamar lebih kecil dibanding akibat buruknya
‫ك َماذَا‬ ِ ‫ك َع ِن ا ْْلَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر قُ ْل فِي ِه َما إِ ْْثٌ َكبِْيٌ َوَمنَافِ ُع لِلن‬
َ َ‫َّاس َوإِْْثُُه َما أَ ْك ََبُ ِمن نَّ ْفعِ ِه َما َويَ ْسأَلُون‬ َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
ِ ‫ك ي ِبّي اّلل لَ ُكم اآلَي‬
‫ت لَ َعلَّ ُك ْم تَتَ َف َّك ُرو َن‬ ِ ِ
َ ُ ُ ُ ُ َ ‫يُنف ُقو َن قُ ِل الْ َع ْف َو َك َذل‬
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada kedua-
nya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar daripada manfaatnya” dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan” Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (QS al-
Baqarah/2: 219).
b. Melarang pelaku salat dalam keadaan mabuk
‫َّت تَ ْعلَ ُمواْ َما تَ ُقولُو َن‬ ِ َّ
ََّ ‫الصالَةَ َوأَنتُ ْم ُس َك َارى َح‬
َّ ْ‫آمنُواْ َلَ تَ ْقَربُوا‬
َ ‫ين‬
َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS al-
Nisa/4: 43).

4
c. Menegaskan hukum haram kepada khamar dan perbuatan buruk lainnya
ِ َ‫ان ف‬
ِ ِ ‫َي أَيُّها الَّ ِذين آمنُواْ إََِّّنَا ا ْْلَمر والْمي ِسر واألَنصاب واأل َْزَلَم ِرج‬
ْ َ‫س م ْن َع َم ِل الشَّْيط‬
ُ‫اجتَنبُوه‬ ٌ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َْ َ ُ ْ َ َ ِ َ َّ َ
‫لَ َعل ُك ْم تُ ْفل ُحو َن‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS al-Maidah/5: 90).

D. Kandungan Hukum dalam al-Qur'an


1. Hukum yang mengatur tentang aqidah (iman) kepada Alla swt., malaikat, al-
Qur’an, Nabi, takdir dan hari kiamat.
2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt. yang
disebut ibadah. Ibadah ini dibagi tiga:
a. Bersifat ibadah semata-mata, yaitu salat dan puasa.
b. Bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, yaitu zakat.
c. Bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu haji.
Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok dasar Islam, sesudah
iman. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ibadah ber-
sifat tetap atau tidak berubah.
3. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia (hubungan sesama manusia),
yaitu yang disebut muamalah. Hukum menyangkut muamalah ini dibagi empat:
a. Berhubungan dengan jihad.
b. Berhubungan dengan penyusunan rumah tangga, seperti kawin, cerai, soal
keturunan, pembagian harta pusaka dan lain-lain.
c. Berhubungan dengan jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan dan lain-lain. Bagian
ini disebut muamalah juga (dalam arti yang sempit).
d. Berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, seperti kisas, hudud, dan
lain-lain. Bagian ini disebut jinayat (hukum pidana).
Berbagai hukum dan peraturan yang berhubungan dengan masyarakat
(muamalah) dapat dirumuskan melalui pemikiran. Dia didasarkan pada kemaslahatan
dan kemanfaatan yang merupakan jiwa agama. Atas dasar kemaslahatan dan keman-
faatan ini, hukum- hukum itu dapat disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu.

5
Memahami kedudukan sunah sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah al-Qur’an

1. Menjelasan pengertian sunah


2. Mendeskripsikan kedudukan sunah sebagai
sumber hukum Islam
3. Menyebutkan macam-macam fungsi sunah
sebagai sember hukum Islam

1. Pengertian sunah
2. Kedudukan sunah sebagai sumber hukum Islam
3. Macam-macam fungsi sunah sebagai sember hukum
Islam

1
URAIAN MATERI

A. Pengertian Sunah
Sunah secara etimologi berarti metode (al-thariqah), jalan (sabiil), cara yang
dibiasakan atau cara yang terpuji. Sunah juga biasa disebut hadis dan juga mempunyai
beberapa arti, yaitu qarib, yang berarti dekat, jadid yang berarti baru, dan khabar yang
berarti berita. Hadis berarti khabar seperti dalam firman Allah swt.
ٍ ‫فَلْ َيأْتُوا ح َِب حد‬
‫يث حمث ح حِْل ان ََكنُوا َصا حد حق َني‬
ِ
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an itu jika
mereka orang-orang yang benar. (QS al-Tur/52: 34).
Sunah menurut ahli usul seperti yang dikemukakan oleh al-Amidi adalah apa-
apa yang datang dari Rasulullah saw. berupa dalil-dalil syariat, yang bukan dibaca
(maksudnya bukan al-Qur`an) dan bukan mu’jizat. Sementara menurut ulama fikih
sunah adalah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi saw. dan hukumnya tidak fardu
dan tidak wajib, yakni hukumnya sunah.
Sunah atau hadis dalam pengertian yang lebih umum ialah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir
(penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’
(pensyari’atan) bagi umat Islam.

B. Kedudukan Sunah sebagai Sumber Hukum Islam


Sunah merupakan segala hal yang disandarkan kepada Nabi saw. yang dijadikan
dasar untuk menentukan hukum dalam ajaran Islam. Hal ini dikarenakan Nabi saw.
adalah sosok yang mulia dan menjadi suri tauladan bagi umat manusia.
Para ulama ahli usul fikih menjadikan sunah untuk menentukan hukum Islam
setelah tidak ditemukan keterangan dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, para ulama
sepakat menempatkan sunah sebagai sumber pokok ajaran setelah al-Qur’an. Para
ulama telah bersepakat bahwa sunah dapat berdiri sendiri dalam mengadakan hukum-
hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan
al-Qur’an.
Penempatan sunah atau hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah al-Qur’an
didasarkan atas argumen bahwa antara al-Qur’an dan sunah terdapat perbedaan
ditinjau dari segi redaksi dan cara penyampaian atau cara penerimaannya.
1. Dari Segi Redaksi
Diyakini bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah swt. yang disusun langsung
redaksinya oleh Allah swt. sedang malaikat Jibril sekedar penyampai wahyu tersebut
kepada Nabi saw. tanpa perubahan sedikitpun. Wahyu tersebut kemudian disampaikan
oleh Nabi saw. kepada umatnya yang terlebih dahulu ditulis oleh sekretaris beliau yang
ditugasi khusus menulis dengan disaksikan oleh beberapa sahabat untuk menjaga
kemurnian wahyu Allah swt. tersebut. Selain ditulis, wahyu tersebut sekaligus dihafal

2
oleh para sahabat yang mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa dengan restu
Nabi saw. kemudian disampaikan secara mutawatir (melalui sejumlah orang dinilai
mustahil mereka berbohong). Atas dasar ini al-Qur’an dinilai qath’iy (mempunyai nilai
ketetapan yang otentik tanpa ada perubahan sedikitpun).
2. Dari Segi Penyampaian dan Penerimaan
Sunah pada umumnya disampaikan melalui hafalan orang perorang (oleh para
sahabat). Hal ini karena Nabi saw. melarang menuliskannya, kecuali wahyu Allah swt.
Oleh sebab itu, bisa didapati redaksi hadis/sunah yang tampak berbeda satu dengan
yang lain walaupun mengandung makna yang sama. Di samping itu, walaupun para
ulama ahli hadis (muhadditsin) ada yang menulisnya tetapi hafalan andalan utama
mereka. Dalam sejarahnya, hadis/sunah baru mulai ditulis dan dikumpulkan untuk
diuji dan diteliti tingkat kesahihannya baru dimulai satu abad setelah Nabi saw. wafat.
Oleh karena hadis/sunah dari aspek redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat
dan tabi’in, maka otentisitasnya adalah zhanny yaitu atas sangkaan tertentu tergantung
dari tingkat hafalan para sahabat dan tabi’in. Maka wajar bila hadis ditempatkan di
bawah al-Qu’ran sebagai sumber pokok ajaran Islam.

C. Fungsi Sunah sebagai Sumber Hukum Islam


Secara umum fungsi sunah sebagai bayan atau tabyin seperti firman Allah swt.
dalam QS al-Nahl/16: 44:
ِ ‫ّي لِلن‬
‫َّاس َما نُِِزَل إِلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّك ُرو َن‬ ِ ِ ‫وأَنزلْنا إِلَي‬
َ َِِ‫ك ال ِذ ْكَر لتُب‬
َ ْ ََ َ
Kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskannya kepada
manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya kamu memikirkannya.
Adapun beberapa fungsi sunah terhadap al-Qur’an dalam penetapan hukum
antara lain adalah:
1. Menguatkan (Mu’akkid) Hukum Suatu Peristiwa yang Telah Ditetapkan
Hukumnya dalam al-Qur'an
Suatu perbuatan yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan al-Qur'an
kemudian dikuatkan penetapannya oleh sunah. Dengan demikian, hukum peristiwa itu
tersebut ditetapkan oleh dua buah sumber yakni al-Qur'an sebagai sumber pertama dan
sunah sebagai sumber kedua.. Misalnya salat, zakat, puasa, dan haji telah ditetapkan
hukumnya di dalam al-Qur'an. Salat dan zakat ditetapkan pada QS al-Nisa/4: 77, puasa
pada QS al-Baqarah/2: 183, dan haji pada QS. Ali Imran/3: 97).
Kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan kewajibannya oleh
Rasulullah saw. dalam sabda beliau ketika berwawancara dengan Malaikat Jibril.
ِْ ‫اَّللُ َعلَْي ِه و َسلَّم‬
َّ ‫اْل ْس ََل ُم أَ ْن تَ ْش َه َد أَ ْن ََل إِلَهَ إََِّل‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫اْل ْس ََلِم فَ َق‬
ِْ ‫َخِ ِْبِِن َع ْن‬
ُ‫اَّلل‬ َ َ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ ْ ‫ََي ُُمَ َّم ُد أ‬
‫ت إِ ْن‬
َ ‫ضا َن َوََتُ َّج الْبَ ْي‬َ ‫وم َرَم‬ َ‫ص‬ ُ َ‫الزَكاةَ َوت‬ َ َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوتُِق َيم‬
َّ ‫الص ََلةَ َوتُ ْؤِِت‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫َن ُُمَ َّم ًدا َر ُس‬ َّ ‫َوأ‬
‫ت إِلَْي ِه َسبِ ًيَل‬
َ ‫استَطَ ْع‬ ْ

3
Malaikat Jibril bertanya: ”Hai Muhammad, terangkan padaku tentang Islam!”
Jawab Muhammad: ”Islam itu ialah persaksianmu bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah, tindakanmu mendirikan salat,
pembayaranmu atas zakat, berpuasamu di bulan Ramadhan dan pergi hajimu ke
baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke tempat itu... (H.R.
Muslim)
2. Memberikan Keterangan (Bayan) terhadap Ayat-ayat al-Qur'an
Dalam memberikan penjelasan ini ada 3 macam, yakni:
a. Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal (‫)تفصيل اجململ‬. Misalnya
perintah salat di dalam al-Qur'an:
  ◼❑◼ ❑☺⬧
◼⧫ ⧫ ◼❑◼
❑➔❑ ⧫ ✓⬧☺
Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS al-
Nisa’/4: 103).
Ayat tersebut masih mujmal. Kemudian Rasulullah saw. menerangkan waktu-
waktu salat, jumlah rakaatnya syarat-syarat dan rukun-rukunnya, dengan mempraktik-
kan salat lalu setelah itu bersabda kepada para sahabat:
‫صلوا كما رأيتموىن اصلي‬
Dirikanlah shalat seperti yang kamu lihat bagaimana aku mengerjakan salat (HR.
Bukhari).
Demikian juga dalam kewajiban berzakat dan pergi haji, Allah berfirman secara
mujmal kemudian Rasulullah saw. menjelaskan macam-macam dan besarnya harta
yang dizakatkan dan menjelaskan cara-cara menjalankan ibadah haji.
b. Membatasi Kemutlakannya (‫)تقييد املطلق‬
Misalnya al-Qur'an membolehkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat
atas harta peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, dalam
firman-Nya:
 ✓❑ ▪◆ ➔⧫ 
 
… sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya (QS
al-Nisa’/4: 12).
Kemudian Rasulullah saw. memberikan batasan maksimal wasiat yang diperke-
nankan dalam salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang meminta
agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaan wasiat
sebesar itu ditolak oleh beliau, minta diperkenankan wasiat ½ harta peninggalannya
dan setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu minta diperkenankan 1/3
hartanya. Rasulullah saw. mengizinkan 1/3 ini, katanya:
ِ ِ َ َ‫َّك أَ ْن تَ َذر ورثَت‬
َ ‫ث َكبِريٌ أ َْو َكثِريٌ إِن‬
َ ‫ك أَ ْغنيَاءَ َخ ْريٌ م ْن أَ ْن تَ َذ َرُه ْم َعالَةً يَتَ َك َّف ُفو َن الن‬
‫َّاس‬ ََ َ ُ ُ‫َوالثُّل‬

4
Sepertiga itu banyak dan besar. Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik daripada jika kamu meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak. (HR.
Bukhari dan Muslim).
c. Mengkhususkan Keumuman (‫)ختصيص العام‬
Misalnya Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai
(binatang yang tidak disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya:
➔⧫☺ ◼⧫ ⧫
  ⧫◆ ◆
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi… (QS al-
Maidah/5: 3).
Kemudian Rasulullah saw. mengkhususkannya dengan memberikan pengecuali-
an kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa dalam sabdanya:
ُ ‫ان فَالْ َكبِ ُد َوال ِطِ َح‬
ِ ‫ان فَا ْْلوت وا ْْلراد وأ ََّما الدَّم‬
ِ َ‫ان فَأ ََّما الْمي تَ ت‬
ِ ‫ان ودم‬ِ ِ
‫ال‬ َ َ ُ ََ َ ُ ُ َْ ْ َّ‫أُحل‬
َ َ َ َ‫ت لَ ُك ْم َمْي تَ ت‬
Dihalalkan bagi kalian dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam
bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang. Sedangkan dua macam darah itu
ialah hati dan limpa (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Demikian juga dalam masalah pusaka-mempusakai antara anak dan kedua orang
tuanya disebutkan secara umum oleh Tuhan dalam firman-Nya:
ِ ْ َ‫ظ األُنثَي‬
‫ّي‬ َّ ِ‫اَّلل ِِف أ َْوَلَ ِد ُكم ل‬
ِِ ‫لذ َك ِر ِمثْ ُل َح‬ ِ
ْ ُِ ‫يُوصي ُك ُم‬
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan (QS al-Nisa’/4: 11).
Dalam ayat tersebut dikatakan secara umum orang tua yang mewariskan harta
peninggalannya kepada anak-anaknya. Kemudian keumuman itu ditakhshsishkan oleh
sabda Rasulullah saw.:
ٌ‫ص َدقَة‬
َ ‫ث َما تَ َرْكنَا‬
ُ ‫َ ََل نُ َور‬- ‫حنن – معاشر اَلنبياء‬
Kami, khususkan para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan
adalah sebagai sedekah. (HR. Muttafaq alaih).
Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan secara umum dengan lafaz
”awladukum” (anak-anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan oleh Nabi
Muhammad saw. kepada anak yang dapat mewarisi. Sedang anak yang tidak berhak
mempusakai harta orang tuanya, misalnya karena ia membunuh orang tuanya,
dikeluiarkan dari pengertian umum itu, mengingat sabda Rasulullah:
‫ليس للقاتل من املقتول شيئ‬
Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan or yang dibunuh
sedikitpun. (HR. al-Nasa’i).

5
3. Menciptakan Hukum Baru yang Tidak Terdapat di Dalam al-Qur'an
Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring dan
burung yang berkuku kuat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ٍ َ‫السبَ ِاع و َع ْن ُك ِل ِذي ِِمْل‬
ِ ِ ٍ ِ ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
‫ب‬ ِ َ ِ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َع ْن ُك ِِل ذي ََنب م ْن‬ َ َّ ‫ول‬
ُ ‫ال ََنَى َر ُس‬ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
َ َ‫اس ق‬
‫ِم ْن الطَِّْري‬
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw. melarang memakan setiap binatang
yang bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku
kuat dari golongan burung. (HR. Muslim).
Rasulullah saw. juga mengharamkan seorang laki-laki mengawini wanita yang
sepersusuan, karena mengawini wanita yang sesusuan itu adalah sama dengan
mengawini wanita yang tunggal nasab.
ِ ‫اع ِة َما ََْيرُم ِم ْن النَّس‬
‫ب‬ َ‫ض‬ َّ ‫فَإِنَّهُ ََْي ُرُم ِم ْن‬
َ ‫الر‬
َ ُ
Sesungguhnya Allah telah melarang seseorang mengawini wanita karena
sepersusuan, sebagaimana halnya Allah mengharamkan mengawini wanita
karena senasab. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. itu adakalanya atas ilham
dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijtihad sendiri,
tetapi karena dasar yang dipergunakan berijtihad itu adalah jiwa dan dasar perundang-
undangan yang umum dalam al-Qur'an, maka mustahillah ia bertentangan dengan
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an.

6
Memahami kedudukan dan fungsi ijmak dalam
penetapan hukum Islam

1. Menjelaskan pengertian ijmak


2. Menjelaskan rukun ijmak
3. Membedakan macam-macam ijmak
4. Menjelaskan kedudukan ijmak sebagai sumber
hukum Islam
5. Menunjukkan objek ijmak

1. Pengertian ijmak
2. Rukun ijmak
3. Macam-macam ijmak
4. kedudukan ijmak sebagai sumber hukum Islam
5. Objek ijmak

1
URAIAN MATERI

A. Pengertian Ijmak
Ijmak secara etimologi berasal dari kata ajma’a - yujmi’u - ijma’an dengan isim
maf’ul mujma yang memiliki dua makna. Pertama, ijmak bermakna tekad yang kuat.
Oleh karena itu, jika dikatakan “ajma’a fulan ‘ala safar”, berarti bila ia telah bertekad
kuat untuk bepergian dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah swt.:
ِ‫فَأ م‬
‫َْجعُوا أ مَمَرُك مم َو ُشَرَكاءَ ُك مم‬
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu
(untuk membinasakanku). (QS Yunus/10: 71).
Kedua, ijmak bermakna sepakat. Jika dikatakan “ajma’ al-muslimun ‘ala kadza”,
berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna ijmak menurut arti
istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat ijmak.
Namun, definisi ijmak yang paling banyak digunakan adalah kesepakatan para ulama
ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau saw. pada masa
tertentu atas suatu perkara agama.
Hal itu pernah dilakukan oleh Abu Bakar. Apabila ditemukan suatu perselisihan,
pertama ia merujuk kepada kitab Allah, Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia
mengetahui masalah itu dari Rasul saw., ia pun berhukum dengan sunah Rasul. Jika ia
ragu mendapati dalam sunah Rasul saw., ia kumpulkan para sahabat dan ia lakukan
musyawarah untuk menemukan solusi atas suatu masalah dan menetapkan hukumnya.
Jadi, obyek ijmak ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya
dalam al-Qur’an dan hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah
ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah swt.) bidang
muamalah, bidang kemasyarakatan, atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi, tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan hadis. Dasarnya adalah
firman Allah swt.
ِ ‫َش ٍء فا ُردُو ُه ا اَل ه‬
ِ‫اّلل او ذالر ُسول‬ ْ ‫نُك فاان تا ان اازع ُ ُْْت ِِف ا‬ ‫اَي َأّيُ اا ذ ِاَّل اين أ امنُو ْا َأ ِطي ُعو ْا ه ا‬
ْ ُ ‫اّلل او َأ ِطي ُعو ْا ذالر ُسو ال او ُأ ْو ِِل ا َأل ْم ِر ِم‬
ِ ِ ‫ان ُك ُنُت تُؤ ِمنون ِِب ِّلل والْيوم األ ِخر اذ ِ اِل خ ْاْي و َأحسن تأْوي ال‬
ِ‫ٌ ا ْا ُ ا‬ ِ ِ ْ‫ْ ْ ُ ا ه ا ا‬
ِ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunah), jika kamu
benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS al-Nisa/4: 59).
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal/keadaan atau
urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam
urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri
dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para

2
ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa,
maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
َِ ِ‫صموام ِِبب ِل اّلل‬
‫ْجيعاً َوالَ تَ َفَّرقُوام‬ ِ
‫و ماعتَ ُ َم ه‬
Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai. (QS Ali Imran/3: 103.)
Pada ayat lain Allah swt. berfirman:
‫صلِ ِه َج َهن ََّم‬ ِِ ِ‫ول ِمن ب ع ِد ما تَب ََّّي لَه ا مْل َدى وي تَّبِع غَْي سبِ ِيل المم مؤِمن‬
‫َّي نُ َولهه َما تَ َوََّّل َونُ م‬
َ ُ َ َ ‫الر ُس َ َ م َ َ َ ُ ُ َ َ م م‬ َّ ‫َوَمن يُ َشاقِ ِق‬
ِ ‫اءت م‬
ً‫صْيا‬ َ ‫َو َس م‬
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengi-
kuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS al-Nisa/4:
115).
Pada ayat ini Allah swt. melarang untuk menyakiti/menentang Rasulullah dan
melarang membelot/menentang jalan yang disepakati kaum mu’minin. Imam Syafi’i
ketika ada yang menanyakan kepadanya dasar bahwa kesepakatan para ulama bisa
dijadikan dasar hukum, ia menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut hingga
tiga hari. Beliau mengulang-ulang hafalan al-Qur’an hingga menemukan ayat ini.
Setiap ijmak yang ditetapkan menjadi hukum syarak, harus dilakukan dan
disesuaikan dengan asal-asas pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, setiap mujtahid
dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas
yang telah ditetapkan dalam berijtihad, serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila
ia berijtihad menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas
maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya, jika dalam berijti-
had, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka
dalam berijtihad, ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam. Oleh
karena itu, ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti kiyas, istihsan,
dan sebagainya.
Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil
ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-
Qur’an dan hadis, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika
seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya
boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang
hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

B. Rukun Ijmak
Adapun rukun ijmak dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para
mujtahid dalam suatu masa atas hukum syarak. Rukun ijmak terdiri dari empat hal:

3
1. Ada beberapa orang mujtahid
Tidak cukup ijmak dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya
hanya seorang saja di suatu masa. Suatu 'kesepakatan’ harus dilakukan lebih dari satu
orang yang pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syarak dalam suatu
masalah dengan melihat negeri, jenis, dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syarak hanya para mujtahid haramain, para
mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu al-sunnah, mujtahid Syiah, maka secara
syarak kesepakatan khusus ini tidak disebut ijmak. Ijmak tidak terbentuk, kecuali
dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia
sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syarak) dari
suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para
mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu
keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan
pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa
ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain.
Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah
yang dilakukan para mujtahid
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh
mujtahid.
Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada,
maka keputusan yang demikian belum mencapai derajat ijmak. Ijmak yang demikian
belum dapat dijadikan sebagai hujah syari'ah
Apabila rukun ijmak yang empat hal di atas telah terpenuhi, maka hukum yang
diijmaki tersebut menjadi aturan syarak yang wajib diikuti dan tidak boleh menging-
karinya. Selanjutnya, para mujtahid sesudahnya tidak boleh lagi menjadikan hukum
yang sudah disepakati itu menjadi garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan
secara ijmak dengan hukum syar’i yang qat’i dan tidak dapat dihapus.

C. Macam-macam Ijmak
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijmak terdiri atas:
1. Ijmak Bayani
ljmak bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan
tegas, baik berupa ucapan maupun tulisan. Ijmak bayani disebut juga ijmak sarih,
ijmak qauli atau ijmak hakiki.
2. Ijmak Sukuti
Ijmak sukuti yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menya-
takan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak

4
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid
lain yang hidup di masanya. Ijmak seperti ini disebut juga ijmak i'tibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmak, dapat dibagi kepada:
1. ljmak Qath'i,
ljmak qath'i yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu adalah qath'i, diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijmak yang dilakukan pada waktu yang lain.
2. ljmak Zanni
ljmak zanni yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu zanni, masih ada kemung-
kinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda
dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmak yang dilakukan pada waktu
yang lain.
Dalam kitab-kitab Fikih terdapat pula beberapa macam ijmak yang dihubungkan
dengan masa terjadi dan tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijmak-
ijmak itu adalah:
1. Ijmak Sahabat, yaitu ijmak yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw.
2. Ijmak Khulafaurrasyidin, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib. Tentu hal ini hanya dapat dilaku-
kan pada masa keempat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar meninggal ijmak tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
3. Ijmak Shaikhan, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
4. Ijmak Ahli Madinah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah.
Ijmak ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut mazhab
Maliki, tetapi mazhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber
hukum Islam;
5. Ijmak Ulama Kufah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijmak ulama Kufah sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
Bentuk-bentuk ijmak ini meskipun disebut ijmak bila dikaitkan dengan rukun
ijmak, maka hakekatnya tidak dapat disebut ijmak, karena rukun-rukunnya tidak
terpenuhi. Ijmak seperti ini lebih tepat bila disebut sebagai ijtihad jama’i (kolektif),
yakni hasil ijtihad dari sekelompok orang seperti hasil ijtihad yang dikeluarkan oleh
Majlis Ulama Indonesia (MUI).

D. Kedudukan Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam


KH MA. Sahal Mahfudh dalam kitab ‫ البيان امللمع عن الفاظ اللمع‬menjelaskan
bahwa ijmak menjadi hujah dalam semua hukum syarak, seperti ibadah, muamalah,
hukum pidana, pernikahan, dan lain-lain dalam masalah hukum halal dan haram,
fatwa, dan hukum-hukum.

5
Sedangkan hukum akal dibagi dua. Pertama, sesuatu yang wajib mendahulukan
pekerjaan daripada mengetahui sahnya secara syarak, seperti barunya alam, penetapan
Zat Yang Mencipta, penetapan sifat-sifat-Nya, penetapan kenabian, dan yang
menyerupainya. Dalam hal ini, ijmak tidak menjadi hujah karena ijmak adalah dalil
syarak yang ditetapkan dengan jalan sam’u (mendengar wahyu). Maka, tidak boleh
menetapkan hukum yang wajib diketahui sebelum sam’u.
Kedua, sesuatu yang tidak wajib mendahulukan pekerjaan di atas sam’u. Misal-
nya, bolehnya melihat Allah, ampunan Allah kepada orang-orang yang berdosa, dan
lainnya yang bisa diketahui setelah mendengarkan wahyu. Ijmak dalam hal ini menjadi
hujah karena hal itu boleh diketahui setelah adanya syarak dan ijmak termasuk dalil
syarak, maka boleh menetapkan hukum itu dengan ijmak.
Adapun persoalan-persoalan dunia, seperti mengatur tentara, perang, pemba-
ngunan, industri, pertanian, dan lainnya dari kemaslahatan dunia, maka ijmak tidak
menjadi hujah karena ijmak dalam masalah itu tidak lebih banyak dari sabda Nabi dan
sabda Nabi hanya menjadi hujah dalam ijmak syarak, bukan pada kemaslahatan dunia.

E. Obyek Ijmak

Obyek ijmak ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-
Qur'an dan hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yang tidak langsung ditujukan kepada Allah swt.) bidang muamalah,
bidang kemasyarakatan, atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi
tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan hadis.

6
KEGIATAN BELAJAR 4:
QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Memahami kedudukan dan fungsi qiyas dalam penetapan hukum Islam

Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menjelaskan pengertian qiyas
2. Menjelaskan rukun qiyas
3. Membedakan macam-macam qiyas
4. Menjelaskan kedudukan qiyas sebagai sumber hukum Islam

Pokok-Pokok Materi
1. Pengertian qiyas
2. Rukun qiyas
3. Macam-macam qiyas
4. Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum Islam

A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan, manganalogikan, membandingkan,
atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mem-
punyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya.
Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengu-
kur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan
mencari persamaan-persamaannya.
Para ulama usul fikih berpendapat bahwa qiyas ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan-
nya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas yaitu menyatukan sesuatu yang tidak
disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh
nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya. Jadi, suatu Qiyas hanya dapat dila-
kukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu,
tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan Qiyas ialah
mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari

1
peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud baru-
lah dilakukan Qiyas. Dengan demikian, qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap
hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum
yang sama pula.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan terma-
suk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terda-
pat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash maupun ijmak dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat, maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Di antara ayat al-Qur’an yang
dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
َ ‫ار ِه ْم ِِل َ َّو ِل ْال َح ْش ِر َما‬
‫ظنَنت ُ ْم أَن‬ ِ َ‫ب ِمن ِدي‬ ِ ‫هُ َو الَّذِي أ َ ْخ َر َج الَّذِينَ َكفَ ُروا ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكتَا‬
َ َ ‫ْث لَ ْم يَ ْحت َ ِسبُوا َوقَذ‬
‫ف‬ ُ ‫َّللاُ ِم ْن َحي‬ َّ ‫َّللا فَأَتَاهُ ُم‬
ِ َّ َ‫صون ُ ُهم ِمن‬ ُ ‫ظنُّوا أَنَّ ُهم َّمانِعَت ُ ُه ْم ُح‬
َ ‫يَ ْخ ُر ُجوا َو‬
‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ْب يُ ْخ ِربُونَ بُيُوت َ ُهم ِبأ َ ْيدِي ِه ْم َوأ َ ْيدِي الْ ُمؤْ ِمنِينَ فَا ْعت َ ِب ُروا يَا أُو ِلي ْاِل َ ْب‬َ ‫الرع‬ُّ ‫فِي قُلُو ِب ِه ُم‬
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kam-
pung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak
menyangka bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah. Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka, lalu mereka memus-
nahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-
orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (QS al-Hasyr/59: 2).
Dapat diketahui dari ayat di atas bahwa Allah memerintahkan kepada kita
untuk mengambil pelajaran. Kata iktibar di sini berarti melewati, melampaui, memin-
dahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu
hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal
yang diperintahkan ini mesti diamalkan, karena dua kata tadi iktibar dan qiyas
memiliki pengertian melewati dan melampaui.
Contoh lain misalnya dari firman Allah sebagai berikut:
‫سو َل َوأ ُ ْو ِلي اِل َ ْم ِر ِمن ُك ْم فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬ َّ ْ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ أ َ ِطيعُواْ َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬
‫س ُن‬ ِ ‫اّلل َوالْيَ ْو ِم‬
َ ‫اآلخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأ َ ْح‬ ِ ‫سو ِل ِإن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِب‬ُ ‫الر‬ ِ ‫يءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬ ْ ‫ش‬
َ
‫تَأ ْ ِويلا‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS al-Nisa/4: 59).
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan kembali
kepada Allah dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supa-
ya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehen-
daki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum yang
dinamakan qiyas.

2
B. Kedudukan Qiyas
Sikap ulama mengenai qiyas ini tidak tunggal. Ada pro dan kontra di kalangan
mereka. Setidaknya dalam hal ini terdapat tiga kelompok ulama sebagai berikut:
Pertama, kelompok jumhur. Mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nashnya, baik dalam al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat
maupun ijmak ulama.
Kedua, Mazhab Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang sama sekali tidak menggunakan
qiyas. Mazhab Zahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha menge-
tahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetap-
kan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
Ketiga, kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas yang berusaha berbagai
hal karena persamaan illat/sebab. Bahkan, dalam kondisi dan masalah tertentu,
kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhshish dari keumuman dalil al-Qur’an
dan hadis.

C. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat bagian:
1. Asal (Pokok)
Asal yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al-maqis alaihi). Para
fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan
tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menye-
rupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Imam al-Amidi dalam Al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-
ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan
menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya, karena
suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian,
maka al-aslu adalah objek qiyas, di mana suatu permasalahan tertentu dikiaskan
kepadanya.
2. Furu’ (Furuk/Cabang)
Furuk yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqis),
karena tidak terdapat dalil nash atau ijmak yang menjelaskan hukumnya.
3. Hukum Asal
Hukum asal yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum
asalnya. Atau hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijmak, yang terdapat dalam al-
ashlu.
4. Illat
Illat adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang
dibangun atasnya.

3
D. Macam Qiyas
Dilihat dari segi kekuatan illat dalam furuk dibanding dengan yang ada dalam
ashal, qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu: qiyas aulawi, qiyas musawi, dan qiyas
adna.
Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Qiyas Aulawi
Qiyas aulawi adalah qiyas yang illat pada furuk lebih kuat daripada illat yang
terdapat pada asal. Misalnya qiyas larangan memukul orang tua dengan larangan
menyakitinya atau berkata “uh” kepada mereka. Larangan memukul lebih kuat atau
perlu diberikan dibandingkan dengan larangan berkata “uh” yang terdapat pada nash;
ٍ ُ ‫أ َ َحدُهُ َما أ َ ْو ِكلَهُ َما فَلَ تَقُل لَّ ُه َما أ‬
‫ف‬
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah". (QS al-Isra/17: 23).
Adapun persamaan illat antara keduanya adalah sama-sama menyakiti.
2. Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah qiyas yang setara antara illat pada furuk dengan illat pada
asal dalam kepatutannya menerima ketetapan hukum. Misalnya mengiyaskan budak
perempuan dengan budak laki-laki dalam menerima separuh hukuman.
ِ ‫ت ِمنَ ْالعَذَا‬
‫ب‬ َ ‫علَى الْ ُم ْح‬
ِ ‫صنَا‬ َ ‫ف َما‬ ْ ِ‫ش ٍة فَعَلَ ْي ِه َّن ن‬
ُ ‫ص‬ َ ‫اح‬ ِ ‫فَإِذَا أ ُ ْح‬
ِ َ‫ص َّن فَإِ ْن أَتَيْنَ بِف‬
… dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami … (QS al-Nisa/4: 25).
Contoh lainnya, hukum memakan harta anak yatim secara aniaya sama
hukumnya dengan membakarnya. Maka dari segi illatnya, keduanya pada hakikatnya
sama-sama bersifat melenyapkan kepemilikan harta anak yatim.
Allah berfirman:
‫س ِعيرا ا‬
َ َ‫صلَ ْون‬ َ ‫ظلْما ا إِنَّ َما يَأ ْ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه ْم نَارا ا َو‬
ْ َ ‫سي‬ ُ ‫إِ َّن الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أ َ ْم َوا َل الْيَتَا َمى‬
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS al-Nisa/4: 10).
3. Qiyas Adna
Qiyas adna adalah qiyas yang illat pada furuk lebih rendah daripada illat yang
terdapat pada asal. Misalnya mengiyaskan haramnya perak bagi laki-laki dengan
haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah untuk berbangga-
bangga. Bila menggunakan perak merasa bangga apalagi menggunakan emas akan
lebih bangga lagi.
Dilihat dari segi kejelasan yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2
macam, yaitu: qiyas jali dan qiyas khafi. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:

4
1. Qiyas Jali
Qiyas jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan
hukum asal. Nash tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada
pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furuk. Misalnya mengiyaskan
budak perempuan dengan budak laki-laki dan mengiyaskan setiap minuman yang
memabukkan dengan larangan meminum khamar yang sudah ada nashnya.
2. Qiyas Khafi
Qiyas Khafi adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash. Misalnya
mengiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan pembunuhan mengguna-
kan benda tajam.
Dilihat dari segi persamaan furuk dengan asal, qiyas dibagi menjadi 2 macam
yaitu: qiyas syabah dan qiyas ma’na. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Qiyas Syabah
Qiyas syabah adalah qiyas yang furuknya dapat diqiyaskan dengan dua asal
atau lebih, tetapi diambil asal yang lebih banyak persamaannya dengan furuk. Misal-
nya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan zakat perdagangan dan pertanian.
2. Qiyas Ma’na
Qiyas ma’na adalah qiyas yang furuknya hanya disandarkan pada asal yang
satu. Jadi, korelasi antara keduanya sudah sangat jelas. Misalnya mengiyaskan
memukul orang tua dengan perkataan “ah” seperti yang ada dalam nash pada penje-
lasan sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka secara keseluruhan macam-macam qiyas
tersebut ada tujuh yaitu: qiyas aulawi, qiyas musawi, qiyas adna, qiyas jali, qiyas
khafi, qiyas syabah, dan qiyas ma’na.

Anda mungkin juga menyukai